PE N DAH U LUAN
A.
Latar belakang
Jika makna malu adalah mencegah dari melakukan sesuatu yang tercela,
maka seruan untuk memiliki malu pada dasarnya adalah seruan untuk mencegah
segala maksiat dan kejahatan. Di samping itu rasa malu adalah ciri khas dari
kebaikan, yang senantiasa diinginkan oleh setiap manusia. Mereka melihat bahwa
tidak memiliki rasa malu adalah kekurangan dan suatu aib.
Pada dasarnya, islam dalam keseluruhan hukum dan ajarannya, adalah
ajakan yang bertumpu pada kebaikan dan kebenaran. Juga merupakan seruan
untuk meninggalkan setiap hal yang tercela dan memalukan[1].
Manusia sekarang sudah jarang yang memiliki rasa malu contohnya dalam
kehidupan sehari- hari kita kita sering menyaksikan manusia yang sudah tidak lagi
memiliki rasa malu bila melanggar hati nurani dan aturan hidup. Cobalah anda
lihat dan baca melalui media masa. Tidak sedikit manusia yang dengan bebasnya
melakukan pelanggaran-pelanggaran terhadap hati nurani dan norma masyarakat
yang berlaku. Dari mulai mereka berpakaian, bersikap dan bertingkah laku.
Jadi sebagai Orang tua dan para pendidik juga ikut berkewajiban untuk
menanamkan rasa malu secara sungguh-sungguh. Untuk itu, hendaknya mereka
menggunakan berbagai metode pendidikan yang baik, seperti mengawasi perilaku
anak-anak dan segera meluruskan jika melihat perbuatan yang bertentangan
dengan rasa malu, memilihkan teman bermain yang baik, memilihkan buku-buku
yang bermanfaat, menjauhkan dari berbagai tontonan yang merusak, dan
menjauhkan dari omongan yang tidak baik.
B. Rumusan Masalah
Dari latar belakang di atas, akan timbul beberapa pertanyaan di antaranya:
1 Musthafa Dieb Al-Bugha, Al-Wafi Menyelami makna 40 hadist Rasulullah SAW, (Jakarta Timur:
Al-Itishom, 2003), Hal 153.
matan dan
BAB II
PEMBAHASAN
)
([ 2]
artinya: meriwayatkan Abdullah bin
Yusuf telah berkata, Malik bin Anas mengkhabarkan dari Ibnu Syihab dari Salim
bin Abdullah dari ayahnya, bahwasanya Rasulullah saw lewat pada seorang
Anshar yang sedang member nasehat saudaranya perihal pemalu. Lalu Rasulullah
saw bersabda: Biarkan dia, karena malu itu sebagian dari iman.[3]
2. Keterangan hadits
Sifat malu ini telah dibahas sebelumnya dalam masalah iman. Adapun
pengulangannya di disi bertujuan untuk membahasnya secara terpisah dengan
sanad yang berbeda, sehingga pembahasan sebelumnya bukanlah pembahasan
tersendiri yang tidak berhubungan dengan pembahasan dalam bab ini.
terhadap hak bukanlah malu yang sesuai dengan syara melainkan malu karena
serupa dengan malu secara syara yaitu perangai yang dapat mendorong
meninggalkan keburukan.
Ibnu hajar berkata,bisa jadi makna malu adalah kebaikan yang sangat
dominan ada pada diri orang yang memiliki sifat malu, maka hilang lenyaplah
kemungkinan dia tergelincir dan kebaikan sebagai buah dan sifat malu pada
dirinya yang membawa kebaikan.[5]
Sahabat Ali bin Abu Thalib berkata,Barang siapa memakai baju malu
niscaya masyarakat tidak akan melihat aibnya.
Malu adalah akhlak yang menghiasi perilaku manusia dengan cahaya dan
keanggunan yang ada padanya. Inilah akhlak yang terpuji yang ada pada diri
seseorang lelaki dan fitrah yang mengkarakter pada diri setiap wanita. Sehingga,
sangat tidak masuk akal jika ada wanita yang tidak ada rasa malu sedikitpun
dalam dirinya. Rasa manis seorang wanita salah satunya adalah buah dari adanya
sifat malu dalam dirinya.
Wanita yang beriman adalah wanita yang memiliki sifat malu. Sifat malu
tampak pada cara dia berbusana. Ia menggunakan busana takwa, yaitu busana
yang menutupi auratnya. Para ulama sepakat bahwa aurat seorang wanita di
hadapan pria adalah seluruh tubuh kecuali wajah dan tapak tangan.
Ibnu Katsir berkata, Pada zaman jahiliyah dahulu, sebagian kaum wanitanya
berjalan di tengah kaum lelaki dengan tidak kelihatan aurat. Dan mungkin saja
mereka juga memperlihatkan leher, rambut, dan telinga mereka. Maka Allah
memerintahkan wanita muslimah agar menutupi bagian-bagian tersebut.
Menundukkan bagian juga bagian dari rasa malu. Sebab mata memiliki sejuta
bahasa. Tatapan sendu, dan isyarat lainnya yang membuat berjuta rasa di dada
lelaki. Setiap wanita memiliki pandangan mata yang setajam anak panah dan
setiap lelaki paham akan pesan yang dimaksud oleh pandangan itu. Karena itu,
Allah swt memerintahkan kepada lelaki dan wanita untuk menundukkan
pandangan mereka.
Memang realistis kekinian tidak bisa dipungkiri. Kaum wanita saat ini
beraktivitas di sektor publik, baik sebagai profesional ataupun aktivis sosial
politik. Ada yang dengan alas an untuk melayani kepentingan sesama wanita yang
fitri. Ada juga yang karena keterpaksaan. Sehingga bercampur baur dengan lelaki
tidak bisa dihindari.
5 Ibnu Hajar Al-Asqanali, Fathul Baari Jilid 10, Jakarta: Pustaka Azzam, 2002, hal. 522.
rasa malu, maka seseorang bisa melakukan apa saja sesukanya sesuai dengan
hadits di atas.
Malu melakukan hal yang sia-sia apalagi dosa merupakan indikasi (tanda)
baiknya seseorang. Karena malu seperti ini adalah bagian dari iman. Bukan malu
yang melakukan kebaikan. Karena malu melakukan kebaikan adalah pertanda
kelemahan, sebagaimana disampaikan oleh Syekh Bugha dalam Kitab Al-Wafii
ketika menerangkan hadits tersebut. Malu dalam hal ini adalah malu yang tercela.
Dalam kehidupan sehari-hari kita, tentunya tidak luput dari perasaan malu.
Rasa malu itu timbul lantaran banyak hal. Apakah malu lantaran status sosial yang
rendah, malu lantaran kondisi ekonomi yang lemah, malu lantaran wajah dan fisik
yang buruk, dan sebagainya.
Apa yang harus kita sadari adalah, kita harus lebih merasakan malu kealfaan
kita dalam menjalankan perintah Allah swt dan meninggalkan larangan-Nya. Kita
harus merasakan malu lantaran melakukan hal yang sia-sia. Malu lantaran
melakukan maksiat dan dosa. Malu lantaran menelantarkan kewajiban-kewajiban
kita.
Jangan sampai kita malu lantaran kondisi ekonomi kita, tetapi kita tidak malu
dengan kondisi lemah keagamaan kita. Jangan sampai kita malu lantaran
rendahnya posisi sosial kita, namun kita tidak malu lantaran rendahnya akhlak
kita. Jangan sampai kita malu lantaran buruknya wajah dan tubuh kita, namun kita
tidak malu lantaran buruknya ketakwaan kita. Padahal standar hakiki kemulian
seorang hamba adalah takwa. Allah swt berfirman dalam surat Al-Hujarat ayat 13
yang berbunyi:
Artinnya: Sesungguhnya orang yang paling mulia diantara kamu disisi Allah
ialah orang yang paling taqwa diantara kamu. Sesungguhnya Allah Maha
mengetahui lagi Maha Mengenal. (QS. Al-Hujarat: 13)
Pada prinsipnya sebagaimana dijelaskan dalam kitab Al-Wafii syarah Arbain
Nawawi, rasa malu dalam diri manusia bisa dibagi dari pertumbuhannya kepada
dua: pertama, rasa malu yang ada secara fitrah. Rasa ini timbul secara otomatis
dalam diri manusia. Malu untuk melakukan keburukan sebenarnya adalah fitrah
manusia. Karena memang setiap anak manusia itu lahir dalam keadaan fitrah.
Namun rasa malu ini akan dipengaruhi dalam proses selanjutnya.
Kedua, rasa malu yang ditimbulkan. Rasa malu ini bisa ditumbuhkembangkan
dalam jiwa seseorang. Karena rasa malu merupakan bagian dari akhlak, dan
akhlak adalah sesuatu yang bisa diupayakan dalam diri manusia.
ada satu langkah yang utama dan pertama untuk menumbuhkan rasa malu
yang terpuji, yaitu mengenal Allah swt, untuk selanjutnya akan menumbuhkan
rasa pengawasan-Nya. Mengenal Allah swt kita bisa membaca dan merenungi AlQuran untuk mengenal Allah swt.
Seorang muslim harus berhias dengan perilaku malu yang utama tersebut
sebab malu adalah kategori agama seluruhnya. Etika itu termasuk cabang
keimanan dan termasuk bagian dari Etika Islam. Setiap agama memilki etiaka dan
sesungguhnya etiaka Islam adalah malu.
Sifat malu termasuk kunci segala kebaikan, bila sifat malunya kuat, maka
kebaikan menjadi dominan dan keburukan menjadi melemah. Bila sifat malunya
lemah, maka kebaikan melemah dan perilaku buruk dominan, Karena malu adalah
penghalang antara seseorang dengan hl-hal yang dilarang.[7]
BAB III
7 Ahmad Muadz Haqqi, 40 Hadits Akhlaq, Surabaya: As-Sunnah, 2003, hal. 61.
PENUTUP
Kesimpulan
Diantara Pelajaran hadits tentang malu sebagian dari iman tersebut sebagai
berikut:
1. Kaum muslimin hendaknya selalu memiliki semangat untuk menasehati
saudaranya, mengingatkan dengan penuh kasih saying, dan tidak berdiam diri
dari kesalahan;
2. Salah satu sifat Rasulullah saw adalah meluruskan ketika ada kekeliruan yang
beliau ketahui dan membetulkan kesalahan yang beliau dapati. Sehingga
ketika Rasulullah saw diam terhadap sesuatu yang diketahui beliau, maka itu
berarti persetujuan (taqrir) dari beliau;
3. Malu adalah sebagian dari iman, yang merupakan sifat untuk
menyempurnakan iman kita bila kita mengaflikasikannya dan sebaliknya.
DAFTAR PUSTAKA
Al-Asqalani, Ibnu Hajar. 2002. Fathul Baari Jilid 1, Jakarta: Pustaka Azzam.
Al-Asqalani, Ibnu Hajar. 2002. Fathul Baari Jilid 10, Jakarta: Pustaka Azzam.
Baqi M. Fuad Abdul. 1993. Al-Lulu Wal Marjan, Semarang: Al-Ridha.
Haqqi, Ahmad Muadz. 2003. 40 Hadits Akhlaq, Surabaya: As-Sunnah,.
Sunarto, achmad & dkk. 1992. Terjemah Shahih Bukhari, Semarang: Asy-Syifa.