Anda di halaman 1dari 28

Nama : Muhammad Kafrawi Nasution

NIM : 0301192162
Kelas : PAI 4
Mata Kuliah : Ushul Fiqih
Dosen : Ihsan Satria Azhar, MA

1. Penjelasan dari Amar dan Nahi


Amar Menurut bahasa arab, Amar artinya perintah, menurut istilah Amar adalah
suatu lafadz yang didalamnya menunjukkan tuntutan untuk megerjakan suatu perkerjaan
dari atasan kepada bawahan. Dari definisi tersebut dapat dipahami bahwa Amar itu tidak
hanya ditunjukkan pada lafadz-lafadz yang memakai sighat (bentuk kata) Amar saja, tetapi
ditunjukkan pula oleh semua bentuk kata yang didalamnya mengandung arti perintah. Jadi
Amar merupakan suatu permintaan untuk mengerjakan sesuatu yang sifatnya
mewajibkan/mengharuskan.
Sighat (bentuk kata) Amar
Amar merupakan lafal yang mengandung pengertian perintah. Sighat Amar berbentuk
sebagai berikut:
Berbentuk Fi’il Amar / perintah langsung.
Misalnya, firman Allah:

ََ‫َّال‬
‫ة‬ ‫ْم‬
‫ُوا الص‬ ‫َق‬
‫ِي‬ ‫ا‬
Artinya: “Dirikanlah Shalat”. (QS. Al baqarah: 43)
Contoh lain:
Apabila lafadz yang khusus dalam nash syar’i datang dalam shighat amar atau
perintah, maka lafadz itu menunjukkan kewajiban. Artinya menuntut perbuatan yang
diperintah itu secara penetapan dan kepastian. Allah swt berfirman:
‫َات‬
ُ ‫لق‬ََّ
‫ُط‬ ْ َ
‫الم‬ ‫و‬
َ‫ْن‬‫بص‬ ‫َر‬
ََّ َ
‫يت‬

Artinya: “wahai wanita yang ditalak menahan diri (menunggu) …..”.


Firman tersebut menunjukkan kewajiban wanita yang ditalaq untuk menahan diri atau
beriddah selama tiga kali quru’ (suci). Sebab menurut pendapat yang rajih (unggul)
bahwasannya shighat amar dan shighat lain yang bermakna sama dengannya ditetapkan
untuk mewajibkan. Sedangkan suatu lafadz ketika di mutlakkan, maka ia menunjukkan
terhadap maknanya yang hakiki yang telah ditetapkan untuknya. Ia tidak boleh
dipalingkan dari maknanya yang hakiki, kecuali dengan adanya suatu qarinah
(hubungan/keterkaitan kata sebelum dan sesudahnya).
Selanjutnya jika ditemukan suatu qarinah (keterkaitan / hubungan) yang dapat
memalingkan shighat perintah dari makna kewajiban kepada makna lainnya, maka ia
dipahami sesuai dengan apa yang ditunjuki oleh qarinah itu, seperti ibahah (pembolehan).
Berbentuk Fi’il mudhari’ yang didahului oleh lam Amar.
Misalnya, firman Allah:
‫ْق‬
ِ ‫َت‬
‫ِي‬ ْ ِ‫ْت‬
‫الع‬ ‫َي‬ ْ ‫ْا ب‬
‫ِالب‬ ‫ُو‬ ‫َّو‬
‫َّف‬ ‫َْلي‬
‫َط‬ ‫و‬
Artinya: “dan hendaklah thawaf sekeliling rumah tua itu (Baitullah)”. (QS.Al Haj: 29)

َُّ
‫مة‬ ‫ُم ا‬
‫ْك‬ ‫ْ م‬
‫ِن‬ ‫ُن‬ ‫َْلت‬
‫َك‬ ‫و‬
Artinya: “dan hendaklah ada segolongan umat”. (QS. Ali Imran: 104)

Isim Fi’il Amr, seperti:


‫ُم‬
ْ ‫ُسَك‬
‫نف‬َْ ‫ُم‬
‫ْ ا‬ ‫ْك‬
‫لي‬ََ
‫ع‬
Artinya: “Jagalah dirimu”. (QS. Al Maidah: 105)

Masdar pengganti fi’il, seperti:


ً َ‫ْس‬
‫انا‬ ‫ِح‬ ْ‫د‬
‫ينِ ا‬ َ‫ل‬ ‫ِا ْلو‬
ِ‫َا‬ ‫َب‬‫و‬
Artinya: “dan berbuat baiklah kepada Ibu Bapak”. (QS. Al Baqarah: 83)

Bentuk lainnya yang semakna, seperti lafal faradla, kutiba dan lain sebagainya.
ْ
‫ِم‬ ‫ْو‬
‫َاجِه‬ ‫َز‬ ‫ْ ف‬
‫ِيْ ا‬ ‫ِم‬‫ْه‬
‫لي‬ََ
‫َا ع‬
‫ْن‬ ‫َر‬
‫َض‬ َ ‫َا‬
‫ما ف‬ ‫ْن‬ ‫َل‬
‫ِم‬ َْ
‫د ع‬ ‫ق‬
Artinya: “sesungguhnya kami telah mengetahui apa yang kami wajibkan kepada mereka
tentang istri istri mereka”. (QS. Al Ahzab: 50).
‫َام‬
ُ ‫ِي‬ ‫ُم‬
‫ُ الص‬ ‫ْك‬
‫لي‬ََ
‫َ ع‬
‫ِب‬‫ُت‬
‫ُوا ك‬
‫من‬َ‫َ ءا‬
‫ين‬ِْ َّ ‫ه‬
‫الذ‬ َ‫ي‬َُّ
‫يأ‬َ
Artinya: “Hai orang-orang yang beriman diwajibkan atas kamu berpuasa”. (QS. Al
Baqarah: 183)
ِ‫َت‬
‫من‬ََ‫اْل‬
ْ ‫د‬ َُّ
‫تؤ‬ َْ
ُ ‫ن‬ ‫ُم‬
‫ْ ا‬ ‫ُك‬
‫مر‬ُ ْ
‫يأ‬ َّ‫ا‬
َ َ‫ِن اّلل‬
Artinya: “sesungguhnya Allah memerintahkan kamu untuk menyampaikan
amanah”. (QS. An Nisa’: 58)
Bentuk amar kadang-kadang keluar dari maknanya yang asli dan digunakan untuk
makna yang bermacam-macam yang dapat kita ketahui dari susunan kalimatnya.[4]
Amr (perintah) memiliki kaidah yaitu ketentuan-ketentuan yang dipergunakan para
mutjahid dalam mengistinbatkan hukum. Ulama ushul merumuskan kaidah-kaidah amar
dalam lima bentuk, yaitu :
Kaidah pertama; pada dasarnya ‘amar (perintah) itu menunjukan kepada wajib dan
tidak menunjukan kepada selain wajib kecuali dengan adanya qarinah (hubungan
keterkaitan). Maksud dari kaidah tersebut adalah bahwa mengerjakan sesuatu pekerjaan
yang dituntut oleh suatu perintah adalah wajib diperbuat.
Imam Ar Razi berkata di dalam kitabnya Al Mahsul, bahwa ahli Ushul telah sepakat
menetapkan bahwa bentuk fi’il ‘amar dipergunakan dalam 15 macam makna sesuai
dengan qarinah yang mempengaruhinya, antara lain:
1. Ijab (Wajib)
Contoh:
ََ‫َّال‬
‫ة‬ ‫ْم‬
‫ُوا الص‬ ‫َق‬
‫ِي‬ ‫ا‬
Artinya: “Dirikanlah Shalat”. (QS. Al baqarah: 43)
2. Nadb (anjuran)
‫ُم‬
ْ ‫ِي أتك‬ َّ ِ‫ِ اّلل‬
‫الذ‬ َّ ْ
‫مال‬ ‫ِن‬‫ْ م‬
‫هم‬ُْ
‫تو‬ُ‫َآ‬
‫و‬
Artinya: “dan berikanlah kepada mereka sebagian dari harta Allah yang
dikaruniakan Nya kepadamu”. (QS. An Nur : 33)
3. Takdzib (mendustakan)
َ
‫ْن‬‫ِي‬ ‫َد‬
‫ِ ق‬ ‫ُم‬
‫ْ ص‬ ‫ُن‬
‫ْت‬ ْ‫ْ ا‬
‫ِنك‬ ‫ُم‬ َ ‫ه‬
‫انك‬ َْ
‫بر‬ ُ‫ها‬
ُ ‫توا‬ ‫ُل‬
َ ْ ‫ق‬
Artinya: “tunjukkanlah bukti kebenaranmu jika kamu adalah orang yang
benar”. (QS. Al Baqarah 111).
4. Irsyad (membimbing atau Menunjukkan)
Contoh firman Allah:
‫ُم‬
ْ ِ‫َا‬
‫لك‬ ‫ِج‬‫ْ ر‬
‫ِن‬ ْ‫د‬
‫ينِ م‬ َْ
‫ِي‬‫دوا شَه‬‫َشْه‬
ُِ ‫َاسْت‬
‫و‬
Artinya: “dan persaksikanlah dengan dua orang saksi dari orang laki-laki
(diantaramu). (QS. Al Baqarah : 282)
5. Ibahah (kebolehan)
ُ‫َض‬
‫بي‬َْ‫ُ األ‬
‫ْط‬ ْ ُ
‫الخَي‬ ‫َ َلك‬
‫ُم‬ ‫َي‬
‫َّن‬ ‫َب‬
‫يت‬َ ‫َّى‬
‫َت‬ ‫ْا ح‬ ‫بو‬ ‫َاشْر‬
َُ ‫ْا و‬‫لو‬ُُ
‫َك‬‫و‬
‫ْر‬‫َج‬ ْ َ
‫الف‬ ‫ِن‬ ‫َد‬
‫ِ م‬ َ
‫ِ األسْو‬‫ْط‬ ْ َ
‫الخَي‬ ‫ِن‬‫م‬
ِ
Artinya: “makan dan minumlah hingga jelas bagimu beng putih dan benang
hitam bagimu”. (QS. Al Baqarah : 187)
‫ْا‬
‫دو‬ُ‫َا‬
‫ْط‬‫َاص‬ ‫ُم‬
‫ْ ف‬ ْ‫ل‬
‫لت‬ ‫َاح‬
ََ ‫ِذ‬‫َإ‬
‫و‬
Artinya: dan apabila kamu telah menyelesaikan ibadah haji, Maka bolehlah
berburu. (QS. Al-Ma’idah:2)
6. Tahdid (Ancaman)
‫ْر‬
‫ِي‬‫بص‬ َْ
َ ‫ن‬ َُ
‫لو‬‫ْم‬ َ ‫َا‬
‫تع‬ ‫ِم‬ َّ‫ْ ا‬
ُ‫ِن‬
‫ه ب‬ ‫ُم‬‫ْت‬
‫ِئ‬ َ ‫ْا‬
‫ماش‬ ‫لو‬َُ
‫ْم‬‫ِع‬
‫ا‬
Artinya: “kerjakanlah apa yang kamu kehendaki. Sesungguhnya Dia maha
melihat apa yang kamu kerjakan”. (QS. Fusshilat : 40)
7. Inzhar (peringatan)
‫َّار‬
ِ َ‫ْ ا‬
‫ِلى الن‬ ‫ُم‬‫َك‬
‫ْر‬‫ِي‬
‫مص‬ َّ‫َا‬
َ ‫ِن‬ ‫ْا ف‬
‫ُو‬‫َّع‬
‫َت‬ ‫تم‬ ‫ُل‬
َ ْ ‫ق‬
Artinya: “Katakanlah, “Bersuka rialah kamu, karena sesungguhnya tempat
kembalimu adalah neraka”. (QS. Ibrahim : 30)
8. Ikram (memuliakan)
َ
‫ْن‬‫ِي‬
‫ِن‬ ‫ِسَالَم‬
‫ٍ آم‬ َْ
‫ها ب‬‫لو‬ُُ
‫دخ‬ُْ
‫ا‬
Artinya: “(dikatakan kepada mereka): masuklah ke dalamnya dengan sejahtera
lagi aman”. (QS. Al Hijr : 46)
9. Taskhir (penghinaan)
َ
‫ْن‬‫ِي‬
‫ِئ‬‫َاس‬ ً‫د‬
‫ة خ‬ ََ
‫ِر‬‫ْا ق‬
‫نو‬ُْ
‫ُو‬‫ك‬
Artinya: “Jadilah kamu sekalian kera yang hina”. (QS. Al Baqarah : 65)
10. Ta’jiz (melemahkan)
ِ
‫ِه‬‫ْل‬
‫ِث‬‫ْ م‬
‫ِن‬ ‫َة‬
‫ٍ م‬ ‫ْر‬ ‫ْا ب‬
‫ِسُو‬ ‫تو‬ُْ
‫َأ‬‫ف‬
Artinya: “datangkanlah satu surat (saja) yang seumpama )Al Qur’an( itu”. (QS.
Al Baqarah : 23)
11. Taswiyah (mempersamakan)
‫ُوا‬
‫ِر‬‫ْب‬
‫تص‬ ‫َو‬
ََ‫ْال‬ ‫ُوا ا‬
‫ِر‬ ‫َاص‬
‫ْب‬ ‫ف‬
Artinya: “maka bersabar atau tidak”. (QS. At Thur :16)
12. Tamanni (angan-angan)
Contoh Syi’ir Arab:
ُ
‫لع‬َْ
‫تط‬َ‫ْ َال‬
‫ِف‬ ‫ْح‬
‫ُ ق‬ ‫ُب‬ َ
‫ياص‬ ُْ
‫ل‬ ‫ْم‬
‫ُ ز‬ َ ‫يا‬
‫نو‬ ‫ُل‬
َ ْ ‫ُ ط‬
‫ْل‬‫يا َلي‬
َ
Artinya: “wahai sang malam, memanjanglah wahai kantuk menghilanglah.
Wahai waktu subuh berhentilah dahulu, jangan segera dating.
13. Do’a
‫ْل‬
‫ِى‬‫ِر‬‫ْف‬
‫َبِ اغ‬
‫ر‬
Artinya: “Ya Allah ampunilah aku”. (QS. Shad : 35)
14. Ihanah (meremehkan)
ُ
‫يز‬ ‫َز‬
ِْ ْ َ
‫الع‬ َْ
‫نت‬ َِّ
‫نكَ ا‬ ‫ُق‬
‫ْ إ‬ ‫ذ‬
Artinya: “Rasakanlah, sesungguhnya kamu orang yang perkasa lagi
mulia”. (QS. Ad Dukhan : 49)

15. Imtinan
‫ُم‬
‫ُ اّلل‬ ‫َك‬
‫َق‬‫َز‬
‫َّا ر‬
‫ِم‬ ‫ْا م‬
‫لو‬ُُ
‫َك‬‫ف‬
Artinya: “Makanlah apa yang direzekikan kapadamu”. (QS. An Nahl :114)
Kaidah kedua: Perintah setelah larangan menunjukan kepada kebolehan. Maksud
dari kaidah ini ialah, apabila ada perbuatan-perbuatan yang semula dilarang, lalu
datang perintah mengerjakan, maka perintah tersebut bukan perintah wajib tetapi
bersifat membolehkan.

Nahi

Sedangkan Nahi menurut bahasa artinya mencegah, melarang (al-man’u),


sedangkan Menurut istilah adalah lafadz yang meminta untuk meninggalkan sesuatu
perbuatan kepada orang lain dengan menggunakan ucapan yang sifatnya mengharuskan,
atau lafadz yang menyuruh kita untuk meninggalkan suatu pekerjaan yang diperintahkan
oleh orang yang lebih tinggi dari kita. Akal juga disebut nuhyah (nahyu), karena dia dapat
mencegah orang yang berakal itu untuk tidak berbuat salah.

Menurut Abdul Hamid Hakim menyebutkan bahwa nahi adalah perintah untuk
meninggalkan sesuatu dari atasan kepada bawahan. Jadi Nahi adalah suatu larangan yang
harus ditaati yang datangnya dari atasan kepada bawahan, yakni dari Allah SWT kepada
hamba-Nya.

Adapun maksud nahi yang sebenarnya adalah menunjukkan haram, seperti dalam
firman Allah:

ًَ
‫ة‬ ‫َاع‬
‫َف‬ ‫مض‬ُ ‫ًا‬ ‫ْع‬
‫َاف‬ ‫َض‬ َِ
‫با أ‬‫لوا الر‬‫ْك‬
ُُ َ‫ََال‬
‫تأ‬ ‫و‬
Artinya: “dan janganlah kamu memakan riba dengan berlipat ganda”. (QS. Ali Imran:
130)

Karena La ta’kulu berbentuk nahi, sedangkan ketentuan nahi adalah haram,


maka makan harta riba hukumnya haram, karena tidak diridlai Allah swt. Inilah hukum
asli dari nahi.

Sighat (bentuk kata) Nahi

Kalimat larangan yang tidak memiliki qarinah menunjukkan hakikat larangan yang
mutlak. Seperti firman Allah:

‫ُم‬
ْ َْ
‫نت‬ ‫َأ‬
‫و‬ ََ‫َّال‬
‫ة‬ ‫الص‬ ‫َب‬
ُ ‫ْر‬
‫تق‬َ‫َال‬ ‫ُوا‬
‫من‬َ‫ا‬ َ
‫ين‬ِْ َّ
‫الذ‬ َ‫ي‬
‫ها‬ َُّ
‫ياأ‬ َ
‫َى‬‫َار‬ ‫سُك‬
Artinya: “hai orang-orang yang beriman, jangan kamu kerjakan shalat dalam keadaan
mabuk”. (QS.An Nisa : 43)

Ungkapan yang menunjukkan kepada nahi (larangan) itu ada beberapa bentuk diantaranya:

a) Fi’il Mudhari’ yang disertai dengan la nahi, seperti:

ِْ
‫ض‬ ْ ‫ِى‬
‫االَر‬ ‫ْا ف‬
‫دو‬ ‫ْس‬
ُِ ُ ‫َال‬
‫تف‬
Artinya: “janganlah kamu membuat kerusakan di muka bumi”. (QS. Al Baqarah: 11).

b) Lafadz-lafadz yang member pengertian haram atau perintah meninggalkan sesuatu


perbuatan, seperti:

َِ
‫بوا‬ ‫َ الر‬
‫َّم‬
‫َر‬ ‫َّ اّللَ و‬
‫َح‬ ‫َل‬ ‫َح‬
‫َا‬‫و‬
Artinya: “dan Allah menghalalkan jual beli dan mengharamkan riba”. (QS. Al
Baqarah: 275).

Kaidah-kaidah Nahi:
Kaidah pertama, pada dasarnya larangan itu menunjukkan haram, seperti:

َِ
‫نى‬ ‫بوا الز‬ ‫ْر‬
ُ َ َ‫ََال‬
‫تق‬ ‫و‬
Artinya: “dan janganlah kalian mendekati zina”. (QS. Al Isra: 32).

Sighat Nahi mengandung beberapa pengertian, antara lain sebagai berikut:

a) Untuk do’a

َْ
‫نا‬‫َأ‬ ‫َخ‬
‫ْط‬ ‫َو‬
‫ْا‬ ‫َاا‬
‫ْن‬‫ِي‬
‫نس‬َ ‫ن‬
ِْ‫نا ا‬ ْ‫َاخ‬
َ‫ِذ‬ ‫تؤ‬ُ‫َا َال‬
‫بن‬ََّ
‫ر‬
“Wahai Tuhan kami, janganlah engkau hukum kami, bila kami lupa atau salah”.

b) Untuk pelajaran

‫ُم‬
ْ ‫ْك‬ َ ْ
‫تسُؤ‬ ‫ُم‬‫دَلك‬
َْ ِْ
ُ ‫ن‬
‫تب‬ ‫َشْي‬
َ‫َا‬
‫ء ا‬ ‫ْ ا‬
‫َن‬‫ْاع‬
‫لو‬َُ َ‫َال‬
‫تسْئ‬
“Janganlah kamu menanyakan hal-hal yang jika diterangkan kepadamu, niscaya
menyusahkan kamu”.

c) Putus asa

َ
‫ْم‬‫َو‬ ْ ‫ُوا‬
‫الي‬ ‫ِر‬‫َذ‬
‫ْت‬ َ‫َال‬
‫تع‬
“Janganlah kamu cari-cari alasan hari ini”

d) Untuk menyenangkan (menghibur)

‫َا‬
‫َن‬ َِّ
َ َ‫ن اّلل‬
‫مع‬ َْ
‫ن إ‬‫ْز‬ َ‫َال‬
‫تح‬
“Jangan bersedih kamu, bahwa sesungguhnya Allah bersama kita”

2. Mantuq dan Mafhum


Mantuq secara bahasa adalah “sesuatu yang diucapkan”, sedangkan menurut istilah
yaitu pengertian harfiah atau makna yang ditunjukkan oleh lafadz yang diucapkan itu
sendiri. Pada dasarnya mantuq itu dibedakan berupa nash dan zahir.
Kalangan ulama Syafi’iyah, dilâlah lafal nash dibagi kepada dua
macam, yaitu dilâlat al-mantûq (‫الـمـنطوق‬ ‫ )داللـة‬dan dilâlat al-mafhûm ‫داللـة‬
)‫)الـمـفـهـوم‬. Yang dimaksud dengan dilalat al-mantuq ialah :

‫داللـة الـمـنطوق هى دال لـة اللـفـظ عـلى‬


.‫حـكـم شـئ ذكـر فى الـكآل م ونـطـق بـه‬
“Dilalat al-mantuq ialah penunjukkan lafal nash atas suatu ketetapan hukum (pengertian)
sesuai dengan apa yang diucapkan dan dituturkan langsung oleh lafal.”
Dari definisi ini dapat dipahami bahwa dilâlat al-mantûq ialah
suatu ketetapan hukum yang dapat dipahami dari penuturan langsung lafal nash secara
tekstual. Sebagai contoh dapat dilihat pada Q.S An-Nisa’ (4): 23:

‫ُم‬
ْ َْ
‫لت‬‫دخ‬َ ‫ِي‬ ‫ُم‬
‫ُ الالت‬ ‫ِك‬ ‫ْ ن‬
‫ِسَائ‬ ‫ِن‬ ‫ُم‬
‫ْ م‬ ‫ِك‬ ‫ُج‬
‫ُور‬ ‫ِي ح‬
‫ِي ف‬
‫الالت‬
“… Diharamkan bagi kamu (menikahi) anak-anak tiri yang berada dalam asuhan kamu
dari isteri-isteri yang telah kamu gauli…”
Berdasarkan ayat ini dapat dipahami bahwa mantuq-nya ialah menunjukkan secara
jelas bahwa haram menikahi anak-anak tiri yang berada dalam asuhan suami dari isteri-
isteri yang sudah digauli. Dilãlat al-mantûq dibagi kepada dua macam, yaitu; mantûq sarih
dan mantuq gairu sharih.

a) Mantûq Sarih
Menurut Wahbah Zuhaili, yang dimaksud dengan mantûq sharih ialah penunjukkan
lafal nash yang jelas secara langsung tercakup dalam ungkapan lafal nash. Manthuq
syarih dalam istilah ulama Syafi’iyah ini adalah apa yang di istilahkan dengan dilalah
ibarah dalam pengertian ulama Hanafiyah.
Pada dasarnya mantuq ada yang berupa nas, zahir:
Nash
Adalah lafadz yang bentuknya telah dapat menunjukkan makna yang secara
tegas dan tidak mengandung kemungkinan makna lain. Seperti firman Allah swt.
dalam Surat al-Baqarah: 196

‫َة‬
ٍ ‫َسَب‬
‫ْع‬ ‫َجِ و‬ ْ ‫ِي‬
‫الح‬ ‫ٍ ف‬ ََّ
‫يام‬ ‫ِ أ‬ َ ‫ث‬
‫الثة‬ َ ُ
‫َام‬‫ِي‬‫َص‬
‫د ف‬ِْ‫يج‬
َ ْ‫ْ َلم‬
‫َن‬‫َم‬‫ف‬
َ
‫ِلة‬‫َام‬‫َة ك‬ ‫َشَر‬ ْ‫ْ ت‬
‫ِلكَ ع‬ ‫ُم‬
‫ْت‬ ‫َج‬
‫َع‬ َ
‫ِذا ر‬ ‫إ‬
“Maka wajib berpuasa 3 hari dalam masa haji dan tujuh hari lagi apabila kamu
telah pulang kembali. Itulah sepuluh hari yang sempurna.”
Tujuan utama dari mantuq nash ialah kemandirian dalam menunjukkan makna
secara pasti.

Zahir
Adalah suatu perkara yang menunjukkan sesuatu makna yang segera dipahami
ketika ia diucapkan, tetapi disertai kemungkinan makna lain yang lemah. Seperti
firman Allah swt dalam Q.S. al-Baqarah: 173
َ
‫ْم‬ ‫ََلح‬
‫َ و‬ َّ َ
‫الدم‬ ‫ة و‬ ََ
‫ْت‬‫َي‬ ْ
‫الم‬ ‫ُم‬
ُ ‫ْك‬
‫لي‬ََ
‫َ ع‬ ‫َّم‬
‫َر‬‫َا ح‬ َِّ
‫نم‬ ‫إ‬
‫ُر‬
َّ ‫ْط‬
‫َنِ اض‬ ‫َم‬ َّ ِ
‫اّللِ ف‬ ‫َي‬
‫ْر‬ ِ ِ
‫لغ‬ ‫َّ ب‬
‫ِه‬ ‫ِل‬ ُ
‫ما أه‬ََ‫ِ و‬ ‫ْز‬
‫ِير‬ ْ
‫الخِن‬
‫ُور‬ ‫َف‬‫اّللَ غ‬
َّ ‫ن‬ َِّ
‫ِ إ‬‫ْه‬
‫لي‬ََ
‫َ ع‬‫ثم‬ِْ
‫َال إ‬
‫ٍ ف‬ ‫َاد‬
‫َال ع‬
‫ٍ و‬ َ َ
‫باغ‬ ‫َي‬
‫ْر‬ ‫غ‬
‫َحِيم‬‫ر‬
“Sesungguhnya Allah hanya mengharamkan bagimu bangkai, darah, daging babi,
dan binatang yang (ketika disembelih) disebut (nama) selain Allah[108]. tetapi
Barangsiapa dalam Keadaan terpaksa (memakannya) sedang Dia tidak
menginginkannya dan tidak (pula) melampaui batas, Maka tidak ada dosa baginya.
Sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.”
b) Mantûq Ghairu Sarih
Mantuq gairu sharih ialah penunjukkan lafal nash yang tidak jelas. Dan terbagi
menjadi 3 macam:
1) Dalalat al-Ima’, yaitu suatu pengertian yang bukan ditunjukkan langsung oleh
suatu lafal, tetapi melalui pengertian logisnya karena memyebutkan suatu hukum
langsung setelah menyebut suatu sifat atau peristiwa.
Misalnya, hadits yang riwayat Ahmad dan Tirmidzi dari Sa’id bin Zaid bahwa
Rasulullah saw. bersabda:

‫ْه‬
ِ ََ
‫لي‬ َّ
‫اّللُ ع‬ ‫لى‬ََّ
‫ِيِ ص‬ ‫ْ الن‬
‫َّب‬ ‫َن‬ َّ
‫اّللِ ع‬ ‫ْد‬
ِ ‫َب‬ ِْ
‫بنِ ع‬ ‫ِر‬ ‫ْ ج‬
‫َاب‬ ‫َن‬
‫ع‬
‫ه {رواه‬ ُ‫ِيَ َل‬‫َه‬
‫ة ف‬ًَ
‫ميِت‬َ ‫ًا‬
‫ْض‬ َ
‫ْيَ أر‬ َ
‫ْ أح‬‫ِن‬ َ‫َا‬
‫ل م‬ ‫َ ق‬ ََّ‫َس‬
‫لم‬ ‫و‬
}‫الترمذى‬
“Dari Jabir bin Abdillah, dari Nabi Muhammad saw. bersabda: Barangsiapa
yangmenghidupkan (mulai mengelolah) tanah yang sudah mati, maka tanah itu
menjadi miliknya.” ( HR. At-Tirmidzi)
Hadits tersebut di samping menunjukkan hukum melalui mantuqnya seperti yang
jelas tertulis, juga melalui dalalat al-ima’nya, yaitu bahawa aktivitas menghidupkan
tanah mati itulah yang menjadi illatnya bagi pemilikan tanah untuknya.
2) Dalalat al-Isyarah adalah suatu pengertian yang ditunjukkan oleh suatu redaksi,
namun bukan pengertian aslinya, tetapi merupakan suatu kemestian atau
konsekuensi dari hukum yang ditunjukkan oleh redaksi itu.
Contohnya dalam surat Al-Luqman ayat 14:
ََ
‫لى‬ ‫ًا ع‬
‫هن‬َْ ُ‫م‬
‫ه و‬ ُُّ ُْ
‫ه أ‬ ََ
‫لت‬ ‫َم‬
‫ِ ح‬
‫يه‬ َ‫ل‬
ْ‫د‬ ِ‫َا‬
‫ِو‬‫ن ب‬ ْ
َ‫اإلنسَا‬ ‫َا‬‫ْن‬ ‫َص‬
‫َّي‬ ‫َو‬
‫و‬
ِ‫ْن‬ َ‫َا‬
‫مي‬ ‫ِي ع‬
‫ه ف‬ َُ
ُ‫ال‬ ‫َف‬
‫ِص‬ ‫هنٍ و‬َْ
‫و‬
“Dan kami perintahkan kepada manusia (berbuat baik) kepada dua orang ibu
bapaknya; ibunya telah mengandungnya dalam keadaan lemah yang bertambah-
tambah, dan menyapihnya dalam dua tahun”
3) Dalalat al-Iqtida’ adalah pengertian kata yang disisipkan secara tersirat (dalam
pemahaman) pada redaksi tertentu yang tidak bisa dipaami secara lurus kecuali
dengan adanya penyisipan itu.
Contohnya sebuah hadits Rasulullah menjelaskan:

ِ‫ل اّلل‬ُْ‫َسُو‬
‫ل ر‬َ‫َا‬‫ل ق‬ َ‫َا‬ ‫ِ يٍ ق‬ ‫َار‬
‫ِف‬ ْ ٍ
‫الغ‬ ‫َر‬‫ِي ذ‬ ‫َب‬‫ْ أ‬‫َن‬‫ع‬
‫ِي‬ َُّ
‫مت‬ ‫ْ أ‬‫َن‬‫َ ع‬
‫َز‬‫َاو‬‫تج‬ َِّ
َ َ‫ن اّلل‬ ‫َ إ‬ ََّ‫َس‬
‫لم‬ ‫ِ و‬‫ْه‬ ََ
‫لي‬ ‫لى اّللُ ع‬ََّ
‫ص‬
‫ْه‬
ِ ََ
‫لي‬ ‫َا ع‬ ُِ
‫هو‬ ‫ْر‬
‫َك‬‫ما اسْت‬ ََ‫ن و‬ َ‫َا‬ ‫َالن‬
‫ِسْي‬ ‫َ و‬ ‫َأ‬ ْ
‫الخَط‬
}‫{رواه ابن ماجه‬
“Dari Abu Dzar al-Ghiffari berkata, Rasulullah SAW bersabda: Sesungguhnya
Allah mengangkat dari umatku tersalah, lupa dan keterpaksaan.” (HR. Ibnu
Majah)
Hadits tersebut secara jelas menunjukkan bahwa tersalah, lupa dan keterpaksaan
diangkatkan dari umat Muhammad saw. pengertian tersebut sudah jelas ridak lurus,
karena bertentangan dengan kenyataan. Untuk meluruskan maknanya perlu
disisipkan secara tersirat kata al-ism (dosa) atau al-hukm (hukum), sehingga
demikian arti hadits menjadi : diangkatkan dari umatku (dosa atau hukum)
perbuatan tersalah, karena lupa atau karena keterpaksaan.
Mafhum dan Pembagiannya
Mafhum secara bahasa adalah sesuatu yang dipahami dari suatu teks, sedangkan
menurut istilah adalah “pengertian tersirat dari suatu lafal (mahfum muwafaqah) atau
pengertian kebalikan dari pengertian lafal yang diucapkan (mafhum mukhalafah).
Tegasnya, dilālat al-mafhūm itu adalah penunjukkan lafal nash atas suatu ketentuan
hukum yang didasarkan atas pemahaman dibalik yang tersurat.
Contohnya Q.S al-Isra’ ayat 23:
‫َا‬
‫هم‬ُْ
‫هر‬َْ
‫تن‬ ‫ُفٍ و‬
َ ‫َال‬ ‫َا أ‬
‫هم‬ُ‫ْ َل‬
‫ُل‬ َ ‫َال‬
‫تق‬ ‫ف‬
“Jangan kamu mengucapkan kepada kedua ibu bapakmu ucapan “uf” dan janganlah
kamu membentak keduanya”.
Hukum yang tersurat dalam ayat tersebut adalah larangan mengucapkan kata kasar
“uf” dan menghardik orang tua. Dari ayat itu juga dapat dipahami adanya ketentuan
hukum yang tidak disebutkan (tersirat) dalam ayat tersebut, yaitu haramnya memukul
orang tua dan perbuatan lain yang menyakiti orang tua.
Mafhum dapat dibagi kepada dua macam, yaitu mafhum muwafaqah dan mafhum
mukhalafah.
a) Mafhum Muwafaqah
Adalah suatu petunjuk kalimat yang menunjukkan bahwa hukum yang tertulis pada
kalimat itu berlaku pada masalah yang tidak tertulis, dan hukum yang tertulis ini
sesuai dengan masalah yang tidak tertulis karena ada persamaan dalam maknanya.
Disebut mafhum muwafaqah karena hukum yang tidak tertulis sesuai dengan hukum
yang tertulis.
Mafhum muwafaqah dibagi menjadi dua bagian:
1) Fahwal Khitab, yaitu apabila yang dipahamkan lebih utama hukumnya daripada
yang diucapkan.
Contohnya firman Allah swt dalam QS. Al-Isra’ ayat 23:
ٍ‫ُف‬
‫َا أ‬
‫هم‬ُ‫ْ َل‬
‫ُل‬ َ ‫َال‬
‫تق‬ ‫ف‬
“Janganlah kamu mengatakan kata-kata keji kepada dua orang ibu bapakmu.”
Sedangkan kata-kata keji saja tidak boleh (dilarang) apalagi memukulnya.
2) Lahnal Khitab, yaitu apabila yang tidak diucapkan sama hukumnya dengan yang
diucapkan.
Seperti firman Allah swt.:

‫َا‬
‫نم‬َِّ
‫ًا إ‬ ‫لم‬ُْ
‫َى ظ‬ ‫َم‬ ‫ل اْلي‬
‫َت‬ َ‫َا‬
‫مو‬َْ
‫ن أ‬َْ ُُ
‫لو‬ ‫ْك‬
‫يأ‬َ َ
‫ين‬ِْ َّ
‫الذ‬ ‫إِن‬
‫ًا‬
‫ْر‬ ‫ن سَع‬
‫ِي‬ َْ
‫لو‬َْ
‫َص‬‫َسَي‬
‫ًاصلى و‬
‫نار‬َ ْ
‫ِم‬ ‫ْن‬
‫ِه‬ ‫ُو‬
‫بط‬ُ ‫ِى‬
‫ن ف‬َْ
‫لو‬ُُ ْ
‫يأك‬َ
“Sesungguhnya orang-orang yang memakan harta benda anak yatim secara
aniaya sebenarnya memakan api kedalam perut mereka”.
Membakar atau setiap cara yang menghabiskan harta anak yatim sama hukumnya
dengan memakan harta anak yatim, yang berartti dilarang (haram).
b) Mafhum mukhalafah
Adalah pengertian yang dipahami berbeda dengan ucapan, baik dalam istinbat
(menetapkan) maupun nafi (meniadakan). Oleh karena itu, hal yang dipahami selalu
kebalikannya daripada bunyi lafal yang diucapkan. Seperti dalam firman Allah
swt pada QS. al-Jum’ah ayat 9:
‫َِلى‬ ‫َو‬
‫ْا إ‬ ‫َاسْع‬ ‫َة‬
‫ِ ف‬ ‫ُع‬
‫ُم‬ ْ ِ
‫الج‬ ‫ْم‬
‫يو‬َ ْ
‫ِن‬‫ِ م‬‫َّالة‬
‫ِلص‬‫ِيَ ل‬‫نود‬ ُ ‫َا‬‫ِذ‬‫إ‬
َ
‫ْع‬‫َي‬ ْ ‫ُوا‬
‫الب‬ َ
‫َذر‬ َّ ِ
‫اّللِ و‬ ‫ْر‬
‫ِك‬‫ذ‬
“Apabila kamu dipanggil untuk mengerjakan sholat pada hari jum’at, maka
bersegeralah kamu mengerjakan dan tinggalkan jual beli.”
Dapat dipahami dari ayat ini, bahwa boleh jual beli di hari jum’at sebelum adzan si
mu’adzin dan sesudah mengerjakan sholat.
Mafhum mukhalafah sendiri terbagi menjadi :
 Mafhum al-Washfi (pemahaman dengan sifat) adalah petunjuk yang dibatasi oleh
sifat, menghubungkan hukum sesuatu kepada syah satu sifatnya.
Dalam mafhum sifat terdapat tiga bagian, yaitu mushtaq, hal (keterangan keadaan)
dan ‘adad (bilangan). Misalnya pada sabda Rasulullah saw.:
‫َة‬
ِ ‫َكا‬ ‫َة‬
‫ِ ز‬ ‫ِي السَّائ‬
‫ِم‬ ‫ف‬
“Para binatang yang digembalakan itu ada kewajiban zakat”
Mafhum mukhalafahnya adalah binatang yang diberi makan, bukan yang
digembalakan.
Mafhum sifat ada 3 macam:
1) Mustaq dalam ayat.
Contohnya dalam QS. Al-Hujarat ayat 6:

ٍَ
‫إ‬ ‫َب‬
‫ِن‬‫ِق ب‬‫َاس‬‫ْ ف‬ ‫ُم‬
‫ءك‬َ‫َا‬
‫ن ج‬ِْ‫ُوا إ‬ َ‫َ آ‬
‫من‬ ‫ِين‬ َّ ‫ها‬
‫الذ‬ َ‫ي‬َُّ
‫يا أ‬ َ
‫لى‬ََ
‫ُوا ع‬‫ِح‬ ‫ُص‬
‫ْب‬ ‫َت‬
‫ٍ ف‬ َ ‫ه‬
‫الة‬ ََ‫ِج‬
‫ما ب‬ ‫َو‬
ًْ ‫ُوا ق‬
‫ِيب‬ ُ ‫ن‬
‫تص‬ َ
ْ‫ُوا أ‬ ‫َي‬
‫َّن‬ ‫َت‬
‫َب‬ ‫ف‬
َ
‫ِين‬‫ِم‬
‫ناد‬ َ ْ‫ُم‬
‫لت‬َْ‫َع‬‫ما ف‬ َ
“Hai orang-orang yang beriman, jika datang kepadamu orang-orang fasiq
membawa suatu berita, maka periksalah dengan teliti agar kamu tidak
menimpakan suatu musibah kepada suatu kaum tanpa mengetahui keadaannya
yang menyebabkan kamu menyesal atas perbuatanmu itu.”
Dapat dipahami dari ungkapan kata ‘fasiq’ ialah orang yang tidak wajib
ditelliti beritanya. Ini berarti bahwa berita yang disampaikan oleh seseorang
yang adil wajib diterima.
2) Hal (keterangan keadaan)
Seperti fiman Allah, QS. Al-Maidah ayat 95:
َْ
‫د‬ ‫َّي‬
‫لوا الص‬ ُُ‫ْت‬
‫تق‬َ ‫ُوا ال‬ َ‫َ آ‬
‫من‬ ‫ِين‬ َّ ‫ها‬
‫الذ‬ َ‫ي‬َُّ
‫يا أ‬ َ
‫دا‬ًِ
‫َم‬ ‫َع‬‫مت‬ُ ْ ‫ُم‬
‫ْك‬‫ِن‬‫ه م‬ ََ
ُ‫ل‬ ‫َت‬‫ْ ق‬ ‫من‬ ََ
‫ُم و‬ ‫ْ ح‬
‫ُر‬ ‫ُم‬
‫نت‬َْ
‫َأ‬‫و‬
ِ
‫ِه‬‫ُ ب‬ ‫ُم‬‫ْك‬‫يح‬َ ِ‫َم‬ ‫َ الن‬
‫َّع‬ ‫ِن‬‫َ م‬ ‫َت‬
‫َل‬ ‫ما ق‬ َ ُ ‫ْل‬
‫ِث‬‫َاء م‬ ‫َج‬
‫َز‬ ‫ف‬
َْ
‫ِ أو‬ ‫َة‬ ‫َع‬
‫ْب‬ ْ َ
‫الك‬ ‫لغ‬ِ‫با‬ َ ‫يا‬ ْ‫ه‬
ً‫د‬ َ ْ ‫ُم‬‫ْك‬
‫ِن‬‫ٍ م‬ ‫دل‬َْ‫َا ع‬ ‫َو‬‫ذ‬
‫ما‬ً‫َا‬ ‫ِي‬‫ِكَ ص‬‫َل‬
‫ل ذ‬ ُ‫د‬
َْ‫ْ ع‬ َ
‫َ أو‬ ‫ِين‬‫مسَاك‬َ ُ ‫َام‬‫َع‬‫َة ط‬ ‫َف‬
‫َّار‬ ‫ك‬
ْ
‫من‬ََ
‫َ و‬ ‫لف‬ََ‫َّا س‬
‫َم‬ َّ ‫َا‬
‫اّللُ ع‬ ‫َف‬‫ِ ع‬‫ِه‬‫مر‬ َ
ْ‫ل أ‬ َ‫با‬ََ‫َ و‬ ‫ذوق‬َُ
‫لي‬ِ
‫ُو‬‫ِيز ذ‬ ‫َز‬ َّ َ
‫اّللُ ع‬ ‫ه و‬ ُْ
‫ِن‬ َّ
‫اّللُ م‬ ُ ‫َق‬
‫ِم‬ ‫ْت‬
‫َن‬‫َي‬‫د ف‬ َ‫َا‬‫ع‬
‫َام‬
ٍ ‫ِق‬ ْ
‫انت‬
“Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu membunuh binatang
buruan, ketika kamu sedang ihram. Barangsiapa diantara kamu
membunuhnya dengan sengaja, maka dendanya ialah mengganti dengan
binatang ternak seimbang dengan buruan yang dibunuhnya, menurut putusan
dua orang yang adil diantara kamu sebagai had-yad yang dibawa sampai ke
Ka’bah atau (dendanya) membayar kaffarat dengan memberi makanan orang-
orang miskin atau berpuasa seimbang dengan makanan yang dikeluarkan itu,
supaya dia merasakan akibat buruk dari perbuatannya. Allah telah
memaafkan apa yang telah lalu dan barangsiapa yang kembali
mengerjakannya, niscaya Allah akan menyiksanya, Allah Maha Kuasa lagi
mempunyai (kekuasaan untuk) menyiksa.”
Ayat ini menunjukkan tiadanya hukum bagi orang yang membunuhnya karena
tak sengaja. Sebab penentuan “sengaja” dengan kewajiban membayar denda
dalam pembunuhan binatang buruan tidak sengaja.
3) ‘Adad (bilangan)
Seperti firman Allah dalam QS. Al-Baqarah ayat 197:

‫َج‬
َّ ْ َّ
‫الح‬ ‫ِن‬‫ِيه‬‫َضَ ف‬‫َر‬
‫ْ ف‬ ‫َن‬‫َم‬‫مات ف‬ َ‫لو‬ُْ
‫مع‬َ ‫هر‬ُْ‫َش‬ ‫َج‬
‫ُّ أ‬ ْ
‫الح‬
‫ما‬ ََ
‫َجِ و‬ ْ ‫ِي‬
‫الح‬ ‫ل ف‬َ‫دا‬ َِ‫َال ج‬‫َ و‬‫ُسُوق‬ ‫َ و‬
‫َال ف‬ ‫َث‬ ‫َال ر‬
‫َف‬ ‫ف‬
َّ‫إ‬
‫ن‬ َِ
‫دوا ف‬ ‫َو‬
َُّ ََ
‫تز‬ َّ ‫ه‬
‫اّللُ و‬ ُْ َْ
‫لم‬ َ ٍ
‫يع‬ ‫َي‬
‫ْر‬ ‫ْ خ‬‫ِن‬
‫لوا م‬ َُ ‫ْع‬
‫تف‬َ
‫ِي‬ ُ
‫يا أول‬ َ ِ‫ُون‬ َّ َ
‫اتق‬ ‫َى و‬ ‫ْو‬‫َّق‬
‫ِ الت‬ ‫َّاد‬
‫َ الز‬ ‫َي‬
‫ْر‬ ‫خ‬
ِ‫َاب‬ ْ
‫األلب‬
“(Musim) haji adalah beberapa bulan yang dimaklumi, barangsiapa yang
menetapkan niatnya dalam bulan itu akan mengerjakan haji, maka tidak boleh
rafats, berbuat fasikh dan berbantah-bantahan di dalam masa mengerjakan
haji dan apa yang kamu kerjakan berupa kebaikan, niscaya Allah
mengetahuinya. Berbekallah dan sesungguhnya sebaik-baik bekal adalah
taqwa dan bertaqwalah kepada-Ku, hai orang-orang yang berakal.”
Mafhumnya ialah melakukan ihram diluar bulan-bulan itu tidak syah.
 Mafhum illat adalah menghubungkan hukum sesuatu karena illatnya.
Mengharamkan minuman keras karena memabukkan.
 Mafhum ghayah (pemahaman dengan batas akhir) adalah lafal yang menunjukkan
hukum sampai pada ghayah (batasan, hinggaan), hingga lafal ghayah ini ada
kalanya dengan “illa” dan dengan “hatta’. Seperti dalam firman Allah SWT dalam
surat al-Maidah ayat 6:
‫ُم‬
ْ َْ
‫هك‬ ‫ُج‬
‫ُو‬ ‫و‬ ‫ْا‬
‫ِلو‬ ‫َغ‬
ُ‫ْس‬ ‫فا‬ ِ ََّ
‫لوة‬ ‫ِلىَ الص‬ ‫ْ ا‬ ‫ْت‬
‫ُم‬ ‫ُن‬‫ق‬ ‫َا‬
‫ِذ‬‫ا‬
....ِ ‫َاف‬
‫ِق‬ ‫َر‬ ْ َ‫ِلى‬
‫الم‬ ‫ْ أ‬‫ُم‬ َِ
‫يك‬ َْ
‫يد‬‫وا‬
“Bila kamu hendak nmengerjakan sholat, maka basuhlah mukamu dan tanganmu
sampai kepada siku”.
Mafhum mukhalafahnya adalah membasuh tangan sampai kepada siku.
 Mahfum laqaab (pemahaman dengan julukan) adalah menggantungkan hukum
kepada isim alam atau isim fiil. Seperti firman Allah SWT:
‫ُم‬
ْ ُ‫ها‬
‫تك‬ َ‫م‬َُّ ‫ُم‬
‫ْ أ‬ ‫ْك‬
‫لي‬ََ
‫ْ ع‬
‫مت‬َِ
‫ُر‬‫ح‬
“Diharamkan atas kamu (mengawini) ibu-ibumu.” Mafhum mukhalafahnya adalah
selain para ibu.
 Mafhum hasr adalah pembatasan. Seperti dalam firman Allah swt.:
ُ
‫ْن‬ ‫َع‬
‫ِي‬ َ َ
‫نسْت‬ َِّ
‫ياك‬ ُُ
‫د وإ‬ ‫ْب‬
‫نع‬َ َ َِّ
‫ياك‬ ‫إ‬
“Hanya Engkaulah yang kami sembah, dan hanya kepada Engkaulah kami
meminta pertolongan.”
Mafhum mukhalafahnya adalah bahwa selain Allah tidak disembah dan tidak
dimintai pertolongan. Oleh karrena itu, ayat tersebut menunjukkan bahwa hanya
Dia-lah yang berhak disembah dan dimintai pertolongan.[xii]
 Mafhum syarat adalah petunjuk lafadz yang memberi fadah adanya hukum yang
dihubungkan dengan syarat supaya dapat berlaku hukum yang sebaliknya. Seperti
dalam surat al-Thalaq ayat 6:
...َّ
‫ِن‬ ‫ْه‬
‫لي‬ََ ‫ُو‬
‫ْا ع‬ ‫ِق‬
‫نف‬َْ
‫َأ‬ ‫ْل‬
‫ٍ ف‬ ‫ُوالَتِ ح‬
‫َم‬ ‫َّ أ‬
‫ُن‬ ِْ
‫ن ك‬‫َإ‬‫و‬...
“...Dan jika mereka (istri-istri yang sudah ditalak) itu sedang hamil, maka
berikanlah kepada mererka nafkahnya.”
Mafhum mukhalafahnya adalah istri-istri tertalak itu tidak sedang hamil, tidak
wajib diberi nafkah.

Kehujjahan
Mantuq sudah jelas bisa dijadikan hujjah, karena lafalnya yang jelas. Begitu juga
dengan mafhum muwafaqah. Para ulama’ bersepakat, bahwa semua mafhum bisa
dijadikan sebagai hujjah kecuali mafhum laqaab. Hal ini disebabkan karena penyebutan
isim ‘alam atau isim jenis itu sekedar untuk penyebutan adanya hukum padanya bukan
untuk membatasi atau mengkhususkan berlakunya hukum padanya saja. Oleh karena itu,
dalam hal ini tidak dapat diberlakukan hukum sebaliknya, kecuali jika ada dalil lain yang
menentukannya. Seperti firman Allah : “Muhammad adalah utusan Allah.”
Ayat tersebut jika diambil mafhum mukhalafahnya akan memberikan pengertian
bahwa selain Nabi Muhammad addalah utusan Allah. Inii jelas bertentangan dengan nash
yang ada.
Berhujjah dengan mafhum masih diperselisihkan. Menurut pendapat yang paling
shahih, mafhum-mafhum tersebut boleh dijadikan hujjah (dalil, argumentasi) dengan
beberapa syarat, antara lain:
a) Apa yang disebutkan bukan dalam kerangka “kebiasaan” yang umum. Misalnya
“yang ada dalam pemeliharaanmu” dalam QS. An-Nisa’ :23 yang artinya “... dan
anak-anak perempuan dan istri-istrimu yang ada dalam pemeliharaanmu...”, ini tidak
ada mafhumnya (maksudnya ayat ini tidak dapat dipahami bahwa anak tiri yang tidak
dalam pemeliharaan ayah tirinya boleh dinikahi), sebab pada umumnya anak-anak
perempouan istri kitu berada dalam pemeliharaan suami.
b) Apa yang disebutkan itu tidak untuk menjelaskan suatu realita. Seperti firman Allah
QS. Al-Mu’minin: 117 ; yang artinya “ Dan barangsiapa menyembah Tuhan yang lain
di samping Allah, padahal tidak ada suatu dalilpun baginya tentang itu, maka
sesungguhnya perhitungan di sisi Tuhannya. Sesungguhnya orang-orang yang kafir
itu tiada beruntung.”
Dalam kenyataannya Tuhan manapun selain dari Allah tidak ada dalilnya. Jadi kata-
kata “ padahal tidak ada satu dalilpun baginya tentang itu” adalah suatu sifat yang
pasti yang didatangkan untuk memperkuat realita realita dan untuk menghinkan orang
yang menyembah Tuhan di samping Allah, bukan untuk pengertian bahwa
menyembah Tuhan-tuhan itu boleh asal dapat ditegakkan dalilnya.

3. Penjelasan Am dan Khash


'Am adalah suatu bentuk lafazh yang menunjukkan makna syumul (global) tanpa ada
penjelasan tertentu yang membatasi makna itu. ‘Am menurut istilah Ushul Fiqh ialah:
ٍِ‫َاح‬
‫د‬ ‫ْع‬
‫ٍ و‬ ‫َض‬
‫َسْبِ و‬
‫ِح‬ ‫ْح‬
‫ُ ب‬ ُْ
‫لو‬ ََ
‫يص‬ ‫ْع‬
‫ِ ما‬ ‫َم‬
‫ِي‬ ِ ُ
‫لج‬ ‫ِق‬‫ْر‬
‫َغ‬ ‫ْلم‬
‫ُسْت‬ ‫ُ ا‬ ‫ْظ‬ َّ
‫الف‬
ًَ
‫ة‬ ‫ْع‬
‫دف‬َ
“Lafal yang mencakup semua apa saja yang masuk padanya dengan satu ketetapan dan
sekaligus”.[1]
Contoh lafaz Am seperti lafaz “laki-laki” ( ُ‫الرجاَل‬
ِّ ) dalam lafaz tersebut mencakup semua
َّ
laki-laki. Atau lafaz “manusia” ( ُ‫ ) الناس‬itu mencakup semua manusia.
Lafaz umum dapat dibagi menjadi tiga macam :
a) Lafaz umum yang tidak mungkin di Takhsiskan seperti dalam firman Allah :
ُ
‫لم‬َْ
‫يع‬ََ
‫و‬ َُ
‫ها‬ ‫ْق‬
‫ِز‬ َّ
‫اّللِ ر‬ ‫لى‬ََ
‫ع‬ َِّ
‫ال‬ ‫ض إ‬ ‫األَر‬
ِْ ْ ‫ِي‬ ‫ٍ ف‬ َّ ‫د‬
‫ابة‬ َ ْ ‫ِن‬‫م‬ ََ
‫ما‬ ‫و‬
ٍ‫ِين‬ ُ ٍ‫َاب‬
‫مب‬ ‫ِت‬
‫ِي ك‬‫ف‬ ‫ُل‬
ٌّ ََ
‫ها ك‬ ‫دع‬ ‫َو‬
َْ َُ
‫مسْت‬ ‫ها و‬ ‫َر‬
ََّ ‫َق‬
‫مسْت‬ُ
Artinya : “Dan tidak ada suatu binatang melata pun di bumi melainkan Allah-lah yang
memberi rezkinya”, (Qs. Huud.- 6)
Ayat diatas menerangkan sunnatullah yang berlaku bagi setiap mahkluk karena itu
dialahnya qath’i yang tidak rnenerima Takhsis.
b) Lafaz umum yang dimaksudkan khusus karena adanya bukti tentang kekhususannya,
seperti dalam firman Allah :
‫َي‬
...ِ‫ْت‬ ْ ُّ
‫الب‬ ‫َّاسِ حِج‬ ََ
‫لى الن‬ ََِّ
‫ّللِ ع‬ ‫و‬..
Artinya : “……mengerjakan haji adalah kewajiban manusia terhadap Allah.....”, (Q.S
Ali-Imran: 97)
Lafaz manusia dalam ayat adalah lafaz umum yang dimaksudkan adalah manusia
yang mukallaf saja karena dengan perantara akal dapat dikeluarkan dari keumuman
lafal anak kecil dan orang gila.
c) Lafaz umum yang khusus seperti lafaz umum yang tidak ditemui tanda yang
menunjukan di Takhsis seperti dalam firman Allah :
ٍُ
‫ء‬ ‫ُر‬
‫ُو‬ َ‫ث‬
‫ة ق‬ ََ‫ثال‬
َ َّ
‫ِن‬ ‫ُس‬
‫ِه‬ َْ
‫نف‬ ‫َ ب‬
‫ِأ‬ ‫ْن‬ ََ
‫بص‬ ‫َر‬
‫يت‬ ‫َت‬
َ ُ ََّ
‫لق‬ ‫ُط‬‫ْلم‬
‫َا‬‫و‬
Artinya : “Wanita-wanita yang ditalak hendaklah menahan (menunggu) tiga kali
quru”.

Khash
Khas adalah “Isim Fa’il” yang berasal dari kata kerja : َُ‫ َخصَّص‬yang berarti
“mengkhususkan ata menentukan”. Khash menurut istilah ushul fiqh, adalah :

ٍَ
‫ص‬ ‫ْر‬
‫ِ خ‬ ‫َي‬
‫ْ غ‬
‫ِن‬‫ً م‬ ‫َع‬
‫َدا‬ ‫َصا‬ ‫َي‬
‫ْنِ ف‬ ًَ
‫ة سَي‬
‫ْئ‬ ‫ْع‬
‫دف‬ َُ
َ ‫ل‬ ‫َو‬
‫َنا‬
‫يت‬َ َ‫ماال‬
َ
Artinya : Sesuatu yang tidak mencapai sekaligus dua atau lebih tanpa batas.
Adapun yang dimaksudkan dengan Takhsis dalam iatilah ushul fiqh adalah :

‫ير‬
ِ ‫ْد‬
ِْ َ َ‫َلى‬
‫تق‬ ‫ْم‬
‫ِ ع‬ ‫ُو‬
‫ُم‬ ْ َ
‫الع‬ ‫ْت‬
‫تح‬َ ً‫َخِال‬ ََ
‫ن دا‬ ‫ض كا‬ِْ‫بع‬ ‫َج‬
َ ُ ‫ْرا‬
‫ِح‬‫إ‬
.‫ص‬ ‫ُخَص‬
َِّ ‫ِ الم‬ ََ
‫دم‬ ‫ع‬
Artinya: “mengeluarkan sebagian apa-apa yang termasuk dalam yang umum itu menurut
ukuran ketika tidak terdapat mukhasis”.

Contoh Penyelesaian Hadits ‘Am Dan Khash


Hadits pertama dari Salim bin ‘Abdillah yang berbunyi :
‫فيما سقت السماء العشر‬
Artinya: “Tanaman yang dengan siraman hujan, (zakatnya) adalah seper sepuluh
(l0%)” (HR. Bukhari dan Muslim)
Hadits kedua dari Abi Sa’id yang berbunyi :
‫ليس فيما دون خمسة اوسق صدقة‬
Artinya : “Tidak wajib zakat (tanaman) yang kurang lima wasaq” (HR. Bukhari dan
Muslim)

Bentuk pertentangan :
a) Hadits pertama riwayat dari Salim mengatakan bahwa tanaman yang tumbuh lewat
siraman air hujan adalah 10% dari hasilnya, baik itu banyak maupun sedikit.
b) Hadits kedua riwayat dari Abu Sa’id mengatakan wajib zakatnya apabila telah
mencapai 5 Wasaq.
Penyelesaian masalah :
Para ulama membagi penyelesaian masalah ini menjadi dua mazhab :
a) Mazhab yang pertama mengatakan : Dengan menggabungkan kedua hadits ini dan
membawa permasalahan kedalam kaidah ‘Am dan Khash, maka bisa dilihat bahwa
hadits yang diriwayatkan oleh Salim adalah hadits ‘am sedangkan hadits yang
diriwayatkan oleh Abi Sa’id adalah hadits khash. Maka digunakan kaidah Takhsis lil
‘am, diperoleh hukum wajib zakat terhadap tanaman itu apabila hasil panennya telah
mencapai lima wasaq. Dan ini merupakan mazhab jumhur dari ulama Syafi’iah,
Malikiah, Hanabillah, Zaidiah, Ibadiah, Zhahiriah dan lain sebagainya.
b) Mazhab yang kedua mengatakan : Condong mengambil tarjih dalam menyelesaikan
hadits itu, maka dijelaskan mana hadits yang ‘am, karena hadits salim itu hadits yang
masyhur dibandingkan hadits abi Sa’id, karena hadits Abi Sa’id itu khobar ahad.
Mereka berkata : sesungguhnya zakat itu wajib dari apa-apa saja hasil yang keluar
dari bumi baik sedikit maupun banyak berdasarkan hadits dari salim, dan
mena’wilkan hadits Abi Sa’id yang khash itu, menjadikannya dalam zakat Tijarah dan
itu merupakan pendapat mazhab Abu Hanifah. Berkata imam Syarkhasi, Abu Hanifah
mengatakan sesungguhnya mereka pada waktu itu berjual beli dengan ukuran wasaq,
sebagaimana tersebut dalam hadits : “Lima wasaq itu dua ratus dirham”.

4. Penjelasan Muthlaq dan Muqayyad

Muthlaq :
‫او‬ ‫قيد‬ ‫غير‬ ‫من‬ ‫الماهية‬ ‫على‬ ‫اللفظ الدال‬
‫يقلل من شيوعه‬
“Suatu lafazh yang tidak memiliki batasan yang meminimalisir makna lafazh itu. Mutlak
adalah lafad yang mencangkup pada jenisnya tetapi tidak mencakup seluruh afrad
didalamya”.
Dengan definisi tersebut jelaslah bahwa mutlaq adalah lafadz yang mencakup pada
jenisnya tetapi tidak mencakup seluruh afrad di dalamnya. Disinilah di antara letak
perbedaan lafadz mutlaq dengan lafadz ‘am. Sebagai contoh kata “Aidiikum” dalam ayat :

‫َيِب‬
‫ًا‬ ‫ط‬ ً‫ِي‬
‫دا‬ ‫َع‬‫ص‬ ‫َم‬
‫َّم‬
‫ُوا‬ ‫َت‬
‫َي‬ ‫ء ف‬ ً‫ما‬َ ‫دوا‬ َ ْ
ُِ‫تج‬ ََ
‫لم‬ ‫ف‬...
...ْ ‫ُم‬‫ِيك‬
‫يد‬ َ
ْ‫َأ‬ ‫ُم‬
‫ْ و‬ ‫ِك‬ ‫ُج‬
‫ُوه‬ ‫ِو‬
‫ُوا ب‬ ْ‫َا‬
‫مسَح‬ ‫ف‬
Artinya : Apbila kamu tidak menemui air, maka bertayamumlah dengan debu yang suci,
maka usaplah mukamu dan tanganmu dengan debu itu. (QS. Anisa . 43).
Mengusap tangan dengan debu, dalam ayat ini tidaklah di batasi dengan sifat syarat
dan sebagainya yang jelas dalam tayamum itu harus mengusap tangan dengan debu.
Karena perkatan “aiidiikum“ (tanganmu) ini tidak dibatasi sampai di mana yang harus
diusap, maka bagian yang diusap adalah bagian mana saja asalkan bagian tangan, karena
itu disebut muthlaq.
Muqayyad :
‫من‬ ‫يقلل‬ ‫بقيد‬ ‫الماهية‬ ‫على‬ ‫الدال‬ ‫اللفظ‬
‫شيوعه‬
“Suatu lafazh yang menunjukkan adanya batasan yang membatasi makna lafazh itu.
Sedangkan muqoyyad, menunjukkan pada hakikat sesuatu tetapi memerhatikan beberapa
hal ,baik jumlah, sifat dan keadaan”.
Sebagai contoh :
‫َاف‬
...‫ِق‬ ‫َر‬‫الم‬ َ‫ْ ا‬
ْ ‫ِلى‬ ‫ُم‬ َِ
‫يك‬ َْ
‫يد‬‫َا‬‫و‬...
Artinya : “Basulah tanganmu sampai siku – siku”.
Contoh ini menjelaskan tentang wudhu, yaitu harus membasuh tangan sampai siku – siku.
Di sini dijelaskan lafadz “aiidiikum” ini disebut muqayyad (dibatasi), sedang lapadz “ila
al- marofiq” disebut al- qaid.
Penggunaan lafadz mutlaq dan muqayyad
a) Jika terdapat dua lafadz yang sesuai sebab dan hukumnya, maka gabungkanlah mutlaq
kepada muqayyad. Jikalau terdapat sutu tuntutan yang mutlaq dalam suatu lafadz dan
muqayyad pada lafadz yang lain .
Seperti hadis tentang kafarah puasa.
(‫صم شهرين متتبعين )متفق عليه‬
Artinya : “Puasalah kamu dua bulan berturut – turut”.

Digabungkan dengan hadis :


‫ُّ شهرين‬
‫صم‬
Artinya : berpuasalah dua bulan .
Keterangan : bahwa hadis pertama dintentukan waktunya (muqayyad) sedangkan
hadis kedua tidak ada ketentuannya (mutlaq), maka kedua hadits tersebut di
kompromikan, karena bersesuaian menurut sebab dan hukumnya.
Karena ada keterangan :
‫فى‬ ‫ااتفقا‬ ‫اذا‬ ‫المقيد‬ ‫على‬ ‫المطلق يحمل‬
‫السبب والحكم‬
Artinya : mutlaq digabungkan kepada muqayyad bila bersesuaian menurut sebab dan
hukumnya .
b) Jika tidak bersesuaian menurut sebab, maka mutlaq tidak digabungkan pada
muqayyad
‫في‬ ‫يتفق‬ ‫اذالم‬ ‫المقيد‬ ‫على‬ ‫اليحمل‬ ‫المطلق‬
‫السبب‬
Artinya : mutlaq tidak digabungkan dengan muqayyad apabila tidak bersesuaian pada
sebab.
Seperti contoh antara lafadz zhihar dengan kafarat membunuh. Firman Allah
yang artinya : “mereka yang menzhihar istrinya, kemudian mereka hendak menarik
(kembali) apa yang mereka ucapkan, maka wajib atasnya memerdekakan seorang
hamba sahaya sebelum kedua suami istri itu bercampur.
Dengan firman Allah yang artinya: “barang siapa yang membunuh orang mukmin
bersalah, maka hendaklah memerdekakan seorang hamba sahaya yang mukmin.
Kalau ayat ini berisikan hukum yang sama (sama – sama membebaskan budak),
sedangkan sebabnya berlainan, yang pertama karena zhihar dan yang kedua karena
membunuh dengan tak sengaja, maka mutlaq tidak dapat digabungkan kepada
muqayyad.

Contoh penyelesaian Muthlaq dan Muqayyad


Hadits dari Aisyah yang berbunyi :
ًِ
‫دا‬ ‫َص‬
‫َاع‬ ‫َار‬
‫ٍ ف‬ ‫ِين‬
‫ِ د‬
‫بع‬ُُ
‫ِي ر‬ َُ
‫د ف‬ ‫َع‬
‫ُ الي‬ ‫ْط‬
‫تق‬ُ
Artinya : Rasulullah memotong tangan pencuri apabila mencuri senilai seperempat dinar
ke atas. (HR. Bukhari dan Muslim).
Secara zhahir bertentangan dengan Ayat al-Qur’an :
...‫َا‬
‫هم‬ َِ
ُ‫ي‬‫يد‬َْ ‫َع‬
‫ُوا أ‬ ‫ْط‬
‫َاق‬ َُ
‫ة ف‬ ‫ِق‬ ‫ُ و‬
‫َالسَّار‬ ‫ِق‬‫َالسَّار‬
‫و‬
Artinya : Dan pencuri laki-laki dan permpuan potonglah tangan keduanya.. (QS. Al-
Maidah 38)

Maka diketahui bahwa ayat ini Muthlaq sedang hadits diatas adalah Muqoyyad,
maka diperoleh dalil bahwa hukum potong tangan berlaku apabila si pencuri mencuri
senilai seperempat dinar atau lebih.

5. Penjelasan Mujmal dan Mubayyan

Arti Mujmal menurut bahasa adalah kabur atau tidak jelas, samar-samar. Maksudnya
suatu perkara atau lafadz yang tidak jelas atau hal-hal yang memerlukan penjelasan.
Mujmal menurut istilah ushul fiqh adalah lafadz atau mantuq yang memerlukan bayan
(penjelasan).
Mujmal adalah suatu perkataan yang belum jelas maksudnya dan untuk
mengetahuinya diperlukan penjelasan dari lainnya. Penjelasan ini disebut Bayan. Dalam
arti lain, kandungan maknanya masih global dan memerlukan perincian. Ketidakjelasan
tersebut disebut ijmal.
Arti mubayyan menurut bahasa adalah yang menjelaskan. Maksudnya adalah suatu
lafadz yang mengandung penjelasan.
Mubayyan menurut istilah ushul fiqh adalah mengeluarkan sesuatu dari bentuk yang
musykil (kabur) kepada bentuk yang terang.
Mubayyan adalah suatu perkataan yang jelas maksudnya tanpa memerlukan
penjelasan dari lainnya (Saebani, 2009: 261).
Bentuk-bentuk Lafadz Mujmal dan Mubayyan

Bila dilihat dari segi bentuknya lafadz-lafadz mujmal ada dua macam, pertama
lafadz mufrad dan kedua lafadz murakkab.

1) Lafadz mufrad yakni lafadz-lafadz yang terdiri dari satu kalimat. Lafadz-lafadz
mufrad juga dilihat dari segi jenis ada tiga macam:
a) Isim artinya nama atau nama benda.
Contoh: ‫ مختار‬boleh sebagai pelaku (fa’il), dalam hal ini diartikan dengan “orang
yang memilih”, dan boleh juga sebagai maf’ul (tujuan) atau penderita, yang dalam
hal ini diartikan dengan “orang yang dipilih”.
b) Fi”il artinya kata kerja
Contoh: ‫ عسعس‬boleh diartikan dengan “datang” dan boleh juga dengan arti
“kembali’ atau “pulang”. ‫ باع‬boleh diartikan dengan “menjual” dan boleh dengan
“membeli”.
c) Huruf ( ‫ )حرف‬kalimat yang terdiri dari satu huruf, atau kalimat yang tidak akan
berarti bila tidak disambung dengan yang lainnya.
Contoh: ‫ و‬artinya ‘dan” kedudukannya boleh sebagai ataf (‫ )عطف‬artinya
penyambung, tetapi boleh juga sebagai al-Ibtida’ (‫ )االبتداء‬artinya kata awal atau
permulaan (Djalil, 2010: 110).

Yang termasuk mufrad diantaranya adalah :

 Lafadz yang diletakkan untuk dua makna secara haqiqat, yakni lafadz-lafadz yang
musytarak, seperti lafadz ‫ القرء‬yang diletakkan untuk menunjukkan makna “suci”
dan makna “haid”.
 Lafadz yang layak untuk diarahkan pada kedua makna dengan sebab adanya
musyabahah (keserupaan) dalam sebuah titik persamaan. Seperti lafadz ‫ النور‬yang
layak untuk diarahkan pada makna “akal” dan “cahaya matahari”.
 Lafadz yang layak untuk diarahkan pada kedua makna dengan sebab adanya
mumatsalah (kemiripan). Seperti lafadz ‫ الجسم‬yang layak diarahkan pada “langit’
dan “bumi”, atau benda-benda yang lain.
 Lafadz yang terkena imbas I’lal, seperti lafadz ‫ المختار‬yang diarahkan pada bentuk
isim fa’il atau isim maf’ul (Afandi dan Huda, 2013: 157 -158).

2) Lafadz-lafadz murakkab yakni lafadz-lafadz yang terdiri dari beberapa kalimat.

Sebagai contoh firman Allah yang berbunyi:

‫ البقرة‬. . .‫او يعفو الذي بيده عقدة النكاح‬


:
٢٣٧

Atau dimaafkan oleh orang yang memegang ikatan nikah… (QS. Al-Baqarah: 237)
Yang mempunyai ikatan perkawinan bisa diartikan wali atau suami, karena
maknanya tidak tunggal, berarti hukumnya belum pasti. Oleh karena itu, tidak
diamalkan sebelum ada penjelasan atau al-Bayan (Saebani, 2009: 262).

Mubayyan atau penjelasan dilihat dari segi jenisnya, terbagi kepada beberapa
macam:

a) Penjelasan denga kata-kata (‫)بيان بالقول‬

Contoh, firman Allah yang berbunyi:

‫فصيام ثالثة ايام في الحج وسبعة اذا رجعتم‬


‫البقرة‬ ...‫كاملة‬ ‫عشرة‬ ‫تلك‬
١٩٦:
“Maka wajib berpuasa tiga hari dalam waktu haji, dan tujuh hari setelah kamu
kembali. Itulah sepuluh hari yang sempurna. (QS. Al-Baqarah: 196).

Perkataan “sepuluh hari yang sempurna’ pada ayat tersebut adalah sebagai
penjelasan dari tiga dan tujuh hari yang disebutkan sebelum itu.

b) Penjelasan dengan perbuatan (‫)بيان بالفعل‬

Contoh, seperti cara-cara shalat yang harus diikuti sebagaimana yang diterangkan
dengan perbuatan beliau sendiri, sebagaimana sabdanya yang berbunyi:

. ‫اصلي‬ ‫رايتمواني‬ ‫كما‬ ‫صلوا‬


.‫حديث‬

“Shalatlah engkau sebagaimana engkau melihat aku melakukan sholat.” (hadis)

c) Penjelasan dengan tulisan/surat (‫)بيان بالكتاب‬

Contoh, seperti ukuran zakat dan diat anggota-anggota badan, banyak Nabi
melakukan dengan surat-surat, untuk dikirim ke daerah-daerah Islam di waktu itu.

d) Penjelasan-penjelasan dengan isyarat (‫)بيان باالشارة‬

Contoh, seperti penjelasan Nabi tentang jumlah hari pada bulan Ramadhan,
dengan mengucapkan

.‫وهكذا‬ ،‫وهكذا‬ ،‫هكذا‬ ‫الشهر‬


‫حديث‬

“Satu bulan itu sekian dan sekian dan sekian” (hadist).


Sewaktu Nabi mengucapkan “sekian” pertama dan kedua adalah dengan
mengangkat semua jari tangan, dan sedang waktu mengucapkan “sekian” yang
ketiga, Nabi melipatkan satu ibu jarinya. Hal tersebut merupakan isyarat yang
menunjukkan bahwa bulan Ramadhan adalah dua puluh Sembilan hari. Yang
demikianlah penjelasan dengan isyarat.

e) Penjelasan dengan meninggalkan (‫)بيان بالترك‬

Contoh, seperti yang disebutkan dalam satu riwayat oleh Jabir:

‫كان اخراج المرين من رسول هللا عليه وسلم عدم‬


‫ ابن حبان‬. ‫الوضوء مما مست النار‬
“Adalah akhir dua perkara dari Nabi SAW. (adalah) tidak mengambil wudhu
(lagi) setelah makan sesuatu yang dibakar.” (Hadist Ibnu Hibban).

Dari riwayat tersebut tampak bahwa pada mulanya, setiap makan sesuatu yang
dibakar maka Nabi SAW. Wudhu, kemudian Nabi tinggalkan, yakni Nabi tak
wudhu lagi walau makan makanan yang dibakar. Nabi meninggalkan wudhu
dalam hal tersebut, oleh ulama dikatakan sebagai penjelasan atau bayan dengan
meninggalkan (Djalil, 2010: 113- 115).

Implikasi Hukum dan Kaidah Mujmal dan Mubayyan

Hukum dan kaidah mujmal

Tentang hukum mujmal pada umumnya ulama berkata:

‫ان‬ ‫الى‬ ‫فيه‬ ‫التوقف‬ ‫المجمل‬ ‫حكم‬


‫يبين‬

“Hukum mujmal adalah tawaquf (ditunda, ditangguhkan) sampai ada atau terdapat bayan
(penjelasan).”

Maksudnya adalah apabila terdapat satu dalil yang bersifat mujmal, sedang
bayannya belum didapat atau belum ditemukan, maka dalil tersebut tidak boleh diamalkan
sebelum mendapatkan penjelasan atau bayan dari dalil tersebut.

Tapi ada sebagian ulama yang tidak sependirian dengan ketentuan di atas, antara lain
Daud Adzahiri yang berpendapat bahwa boleh mengamalkan dalil yang mujmal bila tidak
terdapat bayan atau penjelassannya. Alasaan beliau antara lain adalah tidak mungkin
terdapat dalil yang mujmal setelah Nabi wafat, karena sebelum Nabi wafat, Islam telah
disempurnakan terlebih dahulu (Djalil, 2010: 109).

Hukum menangguhkan penjelasan


Hukum menangguhkan penjelasan yang dimaksudkan di sini adalah misalnya
seorang bertanya tentang suatu perkara yang berhubungan dengan agama, dalam hal
demikian apakah kita boleh menangguhkan jawaban karena sesuatu hal, dan bagaimana
bila saat itu si penanya sangat memerlukan hukumnya.

Dilihat dari segi waktunya, maka penangguhan ada dua macam, masing-masing
terdapat ketentuan ulama:

‫ال‬ ‫الحاجة‬ ‫وقت‬ ‫عن‬ ‫البيان‬ ‫تاءخير‬


.‫يجوز‬

“Menangguhkan penjelasan dari waktu yang diperlukan tidak boleh.”

Alasan ketentuan di atas adalah, bila dalam hal demikian kita menangguhkan
penjelasan, berarti kita membenarkan seseorang berijtihad salah atau membenarkan
seseorang melakukan suatu perbuatan yang tidak sesuai dengan kehendak agama.

Di samping itu beralasan itu berlandaskan juga dengan hadits yang berasal dari
A’isyah, yang mana ketika Fatimah binti Abi Hubeisy bertanya pada Nabi ‘apakah boleh
meninggalkan sholat, karena dirinya selalu ‘istihadhah”’, yakni tidak pernah suci. Maka
Nabi menjawab:

“Tidak, itu adalah cairan dan bukan darah haid, dan bila datang haid maka tinggalkanlah
sholat, dan bila telah habis (waktu haid) maka cucilah darah itu dari dirimu dan shalatlah”
(HR. Bukhari dan Muslim).

Dari hadits ini tampak bahwa, tidak boleh ditangguhkan penjelasan pada waktu yang
diperlukan, karena bila Nabi menundanya berarti Nabi telah membenarkan orang tersebut
tidak shalat.

Oleh sebagian ulama, hadits A’isyah tersebut dipakai juga sebagai alasan, bahwa
wanita-wanita istihadhah tidak wajib bersuci setiap akan sholat.

‫الخطاب‬ ‫وقت‬ ‫عن‬ ‫البيان‬ ‫تاءخير‬


.‫يجوز‬

“Menangguhkan penjelasan dari waktu khitab (waktu berbicara) adalah boleh.”

Mereka beralasan dengan firman Allah yang berbunyi:

١١٠:‫البقرة‬...‫اقيمواالصالة‬
Dirikanlah shalat… (QS.al-Baqarah: 110)
Perintah shalat pada ayat tersebut tidaklah langsung diiringi dengan penjelasannya.
Adapun penjelasan mengenai bentuk atau tata caranya adalah kemudian, yakni dengan
cara-cara yang ditunjukkan oleh Nabi SAW. sendiri. hal tersebut menunjukkan bolehnya
menunda penjelasan atau bayan (Djalil, 2010: 111 – 113)

6. Penjelasan Dzahir dan Muawwal

Dzahir menurut istilah Ushul Fiqih adalah:


.‫المتردد بين أمرين هو فى احد هما اظهر‬
Artinya: “Kuragu-ragukan diantara dua perkara atau dua lafaz, sedangkan salah satunya
adalah lebih jelas.”
Maksudnya adalah, suatu lafazd yang bisa diartikan dengan dua makna, tetapi
tinjauan dari segi bahasa menunjukkan bahwa salah satu maknanya, artinya lebih jelas
atau lebih menonjol pada lafaz tersebut dari pada makna lainnya.
Al-Bazdawi memberikan defenisi dzhahir sebagai berikut:
.‫إسم لكل كالم ظهر المراد به للسامع بصيغته‬
Artinya: “Suatu nama bagi seluruh perkataan yang jelas maksudnya bagi pendengar,
melalui bentuk lafazh itu sendiri.”
Definisi yang lebih jelas dikemukakan oleh Al-Sarakhsi:
‫غير‬ ‫من‬ ‫السامع‬ ‫بنفس‬ ‫منه‬ ‫المراد‬ ‫ما يعرف‬
.‫تأمل‬
Artinya: “Sesuatu yang dapat diketahui maksudnya dari pendengaran itu sendiri tanpa
harus dipikirkan lebih dahulu.”
Dari defenisi diatas, dapat kita ketahui bahwa yang dimaksud dengan dzahir itu
adalah suatu lafazh yang dengan mendengarkan lafazh itu pendengar bisa langsung
mengerti apa maksudnya tanpa perlu berpikir dan tidak bergantung kepada petunjuk lain.
Hukum yang jelas itu wajib diamalkan menurut sesuatu yang tampak jelas
dari padanya. Selama tidak ada dalil yang menghendaki mengamalkan selain hukum yang
tampak jelas itu. Karena asal sesuatu itu adalah tidak memalingkan lafazh dari lahirnya,
kecuali bila ada dalil yang menghendaki hal itu. Dan bahwasannya hukum yan jelas itu
juga mungkin menerima ta’wil. Artinya memalingkan asal itu dari lahirnya, dan
menghendaki arti lain dari padanya. Maka jika yang tampak itu umum, mungkin
bisa ditakhsis, dan jika mutlak, mungkin bisa diberi ikatan dan jika hakikat, mungkin bisa
terjadi bahwa yang di makssud dengan itu adalah makna majasi. Dan takwilan yang lain-
lain.
Hukum yang jelas itu bisa menerima naskh (penghapusan). Artinya bahwa hukum
yang jelas itu pada masa terutusnya Muhammad SAW. dan pada masa pembentukan
hukum, sah dinashkh, dan disyariatkan hukum baru yang menggantikannya, selama
hukum itu tergolong hukum far’iyyah al-juz’iyyah (bagian dari masalah-masalah cabang),
dimana hukum-hukum itu bisa berubah lantaran perubahan kepentingan (mashlahah) da
bisa menerima naskh.

Pengertian Muawwal (Ta’wil)

Mu’awwal menurut kamus istilah fiqih adalah memindahkan makna lafazh (Dzahir)
Al-Qur’an kepada yang mungkin dapat diterima oleh akal dari makna harfiyahnya.
Pengertian mu’awwal dalam penggunaan istilah adalah suatu usaha untuk
memahami lafazh-lafazh (ayat-ayat) Al-Qur’an melalui pendekatan memahami arti atau
maksud sebagai kandungan dari lafazh itu. Dengan kata lain, mu’awwal berarti
mengartikan lafazh dengan beberapa alternatif kandungan makna yang bukan makna
lahiriyahya, bahkan penggunaan secara masyhur kadang-kadang diidentikkan dengan
tafsir.
Ta’wil menurut bahasa, artinya ialah menjelaskan sesuatu yang kembali kepadanya
sesuatu hal. Firman Allah dalam surat an-nisa ayat 59:
ْ
‫ُوا‬ ‫َط‬
‫ِيع‬ ‫َأ‬
‫ٱّللَ و‬
َّ ْ‫ُوا‬
‫ِيع‬‫َط‬
‫ْ أ‬ ‫ُو‬
‫َٰٓا‬ َ‫ءا‬
‫من‬ َ َ ‫ِين‬‫ٱلذ‬ َّ ‫ها‬ َُّ
َ‫ي‬ َٰٓ
َ
‫يأ‬
‫أء‬ ‫ِي شَي‬‫أ ف‬‫ُم‬
‫أت‬‫َع‬‫َز‬
‫تن‬َ ‫إن‬َِ
‫أ ف‬‫ُم‬‫ِنك‬‫ِ م‬ ‫ٱألَأ‬
‫مر‬ ‫ِي أ‬ ‫ْل‬‫ُو‬‫َأ‬ ‫ل و‬َ‫َّسُو‬
‫ٱلر‬
َّ ‫ن ب‬
ِ‫ِٱّلل‬ َ‫ُو‬‫ِن‬‫أم‬
‫تؤ‬ُ ‫أ‬‫ُم‬‫ُنت‬‫ِن ك‬‫ِ إ‬ ‫َّسُول‬‫َٱلر‬ َّ ‫َِلى‬
‫ٱّللِ و‬ ُ‫دو‬
‫ه إ‬ ُُّ‫َر‬
‫ف‬
٥٩ ‫يال‬ ‫أو‬
ً ِ ‫تأ‬َ ُ
‫أسَن‬ َ
‫َأح‬ ‫أر و‬‫َي‬ ‫ِكَ خ‬‫َل‬‫ِ ذ‬‫ٱألَٰٓخِر‬
‫ِ أ‬ ‫َو‬
‫أم‬ ‫َ أ‬
‫ٱلي‬ ‫و‬
“..........yang demikian itu lebih utama (bagimu), dan lebih baik akibatnya”

Sedangkan menurut istilah ulama’ ushul, ta’wil ialah memalingkan lafazh dari
zhahirnya lantaran ada dalil. Dan termasuk sesuatu yang telah ditetapkan, yaitu bahwa asal
sesuatu itu tidak memalingkan lafazh dari zhahirnya, tidak benar, kecuali apabila
didasarkan kepada dalil syara’ yang berupa nash atau qiyas atau didasarkan kepada jiwa
pembentukan hukum, atau prinsip-prinsip umum. Apabila takwil itu tidak didasarkan atas
dalil syara’ yang sahih, bahkan didasarkan kepada hawa nafsu, tujuan-tujuan khusus, dan
meguatkan sebagian pendapat, maka takwil itu adalah tidak benar. Bahkan mrupaka
permaian terhaadap undang-undang dan teksnya. Begitu juga apabila takwil itu
bertentangan dengan nash yang jelas (sahih). Atau berupa takwilan terhadap sesuatu yang
tidak dikandung oleh lafazh.

Bentuk-bentuk Pembentukan Hukum Dzahir dan Muawwal

a) Hukum Dzahir
Yang dimaksud dengan hukum dzahir adalah dalam hal bagaimana kita boleh
atau harus berpegang pada makna yang dzahir, dan dalam keadaan bagaimana pula
kita boleh meninggalkan arti dzahir.
Para ulama ushul fiqih memberi hukum tentang pemakaian lafaz dzahir sebagai
berikut:
‫الظا هردليل شرعي يجب اتباعه اال ايد ان يدل‬
.‫الدليل على خال فىه‬
Artinya: “Dzahir itu adalah dalil syar’i (yang) wajib diikuti, kecuali terdapat dalil
yang menunjukkan lain daripadanya.”
Maksudnya adalah apabila tidak terdapat alasan yang kuat untuk mendorong
pentakwilan sesuatu lafazh, maka lafazh dzahirnyalah yang dipakai sebagai dalil dan
yang wajib kita ikuti.
b) Hukum Mu’awwal
Landasan umum takwil adalah mengamalkan dalil sesuai konteks bahasanya dan
mengambil ketetapan hukumnya. Takwil itu mencakup berbagai kemungkinan yang
berasal dari akal, bukan bersumber dari bahasa. Takwil tidak akan ada kecuali dengan
dalil.
Untuk menghindarkan dari kesalahan dalam berijtihad, juga sebagai cara meng-
istimbath hukum dari nash dengan menggunakan takwil :
 Jika arti nash itu sudah tentu mengandung hukum, jelas dan dalalahnya qath’i,
maka tidak boleh ditakwilkan dengan akal.
 Jika arti nash yang zahir itu berarti umum, atau berarti zhanni yang tidak pasti,
wajib mengamalkan sesuai maknanya.
 Dibolehkan mengubah arti dari yang zahir kepada arti yang lain sepanjang berdasar
pada dalil, bahkan diwajibkan untuk untuk mengompromikan berbagai nash yang
saling bertentangan.

Contoh dan Kaidah-kaidah Dzahir dan Mu’awwal

a) Contoh Lafadz Dzahir

Firman Allah SWT:


‫َا‬ ‫َم‬
‫ال ك‬ َِّ
‫ن إ‬ ُ‫ُو‬
َ‫مو‬ ‫يق‬َ ‫ْ َال‬ ‫بوا‬َِ
‫ن ٱلر‬ َ‫لو‬ ُُ‫أك‬ ‫يأ‬ َ َ ‫ِين‬ َّ
‫ٱلذ‬
َ‫ِك‬ ‫َل‬
‫َسِ ذ‬ ‫َ أ‬
‫ٱلم‬ ‫ِن‬‫ُ م‬ ‫َن‬
‫أط‬‫ه ٱلشَّي‬ ُُ ‫َخَب‬
‫َّط‬ ‫يت‬َ ‫ِي‬ ‫ٱلذ‬َّ ُ ‫ُوم‬ ‫يق‬ َ
َّ
‫َل‬ َ
‫َأح‬‫ْ و‬ ‫بوا‬َِ‫ُ ٱلر‬ ‫أل‬ ‫ُ م‬
‫ِث‬ ‫أع‬ ‫َي‬ ‫َا أ‬
‫ٱلب‬ ‫نم‬ ‫ْ إ‬
َِّ ‫وا‬ ُ َ ُ‫ن‬ َ
َّ‫ِأ‬
َٰٓ‫ال‬ ‫أ ق‬ ‫هم‬ ‫ب‬
‫ِن‬ ‫َة م‬‫ِظ‬ ‫أع‬ َ ‫ه‬
‫مو‬ ُ‫ء‬
َ‫ا‬
‫ۥ‬ ََٰٓ
‫َن ج‬ ‫َم‬‫ْ ف‬ ‫بوا‬َِ
‫َ ٱلر‬ ‫َّم‬
‫َر‬‫َح‬
‫َ و‬ ‫أع‬ ‫َي‬ ‫ٱّللُ أ‬
‫ٱلب‬ َّ
ََ َّ ‫َِلى‬ َ‫َ و‬ ََ‫ما س‬ ََ ََ‫َٱنت‬
‫أ‬
‫من‬ ‫ٱّللِ و‬ ‫ه إ‬ُ
َُٰٓ
‫مۥ‬
‫ر‬ ‫َأأ‬ ‫لف‬ َ ‫ه‬ ُ‫ل‬‫ۥ‬ ‫هى ف‬ ‫ِ ف‬‫ِه‬‫َّۦ‬
‫ب‬ ‫ر‬
َ‫دو‬
‫ن‬ ُِ‫َل‬
‫ها خ‬ َ‫ِي‬
‫أ ف‬ ‫هم‬ُ ِ ‫َّار‬ ‫ُ ٱلن‬ ‫َب‬
‫أح‬ َ
‫ِكَ أص‬ َٰٓ
‫َْلئ‬‫َأو‬ُ ‫د ف‬ َ‫َا‬ ‫ع‬
٢٧٥
Artinya: “orang-orang yang makan (mengaambil) riba tidak dapt berdiri melainkan
seperti berdirinya orang yang kemasukan syaitan lantaran penyakit gila. Keadaan
mereka yang demikian itu, adalah disebabkan mereka (berkata) berpendapat,
sesungguhnya jual beli itu sama dengan riba, padahal Allah telah menghalalkan jual
beli dan mengharamkan riba”. (QS. Al-Baqarah: 275).
Ayat ini datang, menurut konteks kalimatnya, untuk mengharamkan riba dan
untuk menjelaskan perbedaan antara riba dan jual beli. Akan tetapi, dari zhahir
lafazhnya mengandung pengertian diperbolehkannya jual beli.
Firman Allah SWT:
٢ َ ‫َّق‬
‫ِين‬ ‫ُت‬ ‫لأ‬
‫لم‬ ِ ‫دى‬
ٗ‫ه‬ُ ِ ‫َ ف‬
‫ِيه‬ ‫ُ َال ر‬
‫َأيب‬ ‫َب‬‫ِت‬
‫ٱلك‬ ‫َل‬
‫ِكَ أ‬‫ذ‬
Artinya: “Keadaan mereka yang demikian itu adalah disebabkan mereka berkata
(berpendapat), sesungguhnya jual beli sama dengan riba.” (QS. Al-Baqarah: 2)
Kaidah yang berlaku disini adalah, wajib mengamalkan pengertian zhahir dari
suatu ayat atau hadis selama tidak ada dalil atau qarinah yang memalingkannya
kepada pengertian yang lain. Jika ada qarinah yang menunjukkan pengertian lain, lafal
zhahir bisa dita’wil (dipalingkan pengertian lafal itu dari maknanya yang zhahir
kepada makna lain yang tidak zhahir atau tidak cepat dapat ditangkap.

b) Contoh Lafadz Mu’awwal


Seperti lafaz “yadun” dari firman Allah yang berbunyi:

.....‫والسمأ بنينا ها بأيد‬


“Dan langit itu kami bangun dengan kekuasaan kami.” (QS. Adz-Dzariyaat: 47).
Lafadz )‫ (يد‬pada ayat diatas, makna dzahir –nya adalah “tangan” sebagaimana
keterangan diatas. Tetapi oleh para ulama’, lafadz )‫ (يد‬atau )‫ (ايد‬pada ayat diatas
diartikan “tangan” berarti mempersembahkan Allah dengan makhluk, sedang Allah
tidak mempunyai sesuatu pun sebagaimana difirmankan dalam Al-Qur’an yang
berbunyi:
‫ليس كمثله شئ‬
“Tidak ada satupun yang menyerupai-Nya”. (QS. A-s-Syura: 11).

Oleh karena itu maka ditakwil arti “tangan menjadi “kekuasaan”. Perubahan arti yang
demikianlah yang dianamakan takwil.

7. Penjelasan Hakikat dan Majaz

Pengertian Hakikat :

Secara etimologi, hakikat merupakan dari kata haqqa yang berarti tetap. Ia bisa
bermakna subjek (fā’il); sehingga memiliki arti ‘yang tetap’ atau objek (maf’ūl), yang
berarti ‘ditetapkan’.

Pengertian Hakikat adalah suatu lafas yang digunakan menurut asalnya untuk
maksud tertentu. Umpamanya kata (kursi) menurut asalnya memang digunakan untuk
tempat tertentu yang memiliki sandaran dan kaki, tapi saat ini kata kursi dapat diartikan
kekuasan, namun tujuan semula kata kursi bukan itu, tempat duduk. Menurut Ibnu Subki
menyatakan bahwa hakikat adalah lafaz yang digunakan untuk apa lafaz itu ditentukan
pada mulanya. Ibnu Qudamah mendefinisikannya sebagai lafaz yang digunakan untuk
sasarannya semula. Sementara Al-Sarkhisi berpendapat bahwa hakikat adalah setiap lafaz
yang ditentukan menurut asalnya untuk hal tertentu. Menurut Amir Syarifuddin, semua
penjelasan tersebut mengandung makna terminologis tentang haqiqah, yaitu suatu lafaz
yang digunakan menurut asalnya untuk maksud tertentu.

Pengertian Majaz :

Pengertian Majaz adalah suatu lafad yang digunakan untuk menjelaskan suatu lafad
pada selain makna yang tersurat di dalam nash atau teks, karena adanya persamaan atau
keterkaitan baik antara makna yang tersurat di dalam teks maupun maksud yang
terkandung di dalam teks tersebut.

Penelitian lebih rinci lagi telah dilakukan oleh Amir Syarifuddin yang
dimanifestasikan dalam bukunya Ushul Fiqh. Di sana, ia mengemukakan beberapa
definisi. Pertama, As-Sarkhisi mendefinisikannya sebagai nama untuk setiap lafaz yang
dipinjam untuk digunakan bagi maksud di luar apa yang ditentukan. Kedua, Ibnu
Qudamah: lafaz yang digunakan bukan untuk apa yang ditentukan dalam bentuk yang
dibenarkan. Ketiga, Ibnu Subki berpendapat majaz adalah lafaz yang digunakan untuk
pembentukan kata kedua karena adanya keterkaitan.

Dari ketiga definisi tersebut beliau menyimpulkan rumusan definitif majaz, yaitu:

a) Lafaz itu tidak menunjukkan kepada arti yang sebenarnya sebagaimana yang di
kehendaki suatu bahasa.
b) Lafaz dengan bukan menurut arti sebenarnya itu dipinjam untuk digunakan dalam
memberikan arti kepada apa yang dimaksud.
c) Antara sasaran dari arti lafaz yang digunakan dengan sasaran yang dipinjam dengan
lafaz itu memang ada kaitannya.

Macam-macam Majaz

Adapun Majaz Dari segi pembentukannya, bisa dibedakan menjadi 4 bagian antara lain
sebagai berikut:

a) Adapun tambahan dari susunan kata menerut bentuk yang sebenarnya. Cotahnya:
menambahkan makna yang berarti ‘seperti’ dalam surat asy-syara ayar 11, tidak ada
seperti semisal sesuatupun, tanpa kata itupun sebenarnya tidak mengurangi atrinya.
b) Adanya kekurngan dalam suatu kata dari yang sebenarnya dan kebenaran dari lafas itu
terletak pada yang kurang itu. Contohnya: dalam surat yusuf ayat 82,’ tanyakan
kampung itu’ secara makna kakikat adalah tanyalah penduduk kampung itu. Adanya
kekurangan kata ‘penduduk’ dalam kata ‘kampung’ itu menjadikannya sebagai majaz.
c) Mendahulukan dan membelakangkan atau dalam pengertian ,menukar kedudukan
suatu kata. Contahnya: dalam surat an-nisa ayat 11. Sesudah mengeluarkan wasiatnya
dan membayar hutangnya. Maksud sebenarnya’ sesudah mnbayar hutang dan
mengeluarkan wasiatnya.
d) Meminjamkan kata atau isti’arah adalah menambahkan sesuatu dengan menggunakan
(peminjamkan) kata lain. Contohnya membri nama si A penberani deng an singa.

Cara Mengetahui Lafas Hakikat dan Majaz

Pada dasarnya, dalam percakapan cenderung digunakan kata dengan makna hakikat,
kecuali jika ada sesuatu hal yang memaksa pembicara untuk menggunakan makna majaz.
Untuk itu, pentinglah kiranya melakukan verifikasi apakah pembicara menggunakan
makna majaz atau hakikat sehingga jelaslah perbedaan keduanya. Dalam mengatahui
majaz dan hakikat dapat dilakukan dengan dua cara; normativitas teks atau istidlāl.

Melalui normativitas teks dapat diketahui secara lugas dari pembicara yang
menjelaskan bahwa ini adalah majaz sedangkan ini hakikat atau dengan menyatakan ini
kata dipakaikan pada tempatnya sementara ini dipakaikan pada selaintempatnya.

Dengan cara istidlāl, dapat diketahui melalui beberapa cara sebagai berikut:

a) Makna hakikat dapat difahami secara langsung oleh pendengar (tabādur al-ẓihni)
sementara makna majaz tidak demikian.
b) Suatu kata yang bermakna majāzi dapat menerima term negatif (nafi), sementara pada
waktu dan kata yang sama, hakikat tidak menerimanya.
c) Diskontinuitas pada majaz, dalam artian jika suatu kata majaz telah dipakaikan pada
suatu kondisi, maka tidak lagi bisa dipakaikan pada yang lain. Seperti kata nakhlah
yang berarti pohon kurma dipinjam untuk menjelaskan arti ‘laki-laki yang tinggi’,
maka tidak lagi dipakaikan pada objek yang lain.
d) Hakikat berlaku pada makna global sementara majaz lebih parsial sebagaimana pada
contoh “was’al al-qaryah” di atas.
e) Hakikat menerima derifasi kata, seperti kata “amara” yang bisa menjadi “ya’muru”
dan sebagainya. Jika tidak dapat dipecah sebagaimana di atas, seperti kata “amru”,
maka ia adalah majaz.
f) Jika terdapat perbedaan antara term plural dengan singular, maka salahsatunya adalah
majaz.
g) Sebuah kata itu hakikat apabila ada ketergantungan makna kepada yang lain
(ta’alluq). Sebagai contoh kata qudrah, apabila dimaksudkan dengannya ‘sifat
kekuasaan’, maka ia mempunyai ketergantungan makna kepada objek yang dikuasai.
Namun, pada opsi kedua ia juga bisa berarti objek kekuasaan secara langsung, seperti
tumbuhan atau ciptaan lainnya, sehingga ia tak lagi mempunyai ketergantungan
makna (ta’alluq) kepada yang lainnya. Selain itu, pada dasarnya kata hakikat dapat
diketahui secara simā’i dari orang yang berbahasa. Ia tidak dapat diketahui dengan
analogi (qiyās) sebagaimana biasa dilakukan dalam fiqh dan ushul fiqh. Sementara
majaz dapat diketahui melalui usaha mengenal kebiasaan orang arab dalam
penggunaan isti’ārah.

Ketentuan Yang Berkaitan dengan Hakikat dan Majaz

Keterkaitan-keterkaitan yang menjadi syarat penggunaan Hakikat dan Majaz antara lain:

a) Adanya keserupaan, yakni pengumpulan sifat tertentu antara makna hakikat dan
makna majaz dalam satu lafad, contohnya adalah pada saat nabi hijrah dari Makkah ke
Madinah yang diiringi dengan shalawat badar. Pada contoh tersebut menunjukan
bahwa ada pengumpulan sifat tertentu yakni terangnya cahaya pada bulan bulan
purnama dan wajah Nabi Muhammad SAW.
b) ‫ الكون‬artinya adalah menamakan atau memaknai suatu lafad sesuai dengan sifat yang
melekat padanya, seperti pada ayat al-Qur’an:

“Dan berikanlah kepada anak yatim (yang sudah baliqh) harta mereka”

Ayat di atas didasarkan pada ayat al-Qur’an yang lain pada surat an-Nisa ayat 6.

“Dan ujilah anak yatim itu sampai mereka cukup umur untuk kawin. Kemudian jika
menurut pendapatmu mereka lebih cerdas, maka serahkanlah hartanya”. (QS.an-
Nisa’:6).

c) ‫ أألول‬adalah menamakan sesuatu sesuai dengan takwil atau penjelasan yang akan
terjadi pada masa yang akan datang, seperti pada contohnya mimpi Nabi Yusuf .as

‫ًا‬
‫ْر‬‫َم‬ ‫ْص‬
‫ِر خ‬ ‫َان‬
‫ِى أع‬ ‫إنى أر‬
“Sesungguhnya aku mimpi, bahwa aku memeras anggur. (QS.Yusuf:36)

Maksud ayat di sini adalah Nabi Yusuf memeras buah anggur yang ditakwil dengan
khamr.

d) ‫ أإلستعداد‬adalah menamakan atau memaknai sesuatu sesuai dengan kekuatan, hitungan-


hitungan atau pertimbangan-pertimbangan. Yang mana hal tersebut untuk
menjelaskan adanya pengaruh tertentu pada sesuatu tersebut. Contohnya adalah pada
kalimat racun itu mematikan, maksudnya adalah racun itu sangat kuat sekali dalam
menyebabkan kematian.
e) ‫ ألحلول‬adalah menjelaskan maksud suatu keadaan dengan menyebutkan tempatnya,
seperti pada ayat al-Qur’an: 82:‫)واسأل القرية (يوسف‬. maksud dari ayat ini adalah
bertanyalah kepada penduduk desa tersebut.
f) ‫ ألجزئية وعكسها‬adalah menjelaskan maksud suatu keadaan dengan menyebutkan
tempatnya dan menyebutkan keseluruhan untuk menjelaskan sebagiannya saja.
Contohnya pada ayat ‫ تبت يدا أبى لهب‬maksud ayat di sini bukan hanya tangan Abu
Lahab saja yang harus bertaubat, tetapi juga seluruh jiwa dan raganya.
g) ‫ ألسببية‬adalah menyebutkan sebab dari suatu hal, sedang yang dimaksud adalah
musabbabnya ataupun sebaliknya.

Contoh pertama adalah ‫( فالن أكل دم أخيه‬sebab), maksud di sini adalah diat atau denda
bagi seseorang yang telah membunuh saudaranya (musabab).

Contoh kedua adalah ‫( إ ْعتَدِي‬kamu dalam masa `iddah) (musabab), maksud di sini
adalah kamu saya talak, karena `iddah adalah musabab dari wanita yang ditalak
(sebab).

Anda mungkin juga menyukai