FIQIH BAB IV
Disusun Oleh:
Zuana W.
Andhita Dewi A.
Evi Puspitasari
Ma’arijul A’la
MA SUNAN PRAWOTO
PRAWOTO
2022
BAB I
PENDAHULUAN
Contoh lain:
Apabila lafadz yang khusus dalam nash syar’i datang dalam shighat amar atau perintah,
maka lafadz itu menunjukkan kewajiban. Artinya menuntut perbuatan yang diperintah itu
secara penetapan dan kepastian. Allah swt berfirman:
ْ َّ َوا ْل ُمطَلَّقَاتُ يَت ََرب
ص َن
Artinya: “wahai wanita yang ditalak menahan diri (menunggu) …..”.
Firman tersebut menunjukkan kewajiban wanita yang ditalaq untuk menahan diri atau
beriddah selama tiga kali quru’ (suci). Sebab menurut pendapat yang rajih (unggul)
bahwasannya shighat amar dan shighat lain yang bermakna sama dengannya ditetapkan untuk
mewajibkan. Sedangkan suatu lafadz ketika di mutlakkan, maka ia menunjukkan terhadap
maknanya yang hakiki yang telah ditetapkan untuknya. Ia tidak boleh dipalingkan dari
maknanya yang hakiki, kecuali dengan adanya suatu qarinah (hubungan/keterkaitan kata
sebelum dan sesudahnya).
Selanjutnya jika ditemukan suatu qarinah (keterkaitan / hubungan) yang dapat
memalingkan shighat perintah dari makna kewajiban kepada makna lainnya, maka ia dipahami
sesuai dengan apa yang ditunjuki oleh qarinah itu, seperti ibahah (pembolehan).[3]
b. Berbentuk Fi’il mudhari’ yang didahului oleh lam Amar.
Misalnya, firman Allah:
ِ َو ْليَطَّ َّوفُ ْوا بِا ْلبَ ْي
ِ ت ا ْل َعتِ ْي
ق
Artinya: “dan hendaklah thawaf sekeliling rumah tua itu (Baitullah)”. (QS.Al Haj: 29)
ٌَو ْلتَ ُكنْ ِّم ْن ُكم اُ َّمة
Artinya: “dan hendaklah ada segolongan umat”. (QS. Ali Imran: 104)
c. Isim Fi’il Amr, seperti:
َ َُعلَ ْي ُك ْم اَ ْنف
س ُك ْم
Artinya: “Jagalah dirimu”. (QS. Al Maidah: 105)
d. Masdar pengganti fi’il, seperti:
َ َوبِا ْل َوالِ َد ْي ِن اِ ْح
سانًا
Artinya: “dan berbuat baiklah kepada Ibu Bapak”. (QS. Al Baqarah: 83)
e. Bentuk lainnya yang semakna, seperti lafal faradla, kutiba dan lain sebagainya.
ْ قَ ْد َعلِ ْمنَا َما فَ َر
ِ ضنَا َعلَ ْي ِه ْم فِ ْي اَ ْز َو
اج ِه ْم
Artinya: “sesungguhnya kami telah mengetahui apa yang kami wajibkan kepada mereka
tentang istri istri mereka”. (QS. Al Ahzab: 50).
َ ِيََأيُّ َهالَّ ِذ ْي َن ءا َمنُوا ُكت
ِّ ب َعلَ ْي ُك ُم ال
صيَا ُم
Artinya: “Hai orang-orang yang beriman diwajibkan atas kamu berpuasa”. (QS. Al Baqarah:
183)
ِ َاِنَّ هّللا َ يَْأ ُم ُر ُك ْم اَنْ تَُؤ دُّاَآْل َمن
ت
Artinya: “sesungguhnya Allah memerintahkan kamu untuk menyampaikan amanah”. (QS. An
Nisa’: 58)
3.. Kaidah Amar
Bentuk amar kadang-kadang keluar dari maknanya yang asli dan digunakan untuk
makna yang bermacam-macam yang dapat kita ketahui dari susunan kalimatnya.[4]
Amr (perintah) memiliki kaidah yaitu ketentuan-ketentuan yang dipergunakan para
mutjahid dalam mengistinbatkan hukum. Ulama ushul merumuskan kaidah-kaidah amar dalam
lima bentuk, yaitu :
Kaidah pertama; pada dasarnya ‘amar (perintah) itu menunjukan kepada wajib dan
tidak menunjukan kepada selain wajib kecuali dengan adanya qarinah (hubungan keterkaitan).
Maksud dari kaidah tersebut adalah bahwa mengerjakan sesuatu pekerjaan yang dituntut oleh
suatu perintah adalah wajib diperbuat.
Imam Ar Razi berkata di dalam kitabnya Al Mahsul, bahwa ahli Ushul telah sepakat
menetapkan bahwa bentuk fi’il ‘amar dipergunakan dalam 15 macam makna sesuai dengan
qarinah yang mempengaruhinya, antara lain:
1. Ijab (Wajib)
Contoh:
َصالَة
َّ اَقِ ْي ُموا ال
Artinya: “Dirikanlah Shalat”. (QS. Al baqarah: 43)
2. Nadb (anjuran)
ال هّللا ِ الَّ ِذي أت ُك ْم
ِ َوآتُ ْو ُه ْم ِّمنْ َّم
Artinya: “dan berikanlah kepada mereka sebagian dari harta Allah yang dikaruniakan Nya
kepadamu”. (QS. An Nur : 33)
3. Takdzib (mendustakan)
َ قُ ْل َهاتُوا بُ ْر َهانَ ُك ْم اِ ْن ُك ْنتُ ْم
ص ِد قِ ْي َن
Artinya: “tunjukkanlah bukti kebenaranmu jika kamu adalah orang yang benar”. (QS. Al
Baqarah 111).
9. Taskhir (penghinaan)
ِ ُك ْونُ ْوا ِق َر َدةً َخ
اسِئ ْي َن
Artinya: “Jadilah kamu sekalian kera yang hina”. (QS. Al Baqarah : 65)
10. Ta’jiz (melemahkan)
ُ فَْأتُ ْوا ِب
س ْو َر ٍة ِمنْ ِم ْثلِ ِه
Artinya: “datangkanlah satu surat (saja) yang seumpama )Al Qur’an( itu”. (QS. Al Baqarah : 23)
11. Taswiyah (mempersamakan)
ْ َف
ْ اصبِ ُروا اَ ْوالَت
َصبِ ُروا
Artinya: “maka bersabar atau tidak”. (QS. At Thur :16)
12. Tamanni (angan-angan)
Contoh Syi’ir Arab:
ص ْب ُح قِفْ اَل تَ ْطلَ ُع
ُ يَا يَا لَ ْي ُل طُ ْل يَا نَ ْو ُم ُز ْل
Artinya: “wahai sang malam, memanjanglah wahai kantuk menghilanglah. Wahai waktu subuh
berhentilah dahulu, jangan segera dating.
13. Do’a
َر ِّب ا ْغفِ ْرلِى
Artinya: “Ya Allah ampunilah aku”. (QS. Shad : 35)
14. Ihanah (meremehkan)
ْ ُذ
ق ِإنَّ َك اَ ْنتَ ا ْل َع ِز ْي ُز
Artinya: “Rasakanlah, sesungguhnya kamu orang yang perkasa lagi mulia”. (QS. Ad Dukhan :
49)
15. Imtinan
فَ ُكلُ ْوا ِم َّما َر َزقَ ُك ُم هّللا
Artinya: “Makanlah apa yang direzekikan kapadamu”. (QS. An Nahl :114)[5]
Kaidah kedua: Perintah setelah larangan menunjukan kepada kebolehan. Maksud dari kaidah
ini ialah, apabila ada perbuatan-perbuatan yang semula dilarang, lalu datang perintah
mengerjakan, maka perintah tersebut bukan perintah wajib tetapi bersifat membolehkan.
Seperti Firman Allah swt:
ض ِل هلّلا ِ صالَةُ فَا ْنت َِش ُر ْوا فِى اَأْل ْر
ْ َض َوا ْبتَ ُغ ْوا ِمنْ ف َّ ت ال ِ ُفَاِ َذا ق
ِ َ ضي
“apabila shalat telah dilaksanakan , maka bertebaranlah kamu di bumi, carilah karunia
allah{ QS.al-jumu’ah 62:10}”.
Dengan demikian perintah bertebaran dimuka bumi, seperti kata ayat diatas, hukumnya tidak
wajib, tapi diperbolehkan.
Kaidah ketiga: Pada dasarnya perintah itu tidak menghendaki segera dilaksanakan. Misalnya
tentang haji. Jumhur ulama sepakat bahwa perintah mengerjakan sesuatu yang berhubungan
dengan waktu, maka harus dikerjakan sesuai dengan waktu yang telah ditetapkan dan tidak
bleh di luar waktu. Bila dilakukan diluar waktu, tanpa sebab yang dibenarkan oleh syara’ maka
hukumnya akan berdosa.
Kaidah Keempat: pada dasarnya perintah ini tidak menghendaki pengulangan (berkali-kali
mengerjakan perintah). Misalnya dalam ibadah haji, yaitu satu kali seumur hidup namun bila
perintah itu dimaksudkan pengulangan, maka harus ada qarinah atau kalimat yang menunjukan
pada pengulangan.
Allah berfirman:
َوَأتِ ُّم ا ْل َح َّج َوا ْل ُع ْم َرةَ هّلِل
“dan Sempurnakan haji dan umrah karena Allah”. (QS. Al Baqarah: 196).
Kewajiban haji dan umrah hanya sekali seumur hidup. Jadi bila dikerjakan sekali saja sudah
cukup.[6]
Kaidah Kelima: kaidah ini menjelaskan bahwa perbuatan yang diperintahkan itu tidak bisa
terwujud tanpa disertai dengan sesuatu perbuatan lain yang dapat mewujudkan perbuatan
yang diperintah itu. Misalnya, kewajiban melaksanakan sholat, sholat ini tidak sah untuk
dikerjakan tanpa suci (wudhu) terlebih dahulu. Maka para ulama menetapkan bahwa “ Tiap-
tiap perkara yang kewajiban tidak sempurna kecuali dengannya, maka perkara itu wajb pula”.
Perlu diketahui bahwa suatu perintah atau suruhan yang tidak ada qarinahnya, dengan
suatu hal yang lain berarti menunjukkan arti kemestian (wajib).
b. Menunjukkan anjuran (nadb) berdasarkan sebuah kaidah yang berarti amar / suruhan ialah
menunjukkan sebuah anjuran (nadb).
Suruhan itu memang adakalanya untuk suruhan (wajib), seperti salat lima waktu,
adakalanya untuk anjuran (nadb), seperti salat dluha. Di antara kemestian dan anjuran yang
paling diyakini adalah anjuran (sunnah).
Kesimpulannya, amar tetap mengandung arti wajib, kecuali apabila amar tadi sudah tidak
mutlaq lagi, atau terdapat qarinah yang dapat mengubah ketentuan tersebut, sehingga amar
itu berubah pula, yakni tidak menunjukkan wajib, tetapi menjadi bentuk yang menunjukkan
hukum sunnah atau mubah dan sebagainya sesuai dengan qarinah yang memengaruhinya.[7]
5. Syarat yang harus ada pada kata Amar (perintah) adalah :
a. Harus berupa ucapan perintah (Amar) seperti kata uf’ul (kerjakanlah).
b. Harus berbentuk kata permintaan.
c. Tidak ada tanda-tanda (Qarinah) yang menunjukkan permintaan itu bertatus tidak
mewajibkan atau mengharuskan.
d. Datangnya permintaan itu harus dari atasan, sebab jika dari bawahan namanya do’a.[8]
Suatu kata perintah (fiil amar) dapat dipandang dari dua sisi yakni:
a) Cara menyatakan perintah dari bentuk kata. Hal ini menunjukkan tuntunan perbuatan dalam
waktu yang tertentu atau waktu mendatang.
b) Maksud yang dikandung dalam perintah itu atau perbuatan yang diminta (ma’addatul amri).
Hal ini menunujukkan macamnya perbuatan yang diminta, seperti berdiri, duduk. Apabila
disatukan kedua sisi tersebut dalam amar, maka maksudnya tidak lebih dari pada hanya
menuntut perbuatan yang disebutnya, dan tidak ada tanda-tanda yang menunjukkan berulang-
ulanya perbuatan itu. Memenuhi tuntunan suruhan tersebut cukup dengan dikerjakan sekali
saja, karena menurut qaidah “tidak ada kewajiban lebih dari pada tanggungan yang sebenarnya
(sesuai kemampuan seorang hamba)”.[9]
ًضا َعفَة
َ ض َعافًا ُم ِّ َواَل تَْأ ُكلُوا
ْ الربَا َأ
Artinya: “dan janganlah kamu memakan riba dengan berlipat ganda”. (QS. Ali Imran:
130)
Kecuali apabila ada qarinah yang memengaruhinya, maka nahi tersebut tidak lagi
menunjukkan hukum haram, tetapi menunjukkan hukum makruh, mubah, dan sebagainya.
Sesuai dengan qarinah yang memengaruhinya itu. Ada ulama yang berpendapat
bahwa nahi yang masih asli itu menunjukkan hukum makruh. Namun, pendapat yang lebih
kuat, bahwa nahi adalah haram.[11]
Kalimat larangan yang tidak memiliki qarinah menunjukkan hakikat larangan yang
mutlak. Seperti firman Allah:
Ungkapan yang menunjukkan kepada nahi (larangan) itu ada beberapa bentuk
diantaranya:
ِ اَل تُ ْف
ِ سد ُْوا فِى ااْل َ ْر
ض
Artinya: “janganlah kamu membuat kerusakan di muka bumi”. (QS. Al Baqarah: 11).
b) Lafadz-lafadz yang member pengertian haram atau perintah meninggalkan sesuatu perbuatan,
seperti:
Kaidah-kaidah Nahi:
a. Untuk do’a
b. Untuk pelajaran
c. Putus asa
ش ِركْ بِاهّلل
ْ ُاَل ت
Artinya: “janganlah kamu mempersekutukan Allah”.
Kaidah ketiga: pada dasarnya larangan yang mutlak menghendaki pengulangan larangan dalam
setiap waktu. Seperti:
1. Nahi yang menunjukkan perbuatan itu sendiri sebagaimana contoh di atas yang menyebabkan
perbuatan yang dilarang itu hukumnya fasid (rusak) haram.
2. Nahi yang menunjukkan juz’I dari perbuatan (bagian dari perbuatan). Misalnya, larangan jual
beli anak binatang yang masih dalam kandungan ibunya.
3. Nahi yang menunjukkan sifat perbuatan yang tidak dapat dipisahkan, misalnya larangan
berpuasa pada hari raya karena hikmah di hari raya ialah agar semua umat Islam dapat
menikmati kegembiraan makan minum di hari tersebut.
4. Nahi yang menunjukkan hal-hal di luar perbuatan yang tidak mesti berhubungan dengan
perbuatan tersebut. Misalnya, larangan dalam jual beli sewaktu shalat jum’at yang akibatnya
akan meninggalkan shalat jum’at.[12]
Dalam melarang suatu perbuatan, menurut pendapat Muhammad Khudhari Beik, Allah juga
memakai beragam gaya bahasa diantaranya:
a. Larangan secara tegas dengan memakai kata naha atau yang searti dengannya yang secara
bahasa berarti melarang. Misalnya surat An-Nahl ayat 90 yang artinya:
b. Larangan dengan menjelaskan bahwa suatu perbuatan diharamkan, misalnya ayat 33 surat Al-
A’raf:
c. Larangan dengan menegaskan bahwa perbuatan itu tidak halal dilakukan, contoh surat An-Nisa’
ayat 19:
d. Larangan dengan menggunakan kata kerja Mudhari’ (kata kerja untuk sekarang atau
mendatang) yang disertai huruf lam yang menunjukkan larangan, misal surat Al-An’am ayat
152:
e. Larangan dengan memakai kata perintah namun bermakna tuntutan untuk meninggalkan
misalnya, surat Al-An’am ayat 120 artinya:
ُ اطنَه
ِ ََوب َو َذ ُر ْواظَا ِه َراِإْل ْث ِم
“Dan tinggalkanlah dosa yang Nampak dan yang tersembunyi”.
f. Larangan dengan cara mengancam pelakunya dengan siksaan pedih, misalnya surat Al-Taubah :
34.
g. Larangan dengan mensifati perbuatan itu dengan keburukan, misalnya surat Ali Imran : 180
4. Syarat-syarat Nahi
1. Bentuk nahi hanya satu saja, yaitu fiil mudhari’ yang disertai la nahi.
Arti nahi yang pokok.
a. Menunjukkan haram
Artinya: “ larangan itu menunjukkan haram (haramnya perbuatan yang dilarang)”.
Alasannya, apabila ada kata-kata larangan yang tidak disertai qarinah, akal kita dapat mengerti
keharusan yang diminta larangan itu, yang segera dapat dimengerti menunjukkan pengertian
yang sebenarnya. Demikian pula pemahaman lama salaf.
Qarinah ialah kata-kata yang menyerupai larangan, yang menyebabkan larangan itu
tidak menyebabkan haram.
b. Menunjukan makruh
Artinya: “Bermula larangan menunjukkan makruh”. (makruhnya perbuatan yang dilarang).
Alasannya, larangan itu hanya menunjukkan buruknya (tidak baiknya) perbuatan yang
dilarang. Keburukan ini tidak berarti haram atau larangan menunjukkan rusaknya perbuatan
yang dilarang.[14]
c. Melarang sesuatu mengakibatkan perbuatan yang dilarang hukumnya menjadi rusak dan tidak
sah.
Artinya, larangan melakukan suatu perbuatan itu akan mengakibatkan perbuatan yang
dilarang tadi apabila dilakukan hukumnya menjadi tidak sah. Contoh zina. Sebagian ulama
termasuk imam Ghazali dan ar Razi berpendapat bahwa “nahi itu tidak menyebabkan tidak
sahnya suatu perbuatan yang dilakukan, kecuali hanya dalam soal ibadah saja, tidak dalam
muamalah”. Sebagian ulama Syafi’iyyah, hanafiah, dan muktazilah berpendapat bahwa “nahi
itu tidak menyebabkan tidak sahnya perbuatan yang dilarang, tidak pada lughah / bahasanya,
tidak pada syara’, dan tidak pula dalam soal-soal ibadah dan muamalah”. Sementara Imam
Syaukani berkata di dalam kitab shulnya Irsyadul Fuhul bahwa “tiap-tiap nahi yang tidak
membedakan antara ibadah dan muamalah menyebabkan perbuatan yang dilarang itu haram
hukumnya, dan tidak sahnya hukum menurut syara’ berarti batal (tidak sah).
BAB III
PENUTUP
Kesimpulan
1. ‘Amar
· Pengertian ‘Amar
Jadi ‘Amar merupakan suatu permintaan untuk mengerjakan sesuatu yang sifatnya
mewajibkan/mengharuskan yakni dalam hal ini Allah kepada hambanya.
· Sighat (bentuk kata) ‘Amar
· Dilalah dan Tuntutan ‘Amar
· Syarat yang harus ada pada kata’ Amar (perintah) adalah :
2. Nahi
· Pengertian Nahi
Nahi adalah suatu larangan yang harus ditaati yang datangnya dari atasan kepada bawahan,
yakni dari Allah SWT kepada hamba-Nya.
· Syarat-syarat Nahi