Anda di halaman 1dari 11

AMR

Pengertian Al-Amru
Menurut bahasa, amar berarti suruhan, perintah, sedangkan menurut istilah adalah:
‫إلى ْاألَ ْدنَى‬ َ ‫ْـل ِمنَ ْاألَ ْعلَى‬ ِ ‫طلَبُ الفِع‬ َ : ‫األَ ْم ُر‬
“Al-Amru ialah tuntutan melakukan pekerjaan dari yang lebih tinggi kepada yang lebih rendah”
Yang lebih tinggi kedudukannya adalah Syaari’ (Allah Swt atau Rasul-Nya) dan kedudukan yang
lebih rendah adalah mukallaf. Jadi amar adalah perintah Allah atau Rasulnya kepada mukallaf
untuk melakukan suatu pekerjaan.
Kaidah Amar
1. Amr Menunjukkan Kepada Wajib.
ِ ْ‫اَألَصْ ُل فِى ْاألَ ْم ِر لِ ْل ُوجُو‬
‫ب‬
“Pada asalnya Amar itu menunjukkan wajib”
Hal ini menunjukkan menurut akal dan naqli. Menurut akal adalah orang-orang yang tidak
mematuhi perintah dinamakan orang yang ingkar, sedangkan menurut naqal, seperti firman
Allah Swt.  
 ‫صيبَهُ ْم َع َذابٌ أَلِي ٌم‬ ِ ُ‫صيبَهُ ْم فِ ْتنَةٌ أَوْ ي‬
ِ ُ‫فَ ْليَحْ َذ ِر الَّ ِذينَ يُخَالِفُونَ ع َْن أَ ْم ِر ِه أَ ْن ت‬
“Maka hendaklah orang-orang yang menyalahi perintah-Nya takut akan ditimpa cobaan atau
ditimpa azab yang pedih.” (QS. An-Nur (24): 63)
Misalnya: perintah puasa.
۱۸۳: ‫ يا ايها الذين امنرا كتب عليكم الصيا م (البقرة‬                                     
2. Amr Menunjukkan Kepada Sunnah.
‫ب‬ِ ‫ـر لِلنَّ ْد‬ ِ ‫اَألَصْ ُل فِى ْاألَ ْم‬
“Pada asalnya Amar itu menunjukkan nadab (sunnah)”
Contoh: firman Allah Swt:
‫فكاتبوهم إن علمتم فيهم خيرا‬
artinya: “Hendaklah kamu buat perjanjian dengan mereka, jika kamu mengetahui ada
kebaikan pada mereka”. (QS. 24:33)
3. Amr tidak Menunjukkan untuk Berulang-ulang.
‫ار‬َ ‫ضى التَّ ْك َر‬ ِ َ‫اَألَصْ ُل فِى ْاألَ ْم ِر الَ يَ ْقت‬
“Perintah itu pada asalnya tidak menghendaki pengulangan”
Amar tidak menghendaki kepada yang berulang-ulang, tapi hanya menghendaki hasilnya/
mengerjakan satu kali. Seperti firman Allah Swt.
ِ ‫َوأَتِ ُّموا ْال َح َّج َو ْال ُع ْم َرةَ هَّلِل‬
“ dan sempurnakanlah ibadah haji dan 'umrah karena Allah.” (QS. Al Baqarah : 196)
Misalnya : ٦: ‫وان كنتم جنبا فا طهروا (المئده‬
”Jika kamu berjunub maka mandilah.” (QS. Al-Maidah: 6)
) ۷۸: ‫اقم الصالة لدلوك الشمس (االسراء‬
“Kerjakanlah shalat dari sesudah matahari tergelincir.”(QS. Al-Isra’ :78)
4. Amr tidak Menunjukkan untuk Bersegera.
‫َضى ْالفَوْ َر‬ ِ ‫اَألصْ ُل فِى ْاألَ ْم ِر الَ يَ ْقت‬
“Perintah pada asalnya tidak menghendaki kesegeraan”.
Jadi Amr (perintah) itu boleh ditangguhkan pelaksanaannya sampai akhir waktu yang telah
ditentukan. Misalnya :
۱۸۳: ‫فمن كا ن منكم مريضا اوعلى سفر فعدة من ايا م اخر(البقرة‬
“Barang siapa di antara kamu ada yang sakit atau sedang dalam bepergian jauh, hendaklah
mengqadla puasa itu pada hari yang lain.”(QS.al-Baqarah : 183)
5. Amr dengan Wasilah-Wasilahnya.
‫ال ْم ُر بِال َّشئْ أَ ْم ٌر بِ َو َسائِلِ ِه‬
ْ َ‫ا‬
“Perintah mengerjakan sesuatu berarti juga perintah mengerjakan wasilahnya”.
Perintah mendirikan shalat berarti juga perintah untuk berwudlu, sebagai wasilah (jalan
kepada) sahnya shalat.
6. Amr yang Menunjukkan Kepada Larangan.
‫ض ِّد ِه‬ِ ‫ال ْمر بِال َّشئْ نَ ْه ٌي ع َْن‬ ْ َ‫ا‬
“Perintah mengerjakan sesuatu berarti larangan terhadap kebalikannya”.
Maksudnya, jika seseorang disuruh mengerjakan suatu perbuatan, mestinya dia
meninggalkan segala kebalikannya. Misalnya, disuruh beriman, berarti dilarang kufur.
7. Amr menurut Masanya.
‫اِ َذا فُ ِع َل ْال َمأْ ُموْ ُر بِ ِه َعلَى َوجْ ِه ِه يَ ْخ ُر ُج ْال َمأْ ُموْ ُر ع َْن َع ْه َد ِة ْاالَ ْم ِر‬
“Apabila dikerjakan yang diperintahkan itu menurut caranya, terlepas dia dari masa perintah
itu”.
Misal: Seseorang yang telah melaksanakan suatu perintah dengan sempurna pada masanya,
maka terlepas dia dari tuntutan pada masa itu. seperti keadaan musafir yang tidak
memperoleh air untuk berwudhu, hendaklah dia bertayamum sebagai pengganti wudhu.
8. Qadha dengan Perintah yang Baru.
‫ضا ُء بِأ َ ْم ٍر َج ِد ْيدًا‬َ َ‫اَ ْلق‬
“Qadha itu dengan perintah yang baru”.
Maksudnya, suatu perbuatan yang tidak dapat dilaksanakan pada waktunya harus dikerjakan
pada waktu yang lain (qadla’). Pelaksanaan perintah bukan pada waktunya ini berdasarkan
pada perintah baru, bukan perintah yang lama. Misalnya: qadla’ puasa bagi yang mengalami
udzur syar’i pada bulan ramadhan, tidak dikerjakan berdasarkan ayat :
‫ كتب عليكم الصيام‬...
tetapi berdasarkan pada perintah baru, yaitu firman Allah Swt : 
... ‫فعـدة من ايام اخر‬ 
9. Martabat Amr.
‫َلى اَ َّولِ ِه‬
َ ‫صا ُر ع‬ َ ِ‫َض ْا ِال ْقت‬
ِ ‫ق َعلَى ْا ِالس ِْم يَ ْقت‬ ُ َّ‫ااْل َ ْم ُر ْال ُمتَ َعل‬
“Jika berhubungan dengan nama (isim) adalah menghendaki akan tersimpannya pada
permulaan.”
Sependek-pendek masa amr, apabila dihubungkan dengan hukum menurut pengertian
keseluruhannya dalam bentuk yang berlainan tentang tinggi dan rendah, dipendekkan hukum
itu menurut sekurang-kurangnya martabatnya untuk melaksanakan perintah itu. Misalnya:
“Perintah melakukan tuma’ninah dalam shalat, dan perintah memerdekakan seorang budak,
tidak memandang harga tapi memandang martabatnya”.
10. Amr sesudah Larangan.
َ َ‫اَاْل َ ْم ُر بَ ْع َد ْالنَه ِْي يُفِ ْي ُد ْا ِإلب‬
َ‫احة‬
“Perintah sesudah larangan menunjukkan kebolehan.”
Misalnya :
‫كنت نهيتكم عن زيارة القبور اال فزوروها (رواه مسلم‬
“Dahulu aku melarang kamu menziarahi kubur, sekarang berziarahlah.” (HR.Muslim)
)۲: ‫اذا حللتم فاصطا دوا (المئدة‬
“Dan apabila kamu telah menyelesaikan ibadah haji, berburulah.” (QS.al-Maidah : 2)
Berdasarkan dua uraian tersebur, dapat dijelaskan bahwa perintah setelah larangan itu
hukumnya mubah tidak wajib, seperti berziarah kubur dan berburu setelah haji. Pengertian
Nahi
Menurut bahasa An-nahyu berarti larangan. Sedangkan menurut istilah ialah: “larangan
ialah tuntutan meninggalkan sesuatu yang datangnya dari orang-orang yang lebih tinggi
tingkatannya kepada orang yang lebih rendah tingkatannya.”

NAHI
Bentuk-Bentuk Nahi
Pernyataan yang menunjukan kepada nahi itu ada beberapa bentuk:
a. Fi’il Mudhari yang disertai dengan La An-Nahiyah
Janganlah berbuat kerusakan di bumi.{QS.Al-baqarah /2;11}
b. Lafadz-lafadz yang memberi pengertian haram atau perintah meninggalkan suatu
perbuatan.
“Padahal Allah telah menghalalkan jual beli dan mengharamkan riba.
{QS.al-baqarah/ 2:285}”

Kaidah-Kaidah Nahi
Kaidah Pertama
Menurut Jumhur pada dasarnya kaidah itu menunjukan haram. Seperti:”Dan janganlah
kamu mendekati zina{QS.al-isra / 17:32}”
Alasan dipakai Jumhur.
1) Akan dapat memahami bahwa sigat bentuk anhi itu menunjukan arti yang
sebenarnya,yaitu melarang
2) Ulama salaf memahami sigat nahi yang bebas dari qarinah menunjukan larangan.
Sebagian ulama lain berpendapat” Pada dasarnya larangan itu menunjukan makruh”
Menurut kaidah ini ,nahi bermakna sesuatu yang dilarang itu adalah tidak baik.Karena itu
tidak selalu bermakna haram ,tetapi makruh. Sebab makruh lah pengertian yang pasti. Sigat
nahi selain menunjukan haram ,sesuai dengan qarinahnya juga menunjukan beberapa arti
,antara lain sebagai berikut:
1. Bermakana Karaah, seperti: “jangan kamu shalat diatas kulit onta yang di samak”
2. Bermakna Doa, seperti:”Ya tuhan kami,janganlah engkau hokum kami jika kami
lupa{Q>S al-Baqarah / 2:286}”
3. Bermakna Irsyad , memberi petunjuk , mengarahkan,seperti:”janganlah kamu
menanyakan{kepada nabimu} hal-hal yang jika diterangkan kepadamu,
{justru}menyusahkanmu{QS. Al-Maidah / 5:101}”
4. Bermakna Tahqir ,menghina,seperti:”jangan sekali-kali engkau{muhamad} tujukan
pandanganmu kepada kenikmatan hidup yang telah kami berikan.{QS. Al-Hijr / 15:88}”
5. Bermakna Bayan Al-aqibah ,seperti:” dan jangan sekali-kali kamu mengira orang-orang
yang gugur dijalan Allah itu mati{QS Al-imran / 3.169}
6. Ta’yis menunjukan putus asa seperti:” janganlah kamu mengemukakan alasn pada hari
ini{QS Al-tahrim / 66:7}”
7. Tahdid, seperti:”janganlah kamu taati perintahku”
Kaidah Kedua
“larangan terhadap sesuatu berarti perintah akan kebalikannya”.Misalnya pada kalimat”
janganlah kamu mempersekutukan Allah”
Larangan mempersekutukan Allah berarti perintah untuk mentauhidkan-Nya.
Kaidah Ketiga
“pada dasarnya larangan yang mutlak menghendaki pengulangan larangan dalam setiap
waktu”
Jadi larangan yang tidak dikaitkan dengan suatu syarat atau sebab. Seperti waktu atau
sebab-sebab lain.maka berate diharuskan meninggalkan yang dilarang itu sepanjang
masa.Namun bila larangan itu dikaitkan dengan waktu , maka perintah larangan itu berlaku
selama ada sebab.misalnya pada kalimat” janganlah kamu shalat ketika kamu dalam keadaan
mabuk{ QS. An-nisa / 4;43}”
Kaidah keempat
“pada dasarnya larangan itu bermakna fasad {rusak} secara mutlak”
Rasulullah saw bersabda” setiap perkara yang tidak ada perintah kami , maka ia tertolak”
Dengan demikian segala perkara yang dilarang berarti tidak diperintahkan , dan setiap
yang tidak diprintahkan berarti tertolak, dan tertolak berarti batal.{tidak sah. Fasad}
hukumnya
Pengertian 'Am (Umum), Bentuk Lafadh 'Am, Kaidah ’Am dan Contoh 'Am Bacaan madani

‘AM

Pengertian’Am

‘Am menurut bahasa artinya merata, yang umum; dan menurut istilah adalah “lafadh yang memiliki
pengertian umum, terhadap semua yang termasuk dalam pengertian lafadh itu “. Dengan pengertian
lain, ‘am adalah kata yang memberi pengertian umum, meliputi segala sesuatu yang terkandung dalam
kata itu dengan tidak terbatas.

Bentuk Lafadh ’Am.

a. Lafadh ‫( كل‬setiap) dan ‫جميع‬


Misalnya Firman Allah
ِ ْ‫س َذائِقَةُ ْال َمو‬
‫ت‬ ٍ ‫ُكلُّ نَ ْف‬

Tiap-tiap yang berjiwa akan mati”. (QS. Ali ‘Imran (3): 185)

Hadist Nabi Saw.,

ٍ ‫ُكلُّ َر‬
‫اع َم ْس ُؤ ٌل ع َْن َر ِعيَتِ ِه‬

“Setiap pemimpin diminta pertanggungjawaban terhadap yang dipimpinnya”

Kaidah-kaidah Lafadh ’Am.


1.‫( عَا ٌم يُ َرا ُد بِ ِه ال ُع ُمـوْ َم‬Lafadh ‘Am yang dikehendaki keumumannya), karena ada dalil atau indikasi
yang menunjukkan tertutupnya kemungkinan ada takhshish (pengkhususan). Misalnya:
‫ين‬ ٍ ‫َع َها ۚ ُك ٌّل فِي ِك َتا‬
ٍ ‫ب م ُِب‬ ِ ْ‫َو َما ِم ْن دَابَّ ٍة فِي اأْل َر‬
َ ‫ض إِاَّل َعلَى هَّللا ِ ِر ْزقُهَا َويَ ْعلَ ُم ُم ْستَقَ َّرهَا َومُسْ َت ْود‬

"Dan tidak ada suatu binatang melata pun di bumi melainkan Allah-lah yang memberi rezekinya,
dan Dia mengetahui tempat berdiam binatang itu dan tempat penyimpanannya. Semuanya tertulis
dalam kitab yang nyata (Lauhmahfuz)." (QS. Hud :6). Yang dimaksud adalah seluruh jenis
hewan melata, tanpa terkecuali.

2. ُ‫( ال َعـا ُم يُ َرا ُد بِ ِه ال ُخصُـوْ ص‬Lafadh ‘Am tetapi yang dimaksud adalah makna khusus), karena ada
indikasi yang menunjukkan makna seperti itu. Contohnya:

“Tidaklah sepatutnya bagi penduduk Madinah dan orang-orang Arab Badui yang berdiam di
sekitar mereka, tidak turut menyertai Rasulullah (pergi berperang) dan tidak patut (pula)
bagi mereka lebih mencintai diri mereka daripada mencintai diri Rasul. “ (QS. At Taubah:
120). Yang dimaksud ayat tersebut bukan seluruh penduduk Mekah, tetapi hanya orang-
orang yang mampu.
Khas

Pengertian Khas
Khas ialah lafadh yang menunjukkan arti yang tertentu, khusus, tidak meliputi arti umum,
dengan kata lain, khas itu kebalikan dari ‘am.

Menurut istilah, definisi Khas adalah :


Al-khas adalah lafadh yang diciptakan untuk menunjukkan pada perseorangan tertentu, seperti
Muhammad. Atau menunjukkan satu jenis, seperti lelaki. Atau menunjukkan beberapa satuan
terbatas, seperti tiga belas, seratus, sebuah kaum, sebuah masyarakat, sekumpulan, sekelompok,
dan lafadh-lafadh lain yang menunjukkan bilangan beberapa satuan, tetapi tidak mencakup
semua satuan-satuan itu.Dengan demikian yang termasuk lafadh khas adalah ; Lafadh yang tidak
bisa mencakup lebih dari satu seperti “ Rajulun “ (seorang laki-laki), dan lafadh yang bisa
mencakup ebih dari satu tapi terbatasi. Misalnya tiga orang laki-laki.

Hukum Lafadz khas dan contohnya


Lafadz khas dalam nash syara’ adalah menunjuk pada dalalah qath’iyah (dalil yang pasti)
terhadap makna khusus yang dimaksud. Hukum yang ditunjukkan adalah qath’i selama tidak ada
dalil yang memalingkan pada makna lain.Dalalah khas menunjuk kepada dalalah qath’iyyah
terhadap makna khusus yang dimaksud dan hukum yang ditunjukkannya adalah qath’iy, bukan
dzanniy, selama tidak ada dalil yang memalingkannya kepada makna yang lain. Misalnya,
firman Allah:

…..…

”tetapi jika ia tidak menemukan (binatang korban atau tidak mampu), Maka wajib berpuasa tiga
hari dalam masa haji ” (QS. Al Baqarah (2) : 196

Kata tsalasah (tiga) dalam ayat di atas adalah khas yang tidak mungkin diartikan kurang atau
lebih dari makna yang dikehendaki oleh lafadh itu. Oleh karena itu dalalah maknanya ialah
qath’iy dan dalalah hukumnya pun qath’iy
Kaidah Khas
Pengertian Khas
Khas ialah lafadh yang menunjukkan arti yang tertentu, khusus, tidak meliputi arti umum,
dengan kata lain, khas itu kebalikan dari ‘am.

Menurut istilah, definisi Khas adalah :


Al-khas adalah lafadh yang diciptakan untuk menunjukkan pada perseorangan tertentu, seperti
Muhammad. Atau menunjukkan satu jenis, seperti lelaki. Atau menunjukkan beberapa satuan
terbatas, seperti tiga belas, seratus, sebuah kaum, sebuah masyarakat, sekumpulan, sekelompok,
dan lafadh-lafadh lain yang menunjukkan bilangan beberapa satuan, tetapi tidak mencakup
semua satuan-satuan itu.Dengan demikian yang termasuk lafadh khas adalah ; Lafadh yang tidak
bisa mencakup lebih dari satu seperti “ Rajulun “ (seorang laki-laki), dan lafadh yang bisa
mencakup ebih dari satu tapi terbatasi. Misalnya tiga orang laki-laki.

Hukum Lafadz khas dan contohnya


Lafadz khas dalam nash syara’ adalah menunjuk pada dalalah qath’iyah (dalil yang pasti)
terhadap makna khusus yang dimaksud. Hukum yang ditunjukkan adalah qath’i selama tidak ada
dalil yang memalingkan pada makna lain.Dalalah khas menunjuk kepada dalalah qath’iyyah
terhadap makna khusus yang dimaksud dan hukum yang ditunjukkannya adalah qath’iy, bukan
dzanniy, selama tidak ada dalil yang memalingkannya kepada makna yang lain. Misalnya,
firman Allah:
…..…

”tetapi jika ia tidak menemukan (binatang korban atau tidak mampu), Maka wajib berpuasa tiga
hari dalam masa haji ” (QS. Al Baqarah (2) : 196

Kata tsalasah (tiga) dalam ayat di atas adalah khas yang tidak mungkin diartikan kurang atau
lebih dari makna yang dikehendaki oleh lafadh itu. Oleh karena itu dalalah maknanya ialah
qath’iy dan dalalah hukumnya pun qath’iy

MUTLAK
Mutlak secara istilah dapat diartikan sebagai apa apa yang menunjukkan atas hakikat tanpa
ikatan
Mutlak adalah lafal yang menunjukkan satuan yang tidak dibatasi oleh suatu batasan yang
mengurangi keseluruhan jangkauannya
Maknanya adalah mutlak bersifat umum dan menyeluruh sedangkan muqayyad lebih spesifik,
contohnya terdapat dalam surat Al Maidah Ayat 3 :

َ ‫ُح ِّر َمتْ َعلَ ْي ُك ُم ا ْل َم ْيتَةُ َوال َّد ُم َولَ ْح ُم ا ْل ِخ ْن ِزي ِر َو َما أُ ِه َّل لِ َغ ْي ِر هَّللا ِ بِ ِه َوا ْل ُم ْن َخنِقَةُ َوا ْل َم ْوقُو َذةُ َوا ْل ُمتَ َر ِّديَةُ َوالنَّ ِط‬
َّ ‫يحةُ َو َما أَ َك َل ال‬
‫سبُ ُع‬
ٰ
‫ق‬ ْ ِ‫س ُموا ِباأْل َ ْزاَل ِم ۚ َذلِ ُك ْم ف‬
ٌ ‫س‬ ْ َ‫ب َوأَنْ ت‬
ِ ‫ستَ ْق‬ ُ ُّ‫ۗ إِاَّل َما َذ َّك ْيتُ ْم َو َما ُذبِ َح َعلَى الن‬
ِ ‫ص‬

“Diharamkan bagimu (memakan) bangkai, darah, daging babi, (daging hewan) yang disembelih
atas nama selain Allah, yang tercekik, yang terpukul, yang jatuh, yang ditanduk, dan diterkam
binatang buas, kecuali yang sempat kamu menyembelihnya, dan (diharamkan bagimu) yang
disembelih untuk berhala. … (Qs. Al-maidah, 3).

Dalam ayat diatas dijelaskan terdapat kalimat “diharamkan memakan bangkai, darah, daging
babi “,kata dam atau darah disini tidak diklasifikasikan lebih lanjut darah darah apa saja yang
diharamkan dan darah darah apa saja yang dihalalkan sehingga hokum haramnya berlaku untuk
seluruh darah, inilah yang dimaksud mutlak
berbeda dengan kalimat selanjutnya yaitu”daging hewan yang disembelih atas nama selain
Allah” dimana daging hewan yang diharamkan diklasifikasikan hanya yang disembelih atas
nama selain Allah, berarti daging hewan yang disembelih dengan menyebut nama Allah
dihalalkan selama hewan tersebut adalah hewan yang halal untuk dimakan seperti ayam dll

contoh lainnya terdapat dalam surat al mujadalah ayat 3

‫ خَ بِي ٌر‬ َ‫ تَ ْع َملُون‬ ‫ بِ َما‬ ُ ‫ َوهَّللا‬ ‫ بِ ِه‬ َ‫ َذلِ ُك ْمتُو َعظُون‬ ‫ يَتَ َماسَّا‬ ‫ أَن‬ ‫ قَ ْب ِل‬ ‫ ِّمن‬ ‫ َرقَبَ ٍة‬ ‫ فَتَحْ ِري ُر‬ ‫ قَالُوا‬ ‫ لِ َما‬ َ‫ يَعُو ُدون‬ ‫ ثُ َّم‬ ‫ نِّ َسائِ ِه ْم‬ ‫ ِمن‬ َ‫ يُظَا ِهرُون‬ َ‫َوالَّ ِذين‬
“Orang-orang yang menzhihar isteri mereka, kemudian mereka hendak menarik kembali apa
yang mereka ucapkan, maka (wajib atasnya) memerdekakan seorang budak sebelum kedua
suami isteri itu bercampur.” (QS al-Mujâdalah, 58: 3)
Lafazh “raqabah” (hamba sahaya) termasuk lafazh muthlaq yang mencakup semua
jenis raqabah (hamba sahaya) tanpa diikat atau dibatasi sesuatu yang lain. Maksudnya bisa
mencakup raqabah  laki-laki atau perempuan, beriman atau tidak beriman.
Perbedaan antara mutlak dan ‘am
Lafal mutlak menunjukan hakekat suatu lafal tanpa batasan apapun, baik dari segi sifat atau
jumlahnya. Misalnya firman Allah yang berbunyi sebagai berikut :
‫ فتحر ير رقبة‬Ayat tersebut menuntut memerdekakan budak, tanpa memerhatikan jumlah budak,
satu atau banyak dan tanpa megartikan sifat budak, apakah beriman atau tidak yang penting
adalah memerdekakaan budak.
Sedang ‘Am ialah lafal yang menunjukan pada hakekat lafal tersebut dengan memperhatikan
jumlahnya. Misalnya firman Allah dalam surat Muhammad ayat 4 yang berbunyi :
‫فضرب الرقاب‬
Lafal ‘am(al-Riqob) diatas adalah meliputi semua orang-orang kafir yang ikut berperang.
MUQQAYYAD
PENGGERTIAN
Muqayyad (‫ ) مقيد‬dari segi bahasa berarti “ikatan yang menghalangi sesuatu memiliki kebebasan
gerak (terikat/mempunyai batasan)”. Sedangkan menurut ushul fiqih adalah lafadz yang
menunjukan pada makna tertentu dengan batasan kata tertentu. dengan kata lain lafadh
muqaiyayad ialah lafadh mutlah yang diberikan kaitan dengan lafadh lain sehingga artinya
menjadi lebih tegas dan terbatas dari pada waktu masih mutlaq. Dalam hadist Ahmad
Muhammad asy-Syafi’I Muqqayyad (,1983:321) adalah lafal yang menunjukkan satuan-satuan
tertentu yang dibatasi oleh batasan yang mengurangi keseluruhan jangkauannya. sehigga dapat
disimpulkan, kaidah muqqayad merupakan satu kata yang mengakibatkan adanya penyempitan
makna atau pembatasan atas arti yang universal. Satu kata ini yang akan menimbulkan
spesifikasi tertentu sehingga ruang lingkup atas obyeknya akan terbatas. Contohnya terdapat
dalam surat an-nisa ayat 92 yang artinya berbunyi:
“Dan barangsiapa membunuh seorang mukmin karena tersalah (hendaklah) ia memerdekakan
seorang hamba sahaya yang beriman.”(QS.An-Nisa’ : 92)
Kata budak mukmin (raqabah mu’minah) dalam ayat di atas tidak sembarangan hamba sahaya,
tetapi hanya hamba sahaya yang beriman. Sehingga beriman merupakan
pembatasan/muqqayyad.
Jenis-Jenis Hukum Muqqayyad
 Hukum mutlaq yang sudah dibatasi : Lafadz mutlaq tidak boleh dinyatakan mutlaq jika telah
ada yang membatasinya. Jika suatu lafadz mutlaq telah ditentukan batasannya, maka ia
menjadi muqoyyad.
Contohnya dalam Q.S an-Nisa:11 yang artinya :
“Allah mensyari'atkan bagimu tentang (pembagian pusaka untuk) anak-anakmu. Yaitu:
bahagian seorang anak lelaki sama dengan bagahian dua orang anak perempuan; dan jika
anak itu semuanya perempuan lebih dari dua, maka bagi mereka dua pertiga dari harta
yang ditinggalkan; jika anak perempuan itu seorang saja, maka ia memperoleh separo
harta. Dan untuk dua orang ibu-bapa, bagi masing-masingnya seperenam dari harta yang
ditinggalkan, jika yang meninggal itu mempunyai anak; jika orang yang meninggal tidak
mempunyai anak dan ia diwarisi oleh ibu-bapanya (saja), maka ibunya mendapat sepertiga;
jika yang meninggal itu mempunyai beberapa saudara, maka ibunya mendapat seperenam.
(Pembagian-pembagian tersebut di atas) sesudah dipenuhi wasiat yang ia buat atau (dan)
sesudah dibayar hutangnya. (Tentang) orang tuamu dan anak-anakmu, kamu tidak
mengetahui siapa di antara mereka yang lebih dekat (banyak) manfaatnya bagimu. Ini
adalah ketetapan dari Allah. Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui lagi Maha Bijaksana.”

lafalnya masih bersifat mutlaq, tidak ada batasan berapa jumlah yang harus dikeluarkan.
Kemudian ayat tersebut dibatasi ketentuannya oleh hadis yang menyatakan bahwa wasiat
paling banyak sepertiga harta yang ada, sebagaimana hadis Nabi : “Wasiat itu sepertiga dan
sepertiga itu sudah banyak.“ (H.R.Bukhari dan Muslim)
 Hukum Muqoyyad yang dihapuskan batasannya : Lafal Muqoyyad jika dihadapkan pada
dalil lain yang menghapus sifat muqoyyad-nya, maka ia menjadi menjadi mutlaq,
artinya, Muqoyyad tidak akan tetap dikatakan muqoyyad jika ada dalil lain yang
menunjukan kemutlakannya
Contohnya, Keharaman menikahi anak tiri mempunyai dua sebab, yaitu:
- Anak tiri dalam pemeliharaan bapak tiri
- ibu dari anak tiri yang dikawininya telah digauli.

 Sebab kedua (telah menggauli ibu dari anak tiri) dipandang sebagai hal yang membatasi,
sedangkan alasan pertama hanya mengikuti saja. Jadi, bila ayah tiri belum menggauli ibu
kandung dari anak tiri, maka anak tiri boleh dinikahi, tentu saja dengan menceraikan terlebih
dahulu ibu dari anak tiri tersebut. Jadi, hukum mengawini anak tiri yang semula haram
(muqoyyad) menjadi halal (karena batasan muqoyyad telah dihapus). 

Mujmal

Mujmal  Secara bahasa berarti samar dan beragam / majemuk.

Secara istilah berarti:

lafadz yang maknanya tergantung pada lainnya. Dalam arti ialah suatu lafal yang belum
jelas, yang tidak dapat menunjukkan arti sebenarnya apabila tidak ada keterangan lain
yang menjelaskan, baik dalam menentukan salah satu maknanya atau menjelaskan
ukurannya.

Contoh : Lafadz yang masih memerlukan keterangan lainnya untuk menentukan maknanya:
- Kata “rapat” dalam Bahasa Indonesia memiliki dua maknya, yakni : perkumpulan dan tidak
ada celah.
- Dalam Al-Qur’an (surat Al-Baqarah : 228)

ُ ‫َو ْال ُم َطلَ َق‬


‫ات َي َت َر َبصْ َن ِبا َ ْنفُسِ ِه َن ثَاَل َث َة قُرُوء‬

Artinya: “Wanita-wanita yang ditalak hendaklah menahan diri (menunggu) tiga kali
quru’.

kata ” ‫ ” قروء‬dalam ayat ini bisa berarti : suci atau haidh. Sehingga untuk menentukan maknanya
membutuhkan dalil lain.

MUBAYYIN
1. Pengertian Mubayyin
Mubayyin artinya ialah penjelasan; maksudnya ialah menjelaskan lafal atau susunan
yang mujmal. Mubayyin ialah lafal yang terang maksudnya tanpa memerlukan
penjelasan dari lainnya.  Jelasnya ialah:
‫اـلـبـيـاـنـ إـخـرـاـجـ اـلـشـيـءـ مـنـ حـيـزـاـإلـشـكـاـلـ إـلـيـ حـيـزـاـ لـتـجـلـيـ‬
“Bayan ialah  mengeluarkan  sesuatu dari tempat yang sulit kepada tempat yang jelas.”

2. Macam-macam Mubayyin:
a.       Mubayyin dengan perkataan; sebagaimana firman Allah swt.;
“Barang siapa yang tidak dapat membeli binatang kurban hendaklah ia berouas tiga
hari dalam masa haji dan tujuh hari apabila kamu kembali;yang demikian itu
sepuluh hari sempurna.” (Q.S.al-baqarah[2]: 196).
Lafal tujuh dalam bahasa arab sering ditujukan kepada banyak yang diartikan lebih
dari tujuh. Untuk menjelaskan tujuh yang sebenarnya, Allah iringi dengan firmanNya
sepuluh hari yang sempurna. Penjelasan tujuh yang sebenarnya dalam ayat ini adalah
dengan ucapan.
b. Bayan dengan perbuatan; seperti penjelasan Nabi saw. Pada cara-cara sholat dan haji:

‫صـلـوـاـكـمـاـرـأـيـتـمـوـ نـيـ أـصـلـيـ‬


“Sholatlah kamu sebagaimana kamu melihat aku menjalankan sholat.” (H.R.
Bukhari).
Cara shalat ini dijelaskan dengan perbuatan oleh Nabi saw. Yakni beliau
mengerjakan sebagaimana beliau mengerjakan sambil menyuruh orang menirunya.
c.      Bayan dengan isyarat; Misalnya penjelasan Nabi saw. Tentang jumlah hari dalam
satu bulan. Penjelasan ini diberikan kepada sahabat beliau dengan mengangkat
sepuluh jarinya tiga kali, yakni 30 hari. Kemudian mengulanginya sambil
membenamkan ibu jarinya pada kali yang  terakhir. Maksudnya bahwa bulan arab itu
kadang-kadang 30 hari atau 29 hari.
d.      Bayan dengan meninggalkan sesuatu; misalnya hadits ibnu hibban yang
menerangkan:

‫كـاـنـ اـخـرـاـالـمـرـيـنـ مـنـهـ صـ مـ عـدـمـ اـلـوـضـوـءـمـمـاـ مـسـتـ اـ لـنـاـرـ‬


“adalah akhir dua perkara pada Nabi saw. Tidak berwudhu’ karena makan apa
yang dipanaskan api,”
Hadits ini sebagai penjelasan yang menyatakan bahwa Nabi saw tidak berwudhu’ lagi
setiap kali selesai makan  daging yang dimasak.
e.       Bayan dengan diam; Misalnya tatkala Nabi saw menerangkan wajibnya ibadah haji,
ada seorang yang bertanya ”Apakah setiap tahun ya Rasulullah?” Rasulullah diam
tidak menjawab. Diamnya Rasulullah ini berarti menetapkan bahwa haji tidak wajib
dilakukan tiap tahun

Anda mungkin juga menyukai