Anda di halaman 1dari 14

Kaidah-Kaidah Pengambilan Hukum

A. Pendahuluan Tarif Ushul Fiqh yang lengkap ialah kaidah-kaidah yang dipergunakan untuk mengeluarkan hukum dari dalil-dalilnya, dan dalil-dalil hukum. Hukumhukum tersebut ada sumbernya, yaitu Al-Quran, hadits, Ijma, dan Qiyas. Karena itu yang dimaksud Ushul Fiqh ialah sumber-sumber (dalil-dalil) tersebut dan bagaimana cara menunjukkannya kepada hukum secara ijmal. Ijma ialah dalil yang tidak rinci untuk sesuatu maskud hukum tertentu. Jadi hanya merupakan dalil semata-mata yang masih memerlukan keterangan, misalnya : a. Suatu perintah menunjukkan wajib () b. Suatu larangan menunjukkan haram () Akan tetapi, bila suatu hukum telah ditentkan untuk satu hukum disebut tafsil, seperti perintah wajib shalat fardlu. Di sini telah ditentkan hukum wajib shalat, yang berasal dari firman Allah : Dan dirikanlah olehmu sholat. (QS. Al-Baqarah : 43) Masalah yang dibahas dalam ilmu Ushul Fiqh, ialah cabang-cabang hukum syara dengan maksud untuk diselidiki apakah wajib, atau sunnah dan larangan Allah apakah menunjukkan haram atau makruh. Oleh karena itu, baik yang wajib maupun yang sunnah, keduanya merupkan perintah Allah. Sedangkan haram atau makruh, merupakan larangan Allah. Agar praktis dan operasional maka penulisan makalah ini dirumuskan dalam bentuk perrtanyaan-pertanyaan sebagai berikut : 1. Apa saja bentuk-bentuk dan kaidah-kaidah Amr? 2. Apa saja bentuk-bentuk dan kaidah-kaidah Nahi?

B. Pembahasan 1. Bentuk-bentuk dan Kaidah-kaidah Amr a. Pengertian Amr Menurut bahasa Amr berarti suruhan. Sedang menurut istilah ialah : Suatu lafadz yang dipergunakan oleh orang yang lebih tinggi derajatnya kepada orang yang lebih rendah untuk meminta bawahannya mengerjakan suatu pekerjaan yang tidak boleh ditolak.1 b. Bentuk-bentuk Amr Lafadz yaitu : Dengan menggunakan fiil amr, misalnya : Dan dirikanlah olehmu sholat. (QS. Al-Baqarah : 43) Dengan fiil mudlori yang diberi lam amr, misalnya : Dan hendaklah mereka melakukan melakukan thawaf sekeliling kabah itu. (QS. Al-Hajj : 29) Dengan menggunakan isim fiil amr, seperti : Jagalah dirimu; Tiadalah orang yang sesat itu akan memberikan mudharat (membahayakan) kepadamu apabila kamu telah mendapat petunjuk (QS. Al-Maidah : 105) Dengan menggunakan isim mashdar pengganti fiil, misalnya : yang menunjukkan kepada perintah sebagaimana dimaksudkan dalam pengertian di atas dinyatakan dalam beberapa bentuk,

Abdul Rokhman, Roli, et.al. Fiqih 3B, (Jakarta : PT. Wahana Dinamika Karya, 2004), hal. 74.

Dan berbuat kebaikanlah kepada ibu-bapakmu (QS. Al-Baqarah: 83) Dengan menggunakan kalimat berita (kabar), misalnya : Perempuan-perempuan yang telah dicerai itu, menunggu tiga kali suci dari haid (iddahnya). (QS. Al-Baqarah : 228)2 Kata-kata yang mengandung makna perintah, seperti ,, ,dan sebagai jawab syarat, dan sebagainya. Di bawah ini akan dikemukakan contoh-contohnya : Menggunakan kata faradla :

Sesungguhnya kami tahu apa yang telah kami perlukan (aturkan) untuk mereka terhadap istri-istrinya. (QS. Al-Ahzaab : 50) Menggunakan kata kutiba : Hai orang-orang yang beriman, diwajibkan atas kamu berpuasa sebagaimana diwajibkan atas orang-orang sebelum kamu agar kamu bertaqwa (QS. Al-Baqarah : 183) Menggunakan kata amara : ... - Sebagai jawab syarat :

... Jika kamu terkepung (dihalangi musuh), maka berikan hadiah apa yang mudah (QS. Al-Baqarah : 196) c. Kaidah-kaidah Amr
2

Moh. RifaI, Ushul Fiqih, (Bandung : PT. Al Maarif, 1973), hal. 29.

Yang dimaksud dengan kaidah-kaidah amr ialah ketentuan-ketentuan yang dipergunakan para mujtahid dalam mengistinbatkan hukum. Ulama Ushul merumuskan kaidah-kaidah amr dalam lima bentuk3, yaitu : Kaidah pertama : Pada dasarnya amr (perintah) itu menunjukkan kepada wajib kecuali ada dalil yang menunjukkan kepada hal yang sebaliknya. Seperti firman allah SWT. Dirikanlah sholat dan tunaikanlah zakat (QS. Al-Baqarah : 83) Ibahah (boleh dikerjakan dan boleh ditinggalkan), seperti firman Allah: Makanlah rezeki yang baik yang Kami berikan kepadamu (QS. Thaha : 81)4 Takhsir (menghina) atau merendahkan derajat, seperti firman Allah : Jadi keralah kamu serta terusir (QS. Al-Baqarah : 65) Nadb (anjuran / sunnat), seperti firman Allah : Hendaklah kamu terima, jika kamu ketahui bahwa ada kebaikan pada mereka (QS. An-Nur : 33) Irsyad (membimbing atau memberi petunjuk), seperti firman Allah : Persaksikanlah apabila kamu berjual-beli (QS. Al-Baqarah : 282) Amr dalam bentuk irsyad ini berbeda dengan yang berbentuk nadb. Dengan nadb diharapkan mendapat pahala, sedang irsyad
3 4

Abdul Rokhman, op.cit., hal. 74 Muhammad Jamaluddin, Mifathul Wushul, (Jombang : Muhibbin, 1992), hal. 16.

untuk kemaslahatan serta kebaikan yang berkaitan dengan adat istiadat dan sopan santun5. Tahdid (mengancam atau menghardik), seperti firman Allah :


Kerjakanlah olehmu apa-apa yang kamu kehendaki (QS. Haamiim As-Sajdah) Ikrom (memulyakan), seperti firman Allah : Masuklah kamu ke dalamnya dengan selamat dan sentosa (QS. Al-Hijr : 46) Taswiyah (sama antara dikerjakan dan tidak), seperti firman Allah : Baik kamu sabar ataupun tidak sabar. Itupun sama saja bagimu (QS. Ath-Thuur : 16) Takwin (mewujudkan), seperti firman Allah : Jadilah engkau lalu jadilah ia (QS. Yaasiin : 82) Tajiz (menunjukkan kelemahan lawan bicara), seperti firman Allah : Maka perbuatlah olehmu satu surat seumpamanya (QS. Al-Baqarah : 23) Tafwidl (menyerah), seperti firman Allah :

Maka hukumlah apa yang akan engkau hukumkan (QS. Thaha : 72) Talhif (membuat sedih atau merana), seperti firman allah : Matilah kamu bersama amarahmu itu (QS. Ali Imran : 119)
5

Abdul Rokhman, op.cit., hal. 75

Doa (permohonan), seperti firman Allah :

Ya Tuhan kami, berilah kami kebaikan di dunia dan kebaikan di akhirat dan peiharah kami dari siksaan neraka (QS. Al-Baqarah : 201)6 Iltimas (perintah yang ditujukan kepada orang yang sederajat) seperti lafadz Berikan pena itu kepadaku wahai saudaraku, Imtinan (pengkaruniaan), seperti firman Allah : Dawam (terus-menerus), seperti firman Allah : Tunjukkanlah kepada kami jalan yang lurus (QS. Al-Fatihah : 6) Tamanny (harapan yang tidak mungkin tercapai), seperti syair yang berbunyi : # Wahai malam memanjanglah, wahai tidur hilanglah, wahai subuh berhentilah, wahai matahari janganlah engkau muncul. Takhyir (memilih) seperti : Nikahilah Hindun atau saudaranya Taajub (kagum) seperti firman allah : Tadib (sopan santun) seperti : Makanlah apa yang ada di dekatmu7
6

Muhammad Jamaluddin, op.cit., hal.16

Kaidah kedua

Perintah setelah larangan menunjukkan pada kebolehan Kadang-kadang As-Syari melarang suatu hal lalu menyuruh melakukannya sesudah itu, dan ini datang dalam dua bentuk : Pertama : Larangan yang sebelumnya adalah karena suatu illat, sebagaimana firman Allah SWT : .... Bila kamu telah lelah dari ihram, maka berburulah. Ayat di atas datang sesudah firman Allah SWT : Tanpa kamu menghalalkan beruru sedang kamu dalam keadaan berihram. Kedua : Larangan yang sebelumnya adalah mutlak, yakni tidak berdasarkan sesuatu illat yang disebut. Seperti dalam sabda Rasul SAW : Dulu aku melarang kamu menziarahi kubur bukan? Maka sekarang beraiarahlah ke kubur.8 Kaidah ketiga Pada dasarnya perintah itu tidak menghendaki segera dilaksanakan. Misalnya tentang haji, seperti firman Allah dalam surat Al-Hajj 27 : Sesungguhnya Allah telah mewajibkan kepadamu haji, maka berhajilah kamu. Namun demikian, para ulama sepakat bahwa perintah melaksaknakan sesuatu yang berkaitan dengan waktu, maka harus dikerjakan sesuai dengan waktu yang telah ditetapkan dan tidak boleh di luar waktu.

Majlis Mahasiswa Universitas Darul Islam, Balaghah fi Al-Ilmi Maani, (Ponorogo : Gontor, 1985). Hal. 24 8 Zaid H. Al-Hamid, Terjemah Ushul Fiqih, (Pekalongan : Raja Murah, 1982), hal. 250.

Bila dikerjakan dilua waktu tanpa sebab yang dibenarkan oleh syara maka hukumnya berdosa.9 Sebagian ulama lagi menyatakan bahwa perintah itu berlaku segera mungkin. Pada dasarnya perintah (amr) itu menghendaki pelaksanaan yang segera. Seperti perintah Allah kepada para malaikat yang tersebut dalam AlQuran sebagai berikut : Sujudlah kamu sekalian kepada Adam, maka para malaikat sujud, keculai iblis. (QS. Al-Baqarah : 34)10 Kaidah keempat Pada dasarnya perintah itu tidak menghendaki pengulangan (berkalikali mengerjakan perintah). Misalnya perintah menunaikan ibadah haji, yaitu satu kali seumur hidup. Namun bila perintah itu dimaksudkan pengulangan (beberapa kali), maka harus ada qarinah atau kalimat yang menunjukkan kepada pengulangan. Menurut ulama, qarinah dapat dikelompokkan menjadi tiga : Perintah itu dihubungkan dengan syara, seperti wajib mandi setiap junub. Jika kamu berjunub, maka mandilah (QS. Al-Maidah : 6) Perintah dihubungkan dengan illat, dengan kaidah : Hukum itu ditentukan oleh ada atau tidaknya illat.

10

Abdul Rokhman, op.cit., hal. 77 Moh. Rifai, op.cit., hal 35.

Seperti hukum rajam sebab melakukan zina. Lihat surat Al-Nur ayat 2 Wanita dan laki-laki yang berzina maka deralah masing-masing seratus kali. Perintah dihubungkan dengan sifat atau keadaan yang berlaku sebagai illat, seperti kewajiban shalat setiap kali masuk waktu. Kerjakanlah shalat dari sesudah matahari tergelincir (QS. AlIsra : 78) Dengan demikian, jelas bahwa berulangnya kewajiban dihubungkan dengan berulangnya sebab. Dalam kaitannya dengan masalah ini ulama menetapkan kaidah. Kaidah kelima Memerintahkan mengerjakan sesuatu berarti memerintahkan pula segala wasilahnya. Maksud kaidah tersebut adalah bahwa perbuatan yang diperintahkan itu tidak bisa terwujud tanpa disertai dengan sesuatu pebuatan lain yang dapat mewujudkan perbuatan yang diperintahkan. Seperti kewajiban mengerjakan shalat. Shalat tidak dapat dilaksanakan tanpa suci terlebih dahulu. Karena itu perintah shalat berarti juga perintah bersuci. Berkaitan dengan masalah tersebut, ulama menetapkan kaidah : Segala sesuatu yang kewajiban tidak sempurna kecuali dengannya, maka hukunya wajib pula.11

11

Abdul Rokhman, op.cit., hal. 78

2. Bentuk-Bentuk dan Kaidah-Kaidah Nahy a. Pengertian Nahy Nahy menurut bahasa artinya mencegah atau malarang. Adapun menurut syara adalah : Memerintahkan meninggalkan sesuatu dari orang yang lebih tinggi tingkatannya kepada orang yang lebih rendah tingkatannya.12 b. Bentuk-bentuk Nahy Pernyataan yang menunjukkan kepada nahy (larangan) itu ada beberapa bentuk. 1. 2. Fiil Mudlori, yang disertai dengan la al-nahiyah, seperti : Lafadz-lafadz yang memberi pengertian haram atau perintah Allah menghalalkan jual beli dan mengharamkan riba (QS. AlBaqarah : 275) c. Kaidah-kaidah Nahy Kaidah pertama Menurut jumhur : Pada dasarnya larangan itu menunjukkan haram seperti : Janganlah kamu mendekati zina (QS. Al-Isra : 32) Alasan yang dipakai oleh jumhur ulama : Akal dapat memahami bahwa sighat (bentuk) nahy itu menunjukkan arti yang sebenarnya, yaitu melarang. Ulama salaf memahami sighat nahy yang bebas dari qarinah menunjukkan larangan. Sebagian ulama berpendapat :
12

meninggalkan sesuatu perbuatan, seperti :

Moh, RifaI, op.cit., hal. 42

10

Pada dasarnya larangan itu menunjukkan makruh. Menurut mereka, bahwa nahy merupakan sesuatu yang dilarang karena tidak baik. Karena itu, ia tidak menunjukkan haram, tetapi makruh. Sebab makruhlah pengertian yang pasti. Sighat nahy selain menunjukkan haram, sesuai dengan qarinahnya, juga menunjukkan beberapa arti, antara lain sebagai berikut : Karahah (makruh), seperti : Doa, seperti :

Ya Tuhan kami, jangalah engkau siksa kami jika kami lupa (QS. Al-Baqarah : 286) Irsyad (memberi petunjuk), seperti : Janganlah kamu bertanya tentang beberapa perkara, jika diterangkan kepadamu, nanti menyusahkan kamu. (QS. AlMaidah : 101) Tahqir (menghina), seperti : Janganlah engku layangkan pandangan engkau kepada barangbarang yang telah kami beri kesukaan kepada kepada bermacammacam orang kafir (QS. Al-Hijr : 88) Bayan al-Aqibah, seperti : Janganlah engkau kira mati, orang-orang yang telah mati terbunuh pada jalan Allah (QS. Ali Imran : 169) Tayis (menunjukkan putus asa), seperti :

11

Janganlah kamu meminta udzur pada hari ini (hari qiyamat). (QS. At-Tahrim : 7) Tahdid (mengancam), seperti : Kaidah kedua Larangan terhadap sesuatu berarti perintah akan kebalikannya. Seperti : artinya : jangalah kamu mempersekutukn Allah. Larangan mempersekutukan Allah berarti perintah mentauhidkanNya. Kaidah ketiga Pada dasarnya larangan yang mutlak menghendaki pengulangan larangan dalam setiap waktu. Jadi larangan yang tidak dikaitkan dengan sesuatu seperti waktu atau sebab-sebab lain, maka berarti menghendaki meninggalkan yang dilarang sepanjang masa. Namun bila larangan itu dikaitkan dengan waktu, maka perintah larangan berlaku bila ada sebab. Seperti : Janganlah shalat sedang kamu dalam keadaan mabuk (QS. AnNisa : 43) Kaidah keempat : Pada dasarnya larangan itu menghendaki fasad (rusak) secara mutlak. Rasulullah SAW bersabda : Setiap perkara yang tidak ada perintah kami, maka ia tertolak. Dengan demikian, perkara yang dilarang berarti tidak diperintahkan, dan setiap yang tidak diperintahkan tertolak dan tertolak berarti batal (tidak sah / fasad) hukumnya.13
13

Abdul Rokhman, op.cit., hal 78-80.

12

C. Penutup Pada dasarnya perintah itu menunjukkan wajib. Artinya, jika perintah itu bebas tidak disertai sesuatu qarinah yang menyimpangkan kepada tujuan selain wujud maka ternyata penegrtian hukum yang keluar dari amr itu wajib. Begitu pula nahi, pada dasarnya nahi itu menunjukkan haram (haramnya perbuatan yang dilarang), apabila ada kata-kata larangan yang tidak diikuti qarinah, akal dapat mengerti keharusan yang diminta larangan itu. artinya larangan itu merupakan tuntutan. Dengan demikan, pada hakikatnya nahi itu menunjukkan haram. Dan yang datangnya bukan untuk mengaharamkan berarti secara majaz atau larangan itu karena disertai qarinah.

13

DAFTAR PUSTAKA

Abdul Rokhman, Roli, et.al. Fiqih 3B, Surabaya : PT. Wahana Dinamika Karya, 2004. Al-Hudhori Biek, Syekh Muhammad, t.t., Ushul Fiqih, terjemahan Zaid, H. AlHamid, pekalongan : 1982. Jamaluddin, Muhammad. 1992. Mifathul Wushul fi Ilmi Al-Ushul, Jombang : Muhibbin. Junus, Mahmud. 2000. Tarjama Al-Quran Al-Karim. Bandung : Al-Maarif. Majlis Thalabah jamiah Darul Islam, 1985. Fi Ilmi Al-Maani, Gontor. Rifai, Moh. 1973. Ushul Fiqih. Bandung : PT. Al Maarif. 2. AL BAQARAH (Sapi betina) [ Daftar Surat ] Bahasa Surat Ayat

wa-aqiimuu alshshalaata waaatuu alzzakaata wairka'uu ma'a alrraaki'iina [2:43] Dan dirikanlah shalat, tunaikanlah zakat dan ruku'lah beserta orangorang yang ruku'44

14

Anda mungkin juga menyukai