Anda di halaman 1dari 13

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Fiqih sebagai ilmu metodologi penggalian hukum mempunyai peranan penting dalam
ranah keilmuan agama Islam khususnya dalam ilmu hukum islam atau ilmu fiqih.
Pembahasan dari segi kebahasaan atau kajian lughawiyah, sangat penting sekali
ditela’ah karena sumber hukum islam yaitu al-Qur’an dan al-Hadist menggunakan
bahasa arab yang mempunyai banyak makna yang terkandung didalamnya. Dalam
makalah ini kami akan membahas tentang amr (perintah) dan nahi (larangan),

B. Rumusan Masalah
1. Apa pengertian amr dan nahi ?
2. Ada berapa pembagian bentuk amr maupun Nahi ?
3. Apa hakikat Hukum Amr dan Nahi ?

C. Tujuan Penulisan
Adapun tujuan dari pembuatan makalah ini adalah agar :
1. Mengetahui apa pengertian amr dan nahi
2. Mengetahui pembagian bentuk-bentuk amr dan nahi.
3. Mengetahui hakikat hukum pada amr dan nahi.

1
BAB II
PEMBAHASAN

A. Pengertian
Amar secara etimologi artinya suruhan, perintah dan perbuatan. Secara terminologi
artinya tuntutan memperbuat dari atasan kepada bawahan1. Menurut Jumhur
ulama’ Ushul, definisi amr adalah lafadz yang menunjukkan tuntutan dari atasan
kepada bawahannya untuk mengerjakan suatu pekerjaan.
Menurut Abdul Hamid Hakim :
‫طلب الفعل من اال على الى االدنى‬
“tuntutan untuk memperbuat sesuatu dari pihak atasan kepada pihak bawah”2

Menurut ja’far Amir mengutip definisi Al-Amru dari kitab Irsyadul Futhul :
‫ طلب الفعل بالقول على سبيل االستعالء‬: ‫االمر‬
“amar adalah perintah dengan lisan untuk mewujudkan suatu perbuatan yang harus di
lakukan”

B. Bentuk Lafadz Amr


Ada beberapa bentuk lafadz yang mengindikasikan didalamnya mengandung kalam
amar/perintah, antara lain berbentuk :3
a. Fi’il amar misalnya :
‫ اكتبو‬,‫(اجلس‬duduklah, menulislah kalian semua )
b. Isim fi’il amar misalnya :
‫ عليكم بالصدق‬,‫( عليكم انفسكم‬berbuat jujurlah kamu, jagalah dirimu )
c. Masdar pengganti fi’il :
‫(و بالوالدين احسانا‬berbuat baiklah kepada kedua orang tua)
d. Kalam khabar yang mengandung amar misalnya :
‫والمطلقات يتربصن بانفسهن ثالثت قروء‬
(orang perempuan yang di talak mereka hendaknya menunggu tiga quru’)
e. Kata-kata yang mengandung makna perintah misalnya :
‫ كتب‬,‫ فرض‬,‫امر‬.

1
Muhammad Abu Zahro, Ushul fiqih, dar Al-Fikr, arab, hal 176
2
abdul hamid hakim, al bayan , hal. 15
3
Satria effendi, ushul fiqih , hal 198.

2
C. Kandungan Hukum Dari Kalam Amar4
Ada dua rumus yang di ajukan oleh para ulama’ tentang kedudukan hukum dari kalam
amar terkait dengan ahkam at taklifiyyah. Masing –masing golongan dengan kaidahnya
dan alas an masing-masing.
a. Golongan pertama menyatakan bahwa setiap amar/perintah itu pada dasarnya
menunjukkan hukum wajib. Kaidahnya berbunyi:
‫االصل فاالمر للوجوب‬
“pada dasarnya setiap perintah itu menunjukkan hukum wajib”
Menurut kaidah ini apabila tidak ada qarinah/keterangan lain, maka setiap perintah itu
kedudukan hukumnya adlah wajib ditunaikan hal ini karena ada keterangan/qarinah
tersebut berarti perintah itu jazm. Maka hukumnya adalah wajib.
b. Golongan kedua menyatakan bahwa setiapperintah itu pada dasarnya hanya anjuran
atau sunat saja. Keidah mereka berbunyi:
‫االصل فى المر الندب‬
“pada dasarnya setiap perintah itu menunjukkan anjuran (sunat) “
Menurut rumusan ini, apabila tidak ada keterangan yang menunjukkan sifat wajib,
maka setiap perintah itu kedudukan hukumnya hanya anjuran atau sunnat saja.
Adapun penyebab terjadinya perbedaan pemunculan dua rumusan kaidah tersebut :
a. Bagi yang mengajukan rumusan pertama bahwa hkum setiap perintah itu pada
dasarnya wajib adalah :
1. Dalil naqliyah. Secara naqli bahwa perintah itu menunjukkan wajib dapat disimak
dari kasus malaikat (termasuk iblis) yang diperintah oleh Allah SWT untuk pada adam :
‫اسجدوا الدم فسجدو اال ابليس‬
“ sujudlah kamiu sekalian pada adam, maka sujudlah mereka semua kecuali iblis” Q.S.
Al-Baqarah 34.
Oleh karena itu, iblis tidak mau sujud (melakukan perintah itu) maka ia dicela Allah
SWT, sebagaimana firman-Nya:
‫مامنعك ان ال تسجد اذ امرتك‬
“apa yang menghalangi kamu sehingga tidak sujud padahal kamu aku perintah.” Q.S.
Al-A’raf 12.
Kalau sekiranya perintah agar iblis sujud pada adam hanya anjuran, tentunya Allah
SWT tidak akan mencela mereka. Akibat keengganan mereka melaksanakan perintah
itu maka mereka dihukum Allah SWT dengan dikeluarkan dari surga.
4
Zen amiruddin, ushul fiqih, hal 107

3
2. Dalil aqliyyah / rasionalitas. Menurut akal, dalam kehidupan sehari-hari dapat
dikatakan bahwa apabila seseorang bawahan diperintah oleh atasannya maka wajib
memenuhinya, ia akan dianggap tercela manakala tidak mengerjakan perintah atasan
tersebut, ia diberi gelar sebagai orang yang durhaka dan diberi sanksi.
Jadi menurut golongan ini setiap perintah itu hukumnya wajib dikerjakan, kecuali ada
qarinah /keterangan bahwa hal itu tidak wajib, misalnya perintah shalat jumat
berjamaah :
‫يا ايه الذين ا منووا اذا ندي للصالة من يوم الجمعة فسعوا الى ذكر هللا وذروا البيع‬
“ wahai orang-orang yang beriman apabila diserukan kepadamu shalat jum’at maka
segeralah kamu mengingat allah dan tinggalkanlah jual beli.” Q.S. Al-Jumu’ah 8.
Kemudian ada keterangan rosululloh :
“ jum’at itu sesuatu yang wajib dengan jama’ah bagi setiap muslim kecuali empat orang
hamba sahaya, perempuan, anak-anak, orang sakit.”riwayat Bukhori, Muslim
Pengistinbatan atau penetapan hukum dasar wajib tersebut karena kaidah dasarnya
menunjukkan bahwa “ pada dasarnya setiap perintah itu hukumnya wajib “ maka setiap
mukmin termasuk para wanita, orang sakit, anak-anak dan budak pada dasarnya wajib
shalat jum’at, tetapi ternyata ada ketentuan dalil yang menyatakan bahwa wanita,orang
sakit, anak-anak, dan hamba sahaya tidak wajib shalat jum’at maka empat golongan itu
masuk kategori pengecualian dari hukum dasar yang wajib itu, artinya menjadi tidak
wajib shalat jum’at.
Ulama’ yang memegang pendapat golongan pertama ini adalah Al-Amidi, Asy-Syafi’I,
para fuqaha, kaum mutakallimin, seperti Al-Husen, Al-Basari, dan Al-Juba’i.
b. Bagi yang mengajukann rumusan kedua, yakni bahwa setiap perintah itu pada
dasarnya adalah anjuran.
Golongan ini beralasan bahwa setiap manusia lahir didunia ini memiliki hak asasi
berupa kebebasan, sedangkan beban yang mengikat yang mau tidak mau harus diterima
itu adalah ia terima setelah adanya interaksi dengan manusia lain atau lingkungannya.
Berdasarkan kebebasan dasar yang merupakan hak asasi manusia itu, maka beban yang
berupa perintah itu pada dasarnya tidak bisa menjadi beban yang mengikat, yang
memaksa atau yang wajib, sebab itu bertentangan dengan prinsip hak dasar yang
dimiliki manusia sejak lahir tersebut.
Jadi mennurut aliran ini setiap perintah itu hukum dasarnya hanyalah sunnah /anjuran
saja, terkecuali ada keterangan lain yang menyatakan bahwa perintah itu memang harus

4
dikerjakan, maka menjadi wajib. Rumusan ini diajukan leh para pengikut aliran
mu’tazilah dan ahlu raj’i.
Misalnya berdasarkan dalil surat al jumu’ah ayat 8 tersebut menurut pendapat ini ,
shalat jumat itu hukum dasarnya adalah sunnat belaka, akan tetapi, karena adanya
peegasan oleh nabi SAW pada hadist tersebut yang menyatakan haqun wajibun, maka
barulah shalat jumat itu dihukumi wajib bagi semua orang beriman kecuali empat
golongan yang di sebut oleh rasul SAW tersebut.
Dengan demikian, menurut pandangan ini seandainya tidak ada hadist tersebut maka
shalat jum’at itu hukumnya sunnah.

D. Makna Amr
Ada beberapa makna yang terkandung dalam amar. Salah satunya disebut makna hakiki
(sebenarnya) dan yang lain disebut makna majazi (kiasan). Berikut ini makna-makna
yang dihasilakan dari amar tersebut.5:
1. Wajib; contohnya firman Allah swt : "‫ "أقيم‚‚وا الص‚‚الة‬artinya: “Dan dirikanlah
shalat”. (QS. 2:110)
2. Sunnah; contohnya firman Allah swt: "‫ "فك‚‚‚‚اتبوهم إن علمتم فيهم خ‚‚‚‚يرا‬artinya:
“Hendaklah kamu buat perjanjian dengan mereka, jika kamu mengetahui ada
kebaikan pada mereka”. (QS. 24:33)
3. Mendidik ; contohnya sabda rasul: "‫ "كل مما يليك‬artinya: makanlah dari apa yang
layak”.
4. Petunjuk ; contohnya firman Allah swt: "‫ "واتشهدوا شهيدين من رجالكم‬artinya: “Dan
persaksikanlah dengan dua orang saksi dari orang-orang lelaki (di antaramu)”.
(QS. 2:282)
5. Mubah ; conthonya firman Allah swt: "‫وكلوا واشربوا ح‚‚تى يت‚‚بين لكم الخي‚‚ط األبيض من‬
‫ "الخيط األس‚واد من الفج‚ر‬artinya ; “Dan makan minumlah hingga terang bagimu
benang putih dari benang hitam, yaitu fajar”. (QS. 2:187)
6. Ancaman ; contohnya firman Allah swt: "‫ "إعملواما شئتم‬artinya: “Perbuatlah apa
yang kamu kehendaki”. (QS. 41:40)
7. Karunia ; contohnya firman Allah swt: "‫ "وكل‚‚‚وا مم‚‚‚ا رزقكم هللا‬artinya: “Dan
makanlah makanan yang halal lagi baik dari apa yang Allah telah rezkikan
kepadamu”. (QS. 5:88)

5
Al badakhsyi, Manahij al uqul, (Beirut, Dar al fikr, 2001), h.348-351

5
8. Memuliakan ; contohnya firman Allah swt: "‫ "أدخلوه‚‚‚ا بس‚‚‚الم أم‚‚‚نين‬artinya:
“"Masuklah ke dalamnya dengan sejahtera lagi aman". (QS. 15:46)
9. Kehinaan ; contohnya firman Allah swt: "‫ "كون‚‚وا ق‚‚رادة خاس‚‚ئين‬artinya: “Jadilah
kamu kera yang hina". (QS. 2:65)
10. Kelemahan ; contohnya firman Allah swt: "‫ " فأتو بسورة من مثله‬artinya: “buatlah
satu surat (saja) yang semisal al-Qur'an itu”. (QS. 2:23)
11. Ejekan ; contohnya firman Allah swt: "‫ "ذق إن‚‚‚ك أنت العزي‚‚‚ز الحكيم‬artinya :
“Rasakanlah, sesungguhnya kamu orang yang perkasa lagi mulia. (QS. 44:49)
12. Penyamaan ; contohnya firman Allah swt: "‫ "فاصبروا وال تص‚بروا‬artinya: “Maka
baik kamu bersabar atau tidak”. QS. 52:16)
13. Doa ; contohnya firman Allah swt : "‫ "رب اغف‚‚ر لي‬artinya: “ Ya Tuhanku
ampunkanlah aku”. (QS. 14:41)
14. Pembentukan : contohnya firman Allah swt: "‫ "كن فيكون‬artinya: “Jadilah maka
terjadilah”. (QS.36:82)
15. Berita : contohnya firman Allah swt: "‫ "والوالدات يرضعن أوالدهن حولين كاملين‬artinya :
“Para ibu hendaklah menyusukan anak-anaknya selama dua tahun penuh.”(QS.
2:233)

Makna-makna sighat ini dikenal dikalangan ahli bahasa Arab. Pada dasarnya tidak
memiliki muatan perintah (amar), sepanjang tidak ada indikasi yang menunjukkan
perintah dan konsekwensi yang akan diperoleh jika tidak melaksanakan perintah
tersebut. Oleh karenanya, para ulama ushul berbeda pendapat dalam menanggapi
penggunaan makna ini dalam sighat amar6

E. Kaidah kaidah dalam Amar7


Apabila dalam nash syara’ terdapat salah satu dari bentuk perintah tersebut, maka
seperti yang dikemukakan Muhammad adib shaleh, ada beberapa kaidah yang mungkin
bisa diberlakukan. Antara lain :
1. Kaidah pertama
Meskipun suatu perintah bisa menunjukkan berbagai pengertian, namun pada dasarnya
suatu perintah itu pasti berhukum wajib kecuali ada indikasi atau dalil yang
memalinggkannya dari hukum tersebut.

6
Muhammad al khudhari, Ushul fiqh, (Kairo: Maktabah taufiqiah), h. 236
7
Satria effendi,opcit, hal 184

6
Contoh yang terbebas dari indikasi yang memalingkan dari hukum wajib adalah sebagai
berikut :
‫واقموا الصالة واتوا الزكاة‬...
Dan dirikanlah sholat dan tunaikanlah zakat…(an-nisa 77)
Ayat tersebut menunjukkan hukum wajib maenunaikan shalat lima waktu dan
menunaikan zakat. Contoh perintah yang disertai indikasi yang menunjukkan hukum
selain wajib adalah surat al-baqarah ayat 283 yang berbunyi :
. * bÎ)ur óOçFZä. 4’n?tã 9xÿy™ öNs9ur (#r߉Éfs? $Y6Ï?%x. Ö`»yd̍sù ×p|
Êqç7ø)¨B ( ÷bÎ*sù z`ÏBr& Nä3àÒ÷èt/ $VÒ÷èt/ ÏjŠxsã‹ù=sù “Ï%©!$# z`ÏJè?øt$# ¼çmt
FuZ»tBr& È,Gu‹ø9ur ©!$# ¼çm/u‘ 3 Ÿwur (#qßJçGõ3s? noy‰»yg¤±9$# 4 `tBur $ygô
JçGò6tƒ ÿ¼çm¯RÎ*sù ÖNÏO#uä ¼çmç6ù=s% 3 ª!$#ur $yJÎ/ tbqè=yJ÷ès? ÒOŠÎ=tæ ÇË
ÑÌÈ

“ jika kamu dalam perjalanan (dan bermuamalah tidak secara tunai) sedang kamu tidak
memperoleh seorang penulis, maka hendaklah ada barang tanggungan yang dipegang,
akan tetapi jika sebagian kamu mempercayai sebagian yang lain maka hendaklah yang
dipercayai itu menunaikan amanatnya dengan baik…” (al-baqarah 283).
Perintah untuk menyerahkan barang jaminan utang dalam ayat tersebut oleh mayoritas
ulama’ fikih dipahami sebagai anjuran, karena bagian beikutnya dari ayat tersebut
menjelaskan: akan tetapi jika sebagian kamu mempercayai sebagian yang lain, maka
hendaklah yang dipercayai itu menunaikan amanahnya dan hendaklah ia bertaqwa
kepada Allah.
2. Kaidah kedua
Kaidah kedua adalah “suatu perintah haruskah dilakukan berulang kali ataukah
dilakukan sekali saja ?”.menurut jumhur ulama’ Ushul Fiqh, pada dasarnya suatu
perintah itu harus dilakukan berulang kali kecuali ada dalil untuk itu. Karena suatu
perintah hanya perlu terwujudnya perbuatan yang diperintahkan itu dan hal itu sudah
bisa tercapai meskipun hanya dilakukan satu kali.
3. Kaidah ketiga
Kaidah ketiga adalah : “suatu perintah haruskah dilakukan sesegera mungkin ataukah
bisa ditunda-tunda” . pada dasarnya suatu perintah tidak menghendaki untuk segera
dilakukan selama tidak ada dalil lain yang menunjukkan untuk itu, karena yang
dimaksud oleh suatu perintah hanyalah terwujudnya suatu yang diperintahkan. Pendapat
ini dianut oleh jumhur Ulama Ushul Fikih. Menurut pendapat ini, adanya ajaran agar

7
suatu kebaikan segera dilakukan, bukan ditarik dari perintah itu sendiri, tapi dari dalil
lain misalnya secara umum terkandung dalam ayat 148 dalam surat al-baqarah :
‫فاستبقوا الخيرات‬...
“ maka berlomba lombalah dalam membuat kebaikan “ (al-baqarah 148).
Menurut sebagian ulama’ antara lain Abu Hasan al Harkhi, seperti dinukil Muhammad
Adib Shalih, bahwa suatu perintah menunjukkkan hukum wajib segera dilakukan.
menurut pendapat ini barang siapa yang tidak segera melakukan perintah diawal
waktunya, maka ia berdosa.

F. Pengertian Nahi
Secara etimologi, al-Nahi berasal dari bahasa arab (‫ ) النهي‬yang artinya mencegah atau
melarang8
Adapun menurut syara’ ialah :
‫طلب الترك من االعلى الى االدنى‬
“ Memerintah meninggalkan sesuatu dari orang yang lebih tinggi tingkatannya kepada
orang yang lebih rendah tingkatannya”9

G. Bentuk-bentuk Nahi
Dalam melarang suatu perbuatan, seperti disebutkan oleh Muhammad Khudhari Bik
dalam kitab tarikh tasyrik, Allah juga memakai beragam gaya bahasa diantaranya: 10
a. Larangan secara tegas dengan memakai kata naha atau yang searti dengannya
yang secara bahasa berarti melarang. Misalnya surat An-Nahl ayat 90 :
“Dan Allah melarang dari perbuatan keji, kemungkaran dan permusuhan”.
b. Larangan dengan menjelaskan bahwa suatu perbuatan diharamkan, misalnya ayat
33 surat Al-A’raf:
“Katakanlah : "Tuhanku Hanya mengharamkan perbuatan yang keji, baik yang nampak
ataupun yang tersembunyi, dan perbuatan dosa, melanggar hak manusia tanpa alasan
yang benar”.
c. Larangan dengan menegaskan bahwa perbuatan itu tidak halal dilakukan contoh,
surat An-Nisa’ayat 19 :

8
Moh. Rifa’i, Ushul Fiqih. Bandung: PT.Al-Ma’arif,hal.42
9
Abd. Hamid Hakim, Mabadi’ Awwaliyah. Jakarta: Maktabah al-Sa’idiyah Putra.Hal.8
10
SatriaEfendidanMa’shumZein, UshulFiqh, (Jakarta :KencanPerdana Media Group), hal. 187-190

8
“Hai orang-orang yang beriman, tidak halal bagi kamu mempusakai wanita dengan
jalan paksa”.
d. Larangan dengan menggunakan kata kerja Mudhari’ (kata kerja untuk sekarang
atau mendatang) yang disertai huruf lam yang menunjukkan larangan, misal surat Al-
An’am ayat 152 :
“Dan janganlah kamu dekati harta anak yatim, kecuali dengan cara yang lebih
bermanfaat, hingga sampai ia dewasa”.
e. Larangan dengan memakai kata perintah namun bermakna tuntutan untuk
meninggalkan misalnya, surat Al-An’am ayat 120 :
“Dan tinggalkanlah dosa yang nampak dan yang tersembunyi”.
f. Larangan dengan cara mengancam pelakunya dengan siksaan pedih, misalnya
surat Al-Taubah : 34.
“Dan orang-orang yang menyimpan emas dan perak dan tidak menafkahkannya pada
jalan Allah, Maka beritahukanlah kepada mereka, (bahwa mereka akan mendapat) siksa
yang pedih”.
g. Larangan dengan mensifati perbuatan itu dengan keburukan, misalnya surat Ali
Imran : 180.
“Sekali-kali janganlah orang-orang yang bakhil dengan harta yang Allah berikan
kepada mereka dari karuniaNya menyangka, bahwa kebakhilan itu baik bagi mereka”.
h. Larangan dengan cara meniadakan wujud perbuatan itu sendiri, misalnya surat al-
Baqarah : 193.
“Jika mereka berhenti (dari memusuhi kamu), Maka tidak ada permusuhan (lagi),
kecuali terhadap orang-orang yang zalim”.

H. Kandungan makna Nahi


Pada dasarnya nahi menunjukkan arti haram. Sebagaimana firman Allah dalam Q.S.al-
Isra’ : 32
‫َو اَل َتْقَر ُبوا الِّز َنا ِإَّنُه َك اَن َفاِح َش ًة َو َس اَء َس ِبياًل‬
“Dan janganlah kamu mendekati zina; Sesungguhnya zina itu adalah suatu perbuatan
yang keji. dan suatu jalan yang buruk.”(Q.S.al-Isra’:32)
Akan tetapi dalam pemakaian bahasa Arab,terkadang bentuk nahi digunakan untuk
beberapa arti (maksud) yang bukan asli yang maksudnya dapat diketahui dari susunan
perkataan itu yang antara lain:
1. Untuk menunjukkan makruh ( ‫ ) للكراهة‬sebagaimana hadits Rasulullah SAW.

9
‫ال تصلواع في اعطان االبل‬
“janganlah shalat ditempat peristirahatan unta” (H.R. Turmudzi)
Larangan hadits tersebut di atas untuk menunjukkan makruh karena kurang bersih
walaupun suci.
2. Untuk menyatakan permohonan (( ‫للدعاء‬,sebagaimana firman Allah dalam Q.S. al-
Baqarah : 286
‫َر َّبَنا اَل ُتَؤ اِخ ْذ َنا ِإْن َنِس يَنا َأْو َأْخ َطْأَنا‬
"Ya Tuhan Kami, janganlah Engkau hukum Kami jika Kami lupa atau Kami
tersalah.”(Q.S.al-Baqarah : 286)
Perkataan “ janganlah Engkau hukum kami…”bukan menunjukkan larangan sebab
manusia tidak berhak melarang Allah karena manusia di bawah kekuasaan-Nya,tetapi
perkataan itu menunjukkan permohonan sebagai doa kepada Allah.
3. Untuk menunjukkan pengarahan atau bimbingan ( ‫) لالرشاد‬,sebagaimana firman
Allah dalam .Q.S. al-Maidah :101.
‫َيا َأُّيَها اَّلِذ يَن آَم ُنوا اَل َتْس َأُلوا َع ْن َأْش َياَء ِإْن ُتْبَد َلُك ْم َتُس ْؤ ُك ْم َو ِإْن َتْس َأُلوا َع ْنَه ا ِح يَن ُيَن َّز ُل اْلُق ْر آُن ُتْب َد َلُك ْم َع َف ا ُهَّللا َع ْنَه ا‬
‫َو ُهَّللا َغ ُفوٌر َحِليٌم‬
“ Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu menanyakan (kepada Nabimu) hal-
hal yang jika diterangkan kepadamu akan menyusahkan kamu dan jika kamu
menanyakan di waktu Al Quran itu diturunkan, niscaya akan diterangkan kepadamu,
Allah memaafkan (kamu) tentang hal-hal itu. Allah Maha Pengampun lagi Maha
Penyantun.”(Q.S. al-Maidah : 101)
Larangan ini sebagai pelajaran agar kita jangan selalu menanyakan sesuatu yang
akan merugikan diri,terutama hal-hal yang menyangkut hubungan antara manusia dan
manusiaagar hubungan itu senantiasa baik antara satu dengan yang lain.
4. Untuk memutusasakan (‫) للتيئيس‬, dalam firman Allah dalam Q.S. al-Tahrim : 7
‫َيا َأُّيَها اَّلِذ يَن َكَفُروا اَل َتْعَتِذ ُروا اْلَيْو َم ِإَّنَم ا ُتْج َز ْو َن َم ا ُكْنُتْم َتْع َم ُلوَن‬
“ Hai orang-orang kafir, janganlah kamu mengemukakan uzur pada hari ini.
Sesungguhnya kamu hanya diberi Balasan menurut apa yang kamu kerjakan.”(Q.S. al-
Tahrim:7)
5. Untuk menghibur (‫) لالئتناس‬, dalam firman Allah dalam Q.S.al-Taubah :40
‫اَل َتْح َزْن ِإَّن َهَّللا َم َع َنا‬
"Janganlah kamu berduka cita, Sesungguhnya Allah beserta kita." (Q.S. al-taubah:40)
6. Untuk ancaman ( ‫) للتهديد‬,misalnya ucapan kepada pelayan:
‫ال تطع امري‬

10
" tak usah engkau turuti perintah ini”
Yang dimaksud bukan untuk melarang,melainkan menggertak agar ia takut.11
D. Kaidah kaidah Nahi
Para ulma fiqh, seperti dikemukakan oleh Muhammad Adib Shalih. Merumuskan
beberapa kaidah yang berkanaan dengan Nahi, antara lain:

1. Kaidah pertama, ‫ االص‚‚ل في النهى للتح‚‚ريم‬, Artinya, pada dasarnya suatu larangan
menunjukkan hukum haram melakukan perbuatan yang dilarang itu. Contohnya dalam
surah Al-Mu’min ayat 151 :
‫وال تقتلوا النفس التى حرم هللا اال بالحق‬..
Artinya: Janganlah kamu membunuh jiwa yang diharamkan oleh Allah melainkan
dengan suatu sebab yang benar.

2. Kaidah kedua, ‫ االصل فى النهى يطلق الفسا د مطلقا‬,Artinya, suatu larangan menunjukkan
fasad perbuatan yang dilarang itu jika dikerjakan.
Cotohnya dalam surah Al- Isra’:
‫وال تقريوا الزنى انه كان فخشة وسا ء سبيال‬....
Artinya: Jangnlah kamu mendekati zina,sesungguhnya ia adalah seburuk-buruk jalan.

3. Kaidah ketiga, ‫ النهى عن الشئ امر يضده‬, Artinya , suatu larangan terhadap sesuatu
perbuatan berarti perintah terhadap kebalikannya.
Contoh surah Lukman ayat 18 :
‫وال تمشى في االرض مرحا‬
Artinya: Janganlah kamu berjalan dimuka bumi dengan angkuh.
BAB III
PENUTUP

A. Kesimpulan
Dari pembahasan diatas bisa ditarik kesimpulan bahwa :
1. Pengertian amar adalah lafadz yang menunjukkan tuntutan dari atasan kepada
bawahannya untuk mengerjakan suatu pekerjaan.
2. Pengertian Nahi adalah lafadz yang menunjukkan perintah atau tuntutan dari atasan
kepada bawahannya untuk meninggalkan suatu pekerjaan.
11
Moh.Rifa’i, Ushul Fiqih.Bandung: PT Al-Ma’arif.Hal:44-46

11
3. Bentuk bentuk sighat amar ada lima dan bentuk Nahi ada Delapan sebagaimana
diatas
4. Hakikat hukum amar adalah wajib dan hakikat hukum Nahi adalah Haram.
5. Sekian makalah ini kami sampaikan dengan segala kekurangan yang juga
tercantum didalamnya, kurang lebihnya kami ucapkan banyaknya mohon maaf.

DAFTAR PUSTAKA

Zahro, Muhammad Abu, Ushul fiqih, dar Al-Fikr, arab.


Hakim, Abdul Hamid, Al Bayan, saadiyah putra padang panjang, logos wacana ilmu,
Jakarta, 1987
Effendi, satria DKK, Ushul Fiqh, kencana, Jakarta, 2008
Zen, Amiruddin, Ushul Fiqh, tt
Muhammad al khudhari, Ushul fiqh, Maktabah taufiqiah, Kairo.
Al badakhsyi, Manahij al uqul, (Beirut, Dar al fikr, 2001).

12
13

Anda mungkin juga menyukai