Anda di halaman 1dari 16

AL-QOWA’ID AL-USHULIYYAH DAN AL-QOWA’ID AL-FIQHIYYAH

Di Susun Oleh:
Kel 2
Rizky Nur Zannah Pardede (0303222116)
Nur Hafizah (0303222138)
Ihsan Rinaldi Lubis (0303222150)

BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah

Dalam sebuah alinea kitab al-Madkhal al-Fiqhi, karya Dr. Musthafa al-
Zarqa (w. 1375 H) menulis: “seandainya kaidah fiqih tidak ada, mak hukum-
hukum fiqih akan tetap menjadi serpihan hukum yang secara lahir saling
bertentangan satu sama lain.”
Mustafa az-Zarqa benar, sebab apabila kita terus-menerus berkutat
mempelajari hukum-hukum fiqih secara parsial (sepotong-sepotong), maka kita
akan merasakan adanya kontradiksi antara satu hukum dengan hukum lainnya.
Kita sering dibuat bingung saat mempelajari persoalan-persoalan hukum yang
karakternya sama tetapi ketentuan hukumnya berbeda.
Nah, salah satu solusi untuk mengurangi benang kusut itu, adalah dengan
mengetahui substansi dan esensi hukum-hukum syari’at. Jadi, selain kita
mempelajari hukum-hukum yang sudah jadi, kita juga dituntut untuk menguasai
pangkal persoalan atau substanti hukumnya. Caranya adalah dengan mempelajari
kaidah fiqih, baik kaidah ushuliyah maupun kaidah fiqhiyyah. Dengan kedua
kaidah tersebut nilai-niai esensial syari’at terurai dengan sangat lugas, logis,
tuntas, dan rasional.
Hubungan keduanya seperti layaknya hubungan produk dengan sarana
mengolahnya. Sebuah produk tentu memiliki sarana untuk mengolahnya. Suatu
produk tentu diolah dari bahan-bahan dengan cara (resep) tertentu. Fiqh adalah

1
sebuah produk. Diolah dari bahan wahyu, yaitu Alquran, dan sunnah Rasulullah.
Adapun cara agar Alquran dan sunnah itu dapat dinikmati sebagai fiqh adalah
dengan dengan ushul fiqh. Jadi, ushul fiqh adalah membicarakan bagaimana (how)
Alquran dan sunnah dipahami. Hasil pemahaman itulah yang disebut dengan fiqh.
Meskipun ushul fiqh sangat penting, tetapi seringkali pelajaran ushul fiqh kurang
mendapatkan perhatian yang semestinya. Orang lebih senang mencari hasil
jadinya, yaitu hukum-hukum fiqh. Ushul fiqh kemudian hanya dipelajari sambil
lalu tanpa pemahaman arti penting kegunaannya, padahal melalui ushul fiqh akan
diketahui sebab-sebab perbedaan pendapat para ulama dalam memahami Alquran
dan sunnah serta bagaimana hukum Islam diformulasi- kan. Dengan cara tersebut,
ushul fiqh mengantarkan umat Islam untuk lebih memahami ajaran agamanya
secara bijaksana dan ilmiah.

B. Rumusan Masalah
1. Apa itu kaidah?
2. Apa yang dimaksud dengan al-qowaid al- ushuliyyah?
3. Apa yang dimaksud dengan al-qowaid al-fiqhiyyah?
4. Apa perbedaan keduanya?

C. Maksud dan Tujuan


1. Supaya mengetahui apa itu kaidah.
2. Supaya dapat mengetahui dan memahami tentang al-qowaid al- ushuliyyah
dan al-qowaid al-fiqhiyyah.
3. Supaya mengetahui perbedaan antara al-qowaid al- ushuliyyah dan al-
qowaid al-fiqhiyyah.

2
BAB II

PEMBAHASAN
A. DEFENISI
QOWA’ID

Kata qawa’id merupakan bentuk jama' dari kata qaidah, yang kemudian
dalam bahasa indonesia disebut dengan istilah kaidah yang berarti dasar,
asas, pondasi, aturan, patokan atau fundamen segala sesuatu.1 Hal itu merupakan
sesuatu yang bersifat hissi atau yang dapat dilihat oleh pancaindra. Seperti: Asas
rumah (‫ )اﻟﺒﯿﺖ ﻗﻮاﻋﺪ‬atau tidak dapat dilihat, seperti: Asas agama (‫)اﻟﺪﯾﻦ ﻗﻮاﻋﺪ‬.2
Sebagaimana firman Allah di dalam al-Qur’an surat al-Baqarah ayat 127
dan surat an-Nahl ayat 26:
‫واِ ﺳﻤ ِﻌ ْﯿ ۗ ُﻞ‬ ‫و ِا ْذ َﯾ ْﺮ َﻓ ْ ﺑﺮھ ُﻢ ا ْﻟ َﻘ َ ا ْﻟ َﺒ ْﯿ‬
‫ﺖ‬ ‫َﻮا ﻊ اِ ﺪ ﻣﻦ‬

‫ﻋ‬
“Dan (ingatlah) ketika Ibrahim meninggikan pondasi Baitullah bersama
Ismail” (QS. al-Baqarah: 127).
‫ﷲ ﺑ ا ْﻟ َﻘ َﻮا ﻋ ِﺪ‬
ُ ‫ﻓَﺎَﺗَﻰ‬
‫ﻣﻦ‬ ‫ْﻨَﯿﺎَﻧُ̀ﮭ ْﻢ‬
“Allah menghancurkan bangunan mereka dari pondasi- pondasinya” (QS.
al-Nahl:26).
Dari kedua ayat di atas dapat disimpulkan arti kaidah yaitu dasar, asas atau
pondasi, tempat yang di atasnya berdiri bangunan.
Menurut istilah kaidah memiliki beberapa pengertian, diantaranya: Imam
al Suyuthi dalam kitabnya al-ashbah wa al-nadza’ir memberikan definisi kaidah
dengan:
‫ﻛِﻠﻲ ﱞ ﯾ ﻋﻠ ﺟﺰ ِﺋﱠ̀ﯿﺎِﺗﮫ‬ ‫ﺣ ْﻜﻢ‬
‫ْﻨﻄَﺒِﻖ ﻲ‬
“Hukum kulli (menyeluruh) yang meliputi bagian-bagiannya.”3
Dari definisi tersebut di atas, jelas bahwa kaidah itu bersifat menyeluruh
yang meliputi bagian-bagiannya dalam arti bisa diterapkan kepada juz’iyatnya
(bagian-bagiannya).
3
1
Ibn Manzhur, Lisan Al-Arab, Jilid Iii, (Bayrut: Dar al-Shadir, 2000), hlm. 409.
2
Alî Ahmad al-Nadwî, Al-Qawâ’id Al-Fiqhiyah, (Damaskus: Dâr al-Qalam, 2000),
hlm.5.
3
Imam Jalaluddin Abdurrahman bin Abu Bakar as-Suyuthi, Al-Asybah wan Nadzair,
(1505), hlm. 69.

4
B. AL-QAWA’ID AL-USHULIYYAH
Al- ushuliyyah berasal dari kata al-ashl yang jamaknya al-ushul yang di
tambah dengan ya’ nisbah ( ya’ yang berfungsi untuk membangsakan atau
menjelaskan). Secara etimologi al-ashl berarti “ sesuatu yang menjadi dasar bagi
yang lainnya”. Al-Qowa’id al-ushuliyyah adalah pedoman untuk menggali dalil
syara’, yang bertitik tolak pada pengambilan dalil atau peraturan yang dijadikan
metode dalam penggalian hukum. Al-Qowa’id al-ushuliyyah berarti kaidah-
kaidah yang dipakai para ulama untuk menggalih hukum- hukum yang ada dalam
Al-Qur’an dan Sunnah yang mana kaidah-kaidah itu sebenarnya berdasarkan
makna dan tujuannnya yang telah diungkapkan oleh para ahli bahasa Arab.4
Kaidah Ushuliyah disebut juga Kaidah Istinbathiyah atau Kaidah
Lughowiyah. Disebut Kaidah Istinbathiyah karena kaidah-kaidah tersebut
dipergunakan dalam rangka mengistinbatkan hukum-hukum Syara’ dari dalil-
dalilnya yang terperinci. Disebut Kaidah Lughawiyah karena kaidah ini merupa-
kan kaidah yang dipakai ulama berdasarkan makna, susunan,gaya bahasa, dan
tujuan ungkapan-ungkapan yang telah ditetapkan oleh para ahli bahasa arab,
setelah diadakan penelitian-penelitian yang bersumber dan kesusastraan arab.5
Yang dimaksud qaidah lughawiyyah adalah qaidah yang dirumuskan oleh
para ulama’ berkaitan dengan maksud dan tujuan ungkapan-ugkapan bahasa arab
yang lazim digunakan oleh bangsa arab itu sendiri, baik yang terdapat dalam
ungkapan-ungkapan sastra, seperti syair, prosa, dan lain sebagainya.
Artinya, nash-nash Al-Qur’an dan Hadis adalah bahasa arab. Untuk
memahami hukum-hukum yang terkandung di kedua nash tersebut secara
sempurna dan benar, para ulama’ merasa perlu untuk memperhatikan dan
melakukan penelitian tentang uslub-uslub (gaya bahasa) arab tersebut serta
meneliti cara penunjukkan lafadz nash yang memakai bahasa arab kepada arti

4
Nurhayati dan Ali Imran Sinaga, Fiqh dan Ushul Fiqh, (Prenadamedia Group, 2018),
hlm. 53.
Abbas Sopyan, Interelasi Qowaid Usul Dan Fiqhiyah Sebagai Landasan Hukum Islam
5

Yang Universal, (Vol. 1No. 1 Desember 2018), hlm. 5.

5
yang ditujunya.6 Para ulama’ ushul bekerja keras membuat qaidah-qaidah yang
dapat digunakan untuk memahami nash-nash dan menggali hukum-hukum taklify
dari nash-nash itu sendiri.
1. AMAR DAN NAHY
a. Amar

“Amar ialah suatu tuntutan suatu perbuatan dan pihak yang lebih tinggi
kedudukannya kepada pihak yang lebih rendah kedudukannya.”7
Pengertian Al-amr dapat berarti suruhan, perintah dan perbuatan. Dapat
pula berarti menuntut untuk mengerjakan sesuatu dalam membuatnya. Dengan
demikian, al-amr berarti suruhan. Sedangkan menurut istilah, yaitu tuntutan
memperbuat dari atasan kepada bawahan.8
Bentuk-bentuk al-Amr setelah secara sepintas dikemukakan pengertian al-
amr, maka suatu hal yang perlu diperhatikan atau dipahami adalah kaidah atau
istinbath hukum yaitu :
1) Al-Amr menunjukkan kepada wajib.
‫( ﻟﻠﻮﺟﻮب اﻷﻣﺮ ﻓﻲ اﻷﺻﻞ‬yang asal perintah untuk wajib). Seperti
firman Allahdalam Q.S.al-Baqarah : 178 yang berbunyi :
‫ﻷﻧ َﺜﻰ ِﺑﭑ ُْﻷﻧ َﺜﻰ‬
ُ ْ ‫ﺤﺮ ِ̀ﺑﭑ ُﺪ ِﺑﭑ ْﻟ َﻌ‬ ‫ِﻓﻰ ٱ ْﻟ َﻘ ْﺘ َﻠﻰ ٱ‬ ‫ٓﯾَﺄَ ﱡﯾ َﮭﺎ ٱﻟﱠ ِﺬﯾﻦ ءاﻣ ُﻨﻮ ﻛ ِﺘ ﻋَﻠ ْﯿ ُﻜ ُﻢ ٱ‬
‫وٱ‬ ‫ْﻟﺤﺮ ْﺒ ِﺪ وٱ ْﻟ َﻌ‬ ‫ْﻟ ص‬ ‫ْﻟِﻘﺼﺎ‬ ‫ا ﺐ‬
‫ْﺒ‬
“Hai orang-orang yang beriman, diwajibkan atas kamu qishash berkenaan
dengan orang-orang yang dibunuh, orang merdeka dengan orang merdeka, hamba
dengan hamba, dan wanita dengan wanita”.
2) Al-Amr menjelaskan kepada mandub ( Sunnah).
‫( ﻟﻠﻨﺪب` اﻷﻣﺮ` ﻓﻲ` اﻷﺻﻞ‬yang asal dari perintah untuk sunnah).
Seperti Hadis Nabi yang berbunyi :
‫ﺻ َ ٍةﻼ‬ ‫َﻟ ْﻮ َﻻ َأ ْن َأﺷﻖ ﻋﻠ ُأ ﱠﻣ ِﺘﻲ ْ ﺮ ُﺗ ُﮭ ْﻢ ﺑِﺎ ْﻟ ﺿ ْﻨ ﻛ‬
‫ُﻮ َﻷ َﻣ ﻮ َﺪ ﱢﻞ‬ ‫ﻰ‬
‫ِء ﻋ‬
“Kalau sekiranya tidak memberatkan umatku, saya akan perintahkan
mereka berwudu pada setiap kali shalat”

6
6
Alaidin Koto, Ilmu Fiqih dan Ushul Fiqh, (Jakarta, PT Rajagrafindo Persada, 2009), hal. 149.
7
Khairul Umam, A. Ahyar Aminudin, Ushul Fiqih II, (Bandung: Pustaka Setia, 1998), hlm. 107.
8
Louis Ma’luf, al-Munjid fi al-Lughah, (Bairut : Dar al-Masyriq, 1975), hlm. 17.

7
3) Al-Amr tidak menunjukkan untuk berulang-ulang.
‫( اﻟﺘﻜﺮار ﯾﻘﺘﻀﻰ ﻻ اﻷﻣﺮ ﻓﻲ اﻷﺻﻞ‬asal pada perintah tidak menghendaki
berulang-ulang). Seperti firman Allah dalam Q.S.al-Baqarah : 196
yang berbunyi:

4) Al-Amr dengan wasiat-wasiatnya.


Menyuruh melakukan seterusnya, berarti menyuruh jalan-jalannya.
Misalnya, bila seorang disuruh mengerjakan salat, hal ini termasuk
pula segala syarat-syaratnya.
5) Al-Amr menunjukkan kepada larangan.
Menyuruh dengan sesuatu, melarang dari lawannaya. Misalnya,
seseorang yang disuruh mengerjakan sesuatu perbuatan, berarti juga
harus meninggalkan lawannaya.9

b. Nahy
ringkas al-nahy adalah larangan melakukan suatu perbuatan,
yang muncul dari pihak yang lebih tinggi kepada pihak yang lebih
rendah. Nahy merupakan suruhan untuk meninggalkan suatu perbuatan
atau suruhan untuk tidak berbuat apa-apa. Para ulama ushul fiqh,
seperti dikemukakan Muhammad Adib Shalih, merumuskan beberapa
kaidah yang berhubungan dengan larangan, antara lain:
1) Al-Ashl fi al-Tahrim ( pada dasarnya suatu larangan menun-
jukkan hukum haram).
2) Al-Ashl al-nahy yathliq al-fasad ( suatu larangan yang
menunjukkan fasad ( rusak) perbuatan yang dilarang itu jika
dikerjakan).
3) Al-Nahy’an al-Syai amr bididdihi ( suatu laranan terhadap
suatu perbuatan berarti perintah terhadap kebalikannya).10

9
Kartini, Penerapan Al-Amr, Al-Nahy Dan Al-Ibahah Sebagai Kaidah Penetapan
Hukum, (Januari 2016, Vol. 9 No. 1), hlm. 26.
10
Nurhayati dan Ali Imran Sinaga, Fiqh dan Ushul Fiqh, (Prenadamedia Group, 2018),
hlm. 57.

8
2. ‘Am Dan Khas
a. ‘Am (umum)
Lafal ‘am (umum) ialah lafal yang diciptakan untuk pengertian
umum sesuai dengan pengertian lafal itu sendiri tanapa dibatasi dengan
jumlah tertentu. Hakikat dari lafal ‘am adalah pertama, lafaz itu hanya
terdiri dari satu pengertian secara tunggal. Kedua, lafaz yang tunggal
itu mengandung beberapa afrad (sesuatu pengertian). Ketiga, lafaz
yang tunggal itu dapat digunakan untuk setiap satuan pengertiannya
secara sama dalam penggunaannya. Keempat, bila hukum berlaku
untuk satu lafaz, maka hukum itu berlaku pula untuk setiap afrad
(satuan pengertian) yang tercakup di dalam lafaz itu.11
b. khas
Lafal khas adalah yang mengandung satu pengertian secara tunggal
atau beberapa pengertian yang terbatas. Para ulama ushul fiqh sepakat,
bahwa lafal khas dan nash syara’ menunjukkan kepada pengertiannya
yang khas secara qath’i (pasti) dan hukum yang dikandungnya bersifat
pasti selama tidak ada indikas yang menunjukkan pengertian lain.
Contoh lafal khas adalah surah al-maidah (5) ayat 89:
‫َا ْوﺳﻂ ﻣﺎ ُﻤ ن ھِﻠ ْﯿ ُﻜ ﻛﺴ َﻮ ُﺗ ُﮭ ْﻢ‬ ‫َﻓ َﻜﻔﱠﺎ رُﺗ َﻌ ﻋﺸ ْ ﯿﻦ‬
‫ﻣﻦ ﺗُ ْﻮ اَ ْﻢ َا ْو‬ ‫ٓﮫ ا ﺎ ُم ﺮ ِة ﻣﺴﻜ‬
‫ﻄ‬ ‫ط‬
‫ِﻌ‬
“maka kafaratnya (denda pelanggaran sumpah) ialah memberi
makan sepuluh orang miskin, yaitu dari makanan yang biasa kamu
berikan kepada keluargamu, atau memberi mereka pakaian atau
memerdekakan seorang hamba sahaya”.12
3. Mutlaq Dan Muqoyyad
Secara bahasa kata mutlaq berarti bebas tanpa ikatan, dan kata
muqoyyad berarti terikat. Kata mutlaq menurut istilah ialah lafal yang
menunjukkan suatu satuan tanpa dibatasi secara harfiah dengan suatu
ketentuan. Sepert misriy (seorang mesir), dan rajulun (seorang laki-laki),

9
11
Nurhayati dan Ali Imran Sinaga, Fiqh dan Ushul Fiqh, (Prenadamedia Group, 2018), hlm. 60.
12
Nurhayati dan Ali Imran Sinaga, Fiqh dan Ushul Fiqh, (Prenadamedia Group, 2018), hlm. 63.

10
dan sebaliknya lafal muqoyyad adalah lafal yang menunjukkan suatu
satuan yang secara lafziyah dibatasi dengan suatu ketentuan, misalnya,
mishriyun Muslim (seorang berkebangsaan Mesir yang beragama islam),
dan rajulun rasyidun (seorang laki-laki yang cerdas).13

C. AL-QOWA’ID AL-FIQHIYYAH
1. Pengertian Al-Qawa'id Al-Fiqhiyyah
Kaidah-kaidah fiqh (al-qawa'id al-fiqhiyyah) adalah kaidah-kaidah
makro atau frekuentif yang mengatur persoalan-persoalan mikro fiqh yang
serupa. Ia termasuk dalam kategori ketentuan-ketentuan hukum fiqh (al-
ahkâm fiqhiyyah), bukan ketentuan-ketentuan hukum ushul fiqh (al-ahkâm
al-ushuliyyah). Sebab, meski bersifat umum, objek kajian kaidah-kaidah
fiqh adalah perbuatan manusia yang menjadi subjek hukum (mukallaf).
Ambil contoh, kaidah "tidak ada pahala kecuali dengan niat" adalah
ketentuan hukum atas perbuatan manusia bahwa ia tidak memperoleh
pahala kecuali jika ia meniatkannya untuk mendekatkan diri kepada Allah
(qurbah). Hal ini berbeda dengan ketentuan-ketentuan hukum ushul fiqh
yang diketahui berdasarkan kaidah-kaidah ushul, sebab objek materialnya
adalah dalil syar'i dengan segala kondisinya dan hukum beserta pelbagai
kondisinya.
Mengingat kaidah-kaidah fiqh tidak keluar dari keberadaannya
sebagai hukum-hukum fiqh, maka ia pun disebut dengan istilah kaidah-
kaidah fiqh (al- qawa'id al-fiqhiyyah) untuk membedakannya dengan
hukum-hukum fiqh partikular yang bersifat mikro (al-ahkâm al-fiqhiyyah
al-juz'iyyah al- khasshah) yang dimasukkan di bawah klasifikasi kaidah-
kaidah atau teori- teori umum tersebut.
Kaidah-kaidah fiqh dapat dikategorikan menjadi dua jenis.
Pertama, kaidah yang benar-benar asli dari segi kediriannya (al-ashl fi
dzâtihi) dan bukan cabang dari sebuah kaidah fiqh yang lain. Kedua,
kaidah yang merupakan subdividen (cabang) dari yang lain. Jenis yang

13
Nurhayati dan Ali Imran Sinaga, Fiqh dan Ushul Fiqh, (Prenadamedia Group, 2018), hlm. 64-65

11
pertama disebut sebagai kaidah-kaidah fiqh induk (al-qawa'id al-fiqhiyyah
al-'ammah), sedangkan jenis yang kedua disebut sebagai kaidah-kaidah
fiqh makro (al-qawa'id al-fiqhiyyah al- kulliyyah), sebab ia masuk di
bawah klasifikasi kaidah-kaidah fiqh induk dan ia menghasilkan cabang-
cabang masalah fiqh (furu' fiqhiyyah) yang sangat banyak dan tidak
terhitung jumlahnya dari segi cakupan objek pembahasannya.14
Secara etimologi, menurut Mustafa al-Zarqa sebagaimana dikutip
oleh Abd. Rahman Dahlan menyatakan bahwa kaidah fiqhiyyah adalah
dasar-dasar fiqh yang bersifat umum dan bersifat ringkas berbentuk
undang-undang yang berisi hukum-hukum syara’ yang umum terhadap
berbagai peristiwa hukum yang termasuk dalam ruang lingkup kaidah
tersebut. Kaidah fiqhiyyah berfungsi untuk memudahkan mujtahid
mengistinbatkan hukum yang bersesuaian dengan tujuan syara’ dan
kemaslahatan manusia. Dengan berpegang kepada kaidah-kaidah
fiqhiyyah, para mujtahid merasa lebih mudah dalam mengistinbatkan
hukum bagi suatu masalah, yakni menggolongkan masalah yang serupa
dibawah lingkup satu kaidah.
2. Kaidah Asasiyah
Kaidah asasiyah terdiri atas 5 dasar, Lima kaidah tersebut digali
dari sumber-sumber hukum, baik melalui nash Al-Qur’an dan al-sunnah
maupun dalil-dalil istinbath. Karena itu, setiap kaidah didasarkan atas
nash-nash pokok yang dapat dinilai sebagai standar hukum fiqih. Lima
kaidah tersebut adalah sebagai berikut:
a. Tiap Perkara Tergantung Pada Maksudnya
b. Keyakinan Tidak Dapat Digugurkan dengan Keraguan
c. Suatu Kesusahan Mengharuskan Adanya Kemudahan
d. Kemudratan Harus Dihilangkan
e. Suatu Adat Dapat Dijadikan Hukum15

14
Nars farid muhammad washil dan abdul aziz muhammad azzam, Qowa’id Fiqhiyyah,
(Amzah, 2009), hlm. 1-2.
15
Nurhayati dan Ali Imran Sinaga, Fiqh dan Ushul Fiqh, (Prenadamedia Group, 2018),
hlm. 68-73.

12
3. Urgensi Kaidah Fiqhiyyah
Adapun urgensitas kaidah fiqhiyyah terlihat dari paparan Abû
Zahrah tentang batasan ijtihad: “Pengerahan kesungguhan dan pencurahan
daya upaya, baik dalam mengeluarkan hukum syara’maupun penerapan-
nya”.
Abû Zahrah membagi ranah ijtihad pada dua bidang. Pertama,
ijtihad yang terkait dengan penggalian hukum dan penjelasannya
dan kedua, ijtihad yang berkaitan dengan penerapan hukum.
Ijtihad model pertama versi Abû Zahrah adalah ijtihad yang
sempurna dan khusus bagi kelompok ulama yang berusaha mengetahui
hukum-hukum cabang yang bersifat praktis dari dalil-dalil yang rinci.
Menurut jumhur ulama, ijtihad seperti ini dapat terputus pada
suatu zaman meskipun kalangan Hanâbilah berpendapat bahwa suatu
zaman tidak mungkin kosong dari ijtihad ini. Ijtihad model kedua, ulama
sepakat bahwa suatu zaman tidak mungkin kosong dari model ijtihad
kedua. Mereka adalah mujtahid yang mentakhrij dan menerapkan ‘illat-
‘illat hukum yang digali dari persoalan-persoalan cabang yang telah digali
oleh ulama terdahulu. Dengan metode tathbiq (aplikasi) ini, akan tampak
hukum pelbagai masalah yang belum diketahui oleh mujtahid model
pertama diatas. Pola ijtihad mujtahid model kedua ini lazim disebut
dengan tahqiq almanath (penetapan dan penerapan illat).16
Al-Qarafi secara garis besar berpendapat tentang urgensi kaidah
fiqhiyyah ada tiga: Pertama, kaidah fiqhiyyah mempunyai kedudukan
istimewa dalam khazanah keilmuan Islam karena kepakaran seorang faqih
sangat terkait erat dengan penguasaan kaidah fiqhiyyah. Kedua, dapat
menjadi landasan berfatwa. Ketiga, menjadikan ilmu fikih lebih teratur
sehingga mempermudah seseorang untuk mengidentifikasi fikih yang
jumlahnya sangat banyak.17 Al-Zarkasyi berpendapat bahwa mengikat
perkara yang bertebaran lagi banyak (fikih), dalam kaidah-kaidah yang

16
Al-Qarafi, al-Furuq, Juz 3, (Bayrût: Dar al-Ma’rifat, 1990), hlm. 3.
17
Ali Ahmad al-Nadwi, al-Qawa’id al-Fiqhiyah, (Damaskus: Dâr al-Qalam, 2000), hlm. 326.

13
menyatukan (kaidah fiqhiyyah) adalah lebih memudahkan untuk dihapal
dan dipelihara. Adapun Mustafa al-Zarqa’ berpendapat bahwa urgensi
kaidah fiqhiyyah menggambarkan secara jelas mengenai prinsip-prinsip
fikih yang bersifat umum, membuka cakrawala serta jalan-jalan pemikiran
tentang fikih. Kaidah fiqhiyyah mengikat pelbagai hukum cabang yang
bersifat praktis dengan pelbagai dhawabit, yang menjelaskan bahwa
setiap hukum cabang tersebut mempunyai satu manat (illat/alasan hukum)
dan segi keterkaitan, meskipun obyek dan temanya berbeda-beda.18

18
Syamsul Hilal, Qawa‘id Fiqhiyyah Furu’iyyah Sebagai Sumber Hukum Islam, (Al-
‘Adalah Vol. XI, No. 2 Juli 2013), hlm. 144.

1
BAB III
PENUTUPAN
A. Kesimpulan

Kata qawa’id merupakan bentuk jama' dari kata qaidah, yang kemudian
dalam bahasa indonesia disebut dengan istilah kaidah yang berarti dasar,
asas, pondasi, aturan, patokan atau fundamen segala sesuatu, Al- ushuliyyah
berasal dari kata al-ashl yang jamaknya al-ushul yang di tambah dengan ya’
nisbah ( ya’ yang berfungsi untuk membangsakan atau menjelaskan).
Secara etimologi al-ashl berarti “ sesuatu yang menjadi dasar bagi yang
lainnya”. Al-Qowa’id al-ushuliyyah adalah pedoman untuk menggali dalil syara’,
yang bertitik tolak pada pengambilan dalil atau peraturan yang dijadikan metode
dalam penggalian hukum. Al-Qowa’id al-ushuliyyah berarti kaidah-kaidah yang
dipakai para ulama untuk menggalih hukum- hukum yang ada dalam Al-Qur’an
dan Sunnah yang mana kaidah-kaidah itu sebenarnya berdasarkan makna dan
tujuannnya yang telah diungkapkan oleh para ahli bahasa Arab.
sedangkan Kaidah-kaidah fiqh (al-qawa'id al-fiqhiyyah) adalah kaidah-
kaidah makro atau frekuentif yang mengatur persoalan-persoalan mikro fiqh yang
serupa. Ia termasuk dalam kategori ketentuan-ketentuan hukum fiqh (al-ahkâm
fiqhiyyah), bukan ketentuan-ketentuan hukum ushul fiqh (al-ahkâm al-
ushuliyyah). Sebab, meski bersifat umum, objek kajian kaidah-kaidah fiqh adalah
perbuatan manusia yang menjadi subjek hukum (mukallaf).
B. Saran

Demikian Makalah “Al-Qowa’id Al-Ushuliyyah Dan Al-Qowa’id Al-


Fiqhiyyah” yang dapat kami susun, semoga menambah wawasan kita semua.
Penyusun sadar bahwa laporan ini masih jauh dari kata sempurna, oleh karena itu
kritik dan saran yang membangun sangat penyusun harapkan, demi kesempurnaan
makalah yang akan dibuat di hari yang akan datang. Semoga amal kebaikan dan
aktivitas yang kita lakukan selalu berada dalam rahmat dan ampunan-Nya,
Aamiin.

1
DAFTAR PUSTAKA

Abdurrahman bin Abu Bakar as-Suyuthi, Imam Jalaluddin . 1505. Al-Asybah wan
Nadzair.
al-Nadwi, Ali Ahmad. 2000. Al-Qawâ’id Al-Fiqhiyah. Damaskus: Dâr al-Qalam.
Al-Qarafi. 1990. al-Furuq, Juz 3, Bayrut: Dar al-Ma’rifat.
Hilal, Syamsul. 2013. Qawa‘id Fiqhiyyah Furu’iyyah Sebagai Sumber Hukum
Islam. Al-‘Adalah Vol. XI, No. 2.
Kartini. 2016 Penerapan Al-Amr, Al-Nahy Dan Al-Ibahah Sebagai Kaidah
Penetapan Hukum. Vol. 9 No. 1.
Koto, Alaidin. 2009. Ilmu Fiqih dan Ushul Fiqh. Jakarta, PT Rajagrafindo
Persada.
Ma’luf, Louis. 1975. al-Munjid fi al-Lughah. Bairut : Dar al-Masyriq.
Manzhur, Ibn. 2000. Lisan Al-Arab, Jilid III. Bayrut: Dar al-Shadir.
Sinaga, Ali Imran dan Nurhayati. 2008. Fiqh dan Ushul Fiqh. Prenadamedia
Group.
Sopyan, Abbas. 2018. Interelasi Qowaid Usul Dan Fiqhiyah Sebagai Landasan
Hukum Islam Yang Universal, Vol. 1No. 1.
Umam, Khairul. Ahyar Aminudin, A. Ushul Fiqih II, Bandung: Pustaka Setia.
Washil, Nars farid muhammad dan azzam, abdul aziz muhammad. 2009.
Qowa’id Fiqhiyyah. Amzah.

Anda mungkin juga menyukai