Anda di halaman 1dari 16

MAKALAH

“PERBANDINGAN QAWAID FIQHIYAH DAN QAWAID USHULIYAH”


Diajukan untuk Memenuhi Tugas Kelompok
pada Mata Kuliah Qawaid Fiqhiyah

Tanggal Presentasi : 17 April 2020

Oleh Kelompok 2 :
Indra Gunawan
Asrul Saputra Harahap
Cici Ekayani
Rizky Annisa Kudadiri

Dosen Pengampu :
Dr. Iwan, M.HI.

MUAMALAH
FAKULTAS SYARIAH DAN HUKUM
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SUMATERA UTARA
SUMATERA UTARA
MEDAN
2020
DAFTAR ISI

DAFTAR ISI ................................................................................. i


KATA PENGANTAR ................................................................... ii
BAB I PENDAHULUAN ............................................................... 1
A. Latar Belakang ............................................................... 1
BAB II PEMBAHASAN ................................................................ 2
A. Defenisi Qawaid Fiqhiyah .............................................. 2
B. Defenisi Ushul Fiqh ........................................................ 5
C. Perbandingan Qawaid Fiqhiyah dan Ushul Fiqh ......... 8

BAB III PENUTUP ....................................................................... 13


A. Kesimpulan ................................................................. 13
DAFTAR PUSTAKA .................................................................... 14
KATA PENGANTAR

Segala puji dan syukur kami panjatkan kehadirat Allah SWT


yang telah memberikan rahmat serta karunia-Nya kepada kami
sehingga kami berhasil menyelesaikan Makalah Qawaid Fiqhiyah
ini yang alhamdulillah tepat pada waktunya yang berjudul “Qawaid
Fiqhiyah dan Qawaid Ushuliyah”.
Kami menyadari bahwa makalah ini masih jauh dari
sempurna, oleh karena itu kritik dan saran dari semua pihak yang
bersifat membangun selalu kami harapkan demi kesempurnaan
makalah ini.
Akhir kata, kami sampaikan terima kasih kepada semua pihak yang telah
berperan serta dalam penyusunan makalah ini dari awal sampai akhir.
Semoga Allah SWT senantiasa meridhai segala usaha kita.

Medan, 17 April 2020

Tim Penulis
BAB I

PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Sumber Hukum Islam adalah Wahyu Allah yang dituangkan di
dalam Al-Qur’an dan Sunnah Rasulullah SAW. Ayat-ayat Al-Qur’an
yang berhubungan dengan hukum tidak banyak bila dibandingkan
dengan jumlah keseluruhan ayat (6.348 ayat menurut Mushaf
Ustmani yang ada sekarang). Demikian pula apabila dibandingkan
dengan masalah yang harus diberi ketetapan hukum, yang selalu
muncul dalam kehidupan didunia ini. Namun demikian secara
umum Allah menerangkan bahwa semua masalah (pokok-
pokoknya) terdapat dalam Al-Qur’an. Allah berfirman:
ِ ‫… مَّا َفرَّ ۡط َنا فِي ۡٱل ِك ٰ َت‬
٣٨ .…‫ب مِن َش ۡي ٖۚء‬
Artinya:“Tiadalah Kami alpakan sesuatupun dalam Al-Kitab …” (Q.S. Al-
An’am:6: 38)
Dalam hukum Islam dikenal istilah Fiqh, Ushul Fiqh, Qawaid
Fiqhiyyah, maupun yang lainnya. Adapun Fiqh adalah produk yang
dihasilkan oleh Ushul Fiqh ataupun Qawa’id Fiqhiyyah.
Pembahasan pertama ini pemakalah akan membahaspengertianqawa’id
fiqhiyyah yang mencakup bahasan kaidah yang bersifat umum dan biasa
digunakan untuk menyelesaikan permasalahan yang bersifat praktis
dalam kehidupan sehari-hari, dan perbedaannya dengan qawa’id
ushuliyyah & dhawabith fiqhiyyah.
BAB II

PEMBAHASAN

A. Pengertian Qawa’id Fiqhiyyah

Al-Qawa’id Al-Fiqhiyyahterdiri atas dua kata yang berasal dari Bahasa


Arab yaitu, qawa’id dan fiqhiyyah. Kata qawa’id merupakan bentuk jamak
(plural) dari kata qa’idah. Kata ini telah diserap ke dalam bahasa
Indonesia menjadi kaidah, dengan pengertian yang lebih kurang sama
dengan yang terdapat dalam bahasa Arab.
Dapat dijelaskan juga, Ar-Raghib Al-Asfahani dalam Abd. Rahman Dahlan
bahwa di dalam penggunaan Bahasa Arab, kata qawa’id secara etimologi
berarti asas atas dasar dan fondasi, baik dalam pengertian konkret,
seperti kata qawa’id al-buyut yang berarti fondasi bangunan rumah,
maupun dalam pengertian abstrak, seperti qawa’id ad-din, yang berarti
dasar-dasar agama.
Kaidah yang berarti dasar-dasar (fondasi) yang bersifat materi terdapat
dalam Al-Qur’an surat Al-Baqarah (2) ayat 127 dan surat Al-Nahl (16) ayat
26 yang berbunyi:
ِ ‫َوإِ ۡذ َي ۡر َف ُع إِ ۡب ٰ َر ِۧ‍ه ُم ۡٱل َق َواعِ َد م َِن ۡٱل َب ۡي‬
… ‫ت َوإِ ۡس ٰ َمعِي ُل‬
Artinya: “Dan (ingatlah), ketika Ibrahim meninggikan (fondasi) dasar-dasar
Baitullah bersama Ismail … (QS. Al-Baqarah: [2]: 127).
…ِ‫َفأ َ َتى ٱهَّلل ُ ب ُۡن ٰ َي َنهُم م َِّن ۡٱل َق َواعِ د‬
Artinya: “Maka Allah menghancurkan rumah-rumah mereka dari
fondasinya … “ (QS. Al-Nahl [16]: 26)
Demikianlah pengertian qawa’id menurut Bahasa. Sedangkan kata
fiqhiyyah diambil dari kata fiqh yang berasal dari Bahasa Arab; fiqh, yang
secara etimologi mengandung makna; mengerti atau paham.
Sebagaimana dalam Firman Allah pada surah Al-Isra’ [17]: 44.
َ ‫يحه ُۡۚم إِ َّنهُۥ َك‬
‫ان‬ َ ‫ِيه ۚنَّ َوإِن مِّن َش ۡي ٍء إِاَّل ُي َس ِّب ُح ِب َح ۡم ِدهِۦ َو ٰلَكِن اَّل َت ۡف َقه‬
َ ‫ُون َت ۡس ِب‬ ‫أۡل‬
ِ ‫ُت َس ِّب ُح لَ ُه ٱل َّس ٰ َم ٰ َو ُتٱلس َّۡب ُع َوٱ َ ۡرضُ َو َمن ف‬
٤٤ ‫ورا‬ ٗ ُ‫َحلِيمًا َغف‬
Artinya: “Langit yang tujuh, bumi dan semua yang ada di dalamnya
bertasbih kepada Allah. Dan tak ada suatupun melainkan bertasbih
dengan memuji-Nya, tetapi kamu sekalian tidak mengerti tasbih mereka.
Sesungguhnya Dia adalah Maha Penyantun lagi Maha Pengampun.” 1
Adapun dalam pengertian terminologi (istilah), terdapat variasi definisi
(ta’rif) fiqh, antara lain, definisi yang dikemukakan Ibnu as-Subki,
sebagaimana yang dikutip Abd. Rahman Dahlan ialah:
‫ص ُل ِب َها إِلَى إِسْ ِت ْنبَاطِ األَحْ َك ِام ال َّشرْ عِ َّي ِة ال َفرْ عِ َّي ِة مِنْ أَ ِدلَّ ِت َها ال َت ْفصِ ْيلِ َّي ِة‬
َّ ‫الع ِْل ُم ِب ْال َق َواعِ ِد الَّتِي َي َت َو‬.
Artinya: “Pengetahuan tentang hukum-hukum syara’ yang berkaitan
dengan perbuatan manusia yang diusahakan dari dalil-dalil syara’
yang spesifik.”
Selanjutnya, jika kedua kata diatas digabungkan menjadi kata
majemuk yaitu qawa’id fiqhiyyah, maka ia menunjuk pengertian
suatu cabang ilmu keislaman, yang oleh ulama fiqh diberi definisi
agak berbeda-beda, namun substansi terminologinya tetap sama.
Menurut Al-Taftazany (w. 791 H), sebagaimana yang dikutip oleh
Syarif Hidayatullah adalah sebagai berikut:
‫ف أَحْ َكا ُم َها ِم ْن ُه‬
َ َّ‫إِ َّن َها ُح ْك ٌم ُكلِّيٌّ َي ْن َط ِب ُق َعلَى ج ُْز ِئيَّا ِت َها لِ ُي َت َعر‬.
Artinya: “Bahwasanya qawa’id fiqhiyyah adalah suatu hukum yang
bersifat universal (kulli) yang dapat diaplikasikan kepada seluruh
juz’i-nya (bagiannya) agar dapat diidentifikasi hukum-hukum juz’I
(bagian) tersebut darinya.”
Definisi Tajuddin Al-Subky (w. 771 H), yaitu:
ٌ ‫ِي األَ ْم ُر ال ُكلِّيُّ الَّذِى َي ْن َط ِب ُق َعلَ ْي ِه ج ُْز ِئي‬
‫َّات َك ِثي َْرةٌ ُت ْف َه ُم أَحْ َكا ُم َها ِم ْنه‬ َ ‫ه‬.
Artinya: “Qawa’id fiqhiyyah adalah perkara yang bersifat universal
(kulli) yang banyak persoalan juz’i (bagian) yang dapat diaplikasikan
padanya; dimana hokum-hukum juz’i (bagian) tersebut dapat
difahami darinya.”

1
Abd. Rahman Dahlan, Ushul Fiqh, (Jakarta: AMZAH, 2011), h. 10.
Sedangkan al-Hamawy (w. 1098 H), mendefinisikan qawa’id
fiqhiyyah bersifat aghlabiyah (mayoritas), sebagai berikut:
‫ف أَحْ َكا ُم َها‬
َ ‫ي الَ ُكلِّيٌّ َي ْن َط ِب ُق َعلَى أَ ْك َث ِر ج ُْز ِئيَّا ِت ِه لِ ُتعْ َر‬
ُ ‫إِ َّن َها ُح ْك ٌم ْأك َث ِر‬.
Artinya: “Qawa’id fiqhiyyah adalah hukum mayoritas (aktsari), bukan
hukum universal (kulli) yang dapat diaplikasikan kepada mayoritas
bagiannya (juz’iyyat) agar hukum-hukumnya dapat diketahui.”
Mustafa Ahmad az-Zarqa (guru besar fikih dari Universitas
Amman, Yordania) mendefinisikan kaidah fikih sebagai dasar-
dasar fikih yang bersifat umum yang diungkapkan dalam teks
singkat yang bersifat undang-undang (dusturiyyah) dan
mengandung hukum-hukum syarak dalam berbagai kasus yang
termasuk dalam cakupan kaidah tersebut.
Dari definisi diatas, maka dapat disimpulkan bahwa qawa’id
fiqhiyyah adalah kaidah-kaidah fiqh yang disimpulkan secara
general dari materi fikih yang mempunyai ‘illat sama, dimana
tujuannya untuk mendekatkan berbagai persoalan dan
mempermudah untuk mengetahuinya.2

B. Definisi Ushul Fiqh


1.  Definisi Ushul Fiqh dilihat dari sisi dua kata yang membentuknya.
Ushul Fiqh berasal dari bahasa Arab Ushul Al-Fiqh yang terdiri dari 2 kata,
yaitu al-Ushul al-Fiqh.
a.     Al-Ushul
Al-Ushul adalah jamak dari kata al-ashl, menurut bahasa berarti
‫م––ا يب––نى علي––ه غ––ير ه‬ landasan tempat membangun sesuatu. Menurut istilah,
seperti dikemukakan wahbah az-Zahuli, kata al-ashl mengandung
beberapa pengertian.
1)    Bermakna dalil, seperti dalam contoh
‫اال صل فى و جو ب الصلو ة الكتا ب و السنة‬
“Dalil wajib sholat adalah al-qur’an dan sunnah”
2
Syarif Hidayatullah, Qawa’id Fiqhiyyah Dan Penerapannya Dalam Transaksi Keuangan
Syari’ah Kontemporer, (Jakarta: Gramata Publishing, 2012), h. 16-17.
2)    Bermakna kaidah umum satu ketentuan yang bersifat umum yang
berlaku pada seluruh cakupan. Seperti contoh :
‫بني اال سال م علي خمسة خسة اصول‬
 “Islam di bangun di atas lima kaidah umum”.
3)    Bermakna Al-Rajih (yang lebih kuat dari beberapa kemungkinan).
Contoh
‫اال صل في الكال م الحقيقة‬
“Pengertian yang lebih kuat dari suatu perkataan adalah pengertian
hakikatnya”.
4)    Bermakna asal’, tempat menganalogikan sesuatu yang merupakan
salah satu dari rukun qiyas. Misalnya, khamar merupakan asal’ (tempat
mengkiaskan narkotika).
5)    Bermakna sesuatu yang diyakini bilamana terjadi keraguan dalam
satu masalah.
Pengertian kata Al-Ashl’u yang dimaksud bila dihubungkan dengan makna
al-dalil. Dalam pengertian ini, maka kata ushul al-fiqh berarti dalil-dalil
fiqih, seperti al-qur’an, sunnah Rasulullah, Ijma’, qiyas, dan lain-lain. 3    
b.    Al-Fiqh
Kata kedua yang membentuk istilah ushul al-fiqh adalah kata al-fiqh. Kata
al-fiqh menurut bahasa berarti pemahaman.
Fiqh adalah ilmu tentang (himpunan) hukum-hukum syara’ mengenai
perbuatan manusia ditinjau dari apakah perbuatan itu diharuskan (wajib),
sunah, atau haram untuk dikerjakan.
Menurut istilah, al-fiqh dalam pandangan az-Zuhaili, terdapat beberapa
pendapat tentang definisi fiqh. Abu Hanifah mendefinisikan sebagai
berikut :
‫معر قة النفس ما لهاو ما عليها‬
“Pengetahuan diri seseorang tentang apa yang menjadi hakikatnya, dan
apa yang menjadi kewajibannya atau dengan kata lain, pengetahuan
seseorang tentang apa yang  menguntungkan dan apa yang merugikan.”

3
Satria Effendi, M.Zaeni,Ushul fiqih (Jakarta:prenada media,2005), h. 2.
Menurut ulama’ kalangan Syafi’iyah
‫العلم با ال حكام الشر عية العملية المكتسب من اد لتها التفصيلية‬
“Pengetahuan tentang hukum syara’ yang berhubungan dengan amal
perbuatan, yang digali dari satu persatu dalilnya.”
Fiqh adalah hukum Islam yang tingkat kekuatannya hanya sampai Zhan,
karena di tarik dari dalil-dalil yang dzannya. Bahwa hukum fiqh itu adalah
zhannya sejalan pula dengan kata “al-muktasab” dalam definisi tersebut
yang berarti “diusahakan” yang mengandung pengertian adanya campur
tangan akal pikiran manusia dalam penarikannya dari al-qur’an dan
sunnah Rasulullah.
Objek kajian ilmu fiqih adalah perbuatan mukallaf, ditinjau dari segi hukum
syara’ yang tetap baginya. Seorang faqih membahas tentang jual beli
mukallaf, sewa-menyewa, pegadaian, perwalian, shalat, puasa, haji,
pembunuhan, qazhaf, pencurian, ikrar dan wakaf yang dilakukan mukalaf,
supaya mengerti tentang hukum syara’ dalam segala perbuatan itu.
Maka tujuan ilmu fiqih adalah menerapkan hukum-hukum syariat terhadap
perbuatan dan ucapan manusia. Jadi, ilmu fiqih itu adalah tempat kembali
seorang mufti dalam fatwanya dan tempat kembali seorang mukallaf untuk
mengetahui hukum syara’ yang berkenaan dengan ucapan dan perbuatan
yang muncul dari dirinya.4

2.  Definisi Ushul al-Fiqh sebagai suatu disiplin ilmu.


Ushul al-fiqh adalah ilmu tentang( pemahaman) kaidah kaidah dan
pembahasan yang dapat menghantarkan kepada diperolehnya hukum-
hukumsyara’ mengenai perbutan manusia dari dalil-dalilnya yang rinci.
Ushul fiqih secara istilah teknik hukum adalah:” ilmu tentang kaidah-
kaidah yang membawa kepada usaha merumuskn hukum syara’ dari
dalilnya yang terinci “atau dalam arti sederhana adalah:” kaidah-kaidah

4
Totok Jumantoro dan samsul munir amin,kamus ilmu ushulfiqih,(Jakarta:Amzah,2005),h.
67.
yang menjelaskan cara-cara mengeluarkan hukum-hukum dari dalil-
dalilnya.”
Umpamanya dalam kitab-kitab fiqih ditemukan ungkapan, ”mengerjakan
sholat itu hukumnya wajib. ”wajibnyanya melakukan sholat itu disebut “
hukum syara”.
          Tidak pernah tersebut dalam Al-Qur’an maupun hadits bahwa sholat
itu hukumnya wajib.yang tersebut dalam Al-Quran hanyalah perintah
mengerjakan sholat yang  berbunyi.
‫ا قيمو الصال ة‬     
             Artinya”kerjakanlah sholat” 
            Ayat al-Quran yang mengandung perintah mengerjakan sholat itu
disebut”dalil syara”.Untuk merumuskan kewajiban sholat  yang disebut
“hukum syara” dari firmanAllah:
  ‫الصال ة‬  ‫ا قيمو‬     
            Yang disebut dalil syara itu ada aturanya dalam bentuk kaidah,
umpamanya: ”setiap perintah itu menunjukkan wajib”. Pengetahuan
tentang kaidah kaidah yang menjelaskan cara-cara mengeluarkan hukum
dari dalil-dalil syara tersebut, itulah yang disebut ” ilmu ushul fiqh ”. 5

C. Perbedaan antara qawa’id fiqhiyyah dengan qawa’id


ushuliyyah
Kaidah usul fikih dalam Bahasa Arab al-qawa’id al-ushuliyah
merupakan tiang dari bangunan fikih, yang kehadirannya lebih dahulu dari
fikih itu sendiri.6

Qawa’id fiqhiyyah, fiqh, ushul fiqh dan qawa’id ushuliyyah


tidak dapat dipisahkan antara satu dengan yang lainnya. Keempat
ilmu tersebut saling terkait dengan perkembangan fikih, karena
pada dasarnya yang menjadi pokok pembicaraan adalah fikih. 7

5
 Effendi, M.Zaeni,Ushul Fiqh, h.3.
6
Abdul Aziz Dahlan, (Ensiklopedi Hukum Islam) jilid 3, h. 866.
7
Syarif Hidayatullah, hlm. 32
Adanya hubungan tersebut, ulama memberikan perbedaan
pada cabang ilmu keislaman ini, Syihabuddin al Qarafi (w. 684 H)
dalam Ade Dedi Rohayana, dianggap sebagai orang pertama yang
membedakan kaidah ushuliyyah dengan kaidah fiqhiyyah. Ia
manyatakan, “Syari’at Muhammad mencakup ushul (pokok) dan
furu’ (cabang). Ushulnya terbagi dua, yaitu ushul fiqh dan qawa’id
fiqhiyyah kulliyah. Secara umum, ushul fiqh mengkaji kaidah-kaidah
hukum yang timbul dari lafad, seperti amar menunjukkan wajib,
nahyi menunjukkan haram, bentuk-bentuk khusus dan umum, serta
nasakh dan Mansukh. Kaidah-kaidah fiqhiyyah kulliyah, yaitu
kaidah-kaidah yang bernilai tinggi dan banyak jumlahnya,
mencakup rahasia-rahasia hukum syara’ dan hikmah-hikmahnya,
serta mencakup cabang-cabang hokum yang tak terhingga.
Kaidah-kaidah ini tidak disebutkan dalam ushul fiqh, tetapi hanya
disinyalkan secara global.” Al-Qarafi (w. 684 H) menyatakan dalam
kitabnya al-Furuq sebagai berikut: “Qawa’id (fiqhiyyah) tidak
tercakup oleh ushul fiqh. Syari’at mempunyai qawa’id (fiqhiyyah)
yang banyak sekali yang dimiliki oleh para mufti dan qadhi (hakim)
yang tidak terdapat dalam kitab-kitab ushul fiqh.” 8
Menurut Ibnu Taimiyah (w.728 H), qawa’id ushuliyyah dengan
qawa’id fiqhiyyah berbeda, karena ushul fiqh merupakan dalil-dalil
umum, sedangkan qawa’id fiqhiyyah merupakan hokum-hukum
umum.
Menurut Ali Ahmad al-Nadawi, di dalam buku Ade Dedi Rohayana,
perbedaan antara qawa’id fiqhiyyah dengan qawa’id ushuliyyah adalah
sebagai berikut:

1. Ilmu ushul fiqh merupakan parameter (tolok ukur) cara beristinbath


fiqh yang benar, kedudukan ilmu ushul fiqh (dalam fiqh) ibarat
kedudukan ilmu nahwu dalam hal pembicaraan dan penulisan.
8
Ade Dedi Rohayana, Ilmu Qawa’id Fiqhiyyah, (Jakarta: Gaya Media Pratama, 2008),
h. 30.
Qawa’id ushuliyyah merupakan wasilah, jembatan penghubung,
antara dalil dan hukum. Tugas qawa’id ushuliyyah adalah
mengeluarkan hukum dari dalil-dalil yang tafshili (terperinci). Ruang
lingkup qawa’id ushuliyyah adalah dalil dan hokum, seperti amar itu
menunjukkan wajib, nahyi menunjukkan haram, dan wajib
mukhayar (kifayah) bila telah dikerjakan sebagian orang, maka
yang lainnya bebas dari tanggung jawab. Qawa’id fiqhiyyah adalah
qadliyyah kulliyah atau aktsariyah (mayoritas) yang juz’i-juz’inya
(farsial-farsialnya) beberapa masalah fikih dan ruang lingkupnya
selalu perbuatan orang mukallaf;
2. Qawa’id ushuliyyah merupakan qawa’id kulliyah yang dapat
diaplikasikan pada seluruh juz’i dan ruang lingkupnya. Ini berbeda
dengan qawa’id fiqhiyyah yang merupakan kaidah aghlabiyah
(mayoritas) yang dapat diaplikasikan pada sebagian besar juz’inya,
karena ada pengecualiannya;
3. Qawa’id ushuliyyah merupakan zari’ah (jalan) untuk mengeluarkan
hukum syara’ amali. Qawa’id fiqhiyyah merupakan kumpulan dari
hokum-hukum serupa yang mempunyai ‘illat sama, dimana
tujuannya untuk mendekatkan berbagai persoalan dan
mempermudah mengetahuinya.
4. Eksistensi qawa’id fiqhiyyah baik dalam opini maupun realitas lahir
setelah furu’, karena berfungsi menghimpun furu’ yang berserakan
dan mengoleksi makna-maknanya. Adapun ushul fiqh dalam opini
dituntut eksistensinya sebelum eksisnya furu’, karena akan menjadi
dasar seorang faqih dalam menetapkan hokum. Posisinya seperti
Al-Qur’an terhadap Sunnah dan nash Al-Qur’an lebih kuat dari
zhahirnya. Ushul sebagai pembuka furu’ tidak dapat dijadikan
alasan bahwa furu’ itu lahir lebih dahulu, furu’ sebagai inspiratory
lahirnya ushul fiqh. Posisinya seperti anak terhadap ayah, buah
terhadap pohon, dan tanaman terhadap benih.
5. Qawa’id fiqhiyyah sama dengan ushul fiqh dari satu sisi dan
berbeda dari sisi yang lain. Adapun persamaannya yaitu keduanya
sama-sama mempunyai kaidah yang mencakup berbagai juz’I,
sedangkan perbedaannya yaitu kaidah ushul adalah masalah-
masalah yang dicakup oleh bermacam-macam dalil tafshili yang
dapat mengeluarkan hukum syara’, kalau kaidah fikih adalah
masalah-masalah yang mengandung hukum-hukum fikih saja.
Mujtahid dapat sampai kepadanya dengan berpegang kepada
masalah-masalah yang dijelaskan ushul fiqh tersebut. Kemudian
bila seorang fakih mengaplikasikan hukum-hukum tersebut
terhadap hukum-hukum farsial, maka itu bukanlah kaidah. Namun,
bila ia menyebutkan hukum-hukum tersebut dengan qadiyyah-
qadiyyah kulli (kalimat-kalimat universal) yang dibawahnya terdapat
berbagai hukum juz’i, maka itu disebut kaidah. Qawa’id kulliyyah
dan hukum-hukum juz’i benar-benar masuk dalam madlul (kajian)
fikih, keduanya menunggu kajian mujtahid terhadap ushul fiqh yang
membangunnya.9

Kemudian diantara keistimewaan qawa’id fiqhiyyah yang tidak


terdapat dalam qawa’id ushuliyyah adalah sebagai berikut:
1. Memelihara dan menghimpun berbagai masalah yang sama, juga
sebagai barometer dalam mengidentifikasi berbagai hukum yang
masuk dalam ruang lingkupnya.
2. Dapat menunjukkan bahwa hukum-hukum yang sama ‘illatnya
meskipun berbeda-beda merupakan satu jenis ‘illat dan maslahat.
3. Sebagian besar masalah ushul fiqh tidak mengkaji hikmah tasyri’
dan maksudnya, tetapi mengkaji bagaimana mengeluarkan
hokum-hukum dari lafaz-lafaz syar’i dengan menggunakan kaidah
yang mungkin dapat mengeluarkan furu’ dari lafaz-lafaz syar’i
tersebut. Sebaliknya, qawa’id fiqhiyyah mengkaji maksud-maksud

9
Ade Dedi rohayana,ilmu Ushul fiqih, (pekalongan:STAIN Press,2006), h.10.
syara’ secara umum maupun khusus, juga sebagai parameter
dalam mengidentifikasi rahasia-rahasia hukum dan hikmah-
hikmahnya.10

Kedua kaidah ini, yaitu kaidah ushuliyyah dengan qa’idah fiqhiyyah


terkadang bercampur baur. Misalnya dalam masalah saddu az-zari’ah dan
‘urf, apabila saddu az-zari’ah dipandang sebagai dalil syara’ karena
memperhatikan ruang lingkupnya, maka ia disebut qa’idah ushuliyyah.
Namun, apabila dipandang sebagai perbuatan mukallaf, maka ia disebut
kaidah fiqhiyyah. Dalam kasus ini, apabila dikatakan: “setiap mubah yang
dapat membawa kepada yang haram hukumnya haram” sebagai saddu
az-zari’ah, maka ia disebut kaidah fiqhiyyah. Namun, apabila dikatakan:
“Dalil yang menetapkan perkara yang haram menetapkan pula keharaman
perkara yang dapat membawa kepada yang haram”, maka ia disebut
kaidah ushuliyyah.
Lebih lanjut, apabila ‘urf ditafsirkan dengan kesepakatan perbuatan
atau maslahah mursalah, maka disebut kaidah ushuliyyah. Namun, bila
ditafsirkan dengan perkataan dan perbuatan yang berlaku umum, maka
disebut kaidah fiqhiyyah. Oleh karena itu, kaitan antara qawa’id fiqhiyyah
dengan ushul fiqh sangat erat sekali terutama dalam kajian dalil-dalil,
karena qawa’id fiqhiyyah menyerupai dalil-dalil. 11
Dari uraian diatas, tampak jelas perbedaan antara qawa’id fiqhiyyah
dengan qawa’id ushuliyyah. Meski pun ada perbedaan antara qawa’id
fiqhiyyah dengan qawa’id ushuliyyah, tidak menutup kemungkinan adanya
qawa’id ushuliyyah juga digunakan pada qawa’id fiqhiyyah, seperti kaidah:
" ّ‫" الَ إِجْ ِت َها َد عِ ْن َد وُ ر ُْو ِد ال َّنص‬
“Tidak boleh berijtihad ketika berhadapan dengan nash.”

" ِّ‫ض ال َّنص‬


ِ ‫ِإلجْ ِت َهاد فِى َمعْ َر‬ َ ‫" الَ َم َس‬
ِ ‫ـاغ ل‬

10
Ade Dedi Rohayana, h. 33
11
Ade Dedi Rohayana, h. 33.
“Tidak boleh berijtihad dalam hal berhadapan dengan nash.”
Kaidah tersebut dipakai dalam qawa’id ushuliyyah dan qawa’id
fiqhiyyah.12

BAB III
PENUTUP

A. Kesimpulan
Dari uraian diatas, dapat disimpulkan:
1. Al-Qawa’id al-fiqhiyyah (kaidah-kaidah fikih) adalah dasar-
dasar atau asas-asas yang bertalian/berkaitan dengan masalah-
masalah atau jenis-jenis fikih. Al-Qawa’id al-fiqhiyyahsecara
terminology adalah kaidah-kaidah yang disimpulkan secara general
dari materi fikih dan kemudian digunakan pula untuk menentukan
hokum dari kasus-kasus baru yang timbul, yang tidak jelas
hukumnya didalam nash.
2. Qawa’id ushuliyyah merupakan cabang keilmuan islam,
yang dilahirkan untuk digunakan oleh mujtahid dalam menggali dan
mengistinbathkan hokum dari dalil-dalil yang global untuk
mengeluarkan hukum syara’ amali. Sedangkan Qawa’id fiqhiyyah
merupakan kumpulan dari hukum-hukum serupa yang mempunyai
‘illat sama, dimana tujuannya untuk mendekatkan berbagai
persoalan dan mempermudah mengetahuinya.
12
Syarif Hidayatullah, h. 26.
DAFTAR PUSTAKA

Dahlan, Abd. Rahman. Ushul Fiqh, Jakarta: AMZAH, 2011.


Rohayana, Ade Dedi. Ilmu Qawa’id Fiqhiyyah, Jakarta: Gaya Media
Pratama, 2008.
Hidayatullah, Syarif. Qawa’id Fiqhiyyah Dan Penerapannya Dalam
Transaksi Keuangan Syari’ah Kontemporer, Jakarta: Gramata Publishing,
2012.
Munir Amin, Samsul dkk. Kamus Ilmu Ushul Fiqih. Jakarta : Amzah, 2005.
M.Zaeni, Effendi, H.Satria. Ushul Fiqih, Jakarta : Prenada Media, 2005.
Rohayana, Ade Dedi. Ilmu Ushul Fiqih. Pekalongan : STAIN Press, 2006.

Anda mungkin juga menyukai