Oleh Kelompok 2 :
Indra Gunawan
Asrul Saputra Harahap
Cici Ekayani
Rizky Annisa Kudadiri
Dosen Pengampu :
Dr. Iwan, M.HI.
MUAMALAH
FAKULTAS SYARIAH DAN HUKUM
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SUMATERA UTARA
SUMATERA UTARA
MEDAN
2020
DAFTAR ISI
Tim Penulis
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Sumber Hukum Islam adalah Wahyu Allah yang dituangkan di
dalam Al-Qur’an dan Sunnah Rasulullah SAW. Ayat-ayat Al-Qur’an
yang berhubungan dengan hukum tidak banyak bila dibandingkan
dengan jumlah keseluruhan ayat (6.348 ayat menurut Mushaf
Ustmani yang ada sekarang). Demikian pula apabila dibandingkan
dengan masalah yang harus diberi ketetapan hukum, yang selalu
muncul dalam kehidupan didunia ini. Namun demikian secara
umum Allah menerangkan bahwa semua masalah (pokok-
pokoknya) terdapat dalam Al-Qur’an. Allah berfirman:
ِ … مَّا َفرَّ ۡط َنا فِي ۡٱل ِك ٰ َت
٣٨ .…ب مِن َش ۡي ٖۚء
Artinya:“Tiadalah Kami alpakan sesuatupun dalam Al-Kitab …” (Q.S. Al-
An’am:6: 38)
Dalam hukum Islam dikenal istilah Fiqh, Ushul Fiqh, Qawaid
Fiqhiyyah, maupun yang lainnya. Adapun Fiqh adalah produk yang
dihasilkan oleh Ushul Fiqh ataupun Qawa’id Fiqhiyyah.
Pembahasan pertama ini pemakalah akan membahaspengertianqawa’id
fiqhiyyah yang mencakup bahasan kaidah yang bersifat umum dan biasa
digunakan untuk menyelesaikan permasalahan yang bersifat praktis
dalam kehidupan sehari-hari, dan perbedaannya dengan qawa’id
ushuliyyah & dhawabith fiqhiyyah.
BAB II
PEMBAHASAN
1
Abd. Rahman Dahlan, Ushul Fiqh, (Jakarta: AMZAH, 2011), h. 10.
Sedangkan al-Hamawy (w. 1098 H), mendefinisikan qawa’id
fiqhiyyah bersifat aghlabiyah (mayoritas), sebagai berikut:
ف أَحْ َكا ُم َها
َ ي الَ ُكلِّيٌّ َي ْن َط ِب ُق َعلَى أَ ْك َث ِر ج ُْز ِئيَّا ِت ِه لِ ُتعْ َر
ُ إِ َّن َها ُح ْك ٌم ْأك َث ِر.
Artinya: “Qawa’id fiqhiyyah adalah hukum mayoritas (aktsari), bukan
hukum universal (kulli) yang dapat diaplikasikan kepada mayoritas
bagiannya (juz’iyyat) agar hukum-hukumnya dapat diketahui.”
Mustafa Ahmad az-Zarqa (guru besar fikih dari Universitas
Amman, Yordania) mendefinisikan kaidah fikih sebagai dasar-
dasar fikih yang bersifat umum yang diungkapkan dalam teks
singkat yang bersifat undang-undang (dusturiyyah) dan
mengandung hukum-hukum syarak dalam berbagai kasus yang
termasuk dalam cakupan kaidah tersebut.
Dari definisi diatas, maka dapat disimpulkan bahwa qawa’id
fiqhiyyah adalah kaidah-kaidah fiqh yang disimpulkan secara
general dari materi fikih yang mempunyai ‘illat sama, dimana
tujuannya untuk mendekatkan berbagai persoalan dan
mempermudah untuk mengetahuinya.2
3
Satria Effendi, M.Zaeni,Ushul fiqih (Jakarta:prenada media,2005), h. 2.
Menurut ulama’ kalangan Syafi’iyah
العلم با ال حكام الشر عية العملية المكتسب من اد لتها التفصيلية
“Pengetahuan tentang hukum syara’ yang berhubungan dengan amal
perbuatan, yang digali dari satu persatu dalilnya.”
Fiqh adalah hukum Islam yang tingkat kekuatannya hanya sampai Zhan,
karena di tarik dari dalil-dalil yang dzannya. Bahwa hukum fiqh itu adalah
zhannya sejalan pula dengan kata “al-muktasab” dalam definisi tersebut
yang berarti “diusahakan” yang mengandung pengertian adanya campur
tangan akal pikiran manusia dalam penarikannya dari al-qur’an dan
sunnah Rasulullah.
Objek kajian ilmu fiqih adalah perbuatan mukallaf, ditinjau dari segi hukum
syara’ yang tetap baginya. Seorang faqih membahas tentang jual beli
mukallaf, sewa-menyewa, pegadaian, perwalian, shalat, puasa, haji,
pembunuhan, qazhaf, pencurian, ikrar dan wakaf yang dilakukan mukalaf,
supaya mengerti tentang hukum syara’ dalam segala perbuatan itu.
Maka tujuan ilmu fiqih adalah menerapkan hukum-hukum syariat terhadap
perbuatan dan ucapan manusia. Jadi, ilmu fiqih itu adalah tempat kembali
seorang mufti dalam fatwanya dan tempat kembali seorang mukallaf untuk
mengetahui hukum syara’ yang berkenaan dengan ucapan dan perbuatan
yang muncul dari dirinya.4
4
Totok Jumantoro dan samsul munir amin,kamus ilmu ushulfiqih,(Jakarta:Amzah,2005),h.
67.
yang menjelaskan cara-cara mengeluarkan hukum-hukum dari dalil-
dalilnya.”
Umpamanya dalam kitab-kitab fiqih ditemukan ungkapan, ”mengerjakan
sholat itu hukumnya wajib. ”wajibnyanya melakukan sholat itu disebut “
hukum syara”.
Tidak pernah tersebut dalam Al-Qur’an maupun hadits bahwa sholat
itu hukumnya wajib.yang tersebut dalam Al-Quran hanyalah perintah
mengerjakan sholat yang berbunyi.
ا قيمو الصال ة
Artinya”kerjakanlah sholat”
Ayat al-Quran yang mengandung perintah mengerjakan sholat itu
disebut”dalil syara”.Untuk merumuskan kewajiban sholat yang disebut
“hukum syara” dari firmanAllah:
الصال ة ا قيمو
Yang disebut dalil syara itu ada aturanya dalam bentuk kaidah,
umpamanya: ”setiap perintah itu menunjukkan wajib”. Pengetahuan
tentang kaidah kaidah yang menjelaskan cara-cara mengeluarkan hukum
dari dalil-dalil syara tersebut, itulah yang disebut ” ilmu ushul fiqh ”. 5
5
Effendi, M.Zaeni,Ushul Fiqh, h.3.
6
Abdul Aziz Dahlan, (Ensiklopedi Hukum Islam) jilid 3, h. 866.
7
Syarif Hidayatullah, hlm. 32
Adanya hubungan tersebut, ulama memberikan perbedaan
pada cabang ilmu keislaman ini, Syihabuddin al Qarafi (w. 684 H)
dalam Ade Dedi Rohayana, dianggap sebagai orang pertama yang
membedakan kaidah ushuliyyah dengan kaidah fiqhiyyah. Ia
manyatakan, “Syari’at Muhammad mencakup ushul (pokok) dan
furu’ (cabang). Ushulnya terbagi dua, yaitu ushul fiqh dan qawa’id
fiqhiyyah kulliyah. Secara umum, ushul fiqh mengkaji kaidah-kaidah
hukum yang timbul dari lafad, seperti amar menunjukkan wajib,
nahyi menunjukkan haram, bentuk-bentuk khusus dan umum, serta
nasakh dan Mansukh. Kaidah-kaidah fiqhiyyah kulliyah, yaitu
kaidah-kaidah yang bernilai tinggi dan banyak jumlahnya,
mencakup rahasia-rahasia hukum syara’ dan hikmah-hikmahnya,
serta mencakup cabang-cabang hokum yang tak terhingga.
Kaidah-kaidah ini tidak disebutkan dalam ushul fiqh, tetapi hanya
disinyalkan secara global.” Al-Qarafi (w. 684 H) menyatakan dalam
kitabnya al-Furuq sebagai berikut: “Qawa’id (fiqhiyyah) tidak
tercakup oleh ushul fiqh. Syari’at mempunyai qawa’id (fiqhiyyah)
yang banyak sekali yang dimiliki oleh para mufti dan qadhi (hakim)
yang tidak terdapat dalam kitab-kitab ushul fiqh.” 8
Menurut Ibnu Taimiyah (w.728 H), qawa’id ushuliyyah dengan
qawa’id fiqhiyyah berbeda, karena ushul fiqh merupakan dalil-dalil
umum, sedangkan qawa’id fiqhiyyah merupakan hokum-hukum
umum.
Menurut Ali Ahmad al-Nadawi, di dalam buku Ade Dedi Rohayana,
perbedaan antara qawa’id fiqhiyyah dengan qawa’id ushuliyyah adalah
sebagai berikut:
9
Ade Dedi rohayana,ilmu Ushul fiqih, (pekalongan:STAIN Press,2006), h.10.
syara’ secara umum maupun khusus, juga sebagai parameter
dalam mengidentifikasi rahasia-rahasia hukum dan hikmah-
hikmahnya.10
10
Ade Dedi Rohayana, h. 33
11
Ade Dedi Rohayana, h. 33.
“Tidak boleh berijtihad dalam hal berhadapan dengan nash.”
Kaidah tersebut dipakai dalam qawa’id ushuliyyah dan qawa’id
fiqhiyyah.12
BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
Dari uraian diatas, dapat disimpulkan:
1. Al-Qawa’id al-fiqhiyyah (kaidah-kaidah fikih) adalah dasar-
dasar atau asas-asas yang bertalian/berkaitan dengan masalah-
masalah atau jenis-jenis fikih. Al-Qawa’id al-fiqhiyyahsecara
terminology adalah kaidah-kaidah yang disimpulkan secara general
dari materi fikih dan kemudian digunakan pula untuk menentukan
hokum dari kasus-kasus baru yang timbul, yang tidak jelas
hukumnya didalam nash.
2. Qawa’id ushuliyyah merupakan cabang keilmuan islam,
yang dilahirkan untuk digunakan oleh mujtahid dalam menggali dan
mengistinbathkan hokum dari dalil-dalil yang global untuk
mengeluarkan hukum syara’ amali. Sedangkan Qawa’id fiqhiyyah
merupakan kumpulan dari hukum-hukum serupa yang mempunyai
‘illat sama, dimana tujuannya untuk mendekatkan berbagai
persoalan dan mempermudah mengetahuinya.
12
Syarif Hidayatullah, h. 26.
DAFTAR PUSTAKA