Anda di halaman 1dari 16

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Sumber Hukum Islam adalah Wahyu Allah yang dituangkan di
dalam Al-Qur’an dan Sunnah Rasulullah SAW. Ayat-ayat Al-Qur’an yang
berhubungan dengan hukum tidak banyak bila dibandingkan dengan
jumlah keseluruhan ayat (6.348 ayat menurut Mushaf Ustmani yang ada
sekarang). Demikian pula apabila dibandingkan dengan masalah yang
harus diberi ketetapan hukum, yang selalu muncul dalam kehidupan
didunia ini. Namun demikian secara umum Allah menerangkan bahwa
semua masalah (pokok-pokoknya) terdapat dalam Al-Qur’an. Allah
berfirman:
٣٨ .… ‫… َّم ا َفَّر ۡط َنا ِفي ٱۡل ِكَٰت ِب ِم ن َش ۡي ٖۚء‬
Artinya: “Tiadalah Kami alpakan sesuatupun dalam Al-Kitab …”
(Q.S. Al-An’am:6: 38)
Dalam hokum Islam dikenal istilah Fiqh, Ushul Fiqh, Qawaid
Fiqhiyyah, maupun yang lainnya. Adapun Fiqh adalah produk yang
dihasilkan oleh Ushul Fiqh ataupun Qawa’id Fiqhiyyah.
Pembahasan pertama ini pemakalah akan membahas pengertian
qawa’id fiqhiyyah yang mencakup bahasan kaidah yang bersifat umum
dan biasa digunakan untuk menyelesaikan permasalahan yang bersifat
praktis dalam kehidupan sehari-hari, dan perbedaannya dengan qawa’id
ushuliyyah & dhawabith fiqhiyyah.
B. Rumusan Masalah
1. Apa pengertian qawa’id fiqhiyyah?
2. Apakah perbedaan antara qawa’id fiqhiyyah dengan qawa’id

1
ushuliyyah?
3. Apakah perbedaan antara qawa’id fiqhiyyah dengan dhawabith
fiqhiyyah?

C. Tujuan
1. Dapat mengetahui pengertian daripada qawa’id fiqhiyyah.
2. Dapat mengetahui perbedaan antara qawa’id fiqhiyyah dengan
qawa’id ushuliyyah.
3. Dapat mengetahui perbedaan antara qawa’id fiqhiyyah dengan
dhawabith fiqhiyyah.

BAB II

2
PEMBAHASAN

A. Pengertian Qawa’id Fiqhiyyah


Al-Qawa’id Al-Fiqhiyyah terdiri atas dua kata yang berasal dari
Bahasa Arab yaitu, qawa’id dan fiqhiyyah. Kata qawa’id merupakan
bentuk jamak (plural) dari kata qa’idah. Kata ini telah diserap ke dalam
bahasa Indonesia menjadi kaidah, dengan pengertian yang lebih kurang
sama dengan yang terdapat dalam bahasa Arab.1

Dapat dijelaskan juga, Ar-Raghib Al-Asfahani dalam Abd. Rahman


Dahlan bahwa di dalam penggunaan Bahasa Arab, kata qawa’id secara
etimologi berarti asas atas dasar dan fondasi, 2 baik dalam pengertian
konkret, seperti kata qawa’id al-buyut yang berarti fondasi bangunan
rumah, maupun dalam pengertian abstrak, seperti qawa’id ad-din, yang
berarti dasar-dasar agama.3

Kaidah yang berarti dasar-dasar (fondasi) yang bersifat materi


terdapat dalam Al-Qur’an surat Al-Baqarah (2) ayat 127 dan surat Al-
Nahl (16) ayat 26 yang berbunyi:

… ‫َو ِإۡذ َيۡر َفُع ِإۡب َٰر ۧ‍ِهُم ٱۡل َقَو اِع َد ِم َن ٱۡل َبۡي ِت َو ِإۡس َٰم ِع يُل‬

1
Dalam bahasa Indonesia, kata kaidah yang mengandung arti rumusan dari
asas-asas yang menjadi hokum; aturan yang tentu; patokan;dalil. Tim Punyusun, Kamus,
hlm. 376. Selanjutnya dalam tulisan ini, kecuali dalam hal-hal tertentu, kata kaidah akan
dipakai untuk menunjuk pengertian qa’idah dalam bahasa Arab.
2
Abd. Rahman Dahlan, Ushul Fiqh, (Jakarta: AMZAH, 2011), hlm. 10
3
Abd. Rahman Dahlan. hlm. 10

3
Artinya: “Dan (ingatlah), ketika Ibrahim meninggikan (fondasi)
dasar-dasar Baitullah bersama Ismail … (QS. Al-Baqarah: [2]: 127).

… ‫َفَأَتى ٱُهَّلل ُبۡن َٰي َنُهم ِّم َن ٱۡل َقَو اِعِد‬

Artinya: “Maka Allah menghancurkan rumah-rumah mereka dari


fondasinya … “ (QS. Al-Nahl [16]: 26)

Demikianlah pengertian qawa’id menurut Bahasa. Sedangkan kata


fiqhiyyah diambil dari kata fiqh yang berasal dari Bahasa Arab; fiqh, yang
secara etimologi mengandung makna; mengerti atau paham. Sebagaimana
dalam Firman Allah pada surah Al-Isra’ [17]: 44.

‫ُتَس ِّبُح َلُه ٱلَّس َٰم َٰو ُت ٱلَّس ۡب ُع َو ٱَأۡلۡر ُض َو َم ن ِفيِهَّۚن َو ِإن ِّم ن َش ۡي ٍء ِإاَّل ُيَس ِّبُح ِبَح ۡم ِدِهۦ َو َٰل ِكن اَّل‬
٤٤ ‫َتۡف َقُهوَن َتۡس ِبيَح ُهۚۡم ِإَّن ۥُه َك اَن َح ِليًم ا َغ ُفوٗر ا‬

Artinya: “Langit yang tujuh, bumi dan semua yang ada di dalamnya
bertasbih kepada Allah. Dan tak ada suatupun melainkan bertasbih
dengan memuji-Nya, tetapi kamu sekalian tidak mengerti tasbih mereka.
Sesungguhnya Dia adalah Maha Penyantun lagi Maha Pengampun.”

Selanjutnya, jika kedua kata diatas digabungkan menjadi kata


majemuk yaitu qawa’id fiqhiyyah, maka ia menunjuk pengertian suatu
cabang ilmu keislaman, yang oleh ulama fiqh diberi definisi agak
berbeda-beda, namun substansi terminologinya tetap sama.

Menurut Al-Taftazany (w. 791 H), sebagaimana yang dikutip oleh


Syarif Hidayatullah4 adalah sebagai berikut:

4
Syarif Hidayatullah, Qawa’id Fiqhiyyah Dan Penerapannya Dalam Transaksi
Keuangan Syari’ah Kontemporer, (Jakarta: Gramata Publishing, 2012), hlm. 16-17.

4
‫ َهَّنا ُح ٌمْك ِّلُك ٌّي َيْنَط ِب ُق َعىَل ُج ْز ِئَّياَهِتا ِلُيَتَع َّر َف َأْح اَك ُم َها ِم ْنُه‬.
‫ِإ‬
Artinya: “Bahwasanya qawa’id fiqhiyyah adalah suatu hukum yang
bersifat universal (kulli) yang dapat diaplikasikan kepada seluruh
juz’i-nya (bagiannya) agar dapat diidentifikasi hukum-hukum juz’I
(bagian) tersebut darinya.”

Definisi Tajuddin Al-Subky (w. 771 H), yaitu:

‫َيِه اَألْم ُر الِّلُك ُّي اِذَّل ى َيْنَط ِب ُق َعَلْي ِه ُج ْز ِئَّياٌت َكِثَرْي ٌة ُتْفَهُم َأْح اَك ُم َها ِم ْنه‬.

Artinya: “Qawa’id fiqhiyyah adalah perkara yang bersifat universal


(kulli) yang banyak persoalan juz’i (bagian) yang dapat
diaplikasikan padanya; dimana hokum-hukum juz’i (bagian)
tersebut dapat difahami darinya.”

Sedangkan al-Hamawy (w. 1098 H), mendefinisikan qawa’id


fiqhiyyah bersifat aghlabiyah (mayoritas), sebagai berikut:

‫ َهَّنا ُح ٌمْك أْكِرَث ُي َال ِّلُك ٌّي َيْنَط ِب ُق َعىَل َأْكِرَث ُج ْز ِئَّياِتِه ِلُتْع َر َف َأْح اَك ُم َها‬.
‫ِإ‬
Artinya: “Qawa’id fiqhiyyah adalah hukum mayoritas (aktsari), bukan
hukum universal (kulli) yang dapat diaplikasikan kepada mayoritas
bagiannya (juz’iyyat) agar hukum-hukumnya dapat diketahui.”

Dari definisi diatas, maka dapat disimpulkan bahwa qawa’id


fiqhiyyah adalah kaidah-kaidah fiqh yang disimpulkan secara general dari
materi fikih yang mempunyai ‘illat sama, dimana tujuannya untuk

5
mendekatkan berbagai persoalan dan mempermudah untuk
mengetahuinya.

a. Perbedaan antara qawa’id fiqhiyyah dengan qawa’id ushuliyyah

Kaidah usul fikih dalam Bahasa Arab al-qawa’id al-ushuliyah


merupakan tiang dari bangunan fikih, yang kehadirannya lebih dahulu dari
fikih itu sendiri.5

Qawa’id fiqhiyyah, fiqh, ushul fiqh dan qawa’id ushuliyyah tidak


dapat dipisahkan antara satu dengan yang lainnya. Keempat ilmu tersebut
saling terkait dengan perkembangan fikih, karena pada dasarnya yang
menjadi pokok pembicaraan adalah fikih.6

Adanya hubungan tersebut, ulama memberikan perbedaan pada


cabang ilmu keislaman ini, Syihabuddin al Qarafi (w. 684 H) dalam Ade
Dedi Rohayana, dianggap sebagai orang pertama yang membedakan
kaidah ushuliyyah dengan kaidah fiqhiyyah. Ia manyatakan, “Syari’at
Muhammad mencakup ushul (pokok) dan furu’ (cabang). Ushulnya
terbagi dua, yaitu ushul fiqh dan qawa’id fiqhiyyah kulliyah. Secara
umum, ushul fiqh mengkaji kaidah-kaidah hukum yang timbul dari lafad,
seperti amar menunjukkan wajib, nahyi menunjukkan haram, bentuk-
bentuk khusus dan umum, serta nasakh dan Mansukh. Kaidah-kaidah
fiqhiyyah kulliyah, yaitu kaidah-kaidah yang bernilai tinggi dan banyak
jumlahnya, mencakup rahasia-rahasia hukum syara’ dan hikmah-
hikmahnya, serta mencakup cabang-cabang hokum yang tak terhingga.
5
Abdul Aziz Dahlan, (Ensiklopedi Hukum Islam) jilid 3, Hlm. 866
6
Syarif Hidayatullah, hlm. 32

6
Kaidah-kaidah ini tidak disebutkan dalam ushul fiqh, tetapi hanya
disinyalkan secara global.” Al-Qarafi (w. 684 H) menyatakan dalam
kitabnya al-Furuq sebagai berikut: “Qawa’id (fiqhiyyah) tidak tercakup
oleh ushul fiqh. Syari’at mempunyai qawa’id (fiqhiyyah) yang banyak
sekali yang dimiliki oleh para mufti dan qadhi (hakim) yang tidak
terdapat dalam kitab-kitab ushul fiqh.”7

Menurut Ali Ahmad al-Nadawi, di dalam buku Ade Dedi


Rohayana, perbedaan antara qawa’id fiqhiyyah dengan qawa’id
ushuliyyah adalah sebagai berikut:8

1. Ilmu ushul fiqh merupakan parameter (tolok ukur) cara


beristinbath fiqh yang benar, kedudukan ilmu ushul fiqh (dalam
fiqh) ibarat kedudukan ilmu nahwu dalam hal pembicaraan dan
penulisan. Qawa’id ushuliyyah merupakan wasilah, jembatan
penghubung, antara dalil dan hukum. Tugas qawa’id ushuliyyah
adalah mengeluarkan hukum dari dalil-dalil yang tafshili
(terperinci). Ruang lingkup qawa’id ushuliyyah adalah dalil dan
hokum, seperti amar itu menunjukkan wajib, nahyi menunjukkan
haram, dan wajib mukhayar (kifayah) bila telah dikerjakan
sebagian orang, maka yang lainnya bebas dari tanggung jawab.
Qawa’id fiqhiyyah adalah qadliyyah kulliyah atau aktsariyah
(mayoritas) yang juz’i-juz’inya (farsial-farsialnya) beberapa
masalah fikih dan ruang lingkupnya selalu perbuatan orang
mukallaf;
2. Qawa’id ushuliyyah merupakan qawa’id kulliyah yang dapat
diaplikasikan pada seluruh juz’i dan ruang lingkupnya. Ini berbeda
7
Ade Dedi Rohayana, Ilmu Qawa’id Fiqhiyyah, (Jakarta: Gaya Media Pratama,
2008), hlm. 30
8
Ade Dedi Rohayana, hl. 31-32

7
dengan qawa’id fiqhiyyah yang merupakan kaidah aghlabiyah
(mayoritas) yang dapat diaplikasikan pada sebagian besar juz’inya,
karena ada pengecualiannya;
3. Qawa’id ushuliyyah merupakan zari’ah (jalan) untuk
mengeluarkan hukum syara’ amali. Qawa’id fiqhiyyah merupakan
kumpulan dari hokum-hukum serupa yang mempunyai ‘illat sama,
dimana tujuannya untuk mendekatkan berbagai persoalan dan
mempermudah mengetahuinya.

Kemudian diantara keistimewaan qawa’id fiqhiyyah yang tidak


terdapat dalam qawa’id ushuliyyah adalah sebagai berikut:
1. Memelihara dan menghimpun berbagai masalah yang sama, juga
sebagai barometer dalam mengidentifikasi berbagai hukum yang
masuk dalam ruang lingkupnya.
2. Dapat menunjukkan bahwa hukum-hukum yang sama ‘illatnya
meskipun berbeda-beda merupakan satu jenis ‘illat dan
maslahat.
3. Sebagian besar masalah ushul fiqh tidak mengkaji hikmah
tasyri’ dan maksudnya, tetapi mengkaji bagaimana
mengeluarkan hokum-hukum dari lafaz-lafaz syar’i dengan
menggunakan kaidah yang mungkin dapat mengeluarkan furu’
dari lafaz-lafaz syar’i tersebut. Sebaliknya, qawa’id fiqhiyyah
mengkaji maksud-maksud syara’ secara umum maupun khusus,
juga sebagai parameter dalam mengidentifikasi rahasia-rahasia
hukum dan hikmah-hikmahnya.9

9
Ade Dedi Rohayana, hlm. 33

8
Kedua kaidah ini, yaitu kaidah ushuliyyah dengan qa’idah fiqhiyyah
terkadang bercampur baur. Misalnya dalam masalah saddu az-zari’ah dan
‘urf, apabila saddu az-zari’ah dipandang sebagai dalil syara’ karena
memperhatikan ruang lingkupnya, maka ia disebut qa’idah ushuliyyah.
Namun, apabila dipandang sebagai perbuatan mukallaf, maka ia disebut
kaidah fiqhiyyah. Dalam kasus ini, apabila dikatakan: “setiap mubah yang
dapat membawa kepada yang haram hukumnya haram” sebagai saddu az-
zari’ah, maka ia disebut kaidah fiqhiyyah. Namun, apabila dikatakan:
“Dalil yang menetapkan perkara yang haram menetapkan pula
keharaman perkara yang dapat membawa kepada yang haram”, maka ia
disebut kaidah ushuliyyah.
Oleh karena itu, kaitan antara qawa’id fiqhiyyah dengan ushul fiqh
sangat erat sekali terutama dalam kajian dalil-dalil, karena qawa’id
fiqhiyyah menyerupai dalil-dalil.10
Dari uraian diatas, tampak jelas perbedaan antara qawa’id fiqhiyyah
dengan qawa’id ushuliyyah. Meski pun ada perbedaan antara qawa’id
fiqhiyyah dengan qawa’id ushuliyyah, tidak menutup kemungkinan
adanya qawa’id ushuliyyah juga digunakan pada qawa’id fiqhiyyah,
seperti kaidah:11
" ‫" َال ْج َهِتاَد ِع ْنَد ُو ُر ْو ِد الَّنّص‬
‫ِإ‬
“Tidak boleh berijtihad ketika berhadapan dengan nash.”

" ‫" َالَم َس ـاَغ ِل ْج َهِتاد ىِف َمْع َر ِض الَّنِّص‬


‫ِإل‬
“Tidak boleh berijtihad dalam hal berhadapan dengan nash.”

10
Ade Dedi Rohayana, hlm. 33
11
Syarif Hidayatullah, hlm. 26

9
Kaidah tersebut dipakai dalam qawa’id ushuliyyah dan qawa’id
fiqhiyyah.

b. perbedaan antara qawa’id fiqhiyyah dengan dhawabith fiqhiyyah

Selain qawa’id fiqhiyyah terdapat istilah lain yang hampir mirip


dengannya, yaitu dhawabith fiqhiyyah. Kedua istilah ini memiliki
kesamaan, perbedaannya hanya terletak pada ruang lingkup saja. Kalau
qawa’id fiqhiyyah ruang lingkupnya tidak terbatas pada satu masalah fiqh.
Perbedaan ini telah diisyaratkan oleh al-Maqqari al-Maliki (w. 758 H), ia
menyatakan bahwa qawa’id fiqhiyyah lebih umum dari dhawabith
fiqhiyyah.12

Sebagaimana yang dikemukakan oleh Nuruddin Mukhtar al


Khadimy, dalam Syarif Hidayatullah, menurut istilah, sebagian ulama
memberikan definisi-definisi yang berdekatan dan saling melengkapi serta
menyempurnakan. Kaidah-kaidah itu adalah:

1. Dhawabith fiqhiyyah adalah semua yang terbatas juz’iyat-nya


(bagiannya) pada suatu urusan tertentu.
2. Dhawabith fiqhiyyah adalah apa tersusun sebagai bentuk-bentuk
masalah yang serupa dalam satu tema, tanpa melihat kepada
makna yang menyeluruh yang terkait.

Dari kaidah-kaidah yang telah disebutkan, dapat disimpulkan,


bahwa dhawabith fiqhiyyah adalah setiap juz’iyyat fiqhiyyah yang terdapat
dalam satu bab fikih, atau prinsip fikih yang universal, yang juz’iyyat-nya
(bagia-bagiannya) terdapat dalam satu bab fikih.13
12
Ade Dedi Rohayana, hlm. 18
13
Syarif Hidayatullah, hlm. 27

10
Akan tetapi, jumhur ulama fikih dan ulama usul fikih membedakan
antara dhabit fikih dan kaidah fikih. Menurutnya, kaidah fikih ialah
ketentuan umum yang diatasnya tersusun bagian-bagian (hokum) yang
hukumnya dipahami dari kaidah tersebut.14

Namun demikian, ada ulama fikih/usul fikih yang menyamakan


antara qawa’id fiqhiyyah dan dhawabith fiqhiyyah. Dalam Ensiklopedia
Hukum Islam, menurut Abdul Gani an-Nabulsi (w. 1143 H) ahli fikih
Mazhab Hanafi, kaidah fikih sama pengertiannya dengan dhabith fikih,
yaitu ketentuan umum yang dirumuskan dan mencakup segenap
permasalahan fikih.15 Jika seseorang mengatakan: “ ‫“ اليقين ال ي زال بالش ك‬16
(keyakinan [terhadap sesuatu] tidak dapat dihilangkan oleh keraguan).
Pandangan Abdul Ghani an-Nabulsi (w. 1143 H) ini tampaknya
didasarkan kepada realitas bahwa para ulama terkadang suka menyebut
kaidah atau yang semakna dengannya terhadap dhabit. Selain karena
perbedaan antara keduanya sangat tipis, tampaknya al-Nabulsi juga tidak
membedakan ruang lingkup kaidah dan dhabit.17

Dari uraian diatas dapat disimpulkan, bahwa qawa’id fiqhiyyah


lebih umum dari dhawabith fiqhiyyah, karena qawa’id fiqhiyyah tidak
terbatas pada masalah dalam satu bab fikih, tetapi kesemua masalah yang
terdapat pada semua bab fikih. Sedang dhawabith fiqhiyyah ruang
lingkupnya terbatas pada satu masalah dalam satu bab fikih. Karena
qaidah fiqhiyyah disebut qaidah ‘ammah, atau kulliyah dan dhabith fiqh
disebut qa’idah khashshah.18
14
Abdul Azis Dahlan, (Ensiklopedi Hukum Islam) jilid 3, hlm. 863
15
Abdul Azis Dahlan, hlm. 863
16
Jalaluddin al-Suyuthy, al-Asybah wa an-Nazha’ir, (Beirut-Libnan: Dar al-
Kitab al-‘Ilmiyah, 911 H/ 1491 M), hlm. 50
17
Ade Dedi Rohayana, hlm. 19
18
Syarif Hidayatullah, hlm. 30

11
Contohnya antara lain:19

1. Kaidah
" ‫" أَملَش َّقُة ْجَت ِلُب الَّتْيِس رْي‬20

” Kesulitan itu menimbulkan adanya kemudahan.”

Kaidah tersebut dinamakan qa’idah fiqhiyyah, bukan dhawabith


fiqhiyyah, karena kaidah ini masuk pada semua bab fikih, dalam masalah
ibadah, muamalah dan lainnya.

Sedangkan kaidah:

" ‫" َم ا َج اَز ْت َج اَر ُتُه َج اَز ْت عَاَر ُتُه‬21


‫ِإ‬ ‫ِإ‬
“ Apa yang boleh menyewakannya, maka boleh pula
meminjamkannya.”

Kaidah tersebut dinamakan dhawabith fiqhiyyah, karena hanya


terbatas pada rukun transaksi (muamalah) dan dalam bab pinjaman, atau
pinjam meminjam.

2. Kaidah

19
Syarif Hidayatullah, hlm. 31
20
Jalaluddin al-Suyuthy, al-Asybah wa al-Nazha’ir, hlm. 76
21
‘Athiyah ‘Adlan ‘Athiyah Ramadhan, Mausu’ah al-Qawa’id al-Fiqhiyyah,
(al-Iskandariyah: Dar al Qimmah – Dar al Iman, t.th), hlm. 22

12
‫ َذ ا اْج َتَم َع اَحلَالُل َو اَحلَر اُم ُغِّلَب اَحلَر اُم‬22
‫ِإ‬
“Apabila bertemu yang halal dan haram, maka yang dimenangkan
adalah yang haram”.

Kaidah tersebut dikategorikan sebagai qaidah fiqhiyyah, karena


kaidah ini masuk pada semua bab fikih, ibadat, muamalah, atau yang
lainnya.

Sedangkan kaidah:

‫َم ا َال ُجَي ْو ُز الَّس ُمَل ِف ْيِه اَل ُجَي ْو ُز َقْر َض ُه‬23

“Apa yang tidak boleh menjadi objek jual-beli salam, tidak boleh
menjadi qardh (hutang-piutang).”

Kaidah tersebut dinamakan dhawabith fiqhiyyah karena hanya


terbatas pada syarat transaksi (muamalah) dan dalam bab hutang piutang.

22
Jalaluddin al-Suyuthy, al-Asybah wa al-Nazha’ir, hlm. 105
23
‘Athiyah ‘Adlan, Mausu’ah al-Qawa’id al-Fiqhiyyah, hlm. 23

13
BAB III

PENUTUP

A. Kesimpulan
Dari uraian diatas, dapat disimpulkan:
1. Al-Qawa’id al-fiqhiyyah (kaidah-kaidah fikih) adalah dasar-dasar
atau asas-asas yang bertalian/berkaitan dengan masalah-masalah
atau jenis-jenis fikih. Al-Qawa’id al-fiqhiyyah secara terminology
adalah kaidah-kaidah yang disimpulkan secara general dari materi
fikih dan kemudian digunakan pula untuk menentukan hokum
dari kasus-kasus baru yang timbul, yang tidak jelas hukumnya di
dalam nash.

14
2. Qawa’id ushuliyyah merupakan cabang keilmuan islam, yang
dilahirkan untuk digunakan oleh mujtahid dalam menggali dan
mengistinbathkan hokum dari dalil-dalil yang global untuk
mengeluarkan hukum syara’ amali. Sedangkan Qawa’id fiqhiyyah
merupakan kumpulan dari hukum-hukum serupa yang
mempunyai ‘illat sama, dimana tujuannya untuk mendekatkan
berbagai persoalan dan mempermudah mengetahuinya.
3. Qawa’id fiqhiyyah lebih umum dari dhawabith fiqhiyyah, karena
qawa’id fiqhiyyah tidak terbatas pada masalah dalam satu bab
fikih, tetapi kesemua masalah yang terdapat pada semua bab fikih.
Sedangkan dhawabith fiqhiyyah ruang lingkupnya terbatas pada
satu masalah dalam satu bab fikih. Karena itu qaidah fiqhiyyah
disebut qa’idah ‘ammah, atau kulliyah dan dhabith fiqh disebut
qa’idah khashshah.

DAFTAR PUSTAKA

‘Athiyah ‘Adlan ‘Athiyah Ramadhan, Mausu’ah al-Qawa’id al-


Fiqhiyyah, (al-Iskandariyah: Dar al Qimmah – Dar al Iman, t.th).

Abd. Rahman Dahlan, Ushul Fiqh, (Jakarta: AMZAH, 2011).

Abdul Azis Dahlan, Ensiklopedi Hukum Islam, Jilid 3, (Jakarta: PT.


Ichtiar Baru Van Houve, 1996).

Ade Dedi Rohayana, Ilmu Qawa’id Fiqhiyyah, (Jakarta: Gaya Media


Pratama, 2008).

15
Jalaluddin al-Suyuthy, al-Asybah wa an-Nazha’ir, (Beirut-Libnan: Dar al-
Kitab al-‘Ilmiyah, 911 H/ 1491 M).

Syarif Hidayatullah, Qawa’id Fiqhiyyah Dan Penerapannya Dalam


Transaksi Keuangan Syari’ah Kontemporer, (Jakarta: Gramata
Publishing, 2012).

16

Anda mungkin juga menyukai