Anda di halaman 1dari 30

Seri Fiqih Kehidupan (1) : Muqadimah - 1 Bab 8 : Qawaid Fiqhiyah

Bab 8 : Qawaid Fiqhiyah

Ikhtishar

A. Pengertian
1. Qawaid
2. Makna Fiqih
B. Proses Pembentukan Qawaid Fiqhiyah
C. Manfaat, Objek dan Keuatamaan
1. Manfaat
2. Objek
3. Keutamaan
D. Hubungan Dengan Ilmu Lainnya
E. Perkembangan Kaidah
F. Kaidah Kubra dan Turunannya
1. Kaidah Kubra Pertama
2. Kaidah Kubra Kedua
3. Kaidah Kubra Ketiga
4. Kaidah Kubra Keempat
5. Kaidah Kubra Kelima

A. Pengertian
1. Qawaid
Kata qawa'id (‫ )ﻗﻮاﻋﺪ‬adalah bentuk jamak dari kata qaidah
(‫ )ﻗﺎﻋﺪة‬yang arti secara bahasa bermakna asas, dasar, atau pondasi.

179
Bab 8 : Qawaid Fiqhiyah Seri Fiqih Kehidupan (1) : Muqadimah - 1

Makna ini bisa dalam arti yang konkret maupun yang


abstrak, seperti kata-kata qawa'id al-bait, yang artinya pondasi
rumah, atau qawa'id al-din, artinya dasar-dasar agama, atau
qawa'id al-ilm, artinya kaidah-kaidah ilmu.

‫وإﲰﺎﻋﻴﻞ‬ ِ ‫وإذ ﻳﺮﻓﻊ ِإﺑﺮ ِاﻫﻴﻢ ْاﻟﻘﻮ‬


ِ ِ ِ ْ ‫اﻋﺪ ِﻣﻦ‬ ِ
ُ ْ ‫اﻟﺒﻴﺖ‬
ْ ُ ْ ُْ ْ
Dan ingatlah ketika Ibrahim meninggikan dasar-dasar Baitullah
bersama Ismail. (QS. al-Baqarah : 127)

ِ ِ ‫اﻟﻠﻪ ﺑ ْـﻨﻴﺎ ُﻢ ِﻣﻦ ْاﻟﻘﻮ‬


‫اﻋﺪ‬ ِ ِ ْ ِ ‫اﻟﺬﻳﻦ‬
ِ ّ ‫ﻗﺪ ﻣﻜﺮ‬
ْ ُ ُ ّ ‫ﻗﺒﻠﻬﻢ ﻓﺄﺗﻰ‬
ْ ْ ‫ﻣﻦ‬ ْ
Allah menghancurkan bagunan mereka dari pondasi-
pondasinya"(QS. al-Nahl : 26)
Dari dua ayat di atas, bisa disimpulakan bahwa arti kaidah
adalah dasar, asas atau pondasi, tempat yang di atasnya berdiri
suatu bagunan.
Pengertian kaidah semacam ini terdapat pula dalam ilmu-
ilmu yang lain, misalnya dalam ilmu nahwu (grammer) bahasa
Arab, seperti maf'ul itu manshub dan fa'il itu marfu'. Inilah yang
disebut dengan al-qawaid an-nahwiyyah (kaidah nahwu).
Dari sini ada unsur penting dalam kaidah yaitu hal yang
bersifat menyeluruh, yang mencakup banyak bagian dan cabang
yang ada di bawahnya.
Dengan demikian, maka al-Qawa'id al-Fiqihiyah secara
etimologis adalah dasar-dasar atau asas-asas yang bertalian
dengan masalah-masalah atau jenis-jenis Fiqih.
2. Kaidah Fiqih
Para ulama memang berbeda dalam mendefinisikan ilmu
Kaidah Fiqih secara istilah. Ada yang mendefinisikannya
dengan makna yang luas tetapi juga ada yang
mendefinisikannya dengan mana yang sempit. Akan tetapi,
substansinya tetap sama.

180
Seri Fiqih Kehidupan (1) : Muqadimah - 1 Bab 8 : Qawaid Fiqhiyah

a. Syeikh Muhammad Abu Zahrah


Syeikh Muhammad Abu Zahrah mendefisikan kaidah
sebagai berikut:

ٍ ‫ﻗﯾﺎس واﺣ ِد‬


ٍ ِ ‫ﺗرﺟ ِﻊ ُ ِإﻟﻰ‬ ِ ّ ِ ‫اﻷﺣﻛﺎم ِ اﻟﻣ ُْﺗﺷﺑ ﱢﮭﺎت‬
ْ ْ ‫اﻟﺗﻲ‬ ْ ْ ُ ‫ُوﻋﺔ‬
ْ ْ ‫ﻣﺟﻣ‬
ْ
‫ﯾﺟﻣﻌ ُﮭﺎ‬
"Kumpulan hukum-hukum yang serupa berdasarkan qiyas
(analogi) yang mengumpulkannya."
b. Al-Jurjani
Sedangkan Al-Jurjani memberikan definisi bahwa Kaidah
Fiqih adalah:

ْ ِ ‫ُﻧطﺑﻘﺔ ٌ ﻋﻠﻰ‬
‫ﺟﻣﯾﻊ ِ ﺟ ُْزﺋ ِﯾ ِّﺎﺗﮭﺎ‬ ِ ْ ‫ﻗﺿﯾّﺔ ٌﻛﻠ ُﯾ ﱢّﺔ ٌﻣ‬
ِ
"Ketetapan yang kulli (menyeluruh, general) yang mencakup
seluruh bagian-bagiannya"
c. As-Subki
Imam Tajjuddin As-Subki (w.771 H) mendefisikan kaidah
fiqhiyah sebagai :

ْ ُ ‫ﻛﺛﯾرة ٌ ﯾ ُْﻔﮭم‬
‫أﺣﻛﺎﻣ ُﮭﺎ‬ ْ ‫ﻋﻠﯾﮫ ِ ﺟ‬
ْ ِ ٌ‫ُزﺋ ﱢﯾّﺎت‬ ِ ‫اﻟذي ْﯾﻧ‬
ْ ُ ‫طﺑق‬ ‫اﻷﻣ ْر ُ ْ ُ ﱢ‬
ْ ِ ّ ‫اﻟﻛﻠﻲ ﱡ‬ ْ
‫ﻣﻧﮭﺎ‬ِْ
"Kaidah adalah sesuatu yang bersifat general yang meliputi
bagian yang banyak sekali, yang dipahami hukum bagian
tersebut dengan kaidah tadi"
d. Ibnu Abdin & Ibnu Nuzaim
Ibnu Abdin (w.1252 H) dalam muqaddimah-nya, dan Ibnu
Nuzaim (w.970 H) dalam kitab Al-Asybah Wa An-Nazhair
dengan singkat mengatakan bahwa kaidah itu adalah :

ْ ْ ‫إﻟﯾﮭﺎ وﻓر ّ ﻋ ُوا‬


ْ ‫اﻷﺣﻛﺎم‬
‫ﻋﻠﯾﮭﺎ‬ ْ ِ ‫ﺗرد ﱡ‬ ِ ّ ِ ‫اﻟﻘواﻋد‬
ُ ْ ‫اﻟﺗﻲ‬ ِ ْ ُ ‫ﻣﻌرﻓﺔ‬
ِ ْ
"Sesuatu yang dikembalikan kepadanya hukum dan hukum

181
Bab 8 : Qawaid Fiqhiyah Seri Fiqih Kehidupan (1) : Muqadimah - 1

tersebut dirinci dari padanya"


e. Al-Suyuthi
Sedangkan menurut Imam Al-Suyuthi dalam kitabnya al-
asybah wa al-nazhair, mendefinisikan kaidah adalah:

ِ ِ ‫ﯾﻧطﺑق ُ ﻋﻠﻰ ﺟ ُْزﺋ ِﯾ‬


‫ّﺎﺗﮫ‬ ‫ﺣ ُﻛمْ ٌ ُ ﱢ‬
ِ ْ ‫ﻛﻠﻲ ﱞ‬
"Hukum kulli (menyeluruh, gerenal) yang meliputi bagian-
bagiannya"
Dari definisi-definisi tersebut di atas, jelas bahwa kaidah itu
bersifat menyeluruh meliputi bagian-bagian dalam arti bisa
diterapkan kepada juz-iyat-nya (bagian-bagiannya).
Kesimpulan
Jadi bisa kita simpulkan bahwa definisi kaidah fiqhiyah
adalah:

ْ ِ ‫أﺣﻛﺎﻣ ُﮭﺎ‬
ُ ‫ﻣﻧﮫ‬ ْ ُ ِ ِ ‫ّﺎﺗﮫ‬
ْ ‫ﻟﺗﻌرف‬ ْ ‫ُﻌظم ِﺟ‬
ِ ‫ُزﺋ ِﯾ‬ ِ ْ ‫أﻏﻠﺑﻲ ِ ﱞ‬
ْ ‫ﯾﻧطﺑق ُﻋﻠﻰ ﻣ‬ ْ ٌ ْ ‫ﺣ ُﻛم‬
“Hukum yang bersifat mayoritas dan mencakup sebagian besar
bagian-bagiannya supaya dapat diketahui hukum-hukumnya.”
Ada satu kata kunci definisi ini dengan yang lainnya yaitu
kalimat mayoritas bukan menyeluruh.
Karena dalam kaidah fiqih banyak sekali kasus hukum
yang menjadi pengecualian dari kaidah fiqih yang ada, sehingga
sifatnya mayoritas. Artinya menampung banyak hukum dari
permasalahan fiqih namun tidak mencakup secara keseluruhan.
Sifat menyeluruh sebenarnya dimiliki ilmu ushul fiqih yang
sifatnya memang mencakup secara keseluruhan.
Dengan demikian di dalam hukum Islam ada dua macam
kaidah, yaitu kaidah ushul (‫ )اﻟﻘﻮاﻋﺪ اﻷﺻﻮﻟﯿﺔ‬dan kaidah fiqih ( ‫اﻟﻘﻮاﻋﺪ‬
‫)اﻟﻔﻘﮭﯿﺔ‬:

 Kaidah Ushul. Kaidah ini kita temukan di dalam kitab-


kitab ushul fiqih, yang digunakan untuk menyimpulkan

182
Seri Fiqih Kehidupan (1) : Muqadimah - 1 Bab 8 : Qawaid Fiqhiyah

hukum (takhrij al-ahkam) dari sumbernya yaitu Al-Quran


dan Al-Hadits.
 Kaidah Fiqih. Kaidah ini adalah kaidah-kaidah yang
disimpulkan secara general dari materi fiqih, kemudian
digunakan pula untuk menentukan hukum dari kasus-
kasus baru yang timbul, yang tidak jelas hukumnya di
dalam nash.
Oleh karena itu baik kaidah-kaidah ushul fiqih maupun
kaidah fiqih, bisa disebutkan sebagai bagian dari metodologi
hukum Islam.
Namun dengan catatan bahwa kaidah-kaidah ushul sering
digunakan di dalam takhrij al-akham, yaitu mengeluarkan hukum
dari dalil-dalilnya (Al-Quran dan Sunnah). Sedangkan kaidah
Fiqih sering digunakan di dalam tathbiq al-ahkam, yaitu
penerapan hukum atas kasus-kasus yang timbul di dalam
bidang kehidupan manusia.
Dari sisi ini tidaklah heran apabila kekhilafahan Turki
Usmani antara tahun 1869-1878 mengeluarkan undang-undang
yang disebut Majalah al-Ahkam Al-Adliyah (‫ )ﻣﺠﻠﺔ اﻷﺣﻜﺎم اﻟﻌﺪﻟﯿﺔ‬yang
merupakan penerapan hukum Islam dengan menggunakan 99
kaidah Fiqih di bidang muamalah dengan 1.851 pasal.
B. Proses Pembentukan Kaidah Fiqih
Sulit diketahui siapa pembentuk kaidah Fiqih, yang jelas
dengan meneliti kitab-kitab kaidah Fiqih dan masa hidup
penyusunnya ternyata kaidah Fiqih tidak terbentuk sekaligus,
tetapi terbentuk secara bertahap dalam proses sejarah hukum
Islam.
Walaupun demikian, kalangan ulama di bidang kaidah
Fiqih, menyebutkan bahwa Abu Thahir al-Dibasi, ulama dari
mazhab Hanafi, yang hidup di akhir abad ke-3 dan awal abad
ke-4 Hijriyah, telah mengumpulkan kaidah Fiqih mazhab Hanafi
sebanyak 17 kaidah. Abu Thahir selalu mengulang-ulang kaidah
tersebut di masjid, sebelum para jamaah pulang ke rumahnya
masing-masing.

183
Bab 8 : Qawaid Fiqhiyah Seri Fiqih Kehidupan (1) : Muqadimah - 1

Kemudian Abu Sa'id al-Harawi, seorang ulama mazhab


Asy-Syafi'i mengunjungi Abu Thahir dan mencatat kaidah Fiqih
yang dihafalkan Abu Thahir. Diantara kaidah tersebut adalah
lima kaidah besar di atas.
Setelah seratus tahun kemudian, datang ulama besar Imam
Abu Hasan al-Karkhi, yang menambahkan kaidah Fiqih yang
sudah dikumpulkan Abu Thahir sehingga menjadi 37 kaidah.
Dari paparan di atas, jelaslah bahwa kaidah-kaidah Fiqih
muncul pada akhir abad ke-3 Hijriyah.
Seperti kita ketahui dari perkembangan ilmu Islam, bahwa
kitab-kitab tafsir, hadits, ushul fiqih dan kitab-kitab Fiqih pada
masa itu telah dibukukan. Dengan demikian materi tentang
tafsir, hadits, dan Fiqih telah cukup banyak.
Kaidah Fiqih memang bukan dalil, tetapi sarana bagi kita
untuk mempermudah menentukan hukum pada masalah-
masalah yang kita jumpai di masyarakat. Maka para ulama’
telah memberikan investasi besar kepada kita agar kita dapat
memahami hukum Islam ini dengan mudah.
Oleh karena itu, bahwa proses pembentukan kaidah Fiqih
adalah sebagai berikut :

1. Sumber hukum Islam: Al-Quran dan Hadits;


2. Kemudian muncul ushul fiqih sebagai metodologi di dalam
penarikan hukum (istibath al-ahkam). Dengan metodologi

184
Seri Fiqih Kehidupan (1) : Muqadimah - 1 Bab 8 : Qawaid Fiqhiyah

ushul fiqih yang menggunakan pola pikir deduktif


menghasilkan Fiqih;
3. Fiqih ini banyak materinya. Dari materi Fiqih yang banyak
itu kemudian oleh ulama-ulama yang mendalami ilmu di
bidang Fiqih, diteliti persamaannya dengan menggunakan
pola piker deduktif kemudian dikelompokkan, dan tiap-tiap
kelompok merupakan kumpulan dari masalah-masalah
yang serupa, akhirnya disimpulkan menjadi kaidah-kaidah
Fiqih;
4. Selanjutnya kaidah-kaidah tadi dikritisi kembali dengan
menggunakan banyak ayat dan banyak hadits, terutama
untuk dinilai kesesuaiannya dengan substansi ayat-ayat Al-
Quran dan hadits nabi;
5. Apabila sudah dianggap sesuai dengan ayat Al-Quran dan
banyak hadits Nabi, baru kemudian kaidah fiqih tersebut
menjadi kaidah yang mapan;
6. Apabila sudah menjadi kaidah yang mapan/akurat, maka
ulama-ulama Fiqih menggunakan kaidah tadi untuk
menjawab permasalahan masyarakat, baik di bidang sosial,
ekonomi, politik, dan budaya, akhirnya memunculkan
hukum-hukum Fiqih baru;
7. Oleh karena itu tidaklah mengherankan apabila ulama
memberikan fatwa, terutama di dalam hal-hal baru yang
praktis selalu menggunakan kaidah-kaidah Fiqih, bahkan
kekhalifahan Turki Utsmani di dalam Majalah al-Ahkam al-
Adliyah, menggunakan 99 kaidah di dalam membuat
undang-undang tentang akad-akad muamalah dengan 185
pasal;
8. Seperti telah disinggung di muka.
Ibnu Qayyim al-Jauzaiyah (w.751 H) murid Ibnu Taimiyah
dalam kitab Fiqihnya "I'lam al-Muwaqi'in Rabb al-Alamin",
memunculkan kaidah :

185
Bab 8 : Qawaid Fiqhiyah Seri Fiqih Kehidupan (1) : Muqadimah - 1

‫ﻛﻧﺔ‬
ِ ِ ‫واﻷﻣ‬ ِ ِ ْ ْ ‫ﺑﺣﺳب ﺗﻐﯾ ِﱡر‬
ْ ْ ‫اﻷزﻣﻧﺔ‬ ُ ِْ
ِ ْ ِ ‫واﺧﺗﻼﻓﮭﺎ‬ ْ ْ ُ ‫ﺗﻐﯾ ﱡ ر‬
‫اﻟﻔﺗوى‬
ِ ِ ْ ‫ّﺎت‬
‫واﻟﻌواﺋد‬ ِ ‫واﻷﺣوال واﻟﻧﱢﯾ‬
ِ ْ ْ
"Fatwa berubah dan berbeda sesuai dengan perubahan zaman,
tempat keadaan, niat, dan adat kebisaaan"
Ibnu Qayyim dianggap sebagai penemu kaidah tersebut,
demikian pula Ibnu Rusyd (w.520-595 H) dalam kitab Fiqihnya
Bidayat al-Mujtahid Wa Nihayat al-Muqtasid, sesudah menjelaskan
perbedaan pendapat ulama tentang masalah batas maksimal
kehamilan, beliau berkesimpulan dengan kaidah :

‫ﺑﺎﻟﻧﺎدر‬ ِ ْ ‫ﯾﻛون ِﺑﺎﻟ ْﻣ‬


ِ ِ ّ ِ ‫ُﻌﺗﺎد ﻻ‬ ْ ُ ‫أن‬
ْ ُ ‫ﯾﺟب‬ ْ ‫واﻟ ْﺣ‬
ّ ِ ُ ‫ُﻛم‬
ِ ‫إﻧﻣﺎ‬
"Hukum itu wajib ditetapkan dengan apa yang biasa terjadi
bukan dengan apa yang jarang terjadi"
Dalam kitab al-Kharaj, Abu Yusuf memberikan fatwa
kepada khalifah Harun al-Rasyid dengan kata-kata :

‫ﻣن ﯾد ِ أﺣد ٍ ِإﻻ ّ ِ ﱟ‬


‫ﺑﺣق‬ ً ْ ‫ُﺧرج‬
ْ ِ ‫ﺷﯾﺋﺎ‬ ِ ْ ‫ﻟﻺﻣﺎم ِ أنْ ﯾ‬ ْ
ِ ِ ‫ﻟﯾس‬
"Tidak ada kewenangan bagi kepala Negara (eksekutif) untuk
mengambil sesuatu dari tangan seseorang, kecuali dengan cara
yang dibenarkan"
Contoh lain:

ٌ ْ ُ ‫ّاﻋﯾﺔ‬
ِ ْ ْ ِ ‫ﻣﻧوط‬
‫ﺑﺎﻟﻣﺻﻠﺣﺔ‬ ِ ْ ُ ‫ﺗﺻر ﱡ ف‬
ِ ِ ‫اﻹﻣﺎم ِ ﻋﻠﻰ اﻟر‬
“Kebijakan seorang pemimpin terhadap rakyatnya harus
berorientasi kepada kemaslahatan.”
Kaidah ini berasal dari kata-kata Imam al-Syafi'i yang
berbunyi :

ْ ِ ْ ِ ‫ﻛﻣﻧزﻟﺔ‬
ِ ْ ِ ‫ّاﻋﯾﺔ‬ ِ ْ ُ ‫ﻣﻧزﻟﺔ‬
ِ ْ
ِ ْ ِ ‫اﻟوﻟﻲ ﱢ ِﻣن‬
‫اﻟﯾﺗﯾم‬ ِ ْ ‫اﻟواﻟﻲ‬
ِ ‫ﻣن اﻟر‬
"Kedudukan seorang pemimpin terhadap rakyatnya seperti
kedudukan wali kepada anak yatim"

186
Seri Fiqih Kehidupan (1) : Muqadimah - 1 Bab 8 : Qawaid Fiqhiyah

Kata-kata Imam al-Syafi'i ini setelah ditelaah ulama-ulama


lain, terutama ulama di bidang fiqih siyasah, akhirnya
memunculkan kaidah tersebut di atas.
Hanya saja sesudah jadi kaidah fiqih yang mapan dan
dilegitimasi Al-Quran dan Sunnah, kaidah tadi menjadi sumber
dan di bawah kaidah itu dimunculkan kembali Fiqih bahkan
dikelompokkan lagi, inilah yang kita lihat di dalam kitab-kitab
kaidah Fiqih, setelah kaidah-kaidah Fiqih itu dibukukan.
Di dalam proses pengujian kaidah-kaidah Fiqih oleh Al-
Quran dan Sunnah sering bertemu kaidah dengan hadits, maka
hadits tersebut jadi kaidah, seperti:

ِ ْ ‫واﻟﯾﻣﯾن ُ ﻋﻠﻰ اﻟ ْﻣ ُّدﻋﻰ‬


‫ﻋﻠﯾﮫ‬ ْ ِ ْ ْ ‫ُدﻋﻲ‬
ِ ّ ْ ‫اﻟﺑﯾ ْﱢﻧﺔ ُﻋﻠﻰ اﻟﻣ‬
"Bukti/keterangan wajib disampaikan oleh penggugat dan
sumpah wajib diberikan oleh yang mengingkari/tergugat" (HR.
Muslim dari Ibnu 'Abbas), atau juga hadits:

َ ِ َ‫ﺿَرَر َوﻻ‬
‫ﺿرار‬ َ َ‫ﻻ‬
"Jangan memudaratkan dan jangan dimudaratkan" (HR. Al-
Hakim).
Hadits ini digunakan untuk melegitimasi kaidah:

ُ‫اﻟﺿ ّرر ُ ﯾُزال‬


"Kemudaratan harus dihilangkan" (salah satu kaidah Fiqih pokok
yang lima)
Apabila mau memunculkan kaidah-kaidah baru di dalam
Fiqih maka harus ditelusuri dahulu Fiqihnya, baru diukur
akurasi kaidah tadi dengan banyak ayat dan banyak hadits,
selanjutnya didiskusikan dan diuji oleh para ulama, baru bisa
dijadikan sebagai kaidah yang mapan.
Kaidah yang sudah mapan ini akan menjadi alat (metode)
dalam menjawab problem-problem di masyarakat dan
memunculkan hukum-hukum Fiqih baru.

187
Bab 8 : Qawaid Fiqhiyah Seri Fiqih Kehidupan (1) : Muqadimah - 1

Misalnya kaidah:

ُ
ِ ُ ‫ْاﻷﻣ ُْور‬
‫ﺑﻣﻘﺎﺻدھﺎ‬
ِ ِ
“Semua perkara itu tergantung kepada maksudnya”
Kaidah ini berasal dari banyak materi Fiqih, karena di
dalam Fiqih, nilai suatu perbuatan tergantung kepada niatnya.
Di dalam ibadah, apakah niat ibadah itu wajib atau sunnah,
dilaksanakan tepat waktu atau dengan cara qadha.
Dalam muamalah, apakah menyerahkan barang itu dengan
niat memberi (hibah) atau meminjamkan.
Dalam jinayah apakah perbuatan criminal itu dilakukan
karena kesengajaan (dengan niat) atau kesalahan (tanpa niat)
dan seterusnya, semua itu hukumnya dilandaskan kepada niat,
maksud dan tujuannya.
Hukumnya berbeda sesuai dengan niat dan tujuan masing-
masing. Maka muncul kaidah tersebut di atas. Kaidah tersebut
dirujukkan kepada hadits:

ِ ‫اﻷﻋﻤﺎل ِﺑﺎﻟﻨﱢ‬
ّ ُ ْ ْ ‫ِّإﳕﺎ‬
‫ـﻴﺎت‬
"Setiap perbuatan tergantung niatnya" (HR. Bukhari Muslim dari
Umar bin Khattab)
Juga kepada Hadits:

ِ ‫اﺳﺘﻜﺮﻩ‬ ِ‫ر‬
ْ ِ ْ ُ ْ ‫اﻟﻨﺴﻴﺎن وﻣﺎ‬
‫ﻋﻠﻴﻪ‬ ُ ْ ‫اﳋﻄﺄُ و ﱢ‬
ْ ‫ُﻣﱵ‬
ْ
ِ ّ ‫ﻋﻦ أ‬
ْ ‫ﻓﻊ‬ُ
"Diangkat dari umatku (tidak dituliskan berdosa) perbuatan
karena keliru, lupa, dan terpaksa" (HR. Ibnu Majah dari Ibnu
'Abbas)
Tidak hanya dengan dalil itu saja tapi juga disandarkan
kepada ayat-ayat Al-Quran yang berubungan dengan niat,
seperti ayat berikut :

188
Seri Fiqih Kehidupan (1) : Muqadimah - 1 Bab 8 : Qawaid Fiqhiyah

"Dan tidaklah ada dosa atasmu terhadap apa yang kami khilaf
padanya, tetapi (yang ada dosanya) apa yang disengaja oleh
hatimu" (QS. Al-Ahzab : 5)
Demikian pula dalam surat an-Nisaa' ayat 92 dan 93 yang
menyatakan adanya pembunuhan karena kesalahan (tanpa niat)
dan pembunuhan karena sengaja (dengan niat).
Selain itu juga dirujukkan kepada tujuannya, baik atau
buruk, apakah tujuannya penipuan yang dilarang atau bertujuan
baik untuk memberi manfaat kepada manusia.
Dari sini bisa diambil kesimpulan bahwa;
 Pertama, apabila dirujukkan kepada hadits, dan ternyata
hadits-hadits tadi sama dengan kaidah, maka hadits tadi bisa
menjadi kaidah di kalangan Ulama Fiqih.
 Kedua, kaidah yang dirujukkan kepada pemahaman nash-
nash (Al-Quran dan Al-Hadits), maka substansi pemahaman
itulah yang jadi kaidah.
Seperti telah disinggung di muka, setelah menjadi kaidah
yang mapan, para ulama mengelompokkan kembali materi-
materi Fiqih yang masuk dalam kaidah tersebut dan apa-apa
yang keluar (pengecualian) sebagai contoh-contoh penerapan
kaidah.
Misalnya, dalam kitab al-Asybah wa al Nazhair, Imam al-
Suyuthi menjelaskan kaidah:

ُ
ِ ُ ‫ْاﻷﻣ ُْور‬
‫ﺑﻣﻘﺎﺻدھﺎ‬
ِ ِ
"Setiap perkara tergantung kepada niatnya"
Al-Suyuthi, membahas masalah niat dalam beberapa sub
poko bahasan:
1. Kaidah-kaidah niat dilegimitasi oleh hadits niat;
2. Adanya masalah-masalah Fiqih yang lebih sempit di
kelompokkan dan disandarkan kepada kaidah tersebut,
seperti masalah-masalah ibadah mahdhah, munakahat, dan

189
Bab 8 : Qawaid Fiqhiyah Seri Fiqih Kehidupan (1) : Muqadimah - 1

jinayat yang memiliki kaidah-kaidah tersendiri;


3. Fungsi niat yang membedakan antara ibadah dan adat
kebisaaan dan masalah Fiqih yang tidak diperlukan niat;
4. Ta’yin niat/menentukan niat lebih spesifik dalam hal
perbuatan-perbuatan yang serupa;
5. Tempat niat adalah di dalam hati, hubungan antara talafuzh
(melafazkan niat) dengan apa yang ada di dalam hati, maka
yang dianggap sah adalah apa yang ada di dalam hati;
6. Syarat-syarat niat adalah tahu ilmunya, tidak mendapatkan
yang bertentangan dengan niat;
7. Perbedaan pendapat di dalam penerapan niat.
Dalam hal ini, dengan mengambil pendapat al-Rafi'i, al-
Suyuthi memunculkan dhabith, yaitu:

ْ ُ ‫ﺗﻌﻣ ﱢم‬
ّ ‫اﻟﺧﺎص‬ ُ ‫اﻟﻌﺎم ّوﻻ‬ ْ ّ‫ﺗﺧﺻ ﱢص ُ اﻟﻠ‬
ْ ‫ﻔظ‬ ْ ِ ْ ‫ﻓﻲ‬
ُ ِ ‫اﻟﯾﻣﯾن‬ ِ ُ ‫اﻟﻧﯾ ﱢّﺔ‬
"Niat di dalam sumpah mengkhususkan (yang diucapkan) dengan
kata-kata yang umum dan tidak bisa mengumumkan kata-kata
yang khusus"
Bersumpah dengan tidak menyebutkan nama orang atau
sesuatu secara khusus maka harus dijelaskan apa yang diniatkan
itu siapa. Tetapi tidak sebaliknya, apa yang di niatkan kepada
seseorang, maka tidak bisa digeneralisir;
8. Pembahasan tentang kasus-kasus tertentu secara khusus
yang tersebut dalam kitab-kitab Fiqih mazhab Syafi'i.
Dalam kitab al-Qawa'id fi al-Fiqih, karangan Ibnu Rajab al-
Hanbali, ada kaidah yang berbunyi:

ْ ‫ﻗﺑل‬
ِ ْ ‫وﻗﺗﮫ ِ ِﻋﻠﻰ وﺟ ْﮫٍ ﻣ ُﺣر ّم ٍ ﻋ‬
‫ُوﻗب‬ ْ ِ ُ ‫ﻣن ْﺗﻌﺟ ّل ﺣﻘﮫ ُ ّ أو ْﻣﺎ‬
ْ ُ ‫أﺑﯾﺢ ﻟﮫ‬
ِِ ِْ ِ
‫ﺑﺣرﻣﺎﻧﮫ‬
"Barangsiapa yang mempercepat haknya atau yang
membolehkannya sebelum waktunya dengan cara yang haram,

190
Seri Fiqih Kehidupan (1) : Muqadimah - 1 Bab 8 : Qawaid Fiqhiyah

maka ia dihukum dengan keharaman (dilarang) menerima hak


tersebut"
Contoh kaidah ini adalah seperti ahli waris yang
membunuh pewaris, maka ia dilarang mendapatkan warisan
tersebut.
Atau ada orang yang menikahi wanita sebelum habis masa
iddah-nya, maka ia diharamkan untuk menikahi wanita
tersebut.
Atau ada orang yang memburu binatang dalam keadaan
ihram, maka ia diharamkan memburu binatang tersebut.
Kaidah ini setelah dikritisi kemudian menjadi kaidah yang
dianggap lebih mapan dengan ungkapan:

ِ ِ ْ ِ ِ ‫ُوﻗب‬
‫ﺑﺣرﻣﺎﻧﮫ‬ ِ ْ ‫أواﻧﮫ ِ ﻋ‬
ِ ْ ٍ ‫ﻣن ْ ﺗﻌﺟ ّل ِﺑﺷﻲء‬
‫ﻗﺑل‬
"Barangsiapa yang mempercepat sesuatu sebelum waktunya,
diberi sanksi dengan haramnya hal tersebut"
C. Manfaat, Objek dan Keutamaan
1. Manfaat
Adapun manfaat dari mempelajari Kaidah Fiqih adalah
memberi kemudahan di dalam menemukan hukum-hukum
untuk kasus-kasus hukum yang baru dan tidak jelas nash-nya
dan memungkinkan menghubungkannya dengan materi-materi
Fiqih yang lain yang tersebar di berbagai kitab Fiqih serta lebih
memudahkan kita dalam menentukan hukum.
2. Objek
Adapun objek bahasan kaidah-kaidah Fiqih itu adalah
perbuatan mukallaf itu sendiri, dan materi Fiqih itu sendiri yang
dikeluarkan dari kaidah-kaidah Fiqih yang sudah mapan yang
tidak ditemukan nash-nya secara khusus di dalam Al-Quran
atau Sunnah atau Ijma (konsensus para ulama).
3. Keutamaan
Orang yang ingin memahami ilmu fiqih, akan mencapai

191
Bab 8 : Qawaid Fiqhiyah Seri Fiqih Kehidupan (1) : Muqadimah - 1

kemahirannya dalam bidang fiqih apabila dibekali dengan ilmu


kaidah-kaidah Fiqih.
Oleh karena itu ulama berkata :
"Barangsiapa menguasai ushul fiqih, tentu dia akan sampai
kepada maksudnya, dan barangsiapa yang menguasai kaidah-
kaidah Fiqih pasti dialah yang pantas mencapai maksudnya"
D. Hubungannya dengan Ilmu lain
Kaidah Fiqih adalah bagian dari ilmu fiqih. Ia memiliki
hubungan erat dengan Al-Quran, Al-Hadits, Akidah dan
Akhlak.
Sebab, kaidah-kaidah yang sudah mapan, sudah dikritisi
oleh ulama, sudah diuji serta diukur dengan banyak ayat dan
hadits nabi, terutama tentang kesesuiannya dan substansinya.
Apabila kaidah Fiqih tadi bertentangan dengan banyak ayat
Al-Quran ataupun Hadits yang bersifat dalil kulli (general),
maka dia tidak akan menjadi kaidah yang mapan.
Oleh karena itu, menggunakan kaidah-kaidah Fiqih yang
sudah mapan pada hakikatnya merujuk kepada Al-Quran dan
Hadits, setidaknya, kepada semangat dan kearifan Al-Quran
dan Hadits juga.
E. Perkembangan Kaidah
Para pencetus dan pengembang kaidah-kaidah Fiqih adalah
ulama-ulama yang sangat dalam ilmu dan wawasannya dalam
ilmu fiqih sampai muncul Imam Abu Thahir al-Dibasi yang
hidup pada akhir abad ke-3 dan awal abad ke-4 Hijriyah, yang
baru mengumpulkan 17 kaidah Fiqih.
Di kalangan tiap mazhab, ada banyak ulama yang menjadi
pelopor dan tokoh dalam bidang kaidah Fiqih.
Dalam mazhab Asy-Syafi'iyah, ada ulama besar yang
bernama Imam 'Izzuddin bin Abd al-Salam (w.660 H), beliau
telah menyusun kitab berjudul Qawa'id al-Ahkam fi Masailil al-
'Anam (kaidah-kaidah hukum untuk kemaslahatan manusia).

192
Seri Fiqih Kehidupan (1) : Muqadimah - 1 Bab 8 : Qawaid Fiqhiyah

Intinya menjelaskan tentang maksud Allah mensyariatkan


hukum, dan semua kaidah dikembalikan kepada kaidah pokok
yaitu:

ِ ِ ْ ُ ‫ودرء‬
‫اﻟﻣﻔﺎﺳد‬ ْ ُ ‫ﺟﻠب‬
ْ ِ‫اﻟﻣﺻﺎﻟﺢ‬
ِ ْ
"Meraih yang maslahat dan menolak yang mafsadah"
Keseluruhan taklif yang tercermin di dalam konsep al-
ahkam al-khamsah, (wajib, sunnah, mubah, makruh dan haram)
tujuan adalah kembali kepada kemaslahatan hamba Allah di
dunia dan akhirat.
Bagaimanapun ketaatan hamba, tidak akan menambah apa-
apa kepada kemahakuasaan dan kemahasempurnaan Allah.
Demikian pula sebaliknya, kemaksiatan hamba tidak akan
mengurangi apapun terhadap kemahakuasaan dan
kemahasempurnaan Allah.
F. Kaidah Kubra dan Turunannya
Para ulama yang menyusun berbagai kaidah fiqhiyah
mengumpulkan berbagai kaidah sesuai dengan tema utamanya,
yang disebut dengan kaidah kubra.
Masing-masing kaidah kubra ini memiliki kaidah-kaidah
turunan, yang menjelaskan lebih detail tiap pengembangan dari
masing-masing kaidah kubra.
1. Kaidah Kubra Pertama

َ ‫اﻷ ُﻣ ُور ُ ِﺑَﻣَﻘ‬


‫ﺎﺻِدَھﺎ‬
Segala sesuatu tergantung tujuannya
a. Kaidah Turunan Pertama

ِ ‫ﺎﺻِد َواﻟﻣـ َﻌﺎ َﻧﻲِ ﻻَِﺑﺎﻷَْﻟَﻔ‬


‫ﺎظ َواﻟﻣـََﺑﺎﻧِﻲ‬ ِ ُ‫اﻟﻌْﺑَرةُ ﻓﻲِ اﻟﻌ ُ ﻘ‬
ِ ‫ود ِﺑﺎﻟﻣـ ََﻘ‬ ِ
“Yang dapat dijadikan pegangan dalam akad adalah maksud dan
makna; bukan lafadz dan bentuk perkataan”

193
Bab 8 : Qawaid Fiqhiyah Seri Fiqih Kehidupan (1) : Muqadimah - 1

Contoh
Jika ada seseorang yang mengatakan kepada temannya,
“Aku hadiahkan mobil ini kepadamu dengan catatan berikan
mobilmu itu kepadaku”, maka akad yang terjadi disini bukanlah
hadiah, walaupun dia mengatakan itu hadiah.
Karena makna dan maksud akad tersebut sudah jelas, yaitu
jual beli (barter). Dan dalam akad, yang dijadikan pijakan adalah
maksud dan makna bukan lafadz dan bentuk perkataan.
Sedangkan yang dimaksud dengan hadiah adalah
pemberian yang tidak membutuhkan imbalan dalam bentuk apa
pun.
b. Kaidah Turunan Kedua

َ ‫ﺎم َو ﻻَ ُﺗَﻌﻣ ﱢ ُم‬


‫اﻟﺧﺎص‬ َ ‫ﯾن ُﺗَﺧﺻ ﱢص ُ اﻟﱠْﻠﻔَظ‬
َ ‫اﻟﻌ‬ ِ ‫اﻟﱢﻧﯾ ﱠ ُﺔ ﻓﻲِ اﻟَﯾِﻣ‬
“Dalam sumpah, niat mampu menspesifikasi kata yang masih
umum namun tidak bisa merubah kata yang bermakna khusus
menjadi umum”
Contoh
Kaidah ini membutuhkan dua contoh. Karena kaidah ini
memiliki dua bagian yang berbeda. Pertama Takhsis al-‘Aam bi
An-Nyiyah dan kedua Ta’mim al-Khas bi an-Niyyah.
Untuk bagian pertama, bisa diterapkan dalam kasus seperti
ketika ada seseorang yang bersumpah untuk tidak berbicara
dengan siapapun, namun dalam hatinya dia meniatkan hanya
tidak berbicara kepada Zaid saja, maka dia tidak dianggap
melanggar sumpah jika berbicara dengan selain zaid. Sebab,
meski lafadz sumpahnya adalah umum yaitu; tidak berbicara
dengan siapapun, tapi niat dalam hatinya khusus yaitu tidak
mengajak bicara pada si Zaid saja. Dan dalam sumpah, niat
mampu menspesifikasi kata yang masih umum.
Sedangkan untuk bagian kedua yaitu Ta’mim al-Khas bi an-
Niyyah bisa diterapkan dalam kasus berikut; Jika ada seseorang
yang bersumpah untuk tidak meminum air si Fulan jika merasa

194
Seri Fiqih Kehidupan (1) : Muqadimah - 1 Bab 8 : Qawaid Fiqhiyah

haus, namun dalam hatinya dia berniat untuk tidak mengambil


manfaat apapun dari air tersebut sama sekali, maka berdasarkan
kaidah ini, ia tidak dianggap melanggar sumpahnya dengan
memanfaatkan air si Fulan itu untuk mandi.
Karena lafadznya khusus dalam satu manfaat yaitu; minum
karena haus. Sedangkan niat dalam hatinya yang umum yaitu;
tidak mengambil manfaat apapun, tidak bisa membuat lafadz
khusus itu menjadi umum.
Kaidah (bagian kedua) ini berlaku di dalam madzhab
syafi’iyyah dan sebagian hanafiah. Namun beberapa madzhab
yang lain menganggap si pengucap sumpah telah melanggar
sumpahnya karena mandi dengan air tersebut. Pasalnya niat
yang umum dalam hati tersebut -menurut madzhab ini- bisa
membuat lafadz sumpah yang khusus itu menjadi umum.
c. Kaidah Turunan Ketiga

‫ﺎﺿﻲ‬ َ َ ‫ﯾن ِﻋْﻧد‬


ِ ‫اﻟﻘ‬ ِ ‫اﻟﯾِﻣ‬ َ ‫ﺎﺻُد اﻟﻠﱠْﻔِظ َﻋ‬
َ ‫ﻠﻰ ِﻧﯾ ﱠ ِﺔ اﻟﻼﱠِﻓِظ إِﻻﱠ ِﻓﻲ‬ ِ ‫َﻣَﻘ‬
“Maksud atau kandungan makna suatu perkataan akan
diserahkan sepenuhnya kepada orang yang mengucapkan, kecuali
dalam masalah sumpah diahadapan qadhi (hakim)”
Contoh Penerapannya :
Pada dasarnya ucapan atau lafadz sumpah diserahkan
maksud dan maknanya langsung kepada orang yang
mengucapkan. Sehingga, sebagaimana kata-kata yang lain,
sumpah juga berpeluang untuk diinterpretasikan beragam
sesuai kehendak orang yang mengucapkan.
Namun, ketika sumpah dijadikan oleh fiqih sebagai salah
satu jalan keluar penyelesaian suatu sengketa, maka penafsiran
lafadz sumpah -yang diucapkan oleh salah satu pihak yang
bersengketa di Meja Hijau- diserahkan kepada hakim. Karena
pengadilan adalah institusi yang rawan akan intrik, manipulasi
fakta dengan kata-kata ataupun tipu muslihat.
Maka, ketika seorang hakim meminta kepada terdakwa

195
Bab 8 : Qawaid Fiqhiyah Seri Fiqih Kehidupan (1) : Muqadimah - 1

untuk bersumpah, penafsiran lafadz sumpahnya diserahkan


sepenuhnya kepada sang Hakim.
Sebagai contoh, si Terdakwa kasus piutang telah
bersumpah bahwa ia tidak pernah berhutang kepada pendakwa
sama sekali. Dalam hatinya, ia niatkan bahwa maksudnya
adalah tidak berhutang pada tahun yang lalu.
Maka niat itu tidak berfungsi sama sekali disini. Ia tetap
dianggap telah melanggar sumpahnya itu. Sebab, meski maksud
atau kandungan makna suatu perkataan pada dasarnya
diserahkan sepenuhnya kepada orang yang mengucapkan,
hanya saja hal tersebut tidak berlaku jika kata-kata itu berupa
sumpah yang diucapkan di hadapan hakim atau Meja Hijau.
2. Kaidah Kubra Kedua

‫اﻟﯾﻘﯾن ﻻ ﯾزال ﺑﺎﻟﺷك‬


“Keyakinan tidak dapat dihilangkan oleh kebimbangan”
a. Kaidah Turunan Pertama

‫اﻷﺻل ﺑﻘﺎء ﻣﺎ ﻛﺎن ﻋﻠﻰ ﻣﺎ ﻛﺎن‬


“Hukum Asal adalah ketetapan yang telah ada/dimiliki
sebelumnya”
Contoh Penerapannya:
Jika seseorang telah berwudhu untuk shalat fardhu, dan
setelah shalat ia masih merasa yakin dalam kedaan suci, namun
ketika hendak shalat fardhu berikutnya ia ragu apakah sudah
batal atau belum, maka ia dihukumi tetap dalam keadaan suci.
Karena itulah ketetapan awalnya yang telah ada sebelumnya.
Dan hukum asal adalah ketetapan awal itu.
b. Kaidah Turunan Kedua

‫اﻷﺻل ﻓﻲ اﻷﺷﯾﺎء اﻹﺑﺎﺣﺔ‬

196
Seri Fiqih Kehidupan (1) : Muqadimah - 1 Bab 8 : Qawaid Fiqhiyah

“Hukum Asal segala sesuatu adalah boleh”


Contoh penerapannya :
Jika ada hewan yang tidak jelas dan buram perkaranya,
maka hewan tersebut dianggap halal dimakan. Contoh hewan
seperti ini –seperti yang dicontohkan Imam Suyuti- adalah
Jerapah. Menurut Imam As-Subki, pendapat yang dipilih adalah
bahwa Jerapah boleh dimakan, karena hukum asal segala
sesuatu adalah boleh.
Jadi dalam tataran praktis, kaidah ini dapat diterapkan jika
kita menemukan hewan, tumbuhan, atau apa saja, yang belum
diketahui status hukumnya dalam syariat. Semua jenis barang
tersebut dihukumi boleh sesuai substansi yang dikandung
kaidah ini. Namun, perlu diperhatikan disini, bahwa sebenarnya
masih ada perbedaan pendapat dikalangan para fuqaha seputar
hukum asal segala sesuatu.
c. Kaidah Turunan Ketiga

‫اﻷﺻل ﻓﻲ اﻷﺑﺿﺎع اﻟﺗﺣرﯾم‬


“Hukum Asal Abdha’(farji) adalah haram”
Contoh penerapannya:
Jika ada seseorang yang mempunyai empat istri kemudian
dia mantalak salah satunya, tapi di kemudian hari dia lupa siapa
istri yang telah ia talak? Maka haram baginya untuk
berhubungan intim dengan mereka semua karena adanya
keraguan akut tentang siapa yang telah menjadi haram baginya.
Karena walaupun yang haram Cuma satu, namun hukum asal
Abdha’(farji) adalah haram. Keharaman ini berlangsung sampai
jelas siapa yang telah ditalaknya.
Para ulama berbeda pendapat dalam menyelesaikan kasus
seperti diatas. Ada yang berpendapat dengan cara diundi dan
ada yang berpendapat harus ditunggu sampai benar-benar jelas.

197
Bab 8 : Qawaid Fiqhiyah Seri Fiqih Kehidupan (1) : Muqadimah - 1

d. Kaidah Turunan Keempat

‫اﻷﺻل ﻓﻲ اﻟﻛﻼم اﻟﺣﻘﯾﻘﺔ‬


“Hukum Asal dalam perkataan adalah makna hakiki”
Contoh penerapannya:
Jika ada seseorang bersumpah tidak akan menjual
rumahnya, maka ia tidak dianggap melanggar sumpah jika
mewakilkan ke orang lain untuk menjualnya. Karena makna
hakiki menjual adalah dirinya sendiri yang menjual langsung
bukan orang lain yang menjual atas nama dirinya. Dan hukum
asal dalam perkataan adalah makna hakikinya.
e. Kaidah Turunan Kelima

‫اﻷﺻل ﺑراءة اﻟذﻣﺔ‬


“Hukum Asal adalah bebas dari tanggungan”
Contoh penerapannya :
Jika ada seseorang merusak barang milik orang lain yang
harga belinya -sejauh pengetahuan si perusak- sekitar sekian
rupiah. Namun ternyata si pemilik mengatakan bahwa harga
belinya diatas harga yang diketahui si perusak. Dan si pemilik
tidak bisa menunjukkan bukti atas harga yang diklaimnya itu.
Maka klaim yang diterima adalah klaim si perusak dengan
disertai sumpah. Karena hukum asalnya adalah terbebasnya si
perusak dari beban atau tanggungan tambahan harga yang
diklaim si pemilik.
3. Kaidah Kubra Ketiga

‫اﳌﺸﻘﺔ ﲡﻠﺐ اﻟﺘﻴﺴﲑ‬


“Kesulitan itu akan mendorong kemudahan”

198
Seri Fiqih Kehidupan (1) : Muqadimah - 1 Bab 8 : Qawaid Fiqhiyah

a. Kaidah Turunan Pertama

‫إذا ﺿﺎق اﻷﻣر اﺗﺳﻊ و إذا اﺗﺳﻊ اﻷﻣر ﺿﺎق‬


“Ketika sesuatu menyempit, maka hukumnya menjadi luas
(ringan), dan Ketika keadaan lapang, maka hukumnya menjadi
sempit (ketat)”
Contoh penerapannya :
Jika ada seseorang memiliki tanggungan hutang yang
sudah jatuh tempo pembayarannya, namun dia benar-benar
belum memiliki uang untuk membayar, maka pembayarannya
wajib untuk ditunda. Atau jika ia tidak bisa melunasinya secara
kontan maka pembayarannya boleh dengan cara diangsur.
Karena sebuah perkara jika menyempit, hukumnya jadi
luas (longgar). Namun jika ia tiba-tiba mendapatkan rizki yang
dengannya ia mampu melunasi seluruh hutangnya, maka wajib
baginya untuk segera melunasinya. Sebab, sebuah perkara jika
sudah lapang, maka hukumnya kembali menyempit (ketat).
b. Kaidah Turunan Kedua

‫اﻟﺿرورات ﺗﺑﯾﺢ اﻟﻣﺣظورات‬


“Kondisi dharurat akan memperbolehkan sesuatu yang semula
dilarang”
Contoh penerapannya :
Jika ada seseorang hampir-hampir mati karena kelaparan,
dan tidak ada yang bisa dimakan kecuali bangkai yang
diharamkan, maka baginya diperbolehkan untuk memakan
bangkai tersebut untuk menghilangkan rasa lapar yang sangat.
Karena kondisinya saat itu adalah dharurat sehingga ia
diperbolehkan untuk mengonsumsi atau melakukan seseuatu
yang semula dilarang.

199
Bab 8 : Qawaid Fiqhiyah Seri Fiqih Kehidupan (1) : Muqadimah - 1

c. Kaidah Turunan Ketiga

‫اﻟﺿرورة ﺗﻘدر ﺑﻘدرھﺎ‬


“Dharurat harus diukur kadar dharuratnya”
Contoh penerapannya :
Contoh kaidah ini hampir mirip dengan contoh kasus pada
kaidah sebelumnya. Bahwa seseorang boleh makan bangkai
yang awalnya diharamkan itu ketika dalam kondisi dharurat itu.
Hanya saja, ia perlu mencukupkan diri dalam memakannya
pada porsi yang kira-kira sudah cukup untuk menyambung atau
menyelamatkan hidupnya. Karena diperbolehkannya
mengonsumsi makanan haram tersebut, hanya dalam kondisi
dharurat. Dan dharurat harus diukur kadar dharuratnya.
Contoh lainnya yang mungkin bisa ditulis disini adalah
ketika ada pasien yang harus membuka auratnya demi
terlaksananya terapi atau pengobatan, maka si pasien hanya
diperbolehkan untuk membuka aurat yang memang dibutuhkan
untuk dibuka dalam pengobatan tersebut.
Dan dokter juga hanya diperbolehkan untuk melihat aurat
yang memang dibutuhkan untuk dilihat. Lebih dari itu, maka
tetap diharamkan. Karena pembolehan membuka aurat bagi
pasien dan atau melihat aurat bagi dokter hanyalah dalam
kondisi dharurat saja. Dan dharurat harus diukur kadar
dharuratnya.
d. Kaidah Turunan Keempat

‫اﻻﺿطرار ﻻ ﯾﺑطل ﺣق اﻟﻐﯾر‬


“Keadaan darurat tidak mambatalkan hak orang lain”
Contoh penerapannya :
Jika ada sebuah kapal hampir-hampir tenggelam karena
terlalu beratnya beban muatan kapal, kemudian untuk
menyelamatkan kapal dari tenggelam, ada penumpang yang

200
Seri Fiqih Kehidupan (1) : Muqadimah - 1 Bab 8 : Qawaid Fiqhiyah

melempar beberapa barang-barang penumpang lain untuk


meringankan kapal tersebut, maka si pelempar tadi wajib untuk
menggantinya.
Sebab, keadaan dharurat tidak bisa membatalkan hak orang
lain. Dalam kaidah ini ada pembahasan yang lebih mendalam.
e. Kaidah Turunan Kelima

‫اﻟﺣﺎﺟﺔ ﻗد ﻧزﻟت ﻣﻧزﻟﺔ اﻟﺿرورة ﻋﺎﻣﺔ ﻛﺎﻧت أو ﺧﺎﺻﺔ‬


“Suatu kebutuhan terkadang bisa naik menempati posisi dharurat,
baik kebutuhan umum maupun khusus”
Contoh penerapannya :
Para pedagang membutuhkan gugurnya hak khiyar ru’yah
para pembeli untuk melihat semua barang dagangan yang
hendak dibelinya. Gugurnya khiyar ru’yah ini diganti dengan
melihat sample komoditas yang hendak dibeli.
Maka gugurnya khiyar ru’yah ini diperbolehkan, karena
jika khiyar ru’yah tetap wajib dilakukan, maka itu akan
memberatkan para pedagang, apalagi jika komoditas yang
hendak dijual berjumlah banyak dan dikemas dengan kemasan
yang membukanya cukup menyita waktu.
Maka hadirlah keringanan berupa gugurnya khiyar ru’yah
ini dalam kebutuhan mendesak yang naik menempati posisi
dharurat.
4. Kaidah Kubra Keempat

ُ‫اﻟﺿ ﱠ َرر ُ ﯾَُزال‬


“Bahaya harus dihilangkan”
a. Kaidah Turunan Pertama

‫اﻟﺿ ﱠ َرر ُ ﯾُْدَﻓﻊ ُ ِﺑَﻘْدِر اﻹِْﻣﻛﺎ َِن‬


“Bahaya harus ditolak semampu mungkin”

201
Bab 8 : Qawaid Fiqhiyah Seri Fiqih Kehidupan (1) : Muqadimah - 1

Contoh penerapannya :
Sebuah bahaya bisa saja terjadi pada siapa saja dan kapan
saja. Maka perlu dilakukan sebuah tindakan untuk menolak
bahaya tersebut. Jika kita tidak berhasil menolak semuanya,
maka setidaknya kita menolak sebagiannya.
Dan jika kita sudah berusaha menolaknya, namun bahaya
tersebut terjadi juga maka setidaknya kita bisa mengurangi efek
bahaya tersebut setelah terjadinya.
Maka penolakan bahaya bisa dibagi secara waktu menjadi
penolakan sebelum terjadi dan penolakan setelah terjadi.
Sedangkan secara prosentase penolakan bisa dibagi menjadi
penolakan secara keseluruhan atau penolakan sebagian bahaya.
Contoh penolakan sebelum terjadi adalah pensyariatan
khiyar majlis dan khiyar syart dalam transaksi jual beli. Untuk
menolak bahaya yang mungkin bisa terjadi setelah
dilakukannya transaksi jual beli.
Contoh penolakan setelah terjadi adalah adanya khiyar
ghibn, khiyar aib dan khiyar tadlis setelah transaksi jual beli
selesai dilakukan. Untuk menolak bahaya kerugian yang telah
dialami oleh salah satu pihak setelah transaksi tersebut.
Dua contoh diatas sekaligus sebagai contoh untuk
penolakan bahaya secara keseluruhan.
Sedangkan contoh penolakan bahaya sebagian adalah jika
ada seseorang yang suka mencelakai orang lain dan dia tidak
akan berhenti kecuali jika diberi uang, maka pemberian uang
dalam hal ini merupakan sebagian dari bahaya yang tidak
mungkin ditolak demi menolak bahaya yang lebih besar sebisa
mungkin.
b. Kaidah Turunan Kedua

‫اﻟﺿ ﱠ َرار ُ ﻻَ ﯾَُزالُ ِﺑِﻣْﺛﻠِِﮫ‬


“Bahaya tidak dapat dihilangkan dengan bahaya serupa dan
setara”

202
Seri Fiqih Kehidupan (1) : Muqadimah - 1 Bab 8 : Qawaid Fiqhiyah

Contoh penerapannya :
Jika ada orang faqir yang memiliki kerabat yang dalam
tanggungannya yang juga faqir, maka keduanya tidak
berkewajiban untuk memberi nafkah bagi yang lain jika
memang dia bahkan susah menafkahi dirinya sendiri.
Karena kondisi faqir adalah baya bagi dirinya, dan
kewajiban memberi nafkah adalah bahaya yang lain yang tidak
bisa menghilangkan bahaya pertama.
Atau dengan contoh lain misalnya ada orang yang dipaksa
untuk membunuh orang lain, dan jika tidak mau maka ia yang
akan dibunuh, maka dia tetap tidak boleh membunuh orang lain
tersebut.
Karena ancaman pembunuhan atasnya adalah bahaya
serupa dan setara dengan bahaya pembunuhan terhadap orang
lain. Dan bahaya tidak dapat dihilangkan dengan bahaya serupa
atau setara.
c. Kaidah Turunan Ketiga

‫ال ِﺑﺎﻟﺿ ﱠ َرِر اﻷََﺧف ﱢ‬


ِ ‫اﻟﺿ ﱠ َرار ُ اﻷََﺷﱡد ﯾُ َز‬
“Bahaya yang lebih berat harus dihilangkan dengan mengerjakan
bahaya yang lebih ringan”
Contoh penerapannya :
Jika bahayanya tidak setara, maka bahaya yang lebih berat
bisa dihilangkan dengan menempuh bahaya yang lebih ringan.
Contohnya adalah jika ada dua kerabat yang salah satunya
faqir dan yang lain berkecukupan, maka wajib bagi yang
berkecukupan untuk memberi nafkah kepada si Faqir.
Karena meskipun kewajiban memberi nafkah oleh yang
berkecukupan adalah bentuk bahaya atasnya, tapi ketiadaan
nafkah bagi si Faqir adalah bahaya yang lebih besar.
Dan bahaya yang lebih besar harus dihilangkan dengan
menempuh bahaya yang lebih ringan.

203
Bab 8 : Qawaid Fiqhiyah Seri Fiqih Kehidupan (1) : Muqadimah - 1

d. Kaidah Turunan Keempat

‫ﯾُ ْﺧَﺗﺎر ُ أََﺧف ﱡ اﻟﺿ ﱠ َرَرْﯾِن‬


“Yang harus dipilih adalah bahaya/resiko yang lebih ringan”
Contoh penerapannya :
Jika ada seseorang yang memiliki luka ditubuhnya dan luka
itu akan mengalirkan darah jika dibawa sujud, maka ia shalat
dengan meninggalkan sujud. Karena ia sedang menghadapi dua
bahaya; meninggalkan sujud dalam shalat dan shalat dengan
bernajis.
Dan shalat bernajis adalah bahaya yang lebih besar
daripada shalat tanpa sujud. Maka harus ditempuh bahaya yang
lebih ringan.
Begitu pula, meninggalkan sujud dalam hal ini juga bisa
menolak bahaya yang lain yaitu keluarnya banyak darah. Maka
yang dipilih adalah bahaya atau resiko yang lebih ringan.
e. Kaidah Turunan Kelima

‫ﺻﺎﻟِِﺢ‬ ِ ‫ﻠﻰ َﺟْﻠ‬


َ َ‫ب اﻟﻣـ‬ َ ‫ﺎﺳِد ﻣ ُ َﻘﱠدٌم َﻋ‬
ِ ‫د َ ْرء ُ اﻟﻣـََﻔ‬
“Mencegah mafsadah lebih utama daripada menarik datangnya
maslahah”
Contoh penerapannya :
Jika ada wanita yang wajib mandi jinabah, namun ia tidak
menemukan sarana untuk menutupinya dari pandangan laki-
laki, maka wajib baginya untuk mengakhirkan mandi jinabah.
Karena meski dalam mandi janabah terdapat maslahah,
namun terbukanya aurat wanita di depan laki-laki adalah
mafsadah atau kerusakan yang jauh lebih besar. Dan mencegah
mafsadah lebih utama daripada menarik datangnya maslahah.

204
Seri Fiqih Kehidupan (1) : Muqadimah - 1 Bab 8 : Qawaid Fiqhiyah

f. Kaidah Turunan Keenam

َ ‫َﯾَﺗَﺣﻣ ﱠلُ اﻟﺿ ﱠ َرر ُ اﻟﺧﺎ َص ﱡ ﻟِد َ ْﻓِﻊ اﻟﺿ ﱠ َرِر‬


‫اﻟﻌِﺎم‬
“Bahaya khusus harus ditanggung demi menolak bahaya umum”
Contoh penerapannya :
Jika ada sebuah rumah yang memiliki pohon dengan dahan
dan ranting yang tumbuh lebat hingga mengganggu para
pengguna jalan, maka dahan dan ranting yang mengganggu itu
wajib untuk dipotong.
Sebab, meski dalam pemotongan tersebut terdapat resiko
kerugian bagi si pemilik pohon, hanya saja kerugian tersebut
adalah kerugian atau bahaya khusus. Dan gangguan pengguna
jalan adalah bahaya umum. Dan bahaya khusus harus ditempuh
dan ditanggung demi menolak bahaya umum.
5. Kaidah Kubra Kelima

‫اﻟﻌﺎد َ ُة ﻣ ُ َﺣﱠﻛَﻣٌﺔ‬
َ
“Adat istiadat dapat dijadikan pijakan hukum”
Adat atau apa yang dianggap sebagai kebiasaan yang tidak
bertentangan dengan hukum Allah dan sudah berlaku secara
umum di tengah masyarakat, bisa dijadikan salah satu pedoman
dalam hukum.
a. Kaidah Turunan Pertama

‫اﻟﻌَﻣِل ِﺑَﮭﺎ‬ ِ ‫ﺎس ﺣ ُﺟ ﱠ ٌﺔ َﯾ‬


َ ُ ‫ﺟب‬ ‫ِاْﺳِﺗْﻌَﻣﺎلُ ﱠ‬
ِ ‫اﻟﻧ‬
“Tradisi masyarakat (dalam berbahasa) adalah hujjah yang harus
dijadikan pijakan dalam beramal”
Contoh Penerapan :
Kaidah ini memiliki kemiripan makna dengan kaidah
kubranya. Maka sebagian ulama ada yang menyamakan antara
keduanya, sedangkan sebagian yang lain ada yang

205
Bab 8 : Qawaid Fiqhiyah Seri Fiqih Kehidupan (1) : Muqadimah - 1

membedakan.
Bagi yang membedakan, perbedaannya adalah bahwa
kaidah kubra bersifat umum, sedangkan kaidah ini bersifat
khusus, yaitu khusus berlaku dalam tradisi berbahasa saja.
Perbedaan tersebut dipicu oleh perbedaan mereka dalam
memaknai kata isti’mal yang terdapat di awal kaidah.
Contohnya adalah ketika ada seseorang yang bersumpah
untuk tidak minum dari air sungai A. Dan sudah jamak
diketahui bahwa masyarakat di sekitar orang tersebut
menggunakan makna majazi lebih banyak dari pada
menggunakan makna hakiki.
Makna hakiki ‘minum dari sungai’ disini adalah langsung
meneguk dari sungai tersebut tanpa sarana apapun. Sedangkan
makna majazi ‘minum dari sungai’ adalah minum dari air yang
diambil atau bersumber dari sungai tersebut.
Jika orang tersebut kemudian minum dari sungai itu setelah
bersumpah untuk tidak minum darinya, maka hukumnya terjadi
perbedaan diantara para ulama menjadi tiga pendapat :
Pertama, dia dianggap melanggar sumpahnya hanya jika
meminumnya dengan sarana seperti minum air dirumahnya
yang bersumber dari sungai tersebut, bukan langsung meneguk
dari sungai.
Kedua, dia dianggap melanggar sumpahnya baik
meneguknya langsung dari sungai seperti para musafir
pedalaman, atau minum di rumahnya yang air minumnya
memang bersumber dari sungai tersebut.
Ketiga, dia dianggap melanggar sumpahnya hanya jika
meneguk langsung dari sungai sebagaimana para musafir
pedalaman.
b. Kaidah Turunan Kedua

َ ‫اﻟﺣِﻘْﯾَﻘُﺔ ُﺗْﺗَرك ُ ِﺑد َ ﻻََﻟِﺔ‬


‫اﻟﻌﺎد َ ِة‬ َ

206
Seri Fiqih Kehidupan (1) : Muqadimah - 1 Bab 8 : Qawaid Fiqhiyah

“Makna hakiki sebuah kata harus ditinggalkan jika tradisi


masyarakat menggunakan makna majazi”
Contoh penerapannya :
Jika ada seseorang yang bersumpah untuk tidak
menunjukkan ‘batang hidung’nya di depan bosnya, maka ia
tetap dianggap melanggar sumpahnya jika ia menunjukkan
dirinya dihadapannya. Karena, walaupun secara hakiki ‘batang
hidung’ hanya menunjukkan salah satu anggota badan, namun
yang menjadi tradisi berbahasa masyarakat adalah makna secara
majazi. Sebab, makna hakiki sebuah kata harus ditinggalkan jika
tradisi masyarakat menggunakan makna majazi.
c. Kaidah Turunan Ketiga

ْ ‫ت أَ ْو َﻏَﻠَﺑ‬
‫ت‬ ‫اﻟﻌﺎد َ ُة إَِذا ﱠ‬
ْ َ ‫اطَرد‬ َ ُ ‫إِﱠﻧَﻣﺎ ُﺗْﻌَﺗَﺑر‬
“Sebuah tradisi hanya akan bisa diterima sebagai pijakan hukum
ketika tradisi tersebut sudah berjalan berulang-ulang dan
mendominasi”
Contoh penerapannya :
Jika ada dua orang di dua negara yang sedang bertransaksi
dalam suatu bisnis internasional dan mereka sepakat bahwa
pembayarannya menggunakan mata uang dollar tanpa
menyebutkan dollar negara mana, maka dollar yang dimaksud
adalah dollar amerika. Karena transaksi dengan mata uang
tersebut sudah berulang-ulang dan mendominasi.
d. Kaidah Turunan Keempat

‫اﻟﺷِﺎﺋِﻊ ﻻَ ﻟِﱠﻠﻧِﺎدِر‬
‫ب ﱠ‬ ِ ِ‫اﻟﻌْﺑَرُة ﻟِْﻠَﻐﺎﻟ‬
ِ
“Yang dijadikan sandaran adalah kebiasaan dominan dan populer
bukan kebiasaan yang langka”
Contoh penerapannya :
Syariat telah menetapkan bahwa umur lima belas adalah
batasan dimulainya usia baligh bagi mereka yang tidak memiliki

207
Bab 8 : Qawaid Fiqhiyah Seri Fiqih Kehidupan (1) : Muqadimah - 1

tanda-tanda baligh. Karena usia lima belas adalah usia yang


secara kebiasaan dominan manusia sudah mengalami baligh di
usia tersebut.
Sedangkan ‘belum mengalami baligh’ pada usia tersebut
adalah kejadian yang sangat jarang terjadi. Sesuatu yang jarang
ini, dalam syariat sama sekali tidak dilirik untuk dijadikan
sandaran hukum.
Justru yang belum mengalami tanda-tanda baligh di usia
lima belas tetap dihukumi sudah baligh hanya dengan
menginjak usia lima belas. Karena yang dijadikan sandaran
adalah kebiasaan dominan dan populer bukan kebiasaan langka.
e. Kaidah Turunan Kelima

َ َ
ِ ‫ﻻَ ﯾُْﻧَﻛر ُ َﺗَﻐﯾ ﱡر ُ اﻷْﺣَﻛِﺎم ِﺑَﺗَﻐﯾ ﱡ ِر اﻷْزَﻣ‬
‫ﺎن‬
“Perubahan hukum ijtihadi karena adanya perubahan zaman
sama sekali tidak boleh dicela”
Contoh penerapannya :
Sudah menjadi kebiasaan sejak dulu bahwa masjid tidaklah
ditutup pada saat kapan pun. Karena masjid adalah tempat suci
yang dipersiapkan untuk beribadah.
Namun, ketika zaman berubah, kejahatan merajalela, maka
para ulama kemudian menfatwakan bolehnya mengunci masjid
di luar waktu shalat, demi menjaga masjid dari kesia-sian atau
pencurian. Dan perubahan hukum ini sama sekali tidak boleh
untuk dicela.

208

Anda mungkin juga menyukai