Anda di halaman 1dari 11

KAIDAH-KAIDAH USHUL FIQH

Makalah ini disusun untuk memenuhi tugas mata kuliah Teori dan Metodologi Hukum
Islam)

Dosen Pengampu :
Dr. Muhammad Anis Mahduqi, Lc.

Disusun oleh:
Ni’matul Fauziah 21203012132

PROGRAM STUDI MAGISTER ILMU SYARIAH


FAKULTAS SYARIAH DAN HUKUM
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SUNAN KALIJAGA
YOGYAKARTA
2022
BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Secara denifitif, fiqh berarti ilmu tentang hukum-hukum syar’i yang bersifat amaliyah
yang digali dan ditemukan dari dalil-dalil yang bersifat tafsili. Sementara arti sederhana dari
ushul fiqh adalahh kaidah-kaidah yang menjelaskan cara-cara mengeluarkan hukum-hukum
dari dalil-dalilnya. Fiqh dengan ushul fiqh sangat berhubungan dan bergantung. Hubungan
antara keduanya yaitu fiqh mengacu pada ilmu yang membahas persoalan-persoalan hukum
Islam yang praktis, sedangkan ushul fiqh mengacul pada ilmu yang membahas kaidah-
kaidah mengenai metode dalam menggali hukum dari dalil-dalil yang terperinci.

Banyak persoalan-persoalan hukum yang karakternya sama tetapi ketentuannya


hukumnya berbeda. Ini membuat kita yang mempelajarinya menjadi bingung. Solusinya,
selain mempelajari hakum-hukum yang sudah ada, kita juga harus mengetahui pangkal
persoalannya dengan mempelajari kaidah ushuliyah dan kaidah fiqhiyah.
BAB II

PEMBAHASAN

A. Kaidah Ushul
1. Pengertian Kaidah Ushul
Kaidah ushul dalam bahasa Arab merupakan gabungan dari Al-Qawa’id dan al-
ushuliyyah. Al-qawa’id merupakan jamak dari kata qa’idah artinya kaidah yang secara
etimologi berarti dasar, asas, atau fondasi. Al-ushuliyyah dari kata al-ashl yang
jamaknya al-ushul. secara etimologi al-ashl artinya sesuatu yang menjadi dasar bagi
yang lainnya. Kaidah ushuliyah adalah dalil syara’ yang bersifat menyeluruh, universal
dan global. Dengan demikian kaidah ushuliyah adalah sejumlah pernyataan atau
ketentuan dalam menggali hukum Islam dari sumber-sumbernya yaitu Al-Qur’an dan
Hadis dan berfungsi sebagai alat untuk menggali ketentuan hukum yang terdapat dalam
Bahasa sumber hukum. Sehingga kaidah ushuliyah disebut juga dengan kaidah
istibathiyah atau kaidah lughawiyah (kebahasaan).
2. Ruang Lingkup Kaidah Ushuliyah
a) Amr (Perintah) dan Nahi (Larangan)
Mayoritas ulama ushul fiqh, amr adalah suatu tuntutan (perintah) untuk melakukan
sesuatu dari pihak yang kedudukannya lebih tinggi kepada pihak yang tingkatannya
lebih rendah. Salah satu kaidah yang berhubungan dengan amr yaitu:
‫اال صل في األمر للو جوب‬
Asal dari perintah menunjukkan arti wajib

Kemudian nahi adalah tuntutan untuk meninggalkan perbuatan dari yang tinggi
derajatnya kepada yang rendah. Salah satu kaidah yang berhubungan dengan nahi
yaitu:
‫األصل في النهى للتحريم‬
Asal pada larangan menunjukkan arti haram
Setiap larangan menunjukkan hukum haram untuk melakukan perbuatan yang
dilarang kecuali terdapat indikasi yang menunjukkan hukum lain. Contohnya pada
surat Al-Jumu’ah ayat 9 yang menujukkan bukan pada esesnsi jual beli tetapi
adanya kekhawatiran akan melalaikan seseorang dari bersegera pergi salat Jumat.

b) ‘Am (Umum) dan Khash (Khusus)


‘Am adalah lafaz yang menunjukkan makna umum mencakup bagian-bagiannya
yang ada pada lafaz itu tanpa pembatasan jumlah tertentu. Menurut jumhur ulama,
‘am dibuat karena dari khash. Jadi khash lebih kuat dari ‘am, dengan begitu ‘am
dapat digugurkan ketika ditemukan khash. Sedangka khash tidak dapat digugurkan
dengan adanya ‘am.
‫العموم ال يتصور األحكت مم‬
Keumuman itu tidak mengambarkan suatu hukum

Khash adalah lafaz yang merupakan makna tertentu. Menurut para jumhur ulama
khash menurut pengertiannya hukum yang dikandungnya bersifat pasti selamat
tidak ada indikasi yang menunjukkan pengertian lain.
Terdapat perbedaan pendapat jika ditemukan perbedaan para ulama antara dalil
khas dengan ‘am, yaitu:
1) Ulama Hanafiyah, ketika kedua dalil bersamaan masanya maka dalil khash
yang men-takhsis-kan dalil ‘am. Terdapat dua kemungkinan jika keduanya
tidak bersamaaan waktunya, yaitu bila lafal ‘am yang kemudian datangnya
maka lafal “am itu me-nasakh lafal khas dan bila lafal khash yang kemudian
datangnya maka lafal khas itu me-nasakh lafal ‘am Sebagian afrad-nya.
2) Jumhur ulama, tidak tergambar perselisihan antara dalil ‘am dengan dalil
khash Bila keduanya datang dalam waktu bersamaan, dalil yang khash itu
memberi penjelasan terhadap dalil ‘am. Karena yang umum itu adalah bentuk
zahir yang tetap berkemungkinan untuk menerima penjelasan, dapat untuk
diamalkan keumumannya hingga diketahui adanya dalil khash.
c) Mutlaq dan Muqayat
Mutlaq adalah sutu lafadz tertentu yang tidak terikat oleh batasan lafadz yang
mengurangi keumumannya. Sedangkan Muqayat adalah lafadz tertentu yang
dibatasi oleh batasan lafadz lain yang mengurangi keumumannya.
d) Mantuq (yang tersurat) dan Mafhum (yang tersirat)
Mantuq adalah lafadz yang kandungannya hukumnya tersurat di dalam apa yang
diucapkan). Sedahkan Mafhum adalah lafadz yang kandungan hukumnya kebalikan
dari Mantuq.
e) Mujmal dan Mubayan
Mujmal adalah lafadz yang mencakup kemungkinan segala keadaan dan hukum
yang terkandung di dalam lafadz tersebut. Sedangkan Mubayan adalah lafadz yang
sighotnya jelas menunjukkan apa yang dimaksud.

B. Kaidah Fiqh
1. Pengertian Kaidah Fiqh

Kaidah fiqh dalam bahasa Arab yaitu al-qawa’id al-fiqhiyah. Al-qawa’id seperti
penjelasan diatas berarti dasar, asas, atau fondasi. Sedangkan al-fiqhiyah berasal dari
kata al fiqh yang berarti paham atau pemahaman yang mendalam. Menurut Prof. Hasbi
Ash-Shiddiqeqy, kaidah fiqh yaitu kaidah-kaidah yang bersifat kully dan dari maksud-
maksud syara’ menetapkan hukum (maqashidusy syar’i) pada mukalaf serta dari
memahami rahasia tasyri’ dan hikmah-hikmahnya. Kaidah fiqh berfungsi memudahkan
mujtahid untuk mengistinbatkan hukum bagi suatu masalah yang sesuai dengan tujuan
syara’ dan kemaslahatan manusia. Kaidah fiqh terdiri atas lima kaidah dasar sebagai
standar hukum fiqh, sebagai berikut:

a) Al-Umuru bi maqashidiha (Setiap tindakan bergantung pada maksudnya)

Kaidah ini memberikan pengertian bahwa setiap amal perbuatan manusia, baik yang
berwujud perkataan maupun perbuatan diukur menurut niat si pelaku. Kaidah ini
berhubungan dengan setiap perkara-perkara hukum yang dilarang dalam syariat
Islam. Contohnya makan bangkai tanpa adanya dispensasi hukum maka status
hukumnya adalah haram.
b) Al-Yaqinu la Yuzalu bi asy-Syakk (Keyakinan itu tidak dapat dihilangkan dengan
keraguan).
Kaidah ini berarti bahwa keyakinan atau sangkaan yang kuat tidak dapat dikalahkan
oleh keraguan yang muncul sebagai bentuk kontradiktofnya. Untuk zaman ini secara
moral sama dengan seorang muslim harus berprasangka baik sebelum ada bukti yang
meyakinkan bahwa dia tidak baik. Contoh, apabila seseorang mengalami keraguan
dalam jumlah rakaat, apakah 3 atau 4, maka diambil yang pasti yaitu 3 rakaat, karena
yang pasti diyakini adalah yang 3 rakaat. Bila mengambil keputusan yang empat
rakaat, bisa jadi sholat yang dia lakukan masih 3 rakaat.
c) Al-Masyaqqatu Tajlib at- Taysir (Kesulitan mendatangkan kemudahan)
Sesungguhnya syari’ah tidak mengharuskan seseorang untuk melakukan sesuatu yang
menjatuhkannya pada saat kesulitan. Sebenarnya kemudahan dan keringanan adalah
tujuan dasar dari “pemilik syari’ah yang bijaksana” dalam memberlakukan syari’ah
Islam. Contohnya saat kita melakukan perjalanan dan sudah sampai pada batas waktu
salat maka diperbolehkannya meng-qasar salat,
d) Adh-Dhararu Yuzal (Kemadlaratan harus dihilangkan)
Kaidah ini memberi arti bahwa manusia harus dijauhkan dari hal yang menyakiti atau
menimbulkan bahaya baik dari diri sendiri maupun yang lain. contohnya pohon besar
yang buahnya banyak namun sering jatuh dan mengenai kepala orang yang lewat
dibawahnya sampai ada yang harus dibawa ke rumah sakit, maka dengan
dihubungankan pada kaidah ini pohon tersebut harus di tebang.
e) Al- ’Adatu Muhakkamah (Adat kebiasaan dapat dijadikan hukum)
Kaidah ini memberi pengertian bahwa disuatu keadaan, adat bisa dijadikan dasar
untuk menentukan hukum ketika tidak ada dalil dari syari’. Tapi tidak semua adat
bisa dijadikan patokan hukum. Contohnya masyarakat pesisir terdapat kebiasaan
kebiasaan petik laut, jika ada masyarakat yang tidak melakukan petik laut maka dia
akan dikucilkan oleh masyarakat setempat.
C. Sumber-Sumber Pengambilan Kaidah Ushul Fiqh
1. Kaidah ushul yang bersumber dari dalil naql
a. Al-Qur’an
Al-Qur’an merupakan firman Allah Swt yang diturunkan kepada Nabi Muhammad
Saw, untuk membebaskan manusia dari kegelapan. Menurut M. Quraish Shihab, Al-
Qur’an secara harfiyah berarti bacaan yang sempurna, merupakan suatu nama pilihan
dari Allah Swt yang tepat, karena tidak ada suatu bacaan sejak manusia mengenal
tulis baca pada lima ribu tahun yang lalu yang dapat menandingi Al-Qur’an, bacaan
yang sempurna lagi mulia. Kaidah ushul yang dihasilkan dari Al-Qur’an diantaranya:
- Sunnah adalah sumber hukum yang diakui dengan dalil
- Al-Qur’an bisa difahami daril uslub-uslub bahasa Arab dengan dalil
- Adat diakui sebagai hukum pada masalah yang tidak memiliki dalil dengan dalil
b. Hadis
Hadis adalah segala yang dinisbatkan kepada Nabi Muhammad Saw baik perkataan,
perbuatan, maupun keizinannya. Menurut Muhadditsin, khabar sama dengan hadis.
Namun terdapat golongan yang mengkhususkan khabar selain hadis seperti sejarah.
Adapaun atsar ialah segala yang dinisbatkan kepada sahabat Rasul. Sebagian Ulama
berpendapat bahwa atsar adalah periwayatan secara mutlak dari Rasulullah Saw atau
sahabat. Hadis merupakan sumber-sumber ajaran Islam kedua setelah Al-Qur’an,
yang memperjelas kandungan dari Al-Qur’an jika maksudnya belum jelas di
masyarakat. Kaidah ushul yang dihasilkan dari Hadis diantaranya:
- Perintah yang mutlak hukumnya wajib
- Ijma’ merupakan hujjah yang diakui secara syar’i
- Jika berkumpul perintah dan larangan maka larangan yang didahulukan

2. Kaidah ushul yang bersumber dari ‘akal (prinsip-prinsip dan nilai-nilai)


a. Ijma’
Secara terminologi ijma’ adalah kesepakatan seluruh dari kaum pada suatu masalah
setelah wafatnya Rasulullah Saw atas hukum syara’ dalam suatu kasus tertentu.
Kaidah ushul yang diambil dari ijma’ diantaranya:
- Ijma’ sahabat bahwa “hukum yang dihasilkan dari hadis ahad dapat diterima”.
- Ijma’ sahabat bahwa “hukum terbagi menjadi 5 macam”.
- Ijma’ sahabat bahwa “syariat Nabi Muhammad Saw menghapus seluruh syariat
yang sebelumnya”.
b. Akal
Akal adalah peralatan rohaniah manusia yang berfungsi untuk membedakan mana
yang salah dan yang benar serta menganilis suatu yang kemampuannya sangat
tergantung luas pengalaman dan tingkat pendidikan formal maupun informal. Dalam
syariat Islam, akal memiliki kedudukan yang tinggi karena manusia tidak akan faham
Islam tanpa akal. Contohnya apakah dalil yang menunjukkan bahwa Allah Swt itu
ada? Dan seterusnya. Namun akal hanya sarana untuk mengetahui hukum-hukum
Allah Swt melalui dalil-dalil Al-Qur’an dan Hadis. Kaidah ushul yang dihasilkan
dari akal diantaranya:
- Al-Qur’an merupakan dalil yang diakui
- Baik dan buruknya hanya diketahui melalui syar’i bukan akal
- Yang kuat didahulukan dari yang lemah
3. Kaidah ushul yang bersumber dari bahasa yaitu bahasa Arab, diantaranya:
- Domir ghoib kadang-kadang kembali pada kalimat yang tidak tertulis, namun itu
dapat diketahui melalui siyaaq kalimat
- Kalimat Aina menunjukkan tempat (syarat atau istifham) dan Mata menunjukkan
waktu (syarat atau istifham)
- Ila menunjukkan kahir sesuatu (waktu dan tempat)
- Dan lain-lain

D. Perbedaan Kaidah Ushuliyah dengan Kaidah Fiqhiyah


Perbedaan antara keduanya sebagai berikut:
1. Qawaid ushuliyah merupakan qawaid kulliyah yang dapat diaplikasikan pada seluruh
juz’i dan ruang lingkupnya. Berbeda dengan qawaid fiqhiyah yang merupakan kaidah
aghlabiyah (mayoritas) yang dapat diaplikasikan pada sebagaian juz’i-nya, karena ada
pengecualiannya.
2. Kaidah ushul dalam teksnya tidak mengandung rahasia-rahasia syar’i dan tidak
mengandung hikmah syar’i. Sedangkan kaidah fiqh dari teksnya terkandung kedua hal
tersebut.
3. Kaidah ushul objeknya dalil-dalil sam’iyyah. Sedangkan kaidah fiqh objeknya
perbuatan mukallaf, baik pekerjaan atau perkataan. Contohnya sholat, zakat, dan lain-
lain.
4. Kaidah ushul lebih kuat dari kaidah-kaidah fiqh. Seluruh ulama sepakat bahwa kaidah
ushul adalah hujjah dan mayoritas dibangun diatas dalil yang qot’i. Adapun kaidah fiqh
ulama berbeda pendapat. Sebagian mengatakan bahwa kaidah fiqh bukan hujjah secara
mutlaq, sebagian mengatakan hujjah bagi mujtahid dan bukan hujjah bagi selainnya dan
sebagian yang lain mengatakan bahwa kaidah-kaidah tersebut hujjah secara mutlak.
5. Kaidah ushul lebih umum dari kaidah fiqh
6. Kaidah ushul diperoleh secara deduktif, sedangkan kaidah fiqh secara induktif.
DAFTAR PUSTAKA

Fayyad, Mahmud Ali. 1998. Metodologi Penetapan Kasahihan Hadis. Bandung: CV Pustaka
Setia.

Harian Islam. “Pengertian Ijma”. Harianmuslim.com https://harianmuslim.com/pengertian-ijma/


(diakses pada 11 Februari 2022)

Kurdi, Muliadi. 1999. Ushul Fiqh: Sebuah Pengenalan Awal.

Ma’ruf, Lois. 1997. Al-Munjid fi al-Lughah. Beirut: Dar al-Masyriq.

Majdi, Ahmad Lahab. 2017. Artikel. https://www.researchgate.net/publication/331357014_Al-


Qawaid_Al-Ushuliyyah_Al-Tasyri%27iyyah_Dari_Teoretis_Hingga_Praktis

MAKALAH. “Macam-Macam Kaidah Ushul Fiqh”. makalah.co.id


http://www.makalah.co.id/2013/01/macam-macam-kaidah-ushul-fiqh.html (diakses pada 9
Januari 2013)

Rumah Buku. “Qawaid Fiqhiyyah dan Qawaid Ushuliyyah”. rumahbuku.weebly.com


http://rumahbuku.weebly.com/bangku-iii/qawaid-fiqhiyyah-dan-qawaid-ushuliyyah (diakses
pada 1 Maret 2013)

Shidiq, Safiudin. Fikih Menggali Hukum Islam. Pustaka Madani

Shihab, M. Quraish. 1996. Wawasan Al-Qur’an. Bandung: Mizan.

Syarifuddin, Amir. Ushul Fiqh. Jakarta: Logos Wacana Ilmu.

Thawilah, Abdul Wahhab Salam. Atsar al-Lughah fi Ikhtilaf al-Mujtahidin. Kairo: Dar al-Salam.

https://id.wikipedia.org/wiki/Akal

https://ia801301.us.archive.org/18/items/TugasIslamicLawAldi/Tugas%20Islamic%20Law
%20Aldi.pdf

Anda mungkin juga menyukai