Anda di halaman 1dari 6

Nama : Inatsa Qurrota Ainin

NIM : 041711433118
Kelas : Ushul Fiqh (F) Jam ke-4 R.319
1. Pengertian dan urgensitas ushul fiqh; Ushul (jamak, plural; dari kata ashl) yang berarti
berakar, berasal, sumber/pokok.1 Fiqh (mengerti dan memahami; secara estimologis)
2
. Menurut mazhab syafi’i, ushul fiqh berarti ilmu untuk mengetahui dalil-dalil fiqh
secara global, metode istinbath, dan persyaratan mujtahid. Sedangkan menurut
mazhab Hanafi, ushul fiqh adalah ilmu tentang kaidah-kaidah yang membahas tentang
metode istinbath hukum dari dalil-dalil yang terperinci, atau disebut dengan ilmu
kaidah fiqh. Dan qawaid fiqhiyyah dalam ekonomi yaitu masalah al-aslu fi
almu’amalah al-ibaahah illaa an-yadull daliil ‘alaa tahriimihaa

Segala bentuk muamalah pada dasarnya adalah mubah (boleh) kecuali ada dalil yang
mengharamkannya. Ini menjadi alasan bagi setiap bentuk transaksi perdagangan dan
ekonomi menjadi halal kecuali jelas ada alasan yang melarangnya.3
2. Sumber dan dalil hukum ekonomi islam;
a. Al-Qur’an; melalui sudut pandang Qath’i dan Zanni dalam Al-Qur’an,
dikatakan bahwa tidak ada perbedaan pendapat kalangan umat islam
menyangkut kebenaran Al-Qur’an, dan diyakini bahwa Al-Qur’an terhimpun
dalam mushaf dan dibaca kaum muslimin diseluruh dunia tanpa sedikit
perbedaan pun dengan yang diterima oleh Rasullullah SAW. dari Allah SWT.
melalui malaikat Jibril AS.
b. As-Sunnah; yaitu sebagai sumber kedua bagi hukum islam, dan hukum-hukum
yang dibawa oleh hadist ada 3 macam: a) sebagai penguat hukum yang dimuat
didalam Al-Qur’an. b) sebagai penjelas terhadap hukum yang dibawa Al-
Qur’an. c) sebagai pembawa hukum baru yang tidak disinggung oleh Al-
Qur’an. dan datangnya hadist As-Sunnah ini dari Rasulullah SAW dalam
menanggapi berbagai masalah sehari-hari (sebelum wafat) dan ditafsirkan oleh
perawi.4
3. Dalil hukum ekonomi islam;

1
Qur’an 14:24
2
Ibid., Hlm. 1147.
3
Masyhudi Muqorobin (2007), Qawaid Fiqhiyyah Sebagai Landasan Perilaku Ekonomi Umat Islam: Suatu
Kajian Teoritik, Jurnal Ekonomi Dan Studi Pembangunan Vol.8, No. 2 : 198-214
4
Dr. Madani (2013), Ushul Fiqh
a. Ijma’; yaitu kesepakatan, dan yang sepakat adalah semua mujtahid muslim,
berlaku dalam suatu masa tertentu sesudah wafatnya Rasulullah SAW. yang
mana hukun syara ini mengandung arti bahwa kesepakatan itu hanya terbatas
dalam masalah hukum amaliyah dan tidak menjangkau pada masalah-masalah
aqidah’
b. Qiyas; yaitu menjelaskan hukum suatu masalah yang tidak ada nash
hukumnya dianalogikan dengan masalah yang telah diketahui hukumnya
melalui nash (Al-Qur’an atau Sunnah). Dan qiyas didefinisikan sebagai
sesuatu yang tidak ada nash hukumnya dengan masalah lain yang ada nash
hukumnya, karena kesamaan ‘ilat hukumnya.
c. Istishan; ialah perpindahan seorang mujtahid dari ketentuan qiyas yang samar
(khafi), atau dari ketentuan yang kulli (umum) kepada ketentuan hukum yang
bersifat khusus, karena menurut pandangan mujtahid itu adalah dalil (alasan)
yang lebih kuat yang menghendaki perpindahan dimaksud.
d. Istislah; yaitu untuk menghilangkan kerusakan, atau pandangan mujtahid
tentang perbuatan yang mengandung kebaikan dan buka perbatan yang
merusak dan melanggar hukum syara.
e. Istishab; hukum yang di masa lalu berlaku tetap berlaku, sampai ada dalil yang
mengubah hukum tersebut. Atau menjadikan hukum yang telah berlaku di
masa lalu, tetap berlaku pada masa kini sampai ada dalil hukum yang
mengubahnya.
f. Sadd al-Dzariah; yaitu mencegah wasilah atau jalan yang membawa kepada
kerusakan.
g. Al-Uruf; yaitu sesuatu yang telah diketahui oleh manusia dan mereka telah
menjalankannya (sebagai kebiasaan), baik dalam bentuk perkataan, perbuatan,
atau meninggalkan. ‘Urf dinamakan juga adat istiadat.
h. Syar’u man Qablana; yaitu sesuatu yang diriwayatkan dengan jalan yang
shahih dari syariat agama samawi terdahulu. Yang dimaksud dengan jalan
yang shahih yaitu diketahui (dijelaskan) syariat agama terdahulu tersebut oleh
Al-Qur’an dan Sunnah Nabi SAW.
i. Mazhab Sahabat; yaitu pendapat dari orang-orang yang bertemu dan bergaul
dengan Nabi SAW., dalam keadaan beriman, dalam waktu yang lama, dan
wafat dalam keadaan beriman. Sedangkan menurut ulama hadist, shahabi ialah
orang yang bertemu dengan nabi, lagi beriman dengannya, dan wafat dalam
keadaan imam juga.5

5
Dr. Madani (2013), Ushul Fiqh
4. Ijtihad, Ittiba’, dan taqlid; (1) ijtihad; yaitu mengerahkan kesungguhan untuk
menemukan pengetahuan tentang hukum-hukum syara’ dari dalil yang terinci dari
dalil-dalil syariah, yang bersifat amali melalui cara istinbath (2) ittiba’; (mengikuti)
kebenaran adalah kewajiban setiap manusia sebagaimana Allah SWT. mewajibkan
setiap manusia agar selalu ittiba’ kepada wahyu yang diturunkan oleh Allah kepada
Rasul-Nya. (3) taqlid; yaitu mengikuti perkataan seseorang yang perkataannya yang
bukan hujah6
5. Sebab-sebab perbedaan (1) dalam pemakaian dan penerimaan dalil; Ulama kita
semuanya sama-sama pakai dalil al-Quran dan al-Hadits. Namun bisa jadi dalam
memahami nash para ulama berbeda beda. Sehingga akan muncul kesimpulan hukum
yang berbeda beda. Contohnya adalah masalah batal atau tidak batalnya wudhu
seseorang yang bersentuhan dengan wanita ajnabi. (2) dalam memahami dalil yang
sama; yaitu disaat beberapa penafsir dalil menanggapi 1 dalil yang sama dengan
pemikiran dan sudut pandang yang berbeda. (3) dan dalam metode jama’
(mengumpulkan dalil yang bertentangan dan mengkompromikannya sehingga tidak
terjadi pertentangan lagi, dengan mempertemukan dua hadis tersebut yang kemudian
dicari titik temu sehingga maksud dari dalil tersebut dapat dikompromikan) dan tarjih
(dilakukan dengan cara membandingkan dua hadis mukhtalif untuk mengetahui mana
hadis yang lebih kuat) pada pendapat ulama dalam fiqh7
6. Kaidah ushuliyah
a. Amr; merupakan suatu permintaan untuk mengerjakan sesuatu yang sifatnya
mewajibkan/mengharuskan. dan Nahi; suatu larangan yang harus ditaati yang
datangnya dari atasan kepada bawahan, yakni dari Allah SWT kepada hamba-
Nya.
b. Am; yang menunjukan pada jumlah yang banyak dan satuan yang termasuk
dalam pengertiannya dalam satu makna yang berlaku. dan Khas; sesuatu yang
tidak mencapai sekaligus dua/lebih tanpa batas.
c. Mujmal; lafadz yang dzariatnya tidak khalifati, tidak bisa dipahami kecuali
terdapat penjelasan secara syara’ seperti zakat, sholat, dan riba. dan
Mubayyan; mengeluarkan sesuatu lafadz dari kerancuan dan tidak adanya arti
yang dapat dipahami, sampai artinya menjadi jelas dan bisa dipahami dengan
menggunakan dalil-dalil yang bisa menunjukkan pada arti yang dikehendaki.
d. Mutlaq; adalah suatu lafadz yang menunjukan pada makna/pengertian tertentu
tanpa dibatasi oleh lafadz lainnya. dan Muqayyad; lapadz yang menunjukan

6
Dr. Madani (2013), Ushul Fiqh
7
Aliyah Sri, “Teori Pemahaman Ilmu Mukhtalif Hadits”. Jurnal Ilmu Agama UIN Raden Fatah, 2014. Hal. 8
suatu hakikat dengan qayid (batasan), seperti kata-kata “raqabah” yang
dibatasi dengan “iman”
e. Mantuq; lafal yang hukumnya memuat apa yang diucapkan (makna tersurat),
dan Mafhum; lafal yang hukumnya terkandung dalam arti dibalik manthuq
(makna tersirat)
f. Muradif; lafadh yang menunjukkan satu arti. Misalnya lafadhnya banyak,
sedang artinya dalam peribahasa Indonesia satu, sering disebut dengan
sinonim. dan Musytarak; satu lafadh yang menunjukkan dua makna atau lebih.
Maksudnya satu lafadh mengandung maknanya yang banyak atau berbeda-
beda.
g. Nasikh; menjelaskan yang dimaksudkan dengan bukan lafazh itu, tetapi
dengan perkara yang di luarnya. dan Mansukh; yang dihapuskan, yaitu hukum
dalil syar’i atau lafazhnya yang dihapuskan.8
7. Kaidah fiqhiyah asasiyah
a. Al-Umur bi maqashidiha; suatu perbuatan seseorang baik secara lisan maupun
tingkah laku yang dikenai hukum syara’ sesuai dengan maksud/ dan tujuan
dari perbuatan tersebut.
b. Al-Yaqin la yuzalu bisy-Syak; Keyakinan tidak bisa dihapus dengan keraguan.
c. Al-Masyaqqatu tajlibut taysira; Hukum-hukum yang dalam penerapannya
menimbulkan kesulitan dan kesukaran bagi mukkallaf (subyek hukum),
sehingga syariah meringankannya dan mampu dilaksanakan tanpa kesulitan
atau kesukaran.
d. Adh-Dhararu yuzalu; kaidah yang membahas tentang kemudaratan itu
memang harus dilihangkan, terlebih dalam kondisi darurat, maka yang
diharamkan pun boleh dilakukan.
e. Al-Adah Al-Muhakkamah; adat atau kebiasaan itu bisa menjadi dasar dalam
menetapkan suatu hukum) yang diambil dari kebiasaan-kebiasaan baik yang
tumbuh dan berkembang di dalam masyarakat sehingga dapat dijadikan dasar
dalam menetapkan suatu hukum sesuai dengan nilai-nilai yang berkembang di
dalam masyarakat.9
8. Kaidah fiqhiyah gairu asasiyah dalam muamalah dan ekonomi melalui;
a. Asal ibadah dan muamalah; Hukum asal dalam ibadah adalah terlarang, maka
suatu ibadah tidak disyariatkan kecuali ibadah yang disyariatkan oleh Allah
dan Rasul-Nya
b. Kemaslahatan syariah; Dengan tetap memandang penting eksistensi kebutuhan
skunder dan bahkan kebutuhan tersier sekalipun, kebutuhan al-dharuriyyat

8
Dr. Madani (2013), Ushul Fiqh
9
Dr. Madani (2013), Ushul Fiqh
dalam kondisi tertentu harus menjadi sekala prioritas. Seseorang dituntut lebih
mengedepankan kebutuan primer dari pada kebutuhan sekunder, sebagaimana
dia juga dituntutut supaya mengedepankan kebutuhan skunder ketimbang
kebutuhan tersier.
c. Hasil dan resiko; yaitu mempertimbangkan penggunaan sumber daya untuk
menghasilkan sesuatu dengan resiko kerugian yang akan didapatkan dalam
menghasilkan sesuatu.
d. Qardh; yaitu terjadi pada kegiatan ber-akad pinjaman (penyaluran dana)
kepada nasabah dengan ketentuan bahwa nasabah wajib mengembalikan dana
yang diterimanya
e. Gharar; istilah dalam kajian hukum Islam yang berarti keraguan, tipuan, atau
tindakan yang bertujuan untuk merugikan orang lain10
9. Penerapan Ushul Fiqh dalam ekonomi di Indonesia oleh;
a. Bahtsul Masail; contoh yaitu Berdasarkan latar belakang tersebut timbul
permasalahan yaitu Bagaimana metode penetapan hukum yang digunakan
Nahdlatul Ulama dalam memandang BPJS Kesehatan dan Bagaimana
penggunaan metode penetapan hukum tersebut dilihat dari prespektif ilmu
ushul fiqh, disimpulkan bahwa Metode penetapan hukum hasil bahtsul masail
NU tentang BPJS Kesehatan adalah memakai metode manhaji yaitu metode
dengan mengikuti jalan pikiran imam madzab dengan menggunakan kaidah-
kaidah pokok. Hal dikarenakan para muktamirin dalam membahas masalah
BPJS Kesehatan memakai rujukan alquran, as-sunnah dan aqwal ulama.
Penggunanaan metode manhaji dalam menetapkan hukum BPJS Kesehatan
dilihat dalam prespektif ilmu ushul fiqh menurut penulis adalah bahwa metode
manhaji digunakan dengan cara penalaran bayani. Hal ini dalam ushul fiqh
disebut ijtihad tatbiqi.
b. Majlis Tarjih; bahwa tarjih sebagai metode dalam memutuskan suatu masalah/
kasus adalah memilih atau menguatkan salah satu dalil atau pemikiran dari
berbagai dalil atau pemikiran yang saling bertentangan. Dalam studi ilmu
ushul fiqh, tarjih ini merupakan solusi ketiga setelah metode al-jam’u wa
taufîq dan nasikh wa al-mansukh. Para ulama usul fiqh telah memberikan
berberapa persyaratan dalam menerapkan tarjih sebagai metode dalam
merumuskan suatu masalah atau kasus.
c. DSN MUI; Fikih muamalah dan ushul fikih adalah dua disiplin ilmu yang
tidak dapat dipisahkan karena fikih adalah hasil (produk) ijtihad, sedangkan

10
Dr. Madani (2013), Ushul Fiqh
ushul fikih adalah dapurnya. Seperti ketentuan hukum wakaf tunai dan
pengelolaannya, visi penyaluran zakat kepada mustahik, tabungan di Bank
Syariah itu adalah contoh fikih atau produk ushul fikih.

Anda mungkin juga menyukai