Anda di halaman 1dari 8

METODE IJTIHAD

MATERI KULIAH

SEKOLAH TINGGI ILMU TARBIYAH


SYEKH MUHAMMAD NAFIS TABALONG
METODE-METODE IJTIHAD
( IJMA‟)

 Ijma‟ berarti kesepakatan juga berarti tekad atau niat. Menurut istilah Ulama Ushul Fiqh :

‫اتفاق جًيع انًجتهديٍ يٍ انًسهًيٍ في عصر يٍ انعصىر بعد وفاة انرسىل عهي حكى شرعي في واقعة‬
“Kesepakatan seluruh mujtahid muslim pada suatu masa tertentu setelah wafatnya Rasulullah
Saw atas suatu hukum syara‟ terhadap peristiwa yang terjadi”
 Menurut Wahbah Zuhaili Ijma‟ sah apabila memenuhi rukun, yaitu ;
1. Kesepakatan itu harus diambil oleh keseluruhan ulama mujtahid. Jika ada satu orang saja
diantara mereka berbeda pendapat, maka ijma‟nya tidak sah
2. Ijma‟ harus dilakukan oleh para ulama secara berkelompok. Jadi ijma‟ tidak sah kalau hanya
dilakukan oleh seorang mujtahid, walaupun pada saat itu hanya dia mujtahidnya.
3. Tidak boleh ada ijma‟ murakkab, yakni perpecahan pendapat yang mendorong munculnya
kelompok-kelompok kecil sehingga terdapat dua atau tiga pendapat dengan pendapat yang
berbeda-beda pula
4. Semua ulama harus menyatakan pendapatnya secara jelas, baik dengan perkataan maupun
perbuatan.
5. Keputusan hukum hasil ijma‟ dilahirkan pada saat mereka melakukan pembahasan dengan
sidang atau musyawarah mufakat.
QIYAS

 Qiyas berarti pengukuran, penyamaan, yakni mengetahui ukuran sesuatu dengan menisbahkan
nya kepada yang lain. Sedang Qiyas menurut Istilah :
1. Muhammad Abu Zahrah : “Menerangkan hukum sesuatu yang tidak ada nashnya dalam Al
Quran dan Sunnah dengan cara membandingkannya dengan sesuatu yang ditetapkan
hukumnya berdasarkan nash Al Quran ataupun Sunnah”
2. Jumhur Ulama : “Menghubungkan sesuatu yang belum dinyatakan ketentuan hukumnya oleh
nash (Quran dan Sunnah) kepada sesuatu yang sudah dinyatakan ketentuan hukumnya oleh
nash karena keduanya memiliki kesamaan illat hukum”
 Unsur-unsur Qiyas , qiyas bisa dikatakan benar jika memenuhi unsur ;
1. Ashal, yakni suatu kejadian yang telah dinyatakan ketentuan hukumnya oleh nash (Quran,
Sunnah atau ijma‟) dan harus mengandung illat hukum
2. Furu‟, yakni kejadian baru yang belum diketahui ketentuan hukumnya dan belum terangkat
dalam nash.
3. Illat hukum, yakni sifat-sifat yang menjadi dasar dari ketentuan hukum ashal
4. Hukum ashal, yakni ketentuan hukum syara‟ yang telah dinyatakan oleh nash dan hendak
diletakkan pada furu‟
AL ISTIHSAN

 Istihsan berarti mengikuti sesuatu yang menurut nalar baik

 Menurut Istilah, Ihtihsan berarti ;

1. Abdul Wahab Khallaf : Beralihnya pemikiran seorang mujtahid dari tuntutan qiyas yang nyata
kepada qiyas yang samar atau dari hukum umum pada pengecualian karena ada kesalahan
pemikiran yang kemudian memenangkan peralihan tersebut.

2. Imam Abu Hasan Al Karkhi : Penetapan hukum dari seorang mujtahid terhadap suatu
masalah yang menyimpang dari ketetapan hukum yang diterapkan pada masalah-masalah
yang serupa, karena ada alasan yang lebih kuat yang menghendaki dilakukan penyimpangan
itu

3. Ulama Hanafiyah mengembangkan teori Istihsan terbentuk 3 pendekatan ;

a. Beralih dari qiyas dzahir pada qiyas khafi

b. Beralih dari tuntutan keumuman nash pada hukum yang khusus

c. Beralih dari hukum kulli pada hukum istisna‟i


AL MASHLAHAH AL MURSALAH ( AL ISTISHLAH )

 Al Mashlahah Al Mursalah artinya mutlak atau umum. Dinamai mutlak (umum) karena tidak
dibatasi oleh bukti mu’tabar (dianggap) atau bukti mulgha (yang disia-siakan). Menurut istilah
Ulama Ushul Fiqh Al Mashlahah Al Mursalah adalah ; Kemaslahatan yang oleh Syar’i tidak
dibuatkan hukum untuk mewujudkannya, tidak ada dalil syara’ yang menunjukkan dianggap
atau tidaknya kemaslahatan itu.
 Ulama dari kalangan Malikiyah berpandangan Kemaslahatan-kemaslahatan yang menjadi
dasar pertimbangan dalam pengkajian hukum untuk persoalan yang tidak dinyatakan dalam
nash.
 Ulama dari kalangan Hanabilah mencari kemaslahatan atau kebaikan.
 Dengan demikian Al Mashlahah Al Mursalah (Istishlah) adalah : Menetapkan hukum bagi
suatu kejadian yang belum ada nashnya dengan memperhatikan kepentingan mashlahah, yaitu
memelihara agama, jiwa, akal, harta dan keturunan
 Kajian hukum lewat Al Mashlahah Al Mursalah (Al Istishlah) ini menjadikan hukum Islam
akan bisa menampung persoalan-persoalan yang baru dengan tetap memperhatikan identitasnya
sebagai hukum Islam. Disamping itu akan membuktikan bahwa hukum Islam dapat selaras
pada setiap waktu dan tempat. Dengan kata lain, hukum Islam akan mengarahkan kehidupan
masyarakat terhadap prinsip-prinsip umumnya di satu sisi dan menyerap kenyataan-kenyataan
dan perubahan-perubahan yang sifatnya kondisional-temporer yang terus terjadi sepanjang
masa di sisi lainnya.
ADZ DZARI‟AH

 Adz Dzari‟ah berarti perantara atau media, yang menghubungkan sesuatu pada tujuan. Menurut
Istilah Muhammad Abu Zahrah mengatakan bahwa Adz Dzari‟ah adalah ;” Sesuatu yang menjadi
perantara ke arah perbuatan yang diharamkan atau dihalalkan.”
 Ketentuan hukum yang dikenakan pada Adz Dzari‟ah selalu mengikuti ketentuan hukum yang terdapat
pada perbuatan yang menjadi sasarannya, jalan yang menghubungkan pada haram hukumnya pun
haram, yang menghubungkan pada halal hukumnya pun halal, yang menghubungkan pada wajib
hukumnya pun wajib, dan seterusnya
 Ada kaedah mengatakan :
 ‫ نهىسائم حكى انًقاصد‬- “Hukumnya wasilah (jalan) sama dengan hukumnya tujuan”
Dari kaedah ini ada 2 pengertian ;
1. Tujuan / maqashid yaitu maqasidusy syari‟ah berupa kemaslahatan
2. Jalan/wasilah yaitu jalan menuju tercapainya tujuan
 Yang dilihat Adz Dzariah adalah perbuatan menyampaikan terlaksananya yang wajib yang akan
membawa pada perbuatan baik serta menimbulkan kemaslahatan atau menyampaikan pada terjadinya
yang haram yang akan membawa pada perbuatan terlarang serta menimbulkan kerusakan.
 Adz Dzari‟ah jenis pertama termasuk perbuatan baik dan harus dibuka kesempatan untuk
melakukannya, ini disebut dengan Fathudz dzari‟ah. Pembukaan ini bisa dengan hukum wajib, mandub
dan mubah
 Adz Dzari‟ah jenis kedua termasuk perbuatan buruk dan harus ditutup, disebut dengan Saddudz
Dzari‟ah. Penutupan terhadap perbuatan tersebut bisa dengan hukum haram atau makruh.
AL „URF

 Al „Urf menurut bahasa berarti mengetahui, kemudian dipakai dalam arti ; sesuatu yang
diketahui atau dikenal, dianggap baik dan diterima oleh pikiran yang sehat. Adapun menurut
istilah Ulama Ushul Fiqh ; “Sesuatu yang telah saling dikenal oleh manusia dan mereka
menjadikannya sebagai tradisi, baik berupa perkataan, perbuatan ataupun sikap atau sikap
meninggalkan sesuatu. Dan disebut juga adat kebiasaan”

 „Urf (tradisi) adalah bentuk-bentuk mu‟amalah yang telah menjadi adat kebiasaan dan telah
berlangsung secara melekat di tengah masyarakat. Hal ini tergolong salah satu sumber hukum
dan dalil dari Ushul Fiqh, yang diambil dari intisari Sabda Nabi Muhammad Saw ;
ٍ‫ يا راه انًسهًىٌ حسنا فهي عند هللا حس‬: ‫ قال رسىل هللا ص و‬: ‫عٍ ابٍ يسعىد رضي هللا قال‬
“Dari Ibnu Mas’ud RA, dia berkata : Rasulullah Saw bersabda ; apa-apa yang menurut
orang –orang muslim itu baik, niscaya menurut Allah juga baik” (HR Ahmad)

 Hadits di atas menegaskan bahwa setiap perkara yang telah menjadi tradisi di kalangan orang-
orang muslim dan dipandang sebagai perkara yang baik, maka perkara tersebut juga dipandang
baik di hadapan Allah. Sebaliknya menentang „Urf (tradisi) yang telah dipandang baik oleh
masyarakat akan menimbulkan kesulitan dan kesempitan
AL ISTISHAB ( ‫االستصحاب‬ (

 Istishab menurut bahasa berarti pengakuan kebersamaan atau selalu menyertai. Kalangan
Ulama Ushul Fiqh menggunakan Istishab sebagai dalil karena mereka mengambil sesuatu yang
telah diyakini dan diamalkan di masa lalu dan secara konsisten memeliharanya untuk
dipraktekkan.
 Istishab menurut istilah ;
1. Imam Asy Syaukani : Dalil yang memandang tetapnya suatu perkara selama tidak ada
sesuatu yang mengubahnya. Dalam pengertian, bahwa ketetapan di masa lampau, berdasarkan
hukum asal, tetap terus berlaku untuk masa sekarang dan masa mendatang
2. Ibnu Qayyim ; Melestarikan yang sudah positif dan menegaskan yang negatif (tidak
berlaku). Tetap berlakunya hukum ashal, baik yang positif maupun negatif, sampai ada dalil
yang mengubah status que
 Berbeda dengan sumber hukum yang lain, Istishab didasarkan pada Persangkaan Kuat, bahwa
kesinambungan status que mengharuskan adanya kontinuitas hukum. Oleh sebab itu, sumber
hukum ini tidak bisa dipandang sebagai dalil kuat untuk istinbath hukum.
 Imam Khawarizmi yang dinukil oleh Muhammad Abu Zahrah dalam Ushul Fiqhnya berkata ;
istishab merupakan alternatif terakhir untuk fatwa, setelah tidak ditemukan pada sumber-
sumber yang lain.”

Anda mungkin juga menyukai