IJTIHAD BAGIAN 2
KELOMPOK 9 :
1. ALIFIA CHURUL AINI 215211229
2. MAURA LINGGA PRAMESTHI 215211252
3. FINA RAHAYU 215211253
Istihsan
Pengertian Istihsan
Pandangan Imam
1 2 Syafi’I Terhadap
Secara etimologi Istihsan diartikan
dengan “ Menganggap sesuatu itu baik”
Istihsan
Imam Syafi’I merupakan salah satu ulama
atau “Mengikuti sesuatu yang baik”. yang dengan tegas membatalkan tentang dalil
Berdasarkan dari pengertian beberapa ahli Istihsan. Imam Syafi’I berkeyakinan bahwa
dapat disimpulkan bahwa, Istihsan adalah berhujjah dengan Istihsan, berarti ia telah
meninggalkan suatu hukum yang telah mengikuti hawa nafsunya, karena telah
ditetapkan oleh syara’ dan menetapkan menentukan syariat baru. Sedangkan yang
kukum lain karena ada dalil yang lebih berhak membuat syariah baru itu hanyalah
cocok dan lebih kuat menurut orang yang Allah Swt. Darisini lah terlihat bahwa Imam
melakukan ijtihad. Syafi’I dan pengikutnya cukup keras dalam
menolak masalah Istihsan.
Para ulama yang menggunakan Istihsan, karena telah dibuka peluang
adalah Imam Abu Hanifah, Imam Malik bagi mujtahid untuk
memindahkan peristiwa
dan sebagian pengikut Imam Ahmad bin
hukum dari ketentuan qiyas
Hambal. Alasan mereka adalah, penelitian kepada ketentuan hukum
terhadap beberapa peristiwa hukum dan lain yang dapat mewujudkan
maslahat dan menolak
ketentuan hukumnya membuktikan
Kehujjahan mafsadat.
bahwa terus menerus berlakunya Dengan kata lain Istihsan
ketetapan qiyas, berkelanjutannya adalah cara berijtihad
Istihsan dengan menerapkan
ketetapan umum dan menyeluruhnya
semangat hukum Islam
ketetapan kulli, yang akan membawa
terhadap kasus-kasus
hilangnya maslahat dan akan membawa tertentu.
mafsadat. Oleh karena itu merupakan
rahmat Allah
Hakikat Istihsan
a. Istishhab hukum asal atas sesuatu saat tidak ditemukan dalil lain yang
menjelaskannya; yaitu mubah jika ia bermanfaat dan haram jika ia
membawa mudharat dengan perbedaan pendapat yang masyhur di
kalangan para ulama tentangnya; yaitu apakah hukum asal sesuatu itu
adalah mubah atau haram.
adalah menyertakan, membawa bagi seorang mujtahid setelah ia tidak menemukan dalil dari
serta dan tidak melepaskan al-Qur‟an, al-Sunnah, ijma‟ atau qiyas. Al-Syaukany
sesungguhnya adalah penetapan berfatwa. Jika seorang mufti ditanya tentang suatu masalah,
hukum suatu perkara baik itu maka ia harus mencari hukumnya dalam al-Qur‟an,
berupa hukum ataupun benda- kemudian al-Sunnah, lalu ijma‟, kemudian qiyas. Bila ia
benda di masa kini ataupun tidak menemukan (hukumnya di sana), maka ia pun (boleh)
telah ditetapkan atau berlaku hukum yang lalu di masa sekarang‟ (istishhab al-hal). Jika ia
sebelumnya. ragu akan tidak berlakunya hukum itu, maka prinsip asalnya
adalah bahwa hukum itu tetap berlaku...”(Syaukany, 1414 :
237).
c. Istishhab hukum yang ditetapkan oleh ijma‟ pada saat
berhadapan dengan masalah yang masih diperselisihkan (Ibid,
2/109).
Dalam hal ini, ada tiga pendapat di kalangan para ulama yang
berbeda dan dapat disimpulkan bahwa, istishhab sebenarnya
dapat digunakan sebagai landasan hukum. Meskipun dalam
beberapa bentuk istishhab terdapat perbedaan pendapat di
kalangan ulama. Namun hal itu tidak menafikan kedudukan
argumentatif istishhab dalam Fiqh Islam.
‘Urf
Pengertian ‘Urf
Kata 'Urf secara etimologi berarti sesuatu yang dipandang
baik dan diterima oleh akal sehat. Sedangkan secara
terminologi, sesuai yang diterapkan Abdul Karim Zaidan
yang dikutip dari satria efendi, istilah 'Urf berarti: sesuatu
yang tidak asing lagi bagi satu masyarakat karena telah
menjadi kebiasaan dan menyatu dengan kehidupan mereka
baik berupa perbuatan atau perkataan. Istilah 'Urf dalam
pengertian tersebut sama dengan pengertian istilah al-'adah
(tradisi-istitradisi). 'Urf (tradisi) adalah bentuk-bentuk
muamalah yang telah menjadi tradisi kebiasaan dan telah
berlangsung di tengah masyarakat. Atau juga disebut sesuatu
yang sering dilakukan masyarakat dantelah menjadi
tradisinya, baik secara ucapan atau perbuatannya dan atau hal
meninggalkan sesuatu juga disebit tradisi.
‘Urf
Kehujjahan 'Urf
Secara logis, 'urf diamini menjadi bagian dari “shari'at” karena 'urf merepresentasikan akal
publik. Akal publik dalam Islam dianggap baik jika akal publik ini mengatakan baik. Ma raahu al-
muslimun hasanan fahuwa indalla hi hasanun. Jika akal publik sudah menganggap baik, maka
pasti shari'i juga mengatakan demikian. Hanya saja, shar'i tetap memberi batas akal publik selama
tidak bertentangan dengan shari'at (ma lam yukhalif shar‘an). Karena akal publik juga bisa salah
seperti ketika akal publik mengatakan bahwa atas nama hak asasi manusia, hubungan sesama
jenis itu diperbolehkan. Dengan demikian, tidak semua 'urf dapat diambil sebagai sumber hukum
Islam, melainkan hanya 'urf yang shahih saja yang dijadikan acuan fiqh.
4 syarat sebuah tradisi dapat dijadikan pijakan
hukum
1. Pertama, kebiasaan tersebut berlaku :secara umum minimal berlaku pada
sebagian besar orang di sebuah tempat. Kalau ada yang tidak mengerjakan 'urf
ini, maka yang demikian hanya sebagian kecil saja.
2. Kedua, 'urf sudah terbentuk sebelum atau bersamaan dengan masa
penggunannya. kebiasaan yang baru muncul itu tidak diperhitungkan.
3. Ketiga, tidak terdapat ucapan atau pekerjaan yang bertentangan
dengan nilai subtansial 'urf.