Secara bahasa, ushul fiqh berasal dari bahasa Arab yang terdiri dari duabkata, yaitu ushul dan fiqh. Kata ushul adalah jamak dari kata ashl yang berarti landasan sesuatu dan kata al-fiqh berarti paham. Sedangkan secara istilah, ushul fiqh adalah suatu disiplin ilmu yang membahas tentang metode atau cara menggali hukum-hukum praktis yang bersumber dari dalil-dalil Alqur'an dan Hadits yang bersifat terperinci. Ruang lingkup ilmu ushul fiqh adalah mengenai metodologi penetapan hukum- hukum fikih, klasifikasi argumentasi serta analisis terhadap situasi dan kondisi yang melatarbelakangi dalil-dalil tersebut. B. Kedudukan Ushul Fiqh dalam ekonomi syariah: 1. Kedudukan ushul fiqh dalam ekonomi syariah adalah sebagai seperangkat epistemologi yang memberikan inovasi dalam berijtihad, khususnya dalam menawarkan produk-produk akad yang berbasis syariah. Ushul fiqh digunakan juga sebagai pijakan epistemologi ijtihad hukum ekonomi syariah dalam merespon tantangan globalisasi dan pengembangan keilmuan yang berbasis syariah. Hal ini sesuai dengan keadaan zaman sekarang dimana para ekonom Muslim di era modern melakukan elaborasi metodologi ekonomi antara ekonomi syariah dan konvensional yang dikembangkan dengan ilmu ushul fiqh. 2. A. Klasifikasi ijma’ menurut Ushuliyyin Ushuliyyin menerangkan bahwa ijma’ dapat ditinjau Dari beberapa segi dan tiap- tiap segi terdiri atas beberapa macam. Ditinjau dari segi cara terjadinya, maka ijma’ terdiri atas: 1. Ijma’ Sharih, yaitu para mujtahid menyatakan pendapatnya dengan jelas dan tegas, baik berupa ucapan atau tulisan. 2. Ijma’ sukuti, yaitu para mujtahid seluruh atau sebagian mereka tidak menyatakan pendapat dengan jelas dan tegas, tetapi mereka berdiam diri saja atau tidak memberikan reaksi terhadap suatu ketentuan hukum yang telah dikemukakan mujtahid lain yang hidup di masanya. Ditinjau dari segi yakin atau tidaknya terjadi suatu ijma’, dapat dibagi menjadi sebagai berikut: 1. Ijma’ qath’i, yaitu hukum yang dihasilkan ijma’ itu adalah qath’i diyakini benar terjadinya, tidak ada kemungkinan lain bahwa hukum dari peristiwa atau kejadian yang telah ditetapkan berbeda dengan hasil ijma yang dilakukan pada waktu yang lain. 2. Ijma’ zanni, Yaitu hukum yang dihasilkan ijma’ itu zanni, masih ada kemungkinan lain bahwa hukum dari peristiwa atau kejadian yang telah ditetapkan berbeda dengan hasil ijtihad orang lain atau dengan hasil ijma’ yang dilakukan pada waktu yang lain. Ditinjau dari masa terjadi, tempat terjadi, atau orang yang melaksanakannya, maka ijma’ terdiri atas: 1. Ijma’ sahabat, yaitu ijma’ yang dilakukan oleh para sahabat Rasulullah SAW. 2. Ijma’ Khulafaurrasyidin, yaitu ijma’ yang dilakukan oleh Khalifah Abu Bakar ra., Umar bin Khattab ra., Utsman bin Affan ra., dan Ali bin Abi Thalib ra. 3. Ijma’ shaikhan, yaitu ijma’ yang dilakukan oleh Abu Bakar dan Umar bin Khattab. 4. Ijma’ ahli Madinah, yaitu ijma’ yang dilakukan oleh ulama-ulama Madinah. 5. Ijma’ ulama Kufah, yaitu ijma’ yang dilakukan oleh ulama-ulama Kufah. B. Pandangan Ulama Mengenai Kehujjahan Ijma’ Jumhur ulama ushul fiqh berpendapat apabila rukun-rukun ijma' telah terpenuhi, maka ijma' tersebut menjadi hujjah yang qath'i (pasti), wajib diamalkan dan tidak boleh mengingkarinya, bahkan orang yang mengingkarinya dianggap kafir. Disamping itu, permasalahan yang telah ditetapkan hukumnya melalui ijma' menurut para ahli ushul fiqh tidak boleh lagi menjadi pembahasan ulama generasi berikutnya, karena hukum yang ditetapkan melalui ijma' merupakan hukum syara' yang qath'i dan menempati urutan ketiga sebagai dalil syara' setelah Al-Qura'n dan Sunnah.
3. Pengertian Qiyas dan Unsur-Unsurnya
Secara bahasa qiyas berarti mengukur sesuatu dengan sesuatu. Sedangkan secara istilah qiyas dapat dipahami sebagai penyamaan kasus yang tak terungkap oleh nash dengan kasus yang terungkap oleh nash, karena kesamaan nilai-nilai (‘illat) syariah antara keduanya dalam rangka menerapkan hukum satu kasus atas hukum kasus lainnya. Unsur-unsur dalam qiyas ditemukan dalam rukun dan syarat qiyas, sebagai berikut: a. Al-Ashl (asal/tempat meng-qiyas-kan), yaitu sesuatu yang di-nash-kan hukumnya yang menjadi ukuran atau tempat menyerupakannya. b. Al-Far’u (cabang/perkara yang di-qiyas-kan), yaitu sesuatu yang tidak di- nash-kan hukumnya dan di-qiyas-kan pada hukum asalnya. c. Al-Hukm, yaitu hukum syara’ yang di-nash-kan pada pokok (Ashl) kemudian akan menjadi hukum pula bagi cabang (Far’u). d. ‘Illat, yaitu sebab yang menyambungkan pokok dengan cabangnya atau suatu sifat yang ada pada ashal dan sifat yang dicari pada far'u.
4. A. Klasifikasi Istihsan sebagai metode Ijtihad
Istihsan sebagai metode itihad dapat dibagi menjadi enam bagian sebagai berikut: 1) Istihsan bi an-Nash (istihsan berdasarkan ayat atau Hadis), yaitu penyimpangan suatu ketentuan hukum berdasarkan ketetapan qiyas kepada ketentuan hukum yang berlawanan dengan yang ditetapkan berdasarkan Al-qur’an dan Hadis. 2) Istihsan bi al-ijma’ (istihsan yang didasarkan kepada ijma’), yaitu meninggalkan keharusan menggunakan qiyas pada suatu persoalan karena ada ijma’. 3) Istihsan bi al-Qiyas al-Khafi (istihsan berdasarkan qiyas yang tersembunyi), yaitu memalingkan suatu masalah dari ketentuan hukum qiyas yang jelas kepada ketentuan qiyas yang samar, tetapi keberadaannya lebih kuat dan lebih tepat untuk diamalkan. 4) Istihsan bi al-maslahah (istihsan berdasarkan kemaslahatan). 5) Istihsan bi al-‘urf (istihsan berdasarkan adat kebiasaan yang berlaku umum), yaitu penyimpangan hukum yang berlawanan dengan ketentuan qiyas, karena adanya ‘urf yanb sudah dipraktikkan dan sudah dikenal dalam kehidupan masyarakat. 6) Istihsan bi al-Dharurah (istihsan berdasarkan kondisi darurat), yaitu seorang mujtahid meninggalkan keharusan pemberlakuan qiyas atas sesuatu masalah karena berhadapan dengan kondisi darurat, dan mujtahid berpegang kepada ketentuan yang mengharuskan untuk memenuhi hajat atau menolak terjadinya kemudaratan. B. Pandangan Ulama tentang Istihsan Pandangan 4K ha ha tentang Isti San dapat dikelompokkan menjadi dua: pertama, kelompok yang menerima Isti San yaitu mazhab Hanafi ya, Maliki ya dan Hanabilah.
5. A. Aplikasi ijma’ adalah masalah ekonomi dan perbankan
Ijma’ tentang Keharaman Bunga Bank Bunga bank adalah haram berdasarkan Ijima ulama kontemporer yang telah diputuskan dalam berbagai konferensi baik skala regional maupun internasional. Hasil keputusan para ulama tentang Keharaman bunga bank ini merupakan bentuk Ijtihad yang memiliki ketetapan berdasarkan dalil dalil yang otoritatif. Sidang Organisasi Konferensi Islam (OKI), telah menyebar sepakati dua hal utama, yaitu: (1) praktik bank dengan sistem bunga adalah tidak sesuai dengan syariah Islam; (2) perlu segera didirikan bank-bank alternatif yang menjalankan operasinya sesuai dengan prinsip-prinsip syariah. Hasil kesepakatan inilah yang melatarbelakangi didirikannya Bank Pembangunan Islam (IDB). Mufthi negara republik Arab Mesir memutuskan bahwa bunga bank termasuk salah satu bentuk riba yang diharamkan. Dalam Konferensi II KKID, ditetapkan bahwa tidak ada sedikit pun keraguan atas keharaman praktik pembungaan uang seperti yang dilakukan bank-bank konvensional. Fatwa lembaga-lembaga lain seperti; (1) akademi fiqh liga Muslim Dunia; (2) pimpinan pusat Dakwah, Penyuluhan, kajian Islam, dan fatwa, kerajaan sau di Arabia telah menyatakan bahwa bunga bank adalah salah satu bentuk riba yang diharamkan. B. Aplikasi Qiyas dalam Ekonomi dan Keuangan Kontemporer Qiyas Jaminan Fidusia terhadap Bai’ al-Wafa Terkait hukumnya, transaksi murabahah di bank syariah dengan menggunakan jaminan Fidusia dapat dikiaskan dalam hukum bai’ al-wafa. Bai’ al-wafa’ pada dasarnya adalah penjualan komoditas dengan syarat bahwa penjual di bolehkan untuk mendapatkan komoditas kembali saat membayar harganya. Oleh karena itu, dalam bayi all Wafa, penjual dengan mengembalikan harga, dapat menuntut kembali komoditas yang dijual, dan pembeli, dengan mengembalikan komoditas yang dijual, bisa meminta harga yang harus diganti. Transaksi semacam ini oleh majalah Allah Ahkam al Adelia sebagai kontrak jaminan, bukan karena kata kata dan Formalitas yang digunakan dalam penawaran dan penerimaan melainkan karena maksud dan arti seperti yang jelas dinyatakan dalam kaidah dalam transaksi Muamalat. Dari sini, dalam konteks operasional metode qiyas, yang menjadi asal adalah bayi all Wafa dan furu nya adalah jaminan Fidusia serta yang Ilat nya adalah sama sama jaminan untuk mendapatkan kepercayaan mendapatkan pinjaman. Dengan begitu hukum Fidusia ini berdasarkan metode qiyas, maka sama dengan hukum transaksi baik yang wafat. C. Aplikasi Istihsan dalam Ekonomi dan Keuangan Syariah. Jual beli via vending machine pending mesin sebagai alat menjual barang secara otomatis sangat berarti praktis. Karena mesin tersebut tidak membutuhkan tenaga operator untuk menjual barang. Sementara pembeli dapat membelinya sesuai dengan keinginan dengan memasukkan sejumlah uang sesuai harga yang telah ditetapkan. Bahkan jika uangnya membutuhkan uang kembalian, mesin secara otomatis akan memberikan kembalian secara otomatis pula. Jual beli Tanpa ijab-qabul secara ucapan ini dalam Viki disebut dengan jual-belimu atah. Hukum jual beli semacam ini dibolehkan karena sudah menjadi kebiasaan dan dapat dimaklumi bersama. Jual beli semacam ini tidak membutuhkan ijab-qabul seperti Akkad jual beli seperti biasanya. Akan tetapi, transaksi ini sudah menunjukkan Kerelaan kedua pihak untuk melakukan transaksi tersebut. Oleh karena itu, berdasarkan Isti ih San, transaksi semacam