Anda di halaman 1dari 16

A.

Proses pembuatan Kaidah Fiqih


Kaidah Fiqih memang bukan dalil, tetapi sarana bagi kita untuk
mempermudah menentukan hukum pada masalah-masalah yang kita jumpai di
masyarakat. Maka para ulama’ telah memberikan investasi besar kepada kita agar kita
dapat memahami hukum Islam ini dengan mudah. Oleh karena itu, bahwa proses
pembentukan kaidah Fiqih adalah sebagai berikut :
Proses Pembentukan Kaidah Fiqih
1. Sumber hukum Islam: Al-Quran dan Hadits;
2. Kemudian muncul ushul fiqih sebagai metodologi di dalam penarikan
hukum (istibath al-ahkam). Dengan metodologi ushul fiqih yang
menggunakan pola pikir deduktif menghasilkan Fiqih;
3. Fiqih ini banyak materinya. Dari materi Fiqih yang banyak itu kemudian
oleh ulama-ulama yang mendalami ilmu di bidang Fiqih, diteliti
persamaannya dengan menggunakan pola piker deduktif kemudian
dikelompokkan, dan tiap-tiap kelompok merupakan kumpulan dari
masalah-masalah yang serupa, akhirnya disimpulkan menjadi kaidah-
kaidah Fiqih;
4. Selanjutnya kaidah-kaidah tadi dikritisi kembali dengan menggunakan
banyak ayat dan banyak hadits, terutama untuk dinilai kesesuaiannya
dengan substansi ayat-ayat Al-Quran dan hadits nabi;
5. Apabila sudah dianggap sesuai dengan ayat Al-Quran dan banyak hadits
Nabi, baru kemudian kaidah fiqih tersebut menjadi kaidah yang mapan;
6. Apabila sudah menjadi kaidah yang mapan/akurat, maka ulama-ulama
Fiqih menggunakan kaidah tadi untuk menjawab permasalahan
masyarakat, baik di bidang sosial, ekonomi, politik, dan budaya, akhirnya
memunculkan hukum-hukum Fiqih baru;
7. Oleh karena itu tidaklah mengherankan apabila ulama memberikan fatwa,
terutama di dalam hal-hal baru yang praktis selalu menggunakan kaidah-
kaidah Fiqih, bahkan kekhalifahan Turki Utsmani di dalam Majalah al-
Ahkam al-Adliyah, menggunakan 99 kaidah di dalam membuat undang-
undang tentang akad-akad muamalah dengan 185 pasal;
8. Seperti telah disinggung di muka. Ibnu Qayyim al-Jauzaiyah (w.751 H)
murid Ibnu Taimiyah dalam kitab Fiqihnya "I'lam al-Muwaqi'in Rabb al-
Alamin", memunculkan kaidah :
ْ ‫ت‬
‫والعواِئ ِد‬ ْ ‫واأل ْم ِكن ِة‬
ِ ‫واألحْ وا ِل والنِّيّا‬ ْ ‫ألز ِمن ِة‬
ْ ‫ب تغي ُِّر ْا‬ ْ ‫تغيُّ ُر ْالف ْتوى‬
ِ ‫واختِالفُها بِح ْس‬
"Fatwa berubah dan berbeda sesuai dengan perubahan zaman, tempat
keadaan, niat, dan adat kebisaaan"
Ibnu Qayyim dianggap sebagai penemu kaidah tersebut, demikian pula
Ibnu Rusyd (w.520-595 H) dalam kitab Fiqihnya Bidayat al-Mujtahid
Wa Nihayat al-Muqtasid, sesudah menjelaskan perbedaan pendapat
ulama tentang masalah batas maksimal kehamilan, beliau
berkesimpulan dengan kaidah :

‫أن ي ُكوْ ن بِ ْال ُمعْتا ِد ال بِالنّا ِد ِر‬ ْ


ْ ُ‫وال ُح ْك ُم ِإنّما ي ِجب‬
"Hukum itu wajib ditetapkan dengan apa yang biasa terjadi bukan
dengan apa yang jarang terjadi"
Dalam kitab al-Kharaj, Abu Yusuf memberikan fatwa kepada khalifah Harun
al-Rasyid dengan kata-kata :
ٍّ ‫أن ي ُْخ ِرج ش ْيًئا ِم ْن ي ِد أح ٍد ِإالّ بِح‬
‫ق‬ ْ ‫مام‬
ِ ‫ليْس لِِإل‬
"Tidak ada kewenangan bagi kepala Negara (eksekutif) untuk
mengambil sesuatu dari tangan seseorang, kecuali dengan cara yang
dibenarkan"

Contoh lain: “Kebijakan seorang pemimpin terhadap rakyatnya harus


berorientasi kepada kemaslahatan.”

Kaidah ini berasal dari kata-kata Imam al-Syafi'i yang berbunyi :

‫م ْن ِزلةُ ْالوالِ ْي ِمن الرّا ِعي ِة كم ْن ِزل ِة ْالولِ ِّي ِمن ْاليتِي ِْم‬
"Kedudukan seorang pemimpin terhadap rakyatnya seperti kedudukan
wali kepada anak yatim"
Kata-kata Imam al-Syafi'i ini setelah ditelaah ulama-ulama lain, terutama
ulama di bidang fiqih siyasah, akhirnya memunculkan kaidah tersebut di atas. Hanya
saja sesudah jadi kaidah fiqih yang mapan dan dilegitimasi Al-Quran dan Sunnah,
kaidah tadi menjadi sumber dan di bawah kaidah itu dimunculkan kembali Fiqih
bahkan dikelompokkan lagi, inilah yang kita lihat di dalam kitab-kitab kaidah Fiqih,
setelah kaidah-kaidah Fiqih itu dibukukan.
Di dalam proses pengujian kaidah-kaidah Fiqih oleh Al-Quran dan Sunnah
sering bertemu kaidah dengan hadits, maka hadits tersebut jadi kaidah, seperti:
‫والي ِمي ُْن على ْال ُم ّدعى عل ْي ِه‬
ْ ‫ْالبيِّنةُ على ْال ُم ّد ِع ْي‬
"Bukti/keterangan wajib disampaikan oleh penggugat dan sumpah
wajib diberikan oleh yang mengingkari/tergugat" (HR. Muslim dari Ibnu
'Abbas),
Kaidah ini berasal dari banyak materi Fiqih, karena di dalam Fiqih, nilai suatu
perbuatan tergantung kepada niatnya. Di dalam ibadah, apakah niat ibadah itu wajib
atau sunnah, dilaksanakan tepat waktu atau dengan cara qadha. Dalam muamalah,
apakah menyerahkan barang itu dengan niat memberi (hibah) atau meminjamkan.
Dalam jinayah apakah perbuatan criminal itu dilakukan karena kesengajaan (dengan
niat) atau kesalahan (tanpa niat) dan seterusnya, semua itu hukumnya dilandaskan
kepada niat, maksud dan tujuannya.
Selain itu juga dirujukkan kepada tujuannya, baik atau buruk, apakah
tujuannya penipuan yang dilarang atau bertujuan baik untuk memberi manfaat kepada
manusia. Dari sini bisa diambil kesimpulan bahwa; Pertama, apabila dirujukkan
kepada hadits, dan ternyata hadits-hadits tadi sama dengan kaidah, maka hadits tadi
bisa menjadi kaidah di kalangan Ulama Fiqih. Kedua, kaidah yang dirujukkan kepada
pemahaman nash-nash (Al-Quran dan Al-Hadits), maka substansi pemahaman itulah
yang jadi kaidah. Seperti telah disinggung di muka, setelah menjadi kaidah yang
mapan, para ulama mengelompokkan kembali materi-materi Fiqih yang masuk dalam
kaidah tersebut dan apa-apa yang keluar (pengecualian) sebagai contoh-contoh
penerapan kaidah. Misalnya, dalam kitab al-Asybah wa al Nazhair, Imam al-Suyuthi
menjelaskan kaidah:

ِ ‫اُْأل ُموْ ُر بِمقا‬


‫ص ِدها‬
"Setiap perkara tergantung kepada niatnya"
Al-Suyuthi, membahas masalah niat dalam beberapa sub poko bahasan:
1. Kaidah-kaidah niat dilegimitasi oleh hadits niat;
2. Adanya masalah-masalah Fiqih yang lebih sempit di kelompokkan dan
disandarkan kepada kaidah tersebut, seperti masalah-masalah ibadah mahdhah,
munakahat, dan jinayat yang memiliki kaidah-kaidah tersendiri;
3. Fungsi niat yang membedakan antara ibadah dan adat kebisaaan dan masalah
Fiqih yang tidak diperlukan niat;
4. Ta’yin niat/menentukan niat lebih spesifik dalam hal perbuatan-perbuatan yang
serupa;
5. Tempat niat adalah di dalam hati, hubungan antara talafuzh (melafazkan niat)
dengan apa yang ada di dalam hati, maka yang dianggap sah adalah apa yang ada
di dalam hati;
6. Syarat-syarat niat adalah tahu ilmunya, tidak mendapatkan yang bertentangan
dengan niat;
7. Perbedaan pendapat di dalam penerapan niat.
8. Pembahasan tentang kasus-kasus tertentu secara khusus yang tersebut dalam
kitab-kitab Fiqih mazhab Syafi'i.

Kesimpulan

Dari pembahasan diatas maka dapat saya simpulkan bahwa proses pembentukan kaidah fikih
melalui beberapa tahapan yaitu:

1. Sumber hukum Islam: Al-Quran dan Hadits;

2. Kemudian muncul ushul fiqih sebagai metodologi di dalam penarikan hukum (istibath
al-ahkam). Dengan metodologi ushul fiqih yang menggunakan pola pikir deduktif
menghasilkan Fiqih;

3. Fiqih ini banyak materinya. Dari materi Fiqih yang banyak itu kemudian oleh ulama-
ulama yang mendalami ilmu di bidang Fiqih, diteliti persamaannya dengan menggunakan
pola piker deduktif kemudian dikelompokkan, dan tiap-tiap kelompok merupakan kumpulan
dari masalah-masalah yang serupa, akhirnya disimpulkan menjadi kaidah-kaidah Fiqih;

4. Selanjutnya kaidah-kaidah tadi dikritisi kembali dengan menggunakan banyak ayat dan
banyak hadits, terutama untuk dinilai kesesuaiannya dengan substansi ayat-ayat Al-Quran
dan hadits nabi;

5. Apabila sudah dianggap sesuai dengan ayat Al-Quran dan banyak hadits Nabi, baru
kemudian kaidah fiqih tersebut menjadi kaidah yang mapan;

6. Apabila sudah menjadi kaidah yang mapan/akurat, maka ulama-ulama Fiqih


menggunakan kaidah tadi untuk menjawab permasalahan masyarakat, baik di bidang sosial,
ekonomi, politik, dan budaya, akhirnya memunculkan hukum-hukum Fiqih baru;
B. Kitab kitab kaidah fikih baik empat madhab
1) Kitab-kitab Kaidah Fikih Madzhab Hanafi
a. Ta’sis al-Nazhar, Pengarang kitab ini adalah Abu Zayd al Dabbusi (w. 430 H). di
dalamnya terdapat delapan bab, dan setiap bab memuat beberapa al-ashlu, baik
yang berupa dlabith atau kaidah,dan setiap satu al ashlu memuat beragam contoh
dan persoalan-persoalan yang memiliki kemiripan karakter dan hukum (nadhoir).
Jika di hitung, semua al ashlu yang termaktub dalam kitab ini berjumlah sekitar 80
macam. Selain menyebutkan masalah-masalah yang masuk dalam satu al-ashlu,
beliau juga mencantumkan pendapat yang berbeda dengan al-ashlu yang
ditampilkan sebelumnya. Baik perbedaan intern ulama’ mazhab Hanafi, perbedaan
antara mazhab Hanafi dan mazhab Maliki, atau antara Hanafi dan Syafi’i. di
sinilah salah satu keistimewaan kitab ini, mampu merangkum pendapat lintas
mazhab dalam hampir seluruh kandungan kaidahnya.
b. Risalah al-Karakhi, Kitab ini ditulis oleh al-Karakhi,berisi 17 kaidah jumlahnya
mencapai 39 kaidah.dalam kitabnya ini al-Karakhi hanya memakai satu
istilah,yani ”al-ashlu” baik untuk menunjuk kaidah,dlabith,atau pedoman
bermadzhab bagi ulama Hanafiyyah,sehingga milik Abu Thahir al-Dabbas dan
ditambah kaidah-kaidah lain milik al-Karakhi hingga tidak ada pemilahan antara
kaidah,dlabith,maupun pedoman madzhab
c. Al-Furuq, Penulisnya adalah As’ad bin Muhammad bin al Hasan al Karabisy (w.
570 H).sesuai dengan namanya,kitab ini secara khusus membahas perbedaan
furuqyiyah atau perbedaan-perbedaan dalam berbagai persoalan fiqh. al Karabisy
menyusun kitab ini sesuai urutan kitab-kitab fiqh.
d. Syarah Risalah al Karakhi, Ditulis oleh Najm Al Din al Nasafi (wafat 537 H) dan
secara khusus mengomentari serta mengulas kaidah-kaidah yang terdapat dalam
Risalah al Karhi. Setiap satu kadah yang ditulis al Karhi diberi penjelasan oleh al
Nasafi dan disertai contoh-contohnya.
e. Al-Asybah wa al-Nazha’ir, Kitab ini ditulis oleh Zainuddin bin Ibrahim (w. 980
h), metodologi penulisan al-asybah karya Ibn Nujaym ini hampir menyerupai al-
asybah wa al-nazhair karya al-Suyuthi. Kitab yang terkenal ini terdiri dari tujuh
fan (bagian): pertama tentang kaidah fiqh; kedua dlabith fiqh; ketiga metode
mengetahui persamaan dan perbedaan istilah-istilah; keempat membahas tentang
algahaz; kelima mengenai al- hiyal; keenam tentang persoalan yang mempunyai
persamaan karektarestik dan hukum disertai perbedaan masing-masing; ketujuh
memuat profil Imam Hanafi dan semua ashhab-nya dari masa ke masa.
Keistimewaan dari kitab ini beliau selalu menyebutkan bab-bab fiqh yang masuk
dalam setiap kaidah beserta contoh-contohnya.
f. Talqih al uqul fi furuq manqul, Kitab ini ditulus oleh Ahmad bin Abdillah bin
Ibrahim al-Mahbubi (w. 630 H). Dan secara khusus mengkaji furuqqiyyah. Beliau
merangkai setiap setiap pembahasan sesuai dengan mengikuti urutan bab fiqih
g. Ghamz uyun al-basha’ir, Penulisnya adalah Ahmad bin Muhammad al-Hamawi
(w. 1098 h). Kitab ini merupakan syarh dari kitab al-asybah wa al-nazhair karya
Ibn Nujaym. Dan merupakan syrah terbesar yang terdiri empat jilid.secara khusus
kitab ini mengurai dan menjelaskan kandungan kitab al-Asybah wa al-Nazha’ir
karya Ibn Nujaym.
h. Majami’ al-haqa’iq, Kitab ini ditulis oleh Abu Sa’id Muhammad al-Khadimi (w.
1176 H) yaitu seorang ulama’ kelahiran Turki. Didalam kitab ini terkandung 1504
kaidah fiqh dan ditulis sesuai urutan huruf hijaiyyah.Tapi sayangnya di tulis
secara singkat tanpa diberi penjabaran yang berarti.
i. Ittihaf al-abshar wa al-bashar’ir fi tabwib al-asybah wa al-nazha’ir, Ditulis oleh
Muhammad Abi al-Fatih seorang mufti Iskandariyyah dan diproyeksikan untuk
mengulas dan mengklarafasikan kandungan kitab al-asybah wa al-nazha’ir karya
Ibn Nujaym.
j. Al-tahqiq al-bahrir, Ditulis oleh Muhammad Hibbatullah bin Muhammad al-Taji
(w. 1224 h) dan merupakan salah satu kitab syarah terbesar dari kitab al-asybah
wa al-nazha’ir karya Ibn Nujaym,terdiri dari 6 jilid.Menurut hitungan Abdullah al-
Sya’lani jumlahnya mencapai 2004 halaman.
2) Kitab-kitab Madzhab Maliki
a. Al-Nazhair, Kitab ini ditulis oleh Qodli Abdul Wahhab Al Baghdady (w. 422
H),beliau adalah ulama pertama yang menulis kitab kaidah fiqh madzhab maliki.
Kitab ini khusus mengkaji masalah-masalah fiqhiyyah yang mempunyai
kemiripan karakter hukum. Kitab ini sangat unik, karena nama penulis tidak
tercantum pada sampul kitab yang masih berupa manuskrip yang belum di cetak.
Keunikan lain dari kitab ini terdapat dalam segi penulisan kaidahnya. Jika penulis
lain mencantumkan satu dlabith atau satu kaidah untuk mengkaji beragam
persoalan, maka Abdul Wahhab tidak demikian. Beliau memulai setiap satu
kaidah dengan satu tema khusus, kemudiatema tersebut dikembangkan hukumnya
ke dalam setiap bab fiqh.
b. Anwar al-buruq fi anwa’ al-furuq, Ini salah satu kitab terpopuler dikalangan
madzhab Maliki. Ditulis oleh syihabudin ahmad bin idris al-qarafi (w.648 h),
memuat 548 kaidah dengan desain yang apik, jelas, dan enak dibaca, walaupun
tidak disusun secara sistematis. Didalamnya terkandung kaidah-kaidah
dasar,kaidah usulhiyyah, kaidah furu’iyyah, dan kaidah lughowiyyah. Contoh
kaidah ushuliyyah kajian tentang ‘illat dan syarat, fatwa dan hukum, serta khitab
tentang taklifi dan khitab wadl’i, atau kaidah bay’ dan qardl, milk dan tasarruf,
dan lain sebagainya.
c. Idrar al-syuruq ala anwa’ al-furuq, Kitab ini adalah syarah dari anwar al buruq fi
anwa’ al furuq, karya al Karrafi. Ditulis oleh Sirojuddin Qasim bin Abdillah al
Ansari (wafat 723 H) kitab ini mendapat sambutan baik dari kaum intelektual di
zamannya karena dalam kitab ini termuat penjelasan dan koreksi atas berbagai hal
yang ditulis al Qarrafi dalam al furuq.
d. Mukhtashar qawaid al-Qarrafi, Kitab ini merupakan catatan pinggir(hamisyi) dari
kitab al furuq yang ditulis oleh Abu Abdillah Muhammad bin Ibrohim al Baqurii
(wafat 707 H). Beliau memilah kaidah-kaidah yang ditulis al Karrafi sesuai bidang
studinya masing-masing. Misalnya, kaidah fiqhiyyah diberi porsi tersediri,
begitupun dengan kaidah ushuliyyah dan kaidah lughowiyyah. Dengan demikian
sistematika penulisan al furuq yang cenderung acak dan tidak tertata rapi, melalui
kitab ini menjadi lebih apik dan enak dibaca.
e. Mukhtashar anwar al buruq, Kitab ini juga merupakan ringkasan dari anwar al
buruq fi anwa’ al furuq milik al Qarrafi. Pengarangnya adalah Syamsuddin Abi
Abdillah Muhammad al Rubu’. Kitab ini belum beredar secara umum. Dan
manuskripnya dapat ditemukan di perpustakaan Al Azhar Kairo.
f. Al-Qawaid dan ’Amalu man Thabba liman Habba, Dua kitab ini ditulis oleh Abu
Abdillah Muhammad bin Muhammad bin Ahmad Al Maqqari (wafaf 758 H).
kitab pertama memuat sekitar seribu dua ratus kaidah dan disusun sesuai urutan
bab fiqh. Kaidah yang terkandung dalam kitab ini umumnya tidak disertai dasar
pengambilan dalil, dan juga punya redaksi yang panjang. Kitab ini memang lebih
intens mengkaji furu’ madzhab Maliki, terutama dalam masalah-masalah
khilafiyyah. Kitab ini juga memuat studi khilaf lintas madzhab. Kajian komperatif
inilah yang memberikan nilai lebih bagi kitab ini. Kitab kedua, dibagi oleh al
maqarri dalam empat bagian. Yang paling menarik adalah, bagian kedua yang
mengkaji persoalan fiqhiyyah sebanyak 500 masalah, serta bagian ketiga yang
memuat 200 kaidah fiqhiyyah. Sayangnya ke 200 kaidah itu dikaji secara singkat
tanpa contoh,serta tidak tersusun secara sistematis.
g. Al qawanin al fiqhiyyah, Ditulis oleh, Muhammad bin Ahmad Aljizi (wafat 741
H). memuat rumusan hukum madzhab Maliki dan sekaligus catatan mengenai
rumusan fiqh madzhab Maliki, Syafi’i, dan Hambali. Model penulisannya adalah
mula-mula menyebutkan madzahab Maliki, lalu dirangkai dengan pendapat tiga
madzhab lainnya. Yang agak unik dari kitab ini adalah dicantumkannya sepuluh
bab yang berisi kajian tauhid pada permulaannya. Dan bagian akhir kitab ini berisi
sejarah dan kisah para pemimpin, serta studi tentang ilmu adab. Keistimewaan
kitab ini barang kali terletak pada stimulus pengarang dalam menggunakan
pertanyaan dan menyebutkan perbedaan jawabannya.
h. Al-mudzahhab fi Dlabit Qawa’id al-Madzhab, Ditulis oleh Abu Abdillah
Muhammad bin Ahmad (w. 889 H), ini merupakan kitab satu-satunya madzhab
maliki yang dikarang pada abad ke9 Hijriyyah.sayangnya kitab ini belum di cetak
dan masih berupa naskah dokumentasi.
i. Al-Manhaj al-almuntakhab, Ditulis oleh Abu al-Hasan Ali bin Qasim al-Ziqaq
(wafat 912 H) kitab ini ditulis dalam bentuk nazhom dan secara khusus mengkaji
koleksi kaidah Imam Malik. Jumlah keseluruhannya mencapai 437 bait.
j. Idlah al-masalik ila qawa’id imam malik dan iddat al-buruq fi talkhis ma fi al-
madzhab min al- jumu’ wa al- furu’, Dua kitab ini ditulis oleh Abu al- Abbas
Ahmad bin Yahya al- Wansyarisi ( w. 914 H). Kitab yang pertama dicetak dalam
satu jilid. Kaidah-kaidah yang tercantum di dalam kitab ini ditulis secara acak dan
tersebar di berbagai halaman, bahkan banyak diantaranya ditulis dengan nada
pertanyaan. Beliau belum memilah antara kaidah fiqhiyyah dan ushuliyyah.
Kaidah yang termuat dalam kitab ini secara keseluruhan berjumlah 118.
3) Kitab-kitab Madzhab Syafi’i
a. Al Furuq, Pengarang kitab ini ialah Muhammad Adillah bin Yusuf bin Abdillah al
Juwaini (w. 438 H)yang merupakan penulis pertama kitab kaidah fiqh madzhab
Syafi’i. Kitab ini secara khusus membahas masalah-masalah furuqiyyah
(perbedaan-perbedaab istilah fiqh) beliau mengkaji ilmu furuq pada permulaan
kitabnya, disertai dengan perbedaan prinsip di antara beragam masalah yang
memiliki keserupaan, lalu diteruskan dengan kajian seputar perbedaan masalah-
masalah ushuliyah, baru kemudian masuk pada pokok bahasan yakni masalah
furuqiyyah.
b. Al Furuq, Pengarang kitab ini ialah Abu al Abbas Ahmad bin Muhammad al
Jurjani (w. 482 H). Beliau juga mengulas masalah-masalah furuqiyyah mazhab
Syafi’i dalam kitab dengan mengikuti model penulisan sesuai urutan bab Fiqh,
disamping penyisipan beberapa catatan penting dalam setiap kajiannya.
c. Al-qawa’id fi furu’ al-syafi’iyyah, Pengarang kitab ini adalah Abu Hamid
Muhammad bin Ibrahim al-Jajurmi (w. 613 H). Kitab ini mendapat sambutan
hangat dari para ulama’ dan pelajar, terutama pada masa hidup sang
pengarang.kitab ini masih berupa manuskrip dan belum dicetak.
d. Takhrij al-furu’ ala al-ushul, Penulis kitab ini adalah Abu al-Manaqib
Syihabuddin Mahmud al-Zanzani (w. 656 H). Model penulisan kaidah dalam kitab
ini selalu di awali dengan penyebutan satu kaidah disertai dengan metedologi
istinbath (ushul fiqih) dari dua pendiri madzhab, yakni Syafi’i dan Hanafi,
kemudian menyebutkan sebagai furu’ fiqhiyyah yang termasuk cakupan kaidah
bersangkutan.
e. Qawaid al-ahkam fi mashalih al-anam, Ditulis oleh Izzuddin bin Abd as-Salam
(w. 660 h), seorang ahli ushul fiqih, ushul, gramatika arab, dan tafsir madzhab
Syafi’i. Dalam kitab ini, beliau marangkum semua permasalahan fiqhiyyah hanya
dalam satu ‘patron’ dasar, yakni i’tibar al-mashalih wa dar’ al-mafasid. Kitab ini
memang sengaja ditulis oleh beliau untuk mengulas tujuan utama syariat yang
menurut bliau hanya tertuang dalam satu asas,yakni mengcapai cita kemaslahatan
umat dengan prinsif dasar tahshil al-mashalil dan dar’ al-mafasid atau yang biasa
disebut dengan jalb mashalil wa dar’ al-mafasid (menggapai kemaslahatan dan
menolak kerusakan).
f. Al Asybah wa al Nadhair, Ditulis oleh Shadruddin Muhammad bin Umar atau
dipanggil Ibnu Wakil (wafat 716 H). Kitab ini merupakan kitab kaidah pertama
yang diberi nama al-Asybah wa al-Nazha’ir dan mengkaji kaidah-kaidah fiqh
yang digali langsung dari beragam persoalan fiqhiyyah yang memiliki kesamaan
karakter dan hukum.
g. Al Fawaid Al jassam Ala Qawaid ibnu abd Al Salam, Umar bin Ruslan Al Bulqini
(Wafat 805 H) adalah penulis kitab ini. Kitab ini merupakan syarah dari kitab Al
Qawaid Al Ahkam karya Izzuddin bin abd Al Salam.syarah ini termasuk kritis
sekaligus sistematis dalam mengupas Qawa’id al-Ahkam. Beliau biasanya
memulai setiap persoalan dengan terlebih dahulu menulis naskah asli Izzuddin.
Kemudian diteruskan dengan tanggapan seputar tulisan itu, tanggapan bisa
dimaksud berbentuk penjelasan, catatan, koreksi, bahkan kritik atas pendapat
Izzuddin.
h. Al Majmu’ Al Mudzahhab fi Qawaid Al Madzhab dan Al Ashibah wa Al Nadhair
fi Furu’ Al Fiqh As Syafi’i., Dua kitab ini ditulis oleh Salahuddin Kholil bin Kay
Kaylili Ala’i (wafat 761 H). Beliau memberi banyak tambahan atau catatan atas
Al Asyibah karya Ibnu Wakil, serta menyusunnya dengan sangat sistematis,
khusus untuk kaidah-kaidah yang terkandung dalam kitab Al Majmu’ Al
Mudzahhab oleh beliau dipilih dalam media tiga medium pokok: yakni lima
kaidah dasar, kaidah-kaidah ushul, dan kaidah-kaidah fiqh.
i. al-Asybah wa al- Nadho’ir, Penulisnya adalah Tajuddin abdul Wahab bin Ali bin
Abdul Al Kafi Al Subuki (wafat 771 H). Kitab ini dimaksudkan untuk
memodifikasi isi kitab Asyibah wan Nadhoir karya ibnu Wakil. Beliau memilah
kitab ini kedalam bab-bab berikut, pertama bab kaidah dasar, kedua bab kaidah-
kaidah yang mengandung furu’ dalam berbagai bab fiqh, ketiga bab kaidah-kaidah
yang hanya masukl dalam bab fiqh, keempat kajian masalah-masalah kalamiah
yang memunculkan furu’-furu’ fiqhiyyah, kelima pembahasan tentang pesoalan-
persoalan ushuliyyah yang memuat furu’-furu’ fiqhiyyah, keenam, bab seputar
istilah-istilah arab atau kaidah-kaidah nahwuyang mempunyai persamaan prinsip
dengn kaidah-kaidah fiqhiyyah, ketujuh, bab mengenai sebab-sebab terjadinya
perbedaan pendapat dikalangan fuqaha’ beserta landasan dalil masing-masing
pendapat dan contoh-contoh konkritnya, kedelapan, pembahasan berbagai prinsip-
prinsip fiqhiyyah yang sangat terperinci dan nyaris lengkap, seperti kajian lengkap
hakikat dzimmah, dhobith, tentang khulu’ atau kajian seputar Al ghaz.bagian
terakhir ini dibagi dalam berbagai kaidah, faidah, dlobith, maupun fasal.
j. Nuz-hat al-nawazhir fi riyadl al-nazhar-ir dan mathali’ al-daqa’iq fi tahrir al-
jawami’wa al-fawariq, Dua kitab ini ditulis oleh jamaluddin abdurrahim bin al-
hasan al-isnawi (w 772 h).kitab yang pertama bagian awalnya memuat beragam
masalah nazha’ir,dan pada bagian akhirnya mengulas persoalan fiqh di tinjau dari
aspek perbedaan dan persamaaanya,metode ini merupakan pendekatan baru yang
belum pernah ada sebelumnya. Dan kitab yang kedua, beliau berupaya
menjelaskan setiap dua persoalan fiqhiyyah dan dua aspek sekaligus, aspek
persamaan (jami’) dan titik perbedaan (fari’), dengan menerangkan latar belakang
masalah, kemudian titik temunya, serta perbedaan-perbedaan prinsipil keduanya.
Kitab ini disusun oleh beliau sesuai urutan bab-bab fiqh, ditambah catatan penting
soal fiqhiyyah.

4) Kitab-kitab Madzhab Hambali


a. Al-furuq, Inilah kitab pertama karya ulama’ madzhab hambali, ditulis oleh Abu
Abdillah Muhammad bin Abdillah al-Samuri (w. 616 h), kitab ini membatasi
kajiannya hanya pada masalah-masalah furuqiyyah. Salah satu keistimewaannya
terletak pada salah satu upaya penulisnya untuk selalu mengomparasikan setiap
perbedaan prinsip antar persoalan fiqih dipandang dari sisi yuridisnya, baik al-
qur’an maupun hadist. Sayangnya kitab ini belum di cetak dan manuskripnya
berada di perpustakaan Imam bin Sa’ud al-Islamiyyah, Riyadl, Arab Saudi.
b. Al-qawaid al-nuraniyyah al-fiqhiyyah, Kitab ini ditulis oleh syaikhul islam ahmad
bin taimiyyah (w. 728 h).jika di lihat dengan sekilas kitab ini agaknya Cuma
membahas persoalan khilaf antar ulam’ dan tidak sedikitpun mencerminkan
sebagai kitab kaidah. Padahal tidak demikian, didalamnya terdapat kajian ilmun
fiqh walaupun dengan porsi terbatas. Beliau memang tidak menulis secara
eksplinsit kaidah-kaisdah fiqh yang tetuang dalam kitab ini, sehigga di butuhkan
penalaran dalam untuk memahaminya.
c. Al-qawa’id al-shurga dan alqwa’id al-kubra, Ditulis oleh Najam al-Din Sulaiman
bin Abd al-Qawi al-Thufi (w. 716 h).kitab ini secara khusus mengkaji kaidah-
kaidah fiqh madzhab hambali tampa mengaitkannya dengan madzhab yang lain.
d. Al-Qawa’id al-Fiqhiyyah, Ditulis oleh Ibn Qadli al-Jabal Ahmad bin al-Hasan (w.
771 h), kaidah-kaidah yang terkandung dalam kitab ini umumnya bebentuk kalam
matsal (pribahasa) yang sangat ringkas, sehingga membutuhkan penalaran dan
pencernaan yang mendalam untuk memahami isi yang terkandung.
e. Al-idlah fi al-fiqh al-islami, Kitab yang memuat sekitar 160 kaidah ini ditulis oleh
Abu al-Farj Abdurrahman bin Rajab (w. 795 h) dan disusun sesuai urutan bab
fiqh. Kaidah-kaidah yang tertulis di dalamnya disusun sesuai tema-tema tertentu,
dan rata-rata mempunyai redaksi yang panjang. Di dalamnya juga terdapat catatan
penting madzhab hambali yang bisa menambah kekayaan pengetahuan bagi si
pembacanya. Selain itu beliau di dalam kitab ini belum memilah antara kaidah dan
dlabith.
f. Mughni Dzawi al-afham al-kutub al-katsirah fi al-ahkam, Kitab ini ditulis oleh
Jamaluddin Yusuf bin Abd al-Hadi (w. 909 H). Kitab ini lebih banyak
mengintensifikasi pembahasan pada furu’iyyah. Namun pada bagian akhirnya
banyak menyinggung kajian kaidah-kaidah fiqh yang ditulis secara acak dan tanpa
urutan yang jelas. Jumlahnya mencapai 70-an kaidah.
g. Risalah fi al-qawa’id, Kitab ini merupakan syarah dari nazham yang ditulis
pengarangnya(w. 1379 H), sendiri,yaitu Abdurrahman bin al-Nashir al-Sa’adi
yang hanya berjumlah 47 bait, sehingga kaidah –kaidah yang tertulis didalamnya
tidak terlalu banyak.

KESIMPULAN

Dapatlah kiranya kita mengambil benang merah dari uraian di atas tentang perjuangan
gigih para ulama untuk melestarikan fan-fan ilmu dan cita-cita luhur untuk selalu berkarya.
Bisakah kita sebagai generasi meneruskan,merawat,mempelajari dan menyempurnakan
khazanah keilmuan yang begitu agung dimasa lampau hinga dapat mencapai masa
keemasanya kembali. Itulah beban berat yang tertancap dipundak kita sebagai generasi yang
berkaidah

C. Perkembangan dari masa ke masa/ abad ke abad.


Sejarah qawa’id fiqhiyyah sebenarnya tidak terlepas dari masa terdahulu, yaitu
padamasa Nabi Muhammad SAW, masa Sahabat, dan masa Tabi’in.
Pada masa-masa ini keberadaan sebuah ilmu masih dalam bentuk bakunya yang
bersumber dalam Al-Quran maupun keterangan-keterangan Nabi Muhammad yang
dikenal dengan Sunnah.Konteks keilmuan secara umum pada abad-abad pertama
belum memiliki sistematika dan metodologi khusus. Hal ini disebabkan segala
persoalan yang di hadapai ketika itu dijelaskan secara langsung oleh Nabi
Muhammad. Akibatnya ijtihad yang masih berada diantara benar atau salah tidak
diperlukan. Akan tetapi, benih-benih kaidah sebenarnya sudah ada semenjak masa
Nabi.
Sulit diketahui siapa pembentuk pertama kaidah fiqih yang jelas dengan
meneliti kitab-kitab kaidah fiqih dan masa pembentukannya secara bertahap dalam
proses sejarah hukum Islam. Walaupun demikian, dikalangan ulama dibidang fiqih
menyebutkan bahwa Abu Thahir al-Dabbas, ulama dari mazhab Hanafi yang hidup
diakhir abad ke-3 dan awal abad ke-4 H telah mengumpulkan Kaidah fiqih mazhab
Hanafi sebanyak 17 kaedah.
Masa perkembangan berlangsung dari permulaan al-qawa’id al-fiqhiyah
sebagai suatu ilmu yang berdiri sendiri. Hal ini terjadi sejak akhir abad pertama
hijriyah sampai masa imam mazhab pada pertengahan abad keempat hijriyah, namun
semangat untuk melakukan ijtihad dikalangkan ulama menurun bersamaan dengan
telah dibukukan fiqh dengan berbagai corak mazhabnya, sebagian ahli fiqh
melakukan takhrij dari berbagai mazhab fiqh untuk menetapkan hukum terhadap
sejumlah peristiwa baru yang belum ada ketetapan hukumnya dalam nash. Dalam hal
ini, Ibn Qaldum mengemukakan: ketika mazhab setiap imam menjadi ilmu tersendiri
dikalangkan pengikut mazhabnya.
Dengan menggunakan metode takhrij terhadap masalah, ahli fiqh mulai
menggunakan ungkapan dengan istilah baru dinamakan al-qadawaid dan dhabit atau
al-furuq. Istilah al-furuq dipakai ketika ditemukan sejumlah masalah fiqh yang
kelihatan sama secara lahir sehingga diduga sama hukumnya, namun secara hakikat
hukum antara masalah fiqh itu berbeda. Dengan berbeda suatu masalah dengan
masalah yang mirip dengannya berimplikasi berbeda pula hukum setiap masalah
Pada abad keenam hijrah muncul kitab Idhah al-Qawa’id yang ditulis oleh
Ala’i al-Din Muhammad bin Ahmad Al-Samarkindi (w. 540 H), memasuki abad
ketujuh hijrah sebagai sebuah ilmu al-Qawa’id al-Fiqhiyah mengalamai kemajuan
pesat.
Pada abad ke-8 H, ilmu qawa’id fiqhiyah mengalami masa keemasan, ditandai
dengan banyak bermunculannya kitab-kitab Qawaid fiqhiyah.
Dalam hal ini, ulama Syafi’iyyah termasuk yang paling kreatif. Diantara karya-karya
besar yang muncul dalam abad ini adalah:
 Al-Asbah wa an-Nazhair karya Ibnu al-Wakil al-Syafi’I (w.716 H)
 Kitab al-Qawa’id karya al-Maqqari al-Maliki (w. 758 H)
 Al-Majmu’ al-Mudzhab fi Dhabt al-Madzhab karya al-‘Alai al-Syafi’I (w.761
H)
 Al-Sybah wa al-Nazair, karya Tajuddin al-subkhi al-Syafi’i (w.771 H)
 Al-Sybah wa al-Nazair, karya jamaluddin Al-isnawi Al-syafi’i (w.772 H)
 Al-Mantsur fi al-qawaid, karya bahruddin al-Zarkasyi al-Syafi’I (w.794 H)
 Al-Qawa’id fi al-fiqhi, karya ibnu rajab al-hambali (w.795)
 Al- Qawa’id fi al -Furu’, karya Ali bin Utsman al-Ghazi (w.799).

Karya-karya besar yang mengkaji qawaid fiqhiyah yang disusun pada abad IX H
banyak mengikuti metode karya-karya abad sebelumnya. Di antara karya-karya
tersebut adalah:
 Asman al-Maqhasaid fi tahrir al-Qawa’id, karya Muhammad bin Muhammad
Al-Zubairiy (w.707 H)
 Al-qawa’id, karya ibnu Haa’im al-Mqdisi (w.713 H). di samping itu, dia juga
menyeleksi kitab, Al- majmu’u Al- Muhadzab fi Qawa’idi Al-Mazhab,
karyaal-‘Ala’i. kitab itu ia beri nama ; Tahriru Al-Qawaidi al-‘Alayyah wa
Tamhidual-Masaliki Al-fiqhiyyah
 Kitab al-Qawa’id karya Ibnu al-Mulaqqan (w. 804 H)
 Kitab al-Qawa’id karya Taqi al-Din al-Hishna (w. 829 H)
 Nazmu al-dakhoir fi al-asybah wa al-Nazair, karya Abdurrahman bin ali
almuquddasi yang biasa di panggil dengan;syuqair (w.876 H), dan
 Al- Qawa’id wa al - dhawabid karya abdul hadi (w. 880 H).
Dengan demikian, ilmu qawaid fiqhiyah berkembang secara berangsur-angsur.
Pada abad X H, hijrah ini juga tampil Ibn Nujaim (w. 970 H) menyusun kitabnya
yang berjudul al-Asbah wa al-Nazhair dengan berpedoman pada kitab Ibn Subki dan
al-Suyuthi.
Setelah melewati masa pertumbuhan, masa perkembangan dan masa
kodifikasi akhirnya tibalah pada penyempurnaan kaedah fiqhiyah yang dilakukan oleh
para pengikut dan pendukungnya. Periode ini ditandai dengan munculnya kitab
Majallah al Ahkam al-Adliyyah Melalui pengumpulan dan penyeleksian kitab-kitab
fiqh yang kemudian dibukukan dan di gunakan sebagai sumber acuan dalam
menetapkan hukum di beberapa Mahkamah pada masa pemerintahan Sultan Al Ghazi
Abdul Aziz Khan al Utsmani Pada akhir abad ke-13 H.

KESIMPULAN

Kaidah-kaidah yang terdapat dalam lembaran-lembara kitab fiqh yang ditulis oleh
para pendiri dan pemuka madzhab seluruhnya bukan berupa kaidah umum, namun masih
dalam bentuk qa’idah madzhab. Dalam artian, kaidah itu hanya sesuai pada suatu maszhab
tertentu tidak pada madzhab lain.

Sebagian besar kaidah yang dibukukan pada abad-abad belakang atau sekarang,
ternyata telah dikemukakan oleh para ulama sebelumnya dengan redaksi yang berbeda.
Misalnya dalam Majallat al-Ahkam al-‘Adliyyah ada kaidah‫( االقرار حج––ة قاص––رة‬pengakuan
adalah hujjah yang terbatas). Dengan redaksi yang berbeda, kaidah ini telah dkemukakan al-
Karkhi dalam kitabnya Risalah al-Karkhi (ushul al-karkhi) sebagai berikut: ‫ان المرء يعامل فى حق‬
‫(نفسه كما اقربه وال يصدق على ابطال حق الغير وال بالزام الغ––ير حقا‬orang menggunkan hak pribadi sesuai
dengan pengakuannya. Ia tidak dapat membatalkan hak orang lain atau menetapkan hak
kepadanya).

D. Kaitannya dengan hukum pidana


Hukum pidana dalam Islam sering disebut dalam fikih dengan istilah jinayah
atau jarimah. Pada dasarnya pengertian dari istilah jinayah mengacu kepada hasil
perbuatan seseorang. Biasanya pengertian tersebut terbatas pada perbuatan yang
dilarang. Dikalangan fuqaha’, perkataan jinayah berarti perbuatan terlarang menurut
syara’. Istilah yang sepadan dengan istilah jinayah adalah jarimah yaitu larangan-
larangan syara’ yang diancam Allah dengan hukuman had atau ta’zir.

Berdasarkan uraian diatas dapat di jelaskan bahwa jinayah adalah semua


perbuatan yang diharamkan. Perbuatan yang diharamkan adalah tindakan yang
diharamkan atau dicegah oleh syara’ (hukum Islam). Apabila dilakukan perbuatan
tersebut mempunyai konsenkuensi membahayakan agama jiwa, akal kehormatan dan
harta benda. Adapun pengertian jarimah adalah laranganlarangan Syara’ (yang apabila
dikerjakan) diancam Allah dengan hukuman had atau ta’zir.

Istilah jarimah identik dengan pengertian yang disebut dalam hukum positif
sebagai tindak pidana atau pelanggaran. Maksudnya adalah di istilahkan dengan
tindak pidana pencurian, pembunuhan dan sebagainya. Jadi dalam hukum positif
jarimah diistilahkan dengan delik atau tindak pidana. Kesimpulan yang dapat kita
ambil dari kedua istilah tersebut adalah bahwa kedua istilah tersebut memiliki
kesamaan dan perbedaan secara etimologis, kedua istilah tersebut bermakna tunggal,
mempunyai arti yang sama serta dtunjukkan bagi perbuatan yang berkonotasi negatif
salah atau dosa. Adapun perbedaannya terletak pada pemakaian, arah pembicaraan,
serta dalam rangkaian apa kedua kata itu digunakan. Suatu perbuatan dianggap
sebagai jarimah karena perbuatan tersebut telah merugikan kehidupan masyarakat,
kepercayaan dan agamanya sedangkan disyari’atkan hukuman untuk perbuatan yang
dilarang tersebut adalah untuk mencegah manusia agar tidak melakukannya karena
suatu larangan atau perintah (kewajiban) tidak berjalan dengan baik apabila tidak
dikenai sanksi pelanggarannya

KESIMPULAN

Kaitannnya pidana dalam sering disebut dalam fikih dengan istilah jinayah
atau jarimah. Istilah jinayah mengacu kepada hasil perbuatan seseorang. Jinayah
adalah semua perbuatan yang diharamkan, tindakan yang diharamkan atau dicegah
oleh syara’ (hukum Islam). Istilah jarimah identik dengan hukum positif sebagai
tindak pidana atau pelanggaran.

Anda mungkin juga menyukai