م ْن ِزلةُ ْالوالِ ْي ِمن الرّا ِعي ِة كم ْن ِزل ِة ْالولِ ِّي ِمن ْاليتِي ِْم
"Kedudukan seorang pemimpin terhadap rakyatnya seperti kedudukan
wali kepada anak yatim"
Kata-kata Imam al-Syafi'i ini setelah ditelaah ulama-ulama lain, terutama
ulama di bidang fiqih siyasah, akhirnya memunculkan kaidah tersebut di atas. Hanya
saja sesudah jadi kaidah fiqih yang mapan dan dilegitimasi Al-Quran dan Sunnah,
kaidah tadi menjadi sumber dan di bawah kaidah itu dimunculkan kembali Fiqih
bahkan dikelompokkan lagi, inilah yang kita lihat di dalam kitab-kitab kaidah Fiqih,
setelah kaidah-kaidah Fiqih itu dibukukan.
Di dalam proses pengujian kaidah-kaidah Fiqih oleh Al-Quran dan Sunnah
sering bertemu kaidah dengan hadits, maka hadits tersebut jadi kaidah, seperti:
والي ِمي ُْن على ْال ُم ّدعى عل ْي ِه
ْ ْالبيِّنةُ على ْال ُم ّد ِع ْي
"Bukti/keterangan wajib disampaikan oleh penggugat dan sumpah
wajib diberikan oleh yang mengingkari/tergugat" (HR. Muslim dari Ibnu
'Abbas),
Kaidah ini berasal dari banyak materi Fiqih, karena di dalam Fiqih, nilai suatu
perbuatan tergantung kepada niatnya. Di dalam ibadah, apakah niat ibadah itu wajib
atau sunnah, dilaksanakan tepat waktu atau dengan cara qadha. Dalam muamalah,
apakah menyerahkan barang itu dengan niat memberi (hibah) atau meminjamkan.
Dalam jinayah apakah perbuatan criminal itu dilakukan karena kesengajaan (dengan
niat) atau kesalahan (tanpa niat) dan seterusnya, semua itu hukumnya dilandaskan
kepada niat, maksud dan tujuannya.
Selain itu juga dirujukkan kepada tujuannya, baik atau buruk, apakah
tujuannya penipuan yang dilarang atau bertujuan baik untuk memberi manfaat kepada
manusia. Dari sini bisa diambil kesimpulan bahwa; Pertama, apabila dirujukkan
kepada hadits, dan ternyata hadits-hadits tadi sama dengan kaidah, maka hadits tadi
bisa menjadi kaidah di kalangan Ulama Fiqih. Kedua, kaidah yang dirujukkan kepada
pemahaman nash-nash (Al-Quran dan Al-Hadits), maka substansi pemahaman itulah
yang jadi kaidah. Seperti telah disinggung di muka, setelah menjadi kaidah yang
mapan, para ulama mengelompokkan kembali materi-materi Fiqih yang masuk dalam
kaidah tersebut dan apa-apa yang keluar (pengecualian) sebagai contoh-contoh
penerapan kaidah. Misalnya, dalam kitab al-Asybah wa al Nazhair, Imam al-Suyuthi
menjelaskan kaidah:
Kesimpulan
Dari pembahasan diatas maka dapat saya simpulkan bahwa proses pembentukan kaidah fikih
melalui beberapa tahapan yaitu:
2. Kemudian muncul ushul fiqih sebagai metodologi di dalam penarikan hukum (istibath
al-ahkam). Dengan metodologi ushul fiqih yang menggunakan pola pikir deduktif
menghasilkan Fiqih;
3. Fiqih ini banyak materinya. Dari materi Fiqih yang banyak itu kemudian oleh ulama-
ulama yang mendalami ilmu di bidang Fiqih, diteliti persamaannya dengan menggunakan
pola piker deduktif kemudian dikelompokkan, dan tiap-tiap kelompok merupakan kumpulan
dari masalah-masalah yang serupa, akhirnya disimpulkan menjadi kaidah-kaidah Fiqih;
4. Selanjutnya kaidah-kaidah tadi dikritisi kembali dengan menggunakan banyak ayat dan
banyak hadits, terutama untuk dinilai kesesuaiannya dengan substansi ayat-ayat Al-Quran
dan hadits nabi;
5. Apabila sudah dianggap sesuai dengan ayat Al-Quran dan banyak hadits Nabi, baru
kemudian kaidah fiqih tersebut menjadi kaidah yang mapan;
KESIMPULAN
Dapatlah kiranya kita mengambil benang merah dari uraian di atas tentang perjuangan
gigih para ulama untuk melestarikan fan-fan ilmu dan cita-cita luhur untuk selalu berkarya.
Bisakah kita sebagai generasi meneruskan,merawat,mempelajari dan menyempurnakan
khazanah keilmuan yang begitu agung dimasa lampau hinga dapat mencapai masa
keemasanya kembali. Itulah beban berat yang tertancap dipundak kita sebagai generasi yang
berkaidah
Karya-karya besar yang mengkaji qawaid fiqhiyah yang disusun pada abad IX H
banyak mengikuti metode karya-karya abad sebelumnya. Di antara karya-karya
tersebut adalah:
Asman al-Maqhasaid fi tahrir al-Qawa’id, karya Muhammad bin Muhammad
Al-Zubairiy (w.707 H)
Al-qawa’id, karya ibnu Haa’im al-Mqdisi (w.713 H). di samping itu, dia juga
menyeleksi kitab, Al- majmu’u Al- Muhadzab fi Qawa’idi Al-Mazhab,
karyaal-‘Ala’i. kitab itu ia beri nama ; Tahriru Al-Qawaidi al-‘Alayyah wa
Tamhidual-Masaliki Al-fiqhiyyah
Kitab al-Qawa’id karya Ibnu al-Mulaqqan (w. 804 H)
Kitab al-Qawa’id karya Taqi al-Din al-Hishna (w. 829 H)
Nazmu al-dakhoir fi al-asybah wa al-Nazair, karya Abdurrahman bin ali
almuquddasi yang biasa di panggil dengan;syuqair (w.876 H), dan
Al- Qawa’id wa al - dhawabid karya abdul hadi (w. 880 H).
Dengan demikian, ilmu qawaid fiqhiyah berkembang secara berangsur-angsur.
Pada abad X H, hijrah ini juga tampil Ibn Nujaim (w. 970 H) menyusun kitabnya
yang berjudul al-Asbah wa al-Nazhair dengan berpedoman pada kitab Ibn Subki dan
al-Suyuthi.
Setelah melewati masa pertumbuhan, masa perkembangan dan masa
kodifikasi akhirnya tibalah pada penyempurnaan kaedah fiqhiyah yang dilakukan oleh
para pengikut dan pendukungnya. Periode ini ditandai dengan munculnya kitab
Majallah al Ahkam al-Adliyyah Melalui pengumpulan dan penyeleksian kitab-kitab
fiqh yang kemudian dibukukan dan di gunakan sebagai sumber acuan dalam
menetapkan hukum di beberapa Mahkamah pada masa pemerintahan Sultan Al Ghazi
Abdul Aziz Khan al Utsmani Pada akhir abad ke-13 H.
KESIMPULAN
Kaidah-kaidah yang terdapat dalam lembaran-lembara kitab fiqh yang ditulis oleh
para pendiri dan pemuka madzhab seluruhnya bukan berupa kaidah umum, namun masih
dalam bentuk qa’idah madzhab. Dalam artian, kaidah itu hanya sesuai pada suatu maszhab
tertentu tidak pada madzhab lain.
Sebagian besar kaidah yang dibukukan pada abad-abad belakang atau sekarang,
ternyata telah dikemukakan oleh para ulama sebelumnya dengan redaksi yang berbeda.
Misalnya dalam Majallat al-Ahkam al-‘Adliyyah ada kaidah( االقرار حج––ة قاص––رةpengakuan
adalah hujjah yang terbatas). Dengan redaksi yang berbeda, kaidah ini telah dkemukakan al-
Karkhi dalam kitabnya Risalah al-Karkhi (ushul al-karkhi) sebagai berikut: ان المرء يعامل فى حق
(نفسه كما اقربه وال يصدق على ابطال حق الغير وال بالزام الغ––ير حقاorang menggunkan hak pribadi sesuai
dengan pengakuannya. Ia tidak dapat membatalkan hak orang lain atau menetapkan hak
kepadanya).
Istilah jarimah identik dengan pengertian yang disebut dalam hukum positif
sebagai tindak pidana atau pelanggaran. Maksudnya adalah di istilahkan dengan
tindak pidana pencurian, pembunuhan dan sebagainya. Jadi dalam hukum positif
jarimah diistilahkan dengan delik atau tindak pidana. Kesimpulan yang dapat kita
ambil dari kedua istilah tersebut adalah bahwa kedua istilah tersebut memiliki
kesamaan dan perbedaan secara etimologis, kedua istilah tersebut bermakna tunggal,
mempunyai arti yang sama serta dtunjukkan bagi perbuatan yang berkonotasi negatif
salah atau dosa. Adapun perbedaannya terletak pada pemakaian, arah pembicaraan,
serta dalam rangkaian apa kedua kata itu digunakan. Suatu perbuatan dianggap
sebagai jarimah karena perbuatan tersebut telah merugikan kehidupan masyarakat,
kepercayaan dan agamanya sedangkan disyari’atkan hukuman untuk perbuatan yang
dilarang tersebut adalah untuk mencegah manusia agar tidak melakukannya karena
suatu larangan atau perintah (kewajiban) tidak berjalan dengan baik apabila tidak
dikenai sanksi pelanggarannya
KESIMPULAN
Kaitannnya pidana dalam sering disebut dalam fikih dengan istilah jinayah
atau jarimah. Istilah jinayah mengacu kepada hasil perbuatan seseorang. Jinayah
adalah semua perbuatan yang diharamkan, tindakan yang diharamkan atau dicegah
oleh syara’ (hukum Islam). Istilah jarimah identik dengan hukum positif sebagai
tindak pidana atau pelanggaran.