Alasan Ulama’ yang menolak qiyas adalah karena tidak adanya dalil atau petunjuk pasti
yang menyatakan bahwa qiyas dapat dijadikan sumber hukum Islam. Contoh: Ibn Hazm,
beliau menolak qiyas karena menurutnya bila ada yang mengatakan bahwa terdapat
penyelesaian hukum yang tidak ada di Al-Qur’an dan Sunnah maka hal itu merupakan
metode yang batal. Dia juga menganggap bahwa kaum muslimin tidak dituntut untuk
mencari sebab-sebab perintah Tuhan. Jika seseorang mengambil sebab suatu ketetapan
hukum dan menganggap bahwa itu juga yang dikehendaki Tuhan, hal itu merupakan
keputusan yang sewenang-wenang. Dia juga berpendapat bahwa nash-nash itu tidak
perlu dicari illat –nya (yang perlu dikeluarkan agar dapat meng-istinbath-kan hukum
dengan qiyas) di sini beliau berpegang pada Al-Qur’an Q.S Al-Anbiya’:23 yang artinya:
“Dia tidak ditanya tentang apa yang diperbuatNya dan merekalah yang akan ditanyai.”
Dalam masalah Q.S An-Nahl Ibn Hazm mengartikan kata “i’tabiru” dengan makna
pelajaran.
Contoh lain yang menolak qiyas: Madzhab Syi’ah Imamiyah dan madzhab Zahiriyah
misalnya, mereka tidak mengakui keberadaan qiyas apalagi menerima atau
menggunakannya sebagai salah satu sumber hukum Islam karena kewajiban
mengamalkan qiyas adalah sesuatu yang bersifat mustahil menurut akal.
Contoh:
a. Tentang krisis ekologi. Kyai Sahal memandang penggunaan alam harus didasarkan
pada aspek manfaat dan mafsadat, untuk menunjang kebutuhan dan kehidupan yang
terdiri dari tiga kategori, yakni kebutuhan mendesak (dharuri), kebutuhan dasar
(hajji), dan kebutuhan sekunder (tahsinni). Pemenuhan itu harus sesuai dengan skala
prioritas dan ditujukan untuk kepentingan bersama. Kemaslahatan disini tetap pada
pertimbangan pemungsian alam untuk kepentingan masyarakat secara umum.
b. Tentang ekonomi sosialis. Umat manusia sebagai subyek ekonomi dibebankan untuk
berikhtiar sesuai dengan kadar kemampuan masing-masing. Taklif (pembebanan) ini
berimplikasi pada banyak hal. Meskipun ekonomi sendiri bukan komponen fiqh,
ikhtiar dalam arti luas adalah terkait erat dengan persoalan uasaha ekonomis. Dalam
hal ekonomi Islam, diterapkan pokok-pokok ekonomi secara umum yaitu pertanian,
perindustrian (termasuk juga kerajinan), dan perdagangan. Dalam pelaksanaannya,
diharuskan mempertimbangkan kepentingan antara penjual dan pembeli, tidak
diperkenankan mengambil keuntungan yang melebihi batas kewajaran dan hal lainnya
yang dapat merugikan salah satu pihak. Jelasnya sistem ekonomi Islam yang lebih
sosialis dihadirkan untuk mengahadang sistem ekonomi global yang kapitalis, dalam
artian sistem ekonomi yang lebih melihat pada kepentingan pemilik modal untuk
mengeruk keuntungan sebesar mungkin, dan merugikan rakyat kecil.
4. Ada yang mengatakan Nabi berijtihad, ada yang tidak. Berikan penjelasan dan
contohnya!
Para Ulama’ memiliki pandangan berbeda-beda dalam masalah ijtihad Nabi, ada yang
mengatakan bahwa Nabi tidak berijtihad, misal: Abu Ali al-Juba’i, beliau mengatakan
bahwa Nabi tidak berijtihad baik dalam wilayah agama maupun dalam kehidupannya
sehari-hari. Hal ini didasari al-Qur’an surah an-Najm: 3 dimana ayat ini berkaitan dengan
perkataan-perkataan Nabi ketika berkaitan dengan hukum syar'i, yaitu ketika Nabi sedang
memutuskan hukum, baik berupa jawaban dari suatu pertanyaan, putusan terhadap sebuah
pertikaian, maupun fatwa terhadap sebuah kasus. Dalam urusan-urusan tersebut, Nabi
tidak mungkin berijtihad.
Ada juga dari golongan Mu’tazilah yang mengatakan bahwa ijtihad tidak diperbolehkan
bagi para Nabi bahkan jika tidak ada nas sekalipun. Hal ini dilandaskan pada Q.S Al-
Maidah: 15 yang menjelaskan bahwa memang tidak patut bagi nabi untuk mengikuti
sesuatu selain wahyu yang diberikan kepadanya. Sehingga ayat ini mencondongkan kalau
tidak ada ijtihad bagi seorang Nabi.
Para Ulama’ yang mengatakan bahwa Nabi berijtihad, dalam argumentasi rasional, andai
Nabi tidak melakukan ijtihad sedang umatnya diperbolehkan, hal ini malah
menggambarkan betapa Nabi tidak lebih cerdas dari umatnya. Mengapa demikian?
Karena ijtihad diperlukan kecerdasan akal sedang mereka yang tidak pernah melakukan
ijtihad berarti tidak memiliki kecerdasan akal. Mustafa Sabri menilai bahwa Ijtihad
tetaplah pernah dilakukan oleh Nabi. Hal ini terlihat baik dalam nash Alquran maupun
ungkapan Nabi sendiri. Mengenai ayat 15 dari surat Yunus di atas Sabri sebenarnya jelas
bahwa ayat itu terkait dengan penjelasan Nabi tentang Alquran. Sehingga memang tidak
mungkin Nabi mengungkapkan sesuatu yang lain mengenai pendapatnya pribadi tentang
Alquran kecuali wahyu yang diberikan kepadanya. Sabri juga berpendapat dalam hal ini
bisa dilihat dari beberapa aspek: a.) bahwa kecerdasan yang dimiliki oleh Nabi
Muhammad bersambungan langsung dengan wahyu yang disampaikan kepadanya.
Artinya ijtihad yang dilakukan Nabi meskipun kadang memunculkan kesalahan namun
tentu telah dipertimbangkan dengan segala perintah dan wahyu Allah yang diberikan
kepadanya. b.) Nabi adalah manusia yang maksum dan terlepas dari kesalahan karena
tertutupi oleh wahyu dan mukjizat yang melekat pada kenabiannya. Karenanya, ijtihad
yang dilakukan Nabi jika memang menimbukan kesalahan maka akan ditutupi atau
ditegur dengan adanya wahyu yang disampaikan Allah kepadanya. c.) Kepribadian
Muhammad Saw sebagai Nabi lebih banyak mendapat perhatian daripada kepribadian
Muhammad Saw sebagai manusia. Artinya, meskipun Nabi melakukan ijtihad
sebagaimana manusia biasa, namun karena perhatian umat terfokus pada kenabian, maka
sifat ittiba’ terhadap ijtihad tersebut masih menjadi perhatian atas kenabian itu sendiri.
Contoh yang menyetujui Nabi berijtihad: Abdul Jalil Isa, menurutnya terdapat beberapa
keputusan Nabi yang merupakan hasil Ijtihad salah satunya: Penetapan Nabi untuk tidak
membunuh para tawanan Badar dan memilih untuk dijadikan tebusan. Dalam hal ini Nabi
memilih tawanan perang untuk dijadikan tebusan daripada membunuhnya yang mungkin
-dalam pandangan Nabi- hanya sia-sia adalah demi perjuangan atau dakwah Islam. Dalam
pandangan Nabi, para tawanan lebih maslahat jika ditukar dengan uang daripada
membunuhnya, mengingat kaum muslimin akan mendapatkan harta melimpah yang bisa
digunakan untuk menopang kebutuhan perang. Namun, tampaknya Allah lebih memiIih
tegaknya kalimat tauhid daripada ditukar harta duniawi, sehingga Tuhan memerintahkan
untuk membunuh tawanan.
5. Ada banyak kriteria ilmu yang harus dimiliki Mujtahid. Jelaskan disertai minimal 3
contoh!
Secara umum seorang mujtahid harus memiliki kemampuan dalam hal, antara lain:
a) Mengerti dan paham akan tujuan syariat (maqashid syari’ah) dengan sepenuhnya,
sempurna dan menyeluruh.
b) Mampu melakukan istinbath hukum berdasarkan paham dan pengertian terhadap
tujuan-tujuan syariat tersebut.
c) ‘Adalah (adil), yaitu menjauhi segala maksiat yang mencari sifat dan sikap keadilan.
d) Ber–akhlaq karimah
Untuk secara khusus, seorang mujtahid juga harus memiilki kemampuan dalam hal, antara
lain:
a) Memiliki pengetahuan tentang Al-Qur’an dan Sunnah.
b) Memiliki pengetahuan tentang persoalan Ijma’ sebelumnya.
c) Memiliki pengetahuan tentang ushul fiqh.
d) Menguasai ilmu bahasa.
e) Berdiskusi dengan para pakar/ahli di bidangnya terkait dengan persoalan yang sedang
dibahas.
Contoh:
Imam empat (Imam Maliki, Imam Hanafi, Imam Syafi’i, Imam Hanabil.) Mereka
merupakan mujtahid mutlaq yang mendirikan fiqh atas dasar metode dan kaidah yang
ditetapkannya sendiri. Atau clengan rumusan lain ia adalah mujtahid yang telah
memiliki ushul fiqh dan fiqh sendiri, yang tidak sama dengan ushul fiqh clan fiqh yang
dibangun oleh mujtahid lain.
Pengikut Abu Hanifah; Ibn al-Qasim- mujtahid yang mencakup kriteria (syarat-syarat)
berijtihad tetapi metode yang cligunakannya terikat pada imam yang dianutnya.
Namun, walaupun terikat pada salah satu metode madzhab dalam melakukan ijtihad, ia
tidak terpengaruh oleh Imam Madzhab tersebut. Dengan kata lain, ia adalah tingkatan
mujtahid yang memiliki fiqh sendiri, tetapi tidak memiliki ushul fiqh
Imam Ghozali, beliau merupakan mujtahid yang mengikuti tatacara imamya dalam
beristinbat hukum, mereka bisa membedakan mana penndapat yang shohih dan dloif.