ISLAMI
Makalah
Disusun untuk memenuhi tugas individu pada mata kuliah Qawaid Ushuliyyah
Disusun oleh:
RIAN HIDAYAT
Nim. 80100222157
Dosen Pengampu:
Prof. Dr. H. Muammar Bakri, Lc., M.A
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
dalam Islam adalah al-Qur’an. Kitab Suci ini digunakan kaum Muslimin untuk
kolektif.1 Dengan Kitab Suci ini pula, Nabi Muhammad ketika masih hidup
itu. Berbagai persoalan yang muncul di masyarakat Islam ketika itu, nampaknya
tidak semuanya dapat diselesaikan dengan wahyu. Ini bisa jadi disebabkan oleh
karena keadaan al-Qur’an yang sifatnya masih global dan universal, serta tidak
Ilmu Ushul Fiqh merupakan salah satu ilmu perangkat dasar yang harus
dimiliki oleh ahli hukum Islam yang hendak melakukan istimbath hukum Islam,
dalam arti mencoba mengetahui maksud Allah yang terdapat dalam Alquran. 2
fiqh menjadi syarat utama yang dikemukakan oleh para ulama. Hal ini tentunya
1
2
tersebut, namun fakta yang terjadi adalah bahwa tetap saja terjadi perbedaan di
antara para mujtahid dalam penetapan hukum Islam sehingga muncul beragam
mazhab dalam hukum Islam. Keragaman ini dipengaruhi oleh berbagai faktor,
salah satunya adalah karena adanya perbedaan dalam konsep ushul fiqh di antara
para mujtahid.3 Memang, tatkala Nabi Muhammad saw masih hidup segala
persoalan yang dihadapi ummat, baik dalam bidang ibadat maupun muamalah,
secara keseluruhan dapat diselesaikan Rasulullah, tetapi ketika beliau sudah wafat
Qur’an dan sunnah Nabi saw. Oleh karena itu, untuk menyelesaikan persoalan
tersebut para sahabat melakukan ijtihad. Oleh karena ijtihad ini tidak dapat diuji
mengadakan ijma’ (kesepakatan). Sebab, putusan yang diambil secara ijma’ akan
dipertahankan. Artinya, ketika wilayah Islam sudah bertambah luas, maka akibat
untuk melakukan istinbath sendiri. Dari sini, maka lahirlah apa yang disebut
dengan qiyas, istislah, ‘urf, istihsan, dan sebagainya. Dalam pembahasan tentang
dalil-dalil penetapan hukum Islam, dalil yang disepakati adalah al-Quran, sunnah,
ijma’ dan qiyas. Sedangkan dalil yang diperselisihkan di antaranya adalah qaul
diperselisihkan oleh ulama yang akan menjadi tema dalam tulisan ini adalah
istihsan.
3
Mushthafa Sa’id Al-Khin, Atsar al-Ikhtilaf fi al-Qawa’id al-Ushuliyah fi Ikhtilaf al-
Fuqaha’ (Beirut: Mu’assasah ar-Risalah, 1996), h. 38
3
B. Rumusan Masalah
C. Tujuan Penelitian
PEMBAHASAN
sesuatu itu baik” atau “Mengikuti sesuatu yang baik” atau “Menganggap
merumuskan konsep Istihsan. Salah satu pandangan, seperti yang diutarakan oleh
terjadi ketika hukum yang telah ditetapkan untuk suatu masalah berubah menjadi
hukum yang berbeda, karena terdapat aspek yang lebih kuat dibandingkan dengan
hukum yang lebih kuat atau kedua. Perspektif lain, seperti yang dijelaskan oleh
Qiyas yang lebih kuat atau bukti yang bertentangan dengan Qiyas Jalli. 5 Kedua
definisi tersebut muncul dari konteks Madzhab Hanafi dan mencerminkan variasi
Ibnu ‘Arabi bahwa Istihsan ialah meninggalkan ketetapan dalil dengan cara
dalam sebagian dari ketetapannya. Menurut Ibnu Rusyd bahwa Istihsan ialah
4
5
(melampaui batas) di dalam hukum dan berpindah kepada hukum lain yang
Istihsan antara lain seperti yang telah dikemukakan oleh ath-Thufi (definisi yang
paling baik) ialah: Perpindahan dari suatu hukum tentang suatu kasus, karena ada
Istihsan melibatkan peninggalkan suatu hukum yang telah ditetapkan oleh syara’
dan penggantian dengan hukum lain karena adanya dalil yang lebih sesuai dan
lebih kuat menurut penilaian orang yang melakukan ijtihad. Hal ini dapat terjadi
baik dengan meninggalkan Qiyas yang jelas dan mengandalkan Qiyas yang lebih
tersembunyi sebagai dasar hukum, atau dengan menetapkan suatu hukum melalui
umum. Oleh karena itu, penting untuk dicatat bahwa Istihsan tetap disusun
lebih relevan dan kuat. Dengan demikian, penerapan Istihsan tidak hanya
Jika kita merinci pengertian Istihsan menurut ulama Ushul Fiqh, terdapat
6
Kadenun, “Istihsan sebagai Sumber dan Metode Hukum Islam”, h. 92
7
Darmawati H, “Istihsan dan Pembaruan hokum Islam”, Al-Fikr 14, No. 2 (2010): h. 166
6
1. Istihsan Qiyasi, terjadi pada suatu kasus di mana mungkin dilakukan salah
satu bentuk qiyas, yaitu menggunakan qiyas khafi (analogi yang samar)
dan meninggalkan qiyas jali (analogi yang jelas), atau sebaliknya. Kedua
istilah tersebut telah dijelaskan dalam konteks pembagian qiyas, dan pada
dasarnya, jika dilihat dari kejelasan illat (aspek yang menjadi dasar
maka qiyas jali dapat ditinggalkan dan digantikan dengan hasil qiyas khafi.
hak untuk mengairi itu dianggap termasuk ke dalam tanah wakaf meskipun
tidak ditegaskan pada saat berikrar wakaf, karena diqiyaskan kepada sewa
pengecualian tersebut.9
penggunaan Istihsan sebagai dasar hukum. Sebagian besar ulama, terutama dari
Madzhab Hanafi, serta sebagian ulama Maliki dan Hanbali, secara vokal
8
Satria Effendi dan M. Zein, Ushul Fiqh (Jakarta: Prenada Media Group, 2012), h. 143-
144
9
Ubaidillah dan Nawawi, “Tinjauan Istihsan Terhadap Bai’ Al-Wafa’ Dan Implikasi
Konsistensi Bermadzhab Di Baitul Maal Wa Tamwil Sidogiri Cabang Bondowoso”, Istidlal 1, No.
2 (2017): h. 119
7
mengemukakan alasan karena kata tersebut mengandung makna baik dan terdapat
dalam teks al-Quran dan sunnah, sebagaimana Allah Swt menyatakan dalam Qs
menyembahnya dan kembali kepada Allah, bagi mereka berita gembira; sebab itu
lalu mengikuti apa yang paling baik di antaranya. Mereka itulah orang-orang yang
telah diberi Allah petunjuk dan mereka itulah orang-orang yang mempunyai
akal.”10 Selain itu juga, Rasulullah Saw, bersabda: “Sesuatu yang dipandang oleh
kaum muslimin itu baik, maka menurut Allah pun adalah baik.” (HR. Ahmad).
hadis, melainkan sebagai usaha menetapkan hukum dengan akal dan hawa
selain nas (dalil langsung dari al-Quran dan hadis) dan qias (analisis
sangat fatal, karena dapat muncul hasil keputusan hukum yang berlebihan
dan tidak sesuai dengan nash. Imam Syafi’i bahkan menegaskan bahwa
10
Departemen Agama RI, Al-Quran dan Terjemahnya (Semarang: Toha Putra,2002), h.
661
11
Kasjim Salenda, “Kehujjahan Istihsan dan Implikasinya dalam Istimbat Hukum”, Al-
Daulah 1, No. 2 (2013): h. 14
8
penggunaan Istihsan. Hal ini dapat dilihat dari fakta bahwa Rasulullah saw
pedoman.
3. Istihsan dianggap tidak memiliki kriteria dan standar yang jelas serta dapat
kehujjahan Istihsan di atas, dapat dikatakan bahwa tidak semua bentuk Istihsan
termasuk dalam penolakan tersebut. Dengan kata lain, ada jenis Istihsan yang
diterima oleh Imam Syafi’i. Yang ditolak adalah Istihsan yang berdasarkan pada
yang didasarkan pada nash (dalil langsung), ijma’ (kesepakatan), dan darurat pada
dasarnya diterima, karena Istihsan semacam ini tidak dapat dipisahkan dari nash,
penerimaan atau penolakan Istihsan sebagai salah satu dalil hukum, tampaknya
letak perbedaan sebenarnya hanya terletak pada masalah terminologi. Ulama yang
menerima Istihsan dalam beberapa masalah, seperti dalam hal mudharabah (bagi
hasil), meninggalkan puasa bagi musafir selama bulan Ramadan, dan sebagainya.
12
Kasjim Salenda, “Kehujjahan Istihsan dan Implikasinya dalam Istimbat Hukum”, h. 14
9
Selama Istihsan diterapkan berdasarkan dalil yang didukung oleh nash, tidak ada
alasan untuk menolaknya. Oleh karena itu, dapat dikatakan bahwa perbedaan
mereka pada dasarnya hanya terletak pada terminologi, bukan pada esensi
hukum.13
berdasarkan dalil yang didukung oleh syara', dapat diprediksi bahwa tidak akan
ada perbedaan di antara ulama dalam kehujjahannya. Selain itu, penggunaan nash,
qiyas jali (analogi yang jelas), atau dalil umum dalam menyelesaikan kasus
ini, seperti dalam hukum zakat profesi, bunga deposito bank, transplantasi organ
pembaharuan hukum Islam tersebut sejalan dengan prinsip maslahat, baik untuk
merupakan dasar hukum yang berdiri sendiri, tetapi merupakan suatu pendekatan
yang digunakan oleh sebagian mujtahidin untuk menerapkan dalil-dalil syara’ dan
dasarnya dapat mengubah hukum yang telah ditetapkan melalui qiyas, atau
dengan kata lain, hukum yang ditegakkan melalui istihsan berbeda dengan hukum
13
Kasjim Salenda, “Kehujjahan Istihsan dan Implikasinya dalam Istimbat Hukum”, h. 14
14
Kasjim Salenda, “Kehujjahan Istihsan dan Implikasinya dalam Istimbat Hukum”, h. 15
10
lama yang ditetapkan melalui qiyas. Dalam hal ini, istihsan merupakan suatu
metode penemuan hukum yang sangat relevan dengan upaya pembaharuan hukum
Islam. Sejalan dengan posisi yang dihormati dalam Islam, ilmu pengetahuan dan
menghormati setiap aspek kehidupan manusia dari lahir hingga mati. Oleh karena
itu, bagian tubuh manusia dianggap sebagai anugerah dari Allah swt., yang
Sebagaimana Hadis nabi saw., berbunyi: “Dari ‘Amrah binti Abdi Rahman dari
15
Satria Effendi dan M. Zein, Ushul Fiqh (Jakarta: Prenada Media Group, 2012), h. 351
16
Iskandar Usman, Istihsan dan Pembaharuan Hukum Islam (Cet. I; Jakarta: Raja
Grafindo: 1994), h. 180
11
meninggal secara yuridis dan medis, dan secara hukum dianggap mubah. 17
Namun, dalam konteks pencangkokan kornea mata untuk membantu mereka yang
buta dan sangat membutuhkannya agar dapat melihat seperti orang normal
mata, khususnya, dianggap sah dalam Islam dengan pertimbangan bahwa kornea
dari donor yang telah meninggal tidak lagi berfungsi dan tidak memberikan
memperoleh fungsi hidup yang lebih baik setelah mendapatkan kemampuan untuk
melihat. Prinsip kebutuhan darurat dalam agama Islam ditekankan, baik untuk
lebih utama, seperti hajiyat dan dharuriyat. Sementara itu, pencangkokan kornea
mata dari mayat kepada orang buta memiliki tujuan untuk menjaga kepentingan
anggota tubuh mayat dapat dikalahkan oleh kepentingan yang lebih besar, yaitu
mata untuk hidup secara optimal dan menjalankan peran mereka sebagai khalifah
17
Abuddin Nata, Masail Fiqhiyah (Cet.I; Jakarta: Kencana, 2003), h. 106
18
Ahmad Azhar Basyir, Refleksi atas Persoalan Keislaman Seputar Filsafat, Hukum,
Politik dan Ekonomi (Cet. IV; Bandung: Mizan, 1996), h. 156
12
di dunia ini.19 Oleh karena itu, pengobatan melalui transplantasi bagi individu
yang cacat, jika dibiarkan tanpa tindakan, dapat berdampak negatif pada
kesehatan jiwa yang bersangkutan. Terkait dengan donasi kornea mata, Majelis
meninggal adalah halal, selama hal tersebut disetujui dan disaksikan oleh keluarga
terdekat. Fatwa ini juga menegaskan bahwa operasi pencangkokan kornea mata
harus dilakukan oleh ahli bedah yang kompeten dan memiliki kredibilitas.20
hukum yang dapat menjawab tantangan dan perkembangan baru yang muncul
secara efektif merealisasikan tujuan syariat yang dikenal dalam ushul fikih
sebagai maqasid syariat. Dengan demikian, pembaruan hukum Islam tidak berarti
nilai-nilai dasar yang terdapat dalam Al-Quran dan hadis. Sebaliknya, pembaruan
hukum Islam merupakan usaha untuk menetapkan ketentuan hukum yang sesuai
19
Iskandar Usman, Istihsan dan Pembaharuan Hukum Islam, h. 181
20
Hasbi Umar, Nalar Fiqih Kontemporer (Cet. I; Jakarta: Gaung Persada, 2007), h. 185.
21
Mujiyono Abdillah, Dialektika Hukum Islam Perubahan Sosial Sebuah Refleksi
Sosiologis atas Pemikiran Ibnu Qayyim al-Jauziyyah (Cet.I; Surakarta: Muhammadiyah Press,
2003), h. 74.
13
suatu hukum dalam suatu masalah dan beralih ke hukum lain karena adanya
tinjauan yang lebih kuat yang mendorong perubahan tersebut. Oleh karena itu,
prinsip istihsan melibatkan penetapan hukum yang berbeda dari kaidah umum,
karena keluar dari norma tersebut dapat menghasilkan ketentuan hukum yang
lebih sesuai dengan tujuan syariat. Berpegang pada istihsan dianggap sebagai cara
berdalil yang lebih kuat daripada berpegang pada qiyas.23 Dengan demikian,
istihsan memiliki relevansi yang besar dengan pembaruan hukum Islam, yang
yang mampu menjawab tantangan dan perkembangan baru yang muncul seiring
metode istinbath hukum yang sangat relevan dengan usaha pembaruan hukum
Islam.
22
Iskandar Usman, Istihsan dan Pembaharuan Hukum Islam, h. 186
23
Iskandar Usman, Istihsan dan Pembaharuan Hukum Islam, h. 187
BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
atau kaku.
14
DAFTAR PUSTAKA
15