Anda di halaman 1dari 16

KAIDAH AL-ISTIHSAN DAN IMPLIKASINYA TERHADAP FIQIH

ISLAMI

Makalah
Disusun untuk memenuhi tugas individu pada mata kuliah Qawaid Ushuliyyah

Disusun oleh:
RIAN HIDAYAT
Nim. 80100222157

Dosen Pengampu:
Prof. Dr. H. Muammar Bakri, Lc., M.A

Dr. H. Abdul Wahid Haddade, Lc., M.H.I

SYARIAH/HUKUM ISLAM PRODI DIRASAH ISLAMIYAH


PROGRAM PASCASARJANA
UIN ALAUDDIN MAKASSAR
2023
BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Telah menjadi kesepakatan ulama bahwa sumber pertama dan utama

dalam Islam adalah al-Qur’an. Kitab Suci ini digunakan kaum Muslimin untuk

mengabsahkan perilaku, menjastifikasi tindakan peperangan, melandasi berbagai

aspirasi, memelihara berbagai harapan, dan juga memperkukuh identitas

kolektif.1 Dengan Kitab Suci ini pula, Nabi Muhammad ketika masih hidup

menyelesaikan persoalan-persoalan yang muncul dalam masyarakt Islam ketika

itu. Berbagai persoalan yang muncul di masyarakat Islam ketika itu, nampaknya

tidak semuanya dapat diselesaikan dengan wahyu. Ini bisa jadi disebabkan oleh

karena keadaan al-Qur’an yang sifatnya masih global dan universal, serta tidak

menjelaskan berbagai persoalan secara terperinci. Dalam keadaan yang demikian,

Nabi saw menyelesaikannya dengan pemikiran dan pendapatnya sendiri, dan

kadangkala bermusyawarah dengan para sahabatnya. Inilah yang kemudian

disebut dengan sunnah Rasulullah saw.

Ilmu Ushul Fiqh merupakan salah satu ilmu perangkat dasar yang harus

dimiliki oleh ahli hukum Islam yang hendak melakukan istimbath hukum Islam,

dalam arti mencoba mengetahui maksud Allah yang terdapat dalam Alquran. 2

Dalam pembahasan tentang syarat-syarat mujtahid, penguasaan atas ilmu ushul

fiqh menjadi syarat utama yang dikemukakan oleh para ulama. Hal ini tentunya

bertujuan agar proses ijtihad, pembaharuan dan hasilnya bisa

dipertanggungjawabkan secara ilmiah. Walaupun semua ulama sepakat atas hal


1
Mohammad Arkoun, Berbagai Pembacaan al-Qur’an, terj. Machasin (Jakarta: INIS,
1997), h. 9
2
Asy-Syathibi, al-Muwafaqat fi Ushul asy-Syari'ah (Cet. III; Beirut: Dar al- Ma’rifah,
t.t), h. 375.

1
2

tersebut, namun fakta yang terjadi adalah bahwa tetap saja terjadi perbedaan di

antara para mujtahid dalam penetapan hukum Islam sehingga muncul beragam

mazhab dalam hukum Islam. Keragaman ini dipengaruhi oleh berbagai faktor,

salah satunya adalah karena adanya perbedaan dalam konsep ushul fiqh di antara

para mujtahid.3 Memang, tatkala Nabi Muhammad saw masih hidup segala

persoalan yang dihadapi ummat, baik dalam bidang ibadat maupun muamalah,

secara keseluruhan dapat diselesaikan Rasulullah, tetapi ketika beliau sudah wafat

persoalan-persoalan tersebut sulit untuk dicarikan jawabannya, terutama dalam al-

Qur’an dan sunnah Nabi saw. Oleh karena itu, untuk menyelesaikan persoalan

tersebut para sahabat melakukan ijtihad. Oleh karena ijtihad ini tidak dapat diuji

tentang kebenaran dan kesalahannya, maka yang dilakukan adalah

mengadakan ijma’ (kesepakatan). Sebab, putusan yang diambil secara ijma’ akan

lebih baik dibandingkan dengan yang dilakukan secara sendirian.

Ijma’ dikalangan ulama pun nampaknya juga tidak dapat selamanya

dipertahankan. Artinya, ketika wilayah Islam sudah bertambah luas, maka akibat

yang ditimbulkan adalah terpencar-pencarnya ulama, sehingga ijma’ pun tidak

dapat diambil secara bulat. Akibatnya, masing-masing ulama pun cenderung

untuk melakukan istinbath sendiri. Dari sini, maka lahirlah apa yang disebut

dengan qiyas, istislah, ‘urf, istihsan, dan sebagainya. Dalam pembahasan tentang

dalil-dalil penetapan hukum Islam, dalil yang disepakati adalah al-Quran, sunnah,

ijma’ dan qiyas. Sedangkan dalil yang diperselisihkan di antaranya adalah qaul

sahabi, maslahah mursalah, istishab, istihsan. Salah satu dalil yang

diperselisihkan oleh ulama yang akan menjadi tema dalam tulisan ini adalah

istihsan.

3
Mushthafa Sa’id Al-Khin, Atsar al-Ikhtilaf fi al-Qawa’id al-Ushuliyah fi Ikhtilaf al-
Fuqaha’ (Beirut: Mu’assasah ar-Risalah, 1996), h. 38
3

B. Rumusan Masalah

1. Bagaimana konsep Kaidah al-istihsan?

2. Bagaimana implikasi konsep Kaidah al-istihsan terhadap fiqih islami?

C. Tujuan Penelitian

1. Untuk memahami bagaimana konsep Kaidah al-istihsan

2. Untuk menganalisis bagaimana implikasi konsep Kaidah al-istihsan

terhadap fiqih islami


BAB II

PEMBAHASAN

A. Konsep Kaidah al-Istihsan

Di dalam bahasa Arab Istihsan diartikan dengan pengertian: “Menganggap

sesuatu itu baik” atau “Mengikuti sesuatu yang baik” atau “Menganggap

baik/bagus”.4 Pemahaman mengenai Istihsan di kalangan Ulama Ahli Ushul

bervariasi, tergantung pada perspektif dan kemampuan mereka dalam

merumuskan konsep Istihsan. Salah satu pandangan, seperti yang diutarakan oleh

Abu Hasan al-Karkhi, menyatakan bahwa Istihsan adalah perubahan pendapat

seorang mujtahid dalam mengeluarkan hukum pada suatu permasalahan. Ini

terjadi ketika hukum yang telah ditetapkan untuk suatu masalah berubah menjadi

hukum yang berbeda, karena terdapat aspek yang lebih kuat dibandingkan dengan

hukum sebelumnya, yang kemudian menyebabkan peralihan dari hukum awal ke

hukum yang lebih kuat atau kedua. Perspektif lain, seperti yang dijelaskan oleh

an-Nasafy, menyebut Istihsan sebagai peninggalkan suatu Qiyas untuk beralih ke

Qiyas yang lebih kuat atau bukti yang bertentangan dengan Qiyas Jalli. 5 Kedua

definisi tersebut muncul dari konteks Madzhab Hanafi dan mencerminkan variasi

dalam pemahaman Istihsan di kalangan Ulama Ahli Ushul.

Sedangkan definisi-definisi Istihsan dari Madzhab Maliki adalah menurut

Ibnu ‘Arabi bahwa Istihsan ialah meninggalkan ketetapan dalil dengan cara

mengecualikan dan meringankan, karena ada perhitungan yang menentangnya di

dalam sebagian dari ketetapannya. Menurut Ibnu Rusyd bahwa Istihsan ialah

meninggalkan suatu Qiyas yang membawa kepada yang berlebih-lebihan


4
A. W. Munawwir, Kamus Al-Munawwir Arab-Indonesia Terlengkap (Surabaya: Pustaka
Progessif, 1997), h. 265
5
Kadenun, “Istihsan sebagai Sumber dan Metode Hukum Islam”, Qalamuna 10, No. 2
(2018): h. 91

4
5

(melampaui batas) di dalam hukum dan berpindah kepada hukum lain yang

merupakan pengecualian. Sedangkan Ulama Hambali memberikan definisi

Istihsan antara lain seperti yang telah dikemukakan oleh ath-Thufi (definisi yang

paling baik) ialah: Perpindahan dari suatu hukum tentang suatu kasus, karena ada

dalil syara’ yang khusus.6

Meskipun terdapat variasi dalam definisi yang telah disampaikan

sebelumnya, terdapat kesamaan pokok yang dapat diidentifikasi, yaitu bahwa

Istihsan melibatkan peninggalkan suatu hukum yang telah ditetapkan oleh syara’

dan penggantian dengan hukum lain karena adanya dalil yang lebih sesuai dan

lebih kuat menurut penilaian orang yang melakukan ijtihad. Hal ini dapat terjadi

baik dengan meninggalkan Qiyas yang jelas dan mengandalkan Qiyas yang lebih

tersembunyi sebagai dasar hukum, atau dengan menetapkan suatu hukum melalui

pemilihan permasalahan yang bersifat spesifik dari permasalahan yang bersifat

umum. Oleh karena itu, penting untuk dicatat bahwa Istihsan tetap disusun

berdasarkan dalil-dalil yang kuat, bukan semata-mata didasarkan pada keinginan

pribadi belaka.7 Dalam esensinya, Istihsan merupakan upaya untuk menjaga

keadilan dan keberlakuan hukum Islam dengan mengutamakan dalil-dalil yang

lebih relevan dan kuat. Dengan demikian, penerapan Istihsan tidak hanya

mempertimbangkan kebutuhan masyarakat, tetapi juga tetap berakar pada prinsip-

prinsip hukum yang kokoh.

Jika kita merinci pengertian Istihsan menurut ulama Ushul Fiqh, terdapat

dua bentuk Istihsan:

6
Kadenun, “Istihsan sebagai Sumber dan Metode Hukum Islam”, h. 92
7
Darmawati H, “Istihsan dan Pembaruan hokum Islam”, Al-Fikr 14, No. 2 (2010): h. 166
6

1. Istihsan Qiyasi, terjadi pada suatu kasus di mana mungkin dilakukan salah

satu bentuk qiyas, yaitu menggunakan qiyas khafi (analogi yang samar)

dan meninggalkan qiyas jali (analogi yang jelas), atau sebaliknya. Kedua

istilah tersebut telah dijelaskan dalam konteks pembagian qiyas, dan pada

dasarnya, jika dilihat dari kejelasan illat (aspek yang menjadi dasar

analogi), qiyas jali lebih diutamakan daripada qiyas khafi. Namun,

menurut Imam Hanafi, jika seorang mujtahid berpendapat bahwa qiyas

khafi lebih mengandung kemaslahatan dibandingkan dengan qiyas jali,

maka qiyas jali dapat ditinggalkan dan digantikan dengan hasil qiyas khafi.

Praktik ini dikenal sebagai istihsan qiyasi. Sebagai contoh, menurut

kesimpulan qiyas jali, hak pengairan di atas tanah pertanian yang

diwakafkan tidak dianggap ikut diwakafkan kecuali ditegaskan dalam ikrar

wakaf. Namun, berdasarkan istihsan yang berorientasi pada kemaslahatan,

hak untuk mengairi itu dianggap termasuk ke dalam tanah wakaf meskipun

tidak ditegaskan pada saat berikrar wakaf, karena diqiyaskan kepada sewa

menyewa dengan persamaan illat, yaitu sama-sama diambil manfaatnya.8

2. Istihsan Istisna'i, merupakan hukum pengecualian dari kaidah-kaidah yang

berlaku umum karena adanya petunjuk khusus yang mendukung

pengecualian tersebut.9

Para ulama fikih memiliki perbedaan pendapat terkait validitas

penggunaan Istihsan sebagai dasar hukum. Sebagian besar ulama, terutama dari

Madzhab Hanafi, serta sebagian ulama Maliki dan Hanbali, secara vokal

8
Satria Effendi dan M. Zein, Ushul Fiqh (Jakarta: Prenada Media Group, 2012), h. 143-
144
9
Ubaidillah dan Nawawi, “Tinjauan Istihsan Terhadap Bai’ Al-Wafa’ Dan Implikasi
Konsistensi Bermadzhab Di Baitul Maal Wa Tamwil Sidogiri Cabang Bondowoso”, Istidlal 1, No.
2 (2017): h. 119
7

memperjuangkan dan menerapkan Istihsan sebagai argumen hukum. Untuk

mendukung kehujjahan istihsan, ulama hanafiyah, malikiyah, dan Hanabilah

mengemukakan alasan karena kata tersebut mengandung makna baik dan terdapat

dalam teks al-Quran dan sunnah, sebagaimana Allah Swt menyatakan dalam Qs

Az-Zumar: 17-18): “Dan orang-orang yang menjauhi thaghut (yaitu) tidak

menyembahnya dan kembali kepada Allah, bagi mereka berita gembira; sebab itu

sampaikanlah berita itu kepada hamba-hamba-Ku. Yang mendengarkan perkataan

lalu mengikuti apa yang paling baik di antaranya. Mereka itulah orang-orang yang

telah diberi Allah petunjuk dan mereka itulah orang-orang yang mempunyai

akal.”10 Selain itu juga, Rasulullah Saw, bersabda: “Sesuatu yang dipandang oleh

kaum muslimin itu baik, maka menurut Allah pun adalah baik.” (HR. Ahmad).

Bisa dikatakan bahwa beberapa ulama (fuqaha) telah menerima Istihsan

sebagai argumen hukum syariah, namun sejumlah di antara mereka menolaknya,

seperti ulama Syafi’iyah, Zahriyah, dan Mu’tazilah. Argumen mereka,

sebagaimana diungkapkan oleh al-Syafi’i, melibatkan poin-poin berikut:11

1. Istihsan dianggap bukanlah metode yang didasarkan pada al-Quran dan

hadis, melainkan sebagai usaha menetapkan hukum dengan akal dan hawa

nafsu. Mereka berpendapat bahwa jika diizinkan menggunakan argumen

selain nas (dalil langsung dari al-Quran dan hadis) dan qias (analisis

analogi), hal tersebut memberikan kesempatan kepada individu yang tidak

memahami nash dan qiyas untuk menetapkan hukum berdasarkan Istihsan

dengan alasan bahwa mereka juga memiliki akal. Konsekuensinya dapat

sangat fatal, karena dapat muncul hasil keputusan hukum yang berlebihan

dan tidak sesuai dengan nash. Imam Syafi’i bahkan menegaskan bahwa
10
Departemen Agama RI, Al-Quran dan Terjemahnya (Semarang: Toha Putra,2002), h.
661
11
Kasjim Salenda, “Kehujjahan Istihsan dan Implikasinya dalam Istimbat Hukum”, Al-
Daulah 1, No. 2 (2013): h. 14
8

penerapan Istihsan untuk menemukan hukum berarti menciptakan hukum

syariah yang baru.

2. Nabi Muhammad saw tidak pernah menetapkan hukum berdasarkan

Istihsan, bahkan umatnya secara keseluruhan berusaha menghindari

penggunaan Istihsan. Hal ini dapat dilihat dari fakta bahwa Rasulullah saw

tidak menjawab pertanyaan yang diajukan kepadanya tentang li’an dan

zihar berdasarkan Istihsan, melainkan menunggu turunnya wahyu sebagai

pedoman.

3. Istihsan dianggap tidak memiliki kriteria dan standar yang jelas serta dapat

dipertanggungjawabkan secara syar’i. Oleh karena itu, menurut pandangan

ini, Istihsan tidak dapat dijadikan dasar dalam menetapkan hukum.

Jika kita memperhatikan argumen penolakan Imam Syafi’i terhadap

kehujjahan Istihsan di atas, dapat dikatakan bahwa tidak semua bentuk Istihsan

termasuk dalam penolakan tersebut. Dengan kata lain, ada jenis Istihsan yang

diterima oleh Imam Syafi’i. Yang ditolak adalah Istihsan yang berdasarkan pada

‘urf (tradisi) dan maslahat al-mursalah (kemaslahatan umum), sedangkan Istihsan

yang didasarkan pada nash (dalil langsung), ijma’ (kesepakatan), dan darurat pada

dasarnya diterima, karena Istihsan semacam ini tidak dapat dipisahkan dari nash,

ijma’, dan qiyas.12

Jika diperhatikan penyebab perselisihan di antara ulama mengenai

penerimaan atau penolakan Istihsan sebagai salah satu dalil hukum, tampaknya

letak perbedaan sebenarnya hanya terletak pada masalah terminologi. Ulama yang

menolak Istihsan sebenarnya tidak berbeda pendapat dengan ulama yang

menerima Istihsan dalam beberapa masalah, seperti dalam hal mudharabah (bagi

hasil), meninggalkan puasa bagi musafir selama bulan Ramadan, dan sebagainya.

12
Kasjim Salenda, “Kehujjahan Istihsan dan Implikasinya dalam Istimbat Hukum”, h. 14
9

Selama Istihsan diterapkan berdasarkan dalil yang didukung oleh nash, tidak ada

alasan untuk menolaknya. Oleh karena itu, dapat dikatakan bahwa perbedaan

mereka pada dasarnya hanya terletak pada terminologi, bukan pada esensi

hukum.13

Jika konsep Istihsan dipahami sebagai upaya untuk menemukan hukum

berdasarkan dalil yang didukung oleh syara', dapat diprediksi bahwa tidak akan

ada perbedaan di antara ulama dalam kehujjahannya. Selain itu, penggunaan nash,

qiyas jali (analogi yang jelas), atau dalil umum dalam menyelesaikan kasus

tertentu kurang menghasilkan kemaslahatan, terutama dalam era kontemporer saat

ini, seperti dalam hukum zakat profesi, bunga deposito bank, transplantasi organ

tubuh, dan sebagainya.14

B. Implikasi Konsep Kaidah Al-Istihsan terhadap Fiqih Islami

Istiḥsān adalah suatu metode istinbath hukum yang relevan dengan

implikasi terhadap pembaharuan hukum Islam. Tolak ukurnya adalah

pembaharuan hukum Islam tersebut sejalan dengan prinsip maslahat, baik untuk

mendapatkan kemaslahatan (Jalb-u Al Mashālih), maupun untuk mencegah

bahaya, dosa (Dar-u Al Mafāsid) bagi manusia. Meskipun Istihsan bukan

merupakan dasar hukum yang berdiri sendiri, tetapi merupakan suatu pendekatan

yang digunakan oleh sebagian mujtahidin untuk menerapkan dalil-dalil syara’ dan

kaidah-kaidahnya ketika dalil-dalil tersebut bertentangan dengan realitas yang

tengah berkembang dalam masyarakat. Tujuan utamanya adalah untuk mengatasi

kesulitan, kesulitan, dan potensi bahaya, serta menghasilkan manfaat dengan

menerapkan prinsip-prinsip syariat dan sumber-sumbernya. Istihsan pada

dasarnya dapat mengubah hukum yang telah ditetapkan melalui qiyas, atau

dengan kata lain, hukum yang ditegakkan melalui istihsan berbeda dengan hukum
13
Kasjim Salenda, “Kehujjahan Istihsan dan Implikasinya dalam Istimbat Hukum”, h. 14
14
Kasjim Salenda, “Kehujjahan Istihsan dan Implikasinya dalam Istimbat Hukum”, h. 15
10

lama yang ditetapkan melalui qiyas. Dalam hal ini, istihsan merupakan suatu

metode penemuan hukum yang sangat relevan dengan upaya pembaharuan hukum

Islam, karena berusaha untuk menghindari kekakuan hukum yang mungkin

dihasilkan oleh qiyas.15

Kemajuan dalam ilmu pengetahuan dan teknologi telah menghadirkan

perkembangan baru di berbagai sektor kehidupan, termasuk dalam ranah hukum

Islam. Sejalan dengan posisi yang dihormati dalam Islam, ilmu pengetahuan dan

teknologi perlu diintegrasikan agar hukum Islam tetap relevan dengan

perkembangan masyarakat. Oleh karena itu, perkembangan baru tersebut harus

menjadi pertimbangan dalam proses pembentukan hukum. Agama Islam

menghormati setiap aspek kehidupan manusia dari lahir hingga mati. Oleh karena

itu, bagian tubuh manusia dianggap sebagai anugerah dari Allah swt., yang

memungkinkan manusia untuk memenuhi tuntutan-Nya dengan sempurna, yaitu

kewajiban untuk beribadah kepada-Nya. Sebagai konsekuensinya, Islam melarang

pengambilan dan pemotongan anggota tubuh manusia bahkan setelah kematian. 16

Sebagaimana Hadis nabi saw., berbunyi: “Dari ‘Amrah binti Abdi Rahman dari

‘Aisyah sesungguhnya Rasulullah saw., bersabda: memecahkan tulang orang mati

sama hukumnya dengan memecahkan tulangnya ketika ia hidup.” (Diriwayatkan

oleh Abu Dawud).

Dampak kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi di bidang kedokteran

memungkinkan pelaksanaan pencangkokan kornea mata pada individu yang telah

15
Satria Effendi dan M. Zein, Ushul Fiqh (Jakarta: Prenada Media Group, 2012), h. 351
16
Iskandar Usman, Istihsan dan Pembaharuan Hukum Islam (Cet. I; Jakarta: Raja
Grafindo: 1994), h. 180
11

meninggal secara yuridis dan medis, dan secara hukum dianggap mubah. 17

Namun, dalam konteks pencangkokan kornea mata untuk membantu mereka yang

buta dan sangat membutuhkannya agar dapat melihat seperti orang normal

lainnya, Islam memberikan pandangan yang mendukung. Pemindahan kornea

mata, khususnya, dianggap sah dalam Islam dengan pertimbangan bahwa kornea

dari donor yang telah meninggal tidak lagi berfungsi dan tidak memberikan

manfaat bagi donor tersebut. Sebaliknya, penerima yang tunanetra akan

mendapatkan manfaat besar dari transplantasi ini. Meskipun kehilangan

penglihatan tidak akan menyebabkan kematian, pandangan Islam mengakui

bahwa penglihatan adalah kebutuhan hidup yang penting. Dengan melakukan

transplantasi kornea mata, si tunanetra dapat menghindari keterbatasan dan dapat

memperoleh fungsi hidup yang lebih baik setelah mendapatkan kemampuan untuk

melihat. Prinsip kebutuhan darurat dalam agama Islam ditekankan, baik untuk

kebutuhan khusus maupun umum, karena Allah tidak memberikan kesempitan

kepada umat manusia dalam menjalankan agamanya.18

Menyatakan penghargaan terhadap anggota tubuh mayat adalah suatu

aspek kehormatan yang dapat dikompromikan, terutama jika mempertahankan

nilai-nilai kehormatan tersebut dapat mengakibatkan penghilangan manfaat yang

lebih utama, seperti hajiyat dan dharuriyat. Sementara itu, pencangkokan kornea

mata dari mayat kepada orang buta memiliki tujuan untuk menjaga kepentingan

hajiyat. Dengan demikian, larangan terhadap pemotongan dan pengambilan

anggota tubuh mayat dapat dikalahkan oleh kepentingan yang lebih besar, yaitu

kemaslahatan orang-orang yang masih hidup dan sangat membutuhkan kornea

mata untuk hidup secara optimal dan menjalankan peran mereka sebagai khalifah

17
Abuddin Nata, Masail Fiqhiyah (Cet.I; Jakarta: Kencana, 2003), h. 106
18
Ahmad Azhar Basyir, Refleksi atas Persoalan Keislaman Seputar Filsafat, Hukum,
Politik dan Ekonomi (Cet. IV; Bandung: Mizan, 1996), h. 156
12

di dunia ini.19 Oleh karena itu, pengobatan melalui transplantasi bagi individu

yang cacat, jika dibiarkan tanpa tindakan, dapat berdampak negatif pada

kesehatan jiwa yang bersangkutan. Terkait dengan donasi kornea mata, Majelis

Ulama Indonesia telah mengeluarkan fatwa pada 17 Maret 1989, menyatakan

bahwa wasiat seorang Muslim untuk menyumbangkan kornea mata setelah

meninggal adalah halal, selama hal tersebut disetujui dan disaksikan oleh keluarga

terdekat. Fatwa ini juga menegaskan bahwa operasi pencangkokan kornea mata

harus dilakukan oleh ahli bedah yang kompeten dan memiliki kredibilitas.20

Ibnu Qayyim al-Jauziyya21 menyatakan bahwa perubahan dalam hukum,

baik melalui penundaan atau pembatalan ketentuan hukum, seharusnya sejalan

dengan pedoman dan tujuan hukum Islam, yakni mewujudkan kemaslahatan

umat. Pembaharuan hukum Islam sejatinya merupakan upaya untuk menetapkan

hukum yang dapat menjawab tantangan dan perkembangan baru yang muncul

seiring dengan kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi. Pendekatan ini

dilakukan dengan mempertimbangkan perkembangan baru sebagai faktor yang

dapat memengaruhi pembentukan hukum, sehingga hukum yang dihasilkan dapat

secara efektif merealisasikan tujuan syariat yang dikenal dalam ushul fikih

sebagai maqasid syariat. Dengan demikian, pembaruan hukum Islam tidak berarti

menciptakan hukum secara sembarangan tanpa merujuk pada prinsip-prinsip dan

nilai-nilai dasar yang terdapat dalam Al-Quran dan hadis. Sebaliknya, pembaruan

hukum Islam merupakan usaha untuk menetapkan ketentuan hukum yang sesuai

dengan prinsip-prinsip dan nilai-nilai dasar Islam, dengan mempertimbangkan

19
Iskandar Usman, Istihsan dan Pembaharuan Hukum Islam, h. 181
20
Hasbi Umar, Nalar Fiqih Kontemporer (Cet. I; Jakarta: Gaung Persada, 2007), h. 185.
21
Mujiyono Abdillah, Dialektika Hukum Islam Perubahan Sosial Sebuah Refleksi
Sosiologis atas Pemikiran Ibnu Qayyim al-Jauziyyah (Cet.I; Surakarta: Muhammadiyah Press,
2003), h. 74.
13

perkembangan baru sebagai faktor yang membantu mengartikulasikan prinsip-

prinsip dan nilai-nilai dasar tersebut dalam konteks kekinian.22

Istihsan merujuk pada keputusan seorang mujtahid untuk meninggalkan

suatu hukum dalam suatu masalah dan beralih ke hukum lain karena adanya

tinjauan yang lebih kuat yang mendorong perubahan tersebut. Oleh karena itu,

prinsip istihsan melibatkan penetapan hukum yang berbeda dari kaidah umum,

karena keluar dari norma tersebut dapat menghasilkan ketentuan hukum yang

lebih sesuai dengan tujuan syariat. Berpegang pada istihsan dianggap sebagai cara

berdalil yang lebih kuat daripada berpegang pada qiyas.23 Dengan demikian,

istihsan memiliki relevansi yang besar dengan pembaruan hukum Islam, yang

bertujuan untuk memelihara tujuan syariat dengan menciptakan ketentuan hukum

yang mampu menjawab tantangan dan perkembangan baru yang muncul seiring

dengan kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi modern. Istimewa karena

istihsan merupakan suatu metode istinbath hukum yang sangat memprioritaskan

pemeliharaan tujuan syariat. Dengan demikian, istihsan dapat dianggap sebagai

metode istinbath hukum yang sangat relevan dengan usaha pembaruan hukum

Islam.

22
Iskandar Usman, Istihsan dan Pembaharuan Hukum Islam, h. 186
23
Iskandar Usman, Istihsan dan Pembaharuan Hukum Islam, h. 187
BAB III

PENUTUP

A. Kesimpulan

1. Istihsan merupakan upaya untuk menjaga keadilan dan keberlakuan hukum

Islam dengan mengutamakan dalil-dalil yang lebih relevan dan kuat.

Dengan demikian, penerapan Istihsan tidak hanya mempertimbangkan

kebutuhan masyarakat, tetapi juga tetap berakar pada prinsip-prinsip

hukum yang kokoh.

2. Kaidah al-Istihsan dalam fiqih Islam memiliki implikasi signifikan

terhadap pengembangan hukum Islam. Istihsan, yang secara harfiah berarti

menganggap baik, memungkinkan ulama untuk menilai hukum

berdasarkan kebijaksanaan atau pertimbangan yang baik, meskipun tidak

sesuai dengan dalil secara langsung. Istihsan berperan dalam penyelarasan

dengan kepentingan umum atau maslahah mursalah, memungkinkan

penyesuaian hukum agar tetap relevan dengan kondisi masyarakat. Selain

itu, istihsan dapat memberikan fleksibilitas dalam pengambilan keputusan

hukum, memungkinkan penolakan terhadap pendekatan yang terlalu keras

atau kaku.

14
DAFTAR PUSTAKA

Abdillah, Mujiyono. Dialektika Hukum Islam Perubahan Sosial Sebuah


Refleksi Sosiologis atas Pemikiran Ibnu Qayyim al-Jauziyyah. Cet.I; Surakarta:
Muhammadiyah Press, 2003
Al-Khin, Mushthafa Sa’id. Atsar al-Ikhtilaf fi al-Qawa’id al-Ushuliyah fi
Ikhtilaf al- Fuqaha’. Beirut: Mu’assasah ar-Risalah, 1996
Arkoun, Mohammad. Berbagai Pembacaan al-Qur’an, terj. Machasin.
Jakarta: INIS, 1997
Asy-Syathibi, al-Muwafaqat fi Ushul asy-Syari'ah. Cet. III; Beirut: Dar al-
Ma’rifah, t.t
Basyir, Ahmad Azhar. Refleksi atas Persoalan Keislaman Seputar
Filsafat, Hukum, Politik dan Ekonomi. Cet. IV; Bandung: Mizan, 1996
Departemen Agama RI, Al-Quran dan Terjemahnya. Semarang: Toha
Putra, 2002
Effendi, Satria dan M. Zein, Ushul Fiqh. Jakarta: Prenada Media Group,
2012
H, Darmawati. “Istihsan dan Pembaruan hokum Islam”. Al-Fikr 14, No. 2
(2010)
Kadenun. “Istihsan sebagai Sumber dan Metode Hukum Islam”.
Qalamuna 10, No. 2 (2018)
Munawwir, A. W. Kamus Al-Munawwir Arab-Indonesia Terlengkap.
Surabaya: Pustaka Progessif, 1997
Nata, Abuddin. Masail Fiqhiyah. Cet.I; Jakarta: Kencana, 2003
Salenda, Kasjim. “Kehujjahan Istihsan dan Implikasinya dalam Istimbat
Hukum”. Al-Daulah 1, No. 2 (2013)
Ubaidillah dan Nawawi. “Tinjauan Istihsan Terhadap Bai’ Al-Wafa’ Dan
Implikasi Konsistensi Bermadzhab Di Baitul Maal Wa Tamwil Sidogiri Cabang
Bondowoso”. Istidlal 1, No. 2 (2017)
Umar, Hasbi. Nalar Fiqih Kontemporer. Cet. I; Jakarta: Gaung Persada,
2007
Usman, Iskandar. Istihsan dan Pembaharuan Hukum Islam. Cet. I; Jakarta:
Raja Grafindo: 1994

15

Anda mungkin juga menyukai