“ISTIHSAN”
DosenPengampu:
Dr.Toha Andiko, M.Ag
Oleh:
Rivaldo (2223150109)
Roby Saputra (2223150127)
KATA PENGANTAR
Puji syukur kehadirat Allah Swt, yang Maha Kuasa atas limpahan rahmat-
Nya sehingga kami dapat menyelesaikan penulisan makalah sesuai dengan
rencana. Shalawat serta salam semoga tetap terhaturkan kepada Rasulullah
Muhammad Saw yang telah membawa umatnya dari kegelapan menuju jalan
terang benderang berupa agama Islam.
Makalah disusun untuk memenuhi salah satu tugas mata kuliah dengan
judul “Istihsan”.
Penulis menyadari bahwa masih banyak kekurangan dalam menyusun tugas
makalah ini. Oleh karena itu mengharap kritik dan saran dari pembaca untuk
kesempurnaan penulisan makalah ini. Semoga makalah ini bermanfaat bagi
penulis dan pembaca. Amin
Penulis
iii
DAFTAR ISI
HALAMAN JUDUL................................................................................................
KATA PENGANTAR............................................................................................ii
DAFTAR ISI.........................................................................................................iii
BAB I PENDAHULUAN
A. LatarBelakang...............................................................................................1
B. RumusanMasalah..........................................................................................1
C. Tujuan...........................................................................................................1
BAB II PEMBAHASAN
A. Pengertian Istihsan........................................................................................2
B. Bentuk – Bentuk Istihsan..............................................................................4
C. Perbedaan Ulama akan keabsahan Mazhab Istihsan.....................................7
D. Relevansi Istihsan dengan Sumber Hukum Islam lainnya............................9
E. Contoh Istihsan sebagai Sumber Hukum dalam Ekonomi..........................12
F. Perbedaan Istihsan dengan Qiyas................................................................15
DAFTAR PUSTAKA
1
BAB I
PENDAHULUAN
A. LatarBelakang
Dalam mekanisme ijtihad dan istinabath hukum Islam, Ilmu Ushul Fiqih
merupakan salah satu intrumen penting yang harus dilakukan. Dalam
pembahasan criteria seorang Mujtahid, penguasaan akan ilmu ini dimaksudkan
sebagai salah satu syarat mutlak untuk menjaga supaya proses ijtihad dan
istinabath tetap pada jalan yang semestinya, Ushul Fiqih-lah salah satu
penjaganya. Meskipun demikian, ada satu fakta yang tidak dapat dipungkuri
bahwa penguasaan Ushul Fiqih tidak menjamin kesatuan hasil ijtihad dan
istinbath para Mujtahid. Salah satu cabang dari Ilmu Ushul Fiqih ialah Istihsan,
pada makalah ini kami akan bahas semua tentang Istihsan.
B. RumusanMasalah
1. Apa pengertian Istihsan?
2. Apa saja Perbedaan Ulama akan keabsahan Mazhab Istihsan sebagai
Sumber Hukum?
3. Bagaimana Relevansi Istihsan dengan sumber hukum islam lainnya?
4. Apa saja contoh Istihsan sebagai Sumber Hukum dalam Ekonomi?
C. Tujuan
1. Mengetauhi Pengertian Istihsan.
2. Mengetauhi apa saja Perbedaan Ulama akan keabsahan Mazhab Istihsan
sebagai Sumber Hukum.
3. Mengetauhi Relevansi Istihsan dengan sumber hukum Islam lainnya.
4. Mengetauhi Contoh Istihsan sebagai Sumber Hukum dalam Ekonomi.
2
BAB II
PEMBAHASAN
A. Pengertian Istihsan
Istihsan secara etimologi berasal dari kata “al-hasan”, yang berarti sesuatu
yang baik. Abu Hanifah tetap menggunakan arti lughawi sebagai dasar
pemakaian istihsan yaituٍ رحسD )اسastahsin) berarti saya menganggap baik.1 Arti
lain dari istihsan adalah mengikuti sesuatu yang lebih baik atau mencari yang
lebih baik untuk diikuti karena memang disuruh untuk itu. 2 Dari pengertian
secara etimologi tersebut, maka tergambar adanya sesorang yang telah
menghadapi dua hal yang keduanya baik, akan tetapi ada hal yang
mendorongnya untuk meninggalkan satu diantaranya dan menetapkan untuk
diambil yang satunya karena dianggap lebih baik untuk diamalkan.
Istihsan dapat diartikan meminta berbuat kebaikan, yakni menghitung-
hitung sesuatu dan menganggapnya kebaikan. Menurut istilah ulama ushul,
istihsan adalah sebagai berikut:
1. Menurut Al-Ghazali dalam kitabnya Al-Mustafa juz 1:37, “Istihsan adalah
semua hal yang dianggap baik oleh mujtahid menurut akalnya.”
2. Al-Muwafiq Ibnu Qudamah Al-Hambali berkata, “Istihsan adalah suatu
keadilan terhadap hukum dan pandangannya karena adanya dalil tertentu
dari Al-Quran dan As-Sunnah.”
3. Abu Ishaq Asy-Syatibi dalam madzhab Al-Maliki berkata, “Istihsan adalah
pengembalian suatu kemaslahatan yang bersifat juz’I dalam menanggapi
dalil yang bersifat global.”
4. Istilah istihsan dikalangan Ulama Hanafiyah sebagaimana yang dikutip oleh
al-Sarkhasi:
ز ياجعّهانشزعٕيٕك الُنصاٗن اراُئاٚ انًعمتاالجٓر أد غائةانز٘ا ٗف ذقد.(ا
“Beramal dengan ijtihad dan umum pendapat dalam
menentukan sesuatu yang syara “menyerahkannya kepada
kita.”
1
Abu Zahrah, Ushul, op.cit., h. 402
2
Amir Syarifuddin, UshulFiqh, Jilid II (Cet. I; Jakarta: Logos, 1999), h. 305.
3
3
AcepDjazuli dan I. NurolAen, UshulFiqh (Bandung: Gilang Aditya Press, 1997), 130-133
4
4
Abi Isa Muhammad bin Isa ibn Saurah, Sunan al-Turmudzi, Kitab al-Saum ‘an Rasulullah, Bab
Ma Ja’a fi alSaimYa’kul au YasribNasiyan, No. Hadis 654 dalamMausu’ah al-Hadis al-Syarif ver.
2 (CD ROM). Jami al-HuquqMahfuzah li Syirkah al- Baramij al-Islamiyag al-Dauliyah, 1991-
1997.
6
5
Iskandar Usman, Istihsan dan Pembaharuan Hukum Islam (Jakarta: Rajawali Press, 1994), h. 53.
6
Ibid
7
Umar Syihab, Hukum Islam dan TransformasiPemikiran (Cet. 1; Semarang: PT. KaryaToha
Putra, 1996), h. 27
8
Hasan Hamid Hasan, Nasabiyah al-Maslahat fi al-Fiqh al-Islamiyah (Mesir: DâralMaktabat al-
Arabiyah, t.th.), h. 250
7
penggunaan lafaz istihsan, karena kata yang mengandung makna hasan (baik)
itu terdapat dalam teks Al-qur’an dan sunnah. Allah Swt berfirman dalam QS.
Al-Zumar (39) : 17-18.
Terjemahnya: “Dan orang-orang yang menjauhi thaghut (yaitu) tidak
menyembahnya dan kembali kepada Allah, bagi mereka berita gembira; sebab
itu sampaikanlah berita itu kepada hamba-hamba-Ku. Yang mendengarkan
perkataan lalu mengikuti apa yang paling baik di antaranya. Mereka itulah
orang-orang yang telah diberi Allah petunjuk dan mereka itu lah orang-orang
yang mempunyai akal.”
Artinya: Dan telah Kami tuliskanuntuk Musa pada luh-luh (Taurat) segala
sesuatu sebagai pelajaran dan penjelasan bagi segala sesuatu; maka (Kami
berfirman): "Berpeganglah kepadanya dengan teguh dan suruhlah kaummu
berpegang kepada (perintah-perintahnya) dengan sebaik-baiknya, nanti Aku
akan memperlihatkan kepadamu negeri orang-orang yang fasik.
Selain itu juga, Rasulullah Saw, bersabda:
مارءاهالمسلمو ن حسنافھوعنداللهحسن
Artinya : “Sesuatu yang dipandang oleh kaum muslimin itu baik, maka
menurut Allah pun adalah baik. (HR. Ahmad).
9
Dari sini, ulama Mazhab Hanafi tetap berpegang kepada istihsan. Akan
tetapi mereka menggunakannya tetap berdasarkan kepada dalil-dalil yang kuat.
Bukan kepada hawa nafsu sebagaimana yang dituduhkan para ulama yang
menentang istihsan. Mereka berpendapat dalam posisi istihsan ini, melakukan
istihsan lebih utama dari pada melakukan qiyas. Karena pengambilan dalil
yang lebih kuat diutamakan dari pada dalil yang lemah. Pada dasarnya dalam
praktek istihsan ini, tidak mesti ada dalil yang bertentangan, tetapi istihsan itu
cukup dilakukan ketika ada dalil yang lebih kuat, sekaligus menggugurkan
dalil yang lemah. Atau istihsan itu dilakukan dengan cara meninggalkan qiyas
Karena ada dalil-dalil lain yang lebih kuat yang diambil dari teks Al-Qur’an,
sunnah, ijma', adanya darurat, atau dari qiyas khafi.
9
Iskandar, op.cit., h. 176.
10
orang yang masih hidup yang sangat memerlukan kornea mata agar mereka
dapat hidup sempurna dan dapat menjalankan tugasnya dengan baik sebagai
khalifah di muka bumi.10Apalagi kornea mayat tersebut tidak dibutuhkan lagi
oleh simayit dan bahkan akan hancur, kembali kepada asalnya, tanah.
Di sinilah keluwesan hukum Islam dapat berubah sesuai dengan keadaan
dan perkembangan masyarakat. Dengan demikian dapat dipahami, bahwa
keadaan dan perkembangan masyarakat harus dijadikan pertimbangan hukum
agar hukum itu betul-betul mempunyai arti dan fungsi di tengah-tengah
masyarakat serta mampu merealisasikan kemaslahatan dan menolak kerusakan
bagi umat. Menjadikan keadaan atau lingkungan perkembangan baru yang
timbul dalam masyarakat sebagai salah satu pertimbangan hukum, merupakan
pembaruan hukum Islam. Dengan cara demikian hukum Islam mampu
mewujudkan kemaslahatan di setiap waktu dan tempat.11
Sedangkan yang dimaksud dengan pertimbangan hukum di sini, adalah
bahwa perkembangan baru itu atau perubahan-perubahan yang terjadi dalam
masayarkat yang mempunyai kaitannya dengan ketentuan hukum perlu
mendapatkan pertimbangan agar suatu ketentuan hukum yang akan ditetapkan
dapat berlaku efektif dan tujuan yang ingin dicapai oleh hukum yang mengatur
suatu masalah itu dapat terealisasi dan tepat sasarannya serta sesuai dengan
nilai-nilai dasar ajaran Islam.12
Asumsi di atas dapat ditelaah dari sikap khalifah Umar Ibn Khattab yang
tidak memberikan zakat kepada para muallaf, padahal para mualaf itu
menerima zakat pada masa Nabi saw., dan khalifah Abu Bakar. Sebab pada
masa khalifah kedua ini, Islam sudah kuat dengan kebudayaan dan
peradabannya yang sedemikian maju, sehingga orang-orang di luar Islam
tertarik dan bahkan bangga menjadi bagian keluarga muslim. Perkembangan
baru itu telah dijadikan pertimbangan hukum oleh Umar untuk menghapus
bagian zakat kepada muallaf. Demikian pula azan Jumat satu kali berubah
10
Ibid., h. 181.
11
Ibid., h. 184.
12
Ibid
11
menjadi dua kali pada masa Usman bin Affan. 13 Hal itu dilakukan khalifah
Usman mengingat jumlah umat Islam telah berkembang pesat sehingga
dikuatirkan azan Jumat yang dikumandang sekali tidak dapat didengar oleh
semua laki-laki yang wajib shalat Jumat.
Jadi pembaruan hukum Islam merupakan usaha menetapkan hukum yang
mampu menjawab permasalahan dan perkembangan baru yang ditimbulkan
oleh kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi dengan cara menjadikan
perkembangan baru itu sebagai pertimbangan hukum tersebut agar betul-betul
mampu mewujudkan tujuan syariat yang dalam istilah usulfiqh, disebut dengan
maqasid al-syariah.
Salah satu metode istinbat hukum yang sangat relevan pembaruan hukum
Islam dalam perangkap pemeliharaan tujuan syariat adalah istihsan. Karena
istihsan sangat memperhatikan segi tujuan syariat yang hendak dicapai demi
kepentingan umat. Sedangkan pembaruan hukum Islam berusaha untuk
mengatur seluruh perbuatan hukum umat dengan ketentuan hukum yang
disusun berdasarkan ajaran-ajaran dan prinsip-prinsip yang berasal dari
Alquran dan hadis. Dengan kata lain pembaruan hukum Islam bertujuan untuk
menjamin kepentingan umat dengan mengatur seluruh perbuatan hukumnya
dengan ketentuan hukum yang dikembangkan dari kedua sumber utama hukum
tersebut demi kebahagiaan hidup mereka dunia akhirat. 14Namun perlu dicatat
bahwa pemakaian istihsan disaat ada masalah yang tidak ada ketentuannya
dalam Alquran dan hadis, sekalipun ada dalam qiyas tetapi hasilnya masih
belum mewujudkan kemaslahatan umat atau berbenturan dengan maqasid al-
syariah, maka dalam kondisi sepertiini mujtahid meninggalkan qiyas dan
menggunakan istihsan.
Berkaitan dengan maslahat, sebenarnya tidak ada yang berbeda dengan
Imam Syafi`i yang tampak begitu keras menolak istihsan. Pada dasarnya imam
Syafi’I mempermasalahkan nama-nama yang diberikan kepada masing-masing
istihsan, seperti istihsan sunah dan istihsan ijma. Sebab keduanya tidak layak
13
Ibid
14
Ibid., h. 197
12
15
A. Djazuli, Kaidah-KaidahFikih: Kaidah-Kaidah Hukum Islam dalamMenyelesaikanMasalah-
Masalah yang Praktis (Cet. I; Jakarta: Kencana, 2006), h. 72.
16
Moh. Syarifudin, “MaslahahSebagaiAlternatifIstimbath Hukum dalamEkonomi Syariah”,
JurnalLentera, Volume 17 Nomor 1, Maret 2018, hal. 55-56.
13
17
Muhammad Izzu al-Din Ibn Abi Salam, Qawa’id al-Ahkam fi MasalihalAnam, (Beirut: Dar al-
Kutub al-Ilmiyyah, 1999), hal. 12.
18
Bambang Iswanto, “Peran Bank Indonesia, Dewan Syariah Nasional, Badan Wakaf Indonesia
dan BaznasDalamPengembangan Hukum Ekonomi Islam di Indonesia”, JurnalIqtishadia, Volume
9, Nomor 2, 2016, hal. 425
19
Akhmad Mujahidin, “PerananKearifanLokal (Local Wisdom) DalamPengembanganEkonomi dan
Perbankan Syariah di Indonesia”, JurnalIlmiahSyari’ah, Volume 15, Nomor 2, Juli-Desember
2016, hal. 157.
15
20
UginLugina, “PengembanganEkonomiPondokPesantren Di Jawa Barat”, Risalah: Jurnal
Pendidikan dan Studi Islam, Volume 4, Nomor 1, 2018, hal. 62.
16
BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
Dengan penyataan-pernyataan diatas maka kita dapat simpulkan bahwa:
1. Istihsan suatu hal yang baik dan dijadikan pedoman untuk melakukan
suatu hal. Istihsan merupakan suatu metode istinbath hukum yang dapat
dijadikan hujjah, mazhab maliki dan hanafi menyatakan bahwa istihsan
memiliki peranan yang penting dalam pengembangan hukum Islam.
2. Pembaruan hukum Islam berarti gerakan ijtihad yang menetapkan hukum
yang mampu menjawab permasalahan dan perkembangan baru yang
ditimbulkan oleh kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi, baik
menetapkan hukum terhadap masalah-masalah baru yang belum ada
ketentuan hukumnya maupun menetapkan hukum baru untuk
menggantikan ketentuan hukum lama yang tidak sesuai lagi dengan
keadaan dan kemaslahatan manusia masa sekarang.
3. Istihsan mempunyai relevansi dengan pembaruan hukum Islam,
relevansinya itu terletak pada tujuan hukum Islam. Karena pembaruan
Hukum Islam bertujuan untuk merealisasikan dan memelihara
kemaslahatan umat manusia semaksimal mungkin yang mrupakan
maaqasid syariat.
17
DAFTAR PUSTAKA
Abi Isa Muhammad bin Isa ibn Saurah, Sunan al-Turmudzi, Kitab al-Saum ‘an
Rasulullah, Bab Ma Ja’a fi alSaimYa’kul au Yasrib Nasiyan, No. Hadis 654
dalam Mausu’ah al-Hadis al-Syarif ver. 2 (CD ROM). Jami al-
HuquqMahfuzah li Syirkah al- Baramij al-Islamiyag al-Dauliyah, 1991-1997.
Umar Hubeis dan A. Yazid, Fiqh al-Lughah al-‘Arabiyah, Jilid II (Cet. IX;
Surabaya Pustaka Progresif, 1985), hlm. 187.