Anda di halaman 1dari 20

MAKALAH

“ISTIHSAN”

DosenPengampu:
Dr.Toha Andiko, M.Ag

Oleh:
Rivaldo (2223150109)
Roby Saputra (2223150127)

PROGRAM STUDI HUKUM TATA NEGARA


FAKULTAS SYARIAH
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI FATMAWATI SUKARNO
BENGKULU
2023
ii

KATA PENGANTAR

Puji syukur kehadirat Allah Swt, yang Maha Kuasa atas limpahan rahmat-
Nya sehingga kami dapat menyelesaikan penulisan makalah sesuai dengan
rencana. Shalawat serta salam semoga tetap terhaturkan kepada Rasulullah
Muhammad Saw yang telah membawa umatnya dari kegelapan menuju jalan
terang benderang berupa agama Islam.
Makalah disusun untuk memenuhi salah satu tugas mata kuliah dengan
judul “Istihsan”.
Penulis menyadari bahwa masih banyak kekurangan dalam menyusun tugas
makalah ini. Oleh karena itu mengharap kritik dan saran dari pembaca untuk
kesempurnaan penulisan makalah ini. Semoga makalah ini bermanfaat bagi
penulis dan pembaca. Amin

Surabaya, Oktober 2023

Penulis
iii

DAFTAR ISI

HALAMAN JUDUL................................................................................................
KATA PENGANTAR............................................................................................ii
DAFTAR ISI.........................................................................................................iii

BAB I PENDAHULUAN
A. LatarBelakang...............................................................................................1
B. RumusanMasalah..........................................................................................1
C. Tujuan...........................................................................................................1

BAB II PEMBAHASAN
A. Pengertian Istihsan........................................................................................2
B. Bentuk – Bentuk Istihsan..............................................................................4
C. Perbedaan Ulama akan keabsahan Mazhab Istihsan.....................................7
D. Relevansi Istihsan dengan Sumber Hukum Islam lainnya............................9
E. Contoh Istihsan sebagai Sumber Hukum dalam Ekonomi..........................12
F. Perbedaan Istihsan dengan Qiyas................................................................15

BAB III PENUTUP


A. Kesimpulan.................................................................................................16

DAFTAR PUSTAKA
1

BAB I
PENDAHULUAN

A. LatarBelakang
Dalam mekanisme ijtihad dan istinabath hukum Islam, Ilmu Ushul Fiqih
merupakan salah satu intrumen penting yang harus dilakukan. Dalam
pembahasan criteria seorang Mujtahid, penguasaan akan ilmu ini dimaksudkan
sebagai salah satu syarat mutlak untuk menjaga supaya proses ijtihad dan
istinabath tetap pada jalan yang semestinya, Ushul Fiqih-lah salah satu
penjaganya. Meskipun demikian, ada satu fakta yang tidak dapat dipungkuri
bahwa penguasaan Ushul Fiqih tidak menjamin kesatuan hasil ijtihad dan
istinbath para Mujtahid. Salah satu cabang dari Ilmu Ushul Fiqih ialah Istihsan,
pada makalah ini kami akan bahas semua tentang Istihsan.

B. RumusanMasalah
1. Apa pengertian Istihsan?
2. Apa saja Perbedaan Ulama akan keabsahan Mazhab Istihsan sebagai
Sumber Hukum?
3. Bagaimana Relevansi Istihsan dengan sumber hukum islam lainnya?
4. Apa saja contoh Istihsan sebagai Sumber Hukum dalam Ekonomi?

C. Tujuan
1. Mengetauhi Pengertian Istihsan.
2. Mengetauhi apa saja Perbedaan Ulama akan keabsahan Mazhab Istihsan
sebagai Sumber Hukum.
3. Mengetauhi Relevansi Istihsan dengan sumber hukum Islam lainnya.
4. Mengetauhi Contoh Istihsan sebagai Sumber Hukum dalam Ekonomi.
2

BAB II
PEMBAHASAN
A. Pengertian Istihsan
Istihsan secara etimologi berasal dari kata “al-hasan”, yang berarti sesuatu
yang baik. Abu Hanifah tetap menggunakan arti lughawi sebagai dasar
pemakaian istihsan yaituٍ ‫رحس‬D‫ )اس‬astahsin) berarti saya menganggap baik.1 Arti
lain dari istihsan adalah mengikuti sesuatu yang lebih baik atau mencari yang
lebih baik untuk diikuti karena memang disuruh untuk itu. 2 Dari pengertian
secara etimologi tersebut, maka tergambar adanya sesorang yang telah
menghadapi dua hal yang keduanya baik, akan tetapi ada hal yang
mendorongnya untuk meninggalkan satu diantaranya dan menetapkan untuk
diambil yang satunya karena dianggap lebih baik untuk diamalkan.
Istihsan dapat diartikan meminta berbuat kebaikan, yakni menghitung-
hitung sesuatu dan menganggapnya kebaikan. Menurut istilah ulama ushul,
istihsan adalah sebagai berikut:
1. Menurut Al-Ghazali dalam kitabnya Al-Mustafa juz 1:37, “Istihsan adalah
semua hal yang dianggap baik oleh mujtahid menurut akalnya.”
2. Al-Muwafiq Ibnu Qudamah Al-Hambali berkata, “Istihsan adalah suatu
keadilan terhadap hukum dan pandangannya karena adanya dalil tertentu
dari Al-Quran dan As-Sunnah.”
3. Abu Ishaq Asy-Syatibi dalam madzhab Al-Maliki berkata, “Istihsan adalah
pengembalian suatu kemaslahatan yang bersifat juz’I dalam menanggapi
dalil yang bersifat global.”
4. Istilah istihsan dikalangan Ulama Hanafiyah sebagaimana yang dikutip oleh
al-Sarkhasi:
‫ ز ياجعّهانشزعٕيٕك الُنصاٗن اراُئا‬ٚ‫ انًعمتاالجٓر أد غائةانز٘ا ٗف ذقد‬.(‫ا‬
“Beramal dengan ijtihad dan umum pendapat dalam
menentukan sesuatu yang syara “menyerahkannya kepada
kita.”

1
Abu Zahrah, Ushul, op.cit., h. 402
2
Amir Syarifuddin, UshulFiqh, Jilid II (Cet. I; Jakarta: Logos, 1999), h. 305.
3

) ‫ن ااأْل وقثمَاعاوانرايم ٗف‬ّٛ‫ق اسانظْازانٖذ ذسثقا‬ٛ‫ ٌٕك يعارضانه‬ٚ ‫ن مانٖذ‬ٛ‫ اند‬.(‫ب‬


‫ن مانٖذ عارّض ٕفّق ٗف انٕقجفٌاانًعمّْٕتإناجة‬ٛ‫ ٓظٍْز اند‬ٚ‫حكىانعادٔج اشثْٓااٍياالٕص ل‬
“Dalil yang menyalahi qiyas yang zahir yang didahului
prasangka sebelum diadakan pendalaman terhadap dalil itu
namun setelah diadakan penelitian yang mendalam
terhadap dalil itu dalam hukum yang berlaku dan dasar-
dasar yang sama dengan itu ternyata bahwa dalil yang
menyalahi qiyas itu lebih kuat dan oleh karenanya wajib
diamalkan.”
5. Menurut Muhammad Abu Zahrah, “Definisi yang lebih baik adalah menurut
Al-Hassan Al-Khurki di atas.”
6. Sebagian ulama yang lainnya mengatakan bahwa istihsan adalah perbuatan
adil dalam hukum yang menggunakan dalil adat untuk kemaslahatan
manusia, dan lain-lain.
Adapun Dalil Syara’ yang menetapkan perpindahan tersebut disebut dengan
Sanad al-Istihsan atau secara singkat Istihsan dapat didefinisikan yaitu:
“Menguatkan suatu dalil atas dalil lain yang berlawanan dengan Tarjih yang
diakui oleh syara’.3
Menurut Abdul Wahab Khalaf bahwa Istihsan dalam pengertian bahasa
ialah: Menganggap baik sesuatu. Sedangkan menurut istilah Ulama Ushul
ialah: Berpindahnya seorang mujtahid dari tuntutan Qiyas Jalli (Qiyas Nyata)
kepada Qiyas Khafi (Qiyas Samar), atau dari Hukum Kully (Umum) kepada
hukum pengecualian, karena ada dalil yang menyebabkan dia mencela akalnya
dan dimenangkan baginya perpindahan ini. Jadi apabila terjadi sesuatu kejadian
dan tidak terdapat dalam Nash mengenai hukumnya, maka untuk
membicarakan hal itu terdapat dua segi yang saling bertentangan yaitu:
Pertama, “Segi nyata yang menghendaki suatu hukum” dan kedua, “Segi
tersembunyi yang menghendaki hukum lain”
Imam Abu Hanifah al-Hasan al -Karkhi mengemukakan definisi bahwa
Istihsan ialah: “Penetepan hukum dari seorang mujtahid terhadap suatu

3
AcepDjazuli dan I. NurolAen, UshulFiqh (Bandung: Gilang Aditya Press, 1997), 130-133
4

masalah yang menyimpang dari ketetapan hukum yang diterapkan pada


masalah-masalah yang serupa, karena ada alasan lebih kuat yang menghendaki
dilakukannya penyimpangan itu”. Di antara definisi-definisi Istihsan yang ada,
maka definisi ini merupakan definisi yang paling mengena dalam menjelaskan
hakekat Istihsan menurut pandangan Madzhab Hanafi, sebab definisi tersebut
bisa mencakup seluruh macam Istihsan serta dapat menyentuh pada azas dan
inti pengertian yang dimaksudkannya. Azas yang dimaksud ialah adanya
diktum hukum yang menyimpang dari kaidah yang berlaku, karena faktor lain
yang mendorong agar keluar dari keterikatannya dengan kaidah itu yang
dipandang justru akan lebih dekat pada tujuan syara‟ dibanding seandainya
tetap terpaku dan berpegang teguh pada kaidah di atas. Sehingga dengan
demikian berpegang pada Istihsan dalam pemecahan kasus itu lebih kuat dari
pada menggunakan Dalil Qiyas.

B. Bentuk – Bentuk Istihsan


Ulama usul mengemukakan pembagian istihsan dilihat dari berbagai segi
sebagai berikut:
1. Dari segi pengertiannya Istihsan dilihat dari segi pengertiannya dapat dibagi
menjadi dua bagian, yaitu:
a) Beralih dari qiyâs jali kepada qiyâs khafî karena ada dalil yang
mendukungnya
b) Memberlakukan pengecualian hukum juz’i dari hukum kulli (kaidah
umum), didasarkan pada dalil khusus yang mendukungnya.
2. Dari segi Sandarannya Istihsan dilihat dari segi sandarannya, yaitu:
a) Mazhab Hanafi dan Muhammad Abu Zahrah membagi Istihsan atas tiga
bagian, yakni: Istihsan dengan nas, Istihsan dengan jimak, dan istihsan
dengan darurat.
b) ‘Abd al-Wahab Khallaf membaginya atas dua bagian, yaitu istihsan qiyas
khafi dan istihsan ‘urf.
5

c) Mazhab Maliki membagi istihsan atas empat bagian, yakni: istihsan


dengan ‘urf, istihsan maslahat, istihsan ijma’, dan kaidah raf’ al-haraj wa
al-masyaqqat.
Berdasarkan pembagian yang dikemukakan di atas, maka berikut ini akan
dijelaskan satu persatu pembagian tersebut.
1. Istihsan dengan nas, yaitu istihsan berdasarkan ayat atau hadis. Maksudnya,
ada ayat atau hadis tentang hukum suatu kasus yang berbeda dengan
ketentuan kaidah umum. Contohnya, dalam kasus orang yang makan dan
minum di saat berpuasa karena ia lupa. Menurut kaidah umum (qiyas),
puasa orang ini batal karena ia telah memasukkan sesuatuke dalam
kerongkongannya dan tidak menahan puasanya sampai ia berbuka. Akan
tetapi, hukum ini dikecualikan oleh hadis Rasulullah saw
‫لى هللا عليه‬D‫ َق اَل َر ُس وُل ِهَّللَا – ص‬: ‫ي هللا عنه – َق اَل‬D‫َو َع ْن َأِبي ُهَر ْي َر َة – رض‬
‫ َفِإَّنَم ا َأْطَع َم ُه ُهَّللَا‬,‫ َفْلُيِتَّم َص ْو َم ُه‬, ‫ َفَأَك َل َأْو َش ِر َب‬, ‫وسلم – – َم ْن َنِس َي َو ُهَو َص اِئٌم‬
‫َو َس َقاُه – ُم َّتَفٌق َع َلْيِه‬4
‘Dari Abu Hurairah, bahwa Rasulullah saw. bersabda: “Barangsiapa yang
makan atau minum karena lupa, tidaklah batal puasanya, karena itu hal
merupakan rezeki yang diturunkan Allah kepadanya.
Berdasarkan hadis ini menunjukkan, bahwa tidak batal puasa orang yang
tidak sengaja makan atau minum. Yang dianggap membatalkan puasa adalah
sengaja makan atau minum. Sebab secara psikologi, makan atau minum karena
kelupaan tidaklah dilandasi oleh kesadaran, sehingga orang yang makan atau
minum tanpa sengaja tidak menyebabkan puasanya batal.Namun demikian
pengecualian ini hanya berkaitan dengan hak Tuhan, dan tidak dapat
diterapkan kepada tindak pidana yang berkaitan dengan hak manusia meskipun
dilakukan tanpa disengaja, misalnya dalam pembunuhan karena khilaf yang
tetap dikenai sanksi pidana bagi pelakunya.

4
Abi Isa Muhammad bin Isa ibn Saurah, Sunan al-Turmudzi, Kitab al-Saum ‘an Rasulullah, Bab
Ma Ja’a fi alSaimYa’kul au YasribNasiyan, No. Hadis 654 dalamMausu’ah al-Hadis al-Syarif ver.
2 (CD ROM). Jami al-HuquqMahfuzah li Syirkah al- Baramij al-Islamiyag al-Dauliyah, 1991-
1997.
6

2. Istihsan ijma’, yaitu meninggalkan qiyas karena ada kesepakatan umum. 5


Contohnya, penetapan sahnya akad jual beli yang tidak yang tidak
menghadirkan obyeknya, karena transaksi semacam itu sudah jelas dan
dikenal sepanjang zaman. Hal seperti ini menurut qiyas tidak sah, kerena
obyeknya tidak ada.
3. Istihsan qiyas khafi, yaitu qiyas yang antara asal dan cabangnya terdapat
perbedaan yang mempengaruhi hukumnya.6 Contohnya, seseorang yang
telah mewakafkan sebidang tanah pertanian. Secara istihsan, hak-hak yang
bersangkut paut dengan tanah itu, seperti hak mengairi, membuat saluran air
di atas tanah tersebut sudah tercakup dalam pengertian wakaf secara
langsung, meskipun hak-hak itu tidak disebutkan secara terinci. Sedangkan
secara qiyas, hak-hak itu tidak langsung masuk ke dalamnya, kecuali hak-
hak itu tercakup di dalamnya atas ketetapan nas.
4. Istihsan darurat, yaitu penetapan hukum suatu peristiwa yang menyimpang
dari hukum yang ditetapkan melalui qiyas, karena adanya keadaan darurat
yang mengharuskan menyimpangan tersebut, dengan maksud untuk
menghindari kesulitan.7 Contohnya syariat melarang seorang laki-laki
melihat aurat wanita, tetapi dalam keadaan darurat, misalnya dokter yang
hendak mengobati diperbolehkan oleh istihsan melihat aurat pasien wanita.
Kebolehan di sini hanya bisa berlaku ketika hendak mengobati, dan apabila
penyakit yang diobati itu telah sembuh, maka kebolehan tersebut kembali
menjadi terlarang.
5. Istihsan ‘urf, ialah sesuatu berdasarkan adat kebiasaan yang berlaku umum. 8
Contohnya, sama dengan contoh istihsan yang berdasarkan ijmak, seperti
pada nomor 2 di atas.
6. Istihsan maslahat, yaitu meningalkan qiyas karena adanya maslahat
(kebaikan). Contohnya, adanya jaminan bagi buruh yang berserikat.

5
Iskandar Usman, Istihsan dan Pembaharuan Hukum Islam (Jakarta: Rajawali Press, 1994), h. 53.
6
Ibid
7
Umar Syihab, Hukum Islam dan TransformasiPemikiran (Cet. 1; Semarang: PT. KaryaToha
Putra, 1996), h. 27
8
Hasan Hamid Hasan, Nasabiyah al-Maslahat fi al-Fiqh al-Islamiyah (Mesir: DâralMaktabat al-
Arabiyah, t.th.), h. 250
7

Menurut Imam Malik, bahwa hal itu diperlukan, sekalipun berdasarkan


qiyas tidak perlu ada jaminan, sebab yangberserikat pada umumnya
memiliki kejujuran. Namun Imam Malik melihat kebiasaan ada buruh yang
tidak mempunyai tanggung jawab.
7. Istihsan raf al-haraj wa al-masyaqqat (menolak kesukaran dan kesulitan).
Hal ini merupakan kaidah yang qath’i, yakni meninggalkan masalah kecil
dan menghindari kesukaran. Contohnya, memperbolehkan pemakaian
kamar mandi umum tanpa ketentuan jumlah sewa, lama pemakaian dan
banyaknya air yang dipakai. Karena itu asal hukumnya tidak boleh, sebab
termasuk sewa menyewa, dan objeknya tidak jelas. Akan tetapi, hal ini
dibatalkan oleh Imam Malik.
Berdasarkan penjelasan tentang istihsan di atas dapat dipahami, bahwa
menurut Hanafi dan Maliki, istihsan tidak keluar dari dalil-dalil syarak,
melainkan beramal dengan dalil yang satu dan meninggalkan dalil yang lain.
Istihsan ini merupakan hasil pemikiran seorang mujtahid berdasarkan akalnya
dan juga sebagai istinbat hukum.

C. Perbedaan Ulama akan keabsahan Mazhab Istihsan sebagai Sumber


Hukum
Para ulama fikih berbeda pendapat mengenai keabsahan istihsan sebagai
dalil pokok dalam pengambilan hukum. Di antara ulama yang paling santer
dalam membela dan mengamalkan istihsan sebagai hujjah adalah ulama
Mazhab Hanafi. Di tambah sebagian ulama-ulama lainnya dari Madzhab
Maliki dan Hanbali. Hanya saja, ulama Mazhab Syafi'I memiliki pandangan
yang berbeda dalam memposisikan istihsan sebagai dalil pokok dalam
pengambilan hukum. Sebenarnya tidak ada perbedaan yang signifikan antara
pandangan ulama yang membela dan mendukung istihsan dengan ulama yang
menentang istihsan. Mereka tidak berselisih dalam
8

penggunaan lafaz istihsan, karena kata yang mengandung makna hasan (baik)
itu terdapat dalam teks Al-qur’an dan sunnah. Allah Swt berfirman dalam QS.
Al-Zumar (39) : 17-18.
Terjemahnya: “Dan orang-orang yang menjauhi thaghut (yaitu) tidak
menyembahnya dan kembali kepada Allah, bagi mereka berita gembira; sebab
itu sampaikanlah berita itu kepada hamba-hamba-Ku. Yang mendengarkan
perkataan lalu mengikuti apa yang paling baik di antaranya. Mereka itulah
orang-orang yang telah diberi Allah petunjuk dan mereka itu lah orang-orang
yang mempunyai akal.”

Surat Al-A’rafayat 145:

Artinya: Dan telah Kami tuliskanuntuk Musa pada luh-luh (Taurat) segala
sesuatu sebagai pelajaran dan penjelasan bagi segala sesuatu; maka (Kami
berfirman): "Berpeganglah kepadanya dengan teguh dan suruhlah kaummu
berpegang kepada (perintah-perintahnya) dengan sebaik-baiknya, nanti Aku
akan memperlihatkan kepadamu negeri orang-orang yang fasik.
Selain itu juga, Rasulullah Saw, bersabda:
‫مارءاهالمسلمو ن حسنافھوعنداللهحسن‬
Artinya : “Sesuatu yang dipandang oleh kaum muslimin itu baik, maka
menurut Allah pun adalah baik. (HR. Ahmad).
9

Dari sini, ulama Mazhab Hanafi tetap berpegang kepada istihsan. Akan
tetapi mereka menggunakannya tetap berdasarkan kepada dalil-dalil yang kuat.
Bukan kepada hawa nafsu sebagaimana yang dituduhkan para ulama yang
menentang istihsan. Mereka berpendapat dalam posisi istihsan ini, melakukan
istihsan lebih utama dari pada melakukan qiyas. Karena pengambilan dalil
yang lebih kuat diutamakan dari pada dalil yang lemah. Pada dasarnya dalam
praktek istihsan ini, tidak mesti ada dalil yang bertentangan, tetapi istihsan itu
cukup dilakukan ketika ada dalil yang lebih kuat, sekaligus menggugurkan
dalil yang lemah. Atau istihsan itu dilakukan dengan cara meninggalkan qiyas
Karena ada dalil-dalil lain yang lebih kuat yang diambil dari teks Al-Qur’an,
sunnah, ijma', adanya darurat, atau dari qiyas khafi.

D. Relevansi Istihsan dengan Sumber Hukum Islam lainnya


Istilah pembaruan hukum Islam dimaknai dengan gerakan menetapkan
hukum yang mampu menjawab permasalahan dan perkembangan baru yang
ditimbulkan oleh kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi modern, baik
menetapkan hukum terhadap masalah baru yang belum ada ketentuan
hukumnya atau menetapkan hukum baru untuk menggantikan ketentuan hukum
lama yang tidak sesuai lagi dengan keadaan dan kemaslahatan manusia masa
sekarang.9
Sebagai contoh kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi dalam bidang
kedokteran telah memungkinkan pencangkokan kornea mata yang diambil dari
seseorang yang telah meninggal dunia. Apakah Islam akan menutup mata
terhadap perkembangan IPTEK ini?
Dalam usûl fiqh persoalan tahsiniyat tidak perlu dipertahankan bila akan
menyebabkan Tergangguya maslahat yang lebih utama yakni maslahat hajiyyat
atau daruriyyat. Karena itu pembolehan pencangkokan kornea mata si mayat
kepada si buta bertujuan untuk memelihara maslahat hajiyyat. Dengan
demikian larangan memotong dan mengambil anggota badan si mayat
dikalahkan oleh kepentingan lain yang lebih besar yaitu kemaslahatan orang-

9
Iskandar, op.cit., h. 176.
10

orang yang masih hidup yang sangat memerlukan kornea mata agar mereka
dapat hidup sempurna dan dapat menjalankan tugasnya dengan baik sebagai
khalifah di muka bumi.10Apalagi kornea mayat tersebut tidak dibutuhkan lagi
oleh simayit dan bahkan akan hancur, kembali kepada asalnya, tanah.
Di sinilah keluwesan hukum Islam dapat berubah sesuai dengan keadaan
dan perkembangan masyarakat. Dengan demikian dapat dipahami, bahwa
keadaan dan perkembangan masyarakat harus dijadikan pertimbangan hukum
agar hukum itu betul-betul mempunyai arti dan fungsi di tengah-tengah
masyarakat serta mampu merealisasikan kemaslahatan dan menolak kerusakan
bagi umat. Menjadikan keadaan atau lingkungan perkembangan baru yang
timbul dalam masyarakat sebagai salah satu pertimbangan hukum, merupakan
pembaruan hukum Islam. Dengan cara demikian hukum Islam mampu
mewujudkan kemaslahatan di setiap waktu dan tempat.11
Sedangkan yang dimaksud dengan pertimbangan hukum di sini, adalah
bahwa perkembangan baru itu atau perubahan-perubahan yang terjadi dalam
masayarkat yang mempunyai kaitannya dengan ketentuan hukum perlu
mendapatkan pertimbangan agar suatu ketentuan hukum yang akan ditetapkan
dapat berlaku efektif dan tujuan yang ingin dicapai oleh hukum yang mengatur
suatu masalah itu dapat terealisasi dan tepat sasarannya serta sesuai dengan
nilai-nilai dasar ajaran Islam.12
Asumsi di atas dapat ditelaah dari sikap khalifah Umar Ibn Khattab yang
tidak memberikan zakat kepada para muallaf, padahal para mualaf itu
menerima zakat pada masa Nabi saw., dan khalifah Abu Bakar. Sebab pada
masa khalifah kedua ini, Islam sudah kuat dengan kebudayaan dan
peradabannya yang sedemikian maju, sehingga orang-orang di luar Islam
tertarik dan bahkan bangga menjadi bagian keluarga muslim. Perkembangan
baru itu telah dijadikan pertimbangan hukum oleh Umar untuk menghapus
bagian zakat kepada muallaf. Demikian pula azan Jumat satu kali berubah

10
Ibid., h. 181.
11
Ibid., h. 184.
12
Ibid
11

menjadi dua kali pada masa Usman bin Affan. 13 Hal itu dilakukan khalifah
Usman mengingat jumlah umat Islam telah berkembang pesat sehingga
dikuatirkan azan Jumat yang dikumandang sekali tidak dapat didengar oleh
semua laki-laki yang wajib shalat Jumat.
Jadi pembaruan hukum Islam merupakan usaha menetapkan hukum yang
mampu menjawab permasalahan dan perkembangan baru yang ditimbulkan
oleh kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi dengan cara menjadikan
perkembangan baru itu sebagai pertimbangan hukum tersebut agar betul-betul
mampu mewujudkan tujuan syariat yang dalam istilah usulfiqh, disebut dengan
maqasid al-syariah.
Salah satu metode istinbat hukum yang sangat relevan pembaruan hukum
Islam dalam perangkap pemeliharaan tujuan syariat adalah istihsan. Karena
istihsan sangat memperhatikan segi tujuan syariat yang hendak dicapai demi
kepentingan umat. Sedangkan pembaruan hukum Islam berusaha untuk
mengatur seluruh perbuatan hukum umat dengan ketentuan hukum yang
disusun berdasarkan ajaran-ajaran dan prinsip-prinsip yang berasal dari
Alquran dan hadis. Dengan kata lain pembaruan hukum Islam bertujuan untuk
menjamin kepentingan umat dengan mengatur seluruh perbuatan hukumnya
dengan ketentuan hukum yang dikembangkan dari kedua sumber utama hukum
tersebut demi kebahagiaan hidup mereka dunia akhirat. 14Namun perlu dicatat
bahwa pemakaian istihsan disaat ada masalah yang tidak ada ketentuannya
dalam Alquran dan hadis, sekalipun ada dalam qiyas tetapi hasilnya masih
belum mewujudkan kemaslahatan umat atau berbenturan dengan maqasid al-
syariah, maka dalam kondisi sepertiini mujtahid meninggalkan qiyas dan
menggunakan istihsan.
Berkaitan dengan maslahat, sebenarnya tidak ada yang berbeda dengan
Imam Syafi`i yang tampak begitu keras menolak istihsan. Pada dasarnya imam
Syafi’I mempermasalahkan nama-nama yang diberikan kepada masing-masing
istihsan, seperti istihsan sunah dan istihsan ijma. Sebab keduanya tidak layak

13
Ibid
14
Ibid., h. 197
12

dikategorikan dalam istihsan. Untuk istihsan darurat, Imam Syafi`i-pun


berpendapat, bahwa di mana ada darurat, di situ pula ada rukhsah. Hal ini
berdasarkan kaidah fiqh yang menerangkan, bahwa al-dharuratu tubiihu al-
mahdzurat, darurat atau kemudaratan itu membolehkan hal-hal yang
dilarang.15Perbedaan ini hanya terletak pada lahiriahnya saja. Sebagai mana
diterangkan dalam Kitabnya al-Risalah, Imam Syafi`I berpendapat bahwa tidak
diperkenankan kepada siapapun untuk menggunakan istihsan bila hal itu
menghalangi hukum yang telah jelas pada al-Quran, Sunah dan qiyas pada
sesuatu yang belum ada nasnya. Dengan demikian dapat dikemukakan, bahwa
istihsan boleh dilakukan apabila berdasarkan al-Quran, Sunah, ijma dan qiyas
serta bila dalam keadaan darurat. Hal itu menunjukkan, bahwa imam Syafi’i
tidak menerima istihsan yang bertentangan dengan kepada dalil, baik dalil al-
Qur’an dan hadis maupun dalil ijma dan qiyas.

E. Contoh Istihsan sebagai Sumber Hukum dalam Ekonomi


Sebagaimana diketahui bersama bahwa tujuan pemberlakuan syariah ialah
guna mewujudkan maslahah dan menolak kerusakan, baik di dunia mapun di
akhirat. Hal ini bermakna bahwa setiap aspek dalam ajaran Islam harus tertuju
pada terwujudnya tujuan tersebut, tidak terkecuali pada ekonomi. Oleh
Karena itu, ekonomi syariah harus berperan menjadi sebuah solusi bagi
problematika perekonomian yang terjadi hari ini. Konsekuensi logisnya ialah,
bahwa guna menciptakan sebuah bangunan ekonomi syariah tidak bisa
dilepaskan dari teori kebaikan dan maslahah yang merupakan esensi dari
metodei stihsan.16 Ekonomi syariah yang cukup lama mengalami stagnasi
pengembangan dan tergeser dengan ekonomi konvensional tentu memiliki
peluang besar untuk dijadikan lahan ijtihad. Artinya, kerja keras (ijtihad) dari
para pakar hukum Islam diperlukan guna mencari terobosan-terobosan baru
dalam metode istinbath hukum. Untuk selanjutnya terobosan ideal tersebut

15
A. Djazuli, Kaidah-KaidahFikih: Kaidah-Kaidah Hukum Islam dalamMenyelesaikanMasalah-
Masalah yang Praktis (Cet. I; Jakarta: Kencana, 2006), h. 72.
16
Moh. Syarifudin, “MaslahahSebagaiAlternatifIstimbath Hukum dalamEkonomi Syariah”,
JurnalLentera, Volume 17 Nomor 1, Maret 2018, hal. 55-56.
13

diderivasikan menjadi sebuah teori ekonomisyariah yang kemudian bisa


dijadikan kaidah pada tataran praktik.
Perbedaan yang cukup signifikan antara konsep ekonomi syariah dan
ekonomi konvensional terletak pada wilayah nilai etik. Diantara perilaku
ekonomi yang memiliki nilai etik adalah, etika pada perilaku konsumen, etika
keadilan distributif, dan etika yang dikaitkan dengan peran penguasa. Variabel
etika dalam ekonomi syariah ini tampaknya mempunyai posisi yang sangat
urgen dalam proses ijtihad dalam rangka mengembangkan ekonomi syariah.
Dalam mengembangkan ekonomi syariah, metode yang menekankan pada
wawasan etis dengan harapan bisa memenuhi maksud diatas, istihsan sebagai
salah satu metode istimbat hukum Imam Hanafi, perlu dinaikkan derajat dan
posisinya guna dijadikan sebuah metode sentral dalam rangka pengembangan
ekonomi syariah. Ekonomi syariah yang dalam banyak hal merupakan
reinkarnasi dari fiqh mu’amalah sudah selayaknya mengembalikan kelenturan
dan elastisitas hukum Islam (fiqh) dengan menjadikan istihsan yang
mempunyai esensi kebaikan dan maslahah sebagai the ultimate goal dalam
proses tersebut.
Aturan-aturan dalam syariah memiliki keterkaitan dengan berbagai dimensi
pada aspek kehidupan manusia. Aspek-aspek pada bidang ekonomi hanya
sebagai salah satu dari serangkaian kehidupan manusia. Esensi dari ajaran
istihsan semestinya memiliki implikasi pada tindakan ekonomi disetiap
individu muslim. Selain hal tersebut, para pelaku ekonomi muslim tidak bisa
melupakan implikasi-implikasi saat melakukan analisis ekonomi pada
framework agama Islam. Susunan yang mengutarakan dan implikasi dari
metode istihsan dalam pengembangan ekonomi syariah ini merupakan sebuah
tantangan dan juga tugas yang amat berat,yang harus selalu diusahakan oleh
para pelaku ekonomi muslim. Uraian dibawah ini akan berusaha
menderivikasikan teori metode istihsan kedalam teori ekonomi Syariah.
1. Istihsan dalam Ekonomi Syariah
Kebaikan dan mafsadat tentu sudah diketahui secara akal, sedangkan
pengetahuan yang berkaitan dengan kedua hal tersebut termasuk pokok
14

bahasan syariah, yaitu mewujudkan maslahah/kebaikan dan menolak


mafsadat/kerusakan.17Dalam ketentuan mengenai kegiatan ekonomi, konsep
kebaikan yang diredupsi dari istihsan merupakan sebuah ilustrasi dasar
tentang perwujudan nilai-nilai ajaran Islam di setiap aspek kehidupan
manusia. Konsep ekonomi syariah yang sebenarnya bukan hal yang baru
dalam dunia Islam, dahulu para pakar ekonomi syariah klasik telah
memikirkan mengenai hal ini. Pemikiran mengenai ekonomi syariah
muncul sebagai salah satu tradisi intelektual muslim, walaupun masih
sangat sederhana sesuai dengan konteks zaman dan tantangan kehdiupan
yang berkembang pada saatitu. Selama ini, kajian dan pemikiran ekonomi
syariah tidak bisa dilepaskan dari pemikiran hukum Islam (fiqh). Dalam
pemikiran hukum Islam tidak bisa dilepaskan dengan prinsip maslahah,
kebaikan, dan keseimbangan. Dengan demikian, istihsan sebagai metode
yang merealisasikan prinsip tersebut tentu mempunyai keselarasan khusus
dalam keberlangsungan dan pengembangan hukum ekonomi syariah.
Upaya ini sebagai langkah internalisasi nilai-nilai ekonomi syariah dalam
seluruh aspek perekonomian bangsa. Penanaman nilai-nilai ekonomi syariah
ini akan mempunyai pengaruh terhadap perilaku economic agent. Misalnya,
ketika seseorang mengetahui bahwa kejujuran mempunyai implikasi nilai-
nilai ibadah kepada Allah, termasuk perilaku yang bertentangan dengan
syariah, seperti khianat, korupsi, serta mengurangi takaran dan
timbangan.18 Internalisasi nilai-nilai syariah dalam ekonomi syariah di
Indonesia sebagai upaya pengembangan karakter bangsa dan keilmuan,
apalagi orang Indonesia mayoritas memeluk agama Islam. 19hal ini bertujuan

17
Muhammad Izzu al-Din Ibn Abi Salam, Qawa’id al-Ahkam fi MasalihalAnam, (Beirut: Dar al-
Kutub al-Ilmiyyah, 1999), hal. 12.
18
Bambang Iswanto, “Peran Bank Indonesia, Dewan Syariah Nasional, Badan Wakaf Indonesia
dan BaznasDalamPengembangan Hukum Ekonomi Islam di Indonesia”, JurnalIqtishadia, Volume
9, Nomor 2, 2016, hal. 425
19
Akhmad Mujahidin, “PerananKearifanLokal (Local Wisdom) DalamPengembanganEkonomi dan
Perbankan Syariah di Indonesia”, JurnalIlmiahSyari’ah, Volume 15, Nomor 2, Juli-Desember
2016, hal. 157.
15

untuk mengembangkan potensi-potensi yang dimiliki orang Islam dengan


membawa prinsip dasar ekonomi Islam.20

F. Perbedaan Istihsan dengan Qiyas


Perbedaan istihsan dengan qiyas adalah qiyas menyamakan kasus yang
belum ada ketentuan hukumnya berdasarkan nash atau ijma’ dengan kasus
yang sudah ada ketetapan hukumnya berdasarkan nash atau ijma’. Di sini
terdapat dua kasus yang dapat dihubungkan dengan ‘illat. Istihsan adalah
berpindah dari kasus yang didasarkan pada dalil kepada kasus lain berdasarkan
dalil yang lebih kuat, seperti berpindah dari nash umum atau qiyas kepada nash
khusus, atau kepada qiyas khafi karena adanya kemaslahatan yang hendak
direalisasikan atau mafsadah (kerusakan) yang ingin dihindarkan. Persamaan
antara keduanya adalah sama-sama didasarkan pada dalil.

20
UginLugina, “PengembanganEkonomiPondokPesantren Di Jawa Barat”, Risalah: Jurnal
Pendidikan dan Studi Islam, Volume 4, Nomor 1, 2018, hal. 62.
16

BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
Dengan penyataan-pernyataan diatas maka kita dapat simpulkan bahwa:
1. Istihsan suatu hal yang baik dan dijadikan pedoman untuk melakukan
suatu hal. Istihsan merupakan suatu metode istinbath hukum yang dapat
dijadikan hujjah, mazhab maliki dan hanafi menyatakan bahwa istihsan
memiliki peranan yang penting dalam pengembangan hukum Islam.
2. Pembaruan hukum Islam berarti gerakan ijtihad yang menetapkan hukum
yang mampu menjawab permasalahan dan perkembangan baru yang
ditimbulkan oleh kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi, baik
menetapkan hukum terhadap masalah-masalah baru yang belum ada
ketentuan hukumnya maupun menetapkan hukum baru untuk
menggantikan ketentuan hukum lama yang tidak sesuai lagi dengan
keadaan dan kemaslahatan manusia masa sekarang.
3. Istihsan mempunyai relevansi dengan pembaruan hukum Islam,
relevansinya itu terletak pada tujuan hukum Islam. Karena pembaruan
Hukum Islam bertujuan untuk merealisasikan dan memelihara
kemaslahatan umat manusia semaksimal mungkin yang mrupakan
maaqasid syariat.
17

DAFTAR PUSTAKA
Abi Isa Muhammad bin Isa ibn Saurah, Sunan al-Turmudzi, Kitab al-Saum ‘an
Rasulullah, Bab Ma Ja’a fi alSaimYa’kul au Yasrib Nasiyan, No. Hadis 654
dalam Mausu’ah al-Hadis al-Syarif ver. 2 (CD ROM). Jami al-
HuquqMahfuzah li Syirkah al- Baramij al-Islamiyag al-Dauliyah, 1991-1997.

Akhmad Mujahidin, “PerananKearifanLokal (Local Wisdom)


DalamPengembanganEkonomi dan Perbankan Syariah di Indonesia”,
JurnalIlmiahSyari’ah, Volume 15, Nomor 2, Juli-Desember 2016, hlm. 157.

Badran Abu al-„AinainiBadran, UshulFiqh al-Islamiy (Mesir:


Mu‟assasahSyababalIskandariyah, t.th), hlm. 263.

Bambang Iswanto, “Peran Bank Indonesia, Dewan Syariah Nasional, Badan


Wakaf Indonesia dan BaznasDalamPengembangan Hukum Ekonomi Islam di
Indonesia”, JurnalIqtishadia, Volume 9, Nomor 2, 2016, hlm. 425

Djazuli, Kaidah-KaidahFikih: Kaidah-Kaidah Hukum Islam


dalamMenyelesaikanMasalah-Masalah yang Praktis (Cet. I; Jakarta: Kencana,
2006), hlm. 72.

Hasan Hamid Hasan, Nasabiyah al-Maslahat fi al-Fiqh al-Islamiyah (Mesir:


DâralMaktabat al-Arabiyah, t.th.), hlm. 250.

Iskandar Usman, Istihsan dan Pembaharuan Hukum Islam (Jakarta: Rajawali


Press, 1994), hlm. 53.

Moh. Syarifudin, “MaslahahSebagaiAlternatifIstimbath Hukum dalamEkonomi


Syariah”, JurnalLentera, Volume 17 Nomor 1, Maret 2018, hlm. 55-56.
Muhammad Izzu al-Din Ibn Abi Salam, Qawa’id al-Ahkam fi

MasalihalAnam, (Beirut: Dar al-Kutub al-Ilmiyyah, 1999), hlm. 12.

Ugin Lugina, “PengembanganEkonomiPondokPesantren Di Jawa Barat”, Risalah:


Jurnal Pendidikan dan Studi Islam, Volume 4, Nomor 1, 2018, hlm. 62.

Umar Hubeis dan A. Yazid, Fiqh al-Lughah al-‘Arabiyah, Jilid II (Cet. IX;
Surabaya Pustaka Progresif, 1985), hlm. 187.

Umar Syihab, Hukum Islam dan TransformasiPemikiran (Cet. 1; Semarang: PT.


KaryaToha Putra, 1996), hlm. 27.

Anda mungkin juga menyukai