ISTIHSAN
Ushul Fiqh
Dosen Pengampu : Amru Syahputra Lubis S.H.I, M.H.I
Oleh: Kelompok 6
Puji dan syukur kami ucapkan kepada Tuhan Yang Maha Esa. Berkat limpahan
karunia Nya kami dapat menyelesaikan sebuah makalah yang berjudul “Istihsan”
Penyusunan makalah ini bertujuan sebagai penunjang mata kuliah Ushul Fiqh. Di
dalam pembuatan makalah ini ada referensi yang telah membantu kami dalam menyelesaikan
makalah ini, sehingga makalah ini dapat selesai tepat pada waktunya.
Kami menyadari bahwa dalam pembuatan makalah ini mungkin banyak terdapat
kesalahan-kesalahan. Melalui kata pengantar ini kami lebih dahulu meminta maaf dan
memohon pemakluman bila mana isi makalah ini ada kekurangan dan ada tulisan yang kami
buat kurang tepat.
i
DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR................................................................................................................i
BAB I PENDAHULUAN..........................................................................................................1
A. Latar Belakang................................................................................................................1
B. Rumusan Masalah...........................................................................................................1
BAB II PEMBAHASAN...........................................................................................................2
A. Pengertian Istihsan..........................................................................................................2
B. Bentuk-Bentuk Istihsan...................................................................................................4
C. Perbedaan Ulama Akan Keabsahan Mazhab Istihsan Sebagai Sumber Hukum.............6
D. Relevansi Istihsan Dengan Sumber Hukum Islam Lainnya............................................8
BAB III PENUTUP..................................................................................................................11
A. Kesimpulan...................................................................................................................11
B. Saran..............................................................................................................................11
DAFTAR PUSTAKA..............................................................................................................12
ii
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Dalam mekanisme ijtihad dan istinabath hukum Islam, Ilmu Ushul Fiqih
merupakan salah satu intrumen penting yang harus dilakukan. Dalam pembahasan
criteria seorang Mujtahid, penguasaan akan ilmu ini dimaksudkan sebagai salah satu
syarat mutlak untuk menjaga supaya proses ijtihad dan istinabath tetap pada jalan
yang semestinya, Ushul Fiqih-lah salah satu penjaganya. Meskipun demikian, ada
satu fakta yang tidak dapat dipungkuri bahwa penguasaan Ushul Fiqih tidak
menjamin kesatuan hasil ijtihad dan istinbath para Mujtahid. Salah satu cabang dari
Ilmu Ushul Fiqih ialah Istihsan, pada makalah ini kami akan bahas semua tentang
Istihsan.
B. Rumusan Masalah
1. Apa pengertian Istihsan?
2. Apa saja Perbedaan Ulama akan keabsahan Mazhab Istihsan sebagai Sumber
Hukum?
3. Bagaimana Relevansi Istihsan dengan sumber hukum islam lainnya?
1
BAB II
PEMBAHASAN
A. Pengertian Istihsan
Istihsan secara etimologi berasal dari kata “al-hasan”, yang berarti sesuatu
yang baik. Abu Hanifah tetap menggunakan arti lughawi sebagai dasar pemakaian
istihsan yaituٍ )اس>رحسastahsin) berarti saya menganggap baik. 1 Arti lain dari istihsan
adalah mengikuti sesuatu yang lebih baik atau mencari yang lebih baik untuk diikuti
karena memang disuruh untuk itu.2 Dari pengertian secara etimologi tersebut, maka
tergambar adanya sesorang yang telah menghadapi dua hal yang keduanya baik, akan
tetapi ada hal yang mendorongnya untuk meninggalkan satu diantaranya dan
menetapkan untuk diambil yang satunya karena dianggap lebih baik untuk diamalkan.
Istihsan dapat diartikan meminta berbuat kebaikan, yakni menghitung-hitung
sesuatu dan menganggapnya kebaikan. Menurut istilah ulama ushul, istihsan adalah
sebagai berikut:
2
yang sama dengan itu ternyata bahwa dalil yang menyalahi qiyas itu lebih kuat
dan oleh karenanya wajib diamalkan.”
5. Menurut Muhammad Abu Zahrah, “Definisi yang lebih baik adalah menurut
Al-Hassan Al-Khurki di atas.”
6. Sebagian ulama yang lainnya mengatakan bahwa istihsan adalah perbuatan
adil dalam hukum yang menggunakan dalil adat untuk kemaslahatan manusia,
dan lain-lain.
3
AcepDjazuli dan I. NurolAen, UshulFiqh (Bandung: Gilang Aditya Press, 1997), hal. 130
3
berpegang pada Istihsan dalam pemecahan kasus itu lebih kuat dari pada
menggunakan Dalil Qiyas.
B. Bentuk-Bentuk Istihsan
Ulama usul mengemukakan pembagian istihsan dilihat dari berbagai segi
sebagai berikut:
1. Dari segi pengertiannya, Istihsan dilihat dari segi pengertiannya dapat dibagi
menjadi dua bagian, yaitu:
a) Beralih dari qiyâs jali kepada qiyâs khafî karena ada dalil yang
mendukungnya
b) Memberlakukan pengecualian hukum juz’i dari hukum kulli (kaidah
umum), didasarkan pada dalil khusus yang mendukungnya.
2. Dari segi sandarannya, Istihsan dilihat dari segi sandarannya, yaitu:
a) Mazhab Hanafi dan Muhammad Abu Zahrah membagi Istihsan atas tiga
bagian, yakni: Istihsan dengan nas, Istihsan dengan jimak, dan istihsan
dengan darurat.
b) ‘Abd al-Wahab Khallaf membaginya atas dua bagian, yaitu istihsan qiyas
khafi dan istihsan ‘urf.
c) Mazhab Maliki membagi istihsan atas empat bagian, yakni: istihsan
dengan ‘urf, istihsan maslahat, istihsan ijma’, dan kaidah raf’ al-haraj wa
al-masyaqqat.
Berdasarkan pembagian yang dikemukakan di atas, maka berikut ini akan
dijelaskan satu persatu pembagian tersebut.
1. Istihsan dengan nas
Yaitu istihsan berdasarkan ayat atau hadis. Maksudnya, ada ayat atau
hadis tentang hukum suatu kasus yang berbeda dengan ketentuan kaidah
umum. Contohnya, dalam kasus orang yang makan dan minum di saat
berpuasa karena ia lupa. Menurut kaidah umum (qiyas), puasa orang ini batal
karena ia telah memasukkan sesuatuke dalam kerongkongannya dan tidak
menahan puasanya sampai ia berbuka. Akan tetapi, hukum ini dikecualikan
oleh hadis Rasulullah saw. ‘Dari Abu Hurairah, bahwa Rasulullah saw.
bersabda: “Barangsiapa yang makan atau minum karena lupa, tidaklah batal
puasanya, karena itu hal merupakan rezeki yang diturunkan Allah kepadanya.”
Berdasarkan hadis ini menunjukkan, bahwa tidak batal puasa orang yang tidak
4
sengaja makan atau minum. Yang dianggap membatalkan puasa adalah
sengaja makan atau minum.
2. Istihsan ijma’
Yaitu meninggalkan qiyas karena ada kesepakatan umum. 4 Contohnya,
penetapan sahnya akad jual beli yang tidak yang tidak menghadirkan
obyeknya, karena transaksi semacam itu sudah jelas dan dikenal sepanjang
zaman. Hal seperti ini menurut qiyas tidak sah, kerena obyeknya tidak ada.
3. Istihsan qiyas khafi
Yaitu qiyas yang antara asal dan cabangnya terdapat perbedaan yang
mempengaruhi hukumnya.5 Contohnya, seseorang yang telah mewakafkan
sebidang tanah pertanian. Secara istihsan, hak-hak yang bersangkut paut
dengan tanah itu, seperti hak mengairi, membuat saluran air di atas tanah
tersebut sudah tercakup dalam pengertian wakaf secara langsung, meskipun
hak-hak itu tidak disebutkan secara terinci. Sedangkan secara qiyas, hak-hak
itu tidak langsung masuk ke dalamnya, kecuali hak-hak itu tercakup di
dalamnya atas ketetapan nas.
4. Istihsan darurat
Yaitu penetapan hukum suatu peristiwa yang menyimpang dari hukum
yang ditetapkan melalui qiyas, karena adanya keadaan darurat yang
mengharuskan menyimpangan tersebut, dengan maksud untuk menghindari
kesulitan.6 Contohnya syariat melarang seorang laki-laki melihat aurat wanita,
tetapi dalam keadaan darurat, misalnya dokter yang hendak mengobati
diperbolehkan oleh istihsan melihat aurat pasien wanita. Kebolehan di sini
hanya bisa berlaku ketika hendak mengobati, dan apabila penyakit yang
diobati itu telah sembuh, maka kebolehan tersebut kembali menjadi terlarang.
5. Istihsan ‘urf
Ialah sesuatu berdasarkan adat kebiasaan yang berlaku umum.7
Contohnya, sama dengan contoh istihsan yang berdasarkan ijmak, seperti pada
nomor 2 di atas.
6. Istihsan maslahat
4
Iskandar Usman, Istihsan dan Pembaharuan Hukum Islam (Jakarta: Rajawali Press, 1994), hal. 53.
5
Ibid
6
Umar Syihab, Hukum Islam dan TransformasiPemikiran (Cet. 1; Semarang: PT. KaryaToha Putra, 1996), hal.
27
7
Hasan Hamid Hasan, Nasabiyah al-Maslahat fi al-Fiqh al-Islamiyah (Mesir: DâralMaktabat al-Arabiyah, t.th.),
hal. 250
5
Yaitu meningalkan qiyas karena adanya maslahat (kebaikan).
Contohnya, adanya jaminan bagi buruh yang berserikat. Menurut Imam Malik,
bahwa hal itu diperlukan, sekalipun berdasarkan qiyas tidak perlu ada jaminan,
sebab yangberserikat pada umumnya memiliki kejujuran. Namun Imam Malik
melihat kebiasaan ada buruh yang tidak mempunyai tanggung jawab.
7. Istihsan raf al-haraj wa al-masyaqqat (menolak kesukaran dan kesulitan).
Hal ini merupakan kaidah yang qath’i, yakni meninggalkan masalah
kecil dan menghindari kesukaran. Contohnya, memperbolehkan pemakaian
kamar mandi umum tanpa ketentuan jumlah sewa, lama pemakaian dan
banyaknya air yang dipakai. Karena itu asal hukumnya tidak boleh, sebab
termasuk sewa menyewa, dan objeknya tidak jelas. Akan tetapi, hal ini
dibatalkan oleh Imam Malik.
Berdasarkan penjelasan tentang istihsan di atas dapat dipahami, bahwa
menurut Hanafi dan Maliki, istihsan tidak keluar dari dalil-dalil syarak, melainkan
beramal dengan dalil yang satu dan meninggalkan dalil yang lain. Istihsan ini
merupakan hasil pemikiran seorang mujtahid berdasarkan akalnya dan juga sebagai
istinbat hukum.
6
Allah Swt berfirman dalam QS. Al-Zumar (39) : 17-18.
Artinya: “Dan telah Kami tuliskan untuk Musa pada luh-luh (Taurat) segala
sesuatu sebagai pelajaran dan penjelasan bagi segala sesuatu; maka (Kami berfirman):
"Berpeganglah kepadanya dengan teguh dan suruhlah kaummu berpegang kepada
(perintah-perintahnya) dengan sebaik-baiknya, nanti Aku akan memperlihatkan
kepadamu negeri orang-orang yang fasik.”
Selain itu juga, Rasulullah Saw, bersabda:
مارءاهالمسلمو ن حسنافھوعنداللهحسن
Artinya : “Sesuatu yang dipandang oleh kaum muslimin itu baik, maka
menurut Allah pun adalah baik. (HR. Ahmad).
7
Dari sini, ulama Mazhab Hanafi tetap berpegang kepada istihsan. Akan tetapi
mereka menggunakannya tetap berdasarkan kepada dalil-dalil yang kuat. Bukan
kepada hawa nafsu sebagaimana yang dituduhkan para ulama yang menentang
istihsan. Mereka berpendapat dalam posisi istihsan ini, melakukan istihsan lebih
utama dari pada melakukan qiyas. Karena pengambilan dalil yang lebih kuat
diutamakan dari pada dalil yang lemah. Pada dasarnya dalam praktek istihsan ini,
tidak mesti ada dalil yang bertentangan, tetapi istihsan itu cukup dilakukan ketika ada
dalil yang lebih kuat, sekaligus menggugurkan dalil yang lemah. Atau istihsan itu
dilakukan dengan cara meninggalkan qiyas Karena ada dalil-dalil lain yang lebih kuat
yang diambil dari teks Al-Qur’an, sunnah, ijma', adanya darurat, atau dari qiyas khafi
8
Iskandar, op.cit., hal. 176.
9
Ibid., hal. 181.
8
Di sinilah keluwesan hukum Islam dapat berubah sesuai dengan keadaan dan
perkembangan masyarakat. Dengan demikian dapat dipahami, bahwa keadaan dan
perkembangan masyarakat harus dijadikan pertimbangan hukum agar hukum itu
betul-betul mempunyai arti dan fungsi di tengah-tengah masyarakat serta mampu
merealisasikan kemaslahatan dan menolak kerusakan bagi umat. Menjadikan keadaan
atau lingkungan perkembangan baru yang timbul dalam masyarakat sebagai salah satu
pertimbangan hukum, merupakan pembaruan hukum Islam. Dengan cara demikian
hukum Islam mampu mewujudkan kemaslahatan di setiap waktu dan tempat.10
Sedangkan yang dimaksud dengan pertimbangan hukum di sini, adalah bahwa
perkembangan baru itu atau perubahan-perubahan yang terjadi dalam masyarakat
yang mempunyai kaitannya dengan ketentuan hukum perlu mendapatkan
pertimbangan agar suatu ketentuan hukum yang akan ditetapkan dapat berlaku efektif
dan tujuan yang ingin dicapai oleh hukum yang mengatur suatu masalah itu dapat
terealisasi dan tepat sasarannya serta sesuai dengan nilai-nilai dasar ajaran Islam.
Asumsi di atas dapat ditelaah dari sikap khalifah Umar Ibn Khattab yang tidak
memberikan zakat kepada para muallaf, padahal para mualaf itu menerima zakat pada
masa Nabi saw., dan khalifah Abu Bakar. Sebab pada masa khalifah kedua ini, Islam
sudah kuat dengan kebudayaan dan peradabannya yang sedemikian maju, sehingga
orang-orang di luar Islam tertarik dan bahkan bangga menjadi bagian keluarga
muslim. Perkembangan baru itu telah dijadikan pertimbangan hukum oleh Umar
untuk menghapus bagian zakat kepada muallaf. Demikian pula azan Jumat satu kali
berubah menjadi dua kali pada masa Usman bin Affan. Hal itu dilakukan khalifah
Usman mengingat jumlah umat Islam telah berkembang pesat sehingga dikuatirkan
azan Jumat yang dikumandang sekali tidak dapat didengar oleh semua laki-laki yang
wajib shalat Jumat.
Jadi pembaruan hukum Islam merupakan usaha menetapkan hukum yang
mampu menjawab permasalahan dan perkembangan baru yang ditimbulkan oleh
kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi dengan cara menjadikan perkembangan
baru itu sebagai pertimbangan hukum tersebut agar betul-betul mampu mewujudkan
tujuan syariat yang dalam istilah usulfiqh, disebut dengan maqasid al-syariah.
Salah satu metode istinbat hukum yang sangat relevan pembaruan hukum
Islam dalam perangkap pemeliharaan tujuan syariat adalah istihsan. Karena istihsan
sangat memperhatikan segi tujuan syariat yang hendak dicapai demi kepentingan
10
Ibid., hal. 184.
9
umat. Sedangkan pembaruan hukum Islam berusaha untuk mengatur seluruh
perbuatan hukum umat dengan ketentuan hukum yang disusun berdasarkan ajaran-
ajaran dan prinsip-prinsip yang berasal dari Alquran dan hadis. Dengan kata lain
pembaruan hukum Islam bertujuan untuk menjamin kepentingan umat dengan
mengatur seluruh perbuatan hukumnya dengan ketentuan hukum yang dikembangkan
dari kedua sumber utama hukum tersebut demi kebahagiaan hidup mereka dunia
akhirat.11Namun perlu dicatat bahwa pemakaian istihsan disaat ada masalah yang
tidak ada ketentuannya dalam Alquran dan hadis, sekalipun ada dalam qiyas tetapi
hasilnya masih belum mewujudkan kemaslahatan umat atau berbenturan dengan
maqasid al-syariah, maka dalam kondisi sepertiini mujtahid meninggalkan qiyas dan
menggunakan istihsan.
Berkaitan dengan maslahat, sebenarnya tidak ada yang berbeda dengan Imam
Syafi`i yang tampak begitu keras menolak istihsan. Pada dasarnya imam Syafi’I
mempermasalahkan nama-nama yang diberikan kepada masing-masing istihsan,
seperti istihsan sunah dan istihsan ijma. Sebab keduanya tidak layak dikategorikan
dalam istihsan. Untuk istihsan darurat, Imam Syafi`i-pun berpendapat, bahwa di mana
ada darurat, di situ pula ada rukhsah. Hal ini berdasarkan kaidah fiqh yang
menerangkan, bahwa al-dharuratu tubiihu al-mahdzurat, darurat atau kemudaratan itu
membolehkan hal-hal yang dilarang.12Perbedaan ini hanya terletak pada lahiriahnya
saja. Sebagai mana diterangkan dalam Kitabnya al-Risalah, Imam Syafi`I berpendapat
bahwa tidak diperkenankan kepada siapapun untuk menggunakan istihsan bila hal itu
menghalangi hukum yang telah jelas pada al-Quran, Sunah dan qiyas pada sesuatu
yang belum ada nasnya. Dengan demikian dapat dikemukakan, bahwa istihsan boleh
dilakukan apabila berdasarkan al-Quran, Sunah, ijma dan qiyas serta bila dalam
keadaan darurat. Hal itu menunjukkan, bahwa imam Syafi’i tidak menerima istihsan
yang bertentangan dengan kepada dalil, baik dalil al-Qur’an dan hadis maupun dalil
ijma dan qiyas.
11
Ibid., hal. 197
12
A. Djazuli, Kaidah-KaidahFikih: Kaidah-Kaidah Hukum Islam dalamMenyelesaikanMasalah-Masalah yang
Praktis (Cet. I; Jakarta: Kencana, 2006), hal. 72.
10
BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
Istihsan suatu hal yang baik dan dijadikan pedoman untuk melakukan suatu
hal. Istihsan merupakan suatu metode istinbath hukum yang dapat dijadikan hujjah,
mazhab maliki dan hanafi menyatakan bahwa istihsan memiliki peranan yang penting
dalam pengembangan hukum Islam.
Pembaruan hukum Islam berarti gerakan ijtihad yang menetapkan hukum yang
mampu menjawab permasalahan dan perkembangan baru yang ditimbulkan oleh
kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi, baik menetapkan hukum terhadap
masalah-masalah baru yang belum ada ketentuan hukumnya maupun menetapkan
hukum baru untuk menggantikan ketentuan hukum lama yang tidak sesuai lagi
dengan keadaan dan kemaslahatan manusia masa sekarang.
Istihsan mempunyai relevansi dengan pembaruan hukum Islam, relevansinya
itu terletak pada tujuan hukum Islam. Karena pembaruan Hukum Islam bertujuan
untuk merealisasikan dan memelihara kemaslahatan umat manusia semaksimal
mungkin yang mrupakan maaqasid syariat.
B. Saran
Demikianlah makalah yang dapat kami sampaikan.Kami sadar bahwa makalah
ini jauh dari kesempurnan.Oleh karena itu, kritik dan saran sangat kami harapkan
demi kesempurnaa makalah ini dan makalah selanjutnya. Semoga makalah ini
bermanfaat bagi kita semua, amiiin…..
11
DAFTAR PUSTAKA
Djazuli. A. & I. Nurol Aen. 1997. UshulFiqh. Bandung: Gilang Aditya Press
Arabiyah, t.th.
KaryaToha Putra
12