Anda di halaman 1dari 15

MAKALAH

ISTIHSAN
Ushul Fiqh
Dosen Pengampu : Amru Syahputra Lubis S.H.I, M.H.I

Oleh: Kelompok 6

1. Adinda Umi Choirani


2. Angga Febrian
3. Huzaifah
4. Ika Sari
5. Mutia Guswati
6. Rahmah Aida

SEKOLAH TINGGI AGAMA ISLAM SYEKH H.A.HALIM HASAN


AL-ISHLAHIYAH BINJAI
PRODI PERBANKAN SYARIAH
T.A.2022-2023
KATA PENGANTAR

Puji dan syukur kami ucapkan kepada Tuhan Yang Maha Esa. Berkat limpahan
karunia Nya kami dapat menyelesaikan sebuah makalah yang berjudul “Istihsan”

Penyusunan makalah ini bertujuan sebagai penunjang mata kuliah Ushul Fiqh. Di
dalam pembuatan makalah ini ada referensi yang telah membantu kami dalam menyelesaikan
makalah ini, sehingga makalah ini dapat selesai tepat pada waktunya.

Kami menyadari bahwa dalam pembuatan makalah ini mungkin banyak terdapat
kesalahan-kesalahan. Melalui kata pengantar ini kami lebih dahulu meminta maaf dan
memohon pemakluman bila mana isi makalah ini ada kekurangan dan ada tulisan yang kami
buat kurang tepat.

i
DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR................................................................................................................i
BAB I PENDAHULUAN..........................................................................................................1
A. Latar Belakang................................................................................................................1
B. Rumusan Masalah...........................................................................................................1
BAB II PEMBAHASAN...........................................................................................................2
A. Pengertian Istihsan..........................................................................................................2
B. Bentuk-Bentuk Istihsan...................................................................................................4
C. Perbedaan Ulama Akan Keabsahan Mazhab Istihsan Sebagai Sumber Hukum.............6
D. Relevansi Istihsan Dengan Sumber Hukum Islam Lainnya............................................8
BAB III PENUTUP..................................................................................................................11
A. Kesimpulan...................................................................................................................11
B. Saran..............................................................................................................................11
DAFTAR PUSTAKA..............................................................................................................12

ii
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Dalam mekanisme ijtihad dan istinabath hukum Islam, Ilmu Ushul Fiqih
merupakan salah satu intrumen penting yang harus dilakukan. Dalam pembahasan
criteria seorang Mujtahid, penguasaan akan ilmu ini dimaksudkan sebagai salah satu
syarat mutlak untuk menjaga supaya proses ijtihad dan istinabath tetap pada jalan
yang semestinya, Ushul Fiqih-lah salah satu penjaganya. Meskipun demikian, ada
satu fakta yang tidak dapat dipungkuri bahwa penguasaan Ushul Fiqih tidak
menjamin kesatuan hasil ijtihad dan istinbath para Mujtahid. Salah satu cabang dari
Ilmu Ushul Fiqih ialah Istihsan, pada makalah ini kami akan bahas semua tentang
Istihsan.

B. Rumusan Masalah
1. Apa pengertian Istihsan?
2. Apa saja Perbedaan Ulama akan keabsahan Mazhab Istihsan sebagai Sumber
Hukum?
3. Bagaimana Relevansi Istihsan dengan sumber hukum islam lainnya?

1
BAB II
PEMBAHASAN
A. Pengertian Istihsan
Istihsan secara etimologi berasal dari kata “al-hasan”, yang berarti sesuatu
yang baik. Abu Hanifah tetap menggunakan arti lughawi sebagai dasar pemakaian
istihsan yaituٍ ‫ )اس>رحس‬astahsin) berarti saya menganggap baik. 1 Arti lain dari istihsan
adalah mengikuti sesuatu yang lebih baik atau mencari yang lebih baik untuk diikuti
karena memang disuruh untuk itu.2 Dari pengertian secara etimologi tersebut, maka
tergambar adanya sesorang yang telah menghadapi dua hal yang keduanya baik, akan
tetapi ada hal yang mendorongnya untuk meninggalkan satu diantaranya dan
menetapkan untuk diambil yang satunya karena dianggap lebih baik untuk diamalkan.
Istihsan dapat diartikan meminta berbuat kebaikan, yakni menghitung-hitung
sesuatu dan menganggapnya kebaikan. Menurut istilah ulama ushul, istihsan adalah
sebagai berikut:

1. Menurut Al-Ghazali dalam kitabnya Al-Mustafa juz 1:37, “Istihsan adalah


semua hal yang dianggap baik oleh mujtahid menurut akalnya.”
2. Al-Muwafiq Ibnu Qudamah Al-Hambali berkata, “Istihsan adalah suatu
keadilan terhadap hukum dan pandangannya karena adanya dalil tertentu dari
Al-Quran dan As-Sunnah.”
3. Abu Ishaq Asy-Syatibi dalam madzhab Al-Maliki berkata, “Istihsan adalah
pengembalian suatu kemaslahatan yang bersifat juz’I dalam menanggapi dalil
yang bersifat global.”
4. Istilah istihsan dikalangan Ulama Hanafiyah sebagaimana yang dikutip oleh
al-Sarkhasi:
‫صان اراُئا‬
ٗ ُ‫ّانشزعي ٕكالن‬
ٕ ‫ز ياجعه‬ٚ ‫ف ذقد‬ ٘
ٗ ‫غائةانزا‬ ‫ًمتاالجرا ٔد‬
ٓ ‫ انع‬.(‫ا‬
“Beramal dengan ijtihad dan umum pendapat dalam menentukan sesuatu yang
syara “menyerahkannya kepada kita.”
ٕ ٍ‫حكىانعادجاشثْٓااي‬
)‫االصل‬ ٔ ٗ ‫ااأْل وقثماَعاوانرايم‬ّٛ‫زانذ ذسثقان‬
‫ف‬ ٖ ْ‫يعارضانهقاسانظا‬
ٛ ‫ ٌٕك‬ٚ ‫مانذ‬ ٛ .(‫ب‬
>ٖ ‫اندن‬
ّْٕ ‫ف ان ٕقجفاٌانع‬
ٚ‫ًمتا ٕناجة‬ ٗ ‫ق‬ّ ‫ض ٕف‬
ّ ‫مانذ عار‬ ٛ ‫ظ ٍْز‬
ٖ ‫اندن‬ ٓ
“Dalil yang menyalahi qiyas yang zahir yang didahului prasangka sebelum
diadakan pendalaman terhadap dalil itu namun setelah diadakan penelitian
yang mendalam terhadap dalil itu dalam hukum yang berlaku dan dasar-dasar
1
Abu Zahrah, Ushul Fiqih, (Mesir: Darul Al-Fikr Al-Arobbi, 1913)., hal. 402
2
Amir Syarifuddin, Ushul Fiqh, Jilid II (Cet. I; Jakarta: Logos, 1999), hal. 305.

2
yang sama dengan itu ternyata bahwa dalil yang menyalahi qiyas itu lebih kuat
dan oleh karenanya wajib diamalkan.”
5. Menurut Muhammad Abu Zahrah, “Definisi yang lebih baik adalah menurut
Al-Hassan Al-Khurki di atas.”
6. Sebagian ulama yang lainnya mengatakan bahwa istihsan adalah perbuatan
adil dalam hukum yang menggunakan dalil adat untuk kemaslahatan manusia,
dan lain-lain.

Adapun Dalil Syara’ yang menetapkan perpindahan tersebut disebut dengan


Sanad al-Istihsan atau secara singkat Istihsan dapat didefinisikan yaitu: “Menguatkan
suatu dalil atas dalil lain yang berlawanan dengan Tarjih yang diakui oleh syara’.3
Menurut Abdul Wahab Khalaf bahwa Istihsan dalam pengertian bahasa ialah
menganggap baik sesuatu. Sedangkan menurut istilah Ulama Ushul ialah
berpindahnya seorang mujtahid dari tuntutan Qiyas Jalli (Qiyas Nyata) kepada Qiyas
Khafi (Qiyas Samar), atau dari Hukum Kully (Umum) kepada hukum pengecualian,
karena ada dalil yang menyebabkan dia mencela akalnya dan dimenangkan baginya
perpindahan ini. Jadi apabila terjadi sesuatu kejadian dan tidak terdapat dalam Nash
mengenai hukumnya, maka untuk membicarakan hal itu terdapat dua segi yang saling
bertentangan yaitu: Pertama, “Segi nyata yang menghendaki suatu hukum” dan kedua,
“Segi tersembunyi yang menghendaki hukum lain”
Imam Abu Hanifah al-Hasan al -Karkhi mengemukakan definisi bahwa
Istihsan ialah Penetepan hukum dari seorang mujtahid terhadap suatu masalah yang
menyimpang dari ketetapan hukum yang diterapkan pada masalah-masalah yang
serupa, karena ada alasan lebih kuat yang menghendaki dilakukannya penyimpangan
itu. Di antara definisi-definisi Istihsan yang ada, maka definisi ini merupakan definisi
yang paling mengena dalam menjelaskan hakekat Istihsan menurut pandangan
Madzhab Hanafi, sebab definisi tersebut bisa mencakup seluruh macam Istihsan serta
dapat menyentuh pada azas dan inti pengertian yang dimaksudkannya. Azas yang
dimaksud ialah adanya diktum hukum yang menyimpang dari kaidah yang berlaku,
karena faktor lain yang mendorong agar keluar dari keterikatannya dengan kaidah itu
yang dipandang justru akan lebih dekat pada tujuan syara‟ dibanding seandainya tetap
terpaku dan berpegang teguh pada kaidah di atas. Sehingga dengan demikian

3
AcepDjazuli dan I. NurolAen, UshulFiqh (Bandung: Gilang Aditya Press, 1997), hal. 130

3
berpegang pada Istihsan dalam pemecahan kasus itu lebih kuat dari pada
menggunakan Dalil Qiyas.

B. Bentuk-Bentuk Istihsan
Ulama usul mengemukakan pembagian istihsan dilihat dari berbagai segi
sebagai berikut:
1. Dari segi pengertiannya, Istihsan dilihat dari segi pengertiannya dapat dibagi
menjadi dua bagian, yaitu:
a) Beralih dari qiyâs jali kepada qiyâs khafî karena ada dalil yang
mendukungnya
b) Memberlakukan pengecualian hukum juz’i dari hukum kulli (kaidah
umum), didasarkan pada dalil khusus yang mendukungnya.
2. Dari segi sandarannya, Istihsan dilihat dari segi sandarannya, yaitu:
a) Mazhab Hanafi dan Muhammad Abu Zahrah membagi Istihsan atas tiga
bagian, yakni: Istihsan dengan nas, Istihsan dengan jimak, dan istihsan
dengan darurat.
b) ‘Abd al-Wahab Khallaf membaginya atas dua bagian, yaitu istihsan qiyas
khafi dan istihsan ‘urf.
c) Mazhab Maliki membagi istihsan atas empat bagian, yakni: istihsan
dengan ‘urf, istihsan maslahat, istihsan ijma’, dan kaidah raf’ al-haraj wa
al-masyaqqat.
Berdasarkan pembagian yang dikemukakan di atas, maka berikut ini akan
dijelaskan satu persatu pembagian tersebut.
1. Istihsan dengan nas
Yaitu istihsan berdasarkan ayat atau hadis. Maksudnya, ada ayat atau
hadis tentang hukum suatu kasus yang berbeda dengan ketentuan kaidah
umum. Contohnya, dalam kasus orang yang makan dan minum di saat
berpuasa karena ia lupa. Menurut kaidah umum (qiyas), puasa orang ini batal
karena ia telah memasukkan sesuatuke dalam kerongkongannya dan tidak
menahan puasanya sampai ia berbuka. Akan tetapi, hukum ini dikecualikan
oleh hadis Rasulullah saw. ‘Dari Abu Hurairah, bahwa Rasulullah saw.
bersabda: “Barangsiapa yang makan atau minum karena lupa, tidaklah batal
puasanya, karena itu hal merupakan rezeki yang diturunkan Allah kepadanya.”
Berdasarkan hadis ini menunjukkan, bahwa tidak batal puasa orang yang tidak

4
sengaja makan atau minum. Yang dianggap membatalkan puasa adalah
sengaja makan atau minum.
2. Istihsan ijma’
Yaitu meninggalkan qiyas karena ada kesepakatan umum. 4 Contohnya,
penetapan sahnya akad jual beli yang tidak yang tidak menghadirkan
obyeknya, karena transaksi semacam itu sudah jelas dan dikenal sepanjang
zaman. Hal seperti ini menurut qiyas tidak sah, kerena obyeknya tidak ada.
3. Istihsan qiyas khafi
Yaitu qiyas yang antara asal dan cabangnya terdapat perbedaan yang
mempengaruhi hukumnya.5 Contohnya, seseorang yang telah mewakafkan
sebidang tanah pertanian. Secara istihsan, hak-hak yang bersangkut paut
dengan tanah itu, seperti hak mengairi, membuat saluran air di atas tanah
tersebut sudah tercakup dalam pengertian wakaf secara langsung, meskipun
hak-hak itu tidak disebutkan secara terinci. Sedangkan secara qiyas, hak-hak
itu tidak langsung masuk ke dalamnya, kecuali hak-hak itu tercakup di
dalamnya atas ketetapan nas.
4. Istihsan darurat
Yaitu penetapan hukum suatu peristiwa yang menyimpang dari hukum
yang ditetapkan melalui qiyas, karena adanya keadaan darurat yang
mengharuskan menyimpangan tersebut, dengan maksud untuk menghindari
kesulitan.6 Contohnya syariat melarang seorang laki-laki melihat aurat wanita,
tetapi dalam keadaan darurat, misalnya dokter yang hendak mengobati
diperbolehkan oleh istihsan melihat aurat pasien wanita. Kebolehan di sini
hanya bisa berlaku ketika hendak mengobati, dan apabila penyakit yang
diobati itu telah sembuh, maka kebolehan tersebut kembali menjadi terlarang.
5. Istihsan ‘urf
Ialah sesuatu berdasarkan adat kebiasaan yang berlaku umum.7
Contohnya, sama dengan contoh istihsan yang berdasarkan ijmak, seperti pada
nomor 2 di atas.
6. Istihsan maslahat
4
Iskandar Usman, Istihsan dan Pembaharuan Hukum Islam (Jakarta: Rajawali Press, 1994), hal. 53.
5
Ibid
6
Umar Syihab, Hukum Islam dan TransformasiPemikiran (Cet. 1; Semarang: PT. KaryaToha Putra, 1996), hal.
27
7
Hasan Hamid Hasan, Nasabiyah al-Maslahat fi al-Fiqh al-Islamiyah (Mesir: DâralMaktabat al-Arabiyah, t.th.),
hal. 250

5
Yaitu meningalkan qiyas karena adanya maslahat (kebaikan).
Contohnya, adanya jaminan bagi buruh yang berserikat. Menurut Imam Malik,
bahwa hal itu diperlukan, sekalipun berdasarkan qiyas tidak perlu ada jaminan,
sebab yangberserikat pada umumnya memiliki kejujuran. Namun Imam Malik
melihat kebiasaan ada buruh yang tidak mempunyai tanggung jawab.
7. Istihsan raf al-haraj wa al-masyaqqat (menolak kesukaran dan kesulitan).
Hal ini merupakan kaidah yang qath’i, yakni meninggalkan masalah
kecil dan menghindari kesukaran. Contohnya, memperbolehkan pemakaian
kamar mandi umum tanpa ketentuan jumlah sewa, lama pemakaian dan
banyaknya air yang dipakai. Karena itu asal hukumnya tidak boleh, sebab
termasuk sewa menyewa, dan objeknya tidak jelas. Akan tetapi, hal ini
dibatalkan oleh Imam Malik.
Berdasarkan penjelasan tentang istihsan di atas dapat dipahami, bahwa
menurut Hanafi dan Maliki, istihsan tidak keluar dari dalil-dalil syarak, melainkan
beramal dengan dalil yang satu dan meninggalkan dalil yang lain. Istihsan ini
merupakan hasil pemikiran seorang mujtahid berdasarkan akalnya dan juga sebagai
istinbat hukum.

C. Perbedaan Ulama Akan Keabsahan Mazhab Istihsan Sebagai Sumber Hukum


Para ulama fikih berbeda pendapat mengenai keabsahan istihsan sebagai dalil
pokok dalam pengambilan hukum. Di antara ulama yang paling santer dalam
membela dan mengamalkan istihsan sebagai hujjah adalah ulama Mazhab Hanafi. Di
tambah sebagian ulama-ulama lainnya dari Madzhab Maliki dan Hanbali. Hanya saja,
ulama Mazhab Syafi'I memiliki pandangan yang berbeda dalam memposisikan
istihsan sebagai dalil pokok dalam pengambilan hukum. Sebenarnya tidak ada
perbedaan yang signifikan antara pandangan ulama yang membela dan mendukung
istihsan dengan ulama yang menentang istihsan. Mereka tidak berselisih dalam
pengunaan lafaz istihsan, karena kata yang mengandung makna hasan (baik) itu
terdapat dalam teks Al-qur’an dan sunnah.

6
Allah Swt berfirman dalam QS. Al-Zumar (39) : 17-18.

Terjemahnya: “Dan orang-orang yang menjauhi thaghut (yaitu) tidak


menyembahnya dan kembali kepada Allah, bagi mereka berita gembira; sebab itu
sampaikanlah berita itu kepada hamba-hamba-Ku. Yang mendengarkan perkataan lalu
mengikuti apa yang paling baik di antaranya. Mereka itulah orang-orang yang telah
diberi Allah petunjuk dan mereka itu lah orang-orang yang mempunyai akal.”
Surah Al-A’rafa ayat 145:

Artinya: “Dan telah Kami tuliskan untuk Musa pada luh-luh (Taurat) segala
sesuatu sebagai pelajaran dan penjelasan bagi segala sesuatu; maka (Kami berfirman):
"Berpeganglah kepadanya dengan teguh dan suruhlah kaummu berpegang kepada
(perintah-perintahnya) dengan sebaik-baiknya, nanti Aku akan memperlihatkan
kepadamu negeri orang-orang yang fasik.”
Selain itu juga, Rasulullah Saw, bersabda:
‫مارءاهالمسلمو ن حسنافھوعنداللهحسن‬

Artinya : “Sesuatu yang dipandang oleh kaum muslimin itu baik, maka
menurut Allah pun adalah baik. (HR. Ahmad).

7
Dari sini, ulama Mazhab Hanafi tetap berpegang kepada istihsan. Akan tetapi
mereka menggunakannya tetap berdasarkan kepada dalil-dalil yang kuat. Bukan
kepada hawa nafsu sebagaimana yang dituduhkan para ulama yang menentang
istihsan. Mereka berpendapat dalam posisi istihsan ini, melakukan istihsan lebih
utama dari pada melakukan qiyas. Karena pengambilan dalil yang lebih kuat
diutamakan dari pada dalil yang lemah. Pada dasarnya dalam praktek istihsan ini,
tidak mesti ada dalil yang bertentangan, tetapi istihsan itu cukup dilakukan ketika ada
dalil yang lebih kuat, sekaligus menggugurkan dalil yang lemah. Atau istihsan itu
dilakukan dengan cara meninggalkan qiyas Karena ada dalil-dalil lain yang lebih kuat
yang diambil dari teks Al-Qur’an, sunnah, ijma', adanya darurat, atau dari qiyas khafi

D. Relevansi Istihsan Dengan Sumber Hukum Islam Lainnya

Istilah pembaruan hukum Islam dimaknai dengan gerakan menetapkan hukum


yang mampu menjawab permasalahan dan perkembangan baru yang ditimbulkan oleh
kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi modern, baik menetapkan hukum terhadap
masalah baru yang belum ada ketentuan hukumnya atau menetapkan hukum baru
untuk menggantikan ketentuan hukum lama yang tidak sesuai lagi dengan keadaan
dan kemaslahatan manusia masa sekarang.8
Sebagai contoh kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi dalam bidang
kedokteran telah memungkinkan pencangkokan kornea mata yang diambil dari
seseorang yang telah meninggal dunia. Apakah Islam akan menutup mata terhadap
perkembangan IPTEK ini?
Dalam usûl fiqh persoalan tahsiniyat tidak perlu dipertahankan bila akan
menyebabkan Tergangguya maslahat yang lebih utama yakni maslahat hajiyyat atau
daruriyyat. Karena itu pembolehan pencangkokan kornea mata si mayat kepada si
buta bertujuan untuk memelihara maslahat hajiyyat. Dengan demikian larangan
memotong dan mengambil anggota badan si mayat dikalahkan oleh kepentingan lain
yang lebih besar yaitu kemaslahatan orang-orang yang masih hidup yang sangat
memerlukan kornea mata agar mereka dapat hidup sempurna dan dapat menjalankan
tugasnya dengan baik sebagai khalifah di muka bumi.9Apalagi kornea mayat tersebut
tidak dibutuhkan lagi oleh simayit dan bahkan akan hancur, kembali kepada asalnya,
tanah.

8
Iskandar, op.cit., hal. 176.
9
Ibid., hal. 181.

8
Di sinilah keluwesan hukum Islam dapat berubah sesuai dengan keadaan dan
perkembangan masyarakat. Dengan demikian dapat dipahami, bahwa keadaan dan
perkembangan masyarakat harus dijadikan pertimbangan hukum agar hukum itu
betul-betul mempunyai arti dan fungsi di tengah-tengah masyarakat serta mampu
merealisasikan kemaslahatan dan menolak kerusakan bagi umat. Menjadikan keadaan
atau lingkungan perkembangan baru yang timbul dalam masyarakat sebagai salah satu
pertimbangan hukum, merupakan pembaruan hukum Islam. Dengan cara demikian
hukum Islam mampu mewujudkan kemaslahatan di setiap waktu dan tempat.10
Sedangkan yang dimaksud dengan pertimbangan hukum di sini, adalah bahwa
perkembangan baru itu atau perubahan-perubahan yang terjadi dalam masyarakat
yang mempunyai kaitannya dengan ketentuan hukum perlu mendapatkan
pertimbangan agar suatu ketentuan hukum yang akan ditetapkan dapat berlaku efektif
dan tujuan yang ingin dicapai oleh hukum yang mengatur suatu masalah itu dapat
terealisasi dan tepat sasarannya serta sesuai dengan nilai-nilai dasar ajaran Islam.
Asumsi di atas dapat ditelaah dari sikap khalifah Umar Ibn Khattab yang tidak
memberikan zakat kepada para muallaf, padahal para mualaf itu menerima zakat pada
masa Nabi saw., dan khalifah Abu Bakar. Sebab pada masa khalifah kedua ini, Islam
sudah kuat dengan kebudayaan dan peradabannya yang sedemikian maju, sehingga
orang-orang di luar Islam tertarik dan bahkan bangga menjadi bagian keluarga
muslim. Perkembangan baru itu telah dijadikan pertimbangan hukum oleh Umar
untuk menghapus bagian zakat kepada muallaf. Demikian pula azan Jumat satu kali
berubah menjadi dua kali pada masa Usman bin Affan. Hal itu dilakukan khalifah
Usman mengingat jumlah umat Islam telah berkembang pesat sehingga dikuatirkan
azan Jumat yang dikumandang sekali tidak dapat didengar oleh semua laki-laki yang
wajib shalat Jumat.
Jadi pembaruan hukum Islam merupakan usaha menetapkan hukum yang
mampu menjawab permasalahan dan perkembangan baru yang ditimbulkan oleh
kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi dengan cara menjadikan perkembangan
baru itu sebagai pertimbangan hukum tersebut agar betul-betul mampu mewujudkan
tujuan syariat yang dalam istilah usulfiqh, disebut dengan maqasid al-syariah.
Salah satu metode istinbat hukum yang sangat relevan pembaruan hukum
Islam dalam perangkap pemeliharaan tujuan syariat adalah istihsan. Karena istihsan
sangat memperhatikan segi tujuan syariat yang hendak dicapai demi kepentingan
10
Ibid., hal. 184.

9
umat. Sedangkan pembaruan hukum Islam berusaha untuk mengatur seluruh
perbuatan hukum umat dengan ketentuan hukum yang disusun berdasarkan ajaran-
ajaran dan prinsip-prinsip yang berasal dari Alquran dan hadis. Dengan kata lain
pembaruan hukum Islam bertujuan untuk menjamin kepentingan umat dengan
mengatur seluruh perbuatan hukumnya dengan ketentuan hukum yang dikembangkan
dari kedua sumber utama hukum tersebut demi kebahagiaan hidup mereka dunia
akhirat.11Namun perlu dicatat bahwa pemakaian istihsan disaat ada masalah yang
tidak ada ketentuannya dalam Alquran dan hadis, sekalipun ada dalam qiyas tetapi
hasilnya masih belum mewujudkan kemaslahatan umat atau berbenturan dengan
maqasid al-syariah, maka dalam kondisi sepertiini mujtahid meninggalkan qiyas dan
menggunakan istihsan.
Berkaitan dengan maslahat, sebenarnya tidak ada yang berbeda dengan Imam
Syafi`i yang tampak begitu keras menolak istihsan. Pada dasarnya imam Syafi’I
mempermasalahkan nama-nama yang diberikan kepada masing-masing istihsan,
seperti istihsan sunah dan istihsan ijma. Sebab keduanya tidak layak dikategorikan
dalam istihsan. Untuk istihsan darurat, Imam Syafi`i-pun berpendapat, bahwa di mana
ada darurat, di situ pula ada rukhsah. Hal ini berdasarkan kaidah fiqh yang
menerangkan, bahwa al-dharuratu tubiihu al-mahdzurat, darurat atau kemudaratan itu
membolehkan hal-hal yang dilarang.12Perbedaan ini hanya terletak pada lahiriahnya
saja. Sebagai mana diterangkan dalam Kitabnya al-Risalah, Imam Syafi`I berpendapat
bahwa tidak diperkenankan kepada siapapun untuk menggunakan istihsan bila hal itu
menghalangi hukum yang telah jelas pada al-Quran, Sunah dan qiyas pada sesuatu
yang belum ada nasnya. Dengan demikian dapat dikemukakan, bahwa istihsan boleh
dilakukan apabila berdasarkan al-Quran, Sunah, ijma dan qiyas serta bila dalam
keadaan darurat. Hal itu menunjukkan, bahwa imam Syafi’i tidak menerima istihsan
yang bertentangan dengan kepada dalil, baik dalil al-Qur’an dan hadis maupun dalil
ijma dan qiyas.

11
Ibid., hal. 197
12
A. Djazuli, Kaidah-KaidahFikih: Kaidah-Kaidah Hukum Islam dalamMenyelesaikanMasalah-Masalah yang
Praktis (Cet. I; Jakarta: Kencana, 2006), hal. 72.

10
BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
Istihsan suatu hal yang baik dan dijadikan pedoman untuk melakukan suatu
hal. Istihsan merupakan suatu metode istinbath hukum yang dapat dijadikan hujjah,
mazhab maliki dan hanafi menyatakan bahwa istihsan memiliki peranan yang penting
dalam pengembangan hukum Islam.
Pembaruan hukum Islam berarti gerakan ijtihad yang menetapkan hukum yang
mampu menjawab permasalahan dan perkembangan baru yang ditimbulkan oleh
kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi, baik menetapkan hukum terhadap
masalah-masalah baru yang belum ada ketentuan hukumnya maupun menetapkan
hukum baru untuk menggantikan ketentuan hukum lama yang tidak sesuai lagi
dengan keadaan dan kemaslahatan manusia masa sekarang.
Istihsan mempunyai relevansi dengan pembaruan hukum Islam, relevansinya
itu terletak pada tujuan hukum Islam. Karena pembaruan Hukum Islam bertujuan
untuk merealisasikan dan memelihara kemaslahatan umat manusia semaksimal
mungkin yang mrupakan maaqasid syariat.

B. Saran
Demikianlah makalah yang dapat kami sampaikan.Kami sadar bahwa makalah
ini jauh dari kesempurnan.Oleh karena itu, kritik dan saran sangat kami harapkan
demi kesempurnaa makalah ini dan makalah selanjutnya. Semoga makalah ini
bermanfaat bagi kita semua, amiiin…..

11
DAFTAR PUSTAKA

Djazuli. A. 2006. Kaidah-KaidahFikih: Kaidah-Kaidah Hukum Islam dalam Menyelesaikan

Masalah-Masalah yang Praktis. Cet. I: Jakarta: Kencana

Djazuli. A. & I. Nurol Aen. 1997. UshulFiqh. Bandung: Gilang Aditya Press

Hasan. H. Nasabiyah al-Maslahat fi al-Fiqh al-Islamiyah. Mesir: DâralMaktabat al-

Arabiyah, t.th.

Syarifuddin. A. 1999. Ushul Fiqh, Jilid II. Cet. I; Jakarta: Logos

Syihab. U. 1996. Hukum Islam dan TransformasiPemikiran. Cet. 1; Semarang: PT.

KaryaToha Putra

Usman. I. 1994.Istihsan dan Pembaharuan Hukum Islam. Jakarta: Rajawali Press

Zahrah. A. 1913. Ushul Fiqih. Mesir: Darul Al-Fikr Al-Arobbi

12

Anda mungkin juga menyukai