Anda di halaman 1dari 13

KHITBAH

Makalah Ini Ditulis Untuk Memenuhi Tugas Mata Kuliah

Fiqih 1 (Ibadah-Munakahah)

Dosen Pengampu:

Nur Wahidah, M.Pd.

Disusun Oleh:

1. Nabila Uzzah Qithrotun Nada (2244012919)


2. Putri Amalia (2244012924)
3. Risma Syahrani (2244012898)

PROGRAM STUDI PENDIDIKAN AGAMA ISLAM

FAKULTAS TARBIYAH

UNIVERSITAS AL-FALAH AS-SUNNIYAH

KENCONG JEMBER

2023
KATA PENGANTAR
Segala puji bagi Allah yang telah memberikan kemudahan kepada kami dalam
mengerjakan tugas makalah ini sehingga makalah ini selesai tepat waktu. Sholawat serta
salam tetap tercurahkan kepada pelopor islam yaitu nabi besar Muhammad SAW. Yang
selalu kita harapkan syafa‟atnya kelak dihari kiamat. Makalah yang berjudul “Khitbah”
disusun untuk memenuhi tugas mata kuliah “Fiqih 1 (ibadah-munakahah)” dengan rujukan
dari beberapa sumber seperti artikel dan jurnal online.

Penulis menyadari bahwa makalah ini masih jauh dari kata sempurna sehingga
penyusun mengharapkan kritik dan saran dari pembaca untuk makalah ini, agar makalah
ini menjadi makalah yang lebih baik lagi kedepannya. Demikian yang bisa penulis
sampaikan semoga makalah ini bermanfa‟at bagi pembaca. Aminn Ya Robbal „Alamin.

Kencong, 29 september 2023

Penulis

ii
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR ...............................................................................................................ii

DAFTAR ISI............................................................................................................................ iii

BAB I PENDAHULUAN .......................................................................................................... 1

A. Latar Belakang ................................................................................................................ 1

B. Rumusan Masalah ........................................................................................................... 1

C. Tujuan Masalah ............................................................................................................... 1

BAB II PEMBAHASAN ........................................................................................................... 2

A. Pengertian Khitbah.......................................................................................................... 2

B. Dasar Hukum Khitbah .................................................................................................... 2

C. Syarat Khitbah ................................................................................................................ 4

D. Anggota tubuh perempuan yang boleh dipandang saat khitbah/peminangan ................. 5

E. Hukum Berkhalwat dengan Pinangan ............................................................................. 7

F. Hikmah di Syariatkan Khitbah........................................................................................ 8

BAB III PENUTUP ................................................................................................................... 9

A. Kesimpulan ..................................................................................................................... 9

B. Saran ............................................................................................................................... 9

DAFTAR PUSTAKA .............................................................................................................. 10

iii
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Menikah adalah salah satu sunnah nabi sejak dulu hingga sekarang. Pengertian
menikah sendiri adalah hubungan halal antara pria dan wanita yang diantara keduanya
terdapat hak dan kewajiban yang harus dipenuhi. Namun, sebelum menuju kejenjang
pernikahan, islam menyarankan dilaksanakannya khitbah tujuannya, untuk mengenal
satu sama lain sehingga pada waktu berumah tangga mereka sudah siap menerima
sifat masing-masing. Khitbah sendiri adalah proses awal seseorang sebelum menuju
jenjang pernikahan yang memiliki syarat dan ketentuan tertentu. Oleh karena itu,
kami selaku pemakalah mengangkat bab khitbah sebagai pembahasan agar pembaca
dapat mengetahui apa saja syarat-syarat dan ketentuan tesebut serta dasar apa saja
yang mendasari adanya khitbah dalam islam. Selanjutnya, kami juga membahas
anggota tubuh badan mana saja yang boleh diperlihatkan pada peminang saat khitbah
dan apa saja hikmah dan tujuan dilaksanakannya khitbah tersebut.

B. Rumusan Masalah
1. Apa yang dimaksud Khitbah?
2. Sebutkan Dasar Hukum di Syari‟atkannya Khitbah!
3. Apa Saja Syarat-Syarat Khitbah?
4. Anggota Tubuh Perempuan Mana Saja yang diperbolehkan dipandang Pada
Waktu Khitbah?
5. Bagaimana Hukum Berkhalwat dengan Pinangan?
6. Jelaskan Hikmah di Syari‟atkannya Khitbah!

C. Tujuan Masalah
1. Mengetahui dan Memahami Pengertian Khitbah.
2. Mengetahui dan Memahami Dasar Hukum yang Mendasari di Syari‟atkannya
Khitbah.
3. Mengetahui dan Memahami Syarat-Syarat Khitbah.
4. Mengetahui dan Memahami Anggota tubuh perempuan yang boleh dipandang saat
khitbah/peminangan.
5. Mengetahui dan Memahami Hukum Berkhalwat dengan Pinangan.
6. Mengetahui dan Memahami Hikmah di Syari‟atkannya Khitbah.

1
BAB II
PEMBAHASAN
A. Pengertian Khitbah
ْ ‫ َخ‬-َ‫ َيخطب‬-َ‫خطب‬
Secara bahasa kata khitbah berasal dari bahasa arab ً‫ َخطب َت‬-‫طبًا‬
yang berarti peminangan.1 Sedangkan secara istilah kata khitbah ada beberapa definisi
yaitu:
1. Menurut KHI (Kompilasi Hukum Islam) Bab I Pasal I khitbah/peminangan adalah
kegiatan upaya kearah terjadinya perjodohan antara seorang pria dan wanita.2
2. Menurut Sayyid Sabiq khitbah adalah meminta seorang perempuan untuk dinikahi
dengan perantara orang yang dikenal baik diantara manusia.3
3. Menurut Abu Zahrah khitbah adalah permintaan seorang lelaki terhadap wali atau
perempuan dengan tujuan untuk menikahi perempuan yang di khitbah tersebut.4
4. Menurut zakaria al-Anshari khitbah adalah permintaan peminang (pelamar) untuk
melaksanakan pernikahan terhadap pihak yang akan dipinang.5
Dari beberapa penjelasan diatas penulis menyimpulkan bahwa
khitbah/peminangan adalah permintaan seorang lelaki terhadap perempuan atau wali
dan/ orang terdekat seperti keluarga, kerabat dan sebagainya dengan tujuan untuk
menikahi dan memiliki seutuhnya perempuan yang akan dipinang tersebut.
Sebagaimana juga dijelaskan menurut Muhammad Azam bahwa khitbah dapat
diartikan permintaan dari si peminang untuk menguasai perempuan yang akan
dipinang dari keluarganya dengan tujuan untuk bersekutu/bersama dalam menjalani
urusan hidup.
B. Dasar Hukum Khitbah
Dasar hukum khitbah diambil dari al-Qur‟an dan al-Hadist sebagai berikut:
1. Dasar Khitbah dalam al-Qur‟an
Q.S. al-Baqarah ayat 235:
َ َّ ٍَ‫ٍَٔ َٰن ِك‬
َ‫ل‬ ََّ َٓٔ‫ٱّللَأََّكىََۡسخ ۡزكش‬ َٓ ِ‫ٍَ ِخ ۡطب َِتَٱنُِّسآ َِءَأ ََۡٔأ ۡكُُخىََۡف‬
ََّ ََ‫يَأَف ِسكىَََۡۚػهِى‬ َۡ ‫َّضخىَبِِۦَّ ِي‬
ۡ ‫ٔلََجُاحََػه ۡيكىََۡفِيًاَػش‬
ََّ ٌَ
َ‫ٱّلل‬ ۡ ََٔۚ‫احَحخَّىَََٰي ۡبهغََ ۡٱن ِك َٰخبََأجهّۥ‬
ََّ ‫ٱػهً َْٕٓاَأ‬ َِ ‫ٕاَػ ۡقذةََٱنُِّك‬
َْ ‫لَ َّي ۡؼشٔفًاََۚٔلََح ۡؼ ِضي‬ َْ ‫لَأٌَحقٕن‬
َ ً ٕۡ ‫ٕاَق‬ َٓ َّ ِ‫ٍَ ِس ًشاَئ‬
ََّ ْٔ‫حٕا ِػذ‬
َ‫ٱّللَغفٕسََحهِيى‬ ََّ ‫ٱػهً َْٕٓاَأ‬
ََّ ٌَ ۡ َََِٔۚٔ‫ٱحزس‬
ۡ ‫يَأَف ِسكىََۡف‬
َٓ ِ‫ي ۡؼهىََياَف‬

1
Hady Mufa‟at Almiad, Fiqh Munakahat Hukum Perkawinan Islam, (Semarang: Duta Grafika, 1992), h. 30.
2
Saekan Erniati Effendi, Kompilasi Hukum Islam di Indonesia, (Surabaya: Arkola Offset. 1997), Cet 1. H. 75.
3
Sayyid Sabiq, Fiqh Sunna, (Beirut: Dar al-Fikr,1980), Jilid 2. Cet.2, h. 98
4
Muhammad Abu Zahrah, Ahwalu al-Syakhsiyyah, (Beirut: Dar al-Fikr al-Arabi, t.th), h. 103
5
Zakaria al-Anshari, Fath al-Wahab, (Beirut: Dar al-Fikr al-Arabi, t,th.) Juz II., h.35.

2
"Dan tidak ada dosa bagimu meminang perempuan-perempuan itu dengan
sindiran atau kamu sembunyikan (keinginanmu) dalam hati. Allah mengetahui
bahwa kamu akan menyebut-nyebut kepada mereka. Tetapi janganlah kamu
membuat perjanjian (untuk menikah) dengan mereka secara rahasia kecuali
sekadar mengucapkan kata-kata yang baik. Dan janganlah kamu menetapkan akad
nikah sebelum habis masa idahnya. Ketahuilah bahwa Allah mengetahui apa yang
ada dalam hatimu, maka takutlah kepada-Nya. Dan ketahuilah bahwa Allah Maha
Pengampun, Maha Penyantun." (QS. Al-Baqarah 2: Ayat 235)
Dalam tafsir ibn katsir, ayat diatas menjelaskan bahwa diperbolehkan meminang
seseorang dalam masa iddah sebab ditinggal mati suaminya asalkan menggunakan
kata-kata sindiran bukan kata-kata yang terang-terangan. Contoh kata sindiran
yaitu:”apabila Allah memberiku rizqi aku ingin dikawinkan dengan seorang
wanita” atau “aku ingin menikahi seorang yang anu tingkahnya dan sifatnya”.
Sedangkan, kata-kata yang terang-terangan seperti “aku ingin menikahimu”. Hal
sama berlaku pula pada seorang wanita yang ditalak bain yaitu boleh
meminangnya dengan kata-kata sindiran seperti yang telah dikatakan oleh
rasulullah terhadap fatimah binti qais. Diperbolehkan juga memendam pinangan
dalam hati maka Allah akan menghapus dosanya karena hal tersebut. Namun,
tidak diperbolehkan meminang/janji kawin secara rahasia seperti “kamu tidak
boleh menikah selain dengan diriku” atau dengan zina (menikah rahasia pada
masa iddah). Kemudian dalam ayat ‫اح َحخَّىََٰ َي ۡبهغَ َ ۡٱن ِكََٰخبَ َأجهّۥ‬
َِ ‫ٕا َػ ۡقذةَ َٱنُِّك‬
َْ ‫ٔلَ َح ۡؼ ِضي‬
menjelaskan bahwa tidak diperbolehkan melakukan akad nikah sebelum masa
iddah seorang perempuan selesai. Imam malik berpendapat apabila seorang lelaki
tetap menikahi perempuan yang masa iddahnya belum selesai maka perempuan
tersebut diharamkan baginya selama-lamanya. Hal ini berdasarkan periwayatan
dari ibn syihab dan sulaiman ibn yasar tentang perkataan khalifah umar. Dan
Allah maha mengetahui apa yang ada dalam hati kalian maka takutlah kamu
kepada-Nya. Dan Allah maha pengampun lagi penyantun.6
2. Dasar khitbah dalam al-Hadist
HR. Abu Daud dengan sanad hasan:

6
http://www.ibnukatsironline.com/2015/04/tafsir-surat-al-baqarah-ayat-235.html

3
َ‫َاراَخطبَاحذكىَانًشأةَفاٌَاسخطاعَاٌَيُظشَيُٓاَانىَيا‬,‫َقالَسسٕلَهللاَصهىَهللاَػهئَّسهى‬,‫ػٍَجابشَقال‬
َ‫َفخطبتَجاسيتَأحخبأْاَحخَّىَسأيجَيُٓاَياَدػاَىَانىََكاحٓأَحضٔجٓا‬:‫يذػَِٕانىََكاحٓاَفانيفؼمَقال‬
‫فخضٔجخٓا‬
Artinya: dari jabir bin abdullah ra. Beliau berkata: rasulullah SAW. Bersabda:
“Apabila salah seorang diantara kalian meminang seorang wanita, jika dia mampu
untuk melihat sesuatu yang memotivasinya untuk menikahinya hendaknya dia
melakukannya”. Jabir berkata: “kemudian aku meminang seorang gadis dan aku
bersembunyi untuk melihatnya hingga aku melihat darinya apa yang
mendorongku untuk menikahinya, lalu akupun menikahinya”. (HR. Abu Daud)
C. Syarat Khitbah
Adapun perempuan yang boleh dipinang harus memenuhi syarat dibawah ini:
1. Syarat Mustahsinah
Syarat mustahsinah adalah syarat yang menganjurkan laki-laki yang akan
meminang untuk meneliti wanita yang dipinangnya. Syarat mustahsinah tidak
wajib dipenuhi sehingga apabila tidak dilakukan khitbah tetap sah. Syarat-syarat
mustahsinah tersebut adalah:
1) Wanita yang dipinang hendaknya sejajar dengan laki-laki yang meminangnya
seperti sama tingkat dalam keilmuwan, status sosial maupun kekayaan.
2) Wanita yang dipinang hendaknya memiliki sifat kasih sayang dan peranak
3) Hendaknya wanita yang dipinang jauh hubungan kekerabatan dengan orang
yang meminang
4) Hendaknya orang yang meminang mengetahui keadaan jasmani, akhlak dan
keadaan lainnya.7
2. Syarat lazimah (syarat yang wajib dipenuhi):
1) Perempuan yang di khitbah bukan pinangan orang lain
Dalam islam dilarang seorang lelaki meminang perempuan yang telah
dipinang orang lain. Hal ini berdasarkan hadist nabiَ yang diriwayatkan oleh
imam bukhori (no. 5142) dan imam muslim (no. 1412) dari sahabat ibn umar
ra. Yang berbunyi:
ْ ‫ىَخ‬
َ‫َحخَّى‬,ِّ ‫طب ِتَا ِخ ْي‬ ِ ‫َٔلَي ْخطبَانشَّجمَػه‬,‫ْض‬
ٍ ‫َٓىَانَُّبِيَصهىَهللاَػهئَّسهىَا ٌَْيبِيْغَبؼْضك ْىَػمَبي ِْغَبؼ‬
َ‫َاؤَيأْرٌَنَّانخاطب‬ ْ ّ‫ي ْخشكَانخاطبَقبْه‬

7
Rusyada Basri, (Fiqh Munakahat 4 mazhab dan kebijakan pemerintah), h. 44-45.

4
“Nabi SAW. Melarang seseorang membeli barang yang sedang ditawar (untuk
dibeli) oleh saudaranya, dan melarang seseorang meminang wanita yang telah
dipinang orang lain sampai orang yang meminang tersebut meninggalkannya
atau mengizinkannya”.
2) Tidak ada pengahalang syar‟i untuk melakukan pernikahan pada waktu
khitbah
Penghalang syar‟i yang dimaksud adalah perempuan yang haram
dinikahi seperti saudara sesusuan dan senasab seperti saudara perempuan
kandung, bibi dan keponakan. Ada juga yang mengatakan penghalang syar‟i
selain yang diatas ada juga pengahalang syar‟i secara temporal seperti saudara
perempuan istri dan mengumpulkan bibi dengan ponakan.
3) Perempuan yang dipinang tidak dalam masa iddah
Perempuan yang dalam masa iddah (menunggu) tidak diperbolehkan
dikhitbah baik sebab talak raj‟i (talak yang dijatuhkan suami terhadap istrinya
yang telah pernah digauli, berupa talak 1 dan 2. tidak diperbolehkan dipinang
karena dalam masa ini masih memungkinkan seorang perempuan rujuk
kembali dengan mantan suaminya), talak ba‟in (talak yang tidak diberi hak
untuk merujuk kembali dengan mantan suaminya. Tidak diperbolehkan di
khitbah karena masih memungkinkan menikah kembali dengan akad baru),
maupun ditinggal mati suaminya.8
D. Anggota tubuh perempuan yang boleh dipandang saat khitbah/peminangan
Dalam hal ini ada beberapa pendapat diantara para ulama‟ yaitu:
1. Mayoritas fuqoha‟ seperti imam malik, asy-syafi‟i dan ahmad dalam salah satu
pendapatnya mengatakan bahwa anggota tubuh wanita yang dipinang boleh dilihat
hanya terbatas pada wajah dan kedua telapak tangan. Sebagaimana disebutkan
dalam al-qur‟an surat an-Nur ayat 31:
ٍََ‫ض ِش ۡب‬ ۡ ‫لَياَظٓشََ ِي ُۡٓاََۚٔ ۡني‬ َ َّ ِ‫ٍَئ‬
ََّ ٓ‫ٍَٔلََي ۡب ِذيٍََ ِصيُخ‬ ََّ ٓ‫ٍَٔي ۡحف ۡظٍََفشٔج‬ ََّ ِْ ‫ص ِش‬ َٰ ‫ٍَأ ۡب‬ َۡ ‫ضٍََ ِي‬ ۡ ‫جَي ۡغض‬ َِ َُٰ ‫ٔقمَنِّ ۡهً ۡإ ِي‬
َ‫ٍَأ ََۡٔأ ۡبُآ َِء‬
ََّ ِٓ ِ‫ٍَأ ََۡٔأ ۡبُآئ‬ََّ ِٓ ِ‫ٍَأ ََۡٔءابآ َِءَبؼٕنخ‬ ََّ ِٓ ِ‫ٍَأ ََۡٔءابآئ‬ ََّ ِٓ ِ‫لَنِبؼٕنخ‬ َ َّ ِ‫ٍَئ‬ََّ ٓ‫ٍََۚٔلَََي ۡب ِذيٍََ ِصيُخ‬ ََّ ِٓ ِ‫ٍَػهىَََٰجيٕب‬ ََّ ِْ ‫بِخً ِش‬
َ‫ٍَأ ََِٔٱن َٰخَّبِ ِؼيٍََغ ۡي َِشَأْٔ نِي‬ َۡ ‫ٍَأ ََۡٔياَيهك‬
ََّ ًَُٰٓ ‫جَأ ۡي‬ ََّ ِٓ ِ‫ٍَأ َََِۡٔسآئ‬ ََّ ِٓ ِ‫يَأخ َٰٕح‬ َٓ ُِ‫ٍَأ ََۡٔب‬ ََّ ِٓ ََِٰٕ ‫يَئِ ۡخ‬َٓ ُِ‫ٍَأ ََۡٔب‬ ََّ ِٓ ََِٰٕ ‫ٍَأ ََۡٔئِ ۡخ‬ ََّ ِٓ ِ‫بؼٕنخ‬
ٍَ‫ٍَنِي ۡؼهىََياَي ۡخفِيٍََ ِي‬ ََّ ِٓ ِ‫ض ِش ۡبٍََبِأ ۡسجه‬ ۡ ‫ثَٱنُِّسآ َِءََۚٔلََي‬ َِ ‫ٔاَػهىَََٰػ ٕۡ َٰس‬ َْ ‫مَٱن َّ ِزيٍََنىََۡي ۡظٓش‬ َِ ‫ط ۡف‬
ِّ ‫لَأ ََِٔٱن‬ َِ ‫ٱۡل ۡسب َِتَ ِيٍََٱنشِّجا‬ ِۡ
ٌَٕ‫ٱّللَِج ًِيؼًاَأيََُّّ ۡٱنً ۡإ ِيٌََُٕنؼهَّكىََۡح ۡفهِح‬
ََّ َ‫ٍََۚٔحٕب َْٕٓاَئِنى‬
ََّ ِٓ ِ‫ِصيُخ‬

8
Hikmatullah, H. (2021) (Fiqh Munakahat Pernikahan dalam Islam), h. 11-12.

5
"Dan katakanlah kepada para perempuan yang beriman, agar mereka menjaga
pandangannya, dan memelihara kemaluannya, dan janganlah menampakkan
perhiasannya (auratnya), kecuali yang (biasa) terlihat. Dan hendaklah mereka
menutupkan kain kerudung ke dadanya, dan janganlah menampakkan
perhiasannya (auratnya), kecuali kepada suami mereka, atau ayah mereka, atau
ayah suami mereka, atau putra-putra mereka, atau putra-putra suami mereka, atau
saudara-saudara laki-laki mereka, atau putra-putra saudara laki-laki mereka, atau
putra-putra saudara perempuan mereka, atau para perempuan (sesama Islam)
mereka, atau hamba sahaya yang mereka miliki, atau para pelayan laki-laki (tua)
yang tidak mempunyai keinginan (terhadap perempuan), atau anak-anak yang
belum mengerti tentang aurat perempuan. Dan janganlah mereka mengentakkan
kakinya agar diketahui perhiasan yang mereka sembunyikan. Dan bertobatlah
kamu semua kepada Allah, wahai orang-orang yang beriman, agar kamu
beruntung." (QS. An-Nur 24: Ayat 31)
Ibnu abbas menafsirkan kalimat “apa yang biasa terlihat darinya”, dimaksudkan
wajah dan kedua telapak tangan. Mereka juga mengatakan melihat wajah dan
telapak tangan diperbolehkan karena kondisi darurat sehigga hanya diperbolehkan
melihat sekedarnya. Melihat wajah menunjukkan kecantikan dan keindahan
seorang perempuan sadangkan telapak tangan menunjukkan kehalusan dan
kelemah lembutan seorang perempuan yang akan dipinang. Selain dari keduanya
(wajah dan telapak tangan) maka tidak diperbolehkan memandangnya kecuali ada
darurat yang mendorongnya.9
2. Ulama‟ hanbali berpendapat bahwa anggota tubuh wanita yang boleh dipandang
waktu khitbah sama seperti memandang mahrom sebagaimana yang terlihat pada
umumnya saat bekerja dirumah seperti wajah, kedua telapak tangan, leher, kepala,
kedua tumit kaki dan sebagainya namun, tidak boleh memandang anggota tubuh
yang biasanya tertutup seperti dada, punggung dan sesamanya hal ini berdasarkan
apa yang diperbolehkan nabi pada seorang sahabat untuk memandang wanita
tanpa sepengetahuannya. Diketahui bahwa mengizinkan memandang segala yang
tampak pada umumnya.10

9
Al-Faqih Abul Wahid Muhammad bin Ahmad bin Muhammad Ibnu Rusyd, Bidayatul Mujtahid Wa Nihayatul
Muqtashid, penerjemah: Imam Ghazali Said, dkk. (Jakarta: Pustaka Amani, 2007), juz 2, h.3.
10
Ibnu Qudamah, Al-Mughni. (Mesir: Mathba‟ah al-Qahirah, 1969), juz 6, h.554.

6
3. Ulama‟ hanafiyah dan hanabilah yang masyhur madzhabnya berpendapat anggota
tubuh yang boleh dipandang waktu peminangan hanya sekedar wajah, kedua
telapak tangan dan kedua kaki tidak lebih dari itu. Alasannya karna
memandangkan anggota tubuh tersebut sudah dinilai cukup bagi orang yang
meminang sedangkan apabila menyingkap dan memandang wanita lebih dari itu
dapat menimbulkan kerusakan dan maksiat yang disebut maslahat.
4. Dawud azh-zhahiriyah berpendapat diperbolehkan bagi peminang untuk melihat
anggota tubuh wanita yang terpinang yang diinginkan. Hal ini berdasarkan sabda
nabi SAW. Yang tidak mengkhususkan suatu bagian untuk dilihat. Akan tetapi
pendapat ini ditolak oleh mayoritas ulama‟ karna pendapat ini menyalahi ijma‟
ulama‟ dan menyalahi prinsip tuntutan diperbolehkannya sesuatu karena darurat
dan dilakukan sekadarnya.11
E. Hukum Berkhalwat dengan Pinangan
Khitbah pada dasarnya bukan merupakan suatu pernikahan akan tetapi,
khitbah hanya sekedar janji untuk menikah. Oleh karenanya, hukum pernikahan
belum berlaku pada waktu ini sehingga apabila seorang perempuan berkhalwat
(menyendiri) dengan pinangannya hukumnya haram karena mereka berdua bukan
muhrim (ajnabiyah) diperbolehkan berduaan apabila ada mahrom yang menemani
seperti ayah, saudara, paman atau beberapa orang disekitarnya. Hal ini berdasarkan
hadis nabi yang berbunyi:
َّ‫ػٍَػبذَهللاَبٍَػًشَيؼُيَابٍَسبيؼتَػٍَابيَّقانقالَسسٕلَهللاَصهىَلَي ْخهٕ ٌََّسجمَبِا ْيشا ٍةَلَح ِحمُّ َن‬
َ‫فا ِ ٌََّثانِثًٓاَان َّشيْطاٌَاِ َّلَيحْ ش ٍو‬
Artinya: “janganlah seorang lelaki berduaan dengan seorang perempuan yang tidak
halal baginya. Karena sesungguhnya yang ketiga adalah setan kecuali ditemani oleh
mahromnya”.12
Apabila mereka ingin berbincang-bincang untuk mempererat hubungan, saling
mengenal karakter dan kecenderungan masing-masing, maka yang demikian itu dapat
dibenarkan apabila ada anggota keluarga yang berstatus mahram ikut hadir atau
pertemuan itu dilakukan diruangan terbuka yang setiap saat dapat dipantau oleh
anggota keluarga. Hal ini dilakukan agar lebih terjaga dari pelanggaran agama.13

11
Abd Al-Fattah Abi Al-Aynain, Al-Islam Wa Al-Usrah, h. 103
12
Wahbah Ahmad, Musnad Ahmad, bab Hadist ‘Amir bin Rabiiah ra.,(CD. Room, Maktabah Syamilah) juz. 31,
h. 306
13
Muhammad Bagir al- Habsyi, Fiqih Praktis, (Bandung: Mizan, 2002), buku ke 2, cet 1, hal. 46.

7
Dari penjelasan diatas dapat menimbulkan pertanyaan bagaimana dengan foto
pre-wedding yang merebak dimasyarakat muslim sekarang jawabannya diperbolehkan
asalkan dalam proses pelaksanaannya tidak bertentangan agama dan tidak
mengandung unsur perbuatan munkar contohnya membuka aurat, berdua-duaan,
melakukan pose berangkulan dan lain sebagainya. Hal ini tidak diperbolehkan karena
status mereka belum sah.
F. Hikmah di Syariatkan Khitbah
Setiap hukum syari‟at pasti mempunyai hikmah dan tujuan. Adapun hikmah
disyari‟atkannya khitbah adalah menguatkan ikatan perkawinan sesudah itu dan
menciptakan keharmonisan dalam berumah tangga serta sebagai wadah perkenalan
antara kedua belah pihak yang akan melaksanakan pernikahan. Hal ini bertujuan agar
dikemudian hari tidak ada penyesalan diantara keduanya. Melalui khitbah masing-
masing pihak dapat mengerti kondisi satu sama lain sehingga dalam kehidupan
berumah tangga nanti mereka sudah bisa menyesuaikan diri antara satu sama lain dan
menjalani kehidupan berumah tangganya dengan aman dan tentram.

8
BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
Khitbah/ peminangan adalah permintaan seorang lelaki terhadap perempuan
atau wali dan orang terdekat seperti keluarga, kerabat, dan sebagainya dengan tujuan
untuk menikahi dan memiliki seutuhnya perempuan yang akan dipinang tersebut.
Khitbah pada dasarnya bukan merupakan suatu pernikahan akan tetapi, Khitbah hanya
sekedar janji untuk menikah. Oleh karenanya, hukum pernikahan belum berlaku pada
waktu ini sehingga apabila seorang berkhalawat (menyendiri) dengan pinangannya ,
maka hukumnya haram karena mereka berdua bukan muhrim (ajnabiyah)
diperbolehkan berduaan apabila ada mahrom yang menemani seperti ayah, saudara,
paman, atau beberapa orang disekitarnya. Khitbah sendiri memiki 2 syarat, yang
pertama syarat mustahsinah (syarat yang tidak wajib dipenuhi) dan syarat lazimah
(syarat yang wajib dipenuhi). Pada saat terjadi khitbah ada anggota badan yang boleh
dipandang yaitu wajah dan telapak tangan. Hal ini diperuntukkan untuk mengetahui
bahwa apakah perempuan yang dipinang tersebut cacat apa tidak, sehingga tidak
menimbulkan kekecewaan dilain hari.
B. Saran
Dalam materi yang kami sajikan tentang Khitbah tentunya masih banyak kekurangan
sehinnga kami sebagai pemakalah mengharapkan kritik dan saran untuk perbaikan
makalah kami selanjutnya.

9
DAFTAR PUSTAKA
Abd Al-Fattah Abi Al-Aynain, Al-Islam Wa Al-Usrah, h. 103
Al-Faqih Abul Wahid Muhammad bin Ahmad bin Muhammad Ibnu Rusyd, Bidayatul
Mujtahid Wa Nihayatul Muqtashid, penerjemah: Imam Ghazali Said, dkk. (Jakarta:
Pustaka Amani, 2007), juz 2, h.3.
Hady Mufa‟at Almiad, Fiqh Munakahat Hukum Perkawinan Islam, (Semarang: Duta
Grafika, 1992), h. 30.
Hikmatullah, H. (2021) (Fiqh Munakahat Pernikahan dalam Islam), h. 11-12.
http://www.ibnukatsironline.com/2015/04/tafsir-surat-al-baqarah-ayat-235.html
Ibnu Qudamah, Al-Mughni. (Mesir: Mathba‟ah al-Qahirah, 1969), juz 6, h.554.
Muhammad Abu Zahrah, Ahwalu al-Syakhsiyyah, (Beirut: Dar al-Fikr al-Arabi, t.th), h.
103
Muhammad Bagir al- Habsyi, Fiqih Praktis, (Bandung: Mizan, 2002), buku ke 2, cet 1,
hal. 46.
Rusyada Basri, (Fiqh Munakahat 4 mazhab dan kebijakan pemerintah), h. 44-45.
Saekan Erniati Effendi, Kompilasi Hukum Islam di Indonesia, (Surabaya: Arkola Offset.
1997), Cet 1. H. 75.
Sayyid Sabiq, Fiqh Sunna, (Beirut: Dar al-Fikr,1980), Jilid 2. Cet.2, h. 98
Wahbah Ahmad, Musnad Ahmad, bab Hadist ‘Amir bin Rabiiah ra.,(CD. Room, Maktabah
Syamilah) juz. 31, h. 306
Zakaria al-Anshari, Fath al-Wahab, (Beirut: Dar al-Fikr al-Arabi, t,th.) Juz II., h.35.

10

Anda mungkin juga menyukai