Anda di halaman 1dari 14

MAKALAH FIQIH MUNAKAHAT

NAFKAH
Dosen Pengampu : Dr. Hendripal Panjaitan, S.Pd., M.A,. M.Si.

Disusun Oleh Kelompok 10 :

Ramadana
Sri Hartati
Zeni Andini

PROGRAM STUDI PENDIDIKAN AGAMA ISLAM


FAKULTAS TARBIYAH
SEKOLAH TINGGI AGAMA ISLAM AL-ISLAHIYAH
BINJAI
2022
KATA PENGANTAR

Puji syukur penulis panjatkan kehadirat Allah Swt, Tuhan yang maha esa
atas rahmat-Nya dan karuniaNya penulis dapat menyelesaikan makalah ini tepat
pada waktunya. Adapun judul dari makalah ini adalah ‘Nafkah’.

Pada kesempatan kali ini penulis mengucapkan terimakasih yang sebesar-


besarnya kepada dosen matakuliah Fiqih Munakahat yaitu Bapak Dr. Hendripal
Panjaitan, S.Pd, M.A, M.Si. yang telah memberikan tugas makalah kepada
penulis. Penulis juga ingin mengucapkan terimakasih kepada pihak-pihak yang
turut membantu dalam pembuatan makalah ini.

Penulis jauh dari kata sempurna. Dan ini merupakan Langkah yang baik
dari studi yang sesungguhnya. Oleh karena itu, keterbatasan waktu dan
kemampuan dari penulis, maka kritik dan saran yang membangun senantiasa
penulis harapkan semoga makalah ini dapat berguna bagi penulis pada
khususnya dan pihak lain yang berkepentingan pada umumnya.

Binjai, November 2022

Tertanda,

Penulis

1
DAFTAR
ISI

Kata Pengantar ............................................................................................................ 1


Daftar Isi ........................................................................................................................ 2
Pendahuluan ................................................................................................................. 3
A. Latar Belakang ................................................................................................ 3
B. Rumusan Masalah........................................................................................... 3
Pembahasan ............................................................................................... 4
A. Pengertian Nafkah atau Nafaqoh ................................................................. 4
B. Dasar Hukum Nafaqoh .................................................................................... 5
C. Nafkah yang Harus Dikeluarkan Seorang Suami ......................................... 8
D. Gugurnya Kewajiban Menafkahi ................................................................... 9
E. Tujuan dan Hikmah Nafkah......................................................................... 11
Penutup......................................................................................................................... 12
Daftar Pustaka ........................................................................................................... 13

2
BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Pernikahan merupakan sunnatullah yang diberikan oleh Allah SWT


kepada makhlukNya, baik berupa manusia, hewan maupun tumbuhan, hal
ini bertujuan agar para makhluk Allah tersebut bisa berkembang biak dan
melestarikan keturunannya, demi terlaksananya tujuan tersebut, pernikahan
merupakan jalan terbaik yang diberikan oleh Allah kepada manusia.

Pernikahan secara syariat bertujuan untuk menciptakan ketentraman


dan kenyamanan bagi suami istri. Agar tujuan tersebut terlaksana,
diperlukan beberapa hal yang wajib dipenuhi, salah satunya yaitu Nafkah.
Pernikahan menimbulkan sebab hukum dan menimbulkan hak dan
kewajiban bagi kedua belah pihak (suami istri). Yaitu suami berkewajiban
memberikan nafkah, dan istri berhak untuk menerimanya, dan makalah
kami akan membahas hadis tentang Nafkah.

B. Rumusan Masalah

1. Apa pengertian dari Nafaqoh atau nafkah?

2. Apa dasar hukum dari Nafaqoh atau nafkah?

3. Bagaimana kewajiban nafkah suami terhadap istrinya?

4. Kondisi bagaimanakah kewajiban suami menafkahi istrinya?

5. Apa hikmah dan manfaat dari Nafaqoh atau nafkah?

3
BAB II

PEMBAHASAN

A. Pengertian Nafkah atau Nafaqoh

Kata nafkah berasal dari bahasa Arab yang berasal dari mashdar َ‫أَنْ َف َق‬,

َ‫أ َْْلءَََنْفاَق‬ yang berarti mengeluarkan. Adapun bentuk jama’ adalah َ‫نَفَ َق ْة‬.
secara bahasa berarti Sesuatu yang dikeluarkan manusia untuk
tanggungannya. Adapun menurut istilah syara’ nafkah Mencukupi
kebutuhan orang yang menjadi tanggung jawabnya berupa makanan,
pakaian, dan tempat tinggal. Di bawah ini ada beberapa pengertian nafkah:

1. Adapun menurut kamus umum bahasa Indonesia pengertian nafkah


adalah:

a. Belanja untuk memelihara kehidupan.

b. Rizki, makanan sehari-hari.

c. Uang belanja yang diberikan kepada istri.

d. Uang pendapatan mencari rizki, belanja dan sebagainya,

2. Pengertian nafkah menurut para ahli hukum

Para ahli hukum memberikan pengertian nafkah sebagai berikut :

a. Belanja untuk hidup sebagai pendapatan, uang ; belanja dari


suami yang diberikan kepada istri.

b. Uang belanja, ongkos hidup sehari-hari.

Dari beberapa pengertian di atas, dapat disimpulkan bahwa, nafkah


adalah semua pengeluaran pembelanjaan seseorang atas orang yang menjadi
tanggung jawabnya untuk memenuhi kebutuhan pokok yang diperlukan.

4
Kebutuhan pokok yang dimaksud adalah : kebutuhan pangan, kebutuhan
sandang dan kebutuhan papan (tempat tinggal).

Kewajiban memberika nafaqoh oleh suami kepada istrinya yang


beraku dalam fiqih didasarkan pada prinsip pemisahan harta antara suami
dan istri. Prinsip ini mengiuti alur pikir bahwa suami itu adalah pencari
rezeki, rezeki yang telah diperolehnya itu menjadi haknya secara penuh dan
untuk selanjutnya suami berkedudukan sebagai pemberi nafaqoh.
Sebaliknya istri bukan pencari rezeki dan untuk memenuhi kebutuhannya ia
berkedudukan sebagai penerima nafaqoh.

B. Dasar Hukum Nafaqoh

Dasar hukum memberikan nafkah hukumnya wajib menurut Al-


Qur’an surat Al-Baqoroh ayat 233. Allah SWT. Berfirman:1

َ)٢٣٣(َ َ‫َو َعلَىَٱَلَ َم َولودََلَهَۥََرَزق هنََ َوكسَ َوُتنََبَٱلَ َمعَروفََََْلَت َكلفََنَفَسََإْلََوسَ َع َها‬

Artinya: “Dan kewajiban ayah memberi makan dan pakaian kepada para
ibu dengan cara ma´ruf. Seseorang tidak dibebani melainkan menurut
kadar kesanggupannya”. (QS. Al-Baqoroh: 233).

Pengertian ma’ruf dalam ayat diatas dipahami ulama’ dengan arti


mencukupi. Dalil di atas dikuatkan dengan sepotong hadits dari ‘Aisyah
yang mengatakan :2

ََ‫ندَبنْتََعتْ بَةََا ْمَرأَةََابََس ْفياَ َنَعلىَ َرس ْولََللا‬


َ ‫تََه‬
ْ َ‫تَ َد َخل‬
َْ َ‫َع َْنَعاََئ َشةََ َرضيَللاََ َعنْهَاََقاََل‬

َ‫تََ َيََ َرس ْوََلَللاََانََاَََبَسَ ْفياَ َنَ َرجلََ َشحْيحََْلََي ْعطْينََم َنََالن َف َقةََمَاَيَكْفْينََ ََو‬
ْ َ‫مَفَقَاََل‬.‫ص‬

1
Amir Syarifuddin, Hukum Perkawinan Islam di Indonesia, (Jakarta: Prenada Media,
2006), cet. I, 166.
2
Ibnu Hajar Al-Asqolani, Terj. Bulughul Maram, (Jogjakarta: Hikam Pustaka, 2013),
303.

5
ََ‫كَم ْنََجناَحََ؟ََفَقاَ َلََحذ ْي‬
ََ ‫غيَعلْمهََفَ َه َْلَ َعلَيََفََذَاََل‬
َْ ‫َخ ْدتََم ْنََماَلهََب‬
َ ‫يَكْفىَبَنََاْلََماََأ‬
]‫م َْنَمَاََلهََبلْ َم ْعرْوفََماََيَكْفْيكََ َومَاََيَ ْكَفَ َْيَبَنَْيكََ[متتففقَعليه‬

Artinya: ”Dari ‘Aisyah r.a. Beliau berkata: Hindun putri Utbah istri Abu
Sufyan masuk menghadapi Raulullah saw. Seraya beliau berkata: Ya
Rasulullah, sesungguhnya Abu Sufyan lelaki yang kikir. Dia tidak
memberikan saya nafkah yang cukup untuk saya dan anak-anakku selain
yang apa yang saya ambil dari sebagian hartanya tanpa setahunya. Apakah
saya berdosa karena perbuatan itu? Lalu beliau bersabda: Ambillah
olehmu sebagian dari hartanya dengan cara yang baik secukupnya untuk
kau dan anak-anakmu”. (Muttafaq ‘alaihi).

Hadits di atas menujukkan bahwa jumlah nafkah diukur menurut


kebutuhan istri, dengan ukuran yang baik bagi setiap pihak, tanpa
mengesampingkan kebiasaan yang berlaku pada keluarga istri. Oleh karena
itu, jumlah nafkah berbeda menurut keadaan, zaman, dan keberadaan
manusia. Jelas bahwa kewajiban nafkah hanya diberikan kepada yang
berhak, yaitu dengan memeberikan sesuai kebutuhan bukan menentukan
jumlah nafkah yang harus diberikan karena dikhawatirkan terjadinya
keborosan penggunaan dalam keadaan tertentu. Maksudnya, pemberian
belanja secukupnya dalam arti sesuai dengan besarnya kebutuhan hidup
yang wajar bagi istri. Demikianlah maksud sabda Rasulullah : “dengan cara
yang baik” bukan sebaliknya, seperti boros dan kikir. Apabila suami tidak
memeberikan nafkah yang menjadi kewajibannya, maka istrinya boleh
mengambil apa yang dapat mencukupi dirinya jika ia seorang dewasa,
berakal sehat, bukan pemboros, ata orang yang gemar mubadzir.

Begitu pula hadits dari Hakim bin Muawiyah Al-Qusayri dalam


sebuah hadits yang menjelaskan tentang hak seorang istri :3

3
Ibnu Hajar Al-Asqolani, 304.

6
َ‫َحدان‬
َ ‫َ َيََََرسَ َْوََلَللاََماََ َحقََ َزْو َجةََأ‬:ََ‫َق لْت‬:َ‫َ َع َْنَأبْيهََقاَ ََل‬،‫َو َع َْنَ َحكْيمََبْنََمعاََويََةَالْق َش ْي‬
ََ‫ضرب َلو ْجهََ َوْلَت َقب ْح‬
ْ َ‫َ َوْلََت‬،‫ت‬
ََ ‫ََ َوتَكْس ْوهاََإذاَإ ْكتَ َسْي‬،‫ت‬
َ ‫َأَ َنَتطْع َمهاََإذاَطَع ْم‬:ََ‫َعلَْيهََ؟َقاَ َل‬
)َ‫(احلديثََوتقد ََمَع ْشَرةََالنساَء‬

Artinya: “Dari Hakim Ibnu Muawiyah Al-Qusyairi, dari ayahnya berkata:


Aku bertanya: Wahai Rasulullah, apakah hak istri salah seorang diantara
diantara kami? Beliau menjawab : Engkau memberi makan jika engkau
makan dan engkau memberinya pakaian jika engkau berpakaian.” (hadits
yang telah tercantum dalam bab bergaul dengan istri).

Hadits di atas menjadi dalil yang menunjukkan kewajiban suami


untuk memberikan makanan dan pakaian kepada isterinya, atau istilah
lainnya adalah memberi nafkah. Memberi nafkah kepada istri hukumnya
wajib. Dan mendapat nafkah adalah hak seorang istri. Sehingga dalam
mencari nafkah seorang suami tidak boleh bermalas-malas dan tidak boleh
menggantungkan hidupnya kepada orang lain. Seorang suami sebagai
kepala rumah tangga harus memiliki usaha dan bekerja dengan sungguh-
sungguh sesuai kemampuannya.

Di samping dalil dari Al-Qur’an dan hadits yang disebut di atas, kaum
muslimin dari golongan Fuqaha’ sejak masa Rasulullah sampai saat ini
sepakat bahwa, seorang suami wajib memberikan nafkah kepada istrinya
untuk kelangsungan hidup berumah tangga. Nafkah merupakan kewajiban
suami terhadap istrinya dalam bentuk materi, karena kata nafkah itu sendiri
berkonotasi materi. Sedangkan kewajiban dalam bentuk non materi, seperti
memuaskan hajat seksual istri tidak masuk dalam artian nafkah, meskipun
dilakukan suami terhadap istrinya. Kata yang selama ini digunakan secara
tidak tepat untuk maksud ini adalah nafkah batin sedangkan dalam bentuk
materi disebut dengan nafkah lahir. Dalam bahasa yang tepat nafkah ini
tidak ada lahir atau batin. Yang ada hanya nafkah yang maksudnya adalah
hal-hal yang bersifat lahiriyah atau materi.
7
C. Nafkah yang Harus Dikeluarkan Seorang Suami

Dalam satu hadits yang diriwayatkan oleh Abu hurairah r.a. bahwa
Rasulullah Saw. Bersabda:

ََ‫َيََرسَ َْوَلََللاَعْن َدَدَيْناَر‬:ََ‫ال‬


َ ‫َمََفَ َق‬.‫َجاَءَََ َرجلََاىلَالنَبََص‬:َ‫َو َع َْنَأَبََهََريَََْرةََ َرض َيََللاََ ََعَْنهََقاَ ََل‬

ََ‫َعْنديََأََ َخر‬:‫قال‬
ََ َََ‫َأنْف ْقهََ َعَلىىَولَ َدَ َك‬:َ‫َعْند ْيََأََ َخر؟ََقاَ ََل‬:َ‫ال‬
َ ‫كََق‬
ََ ‫َأَنْف ْقهََ َعلىَنَ ْفس‬:‫؟َقال‬

ََ‫َعْنديََأ‬،‫كََقاَ َل‬
َ ‫َأنْف ْقهََ َعَلىىَخاََدم‬:ََ‫َقاَ َل‬،‫َعْنديَأَََ َخر‬:ََ‫كََقاَ َل‬
َ ‫أنْف ْقهََ َعلىىَأ َْهل‬:َ‫؟َقاَ ََل‬

ََ‫َ ََوَأََ ْخَََر ََجهَََالنَسَاََءَيََ َوا َْحلَاََكم‬،‫ََََوأََب َْودَاَوَد‬،ََ‫تَأ َْعلَ ََم (أَ َْخََر ََجهََالشَافعيَََواَل ْفظَََله‬
ََ ْ‫َأَن‬:َ‫َخرََقاَ ََل‬

َ)‫علََاالْ َولَ َد‬


َ ََ‫بتَ ْقد َْيَالزْو ََجة‬

Artinya: “Abu Hurairah raberkata: “ Ada seseorang datang kepada nabi


dan berkata: Wahai rasulullah, aku mempunyai satu dinar? Beliau
bersabda: Nafkahilah dirimu sendiri. Ia berkata: Aku mempunyai satu dinar
lagi. Nafkahi anakmu. Ia berkata: Aku mempunyai satu dinar lagi. Beliau
bersabda: Nafkahi Istrimu. Ia berkata: Aku mempunyai satu dinar lagi:
Nafkahi pembantumu. Ia berkata lagi: Aku mempunyai satu dinar lagi.
Beliau bersabda: Engkau lebih tahu (siapa yang harus diberi nafkah)”.
(Riwayat Syafi’i dan Abu Daud dengan lafadz menurut Abu Daud, Nasa’i
dan Hakim juga meriwayatkan dengan mendahulukan istri daripada anak).

Maksud hadits diatas adalah agar kita lebih mendahulukan menafkahi


keluarga daripada yang lain, ini dimulai dari diri sendiri terlebih dahulu,
kemudian anak, istri, baru pembantumu. Memberikan nafkah kepada
keluarga merupakan perkara yang wajib bagi suami. Syariat menyebutnya
sebagai sedekah, untuk menghindari anggapan bahwa para suami yang telah
menunaikan kewajiban mereka (memberi nafkah) tidak akan mendapat
balasan apa-apa. Mereka mengetahui balasan apa yang akan diberikan oleh
orang yang bersedekah. Oleh karena itu, syariat memperkenalkan bahwa
8
nafaqoh kepada keluarga juga termasuk sedekah yang berhak atas pahala
Allah Swt. Sehingga tidak boleh memberikan nafaqoh kepada selain
keluarga mereka, sebelum mereka mencukupi nafkah (yang wajib) bagi
keluarga. Hal tersebut sebagai pendorong untuk lebih mengutamakan
sedekah yang wajib terlebih dahulu. Bahkan dalam riwayat lain disebutkan
bahwa :

Artinya: “dari Abu Hurairah r.a. Berkata: bahwa Rasulullah Saw


bersabda: Dinar yang diinfaq kan di jalan Allah, dan dinar yang diinfaq
kan untuk memerdekakan budak, dan dinar yang di Sedekahkan kepada
orang miskin, dan dinar yang diinfaq kan kepada keluarga, dari semua
dinar diatas yang paling besar pahalanya adalah yang diinfaq kan kepada
keluarga.” (HR. Muslim).

Dari hadits diatas dapat diketahui bahwasanya, sebaik-baik dinar yaitu


yang diberikan kepada keluarganya, bahkan lebih baik daripada yang
diinfaq kan di jalan Allah.

D. Gugurnya Kewajiban Menafkahi

Pada dasarnya, nafaqoh itu diwajibkan sebagai penunjang kehidupan


suami dan istri. Namun, apabila salah satu pihak tidak menjalankan
kewajibannya, maka berhakkah ia menerima hak yang sudah ditentukan,
seperti istri tidak menjalankan kewajibannya berhakkah ia mendapat
nafaqoh dari suaminya, begitu juga sebaliknya jika seorang suami tidak bisa
menjalankan kewajibannya mencari nafaqoh apakah berhak mendapat
pelayanan istrinya. Hal tersebut masih diperdebakan oleh kalangan ulama’.

Dalam hal istri tidak menjalankan kewajibannya yang disebut dengan


nusyuz, menurut jumhur ulama’ tidak wajib memberi nafaqoh dalam masa
nusyuz nya itu.4 Alasanya ialah, bahwa nafaqoh tersebut merupakan imbalan

4
Amir Syarifuddin, 173.

9
dari ketaatan seorang istri kepada suaminya. Istri yang nusyuz, hilang
ketaatanya pada masa itu. Oleh karenanya ia tidak berhak atas nafaqoh
selama nusyuznya itu. Dan kewajiban itu kembali dilakukan setelah nusyuz
nya berhenti.

Akan tetapi, ulama’ Zhahiriah berpendapat bahwa istri yang nusyuz


tidak gugur haknya dalam nemerima nafaqoh. Alasanya ialah nafaqoh itu
diwajbkan atas dasar akad nikah bukan atas dasar ketaatan.5 Bila suatu
waktu si istri melakukan nusyuz ia hanya dapat diberi pengajaran, pisah
tempat tidur, atau pukulan yang tidak menyakiti. Sesuai dengan firman
Allah surat An-Nisa’ ayat 34.

َْ‫ل َتَبَغوَا‬
ََ َ‫ضاجعَ َََوٱضَربوهنَ َفَإنَ َأَطَعَنَكمَ َف‬
َ ‫وزهنَ َفَعظوهنَ َََوٱهَجروهنَ َفَ َٱَلَ ََم‬
َ ‫ََوٱلَتَ َ ََتَافو َن َنش‬
‫ا‬
ََ) ٣٤(َ‫يلَإنََٱَّللَََ َكا َنَ َعليَاََ َكب ًَيا‬
ًَ ‫َعلَيَهنََ َسب‬

Artinya: “Wanita-wanita yang kamu khawatirkan nusyuznya, maka


nasehatilah mereka dan pisahkanlah mereka di tempat tidur mereka, dan
pukullah mereka. Kemudian jika mereka mentaatimu, maka janganlah kamu
mencari-cari jalan untuk menyusahkannya. Sesungguhnya Allah Maha
Tinggi lagi Maha Besar”.

Dan jika suami tidak menjalankan kewajiban dalam memberikan


nafaqoh kepada istri, istri dapat menarik ketaatanya dengan cara antara lain
tidak mau digauli suaminya. Jumhur ulama’ berpendapat bahwa istri yang
tidak mendapat nafkah dari suaminya, berhak tidak memberikan pelayanan
terhadap suaminya, dan bahkan boleh untuk membatalkan perkawinan atau
fasakh. Akan tetapi, ulama’ Zahiriah berbeda pendapat bahwa istri yang
tidak menerima nafaqoh dari suaminya tetap menjalabkan kewajiban
seorang istri dan tidak boleh menolak permintaan suami untuk digauli. Dan
istri harus sabar menerima kenyataan suaminya itu.

5
Ibid, 174.

10
E. Tujuan dan Hikmah Nafkah

Diantara disyariatkanya perkawinan adalah untuk mendapatkan


ketenangan hidup, cinta dan kasih sayang, serat pergaulan rumah tangga
yang baik. Kewajiban nafkah adalah bertujuan untuk menegakkan semua
itu. Tujuan lainnya adalah sebagai berikut:

1. Bentuk tanggung jawab suami.

2. Untuk memenuhi kebutuhan keluarga.

3. Terhindar dari kemiskinan.

Sementara itu hikmah nafkah untuk keluarga antara lain :

1. Agar keluarga dilimpahi keberkahan.

2. Menjadi hamba Allah yang baik.

3. Terjaganya muru’ah (kehormatan) dan silaturahmi.

4. Kelebihan nafkah dalam keluarga ketika diinfakkan akan semakin


menumbukan sifat empati terhadap sesama.

11
BAB IV

PENUTUP

Nafkah adalah semua pengeluaran pembelanjaan seseorang atas orang


yang menjadi tanggung jawabnya untuk memenuhi kebutuhan pokok yang
diperlukan. Kebutuhan pokok yang dimaksud adalah : kebutuhan pangan,
kebutuhan sandang dan kebutuhan papan (tempat tinggal).

Dasar hukum memberikan nafkah hukumnya wajib menurut Al- Qur’an


surat Al-Baqoroh ayat 233. Allah SWT. Berfirman:

َ)٢٣٣(َ َ‫َو َعلَىَٱَلَ َم َولودََلَهَۥََرَزق هنََ َوكسَ َوُتنََبَٱلَ َمعَروفََََْلَت َكلفََنَفَسََإْلََوسَ َع َها‬

Artinya: “Dan kewajiban ayah memberi makan dan pakaian kepada para ibu
dengan cara ma´ruf. Seseorang tidak dibebani melainkan menurut kadar
kesanggupannya”. (QS. Al-Baqoroh: 233).

ََ‫َحدان َعلَْيه‬
َ ‫َ َيََََرسَ َْوََلَللاََماََ َحقََ َزْو َجةََأ‬:ََ‫َق لْت‬:َ‫َ َع َْنَأبْيهََقاَ ََل‬،‫َو َع َْنَ َحكْيمََبْنََمعاََويََةَالْق َش ْي‬
ََ‫ضرب َلو ْجهََ َوْلَت َقب َْحَ(احلديث‬
ْ َ‫ََ َوْلََت‬،‫ت‬
ََ ‫َ َوتَكْس ْوهَاََإذاَإ ْكتَ َسْي‬،‫ت‬
َ ‫َأَ َنَتطْع َمهَاََإذاَطَع ْم‬:َ‫؟َقاَ ََل‬
َ)َ‫وتقد ََمَع ْش َرةََالنساَء‬

Artinya: “Dari Hakim Ibnu Muawiyah Al-Qusyairi, dari ayahnya berkata: Aku
bertanya: Wahai Rasulullah, apakah hak istri salah seorang diantara diantara
kami? Beliau menjawab : Engkau memberi makan jika engkau makan dan engkau
memberinya pakaian jika engkau berpakaian.” (hadits yang telah tercantum
dalam bab bergaul dengan istri).

Sebaik-baik dinar yaitu yang diberikan kepada keluarganya, bahkan lebih


baik daripada yang diinfaq kan di jalan Allah. Maka dari itu kepala keluarga
wajub mementingkan kepentingan keluarga daripada kepentingan yang lain

12
DAFTAR PUSTAKA

Abidin, Slamet, et. All. Fiqih Munakahat 1. Bandung: CV Pustaka Setia.


1999.
Al-Asqolani, Ibnu Hajar. Terj. Bulughul Maram. Jogjakarta: Hikam Pustaka.
2013.
Syarifuddin, Amir. Hukum Perkawinan Islam di Indonesia. Jakarta: Prenada
Media. 2006.

13

Anda mungkin juga menyukai