Anda di halaman 1dari 10

ARAH PERTANIAN INDONESIA YANG

BERMARTABAT,MANDIRI,MAJU,ADIL DAN MAKMUR.

Untuk memenuhi salah satu tugas Mata Kuliah Pengantar Ilmu Peternakan

Dosen Pengampu :Desi Ratnasari S.Pt,M.Si

Kelompok 1 : Muhammad Dirga Nusantara (12280113453)


Mhd Wahbi Pulungan (12280114365 )
Rifky Ferdiansyah (12280115106 )
Mhd Yusuf Harahap (12280115747)
Alfarizi Syahdan (12280115361)
Ahmad Rajab Chairunas (12280114332)
KATA PENGANTAR
Assalamualaikum Wr. Wb.,

Puji serta syukur kami panjatkan kehadirat Allah SWT, karena atas limpahan kenikmatnya
sehingga kami dapat menyelesaikan makalah ini tepat pada waktu yang ditentukan. Shalawat dan
salam semoga selalu dilimpahkan kepada junjungan alam Nabi Muhammad SAW.

Makalah ini disusun guna memenuhi tugas. Ibu Desi Ratnasari S.Pt,M.Si Tak lupa ucapan
terimakasih kami ucapkan kepada semua pihak yang telah membantu kami sehingga makalah
kami dapat terselesaikan dengan baik.Kami selaku penulis menyadari bahwa makalah ini jauh
dari kata sempurna baik dalam segi bahasa,penyusunan, maupun pengetikannya, untuk itu kami
mengharapkan kritik dan saran untuk kami terkait makalah ini agar kami bisa menyusun makalah
lebih baik lagi.

Sekali lagi kami selaku penulis mengucapkan maaf dan terimakasi dan memohon maaf sebesar-
besarnya kepada para pembaca makalah ini.

Wassalamu’alaikum Wr, Wb,.

Pekanbaru, Sabtu, 10-09-2022

Penyusun,
Daftar Isi
KATA PENGANTAR.......................................................................................................................................ii
BAB I............................................................................................................................................................ 1
PENDAHULUAN............................................................................................................................................1
A. Latar Belakang.....................................................................................................................................1

B. Rumusan Masalah...............................................................................................................................1
C. Tujuan..................................................................................................................................................1
BAB II...........................................................................................................................................................3
PEMBAHASAN..............................................................................................................................................3
A. Pengertiann Pertanian...................................................................................................................................3
1.Pertanian yang Bermartabat..............................................................................................................3
2. Pembagian dan macam-macam naskh dalam Al-Qur’an..................................................................5
3. Ayat-ayat yang masyur naskhnya.....................................................................................................6

BAB III..........................................................................................................................................................7
PENUTUP.....................................................................................................................................................7
B. KESIMPULAN........................................................................................................................................7

DAFTAR PUSTAKA
BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Pertanian adalah suatu jenis kegiatan produksi yang berlandaskan pada proses pertumbuhan
dari tumbuh-tumbuhan dan hewan. Pertanian dalam arti sempit dinamakan pertanian rakyat.
Sedangkan, pertanian dalam arti luas meliputi pertanian dalam arti sempit, kehutanan,
peternakan, perkebunan, dan perikanan. Pembangunan pertanian telah memberikan sumbangan
besar dalam pembangunan nasional, baik sumbangan langsung seperti dalam pembentukan
PDB, penyerapan tenaga kerja, peningkatan pendapatan masyarakat, perolehan melalui ekspor
dan penekanan inflasi, maupun sumbangan tidak langsung melalui penciptaan kondisi yang
kondusif bagi pelaksanaan pembangunan dan hubungan sinergis dengan sektor lain
(Departemen Pertanian, 2005) Pembangunan pertanian di Indonesia diarahkan untuk memenuhi
tujuan yang ingin dicapai, yaitu mencapai kesejahteraan masyarakat pertanian secara lebih
merata. Tujuan pembangunan pertanian tersebut dapat dilakukan dengan cara meningkatkan
produksi, produktivitas tenaga kerja, tanah dan modal (Soekartawi, 1993).
Sektor pertanian merupakan sektor yang dapat diandalkan dalam pemulihan perekonomian
nasional, mengingat sektor pertanian terbukti masih dapat memberikan kontribusi pada
perekonomian nasional walaupun badai krisis menerpa. Hal ini dikarenakan terbukanya
penyerapan tenaga kerja di sektor pertanian dan tingginya sumbangan devisa yang dihasilkan
(Badan Pusat Statistika, 2004).
Tanaman perkebunan merupakan salah satu komoditas yang bisa diandalkan sebagai sentra
bisnis yang menggiurkan. Terlebih produk-produk dari tanaman perkebunan cukup ramai
permintaannya, baik dipasar dalam negeri maupun pasar luar negeri.

B. Rumusan Masalah
1. Apakah yang dimaksud dengan Pertanian yang bermartabat?
2. Apakah yang dimaksud dengan Pertanian yang Mandiri ?
3 Apakah yang dimaksud dengan Pertanian yang Maju?
4. Apakah yang dimaksud dengan Pertanian yang Adil?
5. Apakah yang dimaksud dengan Pertanian yang Makmur ?

C. Tujuan
1. Untuk mengetahui apa itu Arah Pertanian Indonesia yang
bermartabat ,mandiri,maju ,adil,makmur ?

1
BAB II

PEMBAHASAN

A. Nasikh dan Mansukh dalam Al-Qur’an


1. Makna Nasikh dan ruang lingkupnya
Naskh secara bahasa mempunyai beberapa arti diantaranya berarti “Izalatu al-
syay’I waa’damuhu” (menghilangkan sesuatu dan mentiadakannya), yang berarti “Naqlu
al syay’I” (memindahkan dan menyalin sesuatu), berarti “Tabdil” (penggantian), berarti
“Tahwil” (pengalihan).1
Sedangkan Naskh secara istilah : mengangkat (mengahapus) hukum syara’ dengan
dalil/khithab syara’ yang lain”. Maksud mengangkat hukum syara’ adalah terutusnya
kaitab hukum yang Mansukh dengan perbuatan mukallaf2.Definisi di atas apabila
dijelaskan lagi dapat kita tarik beberapa kesimpulan yakni :
a. Dipastikan Naskh apabila ada 2 (dua) hal yaitu Naskh dan Mansukh
b. Naskh harus turun belakangan dari Mansukh
c. Menilai suatu ayat sebagai penaskh dan yang dinaskhkan apabilan ayat-ayat
kontradiktif itu tidak dapat dikompromikan dan diamalkan secara bersama 3
sedangkan syarat kontradiksi;adanya persamaan subjek, objek, waktu dan lain-
lain.4
d. Al-Nasikh pada hakikatnya adalah Allah, kadang-kadang dimaksud juga dengan
ayat yang menasikh Mansukh. Sedangkan Mansukh hukum yang diangkat atau
dihapus5

Dari definisi di atas dijelaskan bahwa komponen Naskh terdiri dari; adanya
pernyataan yang menunjukan terjadi pembatalan hukum yang telah ada, harus ada
naskh harus ada Mansukh dan harus ada yang dibebani hukum atasnya. Dalam naskh

1
Imam Muhammad Abd Al-‘Azhim Al-Zarqani, Manahil al-‘Irfan fi ‘Ulumi al-Qur’an (Beirut : Dar al Fikri, tth.), jilid
II, hlm. 175.
2
Al-Qaththan, Mabahits fi ‘Ulum al-Qur’an hlm. 224
3
Al-Zarqani, Manahil al-irfan fi Ulum al-Qur’an , hlm. 177
4
Quraish Shihab, membumikan Al-Qur’an (Bandung : Mizan, 1994), hlm. 143.
5
Al-Zarqani, Manahil al-irfan fi Ulum al-Qur’an , hlm. 179
2
diperlukan syarat yaitu hukum yang Mansukh adalah hukum syara’, dalil
pengahpusan hukum tersebut adalah kitab syar’i yang datang kemudian dari kitab
yang dimansukh, dan kitab yang dihapus atau diangkat hukumnya tidak terikat atau
dibatasi dengan waktu tertentu6.

Beranjak dari keterangan di atas, tentu syarat-syarat tersebut akan dihubungkan


langsung dengan hal-hal mengalami Naskh maka dalam hal ini akan dijelaskan hal-
hal yang mengalami Naskh. Naskh hanya terjadi pada perintah (amr) dan larangan
(nahy), baik yang diungkapkan dengan tegas dan jelas maupun yang diungkapkan
dengan kalimat berita yang bermaksud perintah atau larangan, selama tidak terhubung
dengan akidah zat Allah dan sifat-sifat Allah, kitab-kitab Allah, pada rasul, hari
kiamat, dan juga tidak terkait dengan etika atau akhlak atau dengan pokok-pokok
ibadah dan muamalat7. Sebagaimana pendapat al-Zarqani tentang hal ini “Definisi
Naskh adalah mengangkat hukum syara’ dengan dalil hukum syara’. Yang memberi
kesan bahwa Naskh hanya terjadi pada hukum-hukum yang berhubungan dengan
furu’ ibadah dan muamalat menurut orang-orang yang mengakui Naskh. Adapun
yang berkaitan dengan akidah, dasar-dasar akhlak dan etika, pokok-pokok ibadah dan
muamalat dan berita-berita mahdhah, maka menurut jumhur ulama tidak terjadi
naskh padanya”.

Pedoman untuk mengetahui naskh dan Mansukh ada beberapa cara berikut :

1. Ada keterangan pegas pentransimisian yang jelas dari Nabi SAW;


2. Konsensus (Ijma) umat bahwa ayat ini naskh dan ayat Mansukh;
3. Mengetahui mana yang lebih dahulu dan mana yang belakangan berdasarkan
histori.

Naskh tidak dapat ditetapkan berdasarkan pada ijtihad para mujtahid tanpa penukilan
yang shahih, tidak juga penadapat para ahli tafsir atau karena ayat-ayat kontrakdiktif
secara lahirin, terlambatnya keislaman salah seorang dari dua periwayat. Yang di
pegang dalam masalah ini adalah penukilan yang meyakinkan dan sejarah.

6
Manna Al-Qaththan, Mahabits fi ‘Ulum Al-Qur’an, hlm. 224.
7
Al-Qaththan, Mahabits fi ‘Ulum Al-Qur’an, hlm. 225.

3
2. Pembagian dan macam-macam naskh dalam Al-Qur’an
Naskh terbagi kedalam 3 bagian:
a. Naskh Al-Qur’an dengan Al-Qur’an. Para ulama yang mengakui adanya naskh
telah sepakat adanya naskh Al-Qur’an dengan Al-Qur’an dan itupun telah terjadi
menurut mereka. Salah satu contohnya ayat ‘iddah satu tahun di-naskhan dengan
‘iddah 4 bulan 10 hari8
b. Naskh Al-Qur’an dengan Sunnah. Naskh yang macam ini terbagi menjadi dua.
Pertama naskh Al-Qur’an dengan hadits ahad. Jumhur ulama berpendapat, hadits
ahad tidak bisa menaskhan Al-Qur’an karena Al-Qur’an adalah naskh yang
mutawatir, menunjukan keyakinan tanpa ada praduga atau dugaan padanya,
sedangkan hadist ahad adalah naskh yang bersifat zhanni dan tidak sah pula
menghapus suatu yang sudah diketahui dengan suatu yang sifat dugaan/diduga.9
c. Naskh sunnah dengan al-Qur’an. Jumhur ulama membolehkan naskh seperti ini,
salahsatu contohnya adalah menghadap ke Baitul maqdis yang ditetapkan oleh
sunnah, kemudian ketetapan ini di nashkan oleh Al-Qur’an.10
d. Nash sunnah dengan sunnah, sunnah maca mini terbagi pada empat macam,
yaitu : Naskh sunnah mutawatir dengan sunnah mutawatir, Naskh sunnah ahad
dengan sunnah ahad, naskh sunnah ahad dengan sunnah mutawatir, dan Naskh
mutawatir dengan sunnah ahad.11

8
Al-Qaththan, Mahabits fi ‘Ulum Al-Qur’an, hlm. 228.

9
Al-Qaththan, Mahabits fi ‘Ulum Al-Qur’an, hlm. 237.

10
Al-Qaththan, Mahabits fi ‘Ulum Al-Qur’an, hlm. 229

11
Al-Qaththan, Mahabits fi ‘Ulum Al-Qur’an, hlm. 299.

4
3. Ayat-ayat yang masyur naskhnya
Adapun ayat-ayat yang masyur naskhnya dapat kita lihat di bawah ini, diantara ayat
yang masyur naskhnya terdapat dalam surah al-baqarah ayat 180 dinaskhan dengan
hadits; “Sesungguhnya Allah telah memberikan kepda setiap orang yang mempunyai hak
akan haknya maka tidak ada wasiat bagi waris”. Ayat 240 dalam surah al-baqarah
dinaskhan dengan ayat 234 terdapat dalam surah yang sama. Dan ayat 224 dalam surah
al-baqarah dinaskhan dengan ayat 286 dalam surah yang sama.
Setelah sedikit membahas seluk beluk tentang naskh tentu terjadi naskh dalam syariat
tidak terlepas dari hikmah, karena jika tanpa hikmahnya bisa saja dikatakan Allah
bermain-main dengan hukum yang diturunkannya. Adapun hikmah adanya naskh adalah
untuk menjaga kemaslahatan hamba, perkembangan tasyri menuju tingkat sempurna
sesuai dengan perkembangan dakwah dan perkembangan kondisi manusia, cobaan dan
ujian bagi mukalaf, apakah ia mengikuti atau tidak dan menghendaki kebaikan dan
kemudahan bagi umat. Sebab jika naskh itu beralih kepada yang lebih berat maka
terdapat tambahan pahala, jika beralih ke yang lebih ringan maka ia mengandung
kemudahan dan keringanan bagi hambanya.12

12
Al-Qaththan, Mahabits fi ‘Ulum Al-Qur’an, hlm. 232.

5
BAB III
PENUTUP
B. KESIMPULAN
Dari pembahasan di atas dapat kita ketahui bahwa naskh adalah mengangkat
(menghapus) hukum syara’ dengan dalil atau khitab syara’ yang lain. Dalam Naskh
diperlukan syarat, yaitu hukum yang Mansukh adalah syara’ dalil penghapusan hukum
tersebut adalah khitab syar’I yang datang lebih kemudian dari khitab yang di Mansukh,
dam khitab yang dihapus dan diangakat hukumnya tidak terikat atau dibatasi dengan
waktu tertentu. Dalam hal ini naskh dalam alqur’an dapat dbagi tiga bagian, nash Al-
Qur’an dengan Al-Qur’an, Naskh Al-Qur’an dengan sunnah dan naskh alqur,an dengan
sunnah.

6
Daftar Pustaka

 Badrudin, ‘Ulumul Qur’an (Serang, A-Empat) tahun 2020

Anda mungkin juga menyukai