Anda di halaman 1dari 17

MAKALAH

ULUMUL QUR’AN NASIKH MANSUKH


Makalah ini disusun untuk memenuhi tugas mata kuliah Ulumul Qur’an

Disusun Oleh:

1. Ricky
2. Riska suparnika

SEKOLAH TINGGI AGAMA ISLAM


PERGURUAN TINGGI SEBELAS APRIL SUMEDANG
PRODI PENDIDIKAN AGAMA ISLAM
2020/2021
KATA PENGANTAR

Puji syukur penulis panjatkan kehadirat Allah SWT, karena berkat limpahan
rahmat, taufiq, serta hidayah-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan makalah
yang berjudul “Nasikh Mansukh” ini dengan baik. Sholawat serta salam penulis
haturkan kepada Nabi besar Muhammad SAW yang telah membimbing ummat
manusia dari jalan kegelapan menuju jalan yang terang yakni Agama Islam.

Makalah ini memuat pendahuluan, pembahasan, penutup, dan daftar pustaka.


Makalah ini penulis susun untuk memenuhi tugas mata kuliah Ulumul Qur’an

Penulis mengucapkan terima kasih yang sebesar-besarnya kepada beberapa


pihak yang berperan dalam penyusunan makalah ini. Makalah ini berusaha
menjelaskan mengenai ayat-ayat nasikh dan mansukh dalam Al Qur’an. Penulis
sadar dalam penyusunan makalah ini belum bisa dikatakan mencapai tingkat
kesempurnaan, untuk itu kritik dan saran yang membangun sangat penulis
butuhkan agar dapat menjadi pelajaran untuk penulisan makalah yang selanjutnya.
Mohon maaf apabila ada kesalahan cetak atau kutipan-kutipan yang kurang
berkenan. Semoga makalah ini dapat bermanfaat khususnya bagi penulis dan
umumnya bagi pembaca. Amiiiin

Sumedang, 27 Desember 2020

Penulis,

DAFTAR ISI

i
KATA PENGANTAR........................................................................................................i

DAFTAR ISI......................................................................................................................ii

BAB I PENDAHULUAN..................................................................................................1

A. LatarBelakang........................................................................................................1

B. RumusanMasalah..................................................................................................2

C. TujuanPenulisan.....................................................................................................2

BAB II PEMBAHASAN...................................................................................................3

A. Pengertian Nasikh dan Mansukh............................................................................3

1. Pengertian Nasikh.............................................................................................3

2. Pengertian Mansukh..........................................................................................4

B. Rukun-Rukun dan Syarat-Syarat Nasakh...............................................................4

C. Perbedaan antara Nasakh, Takhsish dan Bada’.........................................................5

Nasakh ......................................................................................................................6

Takhshis ....................................................................................................................6

D. Dasar-dasar penetapan nasikh dan mansukh.........................................................6

E. Perbedaan pendapat tentang adanya ayat-ayat masukh dalam al-qur’an.................7

F. Bentuk-bentuk dan macam-macam nasikh dalam al-quran....................................8

G. Hikmah adanya nasakh dalam al qur’an..................................................................11

BAB III PENUTUP..........................................................................................................12

A. Kesimpulan..........................................................................................................12

DAFTAR PUSTAKA......................................................................................................14

ii
BAB I
PENDAHULUAN
A. LatarBelakang
Al Qur’an adalah kalamullah yang merupakan mu’jizat bagi Nabi
Muhammad SAW. Al Qur’an merupakan petunjuk bagi umat manusia untuk
mencapai kebahagiaannya di dunia dan di akhirat. Dalam Al Qur’an terkandung
banyak hikmah dan pelajaran. Al Qur’an memuat ayat yang mengandung hal-hal
yang berhubungan dengan keimanan, Ilmu pengetahuan, tentang cerita-cerita,
seruan kepada uma tmanusia untuk beriman dan bertaqwa, memuat tentang
ibadah, muamalah, dan lain lain.

Al Qur’an diturunkan secara berangsur-angsur, dalam penjelasan Al Qur’an


ada yang dikemukakan secara terperinci, ada pula yang garis besarnya saja, Ada
yang khusus, ada yang masih bersifat umum dan global. Ada ayat-ayat yang
sepintas lalu menunjukkan adanya gejala kontradiksi yang menurut Quraish
Shihab para ulama berbeda pendapat tentang bagaimana menghadapi ayat-ayat
tersebut. Sehingga timbul pembahasan tentang Nasikh dan Mansukh.

1
B. RumusanMasalah
1. Bagaimanakah pengertian dari Naskh dan Mansukh?
2. Apa sajakah rukun-rukun dan syarat-syarat Naskh?
3. Apa perbedaan antara Naskh, Takhsish dan Bada ?
4. Apa saja dasar–dasar penetapan Naskh dan Mansukh?
5. Bagaimana perbedaan pendapat tentang adanya ayat-ayat Mansukh
dalam Al-Qur’an?
6. Bagaimana bentuk-bentuk dan macam-macam Naskh dalam Al-
Qur’an?
7. Apa hikmah adanya Naskh dalam Al Qur’an?

C. TujuanPenulisan
1. Untuk mengetahui pengertian dari Nasikh dan Mansukh
2. Untuk mengetahui rukun-rukun dan syarat-syarat Nasakh
3. Untuk mengetahui perbedaan antara Naskh, Takhsish dan Bada ?
4. Untuk mengetahui saja dasar–dasar penetapan Naskh dan Mansukh
5. Untuk mengetahui perbedaan pendapat tentang adanya ayat-ayat
Mansukh dalam Al-Qur’an?
6. Untuk mengetahui bentuk-bentuk dan macam-macam Naskh dalam
Al-Qur’an?
7. Untuk mengetahui hikmah adanya Nasakh dalam Al Qur’an

2
BAB II
PEMBAHASAN
A. Pengertian Nasikh dan Mansukh

1. Pengertian Nasikh
Secara bahasa, nasakh bisa diartikan dengan berbagai arti, yakni: (1) Izalah
(menghilangkan), (2) Tabdil (mengganti), (3) Tahwil (memalingkan), dan (4)
Naql (memindahkan sesuatu dari satu tempat ke tempat yang lain). Namun,
sebagian ulama’ menolak makna keempat ini, dengan alasan bahwa si nasikh
(orang/ayat yang me- nasakh) tidak dapat mendatangkan lafazh yang di-mansukh
itu, tetapi hanya mendatangkan lafazh lain. Sedangkan secara istilah, menurut
Manna’ al-Qattan, nasakh adalah:

‫رفع الحكم الشرعي بخطابشرعي‬

“Mengangkat atau menghapus hukum syara’ dengan khithab (dalil) syara’ yang
lain.”

Secara terminologis menurut Manna’ Khalil al-Qhaththan, nasakh adalah


mengangkat (menghapuskan) hukum syara’ dengan dalil hukum (khithab) syara’
yang lain.

Secara terminologi, terdapat perbedaan definisi Nasikh. Para ulama’


mutaqaddimin abad ke-1 hingga abad ke-3 Hijriyah memperluas arti Nasikh
hingga mencakup hal-hal berikut. Pertama, pembatalan hukum yang ditetapkan
dahulu oleh hukum yang ditetapkan kemudian. Kedua,pengecualian hukum yang
bersifat umum oleh hukum yang bersifat khusus yang datang kemudian. Ketiga,
penjelasan yang datang kemudian terhadap hukum yang bersifat samar.
Keempat,penetapan syarat terhadap hukum terdahulu yang belum bersyarat.
Bahkan ada diantara mereka yang beranggapan bahwa suatu ketetapan hukum
yang ditetapkan oleh suatu kondisi tertentu menjadi Mansukhapabila ada
ketentuan lain yang berbeda akibat adanya kondisi lain. Misalnya, perintah untuk
bersabar, menahan diri pada periode Makkah di saat kaum Muslimin lemah,

3
dianggap telah dinasikh oleh perintah atau izin berperang pada periode Madinah.
Ada pula yang beranggapan bahwa ketetapan hukum Islam yang membatalkan
hukum yang berlaku pada masa pra Islam merupakan bagian dari pengertian
Nasikh.

Pengertian yang demikian luas dipersempit oleh ulama’ yang datang


kemudian (mutaakhkhirin). Menurut mereka Nasikh terbatas pada ketentuan
hukum yang datang kemudian, guna membatalkan, mencabut atau menyatakan
berakhirnya masa berlakunya hukum yang terdahulu, sehingga ketentuan hukum
yang berlaku adalah ditetapkan terakhir.

2. Pengertian Mansukh
Mansukh menurut bahasa berarti sesuatu yang dihapus/dihilangkan/dipindah
ataupun disalin/dinukil. Sedangkan menurut istilah para ulama’, mansukh ialah
hukum syara’ yang diambil dari dalil syara’ yang pertama, yang belum diubah
dengan dibatalkan dan diganti dengan hukum dari dalil syara’ baru yang datang
kemudian.
Tegasnya, dalam mansukh itu adalah berupa ketentuan hukum syara’ pertama
yang telah diubah dan diganti dengan yang baru, karena adanya situasi dan
kondisi yang menghendaki perubahan dan penggantian hukum tadi.

B. Rukun-Rukun dan Syarat-Syarat Nasakh


Dalam pembahasan mengenai ayat-ayat nasikh dan mansukh, perlu diketahui
rukun- rukun dan syarat-syarat nasakh. Rukun-rukun dan syarat-syarat nasakh
yang dimaksud adalah sebagai berikut:

1.Adanya mansukh (ayat yang dihapus) dengan syarat bahwa hukum yang
dihapus itu adalah berupa hukum syara’ yang bersifat ‘amali, tidak terikat atau
tidak dibatasi dengan waktu tertentu. Sebab, bila terikat dengan waktu maka
hukum akan berakhir dengan berakhirnya waktu tersebut. Karena itu, maka yang
demikian itu tidak dapat dinamakan dengan nasakh. Di samping itu, mansukh
(ayat yang dihapus) tidak bersifat “ajeg” secara nashshi, dan ayat yang mansukh
itu lebih dahulu diturunkan daripada ayat yang nasikh (menghapus).

4
2.Adanya mansukh bih (ayat yang digunakan untuk menghapus), dengan syarat,
datangnya dari Syari’ (Allah) atau dan Rasulullah s.a.w. sendiri yang bertugas
menyampaikan wahyu dari Allah. Sebab penghapusan sesuatu hukum tidak dapat
dilakukan dengan menggunakan ijma’ (konsensus) ataupun qiyas (analogi).

3.Adanya nasikh (yang berhak menghapus), yaitu Allah. Kadang-kadang


ketentuan hukum yang dihapus itu berupa al-Qur’an dan kadang-kadang pula
berupa sunnah.

4.Adanya mansukh ‘anhu (arah hukum yang dihapus itu ialah orang-orang yang
sudah aqil-baligh atau mukallaf), karena yang menjadi sasaran hukum yang
menghapus dan atau yang dihapus itu adalah tertuju kepada mereka.

Sedang ‘Abd. ‘Azhim al-Zarqaniy mengemukakan, bahwa nasakh baru dapat


dilakukan apabila:

a.Adanya dua ayat hukum yang saling bertolak belakang, dan tidak dapat
dikompromikan, serta tidak dapat diamalkan secara sekaligus dalam segala segi.

b.Ketentuan hukum syara’ yang berlaku (menghapus) datangnya belakangan


daripada ketetapan hukum syara’ yang diangkat atau dihapus.

c.Harus diketahui secara meyakinkan perurutan turunnya ayat-ayat tersebut,


sehingga yang lebih dahulu diturunkan ditetapkan sebagai mansukh, dan yang
diturunkan kemudiannya sebagai nasikh.

C. Perbedaan antara Nasakh, Takhsish dan Bada’


Terdapat perbedaan diametral antara Ibnu Katsir, al Maghrabi dan Abu
Muslim al Ashfahani dalam memandang persoalan nasakh. Ibnu Katsir dan al
Maghrabi menetapkan adanya pembatalan hokum dalam al quran. Al Ashfahani
berpendapat bahwa tidak ada nasakh dalam al quran. Kalaupun didalam al quran
terdapat cakupan hukum yang bersifat umum, untuk mengklasifikasikan dapat
dilakukan proses pengkhushusan(takhshis). Dengan demikian takhshis,

5
menurutnya dapat diartikan sebagai “mengeluarkan sebagian satuan (afrad) dari
satuan-satuan yang tercakup dalam lafad ‘amm”.

Nasakh
1.Satuan yang terdapat dalam Nasakh bukan merupakan bagian satuan yang
tedapat dalam Mansukh.
2.Nasakh adalah menghapuskan hokum dari seluruh satuan yang tercakup dalam
dalil mansukh.
3.Nasakh hanya terjadi dengan dalil yang dating kemudian.
4. Nasakh adanya menghapuskan hubungan Mansukh dalam rentang waktu yang
tidak terbatas.
5.Setelah terjadi nasakh, seluruh satuan yang terdapat dalam nasikh tidak terikat
dengan hokum yang tedapat dalam mansukh.

Takhshis
1.Satuan yang tedapat dalam takhshis merupakan sebagian dari satuan yang
terdapat dalam lafadz ‘aam.
2.Takhshis adalah merupakan hokum dari sebagian satuan yang tercakup dalam
dalil ‘aam.
3.Takhshis dapat terjadi baik dengan dalil yang kemudian maupun menyertai dan
mendahuluinya.
4.Takhshis tidak menghapuskan hokum ‘aam sama sekali. Hokum ‘aam tetap
berlaku meskipun sudah dikhushuskan.
5.Setelah terjadi Takhshis, sisa satuan yang terdapat pada ‘aam tetap terikat oleh
dalil áam.

D. Dasar-dasar penetapan nasikh dan mansukh


Manna’Al-Qathathan menetapkan tiga dasar untuk menegaskan bahaw suatu ayat
dikatakan bahwa nasikh (menghapus) ayat lain mansukh (dihapus). Ketiga dasar
adalah:

6
1.Melalui pentransmisian yang jelas dari nabi dan para sahabat, seperti hadis:
“Kuntu naihaitukum ‘an ziyarat Al- qubur ala fa zuruha” (Aku (dulu) melarang
kalian ziarah kubur, sekarang berziarahlah.
2.Melalui kesepakatan umat bahwa ayat ini nasikh dan ayat itu mansukh.
3.Melalui studi sejarah, mana ayat yang lebih belakang turun, sehingga disebut
nasikh, dan mana yang duluan turun disebut mansukh.

E. Perbedaan pendapat tentang adanya ayat-ayat masukh


dalam al-qur’an
Perbedaan pendapat para ulama’ dalam menetapkan ada atau tidaknya ayat
mansukh(dihapus) dalam al-qur’an, antara lain disebabkan adanya ayat-ayat yang
nampak kontradiksi bila dilihat dari zhahirnya, sebagian ulama’ berpendapat
bahwa diantara ayat-ayat tersebut, ada yang tidak dapat dikompromikan. Oleh
karena itu, mereka manerima teori nasikh (menghapus) dalam al-Qur’an
sebaliknya, bagi para ulama’ yang terdapat bahwa ayat-ayat tersebut dapat
dikompromikan keseluruhannya, tidak mengakui teori penghapusan itu.

Ulama’-ulama’ klasik yang menerima penghapusan dalam al-Qur’an tersebut


ternyata tidak sepakat dalam menentukan ayat yang menghapus (nasakh) dan ayat
yang dihapus (mansukh); dalam beberapa laporan yang sampai kepada kita,
disebut bahwa terdapat kecendrungan dikalangan ulama’ klasik untuk
menekankan jumlah ayat yang dihapus hingga mencapai bilangan yang
mengerikan. ayat tentang jihad, misalnya telah dikatakan membatalkan sekitar 113
ayat yang mengandung perintah untuk bersifat sabar, pemaaf, dan toleran dalam
keadaan tertekan. As-Suyuti kemudian mereduksi ratusan ayat yang dinyatakan
mansukh menjadi hanya 20 ayat. Sedangkan syah waliallah menguranginya
hingga menjadi lima ayat. Melihat bagaimana ayat-ayat yang dihapus ini, makin
lama makin berkurang jumlahnya seiring dengan berjalannya sejarah,

7
F. Bentuk-bentuk dan macam-macam nasikh dalam al-quran
Berdasarkan kejelasan dan cakupannya, nasikh dalam Al-quran dibagi menjadi
empat macam yaitu:

1.Nasikh sharih, yaitu ayat yang secara jelas menghapus hukum yang terdapat
pada ayat terdahulu. Misalnya ayat tentang perang (qital) pada ayat 65 surat Al-
Anfal yang mengharuskan satu orang muslim melawan sepuluh kafir:

Artinya: Hai nabi, Kobarkanlah semangat para mukmin untuk berperang. jika ada
dua puluh orang yang sabar diantaramu, niscaya mereka akan dapat mengalahkan
dua ratus orang musuh. dan jika ada seratus orang yang sabar diantaramu, niscaya
mereka akan dapat mengalahkan seribu dari pada orang kafir, disebabkan orang-
orang kafir itu kaum yang tidak mengerti.

Ayat ini, menurut jumhur ulama dinasikh oleh ayat yang mengharuskan satu
orang mukmin melawan dua orang kafir pada ayat 66 dalam surat yang sama:

Artinya: Sekarang Allah Telah meringankan kepadamu dan dia Telah mengetahui
bahwa padamu ada kelemahan. Maka jika ada diantaramu seratus orang yang
sabar, niscaya mereka akan dapat mengalahkan dua ratus orang kafir; dan jika
diantaramu ada seribu orang (yang sabar), niscaya mereka akan dapat
mengalahkan dua ribu orang, dengan seizin Allah. dan Allah beserta orang-orang
yang sabar.

2.Nasikh dhimmy, yaitu jika terdapat dua nasikh yang saling bertentangan dan
tidak dikompromikan, dan keduanya turun untuk sebuah masalah yang sama, serta
kedua-keduanya diketahui waktu turunnya, ayat yang datang kemudian
menghapus ayat yang terdahulu. Contohnya, ketetapan Allah yang mewajibkan
berwasiat bagi orang-orang yang akan mati yang terdapat dalam surat Al-Baqarah
180:

Artinya: Diwajibkan atas kamu, apabila seorang di antara kamu kedatangan


(tanda-tanda) maut, jika ia meninggalkan harta yang banyak, berwasiat untuk ibu-

8
bapak dan karib kerabatnya secara ma'ruf, (Ini adalah) kewajiban atas orang-orang
yang bertakwa.

Ayat ini, menurut pendukung teori naskh di-naskh oleh hadis Ia washiyyah li
waris (Tidak ada wasiat bagi ahli waris).

3.Nasikh kully, yaitu menghapus hukum yang sebelumnya secara keseluruhan.


Contohnya, ketentuan 'iddah empat bulan sepuluh hari pada surat Al-Baqarah ayat
234.

Artinya: Orang-orang yang meninggal dunia di antaramu dengan meninggalkan


isteri-isteri (hendaklah para isteri itu) menangguhkan dirinya (ber'iddah) empat
bulan sepuluh hari. Kemudian apabila Telah habis 'iddahnya, Maka tiada dosa
bagimu (para wali) membiarkan mereka berbuat terhadap diri mereka menurut
yang patut. Allah mengetahui apa yang kamu perbuat. (Q.S. Al-Baqarah : 234)

Dinasikh oleh ketentuan 'iddah satu tahun pada ayat 240 dalam surat yang sama.

Artinya: Dan orang-orang yang akan meninggal dunia di antara kamu dan
meninggalkan isteri, hendaklah berwasiat untuk isteri-isterinya, (yaitu) diberi
nafkah hingga setahun lamanya dan tidak disuruh pindah (dari rumahnya). akan
tetapi jika mereka pindah (sendiri), Maka tidak ada dosa bagimu (wali atau waris
dari yang meninggal) membiarkan mereka berbuat yang ma'ruf terhadap diri
mereka. dan Allah Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana.

4.Nasikh juz'iy, yaitu menghapus hukum umum yang berlaku bagi semua individu
dengan hukum yang hanya berlaku bagi sebagian individu, atau menghapus
hukum yang bersifat muthlaq dengan hukum yang muqayyad. Contohnya, hukum
dera 80 kali bagi orang yang menuduh seorang wanita

Tanpa adanya saksi pada surat An-Nur ayat 4.

‫َو ٱَّلِذ يَن َيْر ُم وَن ٱْلُم ْح َص َٰن ِت ُثَّم َلْم َيْأُتو۟ا ِبَأْر َبَع ِة ُش َهَدٓاَء َفٱْج ِل ُدوُهْم َثَٰم ِنيَن َج ْل َد ًة َو اَل َتْقَبُل و۟ا َلُهْم َش َٰه َد ًة‬
‫َٰٓل‬
‫َأَبًداۚ َو ُأ۟و ِئَك ُهُم ٱْلَٰف ِس ُقوَن‬

9
Artinya: Dan orang-orang yang menuduh wanita-wanita yang baik-baik (berbuat
zina) dan mereka tidak mendatangkan empat orang saksi, Maka deralah mereka
(yang menuduh itu) delapan puluh kali dera, dan janganlah kamu terima kesaksian
mereka buat selama-lamanya. dan mereka Itulah orang-orang yang fasik.

Dihapus oleh ketentuan lain, yaitu bersumpah empat kali dengan nama Allah, jika
si penuduh suami yang tertuduh, pada ayat 6 dalam surat yang sama.

‫َو ٱَّلِذ يَن َيْر ُم وَن َأْز َٰو َج ُهْم َو َلْم َيُك ن َّلُهْم ُش َهَدٓاُء ِإٓاَّل َأنُفُسُهْم َفَش َٰه َد ُة َأَحِدِهْم َأْر َبُع َش َٰه َٰد ٍۭت ِبٱِهَّللۙ ِإَّن ۥُه َلِم َن‬
‫ٱلَّٰص ِدِقيَن‬

Artinya: Dan orang-orang yang menuduh isterinya (berzina), padahal mereka


tidak ada mempunyai saksi-saksi selain diri mereka sendiri, Maka persaksian
orang itu ialah empat kali bersumpah dengan nama Allah, Sesungguhnya dia
adalah termasuk orang-orang yang benar.

Dilihat dari segi bacaan dan hukumnya, mayoritas ulama membagi nasikh kepada
tiga macam yaitu:

1. Penghapusan terhadap hukum (hukm) dan bacaan (tilawah) secara bersamaan.


Ayat-ayat yang terbilang kategori ini tidak dibenarkan dibaca dan tidak
dibenarkan diamalkan.

2.Penghapusan terhadap hukumnya saja, sedangkan bacaannya tetap ada.


Contohnya, ajakan para penyembah berhala dari kalangan musyrikin kepada umat
lslam untuk saling bergantian dalam beribadah, telah dihapus oleh ketentuan ayat
qital (peperangan). Akan tetapi, bunyi teksnya masih dapat kita temukan dalam
surat Al-Kafirun ayat 6:

‫َلُك ْم ِد ْيُنُك ْم َو ِلَي ِد ْيِن‬

Artinya: Untukmu agamamu, dan untukkulah, agamaku."

10
3.Penghapusan terhadap bacaannya saja, sedangkan hukumnya tetap berlaku.
contoh kategori ini biasanya diambil dari ayat rajam. Mula-mula ayat rajam ini
terbilang ayat Al-Quran. Ayat yang dinyatakan mansukh bacaannya, sementara
hukumnya telap berlaku itu adalah:
Artinya: “Jika seorang pria tua dan wanita tua berzina, maka rajamlah
keduanya...”
Adapun dari sisi otoritas mana yang lebih berhak menghapus sebuah nash, para
ulama membagi nasikh ke dalam empat macam:
1. Nasikh Al-Quran dengan Al-Quran
2. Nasikh Al-Quran dengan As-sunnah.
3. Nasikh As-Sunnah dengan Al-Quran.
4. Naskh As-Sunnah dengan As-Sunnah.

G. Hikmah adanya Nasakh dalam Al Qur’an


Hikmah nasakh secara umum ialah sebagai berikut:
1) Untuk menunjukkan bahwa syari’at agama islam adalah syari’at yang paling
sempurna. Karena itu, syari’at agama islam ini menasakh semua syariat dari
agama-agama sebelum islam. Sebab, syari’at Islam ini telah mencakup semua
kebutuhan seluruh ummat manusia dari segala periodenya, mulai dari Nabi Adam
a.s. yang kebutuhan-kebutuhannya masih sederhana hingga Nabi akhir zaman,
Nabi Muhammad SAW yang kebutuhan-kebutuhannya sudah banyak dan
kompleks.
2) Selalu menjaga kemaslahatan hamba agar kebutuhan mereka senantiasa
terpelihara dalam semua keadaan dan di sepanjang zaman.
3) Untuk menjaga agar perkembangan hukun Islam selalu relevan dengan semua
situasi dan kondisi umat yang mengamalkan, mulai dari yang sederhana sampai ke
tingkat yang sempurna.
4) Untuk menguji orang mukallaf, apakah dengan adanya perubahan dan
penggantian-penggantian dari nasakh itu mereka tetap taat, setia mengamalkan
hukum-hukum Tuhan, atau dengan begitu lalu mereka ingkar dan membangkang?

11
5) Untuk menambah kebaikan dan pahala bagi hamba yang selalu setia
mengamalkan hukum-hukum perubahan, walaupun dari yang mudah kepada yang
sukar. Sebab, semakin sukar menjalankan suatu peraturan Tuhan, akan semakin
bear manfaat, faedah dan pahalanya.
6) Untuk memberi dispensasi dan keringanan bagi ummat Islam, sebab dalam
beberapa nasakh banyak yang memperingan beban dan memudahkan pengamalan
guna menikmati kebijaksanaan dan kemurahan Allah SWT yang Maha Pengasih
lagi Maha Penyayang.

BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
Nasakh adalah mengangkat (menghapuskan) hukum syara’ dengan dalil
hukum (khithab) syara’ yang lain. Sesuatu yang membatalkan, menghapus,
memindahkan disebut Nasikh. Sadangkan mansukh ialah hukum syara’ yang
diambil dari dalil syara’ yang pertama, yang belum diubah dengan dibatalkan dan
diganti dengan hukum dari dalil syara’ baru yang datang kemudian.

Rukun-rukun dan syarat-syarat nasakh adalah adanya mansukh (ayat yang


dihapus), adanya mansukh bih (ayat yang digunakan untuk menghapus), adanya
nasikh (yang berhak menghapus), adanya mansukh ‘anhu (arah hukum yang
dihapus itu ialah orang-orang yang sudah aqil-baligh atau mukallaf).

Umumnya para ulama’ membagi Nasakh menjadi empat macam, yaitu nasakh
al-Qur’an dengan al-Qur’an, nasakh al-Qur’an dengan Sunnah, nasakh sunnah
dengan Al-Qur’an, nasakh sunnah dengan sunnah.

Hikmah nasakh secara umum ialah untuk menunjukkan bahwa syari’at agama
islam adalah syari’at yang paling sempurna, selalu menjaga kemaslahatan hamba
agar kebutuhan mereka senantiasa terpelihara dalam semua keadaan dan di
sepanjang zaman, untuk menjaga agar perkembangan hukun Islam selalu relevan
dengan semua situasi dan kondisi umat yang mengamalkan, mulai dari yang

12
sederhana sampai ke tingkat yang sempurna, untuk menguji orang mukallaf,
apakah dengan adanya perubahan dan penggantian-penggantian dari nasakh itu
mereka tetap taat, setia mengamalkan hukum-hukum Tuhan, atau tidak, untuk
menambah kebaikan dan pahala bagi hamba yang selalu setia mengamalkan
hukum-hukum perubahan, untuk member dispensasi dan keringanan bagi ummat

13
DAFTAR PUSTAKA
Al-Qhaththan, Manna’ Khalil. 2009. Studi Ilmu-ilmu Qur’an. Bogor: PT. Litera
AntarNusa. HALIM JAYA.

Chirzin, Muhammad. 1998. Al Qur’an dan Ulumul Qur’an. Yogyakarta: PT. Dana
Bhakti Prima Yasa.

Djalal, Abdul. 2012. Ulumul Qur’an. Surabaya: Dunia Ilmu.

Shihab, M. Quraish. 1994. Membumikan Al-Qur’an. Bandung: PT Mizan Pustaka

Usman. 2009. Ulumul Qur’an. Yogyakarta: TERAS.

14

Anda mungkin juga menyukai