Anda di halaman 1dari 30

MAKALAH

URGENSI ILMU QIRĀ’ĀT DALAM MENAFSIRKAN AL-QUR’AN

Disusun Sebagai Salah Satu Tugas Mata Kuliah Kapita Selekta Ilmu Qirā’āt.

Disusun Oleh:

Andri Kurniadi 221411072


Masna 221411081
Mufidatul Bariyah 221411084
Qinta Berliana Valfini 221411088
Thoyyibatus Saidah 221411091

Dosen Pengampu:

Dr. Romlah Widayati, M. Ag

PROGRAM STUDI ILMU AL-QUR’AN DAN TAFSIR


PROGRAM PASCASARJANA
INSTITUT ILMU AL-QUR’AN (IIQ) JAKARTA
1444 H/2022 M
KATA PENGANTAR

Segala puji bagi Allah Swt. Tuhan Yang Maha Esa dan Kuasa yang telah memberikan
rahmat serta taufik-Nya sehingga penyusunan makalah ini dapat diselesaikan. Salawat teriring
salam penulis persembahkan kepada baginda Rasulullah Muhammad Saw. beserta keluarga
dan para sahabatnya yang telah menunjukkan jalan Islam, ilmu, iman serta menjadi panutan
umat manusia. Semoga dengan salawat dan salam kepadanya senantiasa memberikan rida
syafaatnya di hari kiamat kelak. Amin.
Makalah ini merupakan makalah Kapita Selekta Ilmu Qira’at yang membahas tentang
urgensi ilmu qiroat dalam menafsirkan Al-Quran. Dalam malakah ini akan dijelaskan
keterangan dan perincian-perincian Ucapan terima kasih tidak lupa kami sampaikan kepada
dosen pengampu mata kuliah Kapita Selekta Ilmu Qiraat dan juga teman-teman yang telah
membantu dalam penyusunan makalah ini sehingga dapat selesai tepat pada waktunya.
Penulis menyadari bahwa dalam pembuatan makalah ini terdapat banyak kekurangan.
Oleh karenanya penulis sangat mengharapkan kritik dan saran dari pembaca guna
meningkatkan kualitas makalah penulis selanjutnya. Kebenaran dan kesempurnaan hanya milik
Allah Swt yang Maha Kuasa. Harapan penulis, semoga makalah sederhana ini dapat
memberikan manfaat bagi pembaca. Āmīn.

Jakarta, 18 Maret 2022

Pemakalah

i
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR ............................................................................................................... i


DAFTAR ISI.............................................................................................................................ii
BAB I : PENDAHULUAN ...................................................................................................... 1
A. Latar Belakang ................................................................................................................ 1
B. Rumusan Masalah ........................................................................................................... 2
C. Tujuan Penulisan ............................................................................................................. 2
BAB II : PEMBAHASAN ....................................................................................................... 3
A. Menafsirkan Al-Qur’an dengan Al-Qur’an .................................................................... 3
B. Menafsirkan Al-Qur’an dengan Qirā’āt Mutawātirah ................................................... 7
1. Pengertian Qirā’āt Mutawātirah ............................................................................... 7
2. Syarat Qirā’āt Mutawātirah ...................................................................................... 8
3. Pengaruh Qirā’āt Mutawātirah dalam Menafsirkan Al-Qur’an ............................... 9
C. Menafsirkan Al-Qur’an dengan Qirā’āt Syāżżah ......................................................... 13
1. Pengertian Qirā’āt Syāżżah ..................................................................................... 13
2. Klasifikasi Qirā’āt Syāżżah ..................................................................................... 14
3. Imam dan Rawi Qirā’āt Syāżżah yang Populer ...................................................... 16
4. Pentadwinan dan Referensi dalam Qirā’āt Syāżżah................................................ 17
5. Qirā’āt Syāżżah sebagai Hujjah .............................................................................. 18
6. Pengaruh Qirā’āt Syāżżah terhadap Penafsiran dan Contoh-Contohnya ................ 19
BAB III : PENUTUP ............................................................................................................. 25
A. Kesimpulan ................................................................................................................... 25
DAFTAR PUSTAKA ............................................................................................................. 26

ii
BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Al-Qur’an sebagai kitab suci yang berisi teks-teks sakral, yang merupakan sumber
hukum Islam. Dengan kandungan yang universal, telah banyak orang membicarakannya
dan menulis, tetapi tetap saja belum dipahami dengan baik.1 Setelah Nabi Muhammad
Saw wafat, persoalan muncul dalam kehidupan sosial yang penuh tantangan dan
dinamika persoalan hukum terus berlangsung dan berubah seiring perkembangan dalam
permasalahan-permasalahan hukum.2 Kitabullah Al-Qur’an dianggap sebagai petunjuk,
tentunya Al-Qur’an harus dipahami, dihayati, dan diamalkan. Namun pada
kenyataannya, tidak semua orang bisa dengan mudah memahami Al-Qur’an, bahkan para
sahabat Nabi Muhammad Saw sekalipun yang secara umum menyaksikan turunya
wahyu, mengetahui konteksnya, serta memahami secara ilmiah struktur bahasa dan
makna kosa katanya.
Salah satu kegiatan yang selalu dilakukan dari masa ke masa demi menggali
kandungan makna-makna Al-Qur’an baik yang tersurat maupun tersirat adalah kegiatan
penafsiran Al-Qur’an. Penafsiran Al-Qur’an tidak dapat dilakukan semena-mena, sebab
hal ini tidak akan mengupas nilai-nilai Al-Quran justru akan menenggelamkannya.
Dengan demikian, dalam ilmu tafsir, dikenal berbagai macam elemen penafsiran Al-
Qur’an yang perlu terlebih dahulu dikusai seorang mufassir, termasuk di dalamnya
adalah kajian tafsir, ilmu qiroah dan urgensinya.
Kata tafsir dalam KBBI diartikan keterangan atau penjelasan tentang ayat-ayat Al-
Qur’an.3 Sedangkan dalam beberapa keterangan kitab tafsir sendiri memuat arti
membuka atau menyingkap al-Kasyaf dan menjelaskan al-Izhar, artinya menjelaskan
makna ayat dengan sebuah kata atau lafal yang menunjukkan makna terangnya, atau
merupakan upaya membuka, memahami, dan menjelaskan maksud di pengarang dalam
hal ini Allah Swt, , tanpa keluar dari struktur makna dalam teks sumber yaitu Al-Qur’an.4

1
M. Arkoun, Berbagai Pembacaan Al-Qur’an, (Jakarta: INIS, 1997), h. 47
2
Nashruddin Baidan, Metodologi Penafsiran al-Qur'an, cet. Ke-2 (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2000),
h. 1-2.
3
Poerdarwinta, Kamus Umum Bahasa Indonesia, (Jakarta: Balai Pustaka, 1999), h. 620
4
Ali bin Muhammad al-Syarif al-Jurjani, Kitab al-Ta'rifat, (Beirut: Maktabah Libnan, 1990), h. 63.

1
Dengan demikian, dalam tulisan ini akan dibahas tentang urgensi ilmu qirā’āt dalam
menafsirkan Al-Qur’an.

B. Rumusan Masalah
1. Bagaimana Penafsirkan Al-Qur’an dengan Al-Qur’an?
2. Bagaimana Penafsirkan Al-Qur’an dengan Qirā’āt Mutawātirah?
3. Bagaimana Penafsirkan Al-Qur’an dengan Qirā’āt Syāżżah?

C. Tujuan Penulisan
1. Untuk Mendeskripsikan Penafsirkan Al-Qur’an dengan Al-Qur’an.
2. Untuk Mendeskripsikan Penafsirkan Al-Qur’an dengan Qirā’āt Mutawātirah.
3. Untuk Mendeskripsikan Penafsirkan Al-Qur’an dengan Qirā’āt Syāżżah.

2
BAB II

PEMBAHASAN

A. Menafsirkan Al-Qur’an dengan Al-Qur’an


Berbicara tentang upaya menafsirkan Al-Qur’an dengan Al-Qur’an, secara
metodologi hal ini masuk dalam kategori tafsir bi al-ma’tsur, yang secara definitif
memiliki makna menafsirkan Al-Quran dengan al-Quran, Al-Qur’an dengan as-sunnah
dan Al-Qur’an dengan pendapat atau penafsiran para sahabat Nabi dan tabi’in.
Dalam hal ini, menafsirkan Al-Qur’an dengan Al-Qur’an adalah Langkah atau tahap
pertama yang semestinya ditempuh oleh seseorang yang ingin menafsirkan Al-Quran
hendaknya ia memeriksa dulu ayat yang ingin ditafsirkan ini apakah ada ayat lain yang
menjelaskan makna ayat tersebut. Para sahabat yang merupakan generasi awal umat ini
telah melakukan Langkah ini dalam memahami Al-Qur’an, para sahabat yang memang
sangat antusias untuk memahami dan mengamalkan Al-Qur’an bertanya kepada rasulullah
ketika ada ayat-ayat yang tidak mereka pahami. Maka Rasulullah sebagai pembawa risalah
Islam telah menunjukkan indikasi ini bahwa dalam Al-Qur’an terdapat ayat-ayat yang
saling menafsirkan. Dari Ibnu Mas’ud diriwayatkan, ia berkata, “ketika turun ayat 82 dari
surat al-An’am, yang berbunyi:
ٰٰۤ ُ ْ ُ
َ‫ولىِٕكَ لَ ُه ُم ْاْلَ ْمنُ َو ُه ْم ُّم ْهتَد ُْون‬ ُ ‫اَلَّ ِذيْنَ ٰا َمنُ ْوا َولَ ْم َي ْل ِب‬
‫س ْْٓوا اِ ْي َمانَ ُه ْم ِبظل ٍم ا‬
“Orang-orang yang beriman dan tidak mencampur adukkan imannya dengan
kezhaliman.., mereka itulah yang mendapat keamanan dan mereka itu adalah orang-
orang yang mendapat petunjuk”.
Ayat ini sangat meresahkan hati para sahabat dan memancing mereka untuk bertanya
kepada rasulullah, “Wahai rasulullah, siapakah diantara kita yang tidak berbuat zalim
terhadap dirinya?”. Beliau menjawab “Kezaliman disini bukanlah seperti yang kamu
pahami. Tidaklah kamu mendengar apa yang dikatakan oleh hamba yang saleh (Luqman)

َ ‫ظ ْلم‬
‫ع ِظيم‬ ُ َ‫ٱلش ْركَ ل‬
ِ ‫إِ َّن‬
“Sesungguhnya syirik itu adalah kezaliman yang besar.”(Luqman: 13).
Sesungguhnya syiriklah yang dimaksudkan oleh kezaliman disini.5

Mereka yang mendalami Al-Quran, akan menemukan Al-Quran mencakup i’jaz dan
ithnab. Mujmal dan mubayyan, muthlaq dan muqayyad, umum dan khusus. Yang

5
Manna Al Qaththan, Pengantar studi Ilmu Al quran, (Kairo:maktabah wahibah, 2004/1425), h. 423.

3
disebutkan secara ringkas disuatu ayat, dijelaskan secara panjang di ayat lain . yang global
di suatu ayat dirinci di ayat lain. Yang datang dalam bentuk kata-kata mutlaq di satu ayat
ternyata di-taqyid atau diikat di ayat lain. Maka diantara contoh menafsirkan Al-Quran
dengan Al-Qur’an diantaranya terdapat pada ayat-ayat berikut ini:6
1. Menjelaskan sesuatu yang ringkas dalam satu ayat lalu menyebutnya secara panjang
di tempat lain seperti kisah Adam dan iblis yang ringkas di satu tempat disebutkan
secara lebih luas di tempat lain atau kisah Musa dan Fir’aun yang ringkas di suatu ayat
disebutkan lebih Panjang di ayat yang lain.
2. Membawa yang mujmal kepada yang mubayyin, contoh pada surat Al-Baqarah ayat
37
‫الر ِح ْي ُم‬ ُ ‫علَ ْي ِه ۗ اِنَّهٗ ه َُو الت َّ َّو‬
َّ ‫اب‬ َ ‫َاب‬ ٍ ٰ‫فَتَلَقْٓى ٰا َد ُم ِم ْن َّربِ ٖه َكلِم‬
َ ‫ت فَت‬
“Kemudian Adam menerima beberapa kalimat dari tuhannya, maka Allah
menerima taubatnya. Sesungguhnya Allah maha penerima taubat lagi maha
penyayang.” (Al-Baqarah :37)
Ayat ini ditafsiri oleh ayat,

َ‫سنَا َوإِن لَّ ْم تَ ْغ ِف ْر لَنَا َوت َْر َح ْمنَا لَنَ ُكون ََّن ِمنَ ْٱل ٰ َخ ِس ِرين‬
َ ُ‫ظلَ ْمنَا ْٓ أَنف‬
َ ‫اْل َربَّنَا‬
َ َ‫ق‬
“Keduanya berkata: “Ya Tuhan kami, kami telah menganiaya diri kami sendiri,
dan jika engkau tidak mengampuni kami dan memberi rahmat , niscaya pastilah kami
termasuk orang-orang yang merugi.” (Al-A’raf: 23)
3. Membawa lafaz yang muthlaq (tidak diikat) kepada yang muqayyad (yang diikat).
Seperti yang dikutip oleh Imam Ghazali dari mayoritas ulama madzhab syafi’i, yaitu
ayat wudhu dan tayammum. Pada ayat wudhu, kata aydi (tangan) di-taqyid dengan
ghayah atau batas yaitu siku.

ِ ِ‫فٱ ْغ ِسلُوا ُو ُجو َه ُك ْم َوأَ ْي ِديَ ُك ْم إِلَى ْٱل َم َراف‬


‫ق‬ َّ ‫ٰيَْٓأَيُّ َها ٱلَّذِينَ َءا َمنُ ْٓوا إِ َذا قُ ْمت ُ ْم إِلَى ٱل‬
َ ِ‫صلَ ٰوة‬
“Hai orang-orang beriman, apabila kamu hendak mengerjakan shalat, maka
basuhlah mukamu dan tanganmu sampai ke siku.” (Al-Ma’idah:6)
Disini membasuh tangan dibatasi dengan siku. Sedang pada ayat tayammum
kata aydi adalah muthlaq tidak muqayyad, tidak ditaqyid, tidak dibatasi dan diikat.

Ayatnya adalah lanjutan ayat di atas


ُ‫س ُحوا ِب ُو ُجو ِه ُك ْم َوأَ ْيدِي ُكم ِم ْنه‬
َ ‫ف ْٱم‬ َ ‫ص ِعيدًا‬
َ ‫ط ِيبًا‬ َ ‫فَتَيَ َّم ُموا‬
“…Maka bertayammumlah dengan tanah yang baik sapulah mukamu dan
tanganmu dengan tanah itu..”

6
Muhammad Husein adz-Dzahabi, Ensiklopedi Tafsir, (Jakarta: Kalam Mulia, 2009), h. 28

4
Maka disini yang mutlak pada kata aydiyakum pada ayat tayammum dibawa ke

lafaz muqayyad aydiyakum ilal marafiq. pada ayat wudhu. Dengan kata lain

pembasuhan tangan pada ayat tayammum diikat atau dibatasi sampai dengan siku.

Sehingga kesimpulannya dalam tayammumpun kita wajib membasuh tangan sampai

dengan siku sebagaimana wudhu.

4. Membawa lafaz umum ke lafaz khusus.


ۗ ‫ش ٰفَ َعة‬
َ ‫ى َي ْوم َّْل َبيْع ِفي ِه َو َْل ُخلَّة َو َْل‬ ْ ٰ ْٓ
َ ‫ٰ َيأَيُّ َها ٱلَّذِينَ َءا َمنُ ْٓو ٰا أَن ِفقُوا ِم َّما َرزَ ْقنَ ُكم ِمن قَ ْب ِل أَن َيأ ِت‬
َّ ‫َو ْٱل ٰ َك ِف ُرونَ ُه ُم‬
َ‫ٱلظ ِل ُمون‬
“Hai orang-orang yang beriman, belanjakanlah ( di jalan Allah) Sebagian dari
rezeki yang telah kami berikan kepadamu sebelum datang hari yang pada hari itu
tidak ada lagi jual beli dan tidak ada lagi persahabatan yang akrab juga tidak adalagi
syafaat, dan orang-orang kafir itulah orang-orang yang zalim” (albaqarah : 254)
Ketiadaan persahabatan yang akrab dan ketiadaan syafa’at pada ayat ini bersifat
umum, yakni berlaku untuk semua orang. Lalu Allah mengecualikan orang yang
bertakwa dari mereka. Sehingga orang yang bertakwa tetap mendapat persahabatan
yang akrab. Ayat berikut menyebutkan pengecualian itu.
‫ض ع َ د ٌُّو إ ِ َّْل ال ْ مُ ت َّقِ ي َن‬
ٍ ْ ‫اْل َ ِخ ََّّل ءُ ي َ ْو َم ئ ِ ٍذ ب َ ع ْ ضُ هُ ْم لِ ب َ ع‬
ْ
“Teman-teman akrab pada hari itu sebagiannya menjadi musuh bagi Sebagian
yang lain kecuali orang-orang yang bertakwa.” (az zukhruf:67)
Tentang ketiaadaan mendapat syafaat, juga orang yang diberi izin oleh Allah
untuk mendapatkannya dikecualikan darinya. Pengecualian ini disebutkan dalam ayat:
َّ َ‫ش ْيئًا ِإْل ِم ْن َب ْع ِد أَ ْن َيأ ْ َذن‬
َ ‫َّللاُ ِل َم ْن َيشَا ُء َو َي ْر‬
‫ضى‬ َ ‫عت ُ ُه ْم‬ َ ‫ت َْل ت ُ ْغنِي‬
َ ‫شفَا‬ َّ ‫َو َك ْم ِم ْن َملَكٍ فِي ال‬
ِ ‫س َم َوا‬
“Dan berapa banyak malaikat di langit, syafaat mereka sedikitpun tidak berguna,
kecuali sesudah Allah mengizinkan bagi orang yang dikehendaki dan diridhoi- Nya.”
(an-Najm:26).

5. Menggabung (menjamak) ayat-ayat yang seolah bertentangan. Seperti tentang


penciptaan Adam dari tanah di sebahagian ayat dan dari tanah liat di ayat yang lain,
atau dari lumpur hitam atau tanah kering pada ayat lainnya. Itu adalah proses penciptaan
adam dari awal sampai di tiup ruh .
6. Membawa sebahagian qiraat (bacaan) ke qiraat lain. Ada qiraat lain. ada qiraat yang
berbeda dengan qiraat dalam dalam lafaz tetapi maknanya sama. Qiraat ibnu mas’ud
misalnya. “aw yakuna laka baitun Min dzhahab adalah penafsir terhadap qiraat yang
masyhur, “Aw yakuuna laka baitan min zukhruf (al-Isra’: 93). Ada qiraat yang berbeda

5
dengan qiraat yang lain dalam lafaz dan dalam makna. Dan salah satu kedua qiraat
menguatkan maksud yang dikandung qiraat kedua.
7. Tafsir Ma’na bi Ma’na. Adapun contoh dari tafsir Ma’na bi Ma’na ini terdapat dalam
surat al-Nisa’ ayat 42 yang berbunyi:7
ً ‫َّللا َحدِيثا‬ ُ ‫س َّوى بِ ِه ُم ْاْل َ ْر‬
َ َّ َ‫ض َوْل يَ ْكت ُ ُمون‬ َ ُ ‫سو َل لَ ْو ت‬
ُ ‫الر‬
َّ ‫ص ُوا‬ َ ‫يَ ْو َمئِ ٍذ يَ َو ُّد الَّذِينَ َكف َُروا َو‬
َ ‫ع‬
“Di Hari itu orang-orang kafir dan orang-orang yang mendurhakai Rasul, ingin
supaya mereka disamaratakan dengan tanah, dan mereka tidak dapat menyembunyikan
(dari Allah) sesuatu kejadianpun.”
Maksudnya ayat ini adalah bahwa orang-orang kafir dan ingkar menginginkan agar
mereka pada hari kiamat nanti tidak dibangkitkan tetapi terpendam dan menyatu dengan
tanah, sehingga mereka tidak terlacak lagi dan karena itu tidak dihisab. Makna itu sama
dengan maksud dalam surat an-Naba’ ayat 40, yang berbunyi sebagai berikut:
ً ‫ت يَداهُ َويَقُو ُل ْالكافِ ُر يا لَ ْيتَنِي ُك ْنتُ تُرابا‬
ْ ‫ظ ُر ْال َم ْر ُء َما قَ َّد َم‬ َ ‫ِإنَّا أَ ْن َذ ْرنا ُك ْم‬
ُ ‫عذابا ً قَ ِريبا ً يَ ْو َم يَ ْن‬
“Sesungguhnya kami telah memperingatkan kepadamu (hai orang kafir) siksa
yang dekat, pada hari manusia melihat apa yang telah diperbuat oleh kedua tangannya,
dan orang kafir berkata: “alangkah baiknya sekiranya dahulu adalah tanah”.
Dua ayat tersebut bermakna sama, dan lebih kepada saling menguatkan saja,

Berdasarkan contoh-contoh di atas, asy-Syanqithi, tidak jauh berbeda mengonsep


tafsir al-Quran bi Al-Quran kepada beberapa ringkasan berikut:
1) Menjelaskan sesuatu yang tidak jelas maknanya (bayan al-Mujmal).
2) Memberi berkait makna asal (taqyid al-mutlaq).
3) Mengkhususkan yang umum (takhshih al-‘am).
4) Penjelasan dengan yang tersirat atau yang tersurat (albayan bi al-mantuq au bi al-
mafhum).
5) Tafsir kata dengan kata (Tafsir lafdzah bi lafdzah).
6) Tafsir ma’na bi ma’na.
7) Tafsir uslub fi ayatin bi uslub fi ayatin ukhra.
8) Kitab-kitab tafsir yang menggunakan tafsir al-Quran dengan al-Quran.

Dari beberapa penggalan contoh di atas dapat dikaji lebih dalam seputar konstruk
teori penafsiran yang ada berdasarkan pendapat para ahli tafsir, di antaranya menurut
Musa’id Sulaiman Al-Thayyar, dalam kitabnya ushul al-Tafsir. Dalam kitab ini

7
Abdurrahman Hakim, Tafsir Al-Qur’an dengan Al-Qur’an: Studi Analisis dalam lintas sejarah, dalam
jurnal Misykat, Vol. 02, No. 01, June 2018, h. 71-72.

6
dijelaskan bahwa tafsir al-Quran bi al-Quran adalah penjelasan satu ayat dengan ayat
yang lain, di mana didalamnya saling menjelaskan satu sama lain. Karena firman Allah
lebih mubalaghah dari lebih diketahui dengan firman Allah yang lainnya. Nabi
Muhammad Saw sebagai mufassir menyampaikan isi kandungan tersebut berdasarkan
penjelasan (tafsir) ayat yang ada.8 bahkan dapat digaskan bahwa penafsiran Al-Quran
dengan Al-Quran ini merupakan bentuk tafsir yang tertinggi. Demikian karena ayat
keduanya tidak diragukan lagi untuk diterimanya alasan pertama, karena Allah adalah
sumber berita yang paling benar, yang tidak mungkin tercampur perkara batil dari-Nya.
Adapun alasan kedua, karena himmah Rasul adalah Al-Quran, yakni untuk menjelaskan
dan menerangkan.

Adapun beberapa kitab tafsir yang menggunakan tafsir Al-Quran dengan Al-Quran
biasanya sering ditemukan pada tafsir yang menggunakan pendekatan bil ma’tsur.
Kitab tafsir yang pendekatannya dengan tafsir bil ma’tsur ini sangat banyak,
diantaranya adalah sebagai berikut:
a) Tafsir al-Kabir
Ditulis oleh Imam Taqi al-Din Ibn Taimiyah. Ia lahir pada tahun 661 H dan wafat
tahun 728 H. kitab ini di-tahqiq dan di-ta’liq oleh Abdurrahman ‘Umairah dari
Universitas al-Azhar dan dicetak oleh Dar al-Kutub al- ‘Ilmiyah Beirut Libanon.
b) Tafsir Al-Thabari Jami’ al-Bayan ‘an Ta’wil Ayyi al-Qur’an, karya Abu Ja’far
Muhammad bin Jarir al-Thabari. Lahir pada tahun 224 H dan wafat pada tahun 310
H.
c) Ruh al-Ma’ani fi Tafsir al-Qur’an al-Adzhim wa al-Sab’u al Matsaniy karya
Syihab ad-Din al-Sayyid Mahmud al-Alusiy al-Baghdady, wafat tahun 1270 H.

B. Menafsirkan Al-Qur’an dengan Qirā’āt Mutawātirah


1. Pengertian Qirā’āt Mutawātirah
Qirā’āt mutawātirah adalah qirā’āt yang diriwayatkan oleh sekelompok orang dari
banyak orang, sehingga di masing-masing tingkatan rawinya tidak mungkin terjadi
kebohongan (tidak mungkin sepakat untuk berdusta). Dengan demikian qirā’āt
mutawātir merupakan salah satu jenis qirā’āt yang diklasifikasikan berdasar kepada
kuantitas (jumlah) perawi. Adapun qirā’āt yang tergolong mutawātir adalah qirā’āt

8
Musa’id Sulaiman Al-Thayyar, Ushul Al-Tafsir, (Saudi Arabia : Dar Ibnu Al-Jauzy, 1999), 22 dan 52.

7
sab’ah (qirā’āt tujuh). Di antara para imam qirā’āt-nya yaitu Nāfi’ (w. 169 H), Ibnu
Kaṡīr (w. 120 H), Abū ‘Amr (w. 154 H), Ibnu ‘Āmir (w. 118 H), ‘Āṣim (w. 128 H),
Ḥamzah (w. 156 H), dan al-Kisā’i (w. 187 H).9

2. Syarat Qirā’āt Mutawātirah


‘Abd al-Hadi al-Faḍli dalam kitabnya Al-Qirā’āt al-Qur’aniyyāt mengungkapkan
bahwa qirā’āt mutawātirah adalah qirā’āt yang sesuai dengan kaidah bahasa Arab,
sesuai dengan rasm salah satu mushaf ‘Utsmani dan diriwayatkan secara mutawātir
(shahih sanadnya).10 Tiga parameter tersebut dipopulerkan oleh Ibnu al-Jazari (w. 833
H/1429 M) yang dicantumkan dalam bait Tayyibah an-Nasyr:
‫اْل َي ْح ِوي‬ ً ‫لر ْس ِم اِ ْح ِت َم‬
َّ ‫َو ُك ُّل َما َو َفقَ َو ْج َه ال َّن ْح ِو * َو َكانَ ِل‬
ُ‫ص َّح اِ ْسنَا ًدا هُ َو ْالقُ ْر َءا ُن * فَ َه ِذ ِه الث ََّلث َة اْل ْر َكان‬
َ ْ ُ َّ َ ‫َو‬
11
َّ ‫شذُوذُهُ لَ ْو اَنَّهُ فِى ال‬
‫س ْب َع ِة‬ ُ *‫ت‬ ِ ‫َو َح ْيث ُ َما َي ْخت َ ُّل َر ْكن ا َثْ َب‬
“Setiap qirā’āt yang sesuai dengan segi kaidah nahwu (bahasa), sesuai
dengan rasm (tulisan) mushaf ‘Usmani, dan memiliki sanad yang shahih,
adalah (termasuk) Al-Qur’an. Inilah ketiga rukun (diterimanya qira’ah),
sewaktu ada salah satu rukun yang cacat, maka pastikan qirā’āt itu syaz,
sekalipun ada pada qirā’āt sab’ah.”
a. Sesuai dengan tata bahasa Arab, yaitu kesesuaian walaupun hanya satu wajh
(segi) terhadap salah satu kaidah nahwu yang berkembang. Sebab dalam
kaitan ini kadang ditemukan suatu qirā’āt mutawātirah dinilai oleh satu
kelompok dianggap tidak sesuai dengan kaidah bahasa Arab, sehingga
meletakkan kedudukan qirā’āt tidak shahih, namun oleh kelompok lain
dinilai sesuai dengan kaidah bahasa. Hal ini tidak boleh terjadi, sebab aira’at
bukanlah sastra yang bebas diubah oleh sembarang orang, namun qirā’āt
merupakan suatu nas yang harus dipatuhi (sunnah muttaba’ah).
b. Mempunyai sanad shahih. Keshahihan sanad adalah inti utama sebuah
qirā’āt, karena qirā’āt dasarnya tauqifi bukan berdasarkan pada ra’yu. Jika
suatu qirā’āt mempunyai sanad shahih, maka boleh diterima. Mengenai
syarat keshahihan sanad, sebagian ulama mensyaratkan periwayatan qirā’āt
harus mutawātir, karena dimungkinkan suatu qirā’āt mempunyai sanad
shahih tetapi tidak diriwayatkan secara mutawātir.

9
Hasanuddin AF, Perbedaan Qira’at dan Pengaruhnya Terhadap Istinbath Hukum dalam Al-Qur’an,
(Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 1995), Cet. 1, h. 141
10
‘Abd al-Hadi al-Fadli, Al-Qirā’āt al-Qur’aniyyāt, (Beirut: Dār al-Majma’ al-‘Ilmi, 1979), h. 65
11
Ibnu al-Jazāri, Ṭayyibat an-Nasyr fī al-Qirā’āt al-‘Asyr, (Madinah: Maktabah Dār al-Hudā, 2000), Cet.
2, h. 32

8
c. Sesuai dengan rasm mushaf ‘Usmani, yaitu sesuai dengan rasm mushaf
‘Usmani yang beredar di wilayah Islam. Sebab pada proses penulisan mushaf
‘Usmani, para sahabat telah berupaya menyesuaikan antara bentuk tulisan
dengan qirā’āt, mengingat ada sebagian lafaz yang bisa diakomodir dengan
satu bentuk tulisan, seperti kata ‫ س ِْلم‬bisa dibaca silmi bisa dibaca salmi. Dan
ada yang tidak bias diakomodir dengan satu bentuk tulisan, misalnya pada
firman Allah dalam surah At-Taubah ayat 10012, ada yang menambahkan ‫مِ ْن‬.
Hal demikian tidak bias disatukan, karena mushaf yang dikirim ke Makkah
dijumpai dengan menambah (ziyadah) min, sementara mushaf lainnya tanpa
min.13

3. Pengaruh Qirā’āt Mutawātirah dalam Menafsirkan Al-Qur’an


Qirā’āt mempunyai peran penting sebagai sarana menafsirkan ayat-ayat Al-
Qur’an. Seperti Abu Hayyan yang mempunyai pandangan bahwa hakikat tafsir adalah
memahami makna lafal-lafal Al-Qur’an yang memiliki ragam bacaan, dimana ragam
bacaan (qirā’āt) tersebut merupakan bagian penting dalam memahami dan menafsirkan
isi kandungan Al-Qur’an.14
Pemahaman terhadap qirā’āt sebagai prasarat dalam tafsir. Menurut as-Suyuti,
disebabkan adanya versi bacaan (qirā’āt) yang berbeda-beda. Adakalanya perbedaan
itu berkaitan dengan subtansi lafaz, adakalanya berkaitan dengan lahjah (dialek
kebahasaan). Perbedaan qirā’āt yang berkaitan dengan subtansi lafaz bisa
menimbulkan perbedaan makna, sementara perbedaan qirā’āt yang berkaitan dengan
lahjah (dialek kebahasaan) tidak menimbulkan perbedaan makna, seperti bacaan tashīl,
imālah, taqlīl, tarqīq, tafkhīm dan sebagainya.
Perbedaan qirā’āt yang berkaitan dengan subtansi lafaz digunakan dalam beberapa
tafsir, seperti dalam kitab al-Jāmi’ al-Bayān karya Ibn Jarīr at-Tabari (w. 310 H/925
M), al-Jāmi’ li Aḥkam al-Qur’ān karya al-Qurṭubi (w. 671 H/1273 M), Mafātiḥ al-
Ghaib karya Fakhruddin ar-Rāzi (w. 606 H/1209 M), al-Kasysyaf karya az-
Zamakhsyari (w. 538 H/1144 M) dan al-Baḥr al-Muḥiṭ karya Abū Ḥayyān al-Andalusi
(w. 754 H/1353 M). Dari seluruh kitab tafsir yang disebutkan, tafsir al-Baḥr al-Muḥiṭ

12
Teks ayatnya: ‫اْل ْنهٰ ُر ٰخ ِل ِديْنَ فِ ْي َها ْٓ اَبَدًا‬
َ ْ ‫ي تَحْ تَ َها‬ ٍ ‫ع َّد لَ ُه ْم َجن‬
ْ ‫ت تَجْ ِر‬ َ َ‫َوا‬
13
Romlah Widayati, Implikasi Qira’at Syadzdzah Terhadap Istinbath Hukum, (Tangerang Selatan:
Transpustaka, 2015), Cet.1, h. 36-37
14
Romlah Widayati, Implikasi Qira’at Syadzdzah Terhadap Istinbath Hukum, h. 313

9
yang paling banyak memaparkan qirā’āt di dalamnya, baik qirā’āt mutawātirah
maupun qirā’āt syāżżah.15
Sebelumnya telah dijelaskan bahwa perbedaan qirā’āt Al-Qur’an yang berkaitan
dengan subtansi lafaz atau kalimat, adakalanya mempengaruhi makna dari lafaz
tersebut, adakalanya tidak. Dengan demikian, qirā’āt Al-Qur’an dalam hal ini
adakalanya berpengaruh terhadap istinbat hukum dan adakalanya tidak. Satu qirā’āt
dan qirā’āt lainnya bisa terjadi pada perbedaan huruf, atau pun bentuk kata susunan
kalimat, i’rāb, penambahan dan pengurangan kata. Perbedaan-perbedaan ini sudah
tentu memiliki sedikit atau banyak perbedaan makna yang selanjutnya berpengaruh
terhadap hukum yang dihasilkan.

Berikut contoh qirā’āt mutawātirah yang berkaitan dengan subtansi lafaz:


a. Perbedaan i’rāb dalam qirā’āt mutawātir tidak berpengaruh pada makna
penafsiran.
Perbedaan makna dalam i’rāb atau harakat kalimat, tidak menimbulkan
perubahan makna dan penafsiran, misalkan pada firman Allah Swt. pada surah An-
Nisā’ ayat 37:
‫ص ْي َد َواَ ْنت ُ ْم ُح ُرم َۗو َم ْن قَتَلَهٗ ِم ْن ُك ْم ُّمتَعَ ِمدًا فَ َج ٰۤزَ اء ِمثْ ُل َما قَتَ َل ِمنَ النَّعَ ِم‬ َّ ‫ٰيْٓاَيُّ َها الَّ ِذيْنَ ٰا َمنُ ْوا َْل تَ ْقتُلُوا ال‬
ِ َ‫ع ْد ُل ٰذلِك‬
‫صيَا ًما ِل َي ُذ ْوقَ َوبَا َل‬ َ ‫طعَا ُم َمسٰ ِكيْنَ اَ ْو‬ َ ‫ارة‬ َ َّ‫ع ْد ٍل ِم ْن ُك ْم َه ْدي ًۢا ٰب ِل َغ ْال َك ْعبَ ِة اَ ْو َكف‬
َ ‫يَحْ ُك ُم بِ ٖه َذ َوا‬
٩٥ ...ۗ ‫اَ ْم ِر ٖه‬
“Wahai orang-orang yang beriman, janganlah kamu membunuh hewan
buruan, ketika kamu sedang berihram (haji atau umrah). Siapa di antara kamu
membunuhnya dengan sengaja, dendanya (ialah menggantinya) dengan hewan
ternak yang sepadan dengan (hewan buruan) yang dibunuhnya menurut putusan
dua orang yang adil di antara kamu sebagai hadyu (hewan kurban) yang (dibawa)
sampai ke Ka‘bah atau (membayar) kafarat dengan memberi makan orang-orang
miskin atau berpuasa, seimbang dengan makanan yang dikeluarkan itu, agar dia
merasakan akibat buruk dari perbuatannya ...” (QS. Al-Mā’idah [5]: 95)
Ayat di atas menjelaskan bahwa bila seseorang yang sedang ihram
membunuh binatang buruan dengan sengaja, maka salah satu alternatif dendanya
َ ‫ارة‬
yaitu memberi makan orang-orang miskin ( َ‫طعَا ُم َمسٰ ِكيْن‬ َ َّ‫ )اَ ْو َكف‬seimbang dengan
harga binatang ternak yang akan digunakan untuk penggganti binatang ternak
yang dibunuhnya.

Sehubungan dengan ayat di atas, Ibnu Kaṡīr, ‘Āṣim, Abū ‘Amr, Ḥamzah dan
َ ‫ارة‬
al-Kisā’i membaca ( َ‫طعَا ُم َمسٰ ِكيْن‬ َ َّ‫)ا َ ْو َكف‬. Sementara Nāfi’ dan Ibnu ‘Āmir membaca

15
Romlah Widayati, Implikasi Qira’at Syadzdzah Terhadap Istinbath Hukum, h. 5-6

10
َ ُُ‫ارة‬
( َ‫ط َعا ُم َمسٰ ِكيْن‬ َ َّ‫ )ا َ ْو َكف‬dengan cara meng-iḍāfah-kan lafaz ‫ كفارة‬kepada lafaz ‫طعام‬,
16

tanpa terjadi perubahan maksud atau ketentuan hokum yang terkandung di


dalamnya. Lafaz ‫ طعام‬dalam versi qirā’āt yang pertama, berkedudukan sebagai
َ ُُ‫ارة‬
khabar dari mubtadā’ mahzūf dengan perkiraan ( َ‫طعَا ُم َمسٰ ِكيْن‬ َ َّ‫علَ ْي ِه َكف‬ ِ ‫)أَ ِو ْال َو‬.17
َ ُ‫اجب‬
b. Perbedaan i’rāb dalam qirā’āt mutawātir yang berpengaruh pada makna penafsiran
Perbedaan makna dalam i’rāb atau harakat kalimat yang berimplikasi terhadap
penafsiran, misalnya pada ayat yang membahas tentang taharah sebagai berikut:
ۚ َ‫ط ُه ْرن‬ ۙ ِ ‫س ٰۤا َء فِى ْال َم ِحي‬
ْ َ‫ْض َو َْل تَ ْق َرب ُْوه َُّن َحتى ي‬ ِ ‫ع ِن ْال َم ِحي‬
َ ِ‫ْض ۗ قُ ْل ه َُو اَ ًذ ۙى فَا ْعت َِزلُوا الن‬ َ َ‫َويَسْـَٔلُ ْونَك‬
٢٢٢ َ‫ط ِه ِريْن‬َ َ‫َّللا ي ُِحبُّ الت َّ َّوابِيْنَ َوي ُِحبُّ ْال ُمت‬ ُ ‫ط َّه ْرنَ فَأْت ُ ْوه َُّن ِم ْن َحي‬
َ ‫ْث اَ َم َر ُك ُم َّللاُ ۗ ا َِّن‬ َ َ‫فَ ِا َذا ت‬
“Mereka bertanya kepadamu (Nabi Muhammad) tentang haid. Katakanlah,
“Itu adalah suatu kotoran.” Maka, jauhilah para istri (dari melakukan hubungan
intim) pada waktu haid dan jangan kamu dekati mereka (untuk melakukan
hubungan intim) hingga mereka suci (habis masa haid). Apabila mereka benar-
benar suci (setelah mandi wajib), campurilah mereka sesuai dengan (ketentuan)
yang diperintahkan Allah kepadamu. Sesungguhnya Allah menyukai orang-orang
yang bertobat dan menyukai orang-orang yang menyucikan diri.” (QS. Al-
Baqarah [2]: 222)

Ayat di atas merupakan larangan bagi seorang suami menggauli istrinya yang
dalam keadaan haid. Sehubungan dengan hal ini, para ulama telah sepakat tentang
haramnya seorang suami menggauli istrinya yang sedang haid. Sama haknya para
ulama bersepakat tentang bolehnya melakukan istimtā’ (bercumbu) bagi seorang
suami dengan istrinya yang sedang menjalani haid.18
Adapun batas larangan yang disebutkan dalam ayat tersebut yaitu sampai
mereka (para istri yang sedang mengalami haid) dalam keadaan suci kembali ( ‫َحتى‬
ْ َ‫)ي‬.
َ‫ط ُه ْرن‬
Sementara itu, al-Qurṭubi menyebutkan dalam tafsirnya (dalam qirā’āt
sab’ah) bahwa Ḥamzah, al-Kisā’i dan Syu’bah ‘an ‘Āṣim membaca kata َ‫ط ُه ْرن‬ ْ ‫َي‬
َّ َ‫)ي‬. Sedangkan
dengan tasydid ṭā dan ha serta harakat fatḥah pada keduanya ( َ‫ط َّه ْرن‬
Nāfi’, Ibnu Kaṡīr, Abū ‘Amr, Ibnu ‘Āmir, Ḥafṣ ‘an ‘Āṣim membaca dengan takhfīf
ْ َ‫)ي‬.19
(tanpa tasydīd) dengan sukūn pada huruf ṭā dan ḍammah pada huruf ha ( َ‫ط ُه ْرن‬
ْ َ‫ي‬, sebagian ulama menafsirkan َ‫ط ُه ْرن‬
Berdasarkan qirā’āt َ‫ط ُه ْرن‬ ْ َ‫َو َْل ت َ ْق َرب ُْوه َُّن َحتى ي‬
dengan ‘janganlah kamu bersetubuh dengan mereka sampai mereka suci atau
َّ ‫ َي‬menunjukkan
terhenti dari keluarnya darah haid mereka’. Sedangkan qirā’āt َ‫ط َّه ْرن‬

16
Ibn Mujāhid, Kitāb as-Sab’at fī al-Qirā’āt, (Mesir: Dār al-Ma’ārif, t.t.), h. 248
17
Az-Zamakhsyari, Al-Kasysyaf, Juz 1, (Mesir: Muṣṭafa al-Bābī al-Halabī, t.t), h. 645
18
Muḥammad ar-Rāzi, Mafātih al-Ghaib, Juz 6, (t.tp.,: Dār al-Fikr, t.t), h. 72
19
Ibn Mujāhid, Kitāb as-Sab’at fī al-Qirā’āt, h. 182

11
َّ ‫ َو َْل ت َ ْق َرب ُْوه َُّن َحتى َي‬yaitu ‘janganlah kamu
bahwa yang dimaksud dengan ayat َ‫ط َّه ْرن‬
bersenggama dengan mereka sampai mereka bersuci’.

Namun dalam hal ini para ulama berbeda pendapat tentang pengertian bersuci.
Sebagian ulama menyatakan bahwa yang maksud adalah mandi (‫)اْلغتسال بالماء‬,
sebagian mereka berpendapat bahwa yang dimaksud adalah wudhu’ (‫)الوضوع‬,
sebagiannya lagi mengatakan bahwa yang dimaksud adalah mencuci atau
membersihkan farj (kemaluan) tempat keluarnya darah haid tersebut (‫)غسل الفرج‬,
sementara ulama lainnya menyatakan bahwa yang dimaksud adalah mencuci atau
membersihkan farj (tempat keluarnya darah haid) dan berwudhu’ ( ‫غسل الموضع‬
‫)والوضوه‬.20
Sehubungan dengan hal ini, Imam Mālik, Imam Syāfi’i, al-Awzā’i dan al-
Sawrī berpendapat bahwa seorang suami haram hukumnya bersetubuh dengan
istrinya yang sedang dalam keadaan haid, sampai istrinya berhenti haidnya dan
mandi karena darah haidnya.
Imam Syāfi’i mengemukakan argumentasi sebagai berikut:21

1) Bahwa qirā’āt mutawātirah (dalam hal ini qirā’āt sab’ah) adalah dapat
dijadikan hujjah secara ijma’. Oleh karena itu, apabila ada dua versi qirā’āt
ْ ‫ َي‬dan َ‫ط َّه ْرن‬
mutawātirah ( َ‫ط ُه ْرن‬ َّ ‫ ) َي‬dan keduanya dapat digabungkan dalam segi
kandungan hukumnya, maka kita wajib menggabungkannya. qirā’āt َ‫ط ُه ْرن‬ ْ َ‫َحتى ي‬
mengandung arti ‘sampai mereka suci atau berhenti dari darah haid’,
َّ َ‫ َحتى ي‬mengandung arti sampai mereka bersuci dengan
sementara qirā’āt َ‫ط َّه ْرن‬
air (mandi). Kedua ketentuan hukum dalam dalam kedua qirā’āt tersebut dapat
digabungkan yaitu sampai terpenuhinya kedua ketentuan hukum tersebut.
2) Firman Allah (‫ط َّه ْرنَ فَأْت ُ ْوه َُّن‬
َ َ‫ )فَ ِاذَا ت‬dalam rangkaian ayat tersebut menunjukkan
bahwa seorang suami dibolehkan bersetubuh dengan istrinya yang telah
َ َ ‫)الت‬, yaitu bersuci
menjalani haid apabila telah memenuhi persyaratan (‫ط ُّه ُر‬
dengan cara mandi.

Imam Abū Hanifah berpendapat bahwa yang dimaksud dengan ( ‫َو َْل ت َ ْق َرب ُْوه َُّن َحتى‬
ْ َ‫ )ي‬dalam ayat tersebut yaitu ‘janganlah kamu bersetubuh dengan mereka
َ‫ط ُه ْرن‬
sampai mereka bersuci’ dalam arti telah berhenti dari darah haid mereka. Dengan

20
Al-Qurṭubi, Al-Jāmi’ li Aḥkam al-Qur’ān, Juz 3, h. 88. Lihat juga: Muḥammad ar-Rāzi, Mafātih al-
Ghaib, Juz 6, h. 73
21
Muḥammad ar-Rāzi, Mafātih al-Ghaib, Juz 6, h. 73

12
demikian, suami dibolehkan bersetubuh dengan istri mereka setelah darah haid
mereka berhenti.22
Dari uraian di atas, tampak bahwa perbedaan qirā’āt dalam hal ini dapat
berpengaruh terhadap cara istinbat serta ketentuan hukum yang dihasilkannya,
sebagaimana cara serta hasil istinbat hukum dari Imam Syāfi’i misalnya, bila
dibandingkan dengan cara istinbat hukum dari Imam Abū Hanifah.

Adapun contoh qirā’āt mutawātirah yang berkaitan dengan lahjah (dialek


kebahasaan) dan tentu tidak berimplikasi pada penafsiran adalah sebagai berikut:
a. QS. An-Nisā [4]: 10

َ َ‫صلَ ْون‬
١٠ ࣖ ‫س ِعي ًْرا‬ ْ َ‫سي‬
َ ‫َارا ۗ َو‬ ُ ُ‫ظ ْل ًما اِنَّ َما يَأ ْ ُكلُ ْونَ فِ ْي ب‬
ً ‫ط ْونِ ِه ْم ن‬ ُ ‫ا َِّن الَّ ِذيْنَ يَأ ْ ُكلُ ْونَ اَ ْم َوا َل ْاليَ ٰتمٰ ى‬
Dalam qirā’ah Warsy ‘an Nāfi’:

1) Ibdāl hamzah pada lafaz ( َ‫) َيأ ْ ُكلُ ْون‬


2) Taqlīl żāt al-Yā’ pada lafaz (‫) ْال َي ٰتمٰ ى‬
3) An-Naql (as-Sākin al-Mafṣūl) pada lafaz (‫ظ ْل ًما اِنَّ َما‬
ُ )
4) Taghlīẓ al-Lām pada lafaz ( َ‫صلَ ْون‬ ْ ‫س َي‬
َ ‫) َو‬
5) Tarqīq ar-Rā’ pada lafazh (‫س ِعي ًْرا‬ َ )
C. Menafsirkan Al-Qur’an dengan Qirā’āt Syāżżah
1. Pengertian Qirā’āt Syāżżah
Secara etimologi, syāż (‫ )شَاذ‬artinya menyendiri, terpisah, menyimpang dari aturan
ِ َّ‫شذَّذُ الن‬
dan berserakan atau terpisah-pisah.23 Seseorang dikatakan ‫اس‬ َ karena dia adalah
orang asing. Atau sesuatu yang berbeda dengan yang lain juga disebut syāżżah. Ulama
lughah ketika menunjuk pada sesuatu yang tidak sesuai dengan kaidah yang berlaku
umum juga menggunakan istilah syaż. Demikan halnya dengan bacaan (qirā’āt)
dikatakan syāż, karena tidak sesuai dengan qirā’āt yang dibaca mayoritas umat Islam
atau tidak sesuai dengan ketentuan kaedah yang menjadi kesepakatan ulama.24
Menurut terminologi, as-Suyuti mendefinisikan qirā’āt syāżżah sebagai berikut:
‫ان اْل ِق َرا َءةِ ْال َم ْقبُ ْولَ ِة‬
ِ ‫ت ُر ْكنًا ا َ ْو ا َ ْكث َ َر مِ ْن ا َ ْر َك‬
ْ ‫هُ َو ُك ُّل قِ َرا َءةٍ فَقَ َد‬
“Qirā’āt syāżżah adalah qirā’āt yang tidak memenuhi salah satu kriteria atau
lebih dari kriteria-kriteria keabsahan qirā’āt.”

22
Muḥammad ar-Rāzi, Mafātih al-Ghaib, Juz 6, h. 73. Lihat juga: Al-Qurṭubi, Al-Jāmi’ li Aḥkam al-
Qur’ān, Juz 3, h. 88-89
23
Abū al-Ḥasan Aḥmad ibn Fāris ibn Zakariya, Mu’jam Maqāyis al-Lughah, (Beirut: Dār al-Fikr, 1994),
Cet. 1, h. 523
24
Romlah Widayati, Implikasi Qira’at Syadzdzah Terhadap Istinbath Hukum, h. 51

13
Dari definisi di atas diketahui bahwa qirā’āt syāżżah ada qira’at yang tidak
memenuhi salah satu kriteria atau lebih dari tiga kriteria keabshahan qirā’āt yang
ditetapkan ulama, maka seluruh qirā’āt selain qirā’āt mutawātir dan qirā’āt masyhur
masuk pada kategori qirā’āt syāżżah. Jika dilihat dari qirā’āt yang berkembang di
masyarakat, kategori qirā’āt (qirā’āt sab’ah, qirā’āt ‘asyarah dan qirā’āt arba’ah
‘asyar), hanya kategori qirā’āt arba’ah ‘asyar yang dianggap syāżżah, sedang dua
kategori lainnya termasuk qirā’āt mutawātirah.
Berdasarkan definisi di atas, maka qirā’āt syāżżah dapat dikelompokkan sebagai
berikut:
a. Qirā’āt yang sesuai dengan rasm ‘Usmani dan tata bahasa Arab, tetapi tidak
memiliki sanad yang shahih. Contohnya qirā’āt Ibnu Samaifi’ dalam surah Yunus
ayat 92.25
b. Qirā’āt yang memiliki sanad shahih dan sesuai dengan tata bahasa Arab, tetapi
tidak sesuai dengan rasm mushaf ‘Usmani. Contohnya qirā’āt Umar bin Khattab,
Ibnu Mas’ud dan Ibnu ‘Abbas dalam surah Al-Jumu’ah ayat 9 (ِ‫)فَا ْسعَ ْوا ا ِٰلى ِذ ْك ِر َّللا‬
dibaca (ِ‫ض ْوا ا ِٰلى ِذ ْك ِر َّللا‬ ْ َ‫)ف‬26. Atau qirā’āt yang disisipkan sebagai penafsiran oleh
ُ ‫ام‬
para sahabat (qirā’āt mudraj).
c. Qirā’āt yang sesuai dengan rasm mushaf ‘Usmani dan tata bahasa Arab, tetapi
tidak memiliki sanad.

2. Klasifikasi Qirā’āt Syāżżah


Pertama, qirā’āt syāżżah masyhūrah adalah qirā’āt yang sesuai dengan kaedah
bahasa arab dan rasm ‘Usmani. memiliki sanad shahih yang diriwayatkan oleh para
perawi yang adil dan ḍābit hanya saja jumlah perawi dalam sanadnya tidak mencapai
jumlah mutawatir.
Sebagai contoh qirā’āt Ibnu Abbas pada akhir surah At-Taubah [9]: 128, ‫لَقَ ْد َج ٰۤا َء ُك ْم‬
‫س ْول ِم ْن اَ ْنفُ ِس ُك ْم‬
ُ ‫ر‬,
َ qirā’āt mutawātir membacanya dengan ḍammah pada huruf fa’
(anfusikum), sedangkan qirā’āt syāżżah membacanya dengan fatḥah (anfasikum).
Kedua, qirā’āt dengan jalur periwayatan secara ahad, dan itu dibagi menjadi dua
bagian:

25
Teks ayatnya: ۗ ً‫ فَ ْاليَ ْو َم نُن َِجيْكَ بِبَ َدنِكَ ِلتَ ُك ْونَ ِل َم ْن خ َْلفَكَ ٰايَة‬pada kata ( َ‫ )نُن َِجيْك‬dibaca dengan ḥa ( َ‫ )نُن َِحيْك‬pada kata
ْ
( َ‫ )خَلفَك‬dibaca dengan fatḥah lām ( َ‫) َخلَفَك‬. Lihat Ibnu Khālawaih, Mukhtaṣar fī Syaważ al-Qur’ān min Kitāb al-Badī’,
(Kairo: Maktabah al-Mutanabbi, t.t.), h. 58
26
Muḥammad ibn Yūsuf al-Andalūsi Abū Ḥayyān, al-Baḥr al-Muḥiṭ, Juz 10, (Beirut: Dār al-Fikr, 1403
M), h. 174

14
a. Qirā’āt yang kualitas sanadnya tidak shahih meskipun sesuai dengan kaidah bahasa
arab dan rasm ‘Usmani. Seperti bacaan Ibnu al-Sumaifa’ dalam surah Yunus [10]:
92 ً‫فَ ْاليَ ْو َم نُن َِجيْكَ بِبَ َدنِكَ ِلتَ ُك ْونَ ِل َم ْن خ َْلفَكَ ٰايَة‬, qirā’āt syāżżah membacanya dengan ha’
muhmalah (nunhika) dan fatḥah pada huruf lām dalam (khalafaka).27
b. Qirā’āt yang memiliki sanad yang shahih dalam periwayatan secara aḥad,
memiliki wujuh dalam kaidah bahasa Arab, namun tulisannya tidak bersesuaian
dengan rasm ‘Usmani. Seperti qirā’āt Ibnu Mas’ūd dan Abī Darda’ dalam surah
al-Lail [92]: 3 ۙ ‫ َو َما َخلَقَ الذَّك ََر َو ْاْلُ ْن ٰث ْٓى‬, qirā’āt syāżżah membacanya tanpa kalimat ‫ما‬
‫خلق‬.28
Ketiga, Qirā’āt Mudraj yaitu bacaan yang disisipkan kedalam kalimat-kalimat Al-
Qur’an oleh perawinya sebagai bentuk penafsiran.29 Penyisipan dalam suatu ayat terdiri
dari satu kalimat atau lebih. Seperti qirā’āt Ibnu ‘Abbas yang menambahkan kata ‫فِ ْي‬
‫ مواسِم ْال َحج‬pada surah Al-Baqarah [2]: 198 ‫ع َل ْي ُك ْم ُجنَاح ا َ ْن ت َ ْبتَغُ ْوا فَض ًَّْل ِم ْن َّر ِب ُك ْم ( ِف ْي مواسِم‬ َ ‫لَي‬
َ ‫ْس‬
) ‫ ْال َحج‬. juga qirā’āt Sa’d bin Abī Waqqaṣ dalam surah an-Nisā’ ‫ث ك َٰللَةً ا َ ِو‬
ُ ‫َوا ِْن َكانَ َر ُجل ي ُّْو َر‬
‫ ْام َراَة َّولَ ٗ ْٓه اَخ اَ ْو ا ُ ْخت‬dengan menambahkan “‫”من أمه‬.30
Keempat, qirā’āt maudhu’ yaitu qirā’āt yang diriwayatkan oleh seorang perawi
tanpa memiliki asal-usul yang jelas. Sebagaimana yang diriayatkan oleh Ibnu Ja’far al-
Khuza’i yang dinisbatkan kepada Imam Abū Hanifah pada firman Allah Swt. surah
Fathir [35]: 28 ‫َّللا مِ ْن ِعبَا ِد ِه ْالعُلَمٰٰۤ ؤ ُۗا‬
َ ‫اِنَّ َما َي ْخشَى‬. lafaz Allah dibaca marfū’ dan lafaz ‘ulama
dibaca manṣūb. Pembacaan seperti ini dapat akan merubah makna dan menyebabkan
pembacanya menjadi kafir. Padahal, bacaan yang mutawatir adalah lafaz Allah dibaca
manṣūb dan lafaz ulama’ dibaca marfū’.31
Dengan klasifikasi di atas, akan banyak dijumpai qirā’āt sahabat yang tergolong
syāżżah kerena tidak sesuai dengan rasm mushaf ‘Usmani. Qirā’āt tersebut dianggap
syāżżah meskipun dari segi bahasa benar, dan qirā’āt ini banyak dijadikan rujukan
dalam menafsirkan Al-Qur’an. Dalam hal tafsir, meskipun qirā’āt syāżżah, tetap saja
dapat dijadikan sebagai hujjah dalam menjelaskan makna atau maksud isi kandungan
Al-Qur’an. Hal tersebut pernah dilakukan oleh para sahabat ketika Al-Qur’an masih
dalam proses turun, yakni dengan menyisipkan kata atau kalimat tertentu atau bias jadi

27
Ibnu al-Jazāri, An-Nasyar fī al-Qirā’āt al-‘Asyar al-Mutawātirah, (Beirut: Dār al-Kutub al-‘Ilmiyyah,
t.t.) Jilid, 1, h. 16
28
Ibnu al-Jazāri, An-Nasyar fī al-Qirā’āt al-‘Asyar al-Mutawātirah, Jilid, 1, h. 1
29
As-Suyuthi, Al-Itqān fī ‘Ulum al-Qur’ān, (Damaskus: Dar Ibnu Katsir, 1996), Cet. 3, Jilid. 1, h. 242
30
As-Suyuthi, Al-Itqaā fī ‘Ulum al-Qur’ān, Jilid. 1, h. 243
31
Khalid ‘Abdurrahman al-‘Ak, Ushul at-Tafsīr wa Qawāiduhū, (Damaskus: Dār al-Nafāis 2007), Cet.
5, h 437

15
qirā’āt itu belum di-nasakh pada saat menjelang akhir hayat Nabi saw. Di antara para
sahabat yang banyak meriwayatkan qirā’āt syāżżah antara lain ‘Abdullah bin Mas’ud,
Ubay bin Ka’ab, ‘Abdullah bin ‘Abbas, Sa’ad bin Abi Waqqās, ‘Abdullah bin Zubair.
Sahabat-sahabat tersebut merupan sahabat-sahabat pilihan dan dipercaya untuk
mengajarkan Al-Qur’an.32

3. Imam dan Rawi Qirā’āt Syāżżah yang Populer


Qirā’āt syāżżah memiliki perawi yang banyak, tidak hanya dari kalangan sahabat,
melainkan juga dari kalangan tabi’in dan setelahnya. Tidak dapat dipungkiri bahwa
para qurra’ al-‘Asyrah (Imam Sepuluh) yang meriwayatkan qirā’āt mutawatirah juga
meriwayatkan sebagian huruf atau lafaz dari qirā’āt syāżżah. Diantara qirā’āt syāżżah
yang populer itu diriwayatkan oleh empat Imam dari qirā’āt arba’ah ‘asyar yaitu:
a. Al-Hasan al-Baṣri (w. 110 H/ 728 M), dua perawinya yaitu Syuja’ ibn Abī Naṣr al-
Balkhi33 (w. 190 H) dan ad-Dūriy (w. 246 H).
b. Ibnu Muhaiṣin (w. 123 H/740 M). Nama lengkapnya Muḥammad ibn
‘Abdurrahmān al-Makki, memiliki dua orang perawi yaitu al-Bizzi (w. 250 H) dan
Ibnu Syanabūż (w. 328 H).
c. Al-A’masy (w. 148 H/765 M). Nama aslinya Sulaimān ibn Mahrān al-Kūfī, dua
perawinya yaitu Ḥasan ibn Sa’īd al-Muṭaww’i (w. 371 H) dan Abū al-Faraj as-
Sanbūżiy (w. 388 H).
d. Al-Yazīdi34 (w. 202 H/817 M). Nama lengkapnya Yaḥyā ibn Mubārak al-Baṣriy,
dua perawinya yaitu Sulaimān ibn al-Ḥakim (w. 235 H) dan Aḥmad bin Faraḥ (w.
303 H).35
Dan yang menjadi catatan disini adalah bahwa qirā’āt syāżżah yang dipopulerkan
oleh keempat imam ini dapat dikatakan sebagai tambahan dari sepuluh qirā’āt
mutawātirah karena sebagian darinya diriwayatkan secara mutawātir pula dan sebagian
yang lain merupakan khabar aḥad dan itu syāż. Dikatakan syāż, karena jalur

32
Romlah Widayati, Implikasi Qira’at Syadzdzah Terhadap Istinbath Hukum, h. 52-53
33
Al-Balkhi tidak talaqqi langsung kepada Hasan al-Bashri, melainkan ber-talaqqi kepada ‘Isa bin
‘Umar al-Tsaqafi, baru kemudian aṡ-ṡsaqafi bertalaqqi kepada Hasan al-Bashri, lihat Imam al-Dzahabi, Ma’rifah
al-Qurra’ al-Kibar ‘ala al-Thabaat wa al-A’shar, (Istanbul: t.p, 1995), Jilid. 1, h. 162
34
Dinamakan dengan al-Yazidi karena sangat dekat dengan Yazid bin Manshur dan menjadi guru yang
mengajarkan ilmu-ilmu kepada putra-putranya. Lahir tahun 128 H pada masa Marwan bin Muhammad. , lihat
Imam al-Dzahabi, Ma’rifah al-Qurra’ al-Kibar…, Jilid. 1, h. 151
35
Romlah Widayati, Implikasi Qira’at Syadzdzah Terhadap Istinbath Hukum, h. 55

16
periwayatnnya yang sedikit yaitu hanya memiliki satu periwayatan. Adapun perawinya
bukanlah syāż melainkan ṡiqah atau dipercaya.
Oleh karena itu, menjadikan qirā’āt syāżżah sebagai tambahan dari qirā’āt sepuluh
mutawātir merupakan jalan tengah daripada memasukkan kedalam qirā’āt
mutawātirah atau tidak memasukkannya sama sekali.

4. Pentadwinan dan Referensi dalam Qirā’āt Syāżżah


Sebagian ulama mengatakan bahwa pengumpulan qirā’āt syāżżah telah
berlangsung sejak akhir abad kedua hijriyah. Disebutkan oleh Abū Hatim (w. 250
H/864 M.), bahwa orang pertama di Basrah yang mengumpulkan qirā’āt dan meneliti
bacaan yang syāż, adalah Hārūn bin Mūsā al-A’war ( w. 198 H/814 M). Kemudian ada
seseorang yang bernama al-Ḥasan bin Aḥmad bin ‘Abdul Ghaffar yang lebih dikenal
dengan nama Abū ‘Ali al-Farizi (abad keempat hijriah) yang berkeinginan menuliskan
qirā’āt hanya saja belum sampai terlaksana. Namun muridnya yang bernama Ibnu Jinni,
Abū Al-Fatḥ, ‘Uṡmān bin Jinni al-Azdi (w.392 H/1001 M) yang khusus menuliskan
qiraat syāżżah dengan penjelasannya, dalam kitabnya Al-Muhtasab. Ibnu Khalawaih al-
Husain bin Hamdun bin Khalawaih (w. sekitar 360 H/970 M) menulis Kitab Mukhtaṣar
fī Syawāżż al-Qur’ān. Berikutnya adalah kitab at-Taqrīb wa al-Bayān fī Ma’rifat
Syawāżż al-Qur’ān, karya aṣ-Ṣafrawi (w 656 H / 1258 M) yang menjadi disertasi
penulis muqaddimah ini di Madinah.36
Tentu saja untuk mengetahui qira'ah syāżżah, di samping memahami kaidah-
kaidah qira`at mutawātirah, kita juga diarahkan untuk langsung merujuk kepada
referensi-referensi yang tepat yang membahas masalah tentang qirā’āt syāżżah.
Sebagaimana para Ulama telah banyak menulis dan menghasilkan karya tentang qirā’āt
Masyhūrah mutawatirah, mereka juga telah menulis karya-karya tentang qirā’āt
syāżżah. di antaranya:
a. Jāmi’ al-Qirā’āt min al-Masyhūr wa asy-Syawāż wa ‘Ilal Żālik, karya Ibnu Jarir
al-Thabari (w. 310 H)
b. Asy-Syawāż fī al-Qirā’āt juga dinamakan al-Qirā’āt Syāżżah, karya Ibnu Mujahid
(w. 324 H)
c. Syawāż al-Qirā’āt, karya Ibnu Syanabudz (w. 328 H)
d. Syawāż al-Qur’an, karya Abu Thahir al-Bazzar (w. 349 H)
e. Mukhtaṣar fī Syawāż al-Qur’an, karya Ibnu Khalawaih (380 H)

36
Romlah Widayati, Implikasi Qira’at Syadzdzah Terhadap Istinbath Hukum, h. xiii-xiv

17
f. Al-Muhtasab fī Tabyīn Wujuhi Syawāż al-Qirā’āt wa al-Īdhah Minhā, karya Ibnu
Jinni (w. 393 H)
g. Al-Ta’rīf bi al-Qirā’āt asy-Syawāż, dan juga al-Muhtawa fī al-Qirā’āt asy-
Syawadz, karya Abu ‘Amr al-Dani Usman bin Sa’id (w. 444 H)
h. Al-Qaul al-Jaz li Man Qara’a bi asy-Syāż, karya Kamaluddin Muhammad bin
Muhammad Makkah (w. 857 H)
i. Risālah fī al-Qirā’āt asy-Syāżżah, karya Syihabuddin Ahmad bin ‘Umar (w. 1069
H) dan Abdullah bin Muhammad Zadah al-Rumi (w. 1167 H)
j. Al-Qirā’āt asy-Syāżżah wa Taujihuha min Lughah al-‘Arab, karya Syaikh Abdul
Fattah al-Qadhi.

5. Qirā’āt Syāżżah sebagai Hujjah


a. Penetapan Hukum
Para fuqaha’ dan ushuliyyun berbeda pendapat tentang qirā’āt syāżżah sebagai
hujjah dalam penetapan hukum kedalam dua bagian:

1) Qirā’āt Syāżżah bukan sebagai hujjah.


Pendapat ini dipilih oleh Mazhab Imam Malik (179 H) 37, sebagian Ashab asy-
Syafi’i, dan juga Ibnu Hazm al-Zhahiri. Adapun alasan yang diutarakan adalah
bahwa perawi meriwayatkannya secara Ahad. Maka kalau disebut sebagai Al-
Qur’an itu salah dan keliru. Sebaliknya, jika tidak disebut sebagai Al-Qur’an,
maka muncul keraguan lain bahwa apakah itu khabar dari Nabi atau selain
darinya. Atas dasar ini Qira’aat Syāżżah tidak dapat dijadikan hujjah.38
Alasan ini semakin dipertegas oleh al-Nawawi al-Syafi’i (690 H) dengan
mengatakan bahwa dalam mazhab kami, qirā’āt syāżżah bukanlah hujjah, tidak
dapat dihukumi sebagai khabar ahad karena perawinya meriwayatkan kecuali al-
Qur’an, sedangkan al-Qur’an hanya diriwayatkan hanya dengan periwayatan
mutawatir dan ijma’.39
2) Qirā’āt Syāżżah sebagai hujjah.

37
Ibn al-Hajib, Muntaha al-Wushul wa al-Amal fi ‘ilmai al-Ushul wa al-Jadal, h. 46
38
Imam al-Ghazali, al-Mushtashfa fi ‘ilm al-Ushul, Tahqiq: Muhammad Abdussalam, (Beirut: Dar al-
Kutub al-‘Ilmiyyah, 1413 H), Jilid. 1, h.102
39
Imam al-Nawawi, Syarh Shohih Muslim, (Kairo: al-Mathba’ah al-Mishriyyah, 1347 H), Cet ke-1, Jilid.
5, h.130-131

18
Pendapat ini dipilih oleh Mazhab Jumhur, seperti; Abu Hanifah (150 H), Imam
Malik (179 H), dalam sebuah Riwayat, Imam al-Syafi’i (204 H) –ini yang
benar—, Imam Ahmad (241 H). Ibnu al-Najjar berkata: “Sesuatu yang shahih
meski tidak mutawatir merupakan hujjah bagi Ahmad, Abi Hanifah, dan asy-
Syafi’i.40
Adapun alasan yang diutarakan bahwa qira’at syāżżah diriwayatkan secara
ahad, baik itu al-Qur’an atau Hadis, keduanya menuntut pengamalan.41 Selain itu,
khabar ahad tidak menafikan bahwa perawinya mendengar dan meriwayatkan
langsung dari Nabi Saw. kalau sudah dari Nabi, maka menjadi hujjah.42

b. Penafsiran
Mayoritas ulama berpendapat bahwa Qirā’āt Syāżżah dapat dijadikan sebagai
hujjah dalam penafsiran. Hal ini sejatinya telah dilakukan oleh para sahabat, tabi’in,
dan ulama setelahnya, seperti Ibnu Jarir al-Thabari (310 H), Ibnu ‘Athiyyah (542 H),
dan Abu Hayyan (745 H).
Misalnya dalam surah al-Jumu’ah/62: 9 ‫َّللا‬ ِ ‫ فَا ْسعَ ْوا ا ِٰلى ِذ ْك ِر‬. Qirā’āt Ibnu Mas’ud
dengan ِ‫ا ِٰلى ِذ ْك ِر َّللا‬. Dari sini kemudian menjadi lebih jelas bahwa fas’au bermakna
pergi atau berangkat, bukan bergegas atau jalan secara cepat.43 Dalam sebuah
Riwayat, Ibnu Syihab juga pernah ditanya tentang ayat ini, ia berkata bahwa Umar
pernah membaca ayat ini dengan ‫ص ٰلو ِة مِ ْن ي َّْو ِم ْال ُج ُم َع ِة فامضوا ا ِٰلى ِذ ْك ِر َّللاِ َوذَ ُروا ْال َب ْي ۗ َع‬ َ ‫اِذَا نُ ْود‬.
َّ ‫ِي لِل‬
6. Pengaruh Qirā’āt Syāżżah terhadap Penafsiran dan Contoh-Contohnya
Sejatinya qirā’āt al-Qur’an -baik qirā’āt mutawatir ataupun syāżżah- memiliki
pengaruh yang sangat besar dalam menafsirkan ayat-ayat Al-Qur’an. Hal ini karena
setiap qirā’āt tersebut seakan-akan menjadi ayat independen yang berperan besar dalam
memberikan berbagai makna yang baru, hukum-hukum fiqih dan kaidah ilmu nahwu
maupun balaghah terhadap ayat-ayat qur’aniyyah.44

40
Nabil bin Muhammad Ibrahim, Ilm al-Qira’at: Nasy’atuhu, Athwaruhu, Atsaruhu Fi al-Ulum asy
Syar’iyah, (Riyadh: Maktabah at-Taubah, 1421 H / 2000 M), h. 271-272
41
Para ulama menetapkan syarat-syarat dalam kehujjahan qira’at syadzdzah, diantaranya: keshahihan
sanad dan tidak ada raiyat mutawatir yang mempengaruhinya. Imam Abu Hanifah menambahkan: Riwayatnya
bukan saja shahih, tetapi juga masyhur. Imam al-Syafi’i juga menambahkan: tidak menyalahi kaidah ram ‘utsmani
dan tidak adanya riwayat lain yang lebih kuat.
42
Ibnu Qudamah, Raudhah al-Nazhir, Tahqiq: Abdul Aziz al-Sa’di, (Saudi: Jamiah Ibn Su’ud, 1399 H),
Cet, ke-2, h. 63
43
Imam al-Suyuthi, Al-itqan…, Jilid. 1, h. 255
44
Nabil bin Muhammad Ibrahim, Ilm al-Qira’at: Nasy’atuhu…, h. 355

19
Sebagaimana disebutkan bahwa berbagai versi qirā’āt Al-Qur’an adakalanya
berkaitan dengan substansi lafadz dan adakalanya juga berkaitan dengan lahjat atau
dialek kebahasaan. Perbedaan qirā’āt yang berkaitan dengan substansi lafadz bisa
menimbulkan perbedaan makna dan berpengaruh terhadap penafsiran, sementara
perbedaan qirā’āt yang berkaitan dengan lahjat atau dialek kebahasaan tidak
menimbulkan perbedaan makna.
Muhammad bin Muhammad al-Thahir bin Asyur (1296-1393 H/ 1879-1973 M)
dalam muqaddimah kitab tafsirnya membahas tentang qirā’āt dan pengaruhnya
terhadap penafsiran Al-Qur’an. Menurut Ibn ‘Asyur, hubungan antara qirā’āt dan tafsir
dapat dikelompokkan menjadi dua bagian: pertama, qirā’āt yang tidak berimplikasi
pada penafsiran; Kedua, qirā’āt yang berimplikasi pada penafsiran.45

Jenis pertama, yaitu qirā’āt yang tidak berimplikasi pada penafsiran, diantaranya
disebabkan oleh perbedaan pengucapan huruf, tanda baca (harakat), panjang dan
pendeknya bacaan (mad), al-Imalah, al-Takhfif, al-Tashil, al-Tahqiq, al-Jahr, al-Hams
dan al-Gunnah. Beliau mencontohkan pada QS al-Baqarah/2:254:
ْ
‫عة‬
َ ‫شفَا‬ َ ‫ٰ ْٓياَيُّ َها الَّ ِذيْنَ ٰا َمنُ ْْٓوا اَ ْن ِفقُ ْوا ِم َّما َرزَ ْق ٰن ُك ْم ِم ْن قَ ْب ِل اَ ْن يَّأ ِت‬
َ ‫ي َي ْوم َّْل َبيْع ِف ْي ِه َو َْل ُخلَّة َّو َْل‬
Tiga kosa kata pada ayat di atas dapat dibaca ḍammah seluruhnya atau fathah
seluruhnya, atau dapat juga dibaca salah satunya rafa’ dan yang lainnya fathah tanpa
menimbulkan perbedaan makna yang dapat mempengaruhi penafsiran Al-Qur’an.46

Jenis kedua adalah qirā’āt yang berimplikasi terhadap penafsiran, misalnya QS.
َ ‫ َو‬seperti pada kata kudzdzibu bisa dibaca dengan tasydid
Yusuf/12: 110 ‫ظنُّ ْْٓوا اَنَّ ُه ْم قَ ْد ُك ِذب ُْوا‬
pada huruf dzal yang bermakna mereka (yaitu para Nabi) telah didustakan kaumnya.
Atau bisa dibaca tanpa tasydid, yang bermakna mereka (yaitu orang-orang yang berdosa
dan melanggar larangan Allah) telah mendustakan Rasul. Perbedaan bacaan ini
berimplikasi pada penafsiran.47
Contoh lain mengenai qirā’āt lainnya yang berimplikasi pada penafsiran adalah
ْ ‫ َي‬.Ayat tersebut merupakan
firman Allah Swt surah al-Baqarah/2:222 pada lafadz ‫ط ُه ْرن‬
larangan bagi seorang suami dari melakukan hubungan seksual dengan isterinya yang
dalam keadaan haid. Adapun batas larangan tersebut adalah sampai isteri telah berada
dalam keadaan suci kembali (telah berhenti dari haidnya). Ayat tersebut sesuai dengan

45
Ibnu Asyur, al-Tahrir wa al-Tanwir, (Tunisia: Dar al-Tunisiyah, 1984), Jilid. 1 h. 50
46
Ibnu Asyur, al-Tahrir…, Jilid 1 hal. 50.
47
Ibnu Asyur, al-Tahrir…, Jilid 1 h. 55.

20
versi qirā’āt sab’ah Ibn Katsir, Nafi’, Abu ‘Amr, Ibn ‘Amir dan ‘Ashim Riwayat Hafsh.
Dengan demikian, begitu darah haidnya berhenti keluar, ia sudah dibolehkan
melakukan hubungan seksual meskipun belum mandi menghilangkan hadas besarnya.
Demikian pendapat Imam Abu Hanifah.
Sementara itu, menurut versi qirā’āt sab’ah Hamzah, al-Kisa’i, dan ‘Ashim
ْ َ‫ ي‬dengan ‫رن‬
riwayat Syu’bah membaca kata ‫ط ُه ْرن‬ َّ َ‫ ي‬yang berarti bahwa isteri tersebut
ْ ‫ط َّه‬
belum boleh melakukan hubungan seksual dengan suaminya sampai ia bersuci,
maksudnya ia telah berhenti dari haidnya dan juga telah mandi menghilangkan hadas
besarnya. Demikian pendapat Imam Malik dan Imam asy-Syafi’i.48
Setelah ini, pemakalah akan menyebutkan contoh-contoh qirā’āt yang
mempengaruhi terhadap penafsiran al-Qur’an. Pemakalah juga membatasi pada qirā’āt
yang mutawatirah dan syāżżah saja, mengingat bahwa qirā’āt mutawatirah merupakan
qirā’āt yang jelas-jelas diakui kequr’anannya, sedangkan qirā’āt syāżżah merupakan
qirā’āt yang jelas-jelas tidak diakui kequr’anannya, namun masih dapat diterima
sebagai qirā’āt al-Qur’an.
Contoh Pengaruh Qirā’āt Syāżżah dalam Penafsiran l-Qur’an

a. Firman Allah SWT dalam surat al-Baqarah [2]:184:


َ ‫ع ٰلى‬
…ۗ ‫سف ٍَر فَ ِعدَّة ِم ْن اَي ٍَّام اُخ ََر‬ ٍ ۗ ‫اَيَّا ًما َّم ْعد ُْو ٰد‬
َ ‫ت فَ َم ْن َكانَ مِ ْن ُك ْم َّم ِر ْيضًا اَ ْو‬
“(Yaitu) beberapa hari tertentu. Maka, siapa di antara kamu sakit atau dalam
perjalanan (lalu tidak berpuasa), (wajib mengganti) sebanyak hari (yang dia tidak
berpuasa itu) pada hari-hari yang lain…”
Ayat di atas menjelaskan bahwa apabila seseorang berbuka puasa di bulan
Ramadhan dikarenakan sakit atau dalam perjalanan, maka ia diwajibkan meng-
qadha-nya pada hari-hari lain di luar bulan Ramadhan. Sehubungan dengan ini, para
ulama berbeda pendapat dalam hal apakah mengqadha puasa Ramadhan itu
diwajibkan berturut-turut atau tidak?
Sesuai dengan ayat di atas, jumhur ulama baik dari kalangan shahabat, tabi’in
maupun para fuqaha berpendapat bahwa dalam mengqadha puasa Ramadhan,
seseorang tidak diwajibkan melaksanakannya secara berturut-turut. Ia boleh
mengqadhanya secara terpisah maupun berturut-turut. Sementara itu, dalam qirā’āt

48
Abu Bakr Ahmad ibn Musa ibn ‘Abbas ibn Mujahid, Kitab al-Sab’at fi al-Qira’at, h. 182, lihat pula
Hasanuddin. AF, Anatomi al-Qur’an: Perbedaan Qira’at dan Pengaruhnya Terhadap Istinbath Hukum dalam al-
Qur’an, (Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 1995 M), hal 203

21
syāżżah yaitu qirā’āt Ubay disebutkan ‫فَ ِعدَّة ِم ْن اَي ٍَّام ا ُخ ََر متتابعات‬. Berdasarkan qirā’āt
tersebut, ulama Hanafiyah berpendapat diwajibkan bagi seseorang yang mengqadha
puasa Ramadhan untuk melaksanakannya secara berturut-turut.49

b. Firman Allah SWT dalam surat al-Baqarah [2]:238:


ِ ِ ‫ص ٰلوةِ ْال ُوس ْٰطى َوقُ ْو ُم ْوا‬
٢٣٨ َ‫ّلِل ٰقنِتِيْن‬ ِ ‫صلَ ٰو‬
َّ ‫ت َوال‬ َّ ‫علَى ال‬ ُ ِ‫َحاف‬
َ ‫ظ ْوا‬
“Peliharalah semua salat (fardu) dan salat Wusṭā.75) Berdirilah karena Allah
(dalam salat) dengan khusyuk”
Ayat di atas, dalam mushaf Aisyah dan imla’ (penulisan) Hafshah Radhiyallahu
‘anhuma, ditulis )‫(والصَّلة الوسطى وهي صَّلة العصر‬. Ibn ‘Abbas membaca ayat di atas
dengan qirā’āt seperti ini. Sedangkan dalam mushaf Ummu Salamah dan Hafshah
Radhiyallahu ‘anhuma, ditulis )‫ (والصَّلة الوسطى صَّلة العصر‬dengan tanpa
mencantumkan huruf wawu. Ubay bin Ka’ab dan Ibn ‘Abbas membaca ayat di atas
dengan qirā’āt seperti ini.

Dari perbedaan kedua versi qirā’āt di atas, para ulama berbeda pendapat
mengenai makna ‫ الصَّلة الوسطى‬Jumhur ulama berpendapat bahwa yang dimaksud
adalah shalat ashar dengan berargumentasi pada qirā’āt tersebut. Sedangkan ulama
Malikiyah dan Syafi’iyah berpendapat bahwa yang dimaksud adalah shalat subuh.
Alasan mereka adalah adanya penyebutan kalimat َ‫ّلِل ٰقنِتِيْن‬
ِ ِ ‫ َوقُ ْو ُم ْوا‬. sedangkan shalat
yang dibarengi dengan qunut adalah shalat subuh.50

c. Firman Allah SWT dalam surat al-Maidah [5]:38

َ ُ‫َاْل ِمنَ َّللاِ َۗوَّللا‬


٣٨ ‫ع ِزيْز َح ِكيْم‬ َ ‫طعُ ْْٓوا اَ ْي ِد َي ُه َما َجزَ ٰۤا ۢ ًء ِب َما َك‬
ً ‫س َبا نَك‬ َ ‫َّارقَةُ فَا ْق‬
ِ ‫َّار ُق َوالس‬
ِ ‫َوالس‬
“Laki-laki maupun perempuan yang mencuri, potonglah tangan keduanya
sebagai balasan atas perbuatan yang mereka lakukan dan sebagai siksaan dari
Allah. Allah Mahaperkasa lagi Mahabijaksana.”
Berdasarkan ayat di atas, para ulama sepakat bahwa apabila seseorang
melakukan pencurian dan telah memenuhi persyaratan untuk dijatuhi hukum potong
tangan, maka pencuri tersebut wajib dipotong tangannya yang sebelah kanan.
Sehubungan dengan ayat al-Qur’an di atas, dalam qirā’āt syāżżah yaitu qirā’āt Ibn
َ ‫َّارقَةُ فَا ْق‬
Mas’ud disebutkan ‫طعُ ْْٓوا ا َ ْي ِديَ ُه َما‬ ِ ‫َّار ُق َوالس‬
ِ ‫َوالس‬

49
Hasanuddin. AF, Anatomi al-Qur’an: Perbedaan Qira’at dan Pengaruhnya Terhadap Istinbath
Hukum dalam al-Qur’an, hal 226-227
50
Nabil bin Muhammad Ibrahim, Ilm al-Qira’at: Nasy’atuhu, Athwaruhu, Atsaruhu Fi al-Ulum asy-
Syar’iyah, hal 398-399

22
Para ulama yang memandang bahwa qirā’āt syāżżah bisa dijadikan hujjah
dalam menetapkan hukum, mereka menjadikan qirā’āt Ibn Mas’ud tersebut sebagai
dalil bagi pendapat mereka. Adapun para ulama yang beranggapan sebaliknya,
mereka berdalil dengan perbuatan Nabi SAW dan juga para shahabat, khususnya
para khalifah yang empat.51

d. Firman Allah SWT dalam surat al-Maidah [5]:89


َ‫عش ََر ِة َمسٰ ِكيْن‬
َ ‫ِط َعا ُم‬ ْ ‫ارتُهٗ ْٓ ا‬ ۚ ‫ع َّق ْدت ُّ ُم ْاْلَ ْي َم‬
َ َّ‫انَ فَ َكف‬ ِ ‫ي اَ ْي َمانِ ُك ْم َو ٰل ِك ْن ي َُّؤ‬
َ ‫اخ ُذ ُك ْم ِب َما‬ ْْٓ ِ‫اخ ُذ ُك ُم َّللاُ ِباللَّ ْغ ِو ف‬ِ ‫َْل ي َُؤ‬
ٰ
ُ ‫ص َيا ُم ثَلثَ ِة اَي ٍَّام ٰۗذلِكَ َكفَّا َرة‬ ِ َ‫ط ِع ُم ْونَ اَ ْه ِل ْي ُك ْم اَ ْو ِكس َْوت ُ ُه ْم اَ ْو تَحْ ِري ُْر َرقَ َب ٍة ۗفَ َم ْن لَّ ْم َي ِج ْد ف‬ ْ ُ ‫س ِط َما ت‬ َ ‫ِم ْن اَ ْو‬
٨٩ َ‫ظ ْْٓوا اَ ْي َمانَ ُك ْم ۗ ك َٰذلِكَ يُ َب ِينُ َّللاُ لَ ُك ْم ٰا ٰي ِت ٖه لَ َعلَّ ُك ْم تَ ْش ُك ُر ْون‬ ُ َ‫اَ ْي َما ِن ُك ْم اِ َذا َحلَ ْفت ُ ْم َۗواحْ ف‬
“Allah tidak menghukum kamu disebabkan sumpah-sumpahmu yang tidak
disengaja (untuk bersumpah), tetapi Dia menghukum kamu disebabkan sumpah-
sumpah yang kamu sengaja. Maka, kafaratnya (denda akibat melanggar sumpah)
ialah memberi makan sepuluh orang miskin dari makanan yang (biasa) kamu
berikan kepada keluargamu, memberi pakaian kepada mereka, atau memerdekakan
seorang hamba sahaya. Siapa yang tidak mampu melakukannya, maka (kafaratnya)
berpuasa tiga hari. Itulah kafarat sumpah-sumpahmu apabila kamu bersumpah (dan
kamu melanggarnya). Jagalah sumpah-sumpahmu! Demikianlah Allah menjelaskan
kepadamu hukum-hukum-Nya agar kamu bersyukur (kepada-Nya).”
Ayat di atas antara lain menjelaskan bahwa apabila seseorang bersumpah, lalu
ia melanggar sumpahnya maka ia diwajibkan membayar kifarat (denda). Adapun
salah satu alternatif kifarat yang disebutkan dalam ayat di atas adalah berpuasa
selama tiga hari. Sementara itu, para ulama berbeda pendapat dalam hal apakah
puasa tersebut harus dilaksanakan secara berturut-turut ataukah tidak?
Imam Syafi’i dan Imam Malik berpendapat bahwa pelaksanaan puasa selama
tiga hari sebagai kifarat sumpah tidak disyaratkan harus berturut-turut. Adapun
alasan yang mereka kemukakan adalah pemahaman terhadap dzahir ayat di atas.
Sementara itu, Imam Abu Hanifah dan Imam Ahmad berpendapat bahwa
pelaksanaan puasa dalam kifarat sumpah disyaratkan berturut-turut. Karena itu,
bila puasa tersebut dilaksanakan secara terpisah, maka kifaratnya tidak sah.
Pendapat mereka didasarkan kepada qirā’āt Ubay dan Abdullah bin Mas’ud yaitu
‫صيَا ُم ثَ ٰلثَ ِة اَي ٍَّام متتابعات‬
ِ َ‫ف‬.52
e. Firman Allah SWT dalam surat an-Nisa [4]:12:

51
Hasanuddin. AF, Anatomi al-Qur’an: Perbedaan Qira’at dan Pengaruhnya Terhadap Istinbath
Hukum dalam al-Qur’an, hal 232
52
Hasanuddin. AF, Anatomi al-Qur’an: Perbedaan Qira’at dan Pengaruhnya Terhadap Istinbath
Hukum dalam al-Qur’an, hal 224

23
ُ ۚ ‫سد‬
‫ُس فَا ِْن كَانُ ْْٓوا‬ ِ ‫ث ك َٰللَةً اَ ِو ْام َراَة َّولَهٗ ْٓ اَخ اَ ْو ا ُ ْخت فَ ِل ُك ِل َو‬
ُّ ‫اح ٍد ِم ْن ُه َما ال‬ ُ ‫ َوا ِْن َكانَ َر ُجل ي ُّْو َر‬...
... ‫ث‬ ِ ُ‫ش َرك َٰۤا ُء فِى الثُّل‬ُ ‫اَ ْكثَ َر ِم ْن ٰذلِكَ فَ ُه ْم‬
“…Jika seseorang, baik laki-laki maupun perempuan, meninggal dunia tanpa
meninggalkan ayah dan anak, tetapi mempunyai seorang saudara laki-laki (seibu)
atau seorang saudara perempuan (seibu), bagi masing-masing dari kedua jenis
saudara itu seperenam harta. Akan tetapi, jika mereka (saudara-saudara seibu itu)
lebih dari seorang, mereka bersama-sama dalam bagian yang sepertiga itu…”
Ayat di atas menjelaskan bahwa jika seseorang meninggal dunia, dalam keadaan
tidak meninggalkan bapak dan anak (ً‫)ك َٰللَة‬, tetapi mempunyai seorang saudara laki-
laki atau saudara perempuan, maka masing-masing mereka berhak mendapat bagian
warisan sebanyak seperenam (1/6) harta.
Dalam hal ini, para ulama sepakat bahwa yang dimaksud dengan saudara laki-
laki dan saudara perempuan dalam ayat di atas adalah saudara laki-laki atau saudara
perempuan seibu saja. Kesepakatan tersebut didasarkan kepada firman Allah SWT
pada akhir surat an-Nisa, [4]: 176
Sehubungan dengan ini, dalam qirā’āt syāżżah yaitu qirā’āt Sa’id bin Abi
Waqqash disebutkan ‫ وله أخ أو أخت من أم‬dan dalam qirā’āt Ubay disebutkan ‫وله أخ أو‬
‫أخت من اْلم‬. Bagi para ulama yang berpandangan bahwa qirā’āt syāżżah dapat
dijadikan hujjah dalam menetapkan hukum, sudahtentu menjadikan qirā’āt tersebut
sebagai penjelasan terhadap apa yang dimaksud dengan ‫ أخ أو أخت‬yang terdapat
dalam surat an-Nisa ayat 12 diatas.53

53
Hasanuddin. AF, Anatomi al-Qur’an: Perbedaan Qira’at dan Pengaruhnya Terhadap Istinbath
Hukum dalam al-Qur’an, hal 233-235. Lihat juga Imam al-Suyuthi, Al-itqan…, Jilid. 1, h. 243

24
BAB III

PENUTUP

A. Kesimpulan
Upaya menafsirkan Al-Qur’an dengan Al-Qur’an secara metodologi hal ini masuk
dalam kategori tafsir bi al-ma’tsur, yang secara definitif memiliki makna menafsirkan Al-
Qur’an dengan al-Qur’an, Al-Qur’an dengan as-sunnah dan Al-Qur’an dengan pendapat
atau penafsiran para sahabat Nabi dan tabi’in. Asy-Syanqithi mengkonsepkan tafsir al-
Qur’an bi al-Qur’an dengan: 1) Menjelaskan sesuatu yang tidak jelas maknanya (bayan
al-Mujmal); 2) Memberi berkait makna asal (taqyid al-mutlaq); 3) Mengkhususkan yang
umum (takhshih al-‘am); 4) Penjelasan dengan yang tersirat atau yang tersurat (albayan
bi al-mantuq au bi al-mafhum). 5) Tafsir kata dengan kata (Tafsir lafdzah bi lafdzah); 6)
Tafsir ma’na bi ma’na; 7) Tafsir uslub fi ayatin bi uslub fi ayatin ukhra; 8) Kitab-kitab
tafsir yang menggunakan tafsir Al-Qur’an dengan Al-Qur’an.
Menafsirkan Al-Qur’an dengan qirā’āt mutawātirah terbagi dalam dua subtansi, yaitu
perbedaan qirā’āt yang berkaitan dengan subtansi lafaz bisa menimbulkan perbedaan
makna, sementara perbedaan qirā’āt yang berkaitan dengan lahjah (dialek kebahasaan)
tidak menimbulkan perbedaan makna, seperti bacaan tashīl, imālah, taqlīl, tarqīq, tafkhīm
dan sebagainya. Sebuhungan dengan penafsiran qirā’āt mutawātirah yang berkaitan
dengan subtansi lafaz, maka qirā’āt tersebut dapat berimplikasi pada penafsiran dan bisa
juga tidak berimplikasi pada penafsiran. Implikasi pada penafsiran biasanya terjadi dalam
penafsiran ayat-ayat hukum yang berkaitan dengan istinbat hukum.
Dalam menafsiran Al-Qur’an dengan qirā’āt syāżżah, para fuqaha’ dan ushuliyyun
berbeda pendapat tentang qirā’āt syāżżah sebagai hujjah dalam penetapan hukum, yaitu
qirā’āt syāżżah tidak dapat dijadikan hujjah karena perawi meriwayatkannya secara ahad;
dan qirā’āt syāżżah sebagai hujjah karena khabar ahad tidak menafikan bahwa perawinya
mendengar dan meriwayatkan langsung dari Nabi Saw.

25
DAFTAR PUSTAKA

Abū Ḥayyān, Muḥammad ibn Yūsuf al-Andalūsi. al-Baḥr al-Muḥiṭ. Juz 10. Beirut: Dār
al-Fikr, 1403 M.
al-‘Ak, Khalid ‘Abdurrahman. Ushul at-Tafsīr wa Qawāiduhū. Damaskus: Dār al-Nafāis
2007.
Arkoun. M. Berbagai Pembacaan Al-Qur’an. Jakarta: INIS, 1997.
Baidan, Nashruddin. Metodologi Penafsiran al-Qur'an. Cet. 2, Yogyakarta: Pustaka
Pelajar, 2000.
adz-Dzahabi, Muhammad Husein. Ensiklopedi Tafsir. Jakarta: Kalam Mulia, 2009.
________. Ma’rifah al-Qurra’ al-Kibar ‘ala al-Thabaat wa al-A’shar. Jilid. 1. Istanbul:
t.p, 1995.
al-Fadli, ‘Abd al-Hadi. Al-Qirā’āt al-Qur’aniyyāt. Beirut: Dār al-Majma’ al-‘Ilmi, 1979.
al-Ghazali. al-Mushtashfa fi ‘ilm al-Ushul. Tahqiq: Muhammad Abdussalam. Jilid 1.
Beirut: Dar al-Kutub al-‘Ilmiyyah, 1413 H.
Hakim, ‘Abdurrahman. Tafsir Al-Qur’an dengan Al-Qur’an: Studi Analisis dalam lintas
sejarah, dalam Jurnal Misykat. Vol. 2. No. 1. Juni 2018.
Hasanuddin AF. Anatomi al-Qur’an: Perbedaan Qira’at dan Pengaruhnya Terhadap
Istinbath Hukum dalam al-Qur’an. Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 1995 M.
Ibn al-Hajib. Muntaha al-Wushul wa al-Amal fi ‘ilmai al-Ushul wa al-Jadal.
Ibn Mujāhid. Kitāb as-Sab’at fī al-Qirā’āt. Mesir: Dār al-Ma’ārif, t.t.
Ibnu al-Jazāri. An-Nasyar fī al-Qirā’āt al-‘Asyar al-Mutawātirah. Jilid 1. Beirut: Dār al-
Kutub al-‘Ilmiyyah, t.t.
________. Ṭayyibat an-Nasyr fī al-Qirā’āt al-‘Asyr. Madinah: Maktabah Dār al-Hudā,
2000.
Ibnu Asyur. al-Tahrir wa al-Tanwir. Jilid 1. Tunisia: Dar al-Tunisiyah, 1984.
Ibnu Khālawaih. Mukhtaṣar fī Syaważ al-Qur’ān min Kitāb al-Badī’. Kairo: Maktabah
al-Mutanabbi, t.t.
Ibnu Mujahid, Abu Bakr Ahmad ibn Musa ibn ‘Abbas. Kitab al-Sab’at fi al-Qira’at.
Ibnu Qudamah. Raudhah al-Nazhir. Tahqiq: Abdul Aziz al-Sa’di. Saudi: Jamiah Ibn
Su’ud, 1399 H.
Ibnu Zakariya, Abū al-Ḥasan Aḥmad ibn Fāris. Mu’jam Maqāyis al-Lughah. Beirut: Dār
al-Fikr, 1994.
Ibrahim, Nabil bin Muhammad. Ilm al-Qira’at: Nasy’atuhu, Athwaruhu, Atsaruhu Fi al-
Ulum asy Syar’iyah. Riyadh: Maktabah at-Taubah, 1421 H/2000 M.
al-Jurjani, Ali bin Muhammad al-Syarif. Kitab al-Ta'rifat. Beirut: Maktabah Libnan,
1990.

26
Poerdarwinta. Kamus Umum Bahasa Indonesia. Jakarta: Balai Pustaka, 1999.
al-Qaththan, Manna. Pengantar studi Ilmu Al-Quran. Kairo:maktabah wahibah, 2004.
al-Qurṭubi. Al-Jāmi’ li Aḥkam al-Qur’ān. Juz 3,
an-Nawawi. Syarh Shohih Muslim. Jilid 5. Kairo: al-Mathba’ah al-Mishriyyah. 1347 H.
ar-Rāzi, Muḥammad Fakhruddin. Mafātih al-Ghaib. Juz 6. t.tp.: Dār al-Fikr, t.t.
as-Suyuthi. Al-Itqān fī ‘Ulum al-Qur’ān. Jilid. 1. Damaskus: Dar Ibnu Katsir, 1996. Cet.
3.
at-Thayyar, Musa’id Sulaiman. Ushul Al-Tafsir. Saudi Arabia : Dar Ibnu Al-Jauzy, 1999.
Widayati, Romlah. Implikasi Qira’at Syadzdzah Terhadap Istinbath Hukum. Tangerang
Selatan: Transpustaka, 2015.
az-Zamakhsyari. Al-Kasysyaf. Juz 1. Mesir: Muṣṭafa al-Bābī al-Halabī, t.t.

27

Anda mungkin juga menyukai