Anda di halaman 1dari 14

MAKALAH

NASIKH DAN MANSUKH


Untuk memenuhi salah satu tugas Mata Kuliah Pengantar Study Al-qur`an dan Hadits

Dosen Pengampu: M. Indra Saputra, M.Pd

Kelompok 7 :
1. DEA TRIANA (2111100338)
2. FITRI YUWANDA (2111100056)
3. LUKI NIRMALA (2111100244)

PROGRAM STUDI PGMI SEMESTER 1


FAKULTAS TARBIYAH DAN KEGURUAN
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI RADEN INTAN LAMPUNG
TAHUN 2021
KATA PENGANTAR

Assalamualaikum Wr. Wb.,

Puji serta syukur kami panjatkan kehadirat Allah SWT, karena atas limpahan kenikmatnya
sehingga kami dapat menyelesaikan makalah ini tepat pada waktu yang ditentukan.
Shalawat dan salam semoga selalu dilimpahkan kepada junjungan alam Nabi Muhammad
SAW.

Makalah yang berjudul “NASIKH DAN MANSUKH DALAM AL-QUR’AN” ini disusun
guna memenuhi tugas M. Indra Saputra, M.Pd dari mata kuliah Pengantar Study Al-quran
dan Hadits. Tak lupa ucapan terimakasih kami ucapkan kepada semua pihak yang telah
membantu kami sehingga makalah kami dapat terselesaikan dengan baik. Kami selaku
penulis menyadari bahwa makalah ini jauh dari kata sempurna baik dalam segi bahasa,
penyusunan, maupun pengetikannya, untuk itu kami mengharapkan kritik dan saran untuk
kami terkait makalah ini agar kami bisa menyusun makalah lebih baik lagi.

Sekali lagi kami selaku penulis mengucapkan maaf dan terimakasi dan memohon maaf
sebesar-besarnya kepada para pembaca makalah ini.

Wassalamu’alaikum Wr. Wb.,

Bandar Lampung, 19 September 2021

Penyusun

ii
DAFTAR ISI

HALAMAN JUDUL .......................................................................................... i

KATA PENGANTAR ....................................................................................... ii

DAFTAR ISI ..................................................................................................... iii

BAB I
PENDAHULUAN
A.Latar Belakang Masalah...................................................................... 1

B.Rumusan Masalah................................................................................ 1

C.Tujuan Penulisan................................................................................. 1

BAB II
PEMBAHASAN
A. Pengertian Nasikh dan Mansukh........................................................ 2

B. Kriteria Penetapan Nasikh dan Mansukh........................................... 4

C. Jenis jenis Nasikh............................................................................... 4

D. Pandangan Ulama Tentang Nasikh dan Mansukh.............................. 5

E. Hikmah Keberadaan Nasikh dan Mansukh........................................ 8

BAB III
PENUTUP
F. KESIMPULAN................................................................................... 10

G.SARAN ........................................................................................... 11

iii
BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah

Al-Qur’an merupakan kitab suci umat islam yang diturunkan kepada Rasul Allah
(Nabi Muhammad SAW). Al-quran dijadikan sebagai pedoman hidup umat islam
dalam menata dan melaksanakan kehidupan dunia dan akhirat. Prinsip kita
menjadikan AlQur’an sebagai pedoman hidup bukan hanya pada tahu dan paham
tentang isi dari kandungan namun juga pada pengetahuan dan pemahaman cara
mengkaji Al-Qur’an tersebut. Dalam pembahsan Al-Qur’an ini banyak sekali yang
harus dikupas secara mendalam salah satunya yaitu Nasikh dan Mansukh dalam Al-
Qur’an.

Nasikh ini merupakan mengangkat hukum syara’ dengan dalil hukum syara’. Yang
memberikan kesan Nasikh hanya terjadi pada hukum-hukum yang berhubungan
dengan furu’ ibadah yang muamalat dengan orang-orang yang megakui Nasikh.
Lantas mengapa yang berkaitan dengan akidah, dasar-dasar akhlak dana etika,
pokok-pokok ibadah dan muamalah dan berita mahdoh tidak mengalami Nasikh?.
Untuk mengetahui jawaban dari pertanyaan tersebut maka dalam makalah ini kita
akan mengkaji lebih dalam mengenai Nasikh dan Mansukh dalam Al-Qur’an
tersebut.

B. Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang masalah di atas, penyusun merumusakan masalah
sebagai berikut:
1. Apa pengertian nasikh dan mansukh?
2. Bagaimana kriteria penetapan nasikh dan mansukh?
3. Apa saja jenis jenis nasikh?
4. Bagaimana pandangan ulama tentang nasikh dan mansukh?
5. Apa hikmah keberadaan nasikh dan mansukh

C. Tujuan Penulisan
Berdasarkan uraian di atas, kami dapat memyimpulkan bahwa tujuan penulisan ini
adalah:
1. Untuk mengetahui pengertian nasikh dan mansukh
2. Untuk mengetahui kriteria penetapan nasikh dan mansukh
3. Untuk mengetahui jenis jenis nasikh
4. Untuk mengetahui pendapat ulama tentang nasikh dan mansukh
5. Untuk mengetahui hikmah keberadaan nasikh dan mansukh

1
BAB II

PEMBAHASAN

A. Pengertian Nasikh dan Mansukh


Secara lughawi, ada 4 makna nasikh yang diungkapkan ulama, yaitu sebagai
berikut:
1. Izalah ( menghilangkan, menghapuskan).
Dengan arti menghilangkan sesuatu atau membatalkannya atau disebutkan dengan
menghilangkan sesuatu dari ayat tersebut. Seperti dalam Al-Qur’an surat Al-Hajj
ayat 52 yaitu:
Artinya : “Dan Kami tidak mengutus sebelum kamu seorang rasulpun dan tidak
(pula) seorang nabi, melainkan apabila ia mempunyai sesuatu keinginan, syaitanpun
memasukkan godaan-godaan terhadap keinginan itu, Allah menghilangkan apa yang
dimasukkan oleh syaitan itu, dan Allah menguatkan ayat-ayat-Nya. Dan Allah Maha
Mengetahui lagi Maha Bijaksana”. Kata ‫ ينسخ‬dalam ayat ini menghapus ( yazilu)
atau membatalkan (yabthilu) waswas dan wahm yang dimasukkan setan.

2. Tabdil ( Penggantian)
Nasikh dalam arti tabdil, yaitu dimana suatu ayat yang lain digantikan atau
ditukarkan ke suatu tempat ayat yang lain, seperti dalam al-Qur’an surat an-Nahl
ayat 101:
Artinya: “Dan apabila Kami letakkan suatu ayat di tempat ayat yang lain sebagai
penggantinya, padahal Allah lebih mengetahui apa yang diturunkan-Nya, mereka
berkata: “ Sesungguhnya kamu adalah orang yang mengada-adakan saja.” Bahkan
kebanyakan mereka tiada mengetahui”.

3. Tahwil (pengalihan, pengubahan, memalingkan)


Nasakh dalam arti tahwil (memalingkan) seperti tanasukh al-mawaris, artinya
memindahkan warisan dari satu orang kepada orang yang lain. Adapun secara
terminologis para ulama mendefinisikan nasikh meskipun dengan redaksi yang
sedikit berbeda, tetapi dalam pengertian sama yaitu:
( menghapuskan hukum syara’ dengan khitab syara’ pula)
Atau:
(menghapuskan hukum syara’ dengan dalil syara’ yang lain). Terminologi
“menghapuskan” dalam definisi di atas adalah terputusnya hubungan hukum yang
dihapus dari seorang mukallaf dan bukan terhapusnya substansi hukum itu sendiri.

4. Naql (pemindahan).

2
Naql yaitu memindahkan dari satu tempat ke tempat lain. Sebagian ulama menolak
makna keempat ini, dengan alasan bahwa si nasikh tidak dapat mendatangkan lafazh
yang di-mansukh itu, tetapi hanya mendatangkan lafazh lain. Adapun bagi segi
terminologi, para ulama mendefinisikan naskh, dengan redaksi yang sedikit
berbeda, tetapi dengan pengertian yang sama, dengan: “ raf’u Al-hukm Al-syar’i bi
Al-khithab Al-syar’i” (menghapuskan hukum syara dengan khitab syara pula) atau
““ raf’u Al-hukm bil Al-dalil Al-syar’i”(menghapuskan hukum syara dengan dalil
syara yang lain). Terminologi “menghapuskan” dalam definisi tersebut adalah
terputusnya hubungan hukum yang dihapus dari seorang mukallaf, dan bukan
terhapusnya substansi hukum itu sendiri.
Dengan keterangan di atas dapat disimpulkan bahwa nasakh berarti menghilangkan
sesuatu atau dengan pengertian lain. An-naskh merupakan masdar dari nasakaha,
yang secara harfiah berarti “ menghapus, memindahkan, mengganti, atau
mengubah”. Dari kata nasakha terbentuk kata an-nasikh dan al-mansukh. Yang
pertma isim fa’il dan yang terakhir isim maf’ul dari nasakha. Secara etimologi, an-
nasikh berarti menghapus, yang mengganti atau yang mengubah. Sedangkan al-
mansukh berarti yang dihapus, yang digantikan atau diubah.
Menurut Quraish Shihab menyatakan bahwa antara ulama-ulama mutaqaddimin dan
muta’akhirin tidak sepakat dalam memberikan pengertian naskh secara terminologi.
Hal itu terlihat dari kontrovensi yang muncul di antara mereka dalam menetapkan
adanya naskh dalam Al-Qur’an. Ulama-ulama mutaqaddimin bahkan memperluas
arti naskh hingga mencakup:
a) Pembatalan hukum yang ditetapkanoleh hukum yang ditetapkan kemudian ;
b) Pengecualian hukum yang bersifat umum oleh hukum yang spesifik yang datang
kemudian;
c) Penjelasan susulan terhadap hukum yang bersifat ambigius; dan
d) Penetapan syarat bagi hukum yang datang kemudian guna membatalkan atau
merebut atau menyatakan berakhirnya masa berlakunya hukum yang terdahulu.
Sementara itu, ulama ushul fiqh mengartikan naikh sebagai pembatal amal
(perbuatan ibadah) dengan hukum syara’ yang datang kemudian, baik
pembatalan itu bersifat jelas ataupun samar, menyeluruh atau pun tidak dengan
alasan kemashalatan umat.
1

1
http://putryrahayu26.blogspot.com/2016/01/nasikh-dan-mansukh-dalam-al-quran.html?m=1 (diakses 17
september 2021)

3
B. Kriteria Penetapan Nasikh dan Mansukh
Manna’ Al-Qaththan menetapkan tiga dasar untuk menegaskan bahwa suatu ayat
dikatakan nasikh (menghapus), dan ayat lain dikatakan mansukh (dihapus). Ketiga
dasar tersebut yaitu:

1. Melalui pentransmisian yang jelas ( ‫ر يح‬LL‫ل الص‬LL‫ ) النق‬dari Nabi atau para
sahabatnya, seperti hadis yang berbunyi”
“Kuntu nahaitukum ‘an ziyarat al-qubur ala fa zuruhu” (aku dahulu
melarang kalian untuk menziyarahi qubur, (sekarang) berziyarahlah). Juga
seperti ugkapan Anas berkaitan dengan Ashab sumur Ma’unah, “ Wa
nuzilah fihim quran qara’nah hatta rufi’a” (untuk mereka telah turun ayat
sampai akhirnya dihapus);
2. Melalui kesepakatan umat bahwa ayat ini nasikh dan ayat itu mansukh ;
3. Melalui studi sejarah, ayat mana yang lebih belakangan turun, sehingga
disebut nasikh, dan ayat mana yang lebih dahulu turun, sehingga disebut
mansukh.
Al- Qaththan menambahkan bahwa nasikh tidak dapat ditetapkan melalui
prosedur ijtihad atau pendapat ahli tafsir karena adanya kontradiksi antara
beberapa dalil bila dilihat dari lahirnya, atau karena belakangan masuk
islamanya salah seorang dari pembawa riwayat.2

C. Jenis Jenis Nasikh


1. Nasakh al-Qur’an dengan al-Qur’an.
Dalam hal ini disepakati bolehnya dan terjadinya menurut orang yang
berpendapat ada nasakh dalam al-Qur’an. Bagian ini disepakati
kebolehannya dan telah terjadi dalam pandangan mereka yang mengatakan
adanya naskh. Misalnya, ayat tentang iddah 4 bulan 10 hari.

2. Nasakh al-Qur’an dengan Sunnah.


Dalam hal nasakh al-Qur’an dengan al-Sunnah ini dibagi dua, yaitu:
a. Nasakh Al-Qur’an dengan hadis ahad.
Jumhur mengatakan al-Qur’an tidak boleh dinasakh oleh ahad,
sebab al-Qur’an itu mutawatir dan qath’i (harus diyakini).
Sedangkan hadits ahad itu zhanni yang bersifat dugaan, di samping
tidak sah pula menghapuskan sesuatu yang ma’lum (jelas
diketahui) dengan yang maznun (diduga). Jadi, tidak boleh
menasakhkan yang qathi dengan yang zhanni.
2
http://putryrahayu26.blogspot.com/2016/01/nasikh-dan-mansukh-dalam-al-quran.html?m=1 (diakses 17
september 2021)

4
b. Nasakh Al-Qur’an dengan hadis mutawatir. Nasakh demikian
dibolehkan oleh Malik, Abu Hanifah dan Ahmad dalam satu
riwayat, sebab masing masing keduanya adalah wahyu. Allah
berfirman “Dan tiadalah yang diucapkannya itu menurut kemauan
hawa nafsunya. Ucapannya itu tiada lain hanyalah wahyu yang
diwahyukan (kepadanya).” (an-Najm [53]:3-4), dan firman-Nya
pula:“Dan Kami turunkan kepadamu Qur’an agar kamu
menerangkan kepada umat manusia apa yang telah diturunkan
kepada mereka.” (an-Nahl [16]:44). Dan naskh itu sendiri
merupakan salah satu penjelasan.

3. Nasakh Sunnah dengan Al-Qur’an.


Ini dibolehkan oleh jumhur. Contohnya ialah masalah kiblat ke Bait Al-
Muqaddas yang ditetapkan dengan sunnah dan di dalam Al-Qur’an tidak
terdapat dalil yang menunjukkannya. Ketetapan itu dinasakhkan oleh al-
Qur’an dengan firman-Nya:
ْ ‫فَ َولِّ َوجْ هَ َك َش‬
‫ط َر ْٱل َم ْس ِج ِد ْٱل َح َر ِام‬
“Maka palingkanlah mukamu ke arah Masjidil Haram.” (al-Baqarah [2]:
144).
Akan tetapi, Asy Syafi’i menolak permasalahan ini. Baginya, jika
Muhammad menetapkan suatu ketentuan, kemudian turun ayat yang isinya
bertentangan, beliau pasti akan membuat ketentuan baru yang sesuai dengan
Al-Quran. Jika tidak demikian, akan terbukalah pintu untuk menunduh
bahwa setiap sunnah yang menjadi bayan Al-Qur’an sudah dihapus.
3

4. Nasakh Sunnah dengan Sunnah


Bagi Al-Qathtahn, pada dasarnya, ketentuan naskh dalam ijma’ dan qiyas itu
tidak ada dan tidak diperkenankan. Dalam kategori ini terdapat 4 bentuk,
yaitu
 Nasakh hadits mutawatir dengan hadits mutawatir
 Nasakh hadits ahad dengan hadits ahad
 Nasakh hadits ahad dengan hadits mutawatir
 Nasakh mutawatir dengan hadits ahad4.

D. Pandangan Ulama Tentang Nasikh dan Mansukh

3
http://putryrahayu26.blogspot.com/2016/01/nasikh-dan-mansukh-dalam-al-quran.html?m=1 (diakses 17
september 2021)

4
Ibid.hlm.337.

5
Pendapat Ulama tentang Nasikh-Mansukh dan Dalil-Dalilnya secara umum ada tiga
pendapat mengenai Nasakh ini, yaitu :

1) Bahwa Nasakh secara akal bisa terjadi dan secara Sam`i/Syar`i telah
terjadi.
Pendapat ini merupakan ijma` kaum Muslimin, sebab kemunculan Abu Muslim Al-
Ashfahani beserta yang sepaham dengan beliau. Mereka mengemukakan dalil-dalil
kebolehan Nasakh tersebut, baik secara `Aqli maupun secara Sam`i/ Syar`i yaitu:
Dalil Aqli Menurut akal, Nasakh itu tidak dilarang atau akal tidak menganggap
mustahil terjadinya Nasakh itu.
Sebab, Nasakh itu didasarkan atas kebijaksanaan Allah swt yang mengetahui
kemaslahatan hamba-Nya pada sewaktu-waktu. Sehingga Allah menyuruh suatu
perbuatan pada waktu tersebut. Tetapi Allah mengetahui pula mudharat yang
mengancam seseorang pada waktu yang lain.
Sehingga melarang sesuatu perbuatan pada waktu yang lain tadi. Hal ini diperkuat
dengan praktek-praktek, sebagai berikut:
 Dokter mula-mula menyuruh minum obat bagi pasien, tetapi setelah sembuh
disuruh berhenti minum obatnya tadi.
 Guru mengajar, mula-mula memberikan penjelasan yang mudah, kemudian
diubah dengan diganti pelajaran yang lebih tinggi.
 DPR/DPRD juga sering membuat keputusan/peraturan tertentu, yang setelah
berjalan beberapa waktu, lalu diubah dengan diganti keputusan/peraturan yang
lain.

Kalau saja masalah itu tidak boleh menurut akal dan syara`, tentunya tidak boleh
juga syara` membuat peraturan yang terbatas waktunya, karena peraturan yang
terbatas waktunya itu, secara tidak langsung sudah membutuhkan Nasakh. Padahal
kenyataannya, banyak peraturan-peraturan yang demikian itu.
Ini berarti secara rasional "Nasakh"boleh terjadi.
Dalil Sam`i/ Syar`i Al-Zarqany memetakan dalil Sam`i / Syar`i ini menjadi dua
kategori :
Kategori pertama, sebagai argumen terhadap orang Yahudi dan Nasrani, dimana
mereka mengingkari adanya Nasakh terhadap syari`at mereka. Argumen tersebut
antara lain:
 Pada masa Nabi Adam, Allah swt memerintahkan Nabi Adam untuk
mengawinkan anak putrinya dengan anak putranya lalu kemudian anak-anak
dari

6
 hasil perkawinan putra-putrinya tersebut dipasang-pasangkan satu sama lainnya.
Akan tetapi, pada masa setelahnya Allah menghapus syari`at Nabi Adam
tersebut.

Kategori kedua, sebagai argumen untuk menanggapi bantahan orang Islam sendiri
yang menolak akan adanya Nasakh, seperti Abu Muslim Al-Ashfahany. Argumen
tersebut antara lain:

Al-Baqarah Ayat 106


ِ ْ‫س َها نَأ‬
‫ت بِ َخ ْي ٍر ِم ْن َها أَ ْو ِم ْثلِ َها أَلَ ْم تَ ْعلَ ْم أَنَّ هَّللا َ َعلَى ُك ِّل ش َْي ٍء قَ ِدي ٌر‬ ِ ‫س ْخ ِمنْ آيَ ٍة أَ ْو نُ ْن‬
َ ‫َما نَ ْن‬
Artinya: "Ayat yang Kami naskh (hapus) atau Kami hilangkan dari ingatan, pasti
Kami ganti dengan yang lebih baik atau yang sebanding dengannya, Tidakkah kamu
tahu bahwa Allah Mahakuasa atas segala sesuatu? (QS.2:106)

Al-Ra`du ayat 39
ِ َ‫وا ٱهَّلل ُ َما يَشَٓا ُء َويُ ْثبِتُ َو ِعن َد ٓۥهُ أُ ُّم ٱ ْل ِك ٰت‬
‫ب‬ ۟ ‫يَ ْم ُح‬
Artinya: "Allah menghapuskan apa yang Dia kehendaki dan menetapkan (apa yang
Dia kehendaki), dan di sisi-Nya-lah terdapat Ummul-Kitab (Lauh mahfuzh)" (QS.
Ar-Ra'du 39)

2) Bahwa nasakh tidak mungkin terjadi secara akal maupun Sam`i/ Syar`i.
Pendapat ini adalah dari seluruh kaum Nasrani masa sekarang ini, mereka
menyerang Islam dengan dalih "Nasakh" ini. Mereka beranggapan Nasakh ini
adalah Bada`.
Mereka beralasan terkadang tanpa hikmah dan kadang pula ada hikmahnya. Tetapi
baru diketahui setelah sebelumnya tidak diketahui. Alasan mereka tidaklah benar,
sebab hikmah nasikh (yang menghapus) atau hikmah yang di-mansukh (yang
dihapus) tentu sangat diketahui oleh Allah swt.

Oleh karenanya, ketika Allah swt mengalihkan hambanya dari satu ketentuan
hukum kepada ketentuan hukum yang lain sudah pasti terdapat kemaslahatan
didalamnya. Sebenarnya kaum Yahudi mengakui bahwa syari`ah Nabi Musa a.s itu
me-nasakh kepada hukum-hukum syari`ah sebelumnya dan memang dalam nash-
nash Taurat terdapat beberapa Nasakh, seperti diharamkannya sebagian besar
hayawan atas Bani Israil setelah sebelumnya diperbolehkan memakannya. Allah
swt. Berfirman Ali Imran ayat 93.

7
"semua makanan adalah halal bagi Bani Israil (Ya`qub) untuk dirinya sendiri
sebelum Taurat diturunkan. Katakanlah :(jika kamu mengatakan ada makanan yang
diharamkan sebelum turun Taurat), maka bawalah Taurat itu, lalu bacalah dia jika
kamu orang-orang yang benar"
Dalam kitab Taurat pun juga dituturkan, bahwa Nabi Adam a.s memperbolehkan
kawin antara saudara kandung yang kemudian diharamkan pada masa Nabi Musa
a.s. juga dalam Taurat disebutkan bahwa Nabi Musa mulanya menyuruh membunuh
orang-orang yang menyembah sapi kecil (al-`ijlu), tetapi kemudian melarang hal
tersebut.

3) Nasakh itu menurut akal mungkin terjadi tetapi menurut syara` dilarang
Pendapat ini merupakan pendirian golongan Inaniyah, dan Abu Muslim al-
Ashfahani. Mereka mengakui terjadinya Nasakh menurut logika. Tetapi mereka
mengatakan dilarang secara syara`. Abu Muslim serta yang sependapat dengannya
berdalil dengan al-Qur`an yaitu: surat al-Fusshilat ayat 42:

"yang tidak datang kepadanya (al-Qur`an) kebatilan baik dari depan maupun dari
belakangnya, yang diturunkan dari Tuhan Yang Maha Bijaksana lagi Maha Terpuji"
Mereka menafsirkan ayat ini, bahwa hukum-hukum al-Qur`an itu tidak batal atau
tidak dihapus selamanya.
Padahal menurut al-Qurthuby, maksud dari ayat diatas adalah hukum-hukum al-
Qur`an itu, tidak akan ada kitab selainnya yang akan menghapuskan atau
membatalkan hukum-hukumnya, baik kitab sebelum al-Qur`an maupun setelahnya.
5

E. Hikmah Keberadaan Nasikh dan Mansukh


Hikmah keberadaan nasikh, yaitu:
 Mengukuhkan keberadaan Allah SWT, bahwa Allah takkan pernah terikat
dengan ketentuan ketentuan yang sesuai dengan logika manusia. Sehingga
jalan pikiran manusia takkan pernah bisa mengikat Allah SWT. Tetapi Allah
akan menunjukkan, bahwa kehendak-Nyalah yang akan terjadi, bukan
kehendak kita. 6
 Memelihara kepentingan hamba atau kemaslahatan hamba.
 Perkembangan tasy’ri menuju tingkat sempurna sesuai dengan
perkembangan dakwah dan perkembangan kondisi umat manusia.

5
http://www.laduni.id/post/read/53678/pandangan-ulama-tentang-nasikh-mansukh (diakses 18 September
2021)
6
Manna Khalil al-Qattan, Mabahits Fi Ulum al-Qur`an, diterjemah Mudzakir, (Bogor, Pustaka Lentera Antar
Nusa, 1996), hlm. 334.

8
 Menguji kualitas keimanan mukallaf dengan cara adanya perintah yang
kemudian di hapus.
 Menghendaki kebaikan dan kemudahan bagi umat. Sebab jika nasakh itu
beralih ke hal yang lebih berat maka di dalamnya terdapat tmabahan pahala,
dan jika beralih ke hal yang lebih ringan maka ia mengandung kemudahan
dan keringanan.7

7
http://putryrahayu26.blogspot.com/2016/01/nasikh-dan-mansukh-dalam-al-quran.html?m=1 (diakses 17
september 2021)

9
BAB III

PENUTUP

F. Kesimpulan
Definisi nasikh:
 Secara etimologi : Penghilangan (izalah), penggantian(tablid), pengubahan
(tahwil) dan pemindahan(naql).
 Secara terminologi: “raf’u Al-hukm Al-syar’i bi Al-khithab Al-syar’i”
(menghapuskan hukum syara dengan khitab syara pula) atau “raf’u Al-hukm
bil Al-dalil Al-syar’i” ( menghapuskan hukum syara dengan dalil syara yang
lain).

Dasar-dasar penetapan nasikh dan mansukh:


 Melalui pentransmisian yang jelas ( an-naql Al-sharih) dari Nabi atau para
sahabatnya.
 Melalui kesepakatan umat bahwa ayat ini nasikh dan ayat itu mansukh.
 Melalui studi sejarah, mana ayat yang lebih belakang turun, karena nya disebut
nasikh, dan mana yang duluan turun, disebut mansukh.

Jenis jenis nasakh:


 Nasakh al-Qur’an dengan al-Qur’an.
 Nasakh al-Qur’an dengan Sunnah.
 Nasakh Sunnah dengan Al-Qur’an.
 Nasakh Sunnah dengan Sunnah

Pendapat Ulama tentang Nasikh dan Mansukh:


 Bahwa Nasakh secara akal bisa terjadi dan secara Sam`i/Syar`i telah terjadi.
 Bahwa Nasakh secara akal bisa terjadi dan secara Sam`i/Syar`i telah terjadi.
 Nasakh itu menurut akal mungkin terjadi tetapi menurut syara` dilarang

Hikmah keberadaan nasikh, yaitu:


 Mengukuhkan keberadaan Allah SWT
 Memelihara kepentingan hamba atau kemaslahatan hamba.
 Perkembangan tasy’ri menuju tingkat sempurna sesuai dengan perkembangan
dakwah dan perkembangan kondisi umat manusia.
 Menguji kualitas keimanan mukallaf dengan cara adanya perintah yang
kemudian di hapus.
 Menghendaki kebaikan dan kemudahan bagi umat.

10
G. Saran
Demikian makalah ini saya buat, apabila ada kesalahan baik dalam penjelasan
maupun dalam penulisan, saya mohon maaf . Saya mengharap kritik dan saran yang
membangun agar dapat menjadi sumber rujukan sehingga menjadikan apa yang
saya buat ini lebih baik untuk ke depannya . Semoga makalah ini dapat bermanfaat
bagi saya dan teman-teman sekalian.

11

Anda mungkin juga menyukai