Kelompok 7 :
1. DEA TRIANA (2111100338)
2. FITRI YUWANDA (2111100056)
3. LUKI NIRMALA (2111100244)
Puji serta syukur kami panjatkan kehadirat Allah SWT, karena atas limpahan kenikmatnya
sehingga kami dapat menyelesaikan makalah ini tepat pada waktu yang ditentukan.
Shalawat dan salam semoga selalu dilimpahkan kepada junjungan alam Nabi Muhammad
SAW.
Makalah yang berjudul “NASIKH DAN MANSUKH DALAM AL-QUR’AN” ini disusun
guna memenuhi tugas M. Indra Saputra, M.Pd dari mata kuliah Pengantar Study Al-quran
dan Hadits. Tak lupa ucapan terimakasih kami ucapkan kepada semua pihak yang telah
membantu kami sehingga makalah kami dapat terselesaikan dengan baik. Kami selaku
penulis menyadari bahwa makalah ini jauh dari kata sempurna baik dalam segi bahasa,
penyusunan, maupun pengetikannya, untuk itu kami mengharapkan kritik dan saran untuk
kami terkait makalah ini agar kami bisa menyusun makalah lebih baik lagi.
Sekali lagi kami selaku penulis mengucapkan maaf dan terimakasi dan memohon maaf
sebesar-besarnya kepada para pembaca makalah ini.
Penyusun
ii
DAFTAR ISI
BAB I
PENDAHULUAN
A.Latar Belakang Masalah...................................................................... 1
B.Rumusan Masalah................................................................................ 1
C.Tujuan Penulisan................................................................................. 1
BAB II
PEMBAHASAN
A. Pengertian Nasikh dan Mansukh........................................................ 2
BAB III
PENUTUP
F. KESIMPULAN................................................................................... 10
G.SARAN ........................................................................................... 11
iii
BAB I
PENDAHULUAN
Al-Qur’an merupakan kitab suci umat islam yang diturunkan kepada Rasul Allah
(Nabi Muhammad SAW). Al-quran dijadikan sebagai pedoman hidup umat islam
dalam menata dan melaksanakan kehidupan dunia dan akhirat. Prinsip kita
menjadikan AlQur’an sebagai pedoman hidup bukan hanya pada tahu dan paham
tentang isi dari kandungan namun juga pada pengetahuan dan pemahaman cara
mengkaji Al-Qur’an tersebut. Dalam pembahsan Al-Qur’an ini banyak sekali yang
harus dikupas secara mendalam salah satunya yaitu Nasikh dan Mansukh dalam Al-
Qur’an.
Nasikh ini merupakan mengangkat hukum syara’ dengan dalil hukum syara’. Yang
memberikan kesan Nasikh hanya terjadi pada hukum-hukum yang berhubungan
dengan furu’ ibadah yang muamalat dengan orang-orang yang megakui Nasikh.
Lantas mengapa yang berkaitan dengan akidah, dasar-dasar akhlak dana etika,
pokok-pokok ibadah dan muamalah dan berita mahdoh tidak mengalami Nasikh?.
Untuk mengetahui jawaban dari pertanyaan tersebut maka dalam makalah ini kita
akan mengkaji lebih dalam mengenai Nasikh dan Mansukh dalam Al-Qur’an
tersebut.
B. Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang masalah di atas, penyusun merumusakan masalah
sebagai berikut:
1. Apa pengertian nasikh dan mansukh?
2. Bagaimana kriteria penetapan nasikh dan mansukh?
3. Apa saja jenis jenis nasikh?
4. Bagaimana pandangan ulama tentang nasikh dan mansukh?
5. Apa hikmah keberadaan nasikh dan mansukh
C. Tujuan Penulisan
Berdasarkan uraian di atas, kami dapat memyimpulkan bahwa tujuan penulisan ini
adalah:
1. Untuk mengetahui pengertian nasikh dan mansukh
2. Untuk mengetahui kriteria penetapan nasikh dan mansukh
3. Untuk mengetahui jenis jenis nasikh
4. Untuk mengetahui pendapat ulama tentang nasikh dan mansukh
5. Untuk mengetahui hikmah keberadaan nasikh dan mansukh
1
BAB II
PEMBAHASAN
2. Tabdil ( Penggantian)
Nasikh dalam arti tabdil, yaitu dimana suatu ayat yang lain digantikan atau
ditukarkan ke suatu tempat ayat yang lain, seperti dalam al-Qur’an surat an-Nahl
ayat 101:
Artinya: “Dan apabila Kami letakkan suatu ayat di tempat ayat yang lain sebagai
penggantinya, padahal Allah lebih mengetahui apa yang diturunkan-Nya, mereka
berkata: “ Sesungguhnya kamu adalah orang yang mengada-adakan saja.” Bahkan
kebanyakan mereka tiada mengetahui”.
4. Naql (pemindahan).
2
Naql yaitu memindahkan dari satu tempat ke tempat lain. Sebagian ulama menolak
makna keempat ini, dengan alasan bahwa si nasikh tidak dapat mendatangkan lafazh
yang di-mansukh itu, tetapi hanya mendatangkan lafazh lain. Adapun bagi segi
terminologi, para ulama mendefinisikan naskh, dengan redaksi yang sedikit
berbeda, tetapi dengan pengertian yang sama, dengan: “ raf’u Al-hukm Al-syar’i bi
Al-khithab Al-syar’i” (menghapuskan hukum syara dengan khitab syara pula) atau
““ raf’u Al-hukm bil Al-dalil Al-syar’i”(menghapuskan hukum syara dengan dalil
syara yang lain). Terminologi “menghapuskan” dalam definisi tersebut adalah
terputusnya hubungan hukum yang dihapus dari seorang mukallaf, dan bukan
terhapusnya substansi hukum itu sendiri.
Dengan keterangan di atas dapat disimpulkan bahwa nasakh berarti menghilangkan
sesuatu atau dengan pengertian lain. An-naskh merupakan masdar dari nasakaha,
yang secara harfiah berarti “ menghapus, memindahkan, mengganti, atau
mengubah”. Dari kata nasakha terbentuk kata an-nasikh dan al-mansukh. Yang
pertma isim fa’il dan yang terakhir isim maf’ul dari nasakha. Secara etimologi, an-
nasikh berarti menghapus, yang mengganti atau yang mengubah. Sedangkan al-
mansukh berarti yang dihapus, yang digantikan atau diubah.
Menurut Quraish Shihab menyatakan bahwa antara ulama-ulama mutaqaddimin dan
muta’akhirin tidak sepakat dalam memberikan pengertian naskh secara terminologi.
Hal itu terlihat dari kontrovensi yang muncul di antara mereka dalam menetapkan
adanya naskh dalam Al-Qur’an. Ulama-ulama mutaqaddimin bahkan memperluas
arti naskh hingga mencakup:
a) Pembatalan hukum yang ditetapkanoleh hukum yang ditetapkan kemudian ;
b) Pengecualian hukum yang bersifat umum oleh hukum yang spesifik yang datang
kemudian;
c) Penjelasan susulan terhadap hukum yang bersifat ambigius; dan
d) Penetapan syarat bagi hukum yang datang kemudian guna membatalkan atau
merebut atau menyatakan berakhirnya masa berlakunya hukum yang terdahulu.
Sementara itu, ulama ushul fiqh mengartikan naikh sebagai pembatal amal
(perbuatan ibadah) dengan hukum syara’ yang datang kemudian, baik
pembatalan itu bersifat jelas ataupun samar, menyeluruh atau pun tidak dengan
alasan kemashalatan umat.
1
1
http://putryrahayu26.blogspot.com/2016/01/nasikh-dan-mansukh-dalam-al-quran.html?m=1 (diakses 17
september 2021)
3
B. Kriteria Penetapan Nasikh dan Mansukh
Manna’ Al-Qaththan menetapkan tiga dasar untuk menegaskan bahwa suatu ayat
dikatakan nasikh (menghapus), dan ayat lain dikatakan mansukh (dihapus). Ketiga
dasar tersebut yaitu:
1. Melalui pentransmisian yang jelas ( ر يحLLل الصLL ) النقdari Nabi atau para
sahabatnya, seperti hadis yang berbunyi”
“Kuntu nahaitukum ‘an ziyarat al-qubur ala fa zuruhu” (aku dahulu
melarang kalian untuk menziyarahi qubur, (sekarang) berziyarahlah). Juga
seperti ugkapan Anas berkaitan dengan Ashab sumur Ma’unah, “ Wa
nuzilah fihim quran qara’nah hatta rufi’a” (untuk mereka telah turun ayat
sampai akhirnya dihapus);
2. Melalui kesepakatan umat bahwa ayat ini nasikh dan ayat itu mansukh ;
3. Melalui studi sejarah, ayat mana yang lebih belakangan turun, sehingga
disebut nasikh, dan ayat mana yang lebih dahulu turun, sehingga disebut
mansukh.
Al- Qaththan menambahkan bahwa nasikh tidak dapat ditetapkan melalui
prosedur ijtihad atau pendapat ahli tafsir karena adanya kontradiksi antara
beberapa dalil bila dilihat dari lahirnya, atau karena belakangan masuk
islamanya salah seorang dari pembawa riwayat.2
4
b. Nasakh Al-Qur’an dengan hadis mutawatir. Nasakh demikian
dibolehkan oleh Malik, Abu Hanifah dan Ahmad dalam satu
riwayat, sebab masing masing keduanya adalah wahyu. Allah
berfirman “Dan tiadalah yang diucapkannya itu menurut kemauan
hawa nafsunya. Ucapannya itu tiada lain hanyalah wahyu yang
diwahyukan (kepadanya).” (an-Najm [53]:3-4), dan firman-Nya
pula:“Dan Kami turunkan kepadamu Qur’an agar kamu
menerangkan kepada umat manusia apa yang telah diturunkan
kepada mereka.” (an-Nahl [16]:44). Dan naskh itu sendiri
merupakan salah satu penjelasan.
3
http://putryrahayu26.blogspot.com/2016/01/nasikh-dan-mansukh-dalam-al-quran.html?m=1 (diakses 17
september 2021)
4
Ibid.hlm.337.
5
Pendapat Ulama tentang Nasikh-Mansukh dan Dalil-Dalilnya secara umum ada tiga
pendapat mengenai Nasakh ini, yaitu :
1) Bahwa Nasakh secara akal bisa terjadi dan secara Sam`i/Syar`i telah
terjadi.
Pendapat ini merupakan ijma` kaum Muslimin, sebab kemunculan Abu Muslim Al-
Ashfahani beserta yang sepaham dengan beliau. Mereka mengemukakan dalil-dalil
kebolehan Nasakh tersebut, baik secara `Aqli maupun secara Sam`i/ Syar`i yaitu:
Dalil Aqli Menurut akal, Nasakh itu tidak dilarang atau akal tidak menganggap
mustahil terjadinya Nasakh itu.
Sebab, Nasakh itu didasarkan atas kebijaksanaan Allah swt yang mengetahui
kemaslahatan hamba-Nya pada sewaktu-waktu. Sehingga Allah menyuruh suatu
perbuatan pada waktu tersebut. Tetapi Allah mengetahui pula mudharat yang
mengancam seseorang pada waktu yang lain.
Sehingga melarang sesuatu perbuatan pada waktu yang lain tadi. Hal ini diperkuat
dengan praktek-praktek, sebagai berikut:
Dokter mula-mula menyuruh minum obat bagi pasien, tetapi setelah sembuh
disuruh berhenti minum obatnya tadi.
Guru mengajar, mula-mula memberikan penjelasan yang mudah, kemudian
diubah dengan diganti pelajaran yang lebih tinggi.
DPR/DPRD juga sering membuat keputusan/peraturan tertentu, yang setelah
berjalan beberapa waktu, lalu diubah dengan diganti keputusan/peraturan yang
lain.
Kalau saja masalah itu tidak boleh menurut akal dan syara`, tentunya tidak boleh
juga syara` membuat peraturan yang terbatas waktunya, karena peraturan yang
terbatas waktunya itu, secara tidak langsung sudah membutuhkan Nasakh. Padahal
kenyataannya, banyak peraturan-peraturan yang demikian itu.
Ini berarti secara rasional "Nasakh"boleh terjadi.
Dalil Sam`i/ Syar`i Al-Zarqany memetakan dalil Sam`i / Syar`i ini menjadi dua
kategori :
Kategori pertama, sebagai argumen terhadap orang Yahudi dan Nasrani, dimana
mereka mengingkari adanya Nasakh terhadap syari`at mereka. Argumen tersebut
antara lain:
Pada masa Nabi Adam, Allah swt memerintahkan Nabi Adam untuk
mengawinkan anak putrinya dengan anak putranya lalu kemudian anak-anak
dari
6
hasil perkawinan putra-putrinya tersebut dipasang-pasangkan satu sama lainnya.
Akan tetapi, pada masa setelahnya Allah menghapus syari`at Nabi Adam
tersebut.
Kategori kedua, sebagai argumen untuk menanggapi bantahan orang Islam sendiri
yang menolak akan adanya Nasakh, seperti Abu Muslim Al-Ashfahany. Argumen
tersebut antara lain:
Al-Ra`du ayat 39
ِ َوا ٱهَّلل ُ َما يَشَٓا ُء َويُ ْثبِتُ َو ِعن َد ٓۥهُ أُ ُّم ٱ ْل ِك ٰت
ب ۟ يَ ْم ُح
Artinya: "Allah menghapuskan apa yang Dia kehendaki dan menetapkan (apa yang
Dia kehendaki), dan di sisi-Nya-lah terdapat Ummul-Kitab (Lauh mahfuzh)" (QS.
Ar-Ra'du 39)
2) Bahwa nasakh tidak mungkin terjadi secara akal maupun Sam`i/ Syar`i.
Pendapat ini adalah dari seluruh kaum Nasrani masa sekarang ini, mereka
menyerang Islam dengan dalih "Nasakh" ini. Mereka beranggapan Nasakh ini
adalah Bada`.
Mereka beralasan terkadang tanpa hikmah dan kadang pula ada hikmahnya. Tetapi
baru diketahui setelah sebelumnya tidak diketahui. Alasan mereka tidaklah benar,
sebab hikmah nasikh (yang menghapus) atau hikmah yang di-mansukh (yang
dihapus) tentu sangat diketahui oleh Allah swt.
Oleh karenanya, ketika Allah swt mengalihkan hambanya dari satu ketentuan
hukum kepada ketentuan hukum yang lain sudah pasti terdapat kemaslahatan
didalamnya. Sebenarnya kaum Yahudi mengakui bahwa syari`ah Nabi Musa a.s itu
me-nasakh kepada hukum-hukum syari`ah sebelumnya dan memang dalam nash-
nash Taurat terdapat beberapa Nasakh, seperti diharamkannya sebagian besar
hayawan atas Bani Israil setelah sebelumnya diperbolehkan memakannya. Allah
swt. Berfirman Ali Imran ayat 93.
7
"semua makanan adalah halal bagi Bani Israil (Ya`qub) untuk dirinya sendiri
sebelum Taurat diturunkan. Katakanlah :(jika kamu mengatakan ada makanan yang
diharamkan sebelum turun Taurat), maka bawalah Taurat itu, lalu bacalah dia jika
kamu orang-orang yang benar"
Dalam kitab Taurat pun juga dituturkan, bahwa Nabi Adam a.s memperbolehkan
kawin antara saudara kandung yang kemudian diharamkan pada masa Nabi Musa
a.s. juga dalam Taurat disebutkan bahwa Nabi Musa mulanya menyuruh membunuh
orang-orang yang menyembah sapi kecil (al-`ijlu), tetapi kemudian melarang hal
tersebut.
3) Nasakh itu menurut akal mungkin terjadi tetapi menurut syara` dilarang
Pendapat ini merupakan pendirian golongan Inaniyah, dan Abu Muslim al-
Ashfahani. Mereka mengakui terjadinya Nasakh menurut logika. Tetapi mereka
mengatakan dilarang secara syara`. Abu Muslim serta yang sependapat dengannya
berdalil dengan al-Qur`an yaitu: surat al-Fusshilat ayat 42:
"yang tidak datang kepadanya (al-Qur`an) kebatilan baik dari depan maupun dari
belakangnya, yang diturunkan dari Tuhan Yang Maha Bijaksana lagi Maha Terpuji"
Mereka menafsirkan ayat ini, bahwa hukum-hukum al-Qur`an itu tidak batal atau
tidak dihapus selamanya.
Padahal menurut al-Qurthuby, maksud dari ayat diatas adalah hukum-hukum al-
Qur`an itu, tidak akan ada kitab selainnya yang akan menghapuskan atau
membatalkan hukum-hukumnya, baik kitab sebelum al-Qur`an maupun setelahnya.
5
5
http://www.laduni.id/post/read/53678/pandangan-ulama-tentang-nasikh-mansukh (diakses 18 September
2021)
6
Manna Khalil al-Qattan, Mabahits Fi Ulum al-Qur`an, diterjemah Mudzakir, (Bogor, Pustaka Lentera Antar
Nusa, 1996), hlm. 334.
8
Menguji kualitas keimanan mukallaf dengan cara adanya perintah yang
kemudian di hapus.
Menghendaki kebaikan dan kemudahan bagi umat. Sebab jika nasakh itu
beralih ke hal yang lebih berat maka di dalamnya terdapat tmabahan pahala,
dan jika beralih ke hal yang lebih ringan maka ia mengandung kemudahan
dan keringanan.7
7
http://putryrahayu26.blogspot.com/2016/01/nasikh-dan-mansukh-dalam-al-quran.html?m=1 (diakses 17
september 2021)
9
BAB III
PENUTUP
F. Kesimpulan
Definisi nasikh:
Secara etimologi : Penghilangan (izalah), penggantian(tablid), pengubahan
(tahwil) dan pemindahan(naql).
Secara terminologi: “raf’u Al-hukm Al-syar’i bi Al-khithab Al-syar’i”
(menghapuskan hukum syara dengan khitab syara pula) atau “raf’u Al-hukm
bil Al-dalil Al-syar’i” ( menghapuskan hukum syara dengan dalil syara yang
lain).
10
G. Saran
Demikian makalah ini saya buat, apabila ada kesalahan baik dalam penjelasan
maupun dalam penulisan, saya mohon maaf . Saya mengharap kritik dan saran yang
membangun agar dapat menjadi sumber rujukan sehingga menjadikan apa yang
saya buat ini lebih baik untuk ke depannya . Semoga makalah ini dapat bermanfaat
bagi saya dan teman-teman sekalian.
11