HIKMAHNYA, MACAM-MACAMNYA
MAKALAH
Disusun untuk memenuhi tugas mata kuliah: Al-Qawaid Al-Ushuliyah
Yang diampu oleh: Abdul jalil, M.H.I.
Oleh:
KELOMPOK 11
1. Ayatur Rohmani (21382012007)
2. Khofifatul Jannah (21382012018)
3. Wildan Hidayatulloh (21382011037)
4. Noer Fawaid (21382011068)
Syukur alhamdulillah penulis panjatkan puja dan puji syukur kehadirat Allah
SWT yang telah melimpahkan rahmat serta hidayah-Nya kepada penulis sehingga
kami dapat menyelesaikan makalah yang berjudul: Pengertian Nasakh, Syarat-
Syaratnya, Hikmahnya, Macam-Macamnya.
Penulis menyadari bahwa keberhasilan penulisan makalah ini tidak terlepas
dari bantuan semua pihak. Oleh karena itu, pada kesempatan ini penulis
mengucapkan terimakasih kepada semua pihak yang telah membantu dalam
penyelesaian makalah ini.
Dalam penulisan makalah ini penulis juga menyadari bahwa terdapat banyak
kekurangan. Untuk itu saran dan kritik yang membangun sangat penulis harapkan
dari pembaca agar kami dapat memberikan yang lebih baik untuk yang
selanjutnya. Semoga Makalah ini dapat memberi manfaat yang berkelanjutan bagi
pembaca ataupun penulis.
KELOMPOK-11
ii
DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR............................................................................................ii
DAFTAR ISI.........................................................................................................iii
BAB I PENDAHULUAN.......................................................................................1
A. Latar Belakang...........................................................................................1
B. Rumusan Masalah.....................................................................................1
C. Tujuan Penulisan.......................................................................................2
BAB II PEMBAHASAN........................................................................................3
A. Pengertian Nasakh.....................................................................................3
B. Syarat-Syaratnya Nasakh...........................................................................3
C. Hikmahnya Nasakh...................................................................................6
D. Macam-Macam Nasakh...........................................................................10
BAB III PENUTUP..............................................................................................13
A. Kesimpulan..............................................................................................13
B. Saran-saran..............................................................................................13
DAFTAR PUSTAKA...........................................................................................14
iii
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
B. Rumusan Masalah
1
C. Tujuan Penulisan
1.
2
BAB II
PEMBAHASAN
A. Pengertian Nasakh
Dari segi etimologi, kata ini dipakai untuk beberapa pengertian: pembatalan,
penghapusan, pemindahan dan pengubahan.1 Secara istilah yang berarti proses
penghapusan atau pembatalan hukum syar'i yang telah ada untuk kemudian
digantikan dengan hukum syar'i yang datang kemudian.
Ulama mutaqaddim memberi batasan nasakh sebagai dalil syar’I yang
ditetapkan kemudian, tidak hanya untuk ketentuan/hukum yang mencabut
ketentuan/hukum yang sudah berlaku sebelumnya, atau mengubah
ketentuan/hukum pertama yang dinyatakan berakhir masa pemberlakuannya, sejauh
hukum tersebut tidak dinyatakan berlaku terus menerus, tapi juga mencakup
pengertian pembatasan (qaid) bagi suatu pengertian bebas (muthlaq). Nasakh juga
dapat mencakup pengertian pengkhususan (makhasshish) terhadap suatu pengertian
umum (‘am), bahkan juga pengertian pengecualian (istitsna), demikian pula pengertian
syarat dan sifatnya.2
B. Syarat-Syaratnya Nasakh
1
Terdapat selisih pendapat dalam memaknai nasakh ini disebabkan arti secara bahasa dan
istilah terdapat ikatan yang sulit diberikan batasannya. Sedangkan Zaid menjelaskan bahwa
naskh memiliki arti memindahkan (an-naql), membatalkan (al-ibthal), dan menghapus (al-izalah). Lihat
dalam Mushthafa Zaid, An-Naskh fi Al-Quran al-Karim Jilid I, (Beirut: Dar al-Fikr, 1951), hlm. 86; Lihat
juga definisi nasikh mansukh Al-Syatibi dalam Al-Muwafaqat fi Ushul Al-Syari’at, Jilid III, (Beirut: Dar
al-Ma’arif, 1975), hlm. 108.
2
Galuh Nashrullah Kartika Mayangsari R, Nasakh Dalam Hukum Islam, jurnal AN-NISBAH,
Vol. 02, No. 02, April 2016, 27
3
c. Nasikh harus berupa dalil-dalil syara’.Kalau nasikh bukan dalil syara’,
seperti mati maka tidak disebut nasakh. Tidak adanya hokum terhadap
orang yang sudah mati dapat diketahui akal tanpa petunjuk syara’.
d. Mansukh tidak dibataskan kepada sesuatu waktu.Seperti kebolehan makan
dan minum pada malam hari puasa dibataskan kepada waktu fajar. Kalau
sudah terbit fajar, makan dan minum tidak dibolehkan lagi. Meskipun
menghapuskan kebolehan makan dan minum , namun ,tidak disebut
nasakh. Hukum pertama dengan sendirinya akan hilang, apabila waktu
yang disebutkan telah habis. Mansukh harus hukum-hukum syara’.Yang
bisa dibatalkan (mansukh) hanyalah hukum syara’.Tidak semua nas-nas
Qur’an dan hadist dapat dinasakh. Ada nas-nas yang sudah pasti dan tidak
bisa dinasakh sama sekali, yaitu :
1) Nas-nas yang berisi hukum-hukum pokok, baik yang berhubungan
dengan kepercayaaan dan pokok-pokok ibadah, atau yang
berhubungan dengan pokok-pokok keutamaan, seperti adil, kejujuran
dan lain-lain, atau melarang perbuatan-perbuatan yang hina seperti
mempersekutuan Tuhan, membunuh, mencuri dan lain-lain.
2) Nas-nas yang berisi hukum-hukum yang abadi seperti firman Tuhan:
“Jangan kamu terima persaksian mereka selamanya”. (An Nur ayat 4)
3) Nas-nas yang berisi pemberitaan sesuatu kejadian baik yang lewat
ataupun yang akan datang, seperti peristiwa Musa dengan Fir’aun,
akan datangnya kiamat dan lain-lain.
4) Ketiga macam nas tersebut sama sekali tidak bisa dinasakh.
3
A. .Hanafi, Ushul Fiqh, (Jakarta: AKA Jakarta, 1989), h.93
4
2) Hadist dinasakh dengan Qur’an.
b. Adanya hukum baru sebagai pengganti hukum yang dibatalkan.
Hukum yang ada pada nas yang dinaskhkan adakalanya :
1) Menurut perbuatan, atau
2) Melarang perbuatan, atau
3) Membolehkan perbuatan.
Dalil yang membatalkan (nasikh) adakalanya :
1) Membatalkan hukum-hukum tersebut semata-mata, atau
2) Membatalkan hukum-hukum tersebut dan mengadakan hukum lain,
tetapi tidak lepas dari ketiga macam hukum tersebut, seperti,
menziarahi kuburan yang mula-mula diharamkan, kemudian di
bolehkan.
Kalau menghapuskan hukum semata-mata, maka hukum perbuatan tersebut
kembali kepada “ibadah asliyyah” (hukum kebolehan yang asal) dengan tidak
usah memerlukan hukum yang baru. Terserah kepada kita untuk mengerjakan
atau meninggalkannya.
Pendapat lain mengharuskan adanya hukum baru sebagai pengganti. Dalam
ayat 106 Al Baqarah disebutkan, apabila ada pembatalan sesuatu ayat, tentu
diberikan gantinya yang lebih baik atau yang sama tingkatnya.
a. Hukum pengganti lebih berat daripada hukum yang dibatalkan.
Yang sudah disepakati ulama usul, ialah bahwa pengganti lebih
ringan atau sama beratnya dengan yang dibatalkan. Jika pengganti tersebut
lebih berat, maka terdapat dua pendapat, yaitu yang membolehkan dan
yang tidak membolehkannya. Alasan yang tidak membolehkan :
Tuhan menghendaki kemurahan bagimu dan tidak menghendaki
kesulitan (Al Baqarah ayat 185)
5
Memberi beban yang lebih berat sesudah yang ringan, bukan berarti
memudahkan, bahkan berlawanan dengan kedua ayat tersebut. Alasan
yang membolehkan :
Adanya taklif (beban) dari syara’ kepada umat, adalah untuk menjadikan
kepentingan umat itu sendiri. Adakalanya kepentigan- kepentingan umat tidak
dapat terpelihara kecuali dengan adanya taklif yang lebih berat. Karena itu tidak
ada alasan untuk menolak adanya taklif tersebut.4
Kedua ayat diatas (Al Baqarah ayat 185 dan An Nisa ayat 28) tidak
bersangkut paut dengan pembicaraan disini. Maksud ayat pertama, ialah memberi
kemurahan bagi orang-orang yang sakit atau bepergian untuk berpuasa Ramadhan
pada hari-hari lainnya. Ayat kedua menerangkan keringan bagi mereka yang tidak
berkuasa mengawini orang merdeka untuk mengawini budak perempuan. Hal
ini ditunjukkan oleh syaqul kalam (rangkain pembicaraan).5
Sebenarnya kalau kita perhatikan hukum-hukum agama akan banyak kita
dapati hukum-hukum yang asal ringan, kemudian diberatkan. Sebagai contoh:
1) Arak mula-mula dibolehkan, kemudian diharamkan.
2) Puasa Asyura (hari kesepuluh bulan Muharram) diganti dengan puasa
Ramadhan sebulan lamanya.
3) Boleh menunda salat waktu bertempur, kemudian diwajibkan
mengerjakannya meskipun dalam pertempuran.
C. Hikmahnya Nasakh
4
Ibid.96
5
Ibid
6
Abdul Djalal, Ulumul Qur’an,Cet. II (Surabaya: Dunia Ilmu, 2000), hlm. 148-149
6
2. Selalu menjaga kemaslahatan hamba agar kebutuhan mereka senantiasa
terpelihara dalam semua keadaan dan di sepanjang zaman Untuk menjaga
perkembangan hukum Islam selalu relevan dengan semua situasi dan kondisi
umat, dari yang sederhana sampai yang tingkat sempurna.
3. Untuk menguji muallaf, apakah mereka setia atau tidak dengan adanya
perubahan dan penggantian-penggantian dari nasakh itu.
4. Untuk menambah kebaikan dan pahala bagi hamba yang selalu setia
mengamalkan hukum-hukum perubahan, walaupun dari yang mudah ke yang
sukar.
5. Untuk memberi dispensasi dan keringanan bagi umat Islam.
Adapun jenis-jenis hikmah nasikh mansukh ada empat, sebagai berikut:7
a. Nasakh tanpa pengganti
Terkadang ada nasakh terhadap hukum, tetapi tidak ditentukan hukum
lain sebagai penggantinya. Contohnya nasakh pada ayat 12 surat al-
Mujadilah yang diganti dengan ayat 13 surat al-Mujadilah, hukum tersebut
telah dihapuskan namun sudah tidak disebutkan lagi hukum penggantinya.
Hikmahnya adalah menjaga kemashlahatan manusia, mereka tidak harus
mempersiapkan sedekah terlebih dahulu untuk berbicara kepada Nabi
SAW. 8
b. Nasakh dengan pengganti yang sebanding
Sebagian besar naskh itu melahirkan hukum baru sebagai
penggantinya dan sering penggantinya itu seimbang dan sebanding dengan
hukum terdahulu. Contohnya me-nasakh hukum menghadap kiblat kearah
Baitul Muqaddas di Palestina:9
7
Ibid., hlm. 149-151
8
Ibid., hlm. 149
9
Ibid., hlm. 149-150
10
Al-Baqarah (2) : 144
7
c. Nasakh dengan pengganti yang lebih berat
Nasakh sesuatu ketentuan yang diganti degan ketentuan lain yang
lebih berat dari yang diganti. Misalnya ayat An-Nisa ayat 15 berikut:
Kemudian di nasakh dengan ketentuan yang lebih berat dengan turun ayat
berikut:
ة فِيٞ َوا ُك َّل ٰ َو ِح ٖد ِّم ۡنهُ َما ِماَْئةَ َج ۡلد ٖ َۖة َواَل ت َۡأ ُخ ۡذ ُكم بِ ِه َما َر ۡأف
ْ ٱجلِ ُد
ۡ َٱل َّزانِيَةُ َوٱل َّزانِي ف
٢ ِ ِدي ِن ٱهَّلل12
Perempuan yang berzina dan laki-laki yang berzina, maka deralah tiap-
tiap seorang dari keduanya seratus dali dera, dan janganlah belas kasihan
kepada keduanya mencegah kamu untuk (menjalankan) agama Allah.
8
Dihalalkan bagi kamu pada malam hari bulan puasa bercampur dengan
isteri-isteri kamu.
D. Macam-Macam Nasakh
Beberapa waktu kemudian turunlah ayat yang isinya ditetapkan bahwa masa
tenggang bagi janda hanya 4 bulan 10 hari, hal itu termaktub dalam ayat berikut:
15
Abdul Djalal, Ulumul Qur’an,Cet. II (Surabaya: Dunia Ilmu, 2000), hlm. 141, lihat juga
Subhiy Ash-Sholih dalam Mabahits fi Ulum al-Qur’an (Beirut: Dar al-Ilm al-Malayin, 1988),
hlm. 262
16
Al-Baqarah (2) : 240
17
Al-Baqarah (2) : 234
18
Subhiy Ash-Sholih, Mabahits fi Ulum al-Qur’an (Beirut: Dar al-Ilm al-Malayain. 1988) hlm.
261, lihat juga Manna al-Qaththan, Mabahits fi Ulum Al-Qur’an.... hlm 237
9
Imam Malik, Abu Hanifah dan Ahmad memperbolehkannya, dengan alasan as-
Sunnah itu juga wahyu (artinya Nabi memberikan hukum juga setelah mendapat
wahyu dari Allah. Sesuatu yang dilakukan Nabi SAW juga bukan merupakan
hawa nafsu.19
Ada beberapa problem dalam bagian nasikh ini, sebagian besar ulama
menolaknya, mereka mengatakan bahwa tidak masuk akal jika ayat Al-Qur’an
dihapus oleh al-Sunnah. Diriwayatkan oleh Abu Musa al-Hafidz bahwa Yahya ibn
Katsir mengatakan bahwa al-Sunnah dapat diganti oleh al-Qur’an dan bukan al-
Qur’an yang digantikan oleh al-Sunnah. 20
Djalal dalam Ulumul Qur’an, boleh nasakh model ini, namun nasakh dengan
hadits ahad tidak diperbolehkan oleh jumhur ulama. Hal itu dikarenakan, al-
Qur’an datangnya mutawatir dan memberikan faedah yang meyakinkan,
sedangkan hadits ahad memberikan faedah yang dzanni (dugaan saja).21
Asy-Syuyuti mengatakan bahwa dibolehkan me-nasakh al_qur’an dengan as-
Sunnah karena sesungguhnya as-Sunnah itu juga dari Allah, Allah berfirman:22
23
٣ نط ُق َع ِن ۡٱلهَ َو ٰ ٓى
ِ ََو َما ي
dan tiadalah yang diucapkannya itu (Al-Quran) menurut kemauan hawa
nafsunya.
10
د َٰىMُت ِّمنَ ۡٱله ٖ َاس َوبَيِّ ٰن
ِ َّدى لِّلنMٗ Mُان ه ُ ر َءMۡ Mُ ِه ۡٱلقMز َل فِيM ِ Mي ن
انَ ٱلَّ ِذ ٓ ُأMض َ ۡه ُر َر َمMَش
فَ ٖرMMان فَ َمن َش ِه َد ِمن ُك ُم ٱل َّش ۡه َر فَ ۡليَصُمۡ ۖهُ َو َمن َكانَ َم ِريضًا َأ ۡو َعلَ ٰى َس ِ ۚ ََو ۡٱلفُ ۡرق
َوا ۡٱل ِع َّدة
ْ ُخَر ي ُِري ُد ٱهَّلل ُ بِ ُك ُم ۡٱلي ُۡس َر َواَل ي ُِري ُد بِ ُك ُم ۡٱلع ُۡس َر َولِتُ ۡك ِملَ ۗ ة ِّم ۡن َأي ٍَّام ُأٞ فَ ِع َّد
١٨٥25 َعلَ ٰى َما هَد َٰى ُكمۡ َولَ َعلَّ ُكمۡ ت َۡش ُكرُون ْ َولِتُ َكبِّر
َ َ ُوا ٱهَّلل
(Beberapa hari yang ditentukan itu ialah) bulan Ramadhan, bulan yang di
dalamnya diturunkan (permulaan) Al Quran sebagai petunjuk bagi manusia
dan penjelasan-penjelasan mengenai petunjuk itu dan pembeda (antara
yang hak dan yang bathil). Karena itu, barangsiapa di antara kamu hadir
(di negeri tempat tinggalnya) di bulan itu, maka hendaklah ia berpuasa
pada bulan itu, dan barangsiapa sakit atau dalam perjalanan (lalu ia
berbuka), maka (wajiblah baginya berpuasa), sebanyak hari yang
ditinggalkannya itu, pada hari-hari yang lain. Allah menghendaki
kemudahan bagimu, dan tidak menghendaki kesukaran bagimu. Dan
hendaklah kamu mencukupkan bilangannya dan hendaklah kamu
mengagungkan Allah atas petunjuk-Nya yang diberikan kepadamu, supaya
kamu bersyukur.
Akan tetapi Imam Syafi’i menolak ketetapan ini, karena semua yang
ditetapkan dalam hadits Nabi tentu sudah didukung oleh al-Qur’an, hal itu berarti
ketetapan al-Qur’an tidak bertentangan dengan al-Sunnah atau saling bersinergi.26
4. Nasakh al-Sunnah dengan al-Sunnah
Sebagian besar ulama tidak setuju dengan nasakh ini, hal itu dikarenakan
Nabi SAW tidak mungkin memberikan syariat untuk umatnya kecuali mendapat
petunjuk dan wahyu dari Allah SWT, dan semua yang di sunnahkan Nabi
merupakan perkara syariat bukan dari hawa nafsu. Contohnya me-nasakh wudhu
yang semula dianjurkan setelah makan sate, kemudian beliau me-nasakh-nya,
beliau tidak berwudhu setelah makan sate.27
261
25
Al-Baqarah (2) : 185
26
Subhiy Ash-Sholih, Mabahits fi Ulum al-Qur’an..... hlm 261
27
Ibid., hlm 261-262
11
BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
Teori Nasakh yang terdapat dalam ulumul Qur’an dapat dipakai untuk beberapa
pengertian: pembatalan, penghapusan, pemindahan dan pengubahan. Teori nasakh
dalam al-Qur’an, menurut Ulama mutaqaddim memberi batasan naskh sebagai dalil
syar’i yang ditetapkan kemudian, mencakup pengertian pembatasan (qaid) bagi
suatu pengertian bebas (muthlaq) dan pengkhususan (makhasshish) terhadap suatu
pengertian umum (‘am) serta pengecualian (istitsna).
Hikmah adanya naskh adalah:
1. Untuk kemashlahatan bersama agar kebutuhan selalu terpelihara sepanjang
zaman.
2. Menjaga perkembangan hukum Islam agar relevan mulai dari yang
sederhana hingga yang tingkat sempurna.
3. Untuk menguji mukallaf (orang ynag baru masuk Islam), dengan
perubahan tersebut apakah mereka tetap menaati peraturan atau tidak.
Menambah kebaikan dan pahala bagi hamba yang setia, karena perubahan
terkadang membuat orang menjadi goyah imannya. Semakin sulit menjalankan
peraturan Tuhan, maka semakin besar pahala yang didapat.
Macam-Macam Nasakh
1. Nasakh Al-Qur’an dengan Al-Qur’an
2. Nasakh Al-Qur’an dengan as-Sunnah
3. Nasakh al-Sunnah dengan Al-Qur’an
4. Nasakh al-Sunnah dengan al-Sunnah
B. Saran-saran
Menyadari bahwa penulis masih jauh dari kata sempurna, kedepannya penulis
akan lebih fokus dan details dalam menjelaskan tentang makalah di atas dengan
sumber-sumber yang lebih banyak yang tentunya dapat di pertanggung jawabkan.
Untuk saran bisa berisi kritik atau saran terhadap penulisan juga bisa untuk
menanggapi terhadap kesimpulan dari bahasan makalah yang telah di jelaskan.
12
Untuk bagian terakhir dari makalah adalah daftar pustaka. Pada kesempatan lain
akan saya jelaskan tentang daftar pustaka makalah
DAFTAR PUSTAKA
Abdul Djalal, Ulumul Qur’an,Cet. II (Surabaya: Dunia Ilmu, 2000), hlm. 141,
lihat juga Subhiy Ash-Sholih dalam Mabahits fi Ulum al-Qur’an (Beirut:
Dar al-Ilm al-Malayin, 1988).
Abdul Djalal, Ulumul Qur’an,Cet. II (Surabaya: Dunia Ilmu, 2000), hlm. 142,
lihat juga Subhiy Ash-Sholih, Mabahits fi Ulum al-Qur’an (Beirut: Dar al-
Ilm al-Malayain. 1988).
Galuh Nashrullah Kartika Mayangsari R, Nasakh Dalam Hukum Islam, jurnal AN-
NISBAH, Vol. 02, No. 02, September 2022
https://www.scribd.com/doc/251703069/Makalah-Nasikh-Mansukh-rtf. Diakses
tanggal 28 September 2022
13