Anda di halaman 1dari 11

NASIKH WAL MANSUKH

Disusun Untuk Memenuhi Tugas Kelompok Dan Dipresentasikan


Pada Mata Kuliah Ulumul Qur’an

Dosen Pengampu:
Hari Khoirur Rozikin, SQ., S.Pd.I., M.Pd.

Oleh:

Kelompok 2
1. Muhammad Fahmi Toriq
2. Khafid Almuh Soni

PRODI S-1 PENDIDIKAN AGAMA ISLAM


SEKOLAH TINGGI ILMU TARBIYAH
AL-URWATUL WUTSQO JOMBANG
KATA PENGANTAR

Dengan menyebut nama Allah SWT yang Maha Pengasih lagi Maha Panyayang, Kami
panjatkan puja dan puji syukur atas kehadirat-Nya, yang telah melimpahkan rahmat, hidayah,
dan inayah-Nya kepada kami, sehingga kami dapat menyelesaikan makalah tentang Nasikh
Wal Mansukh.
Makalah ini telah kami susun dengan maksimal dan mendapatkan bantuan dari berbagai
pihak sehingga dapat memperlancar pembuatan makalah ini. Untuk itu kami menyampaikan
banyak terima kasih kepada semua pihak yang telah berkontribusi dalam pembuatan makalah
ini. Terlepas dari semua itu, Kami menyadari sepenuhnya bahwa masih ada kekurangan baik
dari segi susunan kalimat maupun tata bahasanya. Oleh karena itu dengan tangan terbuka
kami menerima segala saran dan kritik dari pembaca agar kami dapat memperbaiki makalah
ini. Akhir kata kami berharap semoga makalah ini memberikan manfaat maupun inpirasi
terhadap pembaca.

2
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR...........................................................................................................................2
DAFTAR ISI.........................................................................................................................................3
BAB I PENDAHULUAN......................................................................................................................4
A. LATAR BELAKANG..................................................................................................................4
B. RUMUSAN MASALAH..............................................................................................................4
BAB II PEMBAHASAN.......................................................................................................................5
A. PENGERTIAN.............................................................................................................................5
B. RUKUN DAN SYARAT NASIKH..............................................................................................5
C. JENIS-JENIS NASKH..................................................................................................................6
E. BENTUK-BENTUK NASIKH.....................................................................................................7
F. KEDUDUKAN DAN HIKMAH KEBERADAAN NASKH........................................................8
G. Cara mengetahui nasikh dan mansukh..........................................................................................9
BAB III PENUTUP.............................................................................................................................10
A. KESIMPULAN..........................................................................................................................10
DAFTAR KEPUSTAKAAN.................................................................................................................II

3
BAB I
PENDAHULUAN

A. LATAR BELAKANG
Dari awal hingga akhir, al-Qur'an merupakan kesatuan utuh. Tak ada pertentangan satu
dengan lainnya. Masing-masing saling menjelaskan bagian satu pada yang lain. Dari segi
kejelasan, ada empat tingkat pengertian. Pertama, cukup jelas bagi setiap orang. Kedua,
cukup jelas bagi yang bisa berbahasa Arab. Ketiga, cukup jelas bagi ulama/para ahli, dan
keempat, hanya Allah yang mengetahui maksudnya.

Dalam al-Qur'an dijelaskan tentang adanya induk pengertian hunna umm al-kitab yang
sudah mempunyai kekuatan hukum tetap. Ketentuan-ketentuan induk itulah yang
senantiasa harus menjadi landasan pengertian. sejalan dengan sistematisasi interpretasi
dalam ilmu hukum, hubungan antara ketentuan undang-undang yang hendak
ditafsirkan dengan ketentuan-ketentuan lainnya dari undang-undang tersebut maupun
undang-undang lainnya yang sejenis, yang harus benar-benar diperhatikan supaya tidak
ada kontradiksi antara satu ayat dengan ayat lainnya.

Hal ini untuk menjamin kepastian hukum. Sementara, unsur-unsur bahasa, sistem dan
teologi dari teori interpretasi hukum masih harus dilengkapi dengan satu unsur lain yang
tidak kalah pentingnya. yaitu unsur sejarah yang melatarbelakangi terbentuknya suatu
undang-undang.

Dalam ilmu tafsir ada yang disebut asbab al-nuzul, yang mempunyai unsur historis
cukup nyata. Dalam kaitan ini para mufassir memberi tempat yang cukup tinggi
terhadap pengertian ayat al-Qur'an. Dalam konteks sejarah yang menyangkut interpretasi
itulah kita membicarakan masalah nasikh-mansukh.

B. RUMUSAN MASALAH
Dalam hal ini, masalah yang terpenting untuk kita soroti adalah:

1. Apakah pengertian nasikh dan mansukh?


2. Apakah rukun dan syarat naskh?
3. Apa saja jenis–jenis naskh?
4. Bagaimana kedudukan dan hikmah keberadaan naskh?
5. Bagaimana cara mengetahui naskh dan? Mansukh

4
BAB II
PEMBAHASAN

A. PENGERTIAN
Nasikh-Mansukh berasal dari kata naskh. Dari segi etimologi, kata ini dipakai untuk
beberapa pengertian:

a. Nasikh, dapat bermakna ‘izalah (menghilangkan).


b. Nasikh dapat bermakna tabdil (mengganti/menukar).
c. Nasikh dapat bermakna tahwil (memalingkan).
d. Nasikh dapat bermakna menukilkan dari suatu tempat ke tempat yang lain.

Diantara pengertian etimologi itu ada yang dibakukan menjadi pengertian terminologis.
Perbedaan terma yang ada antara ulama mutaqaddim dengan ulama mutaakhkhir terkait
pada sudut pandangan masing-masing dari segi etimologis kata naskh itu.

Ulama mutaqaddim memberi batasan naskh sebagai dalil syar'i yang ditetapkan
kemudian, tidak hanya untuk ketentuan/hukum yang mencabut ketentuan/hukum yang
sudah berlaku sebelumnya, atau mengubah ketentuan/hukum yang pertama yang
dinyatakan berakhirnya masa pemberlakuannya, sejauh hukum tersebut tidak
dinyatakan berlaku terus menerus, tapi juga mencakup pengertian pembatasan bagi
suatu pengertian bebas (muthlaq). Juga dapat mencakup pengertian pengkhususan
(makhasshish) terhadap suatu pengertian umum ('am). Bahkan juga pengertian
pengecualian (istitsna).

Sebaliknya ulama mutaakhkhir memperciut batasan-batasan pengertian tersebut untuk


mempertajam perbedaan antara nasikh dan makhasshish, muqayyid, dan lain
sebagainya, sehingga pengertian naskh terbatas hanya untuk ketentuan hukum yang
datang kemudian, untuk mencabut atau menyatakan berakhirnya masa pemberlakuan
ketentuan hukum yang terdahulu, sehingga ketentuan yang diberlakukan ialah
ketentuan yang ditetapkan terakhir dan menggantikan ketentuan yang
mendahuluinya. Dengan demikian tergambarlah, di satu pihak naskh mengandung lebih
dari satu pengertian, dan di lain pihak dalam perkembangan selanjutnya naskh
membatasinya hanya pada satu pengertian[2].

B. RUKUN DAN SYARAT NASIKH


Sesuai dengan sistematisasi interpretasi dalam ilmu hukum, hubungan antara ketentuan
hukum satu dengan yang lainnya harus benar-benar diperhatikan supaya tidak ada
kontradiksi antara satu ayat dengan ayat lainnya. Sejalan dengan hal tersebut, ada
beberapa rukun dan syarat yang harus diterapkan:

5
1. Adat naskh, adalah pernyataan yang menunjukkan adanya pembatalan hukum yang
telah ada.
2. Nasikh, yaitu dalil kemudian yang menghapus hukum yang telah ada. Pada
hakikatnya, nasikh itu berasal dari Allah, karena Dialah yang membuat hukum dan
menghapusnya.
3. Mansukh, yaitu hukum yang dibatalkan, yang dihapuskan, atau dipindahkan.
4. Mansukh ‘anh, yaitu orang yang dibebani hukum.

Adapun syarat-syarat naskh:

1. Yang dibatalkan adalah hukum syara’.


2. Pembatalan itu datangnya dari tuntutan syara’.
3. Pembatalan hukum tidak disebabkan oleh berakhirnya waktu pemberlakuan hukum,
seperti perintah Allah tentang kewajiban berpuasa tidak berarti dinasikh setelah
selesai melaksanakan puasa tersebut.
4. Tuntutan yang mengandung naskh harus datang kemudian.

C. JENIS-JENIS NASKH
Masalah pertama yang ingin disoroti dalam bagian ini ialah adanya naskh antara satu
syari'at dengan syari'at lainnya. Ini terjadi sebagaimana dapat kita amati antara syari'at
hukum agama Islam dengan syari'at Nabi Isa as yang lebih dahulu ada. Dalam
hubungan ini, dapat kita katakan bilamana kita mengikrarkan Islam sebagai syari'at,
dengan sendirinya kita mengaku adanya naskh, karena syari'at-syari'at sebelumnya
tidak akan kita anut lagi dan semua hukumnya pun tidak akan kita berlakukan, sepanjang
tidak dikukuhkan kembali oleh syari'at Nabi Muhammad saw. [4]

Jika sudah melihat adanya nasikh-mansukh antar syari'at, di dalam satu syari'at juga
terjadi nasikh-mansukh antara hukum yang satu dengan hukum yang lainnya. Kembali
pada syari'at Islam sendiri, akan menemui beberapa kasus. Seperti Sesudah hijrah ke
Madinah, kaum Muslim masih berkiblat ke arah Bait al-Muqaddas. Sekitar enam bulan
kemudian, Allah menetapkan ketentuan lain. Keharusan berkiblat ke arah Bait al-
Haram[5]. Ini berarti terjadi nasikh-mansukh dalam hukum kiblat. Kasus-kasus yang
digambarkan di atas, semuanya menyangkut bidang ibadat. Di bidang lain ada pula
perubahan-perubahan yang menyangkut ketentuan hokum pembelaan diri, tentang
minuman keras dan sebagainya.

Dari seluruh kasus-kasus tersebut berimplikasi bahwa memang terbukti adanya nasikh-
mansukh yang sifatnya intern dalam syari'at Islam. Beberapa ketentuan hukum yang
sudah berlaku, kemudian dicabut atau berakhir masa pemberlakuannya dan diganti dengan
ketentuan hukum lain.

Jenis nasikh-mansukh yang diuraikan diatas, menyangkut segi formalnya. Jenis lain yang
menyangkut segi materialnya, ada yang bersifat eksklusif (sharih) dan inklusif (dlimmi).

6
Untuk yang bersifat sharih, nasikh itu langsung menjelaskan mansukhnya, misalnya
hukum kiblat. Ketentuan yang nasikh (pengganti) ditetapkan secara jelas. Sedangkan
contoh lain misalnya hukum ziarah kubur. Didalam hadits disebutkan, pernah
dilarang dalam melakukan ziarah kubur. Selanjutnya, ayat itu ternasikh oleh ayat
yang membolehkannya seorang ziarah kubur. Berbeda dengan hal tersebut diatas, nasikh
yang bersifat dlimmi tidak memuat penegasan didalamnya bahwa ketentuan yang
mendahuluinya tercabut, tetapi isinya cukup jelas bertentangan dengan ketentuan yang
mendahuluinya.[6]

D. MACAM-MACAM NASIKH

1. Al-Quran dinasikhkan dengan Al-Quran

Ulama Sepakat Mengatakan ini diperbolehkan. Demikian juga mengenai jatuhnya.


Umpama menurut ayat masa iddah bagi perempuan itu lamanya satu tahun. Ayat iddah
ini ternasikhkan oleh ayat lain. Masa iddah itu cukup empat bulan sepuluh hari.

2. Al-Quran dinasikhkan dengan Sunnah

Yang termasuk dalam hal ini, terdapat dua macam definisi, yaitu:

Pertama, Al-Quran dinasikhkan dengan Hadist Ahad. Menurut jumhur tidak


diperbolehkan, karena Al-Quran itu mutawatir, harus diyakini. Sedangkan hadist ahad
masih diragukan.

Kedua, Al-Quran dinasikhkan dengan Hadist Mutawatir. Hal ini diperbolehkan menurut
imam malik, abu hanifah dan ahmad bin hambal.

3. Sunnah dinasikhkan dengan Al-Quran

Ini diperbolehkan menurut jumhur. Menghadap sembahyang ke baitul mukaddis itu


ditetapkan oleh sunnah, sedangkan di dalam Al-Quran tidak ada yang menunjukkan
demikian itu. Di sini dinasikhkan oleh Al-Quran QS 2:144.

4. Sunnah dinasikhkan dengan Sunnah

Yang termasuk golongan ini ada empat macam, yaitu:

1. Mutawatir dinasihkan dengan mutawatir pula.


2. Ahad dinasihkan dengan ahad pula.
3. Ahad dinasikhkan dnegan mutawatir.
4. Mutawatir dinasikhkan dengan ahad.

E. BENTUK-BENTUK NASIKH
Nasikh di dalam Al-quran terdapat tiga bentuk, yaitu:

7
1. Nasikh tilawah dan hukumnya sekaligus.

Contoh : ayat yang menyatakan 10 kali penyusuan mengharamkan pernikahan.


Aisyah berkata:

‫صلَّى هَّللا ُ َعلَ ْي ِه‬


َ ‫ت فَتُ ُوفِّ َي َرسُو ُل اللَّ ِه‬
ٍ ‫س َم ْعلُو َما‬ٍ ‫ت يُ َح ِّر ْمنَ ثُ َّم نُ ِس ْخنَ بِ َخ ْم‬ٍ ‫ت َم ْعلُو َما‬ َ ‫َكانَ فِي َما ُأ ْن ِز َل ِمنَ ْالقُرْ آ ِن َع ْش ُر َر‬
ٍ ‫ض َعا‬
‫ َو َسلَّ َم َوه َُّن فِي َما يُ ْق َرُأ ِمنَ ْالقُرْ آ ِن‬.

Dahulu di dalam apa yang telah diturunkan di antara Al-Qur’an adalah: “Sepuluh kali
penyusuan yang diketahui, mengharamkan”, kemudian itu dinaskh (dihapuskan) dengan:
“Lima kali penyusuan yang diketahui”. Kemudian Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam
wafat dan itu termasuk yang dibaca di antara Al-Qur’an. [HR. Muslim, no: 1452]

2. Nasikh hukum dan tetap adanya tilawah.

Contohnya firman Allah Azza wa Jalla ( Q.S Al-Anfal : Ayat 65 )

‫صابِرُونَ يَ ْغلِبُوا ِماَئتَي ِْن َوِإن يَّ ُكن ِّم ْن ُك ْم ِماَئةٌ يَ ْغلِبُوا َأ ْلفًا‬ َ َ‫رِّض ْال ُمْؤ ِمنِينَ َعلَى ْالقِتَا ِل ِإن يَ ُكن ِّمن ُك ْم ِع ْشرُون‬
ِ ‫يَآَأيُّهَا النَّبِ ُّي َح‬
َ‫ِّمنَ الَّ ِذينَ َكفَرُوا بَِأنَّهُ ْم قَوْ ٌم الَ يَ ْفقَهُون‬

Kemudian hukum ini dihapus dengan firman Allah selanjutnya.

‫ف يَ ْغلِبُوا َأ ْلفَي ِْن بِِإ ْذ ِن‬


ٌ ‫صابِ َرةٌ يَ ْغلِبُوا ِماَئتَي ِْن َوِإن يَ ُك ْن ِّم ْن ُك ْم َأ ْل‬ َ ‫ْالَئانَ خَ فَّفَ هللاُ عَن ُك ْم َو َعلِ َم َأ َّن فِي ُك ْم‬
َ ٌ‫ض ْعفًا فَِإن يَ ُكن ِّمن ُكم ِّماَئة‬
َ‫هللاِ َوهللاُ َم َع الصَّابِ ِرين‬

3. Menasikhkan tilawah disamping tetapnya hukum.

Contoh: lafazh ayat rajm, disebutkan oleh sebagian riwayat dengan bunyi:

ِ ‫ال َّش ْي ُخ َوال َّش ْي َخةُ ِإ َذا زَ نَيَا فَارْ ُج ُموهُ َما ْالبَتَّةَ نَ َكاالً ِمنَ هللاِ َو هللاُ ع‬
‫َز ْي ٌز َح ِك ْي ٌم‬

Laki-laki tua dan perempuan tua apabila berzina, maka rajamlah keduanya. Pembalasan
itu pasti dari Allah. Dan Allah itu maha Gagah lagi Maha Bijaksana. [8].

F. KEDUDUKAN DAN HIKMAH KEBERADAAN NASKH


Masalah naskh bukanlah sesuatu yang berdiri sendiri. Ia merupakan bagian yang
berada dalam disiplin Ilmu Tafsir dan Ilmu Ushul Fiqh. Dalam kaitan ini Imam Subki
menerangkan adanya perbedaan pendapat tentang kedudukan naskh. naskh berfungsi
mencabut (raf) atau menjelaskan (bayan)[9]. Dilihat dari jenis-jenis naskh yang diuraikan
di atas. Jika ditinjau dari segi formalnya maka fungsi pencabutan itu lebih nampak. Tapi
bila ditinjau dari segi materinya, maka fungsi penjelasannya lebih menonjol. Meski
demikian, pada akhirnya dapat dilihat adanya suatu fungsi pokok bahwa naskh
merupakan salah satu interpretasi hukum.

Hikmah Keberadaan Naskh Menurut Manna Al-Oaththan terdapat empat ketentuan


naskh, yaitu:

1. Menjaga kemaslahatan hamba.

8
2. Pengembangan pensyariatan hukum sampai kepada tingkat kesempurnaan seiring
dengan perkembangan dakwah dan kondisi manusia itu sendiri.
3. Menguji kualitas keimanan mukallaf dengan cara adanya perintah yang kemudian
dihapus.
4. Merupakan kebaikan dan kemudahan bagi umat. Sebab apabila ketentuan nasikh lebih
berat daripada ketentuan mansukh, berarti mengandung konsekuensi pertambahan
pahala. Sebaliknya, jika ketentuan dalam nasikh lebih mudah daripada ketentuan
mansukh, itu berarti kemudahan bagi umat.

G. Cara mengetahui nasikh dan mansukh


Cara untuk mengetahui nasakh dan mansukh dapat dilihat dengan cara-cara sebagai
berikut.

1. Keterangan tegas dari nabi atau sahabat, seperti hadis yang artinya:
2. Aku (dulu) pernah melarangmu berziarah ke kubur, sekarang Muhammad
telah.mendapat izin untuk menziarahi ke kubur ibunya, kini berziarahlah kamu ke
kubur. Sesungguhnya ziarah kubur itu mengingatkan pada hari akhir. (Muslim, Abu
Daud, dan Tirmizi).
3. Kesepakatan umat tentang menentukan bahwa ayat ini nasakh dan ayat itu mansukh.
4. Mengetahui mana yang lebih dahulu dan kemudian turunnya dalam perspektif sejarah.

Nasikh tidak dapat ditetapkan berdasarkan ijtihad, pendapat mufassir, atau keadaan dalil-
dalil yang secara lahir tampak kontradiktif, atau terlambatnya keislaman seseorang dari
dua perawi.

Ketiga-tiga persyaratan tersebut merupakan faktor yang sangat menentukan adanya


nasakh dan mansukh dalam Alquran. Jadi, berdasarkan penjelasan di atas dapat dipahami
bahwa nasakh mansukh hanya terjadi dalam lapangan hukum dan tidak termasuk
penghapusan yang bersifat asal (pokok).

9
BAB III
PENUTUP

A. KESIMPULAN
Nasikh menurut bahasa yaitu mengaitkan kepada arti yang hilang. Nasikh mengandung
beberapa makna yaitu: menghilangkan, mengganti, memalingkan, dan menukilkan.
Sedangkan menurut istilah, ialah membuang hukum syar’i dengan kitab syar’i. Ulama’
mutaqoddim memberi batasan naskh sebagai dalil syar’i yang ditetapkan kemudian, tidak
hanya untuk ketentuan-ketentuan hukum, tapi juga mencakup pengertian pembatasan bagi
suatu pengertian bebas. Sebaliknya ulama’ mutaakhir memperciut batasan-batasan
pengertian tersebut untuk mempertajam perbedaan antara nasikh, mukhossim, dan
muqoyyid sehingga pengertian naskh terbatas hanya untuk ketentuan hukum yang datang
kemudian.

Adapun bagaimana cara mengetahui nasikh adalah harus melalui banyak jalan,
diantaranya: naskh yang sharih dari Rosulullah SAW, keterangan para sahabat,
perlawqanan yang tidak dapat dikompromikan, serta diketahui tarih turunnya ayat-ayat itu.
Masalah nasikh bukanlah sesuatu yang berdiri sendiri. Ia merupakan bagian yang berada
dalam disiplin ilmu tafsir dan ilmu ushul fiqih.

10
DAFTAR PUSTAKA

Al-Jauziah, Ibnu Qoyyim. Belajar Mudah Ulum Al-quran. Jakarta: PT Lentera Basritama,
2002.

Anwar, Rosihon. Ulum Al-quran. Bandung: CV Pustaka Setia, 2008.

Anwar, Abu. Sebuah Pengantar Ulumul Quran. Bekasi:Media Grafika, 2002.

Ash-Syiddieqy, Mohammad Hasbi, Tengku. Ilmu-Ilmu Al-quran. Semarang: PT Pustaka


Rizki Putra, 2002.

Jauzi, Ibnu. Nasikh Mansukh. Jakarta: Pustaka Azzam, 2002.

Quthan, Manaul. Pembahasan Ilmu Al-quran Dua. Jakarta: PT Rineka Cipta, 1995.

http://almanhaj.or.id/content/3087/slash/0

1. Tengku Mohammad, Ilmu-Ilmu Al-quran (Semarang: PT Pustaka Riski Putra, 2002),


150
2. Abu Anwar, Sebuah Pengantar Ulum Al-quran (Bekasi: Media Grafika, 2002), 50-52
3. Rosihon Anwar, Ulum Al-quran (Bandung: CV Pustaka Setia, 2008), 165-166
4. Ibnu Qoyyim, Belajar Mudah Ulum Al-quran (Jakarta: PT Lentera Basritama 2002),
171
5. QS. Al-Baqarah: 114
6. Ibnu Qoyyim, Belajar Mudah Ulum Al-quran (Jakarta: PT Lentera Basritama 2002),
172-173
7. Mana’ul Quthan, Pembahasan Ilmu Al-Quran 2 (Jakarta: PT Rineka Cipta 1995), 36-
37
8. http://almanhaj.or.id/content/3087/slash/0
9. Ibnu Qoyyim, Belajar Mudah Ulum Al-quran (Jakarta: PT Lentera Basritama 2002),
174
10. Rosihon Anwar, Ulum Al-quran (Bandung: CV Pustaka Setia, 2008), 179
11. Abu Anwar, Sebuah Pengantar Ulum Al-quran (Bekasi: Media Grafika, 2002), 53

II

Anda mungkin juga menyukai