Anda di halaman 1dari 17

Mata Kuliah Dosen Pengampu

Studi Al-Quran Nelvawita, S.Ag. MA

MAKALAH

PENGERTIAN NASIKH DAN MANSUKH, SYARAT DAN MACAMNYA,


DAN KEMUNGKINAN TERJADINYA ATAU PRO DAN KONTRA NASIKH
DAN MANSUKH

DISUSUN OLEH
KELOMPOK VII

LYDIA ARDANA : 12110524272


NADYA ULHASNA : 12110524023

PENDIDIKAN MATEMATIKA

FAKULTAS TARBIYAH DAN KEGURUAN

UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SULTAN SYARIF KASIM RIAU

2021/2022
KATA PENGANTAR

Assalamu’alaikumWarahmatullahi Wabarakatuh.
Alhamdulillahirabbil ‘alamin, segenap puji syukur kehadiran Allah SWT yang telah
melimpahkan berkah, rahmat dan hidayah serta petunjuk-Nya sehingga penulis dapat
menyelesaikan makalah ini. Shalawat dan Salam senantiasa tercurah kepada Baginda
Rasulullah Muhammad SAW dengan mengucapkan AllahmmaShalli’ala Muhammad
Wa’alaaihiSyaidina Muhammad yang telah membawa manusia dari alam jahiliyah kepada
alam yang terang menerang yang penuh ilmu pengetahuan seperti saat sekarang ini.
Penulisan makalah ini diselesaikan guna melengkapi tugas Studi Alquran dengan judul
"Pengertian Nasikh Dan Mansukh, Syarat Dan Macamnya, Dan Kemungkinan Terjadinya".
Selanjutnya, pada kesempatan ini penulis ingin menyampaikan rasa ucapan terimakasih yang
sebesar-besarnya kepada semua pihak yang telah membimbing dan mendukung penulis baik
dengan moral maupun materil selama berlangsungnya penyusunan makalah ini, mudah-
mudahan mendapat pahala di sisi Allah SWT. Penulis mengucapkan banyak terimakasih
kepada :

1. Allah SWT yang telah memberikan kekuatan dan kesabaran yang sangat besar bagi penulis
untuk menyelesaikan makalah ini.
2. Ibu Nelvawita, S.Ag. MA Selaku dosen Studi Alquran.
3. Orang tua yang memberikan dukungan dan fasilitas.
Semoga semua motivasi, semangat, ilmu yang selalu kami ingat serta do’a yang diberikan
mendapat imbalan dari Allah SWT. Kami penulis menyadari bahwa makalah ini jauh dari kata
sempurna, oleh karena itu kritik dan saran dari berbagai pihak sangat penulis harapkan demi
perbaikan - perbaikan kedepan. Penulis berharap semoga makalah ini dapat bermanfaat.
Wassalamu’alaikumWarahmatullahi Wabarakatuh.

Pekanbaru, 23 Maret 2022

Penulis

i
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR ...................................................................................................................... i


DAFTAR ISI.................................................................................................................................... ii
BAB I ............................................................................................................................................... 1
PENDAHULUAN ............................................................................................................................ 1
1.1. Latar Belakang ................................................................................................................. 1
1.2. Rumusan Masalah ............................................................................................................ 1
1.3. Batasan Masalah .............................................................................................................. 1
1.4. Tujuan Pembahasan ........................................................................................................ 2
BAB II .............................................................................................................................................. 3
PEMBAHASAN .............................................................................................................................. 3
2.1. Pengertian Nasikh dan Mansukh .................................................................................... 3
a. Definisi Nasikh ................................................................................................................. 3
b. Definisi Mansukh ............................................................................................................. 3
2.2. Syarat-syarat dari Nasikh dan Mansukh ........................................................................ 3
2.3. Macam-macam Nasikh dan Mansukh ............................................................................. 5
2.4. Kemungkinan terjadinya atau Pro dan Kontra Nasikh dan Mansukh .......................... 8
BAB III .......................................................................................................................................... 13
PENUTUP...................................................................................................................................... 13
3.1. Kesimpulan..................................................................................................................... 13
3.2. Saran............................................................................................................................... 13
DAFTAR PUSTAKA .................................................................................................................... 14

ii
BAB I

PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang


Al-Qur'an adalah sumber pengetahuan yang tidak ada habisnya untuk studi dan penelitian.
Banyak cabang ilmu yang telah digali dari Al-Qur'an, termasuk ilmu Nasikh dan Mansukh, dan
diharapkan sebagai umat Islam yang taat, umat Islam akan mampu memahami isi Al-Qur'an
lebih benar dan lebih baik. Juga, kebutuhan setiap orang terkadang bisa berbeda. Apa yang
pernah berhasil untuk satu orang mungkin tidak berhasil untuk orang lain. Oleh karena itu,
wajarlah jika Allah, menghapuskan suatu hukum syara’ dengan hukum syara yang lain untuk
menjaga kepentingan para hamba berdasarkan pengetahuannya tentang yang pertama dan yang
berikutnya.

Keberadaan nasakh dan mansukh sangat penting dalam menentukan hukum Islam, karena
tidak selalu hukum di suatu tempat sama dengan hukum di tempat dan kondisi lain. Hanya saja
dalam menegakkan nasikh dan mansukh ini terbatas pada hal-hal yang bersifat hukum syar'i,
dan selain itu tidak diperbolehkan, seperti aqidah atau poin-poin ibadah dan poin-poin moral,
seperti keadilan, kejujuran, larangan syirik, membunuh, mencuri, dan lain sebagainya. Selain
itu, penggunaan ijtihad atau pendapat ulama tidak diperbolehkan untuk menentukan nasakh
dan mansukh, melainkan murni dari Allah yang termaktub dalam Al-Qur'an.

1.2.Rumusan Masalah
1. Apa pengertian dari Nasikh dan Mansukh?
2. Apa saja Syarat dari Nasikh dan Mansukh?
3. Apa saja macam-macam Nasikh dan Mansukh?
4. Bagaimana kemungkinan terjadinya atau Pro dan Kontra Nasikh dan Mansukh?
1.3.Batasan Masalah
Berdasarkan latar belakang diatas, maka makalah ini akan dibatasi dengan penjelasan
yang mencakup pembelajaran Pengertian Nasikh Dan Mansukh, Syarat Dan Macamnya,
Dan Kemungkinan Terjadinya saja, agar tidak terlalu luas tinjauannya serta tidak
menyimpang dari rumusan masalah diatas.

1
1.4.Tujuan Pembahasan
1. Mengetahui pengertian dari Nasikh dan Mansukh.
2. Mengetahui dan memahami syarat-syarat dari Nasikh dan Mansukh.
3. Mengetahui berbagai macam Nasikh dan Mansukh.
4. Mengetahui dan memahami kemungkinan terjadinya atau Pro dan Kontra Nasikh
dan Mansukh.

2
BAB II

PEMBAHASAN

2.1.Pengertian Nasikh dan Mansukh


a. Definisi Nasikh
Secara etimologi, nasikh mempunyai beberapa pengertian, yaitu antara lain penghilang
(izalah), penggantian (tabdil) pengubahan (tahwil), dan pemindahan (naql). Sesuatu yang
menghilangkan, menggantikan, mengubah dan memindahkan disebut nasikh, sedangkan
sesuatu yang dihilangkan, digantikan, diubah, dan dipindahkan, disebut mansukh. Dengan
demikian dapat dipahami bahwa nasakh dan mansukh terjadi karena al-Qur’an diturunkan
secara berangsur-angsur sesuai dengan peristiwa yang mengiringnya.
Secara terminologi, para ulama mendefinisikan nasikh pun dengan redaksi yang sedikit
berbeda, tetapi dalam pengertian sama dengan raf’u al-hukum asy-syar’i bi al-khithab asy-
syar’i (menghapuskan hukum syara dengan khitab syara pula) atau raf’u al-hukm bil al-
dalil asy-syar’i (menghapuskan hukum syara dengan dalil syara yang lain).
b. Definisi Mansukh
Sedangkan sesuatu yang dihilangkan, digantikan, diubah, dan dipindahkan, disebut
mansukh. Secara bahasa Mansukh berarti sesuatu yang diganti. Sedangkan secara istilah
Mansukh berarti hukum syara’ yang menempati posisi awal, yang belum diubah dan belum
diganti dengan hukum syara’ yang datang kemudian. 1

2.2. Syarat-syarat dari Nasikh dan Mansukh


Tidak semua syarat disepakati, diantaranya masih ada yang mejadi perselisihan.
1. Syarat-syarat nasakh yang telah disepakati:2
a. Nasikh harus terpisah dari masnukh.
Kalau tidak terpisah, seperti sifat dan istisna, maka tidak dikatakan nasakh.
b. Nasikh harus lebih kuat atau sama kekuatannya dengan mansukh. Karena itu, qur’an
bias dinasakh dengan qur’an dan hadist mutawatir. Demikian pula hadist mutawatir
dinasakh dengan qur’an dan hadist mutawatir pula.

1
Suqiyah Musafa’ah, et.al., Studi Al-Qur’an, (Surabaya: IAIN Sunan Ampel Press, 2011), hal. 126 – 129
2
A.Hanafi, Ushul Fiqh, (Jakarta: AKA Jakarta, 1989), h.93

3
c. Nasikh harus berupa dalil-dalil syara’.Kalau nasikh bukan dalil syara’, seperti mati
maka tidak disebut nasakh. Tidak adanya hokum terhadap orang yang sudah mati dapat
diketahui akal tanpa petunjuk syara’.
d. Mansukh tidak dibataskan kepada sesuatu waktu.Seperti kebolehan makan dan minum
pada malam hari puasa dibataskan kepada waktu fajar. Kalau sudah terbit fajar, makan
dan minum tidak dibolehkan lagi. Meskipun menghapuskan kebolehan makan dan
minum , namun ,tidak disebut nasakh. Hukum pertama dengan sendirinya akan hilang,
apabila waktu yang disebutkan telah habis.
e. Mansukh harus hukum-hukum syara’.Yang bisa dibatalkan (mansukh) hanyalah
hukum syara’.Tidak semua nas-nas Qur’an dan hadist dapat dinasakh. Ada nas-nas
yang sudah pasti dan tidak bisa dinasakh sama sekali, yaitu :
 Nas-nas yang berisi hukum-hukum pokok, baik yang berhubungan dengan
kepercayaaan dan pokok-pokok ibadah, atau yang berhubungan dengan pokok-
pokok keutamaan, seperti adil, kejujuran dan lain-lain, atau melarang perbuatan-
perbuatan yang hina seperti mempersekutuan Tuhan, membunuh, mencuri dan lain-
lain.
 Nas-nas yang berisi hukum-hukum yang abadi seperti firman Tuhan: “Jangan kamu
terima persaksian mereka selamanya”. (An Nur ayat 4)
 Nas-nas yang berisi pemberitaan sesuatu kejadian baik yang lewat ataupun yang
akan datang, seperti peristiwa Musa dengan Fir’aun, akan datangnya kiamat dan
lain-lain.
Ketiga macam nas tersebut sama sekali tidak bisa dinasakh.

2. Syarat Nasakh yang belum disepakati: 3


a. Nasikh dan mansukh tidak satu jenis.Yang sudah disepakati ialah, Qur’an dinasakh
dengan Qur’an karena sama-sama qot’i dan hadist dinasakh dengan hadist pula, sebab
sama-sama zhanni. Hadist mutawattir bisa menasakh Qur’an. Termasuk satu jenis
juga, karena sama-sana qot’i. Jadi yang dimaksud dengan sejenis, ialah sama-sama
qot,i atau sama-sama zhanni. Yang belum disepakati:
1) Qur’an dinasakh dengan hadist.
2) Hadist dinasakh dengan Qur’an.

3
Ibid., h. 93

4
b. Adanya hukum baru sebagai pengganti hukum yang dibatalkan. Hukum yang ada pada
nas yang dinaskhkan adakalanya :
 Menurut perbuatan, atau
 Melarang perbuatan, atau
 Membolehkan perbuatan.
Dalil yang membatalkan (nasikh) adakalanya :
a. Membatalkan hukum-hukum tersebut semata-mata, atau
b. Membatalkan hukum-hukum tersebut dan mengadakan hukum lain, tetapi tidak lepas
dari ketiga macam hukum tersebut, seperti, menziarahi kuburan yang mula-mula
diharamkan, kemudian di bolehkan.
Kalau menghapuskan hukum semata-mata, maka hukum perbuatan tersebut kembali
kepada “ibadah asliyyah” (hukum kebolehan yang asal) dengan tidak usah memerlukan
hukum yang baru. Terserah kepada kita untuk mengerjakan atau meninggalkannya.

2.3.Macam-macam Nasikh dan Mansukh


Berdasarkan kejelasan dan cakupannya, n𝑎̅sikh dalam Al-Qur’an dibagi menjadi empat
macam, yaitu:4

a. Nasikh sharih, yaitu ayat secara jelas menghapus hukum yang terdapat pada ayat
terdahulu. Misalnya ayat tentang perang (qital) pada ayat 65 surat Al-Anfal yang
mengharuskan satu orang muslim melawan sepuluh kafir:

“Hai Nabi, kobarkanlah semangat orang mukmin untuk berperang. Jika ada dua puluh
orang yang sabar di antara kamu, pasti mereka akan dapat mengalahkan dua ratus orang
musuh. Dan jika ada seratus orang (yang sabar) di antara kamu, mereka dapat
mengalahkan seribu kafir, sebab orang-orang kafir adalah kaum yang tidak mengerti.”

Menurut jumhur Ulama, ayat ini di nasikh oleh ayat yang mengharuskan satu orang
mukmin melawan dua orang kafir pada ayat 66 dalam surat yang sama:

“Sekarang, Allah telah meringankan kamu dan mengetahui pula bahwa kamu memiliki
kelemahan. Maka jika ada di antara kamu seratus orang yang sabar, niscaya mereka dapat

4
Rosihon Anwar, Ulum Al-Qur’an, (Bandung: CV Pustaka Setia, 2008),hal.173 - 175

5
mengalahkan dua ratus orang kafir, dan jika di antara kamu terdapat seribu orang (yang
sabar), mereka akan dapat mengalahkan dua ribu orang kafir.”

b. Nasikh dhimmy, yaitu jika terdapat dua n𝑎sikh yang saling bertentangan dan tidak
dikompromikan, dan keduanya turun untuk sebuah masalah yang sama, serta kedua-
duanya diketahui waktu turunnya, ayat yang datang kemudian menghapus ayat yang
terdahulu. Contohnya ketetapan Allah yang mewajibkan berwasiat bagi orang-orang
yang akan mati dalam hal ini terdapat dalam surat Al-Baqarah: 180, yang artinya:
“Diwajibkan atas kamu, apabila seseorang di antara kamu kedatangan (tanda-tanda)
maut, jika ia meninggalkan harta yang banyak, untuk berwasiat bagi ibu-bapak serta
karib-kerabatnya secara ma’ruf.”
Ayat ini, menurut pendukung teori nasikh di nasikh oleh hadits la washiyyah
li waris (Tidak ada wasiat bagi ahli waris).
c. Nasikh kully, yaitu menghapus hukum yang sebelumnya secara keseluruhan.
Contohnya, ketentuan ‘iddah empat bulan sepuluh hari pada surat Al-Baqarah ayat
234 di nasikh oleh ketentuan ‘iddah satu tahun pada ayat 240 dalam surat yang
sama.
d. Nasikh juz’iy, yaitu menghapus hukum umum yang berlaku bagi semua individu
dengan hukum yang hanya berlaku bagi sebagian individu, atau menghapus hukum
yang bersifat muthlaq dengan hukum muqayyad. Contohnya, hukum dera 80 kali bagi
orang yang menuduh seorang wanita tanpa adanya saksi pada surat An-Nur: 4, dihapus
oleh ketentuan li’an, yaitu bersumpah empat kali dengan nama Allah, jika si penuduh
suami yang tertuduh, pada ayat 6 dalam surat yang sama.

Dilihat dari segi bacaan dan hukumnya, mayoritas Ulama membagi nasikh
menjadi tiga macam, yaitu:5

a. Penghapusan terhadap hukum dan bacaan secara bersamaan. Ayat-ayat yang terbilang
kategori ini tidak dibenarkan dibaca dan tidak dibenarkan diamalkan. Misalnya sebuah
riwayat Al-Bukhari dan Muslim, yaitu hadits Aisyah r.a.

“Dahulu temasuk yang diturunkan (ayat Al- Qur’an) adalah sepuluh radaha’at
(isapan menyusui) yang diketahui, kemudian di nasikh oleh lima (isapan

5
Ibid., hal.175 - 177

6
menyusui) yang diketahui. Setelah Rasulullah wafat, hukum yang terakhir tetap dibaca
sebagai bagian Al-Qur’an.”

Maksudnya, mula-mula yang berlainan ibu sudah dianggap bersaudara apabila salah
seorang di antara keduanya menyusu kepada ibu salah seorang di antara mereka sebanyak
sepuluh isapan. Ketetapan sepuluh isapan ini kemudian di nasikh menjadi lima isapan.
Ayat tentang sepuluh atau lima isapan dalam menyusu kepada seorang ibu, sekarang ini
tidak termasuk di dalam mushaf karena baik bacaannya maupun hukumnya telah di
nasikh.

b. Penghapusan terhadap hukum saja, sedangkan bacaannya tetap ada. Contohnya, ajakan
para penyembah berhala dari kalangan musyrikin kepada umat Islam untuk saling
bergantian dalam beribadah, telah dihapus oleh ketentuan ayat qital (peperangan).
Akan tetapi, bunyi teksnya masih dapat ditemukan dalam surat Al-Kafirun: 6, yang
artinya:

“Untukmulah agamamu, dan untukkulah agamaku.”

c. Penghapusan terhadap bacaannya saja, sedangkan hukumnya tetap berlaku. Contoh


kategori ini bisa diambil dari ayat rajam. Mula-mula ayat rajam ini terbilang ayat Al-
Qur’an. Ayat yang dinyatakan mans𝑢̅kh bacaannya, sementara hukumnya tetap
berlaku, di antara yang artinya:

“Jika seorang pria tua dan wanita tua berzina, maka rajamlah keduanya ….”

Adapun dari sisi otoritas mana yang lebih berhak menghapus sebuah nash, para Ulama
membagi nasikh menjadi empat macam, diantaranya: 6

a) Nasikh Al-Qur’an dengan Al-Qur’an: para ulama sepakat akan kebolehannya.


b) Nasikh Al-Qur’an dengan As-Sunnah. Bagi kalangan Ulama Hanafiyah,
nasikh semacam ini diperkenankan bila sunnah yang menghapusnya sunnah
mutawattir atau masyhur. Akan tetapi ketentuan itu tidak berlaku apabila sunnah yang
menghapusnya berupa sunnah ahad. Adapun bagi Ulama Fiqh, apapun jenis sunnah
yang akan menghapus ketentuan hukum dalam Al-Qur’an, hal itu tetap tidak
diperkenankan. Untuk itu, Asy- Syafi’i mengajukan analisisnya sebagai berikut:
Sunnah tidak sederajat dengan Al-Qur’an. Padahal, nasikh yang dijanjikan Tuhan

6
Ibid., hal.177 - 178

7
dalam surat Al- Baqarah: 106 adalah yang sepadan derajatnya atau lebih tinggi.
Dalam surat Yunus: 15 dinyatakan bahwa Muhammad tidak berhak untuk mengubah
Al-Qur’an atas kemauannya. Surat An-Nahl: 44 menyatakan bahwa misi Muhammad
adalah penjelas (mubayyin) terhadap Al-Qur’an, sehingga setelah mereka memperoleh
penjelasan darinya, umat bisa mengamalkan Al-Qur’an. Apabila Muhammad berhak
menghapus ketentuan dalam Al-Qur’an, maka yang diamalkan umat buka lagi Al-
Qur’an, tetapi As-Sunnah. Hal ini berarti bertentangan dengan surat An-Nahl: 44.
c) Nasikh As-Sunnah dengan Al-Qur’an. Menurutnya mayoritas ahli ushul, nasikh
semacam ini benar- benar terjadi. Contohnya adalah penghapusan kiblat shalat ke
Bait Al-Muqaddas menjadi Ka’bah. Akan tetapi, Asy-Syafi’i menolak penghapusan
semacam ini. Baginya, jika Muhammad menetapkan suatu ketentuan, kemudian turun
ayat yang isinya bertentangan, beliau pasti akan membuat ketentuan baru yang sesuai
dengan Al-Qur’an, jika tidak demikian, akan terbukalah pintu untuk menuduh bahwa
setiap sunnah yang menjadi bayan Al-Qur’an sudah dihapus.
d) N𝑎sikh As-Sunnah dengan As-Sunnah. Nasakh ini pada hakikatnya adalah hukum
yang ditetapkan berdasarkan sunnah dinasakh dengan dalil sunnah pula. Contoh
tentang ziarah kubur yang sebelumnya dilarang oleh Rasulullah saw, kemudian setelah
itu Rasulullah malah menganjurkannya.

2.4. Kemungkinan terjadinya atau Pro dan Kontra Nasikh dan Mansukh
Konsep nasikh mansukh dalam al-Quran menimbulkan polemik para ulama. Adapun
sumber perbedaan itu berawal dari pemahaman ulama tafsir tentang al-Quran surat an-Nisa
ayat 82:
ً ِ‫اختِ ََلفًا َكث‬
‫يرا‬ ْ ‫َّللا لَ َو َجد ُوا فِي ِه‬ َ ‫أَفَ ََل يَتَدَب َُّرونَ ْالقُ ْرآنَ ۚ َولَ ْو َكانَ ِم ْن ِع ْن ِد‬
ِ َّ ‫غي ِْر‬

Artinya: “Maka apakah mereka tidak memperhatikan Al Quran? Kalau kiranya Al Quran
itu bukan dari sisi Allah, tentulah mereka mendapat pertentangan yang banyak di
dalamnya.”
Ayat tersebut mengandung prinsip yang diyakini keberadaanya oleh setiap muslim,
namun sebagian yang lain ada yang berpendapat bahwa dalam menghadapi ayat-ayat al-
Quran yang secara dhahir menunjukkan akan kontradiksinya. Berikut adalah pendapat dari
golongan yang menerima dan menolak nasakh mansukh :

8
1. Nasakh Mansukh dalam Perspektif Pendukungnya.
Salah satu ayat yang menjadi basis pembangunan teori nasakh adalah firman Allah
dalam surat al-Baqarah ayat 106:

‫يءٍ قَ ِدير‬ َ ‫علَ ٰى كُ ِل‬


ْ ‫ش‬ َ ‫َّللا‬ ِ ْ ‫س ْخ ِم ْن آ َي ٍة أ َ ْو نُ ْن ِس َها نَأ‬
َ َّ ‫ت ِب َخي ٍْر ِم ْن َها أ َ ْو ِمثْ ِل َها ۗ أَلَ ْم ت َ ْعلَ ْم أ َ َّن‬ َ ‫َما نَ ْن‬

Artinya: “Ayat mana saja yang Kami nasakhkan, atau Kami jadikan (manusia) lupa
kepadanya, Kami datangkan yang lebih baik daripadanya atau yang sebanding dengannya.
Tidakkah kamu mengetahui bahwa sesungguhnya Allah Maha Kuasa atas segala sesuatu?”
Ayat tersebut dijadikan dasar naqli bagi mayoritas ulama yang mendukung adanya
nasakh dalam al-Quran. Mayoritas ulama tanpa keraguan menetapkan ayat-ayat yang
termasuk nasakh dan mansukh tetap berlaku, akan tetapi segi hukum yang berlaku
menyeluruh sampai waktu tertentu tidak dapat dibatalkan kecuali oleh syara`. Jadi menurut
mereka, nasikh mansukh bisa diterima oleh akal dan telah terjadi dalam hukum syara`
sesuai dalil di atas.
Selain dalil naqli di atas, jumhur ulama pendukung nasakh juga mendasarkan dalil
naqli. Mereka berpandangan perbuatan Allah itu mutlak, tidak tergantung pada alasan dan
tujuan. Ia boleh saja memerintahkan sesuatu pada suatu waktu dan melarangnya pada waktu
yang lain. Ini karena, Allah lebih mengetahui kepentingan hambanya.7
Pendapat lain yang mendasari mayoritas ulama tentang teori nasakh adalah penetapan
perintah-perintah tertentu kepada kaum muslimin di dalam al-Quran yang menurut Rosihan
Anwar, ada yang bersifat sementara dan ketika keadaan berubah perintah tersebut dihapus
dan diganti dengan perintah baru lainnya. Namun, karena perintah-perintah itu kalam
Allah, harus dibaca sebagai bagian dari al-Quran.8
Ulama yang melopori konsep nasakh mansukh dalam al-Quran menurut Ahmad Izzan,
adalah asy-Syafi`i, as-Suyuti, an-Nahas, dan asy-Syaukani. 9 Persoalan nasakh bagi
kelompok pendukungnya merupakan salah satu cara menyelesaikan beberapa dalil tersebut.
Apabila tidak bisa dikompromikan, salah satunya dinasakhan atau dibatalkan. Di samping
itu, mereka berpendapat bahwa dalam al-Quran secara implisit memang mengandung

7
Manna Khalil al-Qattan, op.cit., h. 331
8
Rosihan Anwar, Ulumul Quran, (Bandung : Pustaka Setia, 2007), h. 163
9
Ahmad Izzan, Ulumul Quran, Telaah Tekstual dan Kontekstuals al-Quran, (Bandung: Tafakur, 2009), h. 187

9
konsep nasakh. Oleh karena itu jika seseorang ingin menafsirkan al-Quran, menurut M.
Abu Zahrah, harus terlebih dahulu mengetahui tentang nasikh dan mansukh.10
Menurut kelompok ini keberadaan nasakh dalam al-Quran selain memiliki dasar dari
al-Quran, secara praktis juga nyata dalam sejarah Islam, dan naskh disebut secara eksplisit
di dalam al-Quran. Rachmat Syafe`i memberikan batasan terhadap ayat yang dinasakh,
yaitu : (1) ayat al-Quran yang konsekwensi hukumnya saling bertolak belakang dan tidak
dapat dikompromikan, (2) harus diketahui secara meyakinkan urutan turunnya ayat-ayat
tersebut, yang lebih dahulu ditetapkan sebagai mansukh dan yang datang kemudian sebagai
nasikh.11
Salah satu pemikir Indonesia, Munawir Sjadzali juga sependapat dengan kelompok
yang menyatakan adanya naskh, sehingga ia menggunakan metode klasik yang disebut
dengan naskh tersebut. Namun dalam praktiknya, Munawir Sadjali menggunakannya
dengan cara yang berbeda dengan ulama klasik, sehingga menghasilkan pemahaman yang
radikal dan memberikan peran yang luas kepada akal untuk melakukan reinterpretasi
terhadap hukum atau petunjuk yang telah diberikan dalam ayat-ayat al-Quran dan hadis
nabi Muhammad saw. Sebagaimana disebutkan di atas, dalam pandangan ulama klasik
nasakh dimaksudkan dengan penghapusan atau penangguhan ayat yang turun lebih dahulu
oleh ayat yang turun belakangan.
Selain ulama tafsir di atas, beberapa ulama tafsir yang namanya sudah membumi di
Indonesia juga sependapat adanya naskh di dalam al- Quran. Ibnu Katsir misalnya, dalam
tafsirnya "Tafsir al-Quran al-`Azhim (Ibnu Katsir)" menyatakan: “Sesungguhnya menurut
rasio tidak terdapat sesuatu yang menolak adanya nasakh (pembatalan) dalam hukum-
hukum Allah”. Adapun Muhammad Rasyid Ridha dalam tafsirnya "Tafsir al-
Manar"menyatakan:
”Sesungguhnya hukum itu (dapat) berbeda karena perbedaan zaman, tempat, dan
situasi. Kalau satu hukum diundangkan pada saat dibutuhkannya hukum, kemudian
kebutuhan itu tidak ada lagi, maka suatu tindakan bijaksana menghapus hukum itu dan
menggantikannya dengan hukum (lain) yang lebih sesuai dengan waktu yang belakangan
itu.”
Sejalan pendapat di atas Sayyid Quthb dalam tafsirnya "Tafsir fi Zhilal al-Qur'an"
berpendapat bahwa ayat 106 dari surat al-Baqarah itu diturunkan sebagai sanggahan

10
Muhammad Abu Zahrah, op.cit., h. 120.
11
Rachmat Syafe`i, op.cit., h. 94.

10
terhadap tuduhan orang-orang yahudi bahwa Nabi tidak konsisten, baik mengenai
kepindahan kiblat dari masjid al-Aqsha ke Masjid al-Haram, maupun perubahan petunjuk,
hukum dan perintah yang terjadi akibat pertumbuhan masyarakat Islam, dan situasi serta
kondisi mereka yang terus berkembang.
Wahyu-wahyu Allah itu tidak turun ke dunia yang vakum, melainkan kepada suatu
kelompok manusia atau masyarakat dengan latar belakang sejarah dan kebudayaan tertentu,
serta tingkat kecerdasan tertentu. Oleh sebab itu wajar kiranya kalau ajaran Islam yang pada
dasarnya bersifat universal itu disampaikan oleh wahyu kepada masyarakat tertentu, dalam
hal ini bangsa Arab, dengan memperhatikan situasi dan kondisi lapangan serta kekhususan
budaya masyarakat untuk siapa Islam itu diajarkan, yang antara lain dilihat dari adanya
naskh dalam al-Quran dan Sunnah Nabi.

2. Nasakh dan Mansukh dalam Perspektif Penolaknya


Golongan ulama yang menolak adanya nasakh dalam al-Quran berusaha
mengkompromikan ayat-ayat yang kelihatan bertentangan sehingga tidak perlu dinasakh.
Kelompok penolak yang dipelopori oleh Abu Muslim al-Isfahani, 12 menyatakan bahwa
dalam al-Quran tidak terdapat nasakh. Jika mengakui adanya nasakh berarti mengakui
adanya kebatilan dalam al-Quran.Abu Muslim al-Isfahani mendasarkan argumentasinya
pada al-Quran surat Fushilat ayat 42 :
ِ ‫ََل َيأْتِي ِه ْال َب‬
‫اط ُل ِم ْن َبي ِْن َيدَ ْي ِه َو ََل ِم ْن خ َْل ِف ِه ۖ ت َ ْن ِزيل ِم ْن َح ِك ٍيم َح ِمي ٍد‬

Artinya: “Yang tidak datang kepadanya (Al Quran) kebatilan baik dari depan maupun dari
belakangnya, yang diturunkan dari Rabb Yang Maha Bijaksana lagi Maha Terpuji.”
Hukum-hukum yang dibawa al-Quran bersifat abadi dan universal. Jadi tidak layak
kalau di dalam al-Quran terdapat naskh. Lebih lanjut abu Muslim al-Isfahani, sebagai
mana dikutip Amir Syarifuddin, mengemukakan argumentasi sebagai berikut :

a. Suatu hukum yang ditetapkan oleh Allah SWT adalah karena adanya maslahat atau
mafsadat pada sesuatu yang dikenai hukum itu. Sesuatu yang mengandung maslahat tidak
mungkin beralih menjadi mafsadat.

12
Rachmat Syafe`i, op.cit., h. 87.

11
b. Kalam itu bersifat qadim, dalam arti telah ada sejak dahulu (azali) sesuatu yang bersifat
qadim tidak mungkin dicabut.13

Sehingga jelas, al-Isfahani tidak setuju adanya nasakh. Al-Isfahani setuju


menginterpretasikan ayat yang secara zhahir terjadi kontradiksi dengan jalan taksis
(pengkhususan), untuk menghindari adanya nasakh atau pembatalan, al-Isfahani
berpendapat bahwa pembatalan hukum dari Allah mengakibatkan kemustahilan-Nya,
yaitu :

a. Ketidaktahuan, sehingga perlu mengganti atau membatalkan satu hukum dengan hukum
lainnya.

b. Jika itu dilakukan Allah, berarti Dia melakukan kesia-siaan dan permainan belaka. 14

Berbeda dengan al-Isfahani yang cenderung kepada takhsis, Muhammad Abduh


menolak adanya nasakh, dalam arti pembatalan, tetapi menyetujui adanya tabdil (dalam
pengertian: pengalihan, pemindahan ayat hukum dengan ayat hukum lainnya). Dalam arti
bahwa semua ayat al- Quran tetap berlaku, tidak ada kontradiksi. Yang ada hanya
pengalihan hukum bagi masyarakat atau orang tertentu, karena kondisi yang berbeda. 15

Dengan demikian ayat hukum yang tidak berlaku baginya, tetap berlaku bagi orang lain
yang kondisinya sama dengan kondisi mereka. Dalam perspektif hikmah, pemahaman
semacam ini menurut Quraish Shihab akan sangat membantu dakwah Islamiyah, sehingga
ayat-ayat hukum yang bertahap dapat dijalankan oleh mereka yang kondisinya sama
dengan kondisi umat Islam pada awal masa Islam. 16

13
Amir Syarifuffin, op.cit., h. 229
14
M. Quraish Shihab, op.cit., h. 144.
15
Rachmat Syafe`i, op.cit., h. 88
16
M. Quraish Shihab, op.cit., h. 148

12
BAB III

PENUTUP

3.1.Kesimpulan
Jadi Nasikh secara garis besar adalah penghapusan atau penggantian hukum yang ada
dalam al-qur’an dengan hukum yang baru dengan syarat hukum atau hal yang diganti harus
lebih rendah atau maksimal sama dengan hukum yang baru.

Nasikh adalah hukum yang menghapus, sedangkan Mansukh adalah hukum yang
dihapus. Serta Nasikh mempunyai macam – macam sebagai berikut:

1. Nasikh Al-Qur`an dengan Al-Qur`an


2. Nasikh Al-Qur’an dengan As-Sunnah
3. Nasikh As-Sunnah dengan Al-Qur’an
4. Nasikh As-Sunnah dengan As-Sunnah

Serta adapula bentuk-bentuk nasikh yang di bagi menjadi empat yaitu :


1. Naskh Sharih
2. Naskh dhimmy
3. Naskh Kully
4. Naskh Juz’iy
Terjadi perbedaan pendapat adanya Nasikh dan Mansukh, ada yang mendukung atau
setuju dan ada yang menolak atau tidak setuju jika terdapat nasikh dan mansukh didalam al-
Quran.

3.2.Saran
Demikian makalah yang dapat kami buat, kami sebagai penulis menyadari bahwa
makalah ini sangatlah jauh dari kesempurnaan. Maka dari itu, kami sebagai penulis
memohon maaf atas kesalahan dan kekurangan, untuk itu kami mengharapkan kritik dan
saran demi menyempurnakan makalah ini. Semoga makalah ini bermanfaat dan kita bisa
mengambil hikmah yang terkandung di dalamya.

13
DAFTAR PUSTAKA

Hadi, A. (2016). NASIKH–MANSUKH IN AL-QUR’AN. PUTIH: Jurnal Pengetahuan


Tentang Ilmu dan Hikmah, 1(1), 154-183.

Husni, M., & Wahab, F. (2018). Teori Nasakh Mansukh Dalam Penetapan Hukum Syariat
Islam. Annabaâ€: Jurnal Pendidikan Islam, 4(2).
Indonesia, U. J. J. T. HISTORISITAS NASIKH MANSUKH DAN
PROBLEMATIKANYA DALAM PENAFSIRAN AL-QUR’AN.

Syaifulloh, A. (2018). NASIKH DAN MANSUKH: LANGKAH ULAMA’DALAM


MEMAHAMI AL-QUR’AN DAN HADIS. Jurnal Studi Islam dan Sosial, 1(1), 107-127.
http://repository.iainkediri.ac.id/397/1/Konsep%20Nasikh%20Mansukh%20Jalaluddin%2
0Al-
Suyuti%20Dan%20Implikasi%20Metode%20Pengajarannya%20Di%20Perguruan%20Tin
ggi.pdf
http://journal.unj.ac.id/unj/index.php/jsq/article/download/3827/2853/
http://repository.uin-suska.ac.id/16617/8/8.%20BAB%20III__2018345AH.pdf

https://journal.iainkudus.ac.id/index.php/Hermeneutik/article/download/905/840

14

Anda mungkin juga menyukai