Diajukan untuk memenuhi salah satu Mata Kuliah Ulumul Qur’an yang di ampu oleh :
Disusun Oleh :
Kelompok 5
Nafilah Mubarokah 1225010133
Neng Rimatus S 1225010139
Rangga Yuliadi 1225010159
ii
DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR...............................................................................................................ii
DAFTAR ISI.............................................................................................................................iii
BAB I PENDAHULUAN........................................................................................................1
1.1 Latar Belakang........................................................................................................1
1.2 Rumusan Masalah..................................................................................................1
1.3 Tujuan Masalah......................................................................................................2
BAB II PEMBAHASAN..........................................................................................................3
2.1 Pengertian Nasikh dan Mansukh...........................................................................3
2.2 Pembagian Nasikh Mansukh.................................................................................4
2.3 Syarat Naskh dan Mansukh...................................................................................6
2.4 Hikmah Nasikh dan Mansukh...............................................................................6
BAB III PENUTUP...................................................................................................................7
3.1 Kesimpulan...........................................................................................................7
DAFTAR PUSTAKA................................................................................................................8
ii
BAB I
PENDAHULUAN
Allah SWT. Menurunkan wahyu berupa Alquran kepada Nabi Muhammad sebagai
petunjuk dan sebagai pedoman untuk umatnya. Allah menurunkan syariat samawiyah
kepada para rasul-Nya untuk memperbaiki umat di bidang akidah,ibadah dan muamalah.
Pada dasarnya prinsip ibadah dan muamalah itu sama, yaitu bertujuan membersihkan jiwa
dan memelihara keselamatan masyarakat serta mengikatnya dengan hubungan kerjasama
dan persaudaraan.
Dalam Alquran terdapat ayat yang menjelaskan tentang nasikh dan mansukh, ayat
tersebut ada dalam surah Al-Baqarah ayat 106 yang artinya “Ayat yang Kami nasakh kan
atau Kami hilangkan dari ingatan, pasti Kami ganti dengan yang lebih baik atau yang
sebanding dengannya. Tidakkah kamu tahu tahu bahwa Allah Maha Kuasa atas segala
sesuau ”. Dari ayat tersebut mulai timbul pembahasan tentang nasikh dan mansukh, baik
dalam Alquran, kitab kitab terdahulu dan sunah nabi.
Pengetahuan tentang nasikh dan mansukh mempunyai peran besar bagi para ahli ilmu.
Oleh sebab itu, terdapat banyak perkataan dari sahabat dan tabi’in yang mendorong
supaya mengetahui masalah ini.
Berdasarkan gambaran singkat tentang nasikh dan mansukh diatas, untuk itu kami
bermaksud menjelaskan lebih rinci tentang nasikh dan mansukh pada bab selanjutnya.
ii
1.3 Tujuan Masalah
ii
BAB II
PEMBAHASAN
1
Nasikh dan Mansukh | Almanhaj
2
Usman, Ulumul Quran (yogyakarta: TERAS, 2009) hal. 256
3
Syaikh Manna Al Qaththan, penerjemah: H. Aunnur kafil el-mazni, LC, MA, Mabahits fii Ulumil Quran (Kairo:
Maktabah Wahbah,2004) hal. 285
4
Nasikh dan Mansukh | Almanhaj
5
Abdul Djalal. Ulumul Quran (Surabaya: Dunia Ilmu, 2012) hal. 112
ii
3) Khithab yang dihapuskan atau diangkat hukumnya tidak terikat (dibatasi) dengan
waktu tertentu. Sebab jika tidak demikian maka hukum akan berakhir dengan
berakhirnya waktu tersebut, dan yang demikian tidak dinamakan Naskh.
Ayat ini kemudian di nasakh oleh surah yang sama pada ayat 234:
“orang-orang yang meninggal unia di antaramu dengan meninggalkan isteri-isteri
(hendaklah para isteri itu) meneguhkan dirinya (ber’iddah) empat bulan sepuluh hari.
Kemudia apabila habis masa ‘iddahnya, maka tiada bosan bagimu (para wali)
membiarkan mereka berbuat terhadap diri mereka menurut yang patut, Allah SWT
mengetahui apa yang kamu perbuat.”
Kedua, Nasakh Al-Quran dengan As-Sunnah. Nasakh ini ada dua macam:
a. Nasakh Al-Quran dengan hadits ahad. Jumhur berpendapat, Al-Quran tidak boleh di
nasakh oleh hadits ahad, sebab Al-Quran adalah mutawatir dan menunjukan
keyakinan, sedangkan hadits ahad itu zhanni, bersifat dugaan, di samping tidak sah
pula menghapuskan sesuatu yang ma’lum (jelas diketahui) dengan yang mazhnun
(diduga).
b. Nasakh Al-Quran dengan hadits mutawatir. Nasakh macam ini dibolehkan oleh
Malik, Abu Hanifah dan Ahmad dalam satu riwayat, sebab masing-masing keduanya
adalah wahyu. Allah SWT berfirman:
وما ينتق عن الهوى
“Dan tiadalah yang diucapkan itu menurut kemauan hawa nafsunya. Ucapannya itu
tiada lain hanyalah wahyu yang diwahyukan (kepadanya).” QS. An-Najm:4-5
6
Ia adalah Makki bin Hamusy bin Muhammad bin Mukhtar Al-Qaisi Al-Muqri dengan nama panggilan Abu
Muhammad, berasal dari Qairawan. Ia mempunyai banyak karya tentang Ulumul Quran dan bahasa arab.
Salah satu karyanya ialah An-Nasikh wa Al-Mansukh. Tinggal di Cordova dan pergi ke Mesir, wafat pada 437 H.
ii
“Dan kami turunkan kepadamu Al-Quran agar kamu menerangkan kepada umat
manusia apa yang telah diturunkan kepada mereka.” QS. An-Nahl:44
Dan nasakh itu sendiri merupakan salah satu penjelasan, oleh karena itu Asy-
Syafi’I, Zhahiriyah dan Ahmad dalam riwayatnya yang lain menolak nasakh
seperti ini berdasarkan firman Allah SWT,
“Apa saja yang kami nasakhkan atau kami jadikan (manusia) lupa kepadanya,
kami datangkan yang lebih baik atau yang sebanding dengannya.” QS. Al-
Baqarah:106
Ketiga, nasakh As-Sunnah dengan Al-Quran. Ini dibolehkan oleh jumhur, sebagai
contoh masalah menghadap ke Baitul Maqdis yang ditetapkan dengan As-Sunnah dan
di dalam Al-Quran tidak terdapat dalil yang menunjukkannya. Ketetapan dinasakhhan
oleh Al-Quran dengan firman-Nya:
“Maka palingkanlah mukamu ke arah Masjidil Haram.” QS. Al-Baqarah:144
Kewajiban puasa pada hari ‘Asyura’ yang ditetapkan berdasarkan Sunnah juga
dinasakh oleh firmah Allah:
“Maka barangsiapa menyaksikan bulan ramadhan, hendaklah ia berpuasa…” QS. Al-
Baqarah:185
Tetapi nasakh versi ini pun ditolak oleh Imam Syafi’I dalam salah satu riwayat.
Menrutnya, apa saja yang ditetapkan sunnah tentu didukung oleh Al-Quran, dan apa
saja yang ditetapkan Al-Quran tentu didukung pula oleh sunnah.
Keempat, nasakh Sunnah dengan Sunnah. Dalam kategori ini terdapat empat bentuk:
a. Nasakh mutawatir dengan mutawatir
b. Nasakh ahad dengan ahad
c. Nasakh ahad dengan mutawatir
d. Nasakh mutawatir dengan ahad.
Tiga bentuk pertama diperbolehkan, sedang pada bentuk keempat terjadi silang
pendapat seperti halnya nasakh Al-Quran dengan hadits ahad yang tidak dibolehkan
oleh jumhur. Adapun menasakh ‘ijma dengan ‘ijma dan qiyas dengan qiyas atau
menasakh keduanya, maka pendapat shahih tidak membolehkannya.
Pertama, nasakh bacaan dan hukum. Contoh pada ayat yang menyatakan 10 kali
penyusuan. Diriwayatkan oleh Muslim; “Dahulu dalam Al Qur`an susuan yang dapat
menyebabkan menjadi mahram ialah sepuluh kali penyusuan, kemudian hal itu
ii
dinasakh (dihapus) dengan lima kali penyusuan saja. Lalu Rasulullah shallallahu
'alaihi wasallam wafat, dan ayat-ayat Al Qur`an masih tetap di baca seperti itu. ”
Yang jelas ialah bahwa tilawahnya itu telah dinasakh (dihapuskan), tetapi penghapusan
ini tidak sampai kepada semua orang kecuali sesudah wafatnya Rasulullah SAW. Oleh
karena itu, ketika beliau wafat sebagian orang masih tetap membacanya (sebagian dari
Al-Quran).
Kedua, nasakh hukum sedang tilawahnya (lafadznya) tetap. Misalnya nasakh hukum
ayat-ayat ‘iddah selama satu tahun sedang tilawahnya tetap.
Ketiga, nasakh tilawah (lafadz) sedang hukumnya tetap. Contohnya hukum rajm, ada
ikhtilaf ulama dalam naskh jenis ini karena kabarnya adalah khabar ahad. Sebab nasakh
mengandung arti penghapusan dan penetapansuatu hukum yang tetap pada masa nabi,
jadi yang menjadi pegangan dalam hal ini hanyalah nukilan (naqli) dan sejarah, bukan
ra’yu dan ijtihad. Ada yang berpendapat bahwa khabar ahad yang diriwiyatkan para
perawi yang adil tidak dapat diterima dalam hal nasakh. Dan adapula yang
memudahkan persoalannya, sehingga merasa cukup dengan pendapat seorang mufassir
atau mujtahid, dan yang benar adalah kebailkan dari pendapat ini.
ii
ii
BAB III
PENUTUP
3.1 Kesimpulan
Secara bahasa nasakh adalah menghapus hukum syara’ dengan dalil syara’ sedangkan
mansukh ialah hukum syara’ yang di hapus atau di ganti. Menurut istilah yang dimaksud
dengan nasikh adalah menghapuskan suatu ketentuan hukum syara’ dengan dalil syara’
yang datang nya kemudian atau bisa disebut dengan menghapus atau membatalkan
berlakunya sesuatu hukum syara’ yang telah ada oleh hukum syara’ yang datang
kemudian. Sedangkan mansukh adalah suatu ketentuan hukum syara’ yang dihapuskan
oleh hukum yang datang kemudian itu. Nasakh hanya bisa terjadi pada perintah dan
larangan, baik yang di ungkapkan dengan kalimat berita yang bermakna amar dan nahyi.
Para ulama berbeda pendapat tentang ada tidaknya nasikh mansukh dalam Al-quran.
Di dalam Al-quran juga terdapat nasikh mansukh, hanya saja kejadiannya terjadi saat
zaman Rasulullah SAW. Sedangkan yang ada di dalam Al-quran sekarang ini tidak ada
lagi nasikh mansukh.
7
DAFTAR PUSTAKA
Abdul Djalal. Ulumul Quran (Surabaya: Dunia Ilmu, 2012) hal. 112
7
7