Anda di halaman 1dari 13

MAKALAH

NASIKH DAN MANSUKH

Diajukan untuk memenuhi salah satu Mata Kuliah Ulumul Qur’an yang di ampu oleh :

Dr. Ajid Hakim, M.Ag


Dr. Suparman, M.Ag

Disusun Oleh :
Kelompok 5
Nafilah Mubarokah 1225010133
Neng Rimatus S 1225010139
Rangga Yuliadi 1225010159

JURUSAN SEJARAH PERADABAN ISLAM


FAKULTAS ADAB DAN HUMANIORA
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SUNAN GUNUNG DJATI BANDUNG
2022/2023
KATA PENGANTAR

Assalamu’alaikum Wr. Wb.


Alhamdulillah puji syukur kehadirat Allah SWT yang telah memberikan rahmat dan
karunia-Nya, sehingga kami mampu menyelesaikan kewajiban kami, yaitu untuk memenuhi
salah satu syarat tugas kelompok. Sholawat serta salam semoga senantiasa tercurahkan
kepada Baginda Nabi Agung Muhammmad SAW yang telah mengantarkan kita kepada jalan
yang terang dan menjadikan jalan yang indah berupa ajaran Agama Islam.
Ucapan terima kasih kepada beliau selaku dosen pengampu pada mata kuliah ‘ulumul
quran yang telah memberikan bimbingan serta arahan sehingga makalah yang berjudul “
nasikh mansukh” ini dapat diselesaikan tepat waktu. Dan juga tidak lupa kami mengucapkan
terima kasih kepada semua pihak yang telah membantu, karena tanpa bimbingan dan
dorongannya, kami tidak akan menyelesaikan makalah ini sampai selesai.
Kami tentu menyadari bahwa makalah ini masih jauh dari kata sempurna dan masih
banyak terdapat kesalahan serta kekurangan di dalamnya. Untuk itu, kami mengharapkan
kritik serta saran dari pembaca untuk makalah ini, supaya makalah ini nantinya dapat menjadi
makalah yang lebih baik lagi. Kemudian apabila terdapat banyak kesalahan pada makalah ini
kami mohon maaf yang sebesar-besarnya.
Demikian, semoga makalah ini dapat bermanfaat. Terimakasih.
Wassalamu’alaikum Wr.Wb

ii
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR...............................................................................................................ii
DAFTAR ISI.............................................................................................................................iii
BAB I PENDAHULUAN........................................................................................................1
1.1 Latar Belakang........................................................................................................1
1.2 Rumusan Masalah..................................................................................................1
1.3 Tujuan Masalah......................................................................................................2
BAB II PEMBAHASAN..........................................................................................................3
2.1 Pengertian Nasikh dan Mansukh...........................................................................3
2.2 Pembagian Nasikh Mansukh.................................................................................4
2.3 Syarat Naskh dan Mansukh...................................................................................6
2.4 Hikmah Nasikh dan Mansukh...............................................................................6
BAB III PENUTUP...................................................................................................................7
3.1 Kesimpulan...........................................................................................................7
DAFTAR PUSTAKA................................................................................................................8

ii
BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Allah SWT. Menurunkan wahyu berupa Alquran kepada Nabi Muhammad sebagai
petunjuk dan sebagai pedoman untuk umatnya. Allah menurunkan syariat samawiyah
kepada para rasul-Nya untuk memperbaiki umat di bidang akidah,ibadah dan muamalah.
Pada dasarnya prinsip ibadah dan muamalah itu sama, yaitu bertujuan membersihkan jiwa
dan memelihara keselamatan masyarakat serta mengikatnya dengan hubungan kerjasama
dan persaudaraan.
Dalam Alquran terdapat ayat yang menjelaskan tentang nasikh dan mansukh, ayat
tersebut ada dalam surah Al-Baqarah ayat 106 yang artinya “Ayat yang Kami nasakh kan
atau Kami hilangkan dari ingatan, pasti Kami ganti dengan yang lebih baik atau yang
sebanding dengannya. Tidakkah kamu tahu tahu bahwa Allah Maha Kuasa atas segala
sesuau ”. Dari ayat tersebut mulai timbul pembahasan tentang nasikh dan mansukh, baik
dalam Alquran, kitab kitab terdahulu dan sunah nabi.
Pengetahuan tentang nasikh dan mansukh mempunyai peran besar bagi para ahli ilmu.
Oleh sebab itu, terdapat banyak perkataan dari sahabat dan tabi’in yang mendorong
supaya mengetahui masalah ini.
Berdasarkan gambaran singkat tentang nasikh dan mansukh diatas, untuk itu kami
bermaksud menjelaskan lebih rinci tentang nasikh dan mansukh pada bab selanjutnya.

1.2 Rumusan Masalah

1. Apa pengertian Nasikh dan Mansukh?


2. Apa saja klasifikasi Nasikh dan Mansukh?
3. Bagaimana cara mengetahui Nasikh dan Mansukh?
4. Apa hikmah adanya nasikh dan Mansukh?

ii
1.3 Tujuan Masalah

1. Untuk mengetahui pengertian Nasikh dan Mansukh


2. Untuk mengenal klasifikasi Nasikh dan Mansukh
3. Untuk bisa mengenal syarat Nasikh dan Mansukh
4. Untuk menngetahui hikmah adanya Nasikh dan Mansukh

ii
BAB II

PEMBAHASAN

2.1 Pengertian Nasikh dan Mansukh


Nasikh secara bahasa artinya: menghilangkan; menghapuskan; memindahkan;
menulis . Dari segi etimilogi para ulama Ulumul Quran mengemukakan arti kata Nasakh
1

dalam beberapa makna, diantaranya; menghilangkan, memindahkan sesuatu dari suatu


tempat yang lain, mengganti atau menukar, membatalkan atau mengubah, dan
pengalihan2.
Menurut istilah Naskh ialah mengangkat (menghapuskan) hukum syara’ dengan
dalil hukum syara’ yang lain3. Naskh menurut istilah para ulama ushul fiqih Muta-
akhirin, mereka memiliki ta’rif yang berbeda-beda.
Al-Baidhowi rahimahullah (wafat th 685 H) mendefinisikan dengan : “Naskh
adalah penjelasan berhentinya hukum syari’at dengan jalan syar’i yang datang
setelahnya”.
Ibnu Qudamah rahimahullah (wafat 620 H) menyebutkan definisi naskh dengan
menyatakan: “Menghilangkan hukum yang ada dengan perkataan (dalil) yang dahulu,
dengan perkataan yang datang setelahnya”.
Di antara ta’rif yang ringkas dan mencakup adalah yang dikatakan oleh Syaikh
Muhammad bin Shalih Al-‘Utsaimin, yaitu: “menghapuskan hukum dalil syar’i atau
lafazhnya dengan dalil dari Al-Kitab dan As-Sunnah”4.
Pengertian Mansukh menurut bahasa berarti sesuatu yang dihapus atau dihilangkan
atau dipindah ataupun disalin. Sedangkan menurut istilah para ulama, mansukh ialah
hukum syara’ yang diambil dari dalil syara’ pertama yang belum diubah dengan
dibatalkan dan diganti dengan hukum dari dalil syara’ baru yang datang kemudian.
Tegasnya, mansukh adalah berupa ketentuan hukum syara’ pertama yang telah diubah
dan diganti dengan yang baru karena adanya situasi dan kondisi yang menghendaki
perubahan dan pergantian hukum5.
Dari uraian di atas dapat disimpulkan bahwa dalam Naskh diperlukan syarat
syarat berikut:
1) Hukum yang mansukh adalah hukum yang syara’
2) Dalil penghapusan hukum tersebut adalah khithab syar’I yang datang lebih
kemudian dari khithab yang hukumnya di mansukh

1
Nasikh dan Mansukh | Almanhaj
2
Usman, Ulumul Quran (yogyakarta: TERAS, 2009) hal. 256
3
Syaikh Manna Al Qaththan, penerjemah: H. Aunnur kafil el-mazni, LC, MA, Mabahits fii Ulumil Quran (Kairo:
Maktabah Wahbah,2004) hal. 285
4
Nasikh dan Mansukh | Almanhaj
5
Abdul Djalal. Ulumul Quran (Surabaya: Dunia Ilmu, 2012) hal. 112

ii
3) Khithab yang dihapuskan atau diangkat hukumnya tidak terikat (dibatasi) dengan
waktu tertentu. Sebab jika tidak demikian maka hukum akan berakhir dengan
berakhirnya waktu tersebut, dan yang demikian tidak dinamakan Naskh.

Makki6 berkata: “Segolongan ulama menegaskan bahwa khithab yang


mengisyaratkan waktu dan batas waktu tertentu, seperti firma Allah SWT: “Maka
maafkanlah dan biarkanlah mereka sampai Allah mendatangkan perintah-Nya” (Al-
Baqarah:109), adalah muhkam, tidak mansukh, sebab ia dikaitkan dengan batas
waktu dan sesuatu yang dibatasi dengan batas waktu tidak ada naskh di dalamnya.”

2.2 Pembagian Nasikh Mansukh


Nasakh ada empat bagian :
Pertama, nasakh Al-Quran dengan Al-Quran. Bagian ini disepakati kebolehannya dan
telah terjadi dalam pandangan mereka yang mengatakan adanya nasakh. Misalnya ayat
tentang ‘iddah empat bulan sepuluh hari dalam QS. Al Baqarah ayat 240:
“Dan orang-orang yang akan meninggal dunia di antara kamu dan meninggalkan isteri,
hendaklah berwasiat untuk isteri-isterinya, (yaitu) diberi nafkah hingga setahun
lamanya dan tidak disuruh pindah (dari rumahnya) akan tetapi mereka pindah (sendiri),
maka tidak ada dosa bagimu (wali atau waris yang meninggal) membiarkan mereka
berbuat yang ma’ruf terhadap diri mereka. Dan Allah SWT Maha Perkasa lagi Maha
Bijaksana.”

Ayat ini kemudian di nasakh oleh surah yang sama pada ayat 234:
“orang-orang yang meninggal unia di antaramu dengan meninggalkan isteri-isteri
(hendaklah para isteri itu) meneguhkan dirinya (ber’iddah) empat bulan sepuluh hari.
Kemudia apabila habis masa ‘iddahnya, maka tiada bosan bagimu (para wali)
membiarkan mereka berbuat terhadap diri mereka menurut yang patut, Allah SWT
mengetahui apa yang kamu perbuat.”

Kedua, Nasakh Al-Quran dengan As-Sunnah. Nasakh ini ada dua macam:
a. Nasakh Al-Quran dengan hadits ahad. Jumhur berpendapat, Al-Quran tidak boleh di
nasakh oleh hadits ahad, sebab Al-Quran adalah mutawatir dan menunjukan
keyakinan, sedangkan hadits ahad itu zhanni, bersifat dugaan, di samping tidak sah
pula menghapuskan sesuatu yang ma’lum (jelas diketahui) dengan yang mazhnun
(diduga).
b. Nasakh Al-Quran dengan hadits mutawatir. Nasakh macam ini dibolehkan oleh
Malik, Abu Hanifah dan Ahmad dalam satu riwayat, sebab masing-masing keduanya
adalah wahyu. Allah SWT berfirman:
‫وما ينتق عن الهوى‬
“Dan tiadalah yang diucapkan itu menurut kemauan hawa nafsunya. Ucapannya itu
tiada lain hanyalah wahyu yang diwahyukan (kepadanya).” QS. An-Najm:4-5

Dan firman-Nya pula,

6
Ia adalah Makki bin Hamusy bin Muhammad bin Mukhtar Al-Qaisi Al-Muqri dengan nama panggilan Abu
Muhammad, berasal dari Qairawan. Ia mempunyai banyak karya tentang Ulumul Quran dan bahasa arab.
Salah satu karyanya ialah An-Nasikh wa Al-Mansukh. Tinggal di Cordova dan pergi ke Mesir, wafat pada 437 H.

ii
“Dan kami turunkan kepadamu Al-Quran agar kamu menerangkan kepada umat
manusia apa yang telah diturunkan kepada mereka.” QS. An-Nahl:44

Dan nasakh itu sendiri merupakan salah satu penjelasan, oleh karena itu Asy-
Syafi’I, Zhahiriyah dan Ahmad dalam riwayatnya yang lain menolak nasakh
seperti ini berdasarkan firman Allah SWT,

“Apa saja yang kami nasakhkan atau kami jadikan (manusia) lupa kepadanya,
kami datangkan yang lebih baik atau yang sebanding dengannya.” QS. Al-
Baqarah:106

Sedang hadits tidak lebih baik atau sebanding dengan Al-Quran.

Ketiga, nasakh As-Sunnah dengan Al-Quran. Ini dibolehkan oleh jumhur, sebagai
contoh masalah menghadap ke Baitul Maqdis yang ditetapkan dengan As-Sunnah dan
di dalam Al-Quran tidak terdapat dalil yang menunjukkannya. Ketetapan dinasakhhan
oleh Al-Quran dengan firman-Nya:
“Maka palingkanlah mukamu ke arah Masjidil Haram.” QS. Al-Baqarah:144

Kewajiban puasa pada hari ‘Asyura’ yang ditetapkan berdasarkan Sunnah juga
dinasakh oleh firmah Allah:
“Maka barangsiapa menyaksikan bulan ramadhan, hendaklah ia berpuasa…” QS. Al-
Baqarah:185

Tetapi nasakh versi ini pun ditolak oleh Imam Syafi’I dalam salah satu riwayat.
Menrutnya, apa saja yang ditetapkan sunnah tentu didukung oleh Al-Quran, dan apa
saja yang ditetapkan Al-Quran tentu didukung pula oleh sunnah.

Keempat, nasakh Sunnah dengan Sunnah. Dalam kategori ini terdapat empat bentuk:
a. Nasakh mutawatir dengan mutawatir
b. Nasakh ahad dengan ahad
c. Nasakh ahad dengan mutawatir
d. Nasakh mutawatir dengan ahad.

Tiga bentuk pertama diperbolehkan, sedang pada bentuk keempat terjadi silang
pendapat seperti halnya nasakh Al-Quran dengan hadits ahad yang tidak dibolehkan
oleh jumhur. Adapun menasakh ‘ijma dengan ‘ijma dan qiyas dengan qiyas atau
menasakh keduanya, maka pendapat shahih tidak membolehkannya.

Nasakh dalam Al-Quran terbagi menjadi tiga bagian:

Pertama, nasakh bacaan dan hukum. Contoh pada ayat yang menyatakan 10 kali
penyusuan. Diriwayatkan oleh Muslim; “Dahulu dalam Al Qur`an susuan yang dapat
menyebabkan menjadi mahram ialah sepuluh kali penyusuan, kemudian hal itu

ii
dinasakh (dihapus) dengan lima kali penyusuan saja. Lalu Rasulullah shallallahu
'alaihi wasallam wafat, dan ayat-ayat Al Qur`an masih tetap di baca seperti itu. ”

Yang jelas ialah bahwa tilawahnya itu telah dinasakh (dihapuskan), tetapi penghapusan
ini tidak sampai kepada semua orang kecuali sesudah wafatnya Rasulullah SAW. Oleh
karena itu, ketika beliau wafat sebagian orang masih tetap membacanya (sebagian dari
Al-Quran).

Kedua, nasakh hukum sedang tilawahnya (lafadznya) tetap. Misalnya nasakh hukum
ayat-ayat ‘iddah selama satu tahun sedang tilawahnya tetap.

Ketiga, nasakh tilawah (lafadz) sedang hukumnya tetap. Contohnya hukum rajm, ada
ikhtilaf ulama dalam naskh jenis ini karena kabarnya adalah khabar ahad. Sebab nasakh
mengandung arti penghapusan dan penetapansuatu hukum yang tetap pada masa nabi,
jadi yang menjadi pegangan dalam hal ini hanyalah nukilan (naqli) dan sejarah, bukan
ra’yu dan ijtihad. Ada yang berpendapat bahwa khabar ahad yang diriwiyatkan para
perawi yang adil tidak dapat diterima dalam hal nasakh. Dan adapula yang
memudahkan persoalannya, sehingga merasa cukup dengan pendapat seorang mufassir
atau mujtahid, dan yang benar adalah kebailkan dari pendapat ini.

2.3 Syarat Naskh dan Mansukh


Untuk mengetahui nasikh mansukh terdapat beberapa cara:
1. Keterangan tegas daari Nabi atau sahabat, seperti hadits.
2. ‘Ijma umat bahwa ayat ini nasikh dan itu mansukh.
3. Mengetahui mana yang terlebih dahulu dan mana yang belakangan berdasarkan
sejarah.
Nasikh tidak dapat ditetapkan berdasarkan ijtihad, pendapat mufassir atau
kontradiksi dalil-dalil secara lahiriah atau terlambatnya keislaman salah seorang dari
dua perawi.

2.4 Hikmah Nasikh dan Mansukh


1. Memelihara kemaslahatan hamba.
2. Perkembangan tasyri’ menuju tingkat sempurna sesuai dengan perkembangan dakwah
dan perkembangan kondisi umat manusia.
3. Cobaan dan ujian bagi seorang mukalllaf apakah mengikutunya atau tidak.
4. Menghendaki kebaikan dan kemudahan bagi umat. Sebab jika naskh itu beralih ke hal
yang lebih berat maka didalamnya terdapat tambahan pahala, dan jika beralih ke hal
yang lebih ringan maka ia mengandung kemudahan dan keringanan.

ii
ii
BAB III

PENUTUP

3.1 Kesimpulan
Secara bahasa nasakh adalah menghapus hukum syara’ dengan dalil syara’ sedangkan
mansukh ialah hukum syara’ yang di hapus atau di ganti. Menurut istilah yang dimaksud
dengan nasikh adalah menghapuskan suatu ketentuan hukum syara’ dengan dalil syara’
yang datang nya kemudian atau bisa disebut dengan menghapus atau membatalkan
berlakunya sesuatu hukum syara’ yang telah ada oleh hukum syara’ yang datang
kemudian. Sedangkan mansukh adalah suatu ketentuan hukum syara’ yang dihapuskan
oleh hukum yang datang kemudian itu. Nasakh hanya bisa terjadi pada perintah dan
larangan, baik yang di ungkapkan dengan kalimat berita yang bermakna amar dan nahyi.
Para ulama berbeda pendapat tentang ada tidaknya nasikh mansukh dalam Al-quran.
Di dalam Al-quran juga terdapat nasikh mansukh, hanya saja kejadiannya terjadi saat
zaman Rasulullah SAW. Sedangkan yang ada di dalam Al-quran sekarang ini tidak ada
lagi nasikh mansukh.

7
DAFTAR PUSTAKA

Nasikh dan Mansukh | Almanhaj


Usman, Ulumul Quran (yogyakarta: TERAS, 2009) hal. 256
Syaikh Manna Al Qaththan, penerjemah: H. Aunnur kafil el-mazni, LC, MA, Mabahits fii
Ulumil Quran (Kairo: Maktabah Wahbah,2004) hal. 285
Nasikh dan Mansukh | Almanhaj

Abdul Djalal. Ulumul Quran (Surabaya: Dunia Ilmu, 2012) hal. 112

7
7

Anda mungkin juga menyukai