Anda di halaman 1dari 15

NASIKH WAL MANSUKH AYAT FIL QUR’AN

DOSEN PENGAMPU : MAHYUDDIN MUNTHE, S.HI, MM

DI

Oleh:
KELOMPOK VIII

ANDRIAN ZANTOMI LASE


ENI CINTA

Sekolah Tinggi Agama Islam Syekh Abdur Rauf Aceh Singkil


STAISAR
Tahun 2022-2023
KATA PENGANTAR

Alhamdulillahhirabbil’alamin

Puji syukur kami panjatkan kehadirat Allah SWT yang maha Esa yang
telah melimpahkan Rahmat, Hidayah dan Inayahnya sehingga Kami dapat
menyelesaikan Makalah yang Berjudul “NASIKH WAL MANSUKH AYAT
FIL QURAN” yang telah Kami susun secara maksimal dapat menjadi
pembelajaran dan amal untuk bekal dikemudian hari.

Dalam penyusunan makalah ini sebagai bentuk kesadaran Kami dalam


memenuhi tugas Mata Kuliah Agama, Kami merasa telah banyak menerima
bantuan dari berbagai pihak baik moral maupun spiritual.

Mudah mudahan makalah ini dapat memberikan manfaat dalam segala


bentuk belajar mengajar, sehingga dapat mempermudah pencapaian tujuan
Pendidikan nasional. Namun makalah ini masih belum sempurna, oleh karna itu
Kami mengharapkan Kritik dan Sarannya yang akan menjadikan makalah ini
jadi lebih baik.

Lipat Kajang, 25 September 2022

Kelompok VIII

i
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR ........................................................................................... i


DAFTAR ISI ......................................................................................................... ii
BAB I PENDAHULUAN ......................................................................................1
1.1 Latar Belakang Masalah ...........................................................................1
1.2 Rumusan Masalah .....................................................................................2
1.3 Tujuan Makalah ........................................................................................2

BAB II PEMBAHASAN .......................................................................................3


2.1 Pengertian Nasikh dan Mansukh ..............................................................3
2.2 Syarat - Syarat Nasakh ..............................................................................4
2.3 Pembagian Nasakh ....................................................................................5
2.4 Ruang Lingkup Nasakh .............................................................................8
2.5 Hikmah adanya Nasakh dalam Al - Qur’an ..............................................9

BAB III PENUTUP .............................................................................................10


3.1 Kesimpulan .............................................................................................10
3.2 Saran .......................................................................................................11

DAFTAR PUSTAKA ..........................................................................................12

ii
BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang


Al-Qur’an adalah kalamullah yang merupakan mu’jizat bagi Nabi
Muhammad SAW. Al-Qur’an merupakan petunjuk bagi umat manusia untuk
mencapai kebahagiaannya di dunia dan di akhirat. Dari awal hingga akhir, Al-
Qur'an merupakan kesatuan utuh. Tak ada pertentangan satu dengan lainnya.
Dalam Al-Qur’an terkandung banyak hikmah dan pelajaran. Al-Qur’an memuat
ayat yang mengandung hal-hal yang berhubungan dengan keimanan, Ilmu
pengetahuan, tentang cerita-cerita, seruan kepada uma tmanusia untuk beriman
dan bertaqwa, memuat tentang ibadah, muamalah dan lain lain.
Al Qur’an diturunkan secara berangsur-angsur, dalam penjelasan Al
Qur’an ada yang dikemukakan secara terperinci, ada pula yang garis besarnya
saja, Ada yang khusus, ada yang masih bersifat umum dan global.
Ada ayat-ayat yang sepintas lalu menunjukkan adanya gejala kontradiksi yang
menurut Quraish Shihab para ulama berbeda pendapat tentang bagaimana
menghadapi ayat-ayat tersebut. Sehingga timbul pembahasan tentang Nasikh
dan Mansukh

1
1.2 Rumusan Masalah
Berdasarkan Latar Belakang Masalah diatas, Penulis merumuskan
rumusan masalah sebagai berikut :
1. Apa pengertian Nasih dan Mansukh ?
2. Apa saja syarat - syarat Nasakh ?
3. Apa saja pembagian Nasakh ?
4. Bagaimana ruang lingkup Nasakh ?
5. Apa hikmah adanya Nasakh dalam Al-Quran ?

1.3 Tujuan Penulisan


Sejalan dengan Rumusan Masalah diatas, Makalah ini ditulis dengan
tujuan untuk mengetahui mendeskripsikan :
1. Untuk mengetahui Nasih dan Mansukh.
2. Untuk mengetahui syarat-syarat Nasakh.
3. Untuk mengetahui pembagian Nasakh.
4. Untuk mengetahui ruang lingkup Nasakh.
5. Untuk mengetahui hikmah adanya Nasakh dalam Al-Quran.

2
BAB II

PEMBAHASAN

2.1 Pengertian Nasikh dan Mansukh


Dari segi etimologi, para ulama’ Ulumul Qur’an mengemukakan arti
kata nasakh dalam beberapa makna, diantaranya adalah menghilangkan,
memindahkan sesuatu dari suatu tempat ke tempat lain, mengganti atau
menukar, membatalkan atau mengubah, dan pengalihan. Nasakh dalam istilah
para ahli ilmu ushul fiqh adalah membatalkan hukum syar’i dengan dalil yang
datang kemudian, yang menunjukkan pembatalan, secara tersurat atau tersirat,
baik pembatalan secara keseluruhan ataupun pembatalan sebagian, menurut
keperluan yang ada. Atau: Melahirkan dalil yang dating kemudian yang secara
implisit menghapus pelaksanaan dalil yang lebih dulu.
Adapun menurut istilah dapat dikemukakan beberapa definisi sebagai
berikut :
1. Menurut Manna’ Khalil al-Qaththan adalah :
‫رفع الحكم الشرعي بخطاب شرعي‬
“Mengangkat atau menghapus hukum syara’ dengan khithab (dalil)
syara’ yang lain”

2. Menurut Muhammad ‘Abd. Adzim al-Zarqaniy :


‫رفع الحكم الشرعي بدليل شرعي متأخر‬
“Mengangkat / menghapus hukum syara’ dengan dalil syara’ yang
lain yang datang kemudian”.

Para ulama mutaqaddimin (abad I hingga abad III H) memperluas arti


Nasikh sehingga mencakup beberapa hal sebagai berikut :
1. Pembatalan hukum yang ditetapkan terlebih dahulu terjadi oleh
hukum yang ditetapkan kemudian.
2. Pengecualian hukum yang bersifat oleh hukum yang bersifat khusus
yang datang kemudian.
3. Penjelasan yang dating terhadap hukum yang bersifat samar.
4. Penetapan syarat terhadap hukum terdahulu yang belum bersyarat.

3
Hal yang demikian luas dipersempit oleh ulama’ yang datang kemudian
(mutaakhkhirin). Menurut mereka nasakh terbatas pada ketentuan hukum yang
datang kemudian guna membatalkan atau mencabut atau menyatakan
berakhirnya masa pemberlakuan hukum yang terdahulu sehingga ketentuan
hukum yang berlaku adalah yang ditetapkan terakhir.
Pengertian mansukh menurut bahasa berarti sesuatu yang
dihapus/dihilangkan/dipindah ataupun disalin/dinukil. Sedangkan menurut
istilah para ulama’, mansukh ialah hukum syara’ yang diambil dari dalil syara’
yang pertama, yang belum diubah dengan dibatalkan dan diganti dengan hukum
dari dalil syara’ baru yang datang kemudian.
Tegasnya, dalam mansukh itu adalah berupa ketentuan hukum syara’
pertama yang telah diubah dan diganti dengan yang baru, karena adanya situasi
dan kondisi yang menghendaki perubahan dan penggantian hukum.

2.2 Syarat - Syarat Nasakh


Dalam pembahasan mengenai ayat - ayat nasikh dan mansukh, perlu
diketahui syarat - syarat nasakh. Syarat - syarat nasakh yang dimaksud adalah
sebagai berikut :
1. Adanya mansukh (ayat yang dihapus) dengan syarat bahwa hukum
yang dihapus itu adalah berupa hukum syara’ yang bersifat ‘amali,
tidak terikat atau tidak dibatasi dengan waktu tertentu. Sebab, bila
terikat dengan waktu maka hukum akan berakhir dengan
berakhirnya waktu tersebut. Karena itu, maka yang demikian itu
tidak dapat dinamakan dengan nasakh. Di samping itu, mansukh
(ayat yang dihapus) tidak bersifat “ajeg” secara nashshi, dan ayat
yang mansukh itu lebih dahulu diturunkan daripada ayat yang
nasikh (menghapus).
2. Adanya mansukh bih (ayat yang digunakan untuk menghapus),
dengan syarat, datangnya dari Syari’ (Allah) atau dan Rasulullah
s.a.w. sendiri yang bertugas menyampaikan wahyu dari Allah.
Sebab penghapusan sesuatu hukum tidak dapat dilakukan dengan
menggunakan ijma’ (konsensus) ataupun qiyas (analogi).

4
3. Adanya nasikh (yang berhak menghapus), yaitu Allah. Kadang-
kadang ketentuan hukum yang dihapus itu berupa al-Qur’an dan
kadang-kadang pula berupa sunnah.
4. Adanya mansukh ‘anhu (arah hukum yang dihapus itu ialah orang-
orang yang sudah aqil-baligh atau mukallaf), karena yang menjadi
sasaran hukum yang menghapus dan atau yang dihapus itu adalah
tertuju kepada mereka.

Sedang ‘Abd. ‘Azhim al-Zarqaniy mengemukakan, bahwa nasakh baru


dapat dilakukan apabila :
1. Adanya dua ayat hukum yang saling bertolak belakang, dan tidak
dapat dikompromikan, serta tidak dapat diamalkan secara sekaligus
dalam segala segi.
2. Ketentuan hukum syara’ yang berlaku (menghapus) datangnya
belakangan daripada ketetapan hukum syara’ yang diangkat atau
dihapus.
3. Harus diketahui secara meyakinkan perurutan turunnya ayat-ayat
tersebut, sehingga yang lebih dahulu diturunkan ditetapkan sebagai
mansukh, dan yang diturunkan kemudiannya sebagai nasikh.

2.3 Pembagian Nasakh


Dalam Pembagian Nasakh Umumnya para ulama’ membagi Nasakh
menjadi empat macam :
1. Nasakh Al-Qur’an dengan Al-Qur’an Ulama-ulama sepakat
mengatakan ini diperbolehkan dan telah terjadi dalam pandangan
mereka yang mendukung adanya naskh dalam Alquran. Misalnya
ada ayat tentang iddah empat bulan sepuluh hari yakni
Q.S. Al - Baqarah ayat 240 :
َ ‫اج ِه ْم َّمت َاعًا اِلَى ْال َح ْو ِل‬
‫غي َْر اِ ْخ َراج‬ َ ِ ً‫صيَّة‬
ِ ‫ّل ْز َو‬ ِ ‫َوا َّل ِذيْنَ يُت ََو َّف ْونَ مِ ْن ُك ْم َو َيذَ ُر ْونَ ا َ ْز َوا ًجا َّو‬
‫ع ِزيْز‬ ٰ ‫علَ ْي ُك ْم فِ ْي َما فَعَ ْلنَ فِ ْي اَ ْنفُ ِس ِه َّن مِ ْن َّم ْع ُر ْوف َو‬
َ ُ‫ّللا‬ َ ‫فَا ِْن خ ََر ْجنَ فَ َل ُجنَا َح‬
‫َح ِكيْم‬

5
Yang artinya :
“Dan orang - orang yang akan meninggal dunia diantara
kamu dan meninggalkan isteri, hendaklah berwasiat untuk isteri -
isterinya, (yaitu) diberi nafkah hingga setahun lamanya dan tidak
disuruh pindah (dari rumahnya). Akan tetapi jika mereka pindah
(sendiri). Maka tidak ada dosa bagimu (wali atau waris dari yang
meninggal) membiarkan mereka berbuat yang ma’ruf terhadap diri
mereka dan Allah Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana”.
2. Nasakh Al - Qur’an dengan sunnah
Menurut Manna’ Khalil Al - Qhathathan nasakh ini ada dua
macam :
a. Nasakh Al - Qur’an dengan Hadits Ahad :
Jumhur Ulama, berpendapat, Al - Qur’an tidak boleh
dinasakh oleh hadits ahad, sebab Qur’an adalah mutawatir
dan menunjukkan yakin, sedang hadits ahad dzanni,
bersifat dugaan, disamping tidak sah pula menghapuskan
sesuatu yang ma’lum (jelas diketahui) dengan yang
madznun (diduga).
b. Nasakh Al - Qur’an dengan Hadist Mutawatir :
Naskh demikian dibolehkan oleh Imam Malik, Imam Abu
Hanifah, dan Iman Ahmad dalam satu riwayat, sebab
masing - masing keduanya adalah wahyu. Allah berfirman
dalam surat an-Najm ayat 3 - 4 :

Yang Artinya :
“Dan tiadalah yang diucapkannya itu menurut kemauan
hawa nafsunya. Ucapnya itu tiada lain hanyalah wahyu
yang diwahyukan (kepadanya).”

6
Sedangkan Asy - Syafi’I, Ahli Zahir dan Ahmad dalam
riwayatnya yang lain menolak naskh seperti ini,
berdasarkan firman Allah surat Al - Baqarah ayat 106 :

Ya Artinya :
“Apa saja ayat yang kami nasakhkan atau kami jadikan
(manusia) lupa kepadanya, kami datangkan yang lebih
baik atau yang sebanding dengannya.”
c. Nasakh Sunnah dengan Al - Qur’an
Ini dibolehkan oleh jumhur. Sebagai contoh ialah shalat
yang dahulunya menghadap Baitul maqdis berdasarkan
sunnah kemudian dinasakh oleh ayat Al - Baqarah : 144
untuk menghadap ka’bah.

Yang artinya :
“Palingkanlah mukamu kea rah Masjidil Haram”.

Tetapi naskh versi ini pun ditolak oleh Syafi’i dalam salah
satu riwayat. Menurutnya, apa saja yang ditetapkan sunnah
tentu didukung oleh Al-Qur’an, dan apa saja yang
ditetapkan Al-Qur’an tentu didukung pula oleh sunnah.
Hal ini karena antara Kitab dengan sunnah harus
senantiasa sejalan dan tidak bertentangan.
d. Nasakh Sunnah dengan Sunnah Dalam kategori ini
terdapat empat bentuk :
1) naskh mutawatir dengan mutawatir,
2) nasakh ahad dengan ahad,
3) naskh ahad dengan mutawatir,
4) naskh mutawatir dengan ahad.

Tiga bentuk pertama dibolehkan, sedang pada bentuk


keempat terjadi silang pendapat seperti halnya nasakh

7
Qur’an dengan hadits ahad, yang tidak didolehkan oleh
jumhur. Adapun menasakh ijma’ dengan ijma’ dan qiyas
dengan qiyas atau menasakh dengan keduanya, maka
pendapat yang shohih tidak membolehkannya. Contoh
nasakh sunnah dengan sunnah ialah mengenai larangan
berziarah kubur pada waktu permulaan Islam. Kemudian
Rasul dengan hadisnya yang lain membolehkan ziarah
kubur setelah masyarakat mengetahui hakikat ziarah
kubur.

Yang artinya :
“Dulu aku (nabi) melarang kalian untuk ziarah kubur,
sekarang berziarah kuburlah kamu.” (H.R. Muslim)

2.4 Ruang Lingkup Nasakh


Nasakh hanya terjadi pada perintah dan larangan, baik yang
diungkapkan dengan tegas dan jelas maupun yang diungkapkan dengan kalimat
khabar (berita) yang bermakna amar (perintah) atau nahy (larangan), jika hal
tersebut tidak berhubungan dengan persoalan akidah, yang berfokus kepada Zat
Allah, sifat-sifat-Nya, para rasul-Nya dari hari kemudian, serta tidak berkaitan
pula dengan etika dan akhlak atau dengan pokok-pokok ibadah dan mu’amalah.
Hal ini karena semua syari’at ilahi tidak lepas dari pokok-pokok tersebut.
Naskh tidak terjadi dalam berita atau kabar yang jelas-jelas tidak
bermakna talab (tuntutan ; perintah atau larangan), seperti janji (al-wa’d) dan
ancaman (al-wa’id).
Penunjukan adanya nasakh dalam syariat. Firman Allah SWT :

“Dan apabila kami mengganti suatu ayat ditempat yang lain”. (An Nahl : 101)

Demikian juga ayat ini juga nyata menunjukkan adanya ayat Al-Qur’an
yang nasikh dan mansukh, bukan hanya nasikh saja. Ayat yang Allah jadikan
pengganti adalah nasikh, ayat yang digantikan adalah ayat mansukh.

8
2.5 Hikmah adanya Nasakh dalam Al - Qur’an
Adapun Hikmah Nasakh secara umum dapat disimpulkan sebagai
berikut :
1. Untuk menunjukkan bahwa syari’at agama islam adalah syari’at
yang paling sempurna. Karena itu, syari’at agama islam ini
menasakh semua syariat dari agamaagama sebelum islam. Sebab,
syari’at Islam ini telah mencakup semua kebutuhan seluruh umat
manusia dari segala periodenya, mulai dari Nabi Adam a.s. yang
kebutuhan-kebutuhannya masih sederhana hingga Nabi akhir
zaman, Nabi Muhammad SAW yang kebutuhan-kebutuhannya
sudah banyak dan kompleks.
2. Selalu menjaga kemaslahatan hamba agar kebutuhan mereka
senantiasa terpelihara dalam semua keadaan dan di sepanjang
zaman.
3. Untuk menjaga agar perkembangan hukum Islam selalu relevan
dengan semua situasi dan kondisi umat yang mengamalkan, mulai
dari yang sederhana sampai ke tingkat yang sempurna.
4. Untuk menguji orang mukallaf, apakah dengan adanya perubahan
dan penggantian - penggantian dari nasakh itu mereka tetap taat,
setia mengamalkan hukum-hukum Tuhan, atau dengan begitu lalu
mereka ingkar dan membangkang.
5. Untuk menambah kebaikan dan pahala bagi hamba yang selalu setia
mengamalkan hukum-hukum perubahan, walaupun dari yang
mudah sampai yang sulit. Sebab, semakin sulit menjalankan suatu
peraturan Tuhan, akan semakin besar manfaat, faedah dan
pahalanya.
6. Untuk memberi dispensasi dan keringanan bagi umat Islam, sebab
dalam beberapa nasakh banyak yang memperingan beban dan
memudahkan pengamalan guna menikmati kebijaksanaan dan
kemurahan Allah SWT yang Maha Pengasih lagi Maha Penyayang.

9
BAB III

PENUTUP

3.1 Kesimpulan
Adapun kesimpulan yang telah penulis rangkum sebagai berikut :
1. Nasakh adalah menghilangkan, memindahkan sesuatu dari suatu tempat ke
tempat lain, mengganti atau menukar, membatalkan atau mengubah, dan
pengalihan. Sedangkan Mansukh ialah hukum syara’ yang diambil dari dalil
syara’ yang pertama, yang belum diubah dengan dibatalkan dan diganti
dengan hukum dari dalil syara’ baru yang datang kemudian.
2. Syarat-syarat nasakh adalah adanya mansukh (ayat yang dihapus), adanya
mansukh bih (ayat yang digunakan untuk menghapus), adanya nasikh (yang
berhak menghapus), adanya mansukh ‘anhu (arah hukum yang dihapus itu
ialah orang-orang yang sudah aqilbaligh atau mukallaf).
3. Umumnya para ulama’ membagi Nasakh menjadi empat macam, yaitu
nasakh Al - Qur’an dengan Al - Qur’an, nasakh Al - Qur’an dengan Sunnah,
nasakh sunnah dengan Al - Qur’an, nasakh sunnah dengan sunnah.
4. Ruang lingkup nasakh hanya terjadi pada perintah dan larangan, baik yang
diungkapkan dengan tegas dan jelas maupun yang diungkapkan dengan
kalimat khabar (berita) yang bermakna amar (perintah) atau nahy (larangan)
tidak berhubungan dengan soal akidah serta tidak berkaitan pula dengan
etika dan akhlak atau dengan pokok-pokok ibadah dan mu’amalah.
5. Hikmah nasakh secara umum ialah untuk menunjukkan bahwa syari’at
agama islam adalah syari’at yang paling sempurna, selalu menjaga
kemaslahatan hamba agar kebutuhan mereka senantiasa terpelihara dalam
semua keadaan dan di sepanjang zaman, untuk menjaga agar perkembangan
hukun Islam selalu relevan dengan semua situasi dan kondisi umat yang
mengamalkan, mulai dari yang sederhana sampai ke tingkat yang sempurna,
untuk menguji orang mukallaf, apakah dengan adanya perubahan dan
penggantian-penggantian dari nasakh itu mereka tetap taat, setia
mengamalkan hukum - hukum Tuhan, atau tidak, untuk menambah

10
kebaikan dan pahala bagi hamba yang selalu setia mengamalkan hukum -
hukum perubahan, untuk member dispensasi dan keringanan bagi ummat
Islam.

3.2 Saran
Makalah ini sangat jauh dari kesempurnaan, maka dari itu kami sebagai
penyusun makalah ini sangat mengharapkan kritik, saran, dan masukan dari
pembaca dan dosen pengampu mata kuliah agar makalah ini jadi lebih
sempurna. Semoga makalah ini membawa manfaat bagi para pembaca.

11
DAFTAR PUSTAKA

https://www.academia.edu/10078808/hadis_nasikh_mansukh
Academia.edu, “Hadis Nasikh Mansukh”,

http://www.referensimakalah.com/2013/04/diskursus-pendapat-ulama-tentang-
nasikh.com
Referensi Makalah ,” Diskursus Pendapat Ulama Tentang Nasikh”

Shihab, M. Quraish. 1994. “Membumikan Al-Qur’an”. Bandung : PT Mizan


Pustaka. Usman. 2009. Ulumul Qur’an. Yogyakarta: TERAS.

Wahhab, Khallaf, Abdul. 1997. Alih bahasa oleh Helmy, Masdar. Ilmu Ushul Fiqh.
Bandung: Gema Risalah Press.

Chirzin, Muhammad. 1998. “Al Qur’an dan Ulumul Qur’an”. Yogyakarta : PT.
Dana Bhakti Prima Yasa.

Djalal, Abdul. 2012. “Ulumul Qur’an”. Surabaya : Dunia Ilmu.

Al-Qhaththan, Manna’ Khalil. 2009. “Studi Ilmu-ilmu Qur’an”. Bogor: PT. Litera
Antar Nusa. Halim Jaya

12

Anda mungkin juga menyukai