Penyusun
i
DAFTAR ISI
Kata Pengantar...................................................................................... i
Daftar Isi................................................................................................ ii
Bab I Pendahuluan................................................................................ 1
A. Latar Belakang............................................................................ 1
B. Rumusan Masalah....................................................................... 1
C. Tujuan.......................................................................................... 1
Bab II Pembahasan............................................................................... 2
A. Pengertian.................................................................................... 2
B. Rukun dan Syarat Naskh............................................................. 3
C. Dasar-Dasar Penetapan Nasikh dan Mansukh............................ 4
D. Bentuk dan Macam-Macam Naskh dalam Al-Quran.................. 5
Bab III Penutup..................................................................................... 9
A. Ringkasan.................................................................................... 9
Daftar Pustaka....................................................................................... 10
ii
BAB I
PENDAHULUAN
A. LATAR BELAKANG
Salah satu tema dalam Ulumul Quran yang mengandung perdebatan para
ulama adalah mengenai nasikh-mansukh. Perbedaan pendapat para ulama dalam
menetapkan ada atau tidaknya ayat-ayat mansukh (dihapus) dalam Al-Quran,
antara lain disebabkan adanya ayat-ayat yang tampak kontradiksi bila dilihat dari
lahirnya. Sebagian ulama berpendapat bahwa diantara ayat-ayat tersebut, ada yang
tidak dikompromikan. Oleh karena itu, mereka menerima teoi nasikh
(penghapusan) dalam Al-Quran. Sebaliknya, bagi para ulama yang berpendapat
bahwa ayat-ayat tersebut keseluruhannya bisa dikompromikan, tidak mengakui
teori penghapusan itu.
Ulama-ulama klasik yang menerima penghapusan dalam Al-Quran
ternyata tidak sepakat dalam menentukan mana ayat yang menghapus (nasikh)
dan mana ayat yang dihapus (mansukh). Dalam beberapa laporan yang sampai
kepada kita, disebutkan bahwa terdapat kecenderungan di kalangan ulama klasik
untuk menekankan bahwa jumlah ayat yang dihapus hingga mencapai bilangan
yang fantastis. Ayat tentang jihad, misalnya telah dikatakan telah membatalkan
sekitar 113 ayat yang mengandung perintah untuk bersifat sabar, pemaaf dan
toleran dalam keadaan tertekan. AsSuyuthi kemudian meredukasi ratusan ayat
yang dinyatakan mansukh menjadi hanya 20 ayat. Syah Walilullah
menguranginya sehingga tersisa 5 ayat. Melihat bagaimana jumlahnya seiring
dengan jalannya sejarah, Sir Sayyid Ahmad Khan langsung menyebutkan bahwa
Al-Quran tidak terdapat penghapusan.
B. RUMUSAN MASALAH
Adapun rumusan masalah yang penulis terapkan yaitu:
1. Apa yang dimaksud dengan naskh-mansukh?
2. Apa saja rukun dan syarat naskh?
3. Bagaimana dasar-dasar penetapan nasikh dan mansukh?
4. Apa saja bentuk dan macam-macam naskh dalam al-quran?
C. TUJUAN
Makalah ini bertujuan untuk memberikan pemahaman tentang nasikh-
mansukh dalam al-quran sekaligus menambah wawasan dan pengetahuan pada
mata kuliah ini.
1
BAB II
PEMBAHASAN
A. PENGERTIAN
Secara lughawi, ada 4 makna naskh yang sering diungkapkan ulama, yaitu
sebagai berikut:
1. Izalah (menghilangkan), seperti dalam ayat berikut:
Artinya:
“Dan Kami tidak mengutus sebelum kamu seorang rasul pun tidak seorang nabi
melainkan apabila ia mempunyai suatu keinginan, setan pun memasukan godaan-
godaan terhadap keinginan itu, Allah menghilangkan apa yang dimasukkan oleh
setan itu, dan Allah menguatkan ayat-ayat-Nya. Dan Allah Maha Mengetahui lagi
Mahabijaksana.” (Q.S.Al-Hajj [22]:52)
2. Tabdil (penggantian)
Artinya:
‘Dan apabila Kami letakkan suatu ayat di tempat ayat yang lain sebagai
penggantinya padahal Allah lebih mengetahui apa yang diturunkan-Nya, mereka
berkata, ‘Sesungguhnya kamu adalah orang yang mengada-adakan saja’. Bahkan,
kebanyakan mereka tiada mengetahui.”(Q.S.An-Nahl [16]:101)
3. Tahwil (memalingkan), seperti tanasukh Al-Mawarits, artinya
memalingkan pusaka dari seseorang kepada orang lain.
2
4. Naql (memindahkan dari satu tempat ke tempat lain), seperti nasakhtu
Al-kitaaba, yakni mengutip atau memindahkan isi kitab tersebut berikut
lafazh dan tulisannya. Sebagian ulama menolak makna keempat ini,
dengan alasan bahwa si nasikh tidak dapat mendatangkan lafaszh yang
di-mansukh itu, tetapi hanya mendatangkan lafazh lain.
Adapun bagi segi terminologi, para ulama mendefinikan naksh, dengan
redaksi yang sedikit berbeda, tetapi dengan pengertian yang sama, dengan:”raf’u
Al-hukm Al-syar’i“(menghapuskan hukum syara dengan khatab syara pula) atau
“raf’u Al-hukm bil Al-dalil Al-syar’i“(menghapuskan hukum syara dengan dalil
syara yang lain). Terminologi “menghapuskan” dalam definisi tersebut adala
terputusnya hubungan hukum yang dihapus dari seorang mukallaf, dan bukan
terhapusnya substansi hukum itu sendiri.
Sementara itu, Quraish Shihab menyatakan bahwa antara ulama-ulama
mutaqaddimin dan muta’akhirin tidak sepakat dalam memberikan pengertian
naskh secara terminologi. Hal itu terlihat dari kontroversi yang muncul diantara
mereka dalam menetapkan adanya naskh dalam Al-Quran. Ulama-ulama
mutaqddimin bahkan memperluas arti naskh hingga mencakup:
1. Pembatalan hukum yang ditetapkan oleh hukum yang ditetapkan
kemudian.
2. Pengecualia hukum yang bersifat umum oleh hukum yang spesifik yang
datang kemudian.
3. Penjelasan susulan terhadap hukum yang bersifat ambigus.
4. Penetapan syarat bagi hukum yang datang kemudian guna membatalkan
atau merebut atau menyatakan berakhirnya masa berlakunya hukum
yang terdahulu.
Dari definisi-definisi yang ada, para asli ushul fiqh menyatakan bahwa
naskh bisa dibenarkan bila memenuhi kriteria berikut:
1. Pembatalan harus dilakukan melalui tuntutan syara’ yang mengandung
hukum dari Allah dan Rasul-Nya yang disebut nasikh (yang
menghapus). Dengan demikian, habisnya masa berlaku hukum yang
disebabkan wafatnya seseorang tidak dinamakan naskh.
2. Yang dibatalkan adalah syara’ yang disebut mansukh (yang dihapus).
3. Nasikh harus datang kemudia (terakhir) dari mansukh. Dengan
demikian, istisna (pengecualian) tidak disebut naskh.
3
3. Mansukh, yaitu hukum yang dibatalkan, dihapuskan atau dipindahkan.
4. Mansukh ‘anh, yaitu orang yang dibebani hukum.
Adapun syarat-syarat naskh adalah:
1. Yang dibatalkan adalah hukum syara’.
2. Pembatalan itu datangnya dari tuntutan syara’.
3. Pembatalan hukum tidak disebabkan oleh berakhirnya waktu
pemberlakuan hukum, sepeti perintah Allah tentang kewajiban berpuasa
tidak berarti di naskh setelah selesai melaksankan puasa tersebut.
4. Tuntutan yang mengandung naskh harus datang kemudian.
Dengan demikian, ada dua lapangan yang tidak menerima nasakh yaitu:
1. Seluruh khabar/aqidah baik dalam Al-Quran maupun As-Sunnah.
Sebab, pembatalan khabar berarti mendustakan khabar itu sendiri,
sedangkan Al-Quran dan As-Sunnah mustahil memuat kebohongan.
2. Hukum-hukum yang disyariatkan secara abadi.
4
diperkenankan memegang ijtihad para mujtahid tanpa penukilah yang disahih, dan
sanggahan yang jelas, sebab naskh mengandung arti menghapuskan dan
menetapkan hukum yang sudah ditetapkan pada Nabi Muhammad SAW. Yang
dipegangi dalam masalah ini adalah penukilah dan sejarah, bukan pendapat dan
ijtihad. Para ulama, dalam masalah ini, berada pada dua kutub kontradiksi; ada
yang mengatakan dalam masalah naskh hadist ahad yang adil, para perawinya
tidak diterima, da nada yang bersikap terlalu toleran, dalam hal ini cukup
memegangi pendapat seorang musfir atau mujtahid. Yang benar adalah pendapat
yang bertentangan dengan keduanya.
Artinya:
“Hai Nabi, kobarkanlah semangat orang mukmin untuk berperang. Jika ada dua
puluh orang yang sabar diantara kamu, pasti mereka akan dapat mengalahkan dua
ratus orang musuh. Dan jika ada seratus orang (yang sabar) diantara kamu,
mereka dapat mengalahkan seribu kafir, sebab orang-orang kafir adalah kaum
yang tidak mengerti”. (Q.S al-anfal: 65)
2. Naskh dhimmy, yaitu jika terdapat dua naskh yang saling bertentangga
dan tidak dikompromikan, dan keduanya turun untuk sebuah masalah
yang sama, serta kedua-duanya diketahui waktu turunnya, ayat yang
datang kemudian menghapus ayat yang terdahulu. Contohnya,
ketetapan Allah yang mewajibkan berwasiat bagi orang-orang yang
akan mati yang terdapat dalam surat Al-Baqoroh [2]:180:
5
Artinya:
“Diwajibkan atas kamu, apabila seseorang diantara kamu kedatangan (tanda-
tanda) maut, jika ia meninggalkan harta yang banyak, untuk berwasiat bagi ibu-
bapak serta karib-kerabatnya secara ma’ruf.”
Ayat ini, menurut pendukung teori naskh di-naskh oleh hadis la wasyiyyah li
waris (tidak ada wasiat bagi ahli waris).
3. Naskh kully, yaitu menghapus hukum yang sebelumnya secara
keseluruhan. Contohnya, ketentuan ‘iddah empat bulan sepuluh hari
pada surat Al-Baqarah [2] ayat 234 di-naskh oleh ketentuan ‘iddah satu
tahun pada ayat 240 dalam surat yang sama.
4. Naskh juz’iy, yaitu menghapus hukum umum yang belaku bagi semua
individu dengan hukum yang hanya berlaku bagi sebagian individu,
atau menghapus hukum yang bersifat muthlaq dengan hukum
muqayyad. Contohnya, hukum dera 80 kali bagi orang yang menuduh
seorang wanita tanpa adanya saksi pada surat An-Nur [24] ayat 4,
dihapus oleh ketentuan li’an, yaitu bersumpah empat kali dengan nama
Allah, jika si penuduh suami yang tertuduh, pada ayat 6 dalam surat
yang sama.
Dilihat dari bacaannya dan hukumnya, mayoritas ulama membagi naskh
kepada tiga macam yaitu:
1. Penghapusan terhadap hukum (hukm) dan bacaan (tilawah) secara
bersamaan. Ayat-ayat yang terbilang kategori ini tidak dibenarkan
dibaca dan tidak dibenarkan diamalkan. Misalnya sebuah riwayat Al-
Bukhari dan Muslim, yaitu hadis ‘Aisyah ra.
6
Artinya:
“Dahulu termasuk yang diturunkan (ayat Al-quran) adalah sepuluh radaha’at
(isapan menyusu) yang diketahui, kemudian dinaskh oleh lima (isafan menyusu)
yang diketahui. Setelah Rasulullah wafat, hukum yang terakhir tetap dibaca
sebagai bagian al-quran.”
Maksudnya, mula-mula dua orang yang berlainan ibu sudah dianggap bersaudara
apabila salah seorang diantara keduanya meyusu kepada ibu salah seorang
diantara mereka sebanyak sepuluh isapan. Ketetapan sepuluh isapan ini kemudian
di-naskh menjadi lima isapan. Ayat tetntang sepuluh atau lima isapan dalam
menyusu kepada seorang ibu, sekarang ini tidak termasuk didalam mushaf karena
baik bacaannya maupun hukumnya telah di-naskh.
2. Penghapusan terhadap hukumnya saja, sedangkan bacaannya tetap ada.
Contohnya, ajakan para penyembah berhala dari kalangan musyrikin
kepada umayt isalam untuk saling bergantiin dalam beribadah, telah
dihapus oleh ketentuan ayat qital (peperangan). Akan tetapi, bunyi
teksnya masih dapat kita temukan dalam surat al-kafirun [109]:6,
Artinya:
“Untukmulah agamamu, dan untukkulah agamaku.”(QS Al-Kafirun:6)
3. Penghapusan terhadap bacaanya saja, sedangkan hukumnya tetap
berlaku. Contoh kategori ini biasanya diambil dari ayat rajam. Mula-
mula ayat raja mini terbilang ayat al-quran.Ayat yang dinyatakan
mansukh bacaanya, sementara hukunya tetap berlaku itu adalah:
7
Artinya:
“Jika seorang pria tua dan wanita tua berzina, maka rajamlah keduanya…”
Adapun dari sisi otoritas mana yang lebih berhak menghapus sebuah naskh, para
ulama mebagi naskh kedalam 4 macam:
1. Naskh Al-quran dengan Al-quran: Para ulama sepakat akan
kebolehannya.
2. Naskh Al-quran dengan As-sunnah. Bagi kalangan ulama Hanafiah,
Naskh semacam ini diperkenan bila sunnah yang menghapusnya sunnah
mutawatir atau masyhur. Akan tetapi ketentuan itu tidak berlaku apabila
sunnah yang menghapusnya berupa sunnah ahad. Bila kedua jenis
sunnah di atas berstatus qhath’i tsubut, sebagaimana Al-quran, hal itu
berbeda dengan sunnah ahad yang bersifat zhanny tsubut. Keputusan-
keputusan kalangan hanafiyah mendapat bantahan kera dari kalangan
mayoritas ulama ushul fiqh. Bagi mereka, apapun jenis sunnah yang
akan menghapus ketentuan hukum dalam al-quran, al itu tetap tidak
diperkenankan. Untuk itu, Asy-Syafi’i mengajukan analisisnya sebagai
berikut: Sunnah tidak sederajat dengan Al-quran. Padahal, Naskh yang
dijanjikan tuhan dalam surat Al-Baqarah [2]ayat 106 adalah yang
sepadan derajatnya atau bahkan lebih tinggi. Dalam surat Yunus [10]:
15 dinyatakan bahwa Muhammad tidak berhak untuk mengubah Al-
quran atas kemauannya. Surat An-Nahl [16]: 44 menyatakan bahwa
missi Muhammad adalah penjelas (Mubayin) terhadap Al-quran,
sehingga setelah mereka memperoleh penjelasan darinya, umat bisa
mengamakan Al-quran. Bila Muhammad berhak menghapus ketentuan
Al-quran, nanti yang diamalkan umat bukan Al-quran, tetapi As-
Sunnah. Ini berarti bertentangan dengan surat An-Nahl [16]: 44.
Menghindari naskh Al-quran dengan As-Sunnah bisa menjauhi celaan
dari Muhammad.
3. Naskh As-Sunnah dengan Al-Quran. Menurut mayoritas ahli ushul,
Naskh semacam ini benar-benar terjadi. Contohnya adalah penghapusan
kiblat sholat ke Bait Al-Muqaddas menjadi ke Kabah. Akan tetapi, lagi-
lagi Asy-Syafi’i menolah penghapusan semacam ini. Baginya, jika
Muhammad menetapkan suatu ketentuan, kemudian turun ayat yang
isinya bertentangan, beliau pasti akan membuat ketentuan baru yang
sesuai dengan Al-quran. Jika tidak demikian, akan terbualah pintu
untuk menuduh bahwa setiap sunnah yang menjadi bayan Al-Quran
sudah dihapus.
8
4. Naskh As-Sunnah dengan As-Sunnah. Bagi Al-Qaththan, pada
dasarnya, ketentuan naskh dalam ijma’ dan qiyas itu tidak ada dan tidak
diperkenankan.
BAB III
PENUTUP
A. Ringkasan
1. Definis Naskh
a. Secara etimologi: Penghilangan (izalah), penggantian (tabdil), pengubahan
(tahwil) dan pemindahan (naql).
b. Secara terminologi: “Raf’u al-hukm al-syar’i bi al-khithab al-syar’i”
(menghapuskan hukum syara dengan kitab syara pula) atau “Raf’u al-
hukm bil al-dalil al-syar’i” (menghapus hukum syara dengan dalil syara
yang lain.
3. Syarat Naskh
a. Yang dibatalkan adalah hukum syara’.
b. Pembatalan itu datangnya dari tuntutan syara’.
c. Pembatalan hukum tidak disebabkan oleh berakhirnya waktu
pemberlakuan hukum.
d. Tuntutan yang mengandung naskh harus datang kemudian
9
a. Melalui pentransmisian yang jelas (An-Naql Al-Sharih) dari Nabi atau
para sahabatnya.
b. Melalui kesepakatan umat bahwa ayat ini nasikh dan ayat itu mansukh;
c. Melalui studi sejarah, mana ayat yang lebih belakang turun, karenanya
disbeut nasikh, dan mana yang duluan turun, karenanya disebut mansukh
DAFTAR PUSTAKA
Mamikos. 2022. “13 Contoh Kata Pengantar Makalah yang Baik dan Benar,
Lengkap Singkat!”, https://mamikos.com/info/contoh-kata-pengantar-makalah-
yang-baik-dan-benar-lengkap-singkat/, diakses pada 17 September 2022 pukul
11.34
Anwar, Rosihon. 2007. Ulumul Al-Quran. Badung: CV Pustaka Setia
10