Anda di halaman 1dari 20

MAKALAH

NASIKH DAN MANSUKH


(Makalah Ditulis Untuk Memenuhi Tugas Mata Kuliah Ulumul
Qur’an)

Disusun Oleh :

Kelompok III (Tiga)

Freti Sri windia


Zaleha irvina
Denny Sarmila

Dosen Pengampu :
H. Agus Mukmin, LC., M.Hum
NIDN : 2120088601

FAKULTAS TARBIYAH
PRODI BIMBINGAN KONSELING PENDIDIKAN ISLAM
INSTITUT AGAMA ISLAM AL-AZHAAR LUBUKLINGGAU
TAHUN AKADEMIK 2022-2023

ii
KATA PENGANTAR

Puji dan syukur kita panjatkan kepada Allah SWT karena atas berkat dan
rahmat-Nyalah kami bisa menyelesaikan tugas makalah ini dengan tepat waktu
dan maksimal.

Makalah ini disusun untuk memenuhi tugas mata kuliah Ulumul Qur’an
semester II (dua). Adapun topik yang dibahas didalam makalah ini adalah Nasikh
Dan Mansukh.

Penulis juga mengucapkan terima kasih kepada semua pihak terutama


teman-teman yang telah berkontribusi dan mendukung secara moral untuk
tersajinya makalah ini. Penulis juga menyadari bahwa makalah ini masih jauh dari
kata sempurna, hal itu dikarenakan keterbatasan yang ada bagi penulis. Sehingga
penulis sangat menharapkan saran dan kritik yang membangun dari pembaca.

Kiranya makalah ini memberikan banyak manfaat bagi kehidupan kita


semua. Sehingga penegakan hukum dan hak asasi manusia di Indonesia dapat
terselesaikan, atas perhatianya saya ucapkan terima kasih.

Lubuklinggau, 08 Mei 2023

Penulis

1
DAFTAR ISI

COVER …………………………………………………………………..

KATA PENGANTAR …………………………………………………. i

DAFTAR ISI ……………………………………………………………. ii

BAB I : PENDAHULUAN …………………………………………….. 3

A. Latar Belakang ………………………………………………….. 3


B. Rumusan Masalah ………………………………………………. 3
C. Tujuan Penulisan ………………………………………………... 3

BAB II : PEMBAHASAN………………….………………………...….. 4

A. Andaikan Al-Qur'an Tidak Diturunkan dari Allah…………….. 4


B. Naskh Dan Takhsish…………………………………………….. 6
C. Bentuk-Bentuk dan Macam-Macam Naskh Dalam Al-Quran…. 11
D. Hikmah Keberadaan Naskh…………………………………….. 16

BAB III : PENUTUP …………………………….........................……... 17

A. Kesimpulan ………………………………………….....………… 17
B. Saran……………………………………………………………… 17

DAFTAR ISI …………………………………………………….......…… 18

2
BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Salah satu tema dalam ulum Al-Qur‟an yang mengundang perdebatan para ulama adalah
mengenai nasikh-mansukh.Perbedaan pendapat para ulama dalam menetapkan ada atau tidak
adanya ayat-ayat mansukh(dihapus) dalam Alqur‟an,antara lain disebabkan adanya ayat-ayat
yang tampak kontradiksi bila dilihat dari lahirnya. Sebagian ulama berpendapat bahwa
diantara ayat-ayat tersebut, adayang tidak bisa dikompromikan.Oleh karena itu,mereka
menerima teori nasikh(penghapusan) dalam Al-qur‟an.Sebaliknya,bagi para ulama yang
berpendapat bahwa ayat-ayat tersebut keseluruhannya bisa dikompromikan,tidak mengakui
teori penghapusan itu.Ulama-ulama klasik yang menerima penhapusan dalam Al-qur‟an
ternyata tidak sepakat dalam menentukan mana ayat yang menghapus (nasikh) dan mana ayat
yang dihapus (mansukh).

B. Rumusan Masalah

1. Apa yang dimaksud dengan Naskh?


2. Apa saja rukun dan Syarat Naskh?
3. Apa perbedaan antara Naskh,Takhsish,dan Bada‟?
4. Bagaimana dasar-dasar penetapan Nasikh-Mansukh?
5. Bagaimana perbedaan pendapat tentang adanya ayat-ayat Mansukh dalam Al-qur‟an?

C. Tujuan Penulisan

1. Tujuan dari pembahasan makalah ini adalah agar kita bisa lebih mengenal tentang
Nasikh dan Mansukh.
2. silsilah nasikh mansukh dan lebih memudahkan kita untuk mempelajari lebih jauh lagi
sehingga dalam proses mempelajarinya kita tidak menemukan kesulitan.

3
BAB II

PEMBAHASAN

A. Andaikan Al-Qur'an Tidak Diturunkan dari Allah, Isinya Pasti Saling Bertentangan

1. Ungkapan ini sangat penting dalam rangka menafsirkan ayat-ayat memahami dan serta
ketentuan-ketentuan yang ada dalam al-Qur'an.

Kitab Suci yang terdiri dari 6000 ayat lebih dan terbagi dalam 114 kelompok surat,
mengandung berbagai jenis pembicaraan dan persoalan. Didalamnya terkandung antara lain
nasihat, sejarah, dasar-dasar ilmu pengetahuan, keimanan, ajaran budi luhur, perintah dan
larangan. Masalah-masalah yang disebutkan terakhir ini, tampak jelas dengan adanya ciri-ciri
hukum didalamnya. Semua jenis masalah ini terkait satu dengan lainnya dan saling
menjelaskan.

Dalam kaitan itu, Imam Suyuthi maupun Imam Syathibi banyak mengulas prinsip tersebut.
Mereka mencatat adanya pendapat yang memandang adanya tiap ayat atau kelompok ayat
yang berdiri sendiri. Tapi semuanya berpendapat bahwa antara satu ayat dengan ayat lainnya
dari al-Qur'an tidak ada kontradiksi (ta'arudl). Dari asas inilah lahir metode-metode penafsiran
untuk meluruskan pengertian terhadap bagian-bagian yang sepintas lalu tampak saling
bertentangan. Adanya gejala pertentangan (ta'arudl) yang demikian merupakan asas metode
penafsiran dimana Nasikh-Mansukh merupakan salah satu bagiannya.

2. Pengertian naskh secara lughawi

Ada empat makna naskh yang sering diungkapkan ulama, yaitu secara berikut :

a. Menghilangkan (Izalah) yaitu mengganti ayat sebelumnya.


b. Mengganti (Tabdil) yaitu mengoreksi dan meralat kalimat dengan yang lain yang lebih
baik, namun kandungannya tetap.
c. Memalingkan (Tahwil) yaitu ayat yang di mansukh diperbaharui
kandungan-
kandungannya sehingga lebih jelas.
d. Menukil (memindahkan) yaitu memindahkan peletakan kata dalam suatu ayat agar lebih
baik arti dan maknanya.
4
e. Mengkhususkan (Tahshish) yaitu mengkhususkan/ menspesifikkan pembahasan ayat
menjadi lebih terperinci sehinga lebih mudah dipahami.

Dari segi terminologi, para ulama mendefinisikan naskh, dengan “raf‟u Alhukm Al-
syari‟bi Al-Khitab Al- syar‟i (menghapuskan hukum syara dengan dalil syara yang lain).
Maksud menghapuskan disini adalah terputusnya hubungan hukum yang dihapus dari seorang
mukallaf, dan bukan terhapusnya substansi hukum itu sendiri.

Ulama-ulama mutaqaddimin memperluas arti naskh, mencakup:

a. Pembatalan hukum yang ditetapkan oleh hukum yang ditetapkan kemudian.


b. Pengecualian hukum yang bersifat umum oleh hukum yang spesifik yang datang
kemudian.
c. Penjelasan susulan terhadap hukum yang bersifat ambigius.
d. Penetapan syarat bagi hukum yang datang kemudian guna membatalkan atau merebut atau
menyatakan berakhirnyamasa berlakunya hukum yang terdahulu.

Menurut ahli ushul fiqh menyatakan bahwa naskh bisa dibenarkan bila memenuhi kriteria
berikut:

e. Pembatalan harus dilakukan melalui tuntutan syara‟ yang mengandung hukum dari Allah
dan Rasul-Nya yang disebut nasikh (yang menghapus).
f. Yang dibatalkan adalah syara‟ yang disebut mansukh (yang dihapus).
g. Nasikh harus datang kemudian (terakhir) dari mansukh

3. Rukun dan syarat naskh rukun-rukun naskh

a. Adat naskh, adalah pernyataan yang menunjukkan adanya pembatalan hukum yang telah
ada.
b. Nasikh, yaitu dalil kemudian yang menghapus hukum yang telah ada.
c. Mansukh, yaitu hukum yang dibatalkan, dihapuskan, atau dipindahkan.
d. Mansukh „anh, yaitu orang yang dibebani hukum.

Syarat-syarat naskh adalah:

a. Yang dibatalkan adalah hukum syara‟.

5
b. Pembatalan itu datangnya dari tuntutan syara‟.
c. Pembatalan hukum tidak disebabkan oleh berakhirnya waktu pemberlakuan hukum.
d. Tuntutan yang mengandung naskh harus datang kemudian.

Ada dua lapangan yang tidak menerima nasakh, yaitu:

e. Seluruh khabar/aqidah baik dalam Al-Quran maupun As-Sunnah.


f. Hukum-hukum yang disyariatkan secara abadi.

4. Perbedaan antara Naskh, Takhsish, dan Bada’

Ibnu Katsir dan Al-Maraghi menetapkan adanya pembatalan hukum dalam AlQuran.
Sedangkan Al-Ashfhani menyatakan bahwa Al-Quran tidak pernah disentuh “pembatalan”,
tetapi dia sepakat tentang:

a. Adanya pengecualian hukum yang bersifat umum oleh hukum yang spesifik yang datang
kemudian.
b. Adanya penjelasan susulan terhadap hukum terdahulu yang ambigius.
c. Adanya penetapan syarat terhadap hukum yang terdahulu yang belum bersyarat.

Ibnu Katsir dan Al-Maraghi memandang ketiga hal di atas sebagai naskh, sedangkan Al-
Ashfahani memandangnya sebagai takshish.Al-Ashfahani berpendapat bahwa tidak ada naskh
dalam Al-Quran.

Menurut Al-Ashfahani takhshish diartikan “mengeluarkan sebagian satuan (afrad) dari


satuan-satuan yang tercakup dalam lafadz „amm”.

B. Naskh Dan Takhsish

Satuan yang terdapat dalam naskh Satuan yang terdapat dalam takhshish bukan
merupakan bagian satuan yang merupakan sebagian dari satuan yang terdapat dalam lafazh
„amm terdapat dalam mansukh

Naskh adalah menghapuskan hukum Takhshish merupakan hokum dari-dari seluruh


satuan yang tercakup sebagian satuan yang tercakup dalam dalil „amm dalam dalil mansukh
Naskh hanya terjadi dengan dalil yang Takhshish dapat terjadi baik dengan datang kemudian

6
dalil yang kemudian maupun menyertai dan mendahuluinya Naskh adanya hubungan
mansukh menghapuskan Takhshish tidak menghapuskan hukum dalam rentang „amm sama
sekali.

Hukum „amm tetap waktu yang tidak terbatas berlaku meskipun sudah dikhususkan
setelah terjadi naskh, seluruh satuan Setelah terjadi Takhshish, sisa satuan yang terdapat
dalam nasikh tidak terikat yang terdapat pada „amm tetap terikat dengan hukum yang terdapat
dalam oleh dalil „amm mansukh Bada‟ menurut sumber-sumber kamus yang mashyur, adalah
azh-zhuhur ba‟da Al-khafa‟(menampakkan setelah bersembunyi). Firman Allah:

Artinya: “Dan nyatalah bagi mereka keburukan-keburukan dari apa yang mereka kerjakan dan
mereka diliputi oleh (azab) yang olokkannya”(QS. Al-Jatsiyah : 33).

Arti bada‟ yang lain adalah „nasy‟ah ra‟yin jadid lam yaku maujud” (munculnya
pemikiran baru setelah sebelumnya tidak terlintas). Definisi ini pun tersirat dalam firman
Allah pada surat Yusuf ayat 35:

Artinya: “ Kemudian timbul pikiran pada mereka setelah melihat tanda-tanda (kebenaran
Yusuf) bahwa mereka harus memenjarakannya sampai sesuatu waktu” (QS. Yusuf :35).

Dalam bada‟ timbulnya hukum yang baru disebabkan oleh ketidaktahuan sang
pembuat hukum akan kemungkinan munculnya hukum baru itu. Sedangkan dalam naskh,
bagi ulama yang mengakui keberadaannya, Allah mengetahui nasikh dan mansukh sejak
zaman azali, sebelum hukum-hukum itu diturunkan kepada manusia.

7
1. Dasar-dasar Penetapan Nasikh dan Mansukh

Manna Al-Qaththan menetapkan tiga dasar untuk menegaskan bahwa suatu ayat dikatakan
nasikh (menghapus) ayat lain mansukh (dihapus), yaitu:

a. Melalui pentransmisian yang jelas (An-naql Al-Sharih) dari Nabi atau para sahabatnya.
b. Melalui kesepakatan umat bahwa ayat ini nasikh dan ayat itu mansukh.
c. Melalui studi sejarah, mana ayat yang lebih belakang turun, sehinngga disebut nasikh, dan
mana yang duluan turun, sehingga disebut mansukh.

Al-Qaththan menambahkan bahwa nasikh tidak bisa ditetapkan melalui prosedur ijtihad,
pendapat ahli tafsir, karena adanya kontradiksi antara beberapa dalil apabila dilihat dari
lahirnya, atau latar belakang keislaman salah seorang dari pembawa riwayat.

Ibnu Al-Hisar mengemukakan: Persoalan naskh dikembalikan pada pernyataan yang jelas
dari Rasulullah SAW, atau dari seorang sahabat yang mengatakan sebuah ayat ini di-naskh
oleh yang ini. Dalam masalah naskh, tidak diperkenankan memegangi ijtihad para mujtahid
tanpa pernyataan yang sahih, dan sanggahan yang jelas, sebab naskh mengandung arti
menghapuskan dan menetapkan hukum yang sudah ditetapkan pada masa Nabi SAW, yang
dipegangi dalam masalah ini adalah pernyataan dan sejarah, bukan pendapat dan ijtihad.

2. Perbedaan Pendapat tentang Adanya Ayat-ayat Mansukh dalam AlQuran

Perbedaan di kalangan ulama tentang eksistensi naskh dalam Al-Quran:

a. Menerima keberadaan naskh dalan Al-Quran Mayoritas ulama menerima keberadaan


naskh, mereka mngemukakan argumentasi naqliah dan aqliah. Firman Allah:

Artinya: ”Ayat mana saja yang Kami nasakh-kan, atau Kami jadikan (manusia) lupa
kepadanya, Kami datangkan yang lebih baik daripadanya atau sebanding dengannya.
Tidakkah kamu mengetahui bahwa sesungguhnya Allah Maha Kuasa atas segala sesuatu”
].QS. Al-Baqarah : 106[

8
Artinya: “Allah menghapuskan apa yang Dia kehendaki dan menetapkan (apa yang Dia
kehendaki), dan di sisi-Nya-lah terdapat Ummul-Kitab (Lauh mahfuzh)” (QS. ArRa‟ad: 39).

Artinya: “Dan apabila Kami letakkan suatu ayat di tempat ayat yang lain sebagai
penggantinya padahal Allah lebih mengetahui apa yang diturunkan-Nya, mereka berkata:
"Sesungguhnya kamu adalah orang yang mengada-adakan saja". Bahkan kebanyakan mereka
tiada mengetahui” (QS. An-Nahl: 101).

Berpijak pada ayat-ayat di atas, para ulama berpendapat bahwa revisi AlQuran telah
terjadi. Adapun dalil-dalil yang dikemukakan para ulama adalah sebagai berikut:

a. Dalil pertama

Naskh tidak merupakan hal yang terlarang menurut akal pikiran dan setiap yang tidak
dilarang berarti boleh.Mu‟tazilah menambahkan bahwa hukum Allah itu wajib membawa
maslahat bagi hamba-Nya. Sedangkan ahli sunnah mengatakan bahwa tidak ada yang wajib
bagi Allah terhadap hamba-Nya. Kalaupun Allah me-naskh-kannya tidak akan membawa
akibat kepada hukum-Nya. Semua hukum Allah dan perbuatan-Nya adalah himmah balighah,
ilmu yang luas dan Mahasuci dari sifat jahat dan aniaya.

b. Dalil kedua

Seandainya naskh tidak dibolehkan akal dan tidak terjadi, syar‟I tidak boleh
memerintahkan sesuatu kepada hamba-Nya dengan perintah sementara dan melarangnya

9
dengan larangan sementara.Akan tetapi, para penentang naskh berkata bahwa perintah dan
larangan itu dapat terjadi.

c. Dalil ketiga

Seandainya naskh itu tidak boleh menurut akal dan terjadi menurut sam‟iyat, tidak akan
ditetapkan risalah Muhammad SAW kepada seluruh alam, sedangkan semuanya mengakui
bahwa risalah itu semua berlaku untuk seluruh alam dengan dalil yang pasti. Syariat yang
terdahulu dengan sendirinya aka kekal, tetapi akan di-naskh-kan oleh syariat yang terakhir.

d. Dalil keempat

Naskh terjadi menurut nash. Keadaan “terjadi (Al-Wuqu‟)” memberikan pengertian boleh
bertambah (aj-jawaz wa ziyadah).

3. Menolak keberadaan naskh dalam Al-Quran

Menurut para ulama yang masuk dalam kelompok ini, naskh diberi pengertian bukan
sebagai pembatalan, tetapi sebagai pergantian,perngalihan, dan pemindahan ayat hukum
disuatu tempat kepada ayat hukum ditempat lain.Terhadap argumentasi mayritas ulama yang
didukung oleh surat An-nahl ayat 101,AlAshfahani membantahnya dengan mengjukan ayat
42 surat Al-Fushilat :

Artinya: ”Yang tidak datang kepadanya (Al Quraan) kebatilan baik dari depan maupun dari
belakangnya, yang diturunkan dari Rabb Yang Maha Bijaksana lagi Maha
Terpuji.”(QS.Fushilat:42).

Mayoritas ulama merasa keberatan terhadap pendapat Al-ashfahani sebab bagi


mereka,ayat diatas tidak berbicara tentang”pembatalan”,tetapi tentang “kebatilan” yang berarti
lawan dari”kebenaran”. Hukum Tuhan yang dibatalkanya tidak mengandung keharusan bahwa
hukum itu batil, sebab sesuatu yang dibatalkan penggunaanya ketika terdapat perkembangaan
dan kemaslahatan pada suatu wakyu,bukan berarti hukum itu

10
menjadi tidak benar.Quraish Shihab menyimpulkanbahwa semua ayat Al-qur‟an pada
dasarnya berlaku.

Ayat hukum yang tidak kondusip pada suatu waktu, Pada waktu yang berlainanakan
tetap berlaku bagi orang-orang yang memiliki kesesuaian kondisi dengan apa yang ditunjuk
oleh ayat yang bersangkutan.

C. Bentuk-Bentuk dan Macam-Macam Naskh Dalam Al-Quran

Naskh Sharih - Naskh Dhimmi

Cakupan

Naskh Kulli - Naskh Juz’i

1. Macam-macam hukum
naskh bacaan

a. Terhadap hukum bacaan


dan ayat Naskh
b. Naskh terhadap hukum
saja
c. Naskh terhadap bacaannya
saja
d. Naskh Al-Quran dengan
Al-Quran
e. Naskh Al-Quran dengan
As-sunnah

Otoritas

a. Naskh As-Sunnah dengan


Al-Quran
b. Naskh As-Sunnah
denganAs-Sunnah

Berdasarkan kejelasan dan cakupannya, naskh dalam Al-Quran dibagi menjadi empat
macam, yaitu:

a. Naskh sharih, yaitu ayat yang secara jelas menghapus


11 hukum yang terdapat pada ayat
terdahulu.
Artinya: ”Hai Nabi, kobarkanlah semangat para mu'min untuk berperang. Jika ada dua puluh
orang yang sabar diantaramu, niscaya mereka akan dapat mengalahkan dua ratus orang
musuh. Dan jika ada seratus orang yang sabar diantaramu, niscaya mereka akan dapat
mengalahkan seribu dari pada orang kafir, disebabkan orang-orang kafir itu kaum yang tidak
mengerti”.(QS.al-Anfal:65).

Menurut jumhur ulama, ayat ini di naskh oleh ayat yang mengharuskan satu orang
mukmin melawan dua orang kafir pada ayat 66 dalam surat yang sama:

Artinya: ”Sekarang Allah telah meringankan kepadamu dan dia telah mengetahui bahwa
padamu ada kelemahan. Maka jika ada diantaramu seratus orang yang sabar, niscaya mereka
akan dapat mengalahkan dua ratus orang kafir; dan jika diantaramu ada seribu orang (yang
sabar), niscaya mereka akan dapat mengalahkan dua ribu orang, dengan seizin Allah. Dan
Allah beserta orang-orang yang sabar”.(QR.Al-Anfal:180).

Naskh Dhimmi, yaitu jika terdapat dua naskh yang saling bertentangan, dan tidak
dikompromikan, dan keduanya turun untuk sebuah masalah yang sama, serta kedua-duanya
diketahui waktu turunnya, ayat yang kemudian menghapus ayat yang terdahulu. Misalnya
ketetapan Allah yang mewajibkan berwasiat bagi orang-orang yang akan meninggal:

12
artinya: ”Diwajibkan atas kamu, apabila seorang di antara kamu kedatangan (tandatanda)
maut, jika ia meninggalkan harta yang banyak, berwasiat untuk ibu-bapak dan karib
kerabatnya secara ma'ruf, (ini adalah) kewajiban atas orang-orang yang bertakwa”(QS.Al-
Baqarah:180).

Menurut pendukung teori naskh, ayat ini di-naskh oleh hadis la washiyyah li waris
(tidak ada wasiat bagi ahli waris).

Naskh kulli, yaitu menghapus hokum yang sebelumnya secara keseluruhan.


Contohnya ketentuan „iddah empat bulan sepuluh hari pada surat Al-Baqarah ayat 234 di-
naskh oleh ketentuan „iddah satu tahun pada ayat 240 dalam surat yang sama.

Artinya: ”Orang-orang yang meninggal dunia di antaramu dengan meninggalkan isteriisteri


(hendaklah para isteri itu) menangguhkan dirinya (ber'iddah) empat bulan sepuluh hari.
Kemudian apabila telah habis 'iddahnya, maka tiada dosa bagimu (para wali) membiarkan
mereka berbuat terhadap diri merekamenurut yang patut. Allah mengetahui apa yang kamu
perbuat”(QS.AI-Baqarah:234).

Artinya: “ Dan orang-orang yang akan meninggal dunia di antara kamu dan meninggalkan
isteri, hendaklah berwasiat untuk isteri-isterinya, (yaitu) diberi nafkah hingga setahun
lamanya dan tidak disuruh pindah (dari rumahnya). Akan tetapi jika mereka pindah (sendiri),
maka tidak ada dosa bagimu (wali atau waris dari yang meninggal) membiarkan mereka
berbuat yang ma'ruf terhadap diri mereka. Dan Allah Maha Perkasa lagi Maha
Bijaksana”(QS.Al-Baqarah:240).

13
Naskh juz‟i, yaitu mengahapus hukum umum yang berlaku bagi semua individu dengan
hukum yang hanya berlaku bagi sebagian individu, atau menghapus hukum yang bersifat
muthlaq dengan hukum yang muqayyad. Contohnya, hukum dera 80 kali bagi orang yang
menuduh seorang wanita tanpa adanya saksi pada surat An-Nur ayat 4, dihapus oleh
ketentuan li‟an, yaitu bersumpah empat kali dengan nama Allah, jika si penuduh suami yang
tertuduh, pada ayat 6 surat yang sama.

Artinya: “Dan orang-orang yang menuduh wanita-wanita yang baik-baik (berbuat zina) dan
mereka tidak mendatangkan empat orang saksi, maka deralah mereka (yang menuduh itu)
delapan puluh kali dera, dan janganlah kamu terima kesaksian mereka buat selama-lamanya.
Dan mereka itulah orang-orang yang fasik”.(QS. An-Nur: 4)

Artinya: “Dan orang-orang yang menuduh isterinya (berzina), padahal mereka tidak ada
mempunyai saksi-saksi selain diri mereka sendiri, maka persaksian orang itu ialah empat kali
bersumpah dengan nama Allah, sesungguhnya dia adalah termasuk orang-orang yang benar”
(QS. An-Nur: 6).

Dilihat dari segi bacaan dan hukumnya, naskh dibagi menjadi tiga macam yaitu:

1. Penghapusan terhadap hukum (hukm) dan bacaan (tilawah) secara bersamaan. Ayat-ayat
yang terbilang kategori ini tidak dibenarkan dibaca dan tidak dibenarkan diamalkan.
2. Penghapusan terhadap hukumnya saja, sedangkan bacaannya tetap ada. Contohnya ajakan
para penyembah berhala dari kalangan musyrikin kepada umat islam untuk saling
bergantian dalam beribadah.
14
Artinya: “Untukmu agamamu, dan untukkulah, agamaku".(QS.Al-Kafirun:6). Contoh lainnya
adalah ayat tentang mendahulukan sedekah:

Artinya: “Hai orang-orang beriman, apabila kamu mengadakan pembicaraan khusus dengan
Rasul hendaklah kamu mengeluarkan sedekah (kepada orang miskin) sebelum pembicaraan
itu. Yang demikian itu lebih baik bagimu dan lebih bersih; jika kamu tidak memperoleh (yang
akan disedekahkan) maka sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang”.
(QS.Al-Mujadilah:12).

Ayat ini di-naskh oleh ayat 13:

Artinya: “Apakah kamu takut akan (menjadi miskin) karena kamu memberikan sedekah
sebelum mengadakan pembicaraan dengan Rasul? Maka jika kamu tiada memperbuatnya dan
Allah telah memberi taubat kepadamu maka dirikanlah shalat, tunaikanlah zakat, taatlah
kepada Allah dan Rasul-Nya; dan Allah Maha Mengetahui apa yang kamu kerjakan”. (QS.Al-
Mujadilah:13).

3. Penghapusan terhadap bacaannya saja,sedangkan hukumnya tetap berlaku.

Adapun dari sisi otoritas ,para ulama membagi naskh ke dalam 4 macam,yaitu:

15
a. Naskh Al-Qur‟an dengan Al-Qur‟an
b. Naskh Al-Qur‟an dengan As-Sunnah
c. Naskh As-Sunnah dengan Al-Qur‟an
d. As-Sunnah dengan As-Sunnah

D. Hikmah Keberadaan Naskh

1. Menjaga kemaslahatan hamba.


2. Pengembangan pensyariatan hukum sampai pada tingkat kesempurnaan seiring dengan
perkembangan dakwah dan kondisi manusia itu sendiri.
3. Menhuji kualitas keimanan mukalaf dengan cara adanya suruhan yang kemudian dihapus.
4. Merupakan kebaikan dan kemudahan bagi umat.

16
BAB III

PENUTUP

A. Kesimpulan

Al-Qur'an merupakan dengan kesatuan utuh. Tak ada pertentangan lainnya. Masing-
masing saling menjelaskan al-Qur'an satu yufassir-u ba'dhuhu ba'dha. Kitab Suci yang terdiri
dari 6000 ayat lebih dan terbagi dalam 114 kelompok surat, mengandung berbagai jenis
pembicaraan dan persoalan.Adanya nasikh-mansukh tidak dapat dipisahkan dari sifat
turunnya al-Qur'an itu sendiri dan tujuan yang ingin dicapainya. Dengan mengetahui,
memahami ilmu nasikh mansukh dalam Al-Qur‟an kita akansemakin yakin bahwa al-Qur‟an
diturunkan dari Allah SWT. Dan semakin kuatpula keyakinan bahwa Al-Qur‟an merupakn
mukjizat yang paling agung.

B. Saran

Demikian makalah ini kami buat, apabila ada kesalahan baik dalam penjelasanmaupun
dalam penulisan kami mohon maaf . kami mengharap kritik dan saran yang membangun agar
dapat menjadi sumber rujukan sehingga menjadika apayang kami buat ini lebih baik di masa
mendatang. Semoga makalah ini dapatbermanfaat bagi kita semua. Amiin..

17
DAFTAR PUSTAKA

Denffer, Ahmad. 1988. Ilmu Al-Qur‟an. Jakarta : Rajawali.

Abdul HA, Djalal, H. Prof., Dr. 2000. Ulumul Qur‟an (Edisi Lengkap). Surabaya : Dunia
Ilmu.

Hamzah, Mukhotob. 2003. Study Al-Qur‟an Komprehensif. Yogyakarta : Gema Media.

Chirzin, Muhammad. 1998. Al-Qur‟an Dan Ulumul Qur‟an. Jakarta : Dana Bhakti Prima
Yasa.

18

Anda mungkin juga menyukai