Disusun Oleh :
Dosen Pengampu :
H. Agus Mukmin, LC., M.Hum
NIDN : 2120088601
FAKULTAS TARBIYAH
PRODI BIMBINGAN KONSELING PENDIDIKAN ISLAM
INSTITUT AGAMA ISLAM AL-AZHAAR LUBUKLINGGAU
TAHUN AKADEMIK 2022-2023
ii
KATA PENGANTAR
Puji dan syukur kita panjatkan kepada Allah SWT karena atas berkat dan
rahmat-Nyalah kami bisa menyelesaikan tugas makalah ini dengan tepat waktu
dan maksimal.
Makalah ini disusun untuk memenuhi tugas mata kuliah Ulumul Qur’an
semester II (dua). Adapun topik yang dibahas didalam makalah ini adalah Nasikh
Dan Mansukh.
Penulis
1
DAFTAR ISI
COVER …………………………………………………………………..
BAB II : PEMBAHASAN………………….………………………...….. 4
A. Kesimpulan ………………………………………….....………… 17
B. Saran……………………………………………………………… 17
2
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Salah satu tema dalam ulum Al-Qur‟an yang mengundang perdebatan para ulama adalah
mengenai nasikh-mansukh.Perbedaan pendapat para ulama dalam menetapkan ada atau tidak
adanya ayat-ayat mansukh(dihapus) dalam Alqur‟an,antara lain disebabkan adanya ayat-ayat
yang tampak kontradiksi bila dilihat dari lahirnya. Sebagian ulama berpendapat bahwa
diantara ayat-ayat tersebut, adayang tidak bisa dikompromikan.Oleh karena itu,mereka
menerima teori nasikh(penghapusan) dalam Al-qur‟an.Sebaliknya,bagi para ulama yang
berpendapat bahwa ayat-ayat tersebut keseluruhannya bisa dikompromikan,tidak mengakui
teori penghapusan itu.Ulama-ulama klasik yang menerima penhapusan dalam Al-qur‟an
ternyata tidak sepakat dalam menentukan mana ayat yang menghapus (nasikh) dan mana ayat
yang dihapus (mansukh).
B. Rumusan Masalah
C. Tujuan Penulisan
1. Tujuan dari pembahasan makalah ini adalah agar kita bisa lebih mengenal tentang
Nasikh dan Mansukh.
2. silsilah nasikh mansukh dan lebih memudahkan kita untuk mempelajari lebih jauh lagi
sehingga dalam proses mempelajarinya kita tidak menemukan kesulitan.
3
BAB II
PEMBAHASAN
A. Andaikan Al-Qur'an Tidak Diturunkan dari Allah, Isinya Pasti Saling Bertentangan
1. Ungkapan ini sangat penting dalam rangka menafsirkan ayat-ayat memahami dan serta
ketentuan-ketentuan yang ada dalam al-Qur'an.
Kitab Suci yang terdiri dari 6000 ayat lebih dan terbagi dalam 114 kelompok surat,
mengandung berbagai jenis pembicaraan dan persoalan. Didalamnya terkandung antara lain
nasihat, sejarah, dasar-dasar ilmu pengetahuan, keimanan, ajaran budi luhur, perintah dan
larangan. Masalah-masalah yang disebutkan terakhir ini, tampak jelas dengan adanya ciri-ciri
hukum didalamnya. Semua jenis masalah ini terkait satu dengan lainnya dan saling
menjelaskan.
Dalam kaitan itu, Imam Suyuthi maupun Imam Syathibi banyak mengulas prinsip tersebut.
Mereka mencatat adanya pendapat yang memandang adanya tiap ayat atau kelompok ayat
yang berdiri sendiri. Tapi semuanya berpendapat bahwa antara satu ayat dengan ayat lainnya
dari al-Qur'an tidak ada kontradiksi (ta'arudl). Dari asas inilah lahir metode-metode penafsiran
untuk meluruskan pengertian terhadap bagian-bagian yang sepintas lalu tampak saling
bertentangan. Adanya gejala pertentangan (ta'arudl) yang demikian merupakan asas metode
penafsiran dimana Nasikh-Mansukh merupakan salah satu bagiannya.
Ada empat makna naskh yang sering diungkapkan ulama, yaitu secara berikut :
Dari segi terminologi, para ulama mendefinisikan naskh, dengan “raf‟u Alhukm Al-
syari‟bi Al-Khitab Al- syar‟i (menghapuskan hukum syara dengan dalil syara yang lain).
Maksud menghapuskan disini adalah terputusnya hubungan hukum yang dihapus dari seorang
mukallaf, dan bukan terhapusnya substansi hukum itu sendiri.
Menurut ahli ushul fiqh menyatakan bahwa naskh bisa dibenarkan bila memenuhi kriteria
berikut:
e. Pembatalan harus dilakukan melalui tuntutan syara‟ yang mengandung hukum dari Allah
dan Rasul-Nya yang disebut nasikh (yang menghapus).
f. Yang dibatalkan adalah syara‟ yang disebut mansukh (yang dihapus).
g. Nasikh harus datang kemudian (terakhir) dari mansukh
a. Adat naskh, adalah pernyataan yang menunjukkan adanya pembatalan hukum yang telah
ada.
b. Nasikh, yaitu dalil kemudian yang menghapus hukum yang telah ada.
c. Mansukh, yaitu hukum yang dibatalkan, dihapuskan, atau dipindahkan.
d. Mansukh „anh, yaitu orang yang dibebani hukum.
5
b. Pembatalan itu datangnya dari tuntutan syara‟.
c. Pembatalan hukum tidak disebabkan oleh berakhirnya waktu pemberlakuan hukum.
d. Tuntutan yang mengandung naskh harus datang kemudian.
Ibnu Katsir dan Al-Maraghi menetapkan adanya pembatalan hukum dalam AlQuran.
Sedangkan Al-Ashfhani menyatakan bahwa Al-Quran tidak pernah disentuh “pembatalan”,
tetapi dia sepakat tentang:
a. Adanya pengecualian hukum yang bersifat umum oleh hukum yang spesifik yang datang
kemudian.
b. Adanya penjelasan susulan terhadap hukum terdahulu yang ambigius.
c. Adanya penetapan syarat terhadap hukum yang terdahulu yang belum bersyarat.
Ibnu Katsir dan Al-Maraghi memandang ketiga hal di atas sebagai naskh, sedangkan Al-
Ashfahani memandangnya sebagai takshish.Al-Ashfahani berpendapat bahwa tidak ada naskh
dalam Al-Quran.
Satuan yang terdapat dalam naskh Satuan yang terdapat dalam takhshish bukan
merupakan bagian satuan yang merupakan sebagian dari satuan yang terdapat dalam lafazh
„amm terdapat dalam mansukh
6
dalil yang kemudian maupun menyertai dan mendahuluinya Naskh adanya hubungan
mansukh menghapuskan Takhshish tidak menghapuskan hukum dalam rentang „amm sama
sekali.
Hukum „amm tetap waktu yang tidak terbatas berlaku meskipun sudah dikhususkan
setelah terjadi naskh, seluruh satuan Setelah terjadi Takhshish, sisa satuan yang terdapat
dalam nasikh tidak terikat yang terdapat pada „amm tetap terikat dengan hukum yang terdapat
dalam oleh dalil „amm mansukh Bada‟ menurut sumber-sumber kamus yang mashyur, adalah
azh-zhuhur ba‟da Al-khafa‟(menampakkan setelah bersembunyi). Firman Allah:
Artinya: “Dan nyatalah bagi mereka keburukan-keburukan dari apa yang mereka kerjakan dan
mereka diliputi oleh (azab) yang olokkannya”(QS. Al-Jatsiyah : 33).
Arti bada‟ yang lain adalah „nasy‟ah ra‟yin jadid lam yaku maujud” (munculnya
pemikiran baru setelah sebelumnya tidak terlintas). Definisi ini pun tersirat dalam firman
Allah pada surat Yusuf ayat 35:
Artinya: “ Kemudian timbul pikiran pada mereka setelah melihat tanda-tanda (kebenaran
Yusuf) bahwa mereka harus memenjarakannya sampai sesuatu waktu” (QS. Yusuf :35).
Dalam bada‟ timbulnya hukum yang baru disebabkan oleh ketidaktahuan sang
pembuat hukum akan kemungkinan munculnya hukum baru itu. Sedangkan dalam naskh,
bagi ulama yang mengakui keberadaannya, Allah mengetahui nasikh dan mansukh sejak
zaman azali, sebelum hukum-hukum itu diturunkan kepada manusia.
7
1. Dasar-dasar Penetapan Nasikh dan Mansukh
Manna Al-Qaththan menetapkan tiga dasar untuk menegaskan bahwa suatu ayat dikatakan
nasikh (menghapus) ayat lain mansukh (dihapus), yaitu:
a. Melalui pentransmisian yang jelas (An-naql Al-Sharih) dari Nabi atau para sahabatnya.
b. Melalui kesepakatan umat bahwa ayat ini nasikh dan ayat itu mansukh.
c. Melalui studi sejarah, mana ayat yang lebih belakang turun, sehinngga disebut nasikh, dan
mana yang duluan turun, sehingga disebut mansukh.
Al-Qaththan menambahkan bahwa nasikh tidak bisa ditetapkan melalui prosedur ijtihad,
pendapat ahli tafsir, karena adanya kontradiksi antara beberapa dalil apabila dilihat dari
lahirnya, atau latar belakang keislaman salah seorang dari pembawa riwayat.
Ibnu Al-Hisar mengemukakan: Persoalan naskh dikembalikan pada pernyataan yang jelas
dari Rasulullah SAW, atau dari seorang sahabat yang mengatakan sebuah ayat ini di-naskh
oleh yang ini. Dalam masalah naskh, tidak diperkenankan memegangi ijtihad para mujtahid
tanpa pernyataan yang sahih, dan sanggahan yang jelas, sebab naskh mengandung arti
menghapuskan dan menetapkan hukum yang sudah ditetapkan pada masa Nabi SAW, yang
dipegangi dalam masalah ini adalah pernyataan dan sejarah, bukan pendapat dan ijtihad.
Artinya: ”Ayat mana saja yang Kami nasakh-kan, atau Kami jadikan (manusia) lupa
kepadanya, Kami datangkan yang lebih baik daripadanya atau sebanding dengannya.
Tidakkah kamu mengetahui bahwa sesungguhnya Allah Maha Kuasa atas segala sesuatu”
].QS. Al-Baqarah : 106[
8
Artinya: “Allah menghapuskan apa yang Dia kehendaki dan menetapkan (apa yang Dia
kehendaki), dan di sisi-Nya-lah terdapat Ummul-Kitab (Lauh mahfuzh)” (QS. ArRa‟ad: 39).
Artinya: “Dan apabila Kami letakkan suatu ayat di tempat ayat yang lain sebagai
penggantinya padahal Allah lebih mengetahui apa yang diturunkan-Nya, mereka berkata:
"Sesungguhnya kamu adalah orang yang mengada-adakan saja". Bahkan kebanyakan mereka
tiada mengetahui” (QS. An-Nahl: 101).
Berpijak pada ayat-ayat di atas, para ulama berpendapat bahwa revisi AlQuran telah
terjadi. Adapun dalil-dalil yang dikemukakan para ulama adalah sebagai berikut:
a. Dalil pertama
Naskh tidak merupakan hal yang terlarang menurut akal pikiran dan setiap yang tidak
dilarang berarti boleh.Mu‟tazilah menambahkan bahwa hukum Allah itu wajib membawa
maslahat bagi hamba-Nya. Sedangkan ahli sunnah mengatakan bahwa tidak ada yang wajib
bagi Allah terhadap hamba-Nya. Kalaupun Allah me-naskh-kannya tidak akan membawa
akibat kepada hukum-Nya. Semua hukum Allah dan perbuatan-Nya adalah himmah balighah,
ilmu yang luas dan Mahasuci dari sifat jahat dan aniaya.
b. Dalil kedua
Seandainya naskh tidak dibolehkan akal dan tidak terjadi, syar‟I tidak boleh
memerintahkan sesuatu kepada hamba-Nya dengan perintah sementara dan melarangnya
9
dengan larangan sementara.Akan tetapi, para penentang naskh berkata bahwa perintah dan
larangan itu dapat terjadi.
c. Dalil ketiga
Seandainya naskh itu tidak boleh menurut akal dan terjadi menurut sam‟iyat, tidak akan
ditetapkan risalah Muhammad SAW kepada seluruh alam, sedangkan semuanya mengakui
bahwa risalah itu semua berlaku untuk seluruh alam dengan dalil yang pasti. Syariat yang
terdahulu dengan sendirinya aka kekal, tetapi akan di-naskh-kan oleh syariat yang terakhir.
d. Dalil keempat
Naskh terjadi menurut nash. Keadaan “terjadi (Al-Wuqu‟)” memberikan pengertian boleh
bertambah (aj-jawaz wa ziyadah).
Menurut para ulama yang masuk dalam kelompok ini, naskh diberi pengertian bukan
sebagai pembatalan, tetapi sebagai pergantian,perngalihan, dan pemindahan ayat hukum
disuatu tempat kepada ayat hukum ditempat lain.Terhadap argumentasi mayritas ulama yang
didukung oleh surat An-nahl ayat 101,AlAshfahani membantahnya dengan mengjukan ayat
42 surat Al-Fushilat :
Artinya: ”Yang tidak datang kepadanya (Al Quraan) kebatilan baik dari depan maupun dari
belakangnya, yang diturunkan dari Rabb Yang Maha Bijaksana lagi Maha
Terpuji.”(QS.Fushilat:42).
10
menjadi tidak benar.Quraish Shihab menyimpulkanbahwa semua ayat Al-qur‟an pada
dasarnya berlaku.
Ayat hukum yang tidak kondusip pada suatu waktu, Pada waktu yang berlainanakan
tetap berlaku bagi orang-orang yang memiliki kesesuaian kondisi dengan apa yang ditunjuk
oleh ayat yang bersangkutan.
Cakupan
1. Macam-macam hukum
naskh bacaan
Otoritas
Berdasarkan kejelasan dan cakupannya, naskh dalam Al-Quran dibagi menjadi empat
macam, yaitu:
Menurut jumhur ulama, ayat ini di naskh oleh ayat yang mengharuskan satu orang
mukmin melawan dua orang kafir pada ayat 66 dalam surat yang sama:
Artinya: ”Sekarang Allah telah meringankan kepadamu dan dia telah mengetahui bahwa
padamu ada kelemahan. Maka jika ada diantaramu seratus orang yang sabar, niscaya mereka
akan dapat mengalahkan dua ratus orang kafir; dan jika diantaramu ada seribu orang (yang
sabar), niscaya mereka akan dapat mengalahkan dua ribu orang, dengan seizin Allah. Dan
Allah beserta orang-orang yang sabar”.(QR.Al-Anfal:180).
Naskh Dhimmi, yaitu jika terdapat dua naskh yang saling bertentangan, dan tidak
dikompromikan, dan keduanya turun untuk sebuah masalah yang sama, serta kedua-duanya
diketahui waktu turunnya, ayat yang kemudian menghapus ayat yang terdahulu. Misalnya
ketetapan Allah yang mewajibkan berwasiat bagi orang-orang yang akan meninggal:
12
artinya: ”Diwajibkan atas kamu, apabila seorang di antara kamu kedatangan (tandatanda)
maut, jika ia meninggalkan harta yang banyak, berwasiat untuk ibu-bapak dan karib
kerabatnya secara ma'ruf, (ini adalah) kewajiban atas orang-orang yang bertakwa”(QS.Al-
Baqarah:180).
Menurut pendukung teori naskh, ayat ini di-naskh oleh hadis la washiyyah li waris
(tidak ada wasiat bagi ahli waris).
Artinya: “ Dan orang-orang yang akan meninggal dunia di antara kamu dan meninggalkan
isteri, hendaklah berwasiat untuk isteri-isterinya, (yaitu) diberi nafkah hingga setahun
lamanya dan tidak disuruh pindah (dari rumahnya). Akan tetapi jika mereka pindah (sendiri),
maka tidak ada dosa bagimu (wali atau waris dari yang meninggal) membiarkan mereka
berbuat yang ma'ruf terhadap diri mereka. Dan Allah Maha Perkasa lagi Maha
Bijaksana”(QS.Al-Baqarah:240).
13
Naskh juz‟i, yaitu mengahapus hukum umum yang berlaku bagi semua individu dengan
hukum yang hanya berlaku bagi sebagian individu, atau menghapus hukum yang bersifat
muthlaq dengan hukum yang muqayyad. Contohnya, hukum dera 80 kali bagi orang yang
menuduh seorang wanita tanpa adanya saksi pada surat An-Nur ayat 4, dihapus oleh
ketentuan li‟an, yaitu bersumpah empat kali dengan nama Allah, jika si penuduh suami yang
tertuduh, pada ayat 6 surat yang sama.
Artinya: “Dan orang-orang yang menuduh wanita-wanita yang baik-baik (berbuat zina) dan
mereka tidak mendatangkan empat orang saksi, maka deralah mereka (yang menuduh itu)
delapan puluh kali dera, dan janganlah kamu terima kesaksian mereka buat selama-lamanya.
Dan mereka itulah orang-orang yang fasik”.(QS. An-Nur: 4)
Artinya: “Dan orang-orang yang menuduh isterinya (berzina), padahal mereka tidak ada
mempunyai saksi-saksi selain diri mereka sendiri, maka persaksian orang itu ialah empat kali
bersumpah dengan nama Allah, sesungguhnya dia adalah termasuk orang-orang yang benar”
(QS. An-Nur: 6).
Dilihat dari segi bacaan dan hukumnya, naskh dibagi menjadi tiga macam yaitu:
1. Penghapusan terhadap hukum (hukm) dan bacaan (tilawah) secara bersamaan. Ayat-ayat
yang terbilang kategori ini tidak dibenarkan dibaca dan tidak dibenarkan diamalkan.
2. Penghapusan terhadap hukumnya saja, sedangkan bacaannya tetap ada. Contohnya ajakan
para penyembah berhala dari kalangan musyrikin kepada umat islam untuk saling
bergantian dalam beribadah.
14
Artinya: “Untukmu agamamu, dan untukkulah, agamaku".(QS.Al-Kafirun:6). Contoh lainnya
adalah ayat tentang mendahulukan sedekah:
Artinya: “Hai orang-orang beriman, apabila kamu mengadakan pembicaraan khusus dengan
Rasul hendaklah kamu mengeluarkan sedekah (kepada orang miskin) sebelum pembicaraan
itu. Yang demikian itu lebih baik bagimu dan lebih bersih; jika kamu tidak memperoleh (yang
akan disedekahkan) maka sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang”.
(QS.Al-Mujadilah:12).
Artinya: “Apakah kamu takut akan (menjadi miskin) karena kamu memberikan sedekah
sebelum mengadakan pembicaraan dengan Rasul? Maka jika kamu tiada memperbuatnya dan
Allah telah memberi taubat kepadamu maka dirikanlah shalat, tunaikanlah zakat, taatlah
kepada Allah dan Rasul-Nya; dan Allah Maha Mengetahui apa yang kamu kerjakan”. (QS.Al-
Mujadilah:13).
Adapun dari sisi otoritas ,para ulama membagi naskh ke dalam 4 macam,yaitu:
15
a. Naskh Al-Qur‟an dengan Al-Qur‟an
b. Naskh Al-Qur‟an dengan As-Sunnah
c. Naskh As-Sunnah dengan Al-Qur‟an
d. As-Sunnah dengan As-Sunnah
16
BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
Al-Qur'an merupakan dengan kesatuan utuh. Tak ada pertentangan lainnya. Masing-
masing saling menjelaskan al-Qur'an satu yufassir-u ba'dhuhu ba'dha. Kitab Suci yang terdiri
dari 6000 ayat lebih dan terbagi dalam 114 kelompok surat, mengandung berbagai jenis
pembicaraan dan persoalan.Adanya nasikh-mansukh tidak dapat dipisahkan dari sifat
turunnya al-Qur'an itu sendiri dan tujuan yang ingin dicapainya. Dengan mengetahui,
memahami ilmu nasikh mansukh dalam Al-Qur‟an kita akansemakin yakin bahwa al-Qur‟an
diturunkan dari Allah SWT. Dan semakin kuatpula keyakinan bahwa Al-Qur‟an merupakn
mukjizat yang paling agung.
B. Saran
Demikian makalah ini kami buat, apabila ada kesalahan baik dalam penjelasanmaupun
dalam penulisan kami mohon maaf . kami mengharap kritik dan saran yang membangun agar
dapat menjadi sumber rujukan sehingga menjadika apayang kami buat ini lebih baik di masa
mendatang. Semoga makalah ini dapatbermanfaat bagi kita semua. Amiin..
17
DAFTAR PUSTAKA
Abdul HA, Djalal, H. Prof., Dr. 2000. Ulumul Qur‟an (Edisi Lengkap). Surabaya : Dunia
Ilmu.
Chirzin, Muhammad. 1998. Al-Qur‟an Dan Ulumul Qur‟an. Jakarta : Dana Bhakti Prima
Yasa.
18