Anda di halaman 1dari 21

BAB I

PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang

Diantara bahasan dalam Ulum Al-Qur’an yang mengundang perdebatan para ulama
adalah nasikh dan mansukh. Perbedaan ulama dalam menetapkan ada tidaknya ayat-ayat
mansukh (dihapus) dalam Al-Qur’an, antara lain disebabakan adanya ayat-ayat yang tampak
kontradiksi bila dilihat dari lahirnya. Sebagian ulama berpendapat bahwa diantara ayat-ayat
tersebut, ada yang tidak bisa dikompromikan. Oleh karena itu, mereka menerima teori nasikh
(penghapusan) dalam Al-Qur’an. Sebaliknya, bagi para ulama yang berpendapat bahwa ayat-ayat
tersebut keseluruhannya bisa dikompromikan, tidak mengakui teori penghapusan itu.

Ulama-ulama klasik yang menerima penghapusan dalam Al-Qur’an ternyata tidak


sepakat dalam menentukan mana ayat yang menghapus (nasikh) dan mana ayat yang dihapus
(mansukh). Oleh karena itu, dalam makalah ini penulis akan membahas materi mengenai nasikh
dan mansukh secara rinci sebagai bahan pembelajaran studi Al-Qur’an.

1.2 Rumusan Masalah

Untuk mengkaji dan mengulas tentang nasikh dan mansukh, maka diperlukan sub pokok
bahasan yang saling berhubungan, sehingga penulis membuat rumusan masalah sebagai berikut:

1. Apa itu nasikh dan mansukh?


2. Rukun dan syarat naskh?
3. Dasar-dasar penetapan nasikh dan mansukh?
4. Perbedaan pendapat tentang adanya ayat-ayat mansukh dalam Al-Qur’an?
5. Bentuk dan macam-macam naskh dalam Al-Qur’an?
6. Hikmah keberadaan Naskh?

1.3 Tujuan Penulisan

Tujuan disusunnya makalah ini adalah untuk memenuhi tugas mata kuliah Studi Al-
Qur’an kemudian mempresentasikan atau mendiskusikan dan menjawab pertanyaan yang ada
pada rumusan masalah.
Manfaat dari penulisan makalah ini adalah untuk meningkatkan pengetahuan penulis dan
pembaca tentang nasikh dan mansukh.

1
BAB II
PEMBAHASAN

2.1 Pengertian Nasikh Dan Mansukh

Secara bahasa, ada empat makna naskh yang sering diungkapkan ulama, yaitu sebagai
berikut:1

1. Izalah (menghilangkan), seperti dalam ayat berikut:


    
     
  
    
   
    


“Dan kami tidak mengutus sebelum kamu seorang rasulpun dan tidak (pula) seorang
nabi, melainkan apabila ia mempunyai sesuatu keinginan, syaitanpun memasukkan godaan-
godaan terhadap keinginan itu, Allah menghilangkan apa yang dimasukkan oleh syaitan itu, dan
Allah menguatkan ayat-ayat- nya. dan Allah Maha mengetahui lagi Maha Bijaksana.” (Q.S. Al-
Hajj: ayat 52)

2. Tabdil (penggantian), seperti dalam ayat berikut:


   
    
   
    
 
“Dan apabila kami letakkan suatu ayat di tempat ayat yang lain sebagai penggantinya
padahal Allah lebih mengetahui apa yang diturunkan-Nya, mereka berkata: "Sesungguhnya

1
Quraish Shihab, Membumikan Al-Qur’an, (Mizan: Bandung, 1992), hlm.143

2
kamu adalah orang yang mengada-adakan saja". bahkan kebanyakan mereka tiada
Mengetahui.” (Q.S. An-Nahl : ayat 101)

3. Tahwil (memalingkan), seperti tanasukh Al-mawarits, artinya memalingkan pusaka dari


seseorang kepada orang lain.
4. Naql (memindahkan dari satu tempat ke tempat yang lain), seperti nasakhtu al-kitaaba,
yakni mengutip atau memindahkan isi kitab tersebut, berikut lafazh dan tulisannya. Sebagian
ulama menolak makna keempat ini, dengan alasan bahwa si nasikh tidak dapat mendatangkan
lafazh yang di-mansukh itu, tetapi hanya mendatangkan lafazh lain.2

Sedangkan naskh secara istilah adalah: “Mengangkat (menghapus) hukum syara’ dengan
dalil / khithab syara’ yang lain”. Maksud “Mengangkat hukum syara’ ” adalah terputusnya kaitan
hukum yang mansukh dengan perbuatan mukallaf.3

Defenisi di atas apabila dijelaskan lagi, dapat kita tarik beberapa butiran-butiran makna
yang tersirat, yakni:

1. Dipastikan terjadi naskh apabila ada dua hal, yaitu nasikh dan mansukh.

2. Nasikh harus turun belakangan dari mansukh

3. Menilai suatu ayat sebagai pe-naskh dan yang lain di- naskh-kan, apabila ayat-ayat yang
kontradiktif itu tidak dapat dikompromikan dan diamalkan secara bersama.

Sedangkan syarat kontradiksi; adanya persamaan subjek, objek, waktu, syarat, dan lain-lain.

4. Al-Nasikh pada hakikatnya adalah Allah, kadang-kadang dimaksud juga dengan ayat yang
me-naskh-kan ayat mansukh, sedang mansukh adalah hukum yang diangkat atau yang dihapus.

Dari defenisi diatas jelaslah bahwa komponen naskh terdiri dari; adanya pernyataan yang
menunjukkan terjadi pembatalan hukum yang telah ada, harus ada nasikh, harus ada mansukh
dan harus ada yang dibebani hukum atasnya.

2
Rosihon Anwar, Ulum Al-Qur’an, (CV Pustaka Setia: Jawa Barat, 2007), hlm.164
3
Muhammad ‘Abd Al-‘Azhim Az-Zarqani, Manahili al ‘Irfan fi Ulum al Qur’an, (Dar al-Fikr: Beirut, t.t),
hlm.177.

3
Dalam nashk diperlukan (Syarat), Yaitu hukum yang mansukh adalah hukum syara’,
dalil penghapusan hukum tersebut adalah khithab syar’i yang datang lebih kemudian dari kithab
yang di-mansukh, dan khithab yang dihapus atau diangkat hukumnya tidak terikat atau dibatasi
dengan waktu tertentu.

Terdapat perbedaan pendapat antara ulama mutaqaddimin dan mutaakhirin dalam


mendefinisikan nasakh secara terminologis. Perbedaan pendapat tersebut bersumber pada
banyaknya pengertian nasakh secara etimologi sebagaimana dijelaskan di atas. Cakupan makna
yang ditetapkan ulama mutaqoddimin di antaranya: 1) Pembatalan hukum yang ditetapkan
sebelumnya dengan hukum yang ditetapkan kemudian; 2) Pengecualian/pengkhususan hukum
bersifat `am/umum oleh hukum yang lebih khusus yang datang setelahnya; 3) Bayan atau
penjelasan yang datang kemudian terhadap hukum yang bersifat samar; 4) Penetapan syarat
terhadap hukum terdahulu yang belum bersyarat.4

Berdasarkan pada gagasan paparan di atas, ulama mutaqaddimin secara terminologis


mengusung makna nasakh secara luas, yaitu tidak terbatas pada berakhir atau terhapusnya suatu
hukum baru yang ditetapkan. Namun interprestasi nasakh yang diusung oleh mereka juga
menyangkut yang bersifat pembatasan, pengkhususan, bahkan pengecualian.

Sementara menurut ulama mutaakhirin, nasakh adalah dalil yang datang kemudian,
berfungsi untuk menggugurkan dan menghilangkan hukum yang pertama.5 Dengan demikian
mereka mempersempit ruang lingkup nasakh dengan beberapa syarat, baik yang menasakh
maupun yang dinasakh. Lebih lanjut ulama mutaakhirin mendefinisikan nasakh sebagai berikut :
“Mengangkat (menghapus) hukum syara` dengan dalil hukum (khatab) syara` yang datang
kemudian”. Atas dasar itu, dalil yang datang kemudian disebut nasakh (yang menghapus).
Sedangkan hukum yang pertama disebut mansukh (yang terhapus). Sementara itu, penghapusan
hukumnya disebut nasakh.6

4
Moh. Nor Ichwan, Studi Ilmu-Ilmu al-Quran, (Semarang : Rasail Media Group,
2002), hlm. 108.
5
M. Quraish Shihab, Membumikan al-Quran, Fungsi dan Peran Wahyu dalam
Kehidupan, (Bandung : Mizan, 2004), hlm. 143.
6
Kahar Mansykur, Pokok-pokok Ulumul Qur`an, (Jakarta : Rineka Cipta, 2002), hlm.
135.

4
Berdasarkan pengertian itu, para ulama mutaakhirin lebih mempersempit makna nasakh
dengan mendefinisikannya sebagai amandemen sebuah. Ketentuan hukum atau berakhirnya
masa berlakunya ketentuan hukum oleh hukum yang datang kemudian, sehingga hukum yang
terdahulu tidak berlaku lagi.

Sementara itu, menurut az-Zarqani, sebagaimana dinukil Moh. Nur Ichwan, yang
dimaksud dengan terminologi “menghapuskan” dalam definisi tersebut adalah terputusnya
hubungan hukum yang dihapus dari seorang mukallaf dan bukan terhapusnya subtansi hukum
itu sendiri.7

Dalam arti bahwa semua ayat Al-Qur’an tetap berlaku, tidak ada kontradiksi.Yang ada
hanya pergantian hukum bagi masyarakat atau orang tertentu karena kondisi yang berbeda.
Dengan demikian, ayat hukum yang tidak berlaku lagi baginya tetap berlaku bagi orang lain
yang sama dengan kondisinya dengan mereka.

2.2 Rukun Dan Syarat Naskh

Rukun nasakh yaitu :

1. Adat Nasakh, yaitu pernyataan yang menunjukkan adanya pembatalan hokum yang
telah ada;

2. Nasikh, yaitu hukum pengganti, dalam hal ini Allah SWT, yang berhak secara mutlak
untuk merevisi atau mengganti hukum tersebut;

3. Mansukh, yaitu hukum yang direvisi, dibatalkan, dihapus, atau dipindahkan; dan

4. Mansukh `anhu, yaitu orang yang dikenai hukum atau mukallaf.8

Syarat-syarat naskh yaitu:

1. Yang dibatalkan adalah hukum syara’

7
Moh. Nor Ichwan, Studi Ilmu-Ilmu Al-Quran, (Semarang : RaSail Media Group,
2002), hlm. 108.
8
Ishom Elsaha dan Saiful Hadi, Sketsa al-Quran : Tempat, Tokoh, Nama dan Istilah
dalam al-Quran, (Jakarta : Lista Fariska, 2005), hlm. 555.

5
2. Pembatalan itu datangnya dari tuntutan syara’
3. Pembatalan hkum tidak disebabakan oleh berakhirnya waktu pemberlakuan hukum,
seperti perintah Allah tentang kewajiban berpuasa tidak berarti di-nasakh setelah selesai
melaksanakan puasa tersebut.
4. Tuntutan yang mengandung naskh harus dating kemudian.9

Quraish Shihab, menambahkan syarat nasakh, bahwa nasakh baru dilakukan bila :

1. Terdapat dua ayat hukum yang saling bertolak belakang, serta tidak dapat lagi
dikompromikan;

2. Harus diketahui secara meyakinkan urutan turunnya ayat-ayat tersebut. Yang lebih dahulu
dikatakan mansukh, dan yang datang kemudian disebut nasakh.10

2.3 Dasar-Dasar Penetapan Nasikh Dan Mansukh

Manna’ Al-Qathan menetapkan tiga dasar untuk menegaskan bahwa suatu ayat dikatakan
nasikh (menghapus) ayat lain mansukh (dihapus). Ketiga dasar tersebut adalah:11

1. Melalui pentransmisian yang jelas (An-naql al-sharih) dari Nabi atau para sahabatnya,
seperti hadits: “Kuntu naihaitukum ‘an ziyarat Al-qubur ala fa zuruha” aku dulu
melarang kalian berziarah kubur, (sekarang) berziarahlah. Juga seperti Anas berkaitan
dengan Ashab sumur Mau’unah: wa nuzilah fihim qur’an qaranah hata rufi’a” (untuk
mereka telah turun ayat, sampai akhirnya dihapus);
2. Melalui kesepakatan umat bahwa ayat ini nasikh dan ayat itu mansukh;
3. Melalui studi sejarah, dan mana yang duluan turun, sehingga disebut mansukh.

Al-Qaththan menambahkan bahwa nasikh tidak bisa ditetapkan melalui prosedur ijtihad,
pendapat ahli tafsir, karena adanya kontradiksi antara beberapa dalil bila dilihat dari lahirnya,
atau belakangnya keislaman salah seorang dari pembawa riwayat.

9
Al-Qaththan, Mabahits fi ‘Ulum Al-Qur’an, (Mansyurat Al-Ashr Al-Hadis, 1973), hlm.236
10
Moh. Nor Ichwan, Studi Ilmu-Ilmu al-Quran, (Semarang : RaSail Media Group,
2002), hlm. 146.
11
Al-Qaththan, Mabahits fi ‘Ulum Al-Qur’an, (Mansyurat Al-Ashr Al-Hadis, 1973), hlm.234.

6
Hal senada dikemukakan oleh Ibnu Al-Hisar:

Persoalan nasakh hanya dikembalikan (didasarkan) pada penukilan yang jelas dari
Rasulullah SAW. atau dari seorang sahabat yang mengatakan sebuah ayat ini di-nasakh oleh
yang ini. Bisa jadi ditetapkan dengan cara ini, manakala terjadi kontradiksi yang pasti, dengan
bantuan pengetahuan sejarah untuk diketahui mana yang lebih dulu turun dan mana yang
kemudian. Dalam masalah nasakh, tidak diperkenankan memegangi pendapat kebanyakan para
mufassir, bahkan tidak diperkenankan memegangi ijtihad para mujtahid tanpa penukilan yang
shahih, dan sanggahan yang jelas, sebab nasakh mengandung arti menghapuskan dan
menetapkan hukum yang sudah ditetapkan pada masa Nabi SAW. Yang dipegangi dalam
masalah ini adalah penukilan dan sejarah, bukan pendapat dan ijtihad. Para ulama berbeda
pendapat mengenai hal ini, ada yang berpendapat dalam masalah nasakh hadis ahad yang adil,
para perawinya tidak diterima, dan ada yang bersikap terlalu toleran, dalam hal ini cukup
memegangi pendapat seorang mufassir atau mujtahid. Yang benar adalah pendapat yang
bertentangan dengan keduanya.12

2.4 Perbedaan Pendapat Tentang Adanya Ayat-Ayat Mansukh Dalam Al-Qur’an

Konsep nasikh mansukh dalam Al-Qur’an menimbulkan polemik para ulama. Adapun
sumber perbedaan itu berawal dari pemahaman ulama tafsir tentang Al-Qur’an surat An-Nisa
ayat 82:

   


     
  
 

“Maka apakah mereka tidak memperhatikan Al Quran? kalau kiranya Al Quran itu
bukan dari sisi Allah, tentulah mereka mendapat pertentangan yang banyak di dalamnya.” (Q.S.
An-Nisa ayat 82)

12
Jalaluddin Al-Suyuthi, Asrar Tartib Al-Qur’an, (Dar Al-I’tisham, Kairo), hlm.24

7
Ayat tersebut mengandung prinsip yang diyakini keberadaanya oleh setiap muslim,
namun sebagian yang lain ada yang berpendapat bahwa dalam menghadapi ayat-ayat al-Quran
yang secara dhahir menunjukkan akan kontradiksinya.

Perbedaan pendapat di kalangan ulama tentang eksistensi naskh dalam Al-Qur’an,


diantaranya ialah:

1. Menerima keberadaan nasakh dalam Al-Qur’an. Pendapat ini dikemukakan mayoritas


ulama. Untuk memperkuat pendapatnya, mereka mengemukakan argumentasi naqliah
dan aqliah. Diantara argumentasi naqliah yang mereka kemukakan adalah firman-firman
Allah sebagai berikut:
      
   
     
    

“Ayat mana saja13 yang kami nasakhkan, atau kami jadikan (manusia) lupa
kepadanya, kami datangkan yang lebih baik daripadanya atau yang sebanding dengannya.
Tidakkah kamu mengetahui bahwa Sesungguhnya Allah Maha Kuasa atas segala sesuatu.” (Q.S.
Al-Baqarah: ayat 106)
    
    
“Allah menghapuskan apa yang dia kehendaki dan menetapkan (apa yang dia
kehendaki), dan di sisi-Nya-lah terdapat Ummul-Kitab (Lauh mahfuzh).” (Q.S. Ar-Ra’ad: ayat
39)
   
    
   
    
 
“Dan apabila kami letakkan suatu ayat di tempat ayat yang lain sebagai penggantinya
padahal Allah lebih mengetahui apa yang diturunkan-Nya, mereka berkata: "Sesungguhnya

13
para Mufassirin berlainan pendapat tentang arti ayat, ada yang mengartikan ayat Al Quran, dan ada
yang mengartikan mukjizat.

8
kamu adalah orang yang mengada-adakan saja". bahkan kebanyakan mereka tiada
Mengetahui.” (Q.S. An-Nahl ayat 101)

Mayoritas ulama memandang, dengan berpijak pada keseluruhan ayat di atas, bahwa
“revisi” Al-Qur’an telah terjadi. Gagasan lain yang mendasari mayoritas ulama akan teori nasakh
adalah penerapan perintah-perintah tertentu kepada kaum muslimin di dalam Al-Qur’an hanya
bersifat sementara, dan bahwa kala keadaan telah berubah, perintah dihapus dan diganti dengan
perintah baru lainnya. Namun, karena perintah-perintah tersebut kalam Allah, ia harus dibaca
sebagai bagian dari Al-Qur’an.

Adapun dalil-dalil yang mereka kemukakan adalah sebagai berikut:14

Dalil pertama. Nasakh tidak termasuk hal terlarang menurut akal pikiran, dan setiap yang
tidak dilarang adalah boleh. Dalam hal ini, Mu’tazilah menambahkan bahwa hukum Allah itu
wajib membawa maslahat bagi hamba-hamba-Nya. Adapun menurut Ahlu Sunnah, bahwa tidak
ada yang wajib bagi Allah sesuatu pun terhadap hamba-Nya. Oleh karena itu, kalaupun Allah
me-nasakh-kannya tidak akan membawa akibat kepada hukumnya. Namun, semua hukum Allah
dan perbuatan-Nya adalah himmah balighah, ilmu yang luas dan Maha Suci dari sifat jahat dan
aniaya.

Dalil kedua. Seandainya nasakh tidak dibolehkan akal dan tidak terjadi dalam nasakh,
syar’i tidak boleh memerintahkan sesuatu kepada hamba-Nya dengan perintah sementara dan
melarangnya dengan larangan sementara. Akan tetapi, pendapat ini ditolak oleh para penentang
nasakh dan mereka berkata bahwa perintah dan larangan itu dapat terjadi seperti di atas.

Dalil ketiga. Seandainya nasakh itu tidak boleh menurut akal dan terjadi menurut
sami’yat, tidak akan ditetapkan risalah Nabi Muhammad SAW. kepada seluruh alam, sedangkan
semuanya mengakui bahwa risalah itu semua berlaku untuk seluruh alam dengan dalil yang pasti.
Oleh karena itu, syari’at yang terdahulu dengan sendirinya akan kekal, tetapi akan di-nassakh-
kan oeh syari’at yang terakhir. Oleh karena itu, nasakh boleh dan dapat terjadi.

14
Rosihon Anwar, Ulum Al-Qur’an… hlm.170-171

9
Dalil keempat. Terdapat dalil yang menunjukkan nasakh terjadi menurut nash. Oleh
karena itu, keadaan “terjadi (al-wuqu’) membawa pengertian boleh bertambah (aj-jawaz wa
ziyadah).15

Mengenai kemungkinan terjadinya nasakh dalam Al-Qur’an. Abdul Wahab Khalaf


(1968:227) menuturkan: “Tidak semua ayat Al-Qur’an dapat menerima nasakh, seperti ayat-ayat
yang mengandung asasi (pokok) yang tidak bisa berubah dengan perubahan kondisi manusia.
Misalnya ayat-ayat tentang akidah, pokok-pokok ibadah, keadilan, kejujuran, dan sebagainya.
Begitu pula dengan ayat-ayat yang berisi berita yang tidak mengandung perintah atau larangan,
seperti berita-berita umat terdahulu. Ayat-ayat seperti ini, secara tekstual, menunjukkan bahwa
ketentuan hukumnya berlaku sepanjang masa.”

2. Menolak keberadaan nasakh dalam Al-Qur’an. Diantara ulama yang masuk ke dalam
kelompok ini adalah Abu Muslim Al-Ashfahani. Khudori Beik juga menjelaskan bahwa Imam
Ar-Razi juga sependapat dengan Al-Ashfahani. Masuk ke dalam kelompok yang berseberangan
dengan pendapat yang mayoritas di atas adalah Muhammad Abduh, Rasyid Ridha, Taufiq Sidqy,
dan ustadz Al-Khudri.16Khusus mengenai Abduh, Quraish Shihab tampaknya tidak setuju
sepenuhnya untuk menetapkannya sebagai kelompok penentang naskh. Sebab nasakh diberi
pengertian bukan sebagai pembatalan, tetapi sebagai pergantian, pengalihan, dan pemindahan
ayat hukum di satu tempat kepada ayat hukum di tempat lain.17

Abduh menolak alasan para pendukung nasakh yang mengajukan Al-Qur’an surah Al-
Baqarah ayat 106 sebagai legitimasi keberadaan naskh dalam Al-Qur’an, sebab menurutnya, kata
“ayat” yang terdapat di dalamnya bukan berarti “ayat-ayat hukum dalam Al-Qur’an”. Penutup
ayat “anna Allah ‘ala kulli syai ingqadir”, menurutnya, mengisyaratkan bahwa ayat yang
dimaksud adalah mukjizat. Apa yang menjadi keberatan Abduh untuk mengajukan Surah Al-
Baqarah ayat 106 sebagai legitimasi nasakh dalam Al-Qur’an juga dikemukakan oleh Al-
Ashfahani. Terhadap argumentasi mayoritas ulama yang didukung oleh surat An-Nahl ayat 101,
Al-Asfahani membantahnya dengan mengajukan ayat 42 dalam surat Al-Fushilat:

15
Rahmat Syafe’I, Pengantar Ilmu Tafsir, (Pustaka Setia: Bandung, 2006), hlm.95-96
16
TM. Hasbi Ash-Shiddieqy, Sejarah dan Pengantar Ilmu Al-Qur’an, (Bulan Bintang: Jakarta, 1972),
hlm.110
17
Quraish Shihab, Membumikan Al-Qur’an… hlm.147.

10
    
     
   
“Yang tidak datang kepadanya (Al Quran) kebatilan baik dari depan maupun dari
belakangnya, yang diturunkan dari Rabb yang Maha Bijaksana lagi Maha Terpuji.” (Q.S. Al-
Fushilat ayat 42)

Menurut Al-Asfahani, ayat di atas tidak mungkin Al-Qur’an disentuh pembatalan. Sudah
tentu, mayoritas ulama keberatan dengan pendapat Al-Ashfahani sebab bagi mereka, ayat
tersebut tidak berbicara tentang “pembatalan”, tetapi tentang “kebatilan” yang berarti lawan dari
“kebenaran”. Juga menurut mereka, hukum tuhan yang dibatalkannya tidak mengandung
keharusan bahwa hukum itu batil, sebab sesuatu yang dibatalkan penggunaannya ketika terdapat
perkembangan dan kemaslahatan pada suatu waktu, bukan berarti hokum itu menjadi tidak
benar.

2.5 Bentuk Dan Macam-Macam Naskh Dalam Al-Qur’an

Berdasarkan kejelasan dan cakupannya, nasakh dalam Al-Qur’an dibagi menjadi empat
macam yaitu:

1. nasakh Sharih, yaitu ayat yang secara jelas menghapus hukum yang terdapat pada ayat
terdahulu. Misalnya ayat tentang perang (qital) pada ayat 65 surat Al-Anfal yang
mengharuskan satu orang muslim melawan sepuluh kafir:
  
    
   
    
   
   
   

11
“Hai nabi, Kobarkanlah semangat para mukmin untuk berperang. jika ada dua puluh
orang yang sabar diantaramu, niscaya mereka akan dapat mengalahkan dua ratus orang musuh.
dan jika ada seratus orang yang sabar diantaramu, niscaya mereka akan dapat mengalahkan
seribu dari pada orang kafir, disebabkan orang-orang kafir itu kaum yang tidak mengerti.18
(Q.S. Al-Anfal ayat 65)

Ayat ini menurut jumhur ulama di-nasakh oleh ayat yang mengharuskan satu orang
mukim melawan dua orang kafir pada ayat 66 dalam surat yang sama:

    


      
  
     
  
     
“Sekarang Allah Telah meringankan kepadamu dan dia Telah mengetahui bahwa
padamu ada kelemahan. Maka jika ada diantaramu seratus orang yang sabar, niscaya mereka
akan dapat mengalahkan dua ratus orang kafir; dan jika diantaramu ada seribu orang (yang
sabar), niscaya mereka akan dapat mengalahkan dua ribu orang, dengan seizin Allah. dan Allah
beserta orang-orang yang sabar.” (Q.S. Al-Anfal ayat 66)

2. Nasakh dhimmy, yaitu jika terdapat dua nasakh yang salaing bertentangan dan tidak
dikompromikan, dan keduanya turun untuk sebuah masalah yang sama, serta kedua-duanya
diketahui waktu turunnya, ayat yang dating kemudian menghapus ayat yang terdahulu.
Contohnya, ketetapan Allah yang mewajibkan berwasiat bagi orang-orang yang akan mati yang
terdapat dalam surat Al-Baqarah ayat 180:
   
   
  

18
Maksudnya: mereka tidak mengerti bahwa perang itu haruslah untuk membela keyakinan dan mentaati
perintah Allah. mereka berperang Hanya semata-mata mempertahankan tradisi Jahiliyah dan maksud-maksud
duniawiyah lainnya.

12
  
   
“Diwajibkan atas kamu, apabila seorang di antara kamu kedatangan (tanda-tanda)
maut, jika ia meninggalkan harta yang banyak, berwasiat untuk ibu-bapak dan karib kerabatnya
secara ma'ruf19, (Ini adalah) kewajiban atas orang-orang yang bertakwa.” (Q.S. Al-Baqarah
ayat 180)

Ayat ini menurut pendukung teori nasakh di nasakh oleh hadis “La washiyyah li waris
(tidak ada wasiat bagi ahli waris)”

3. Naskh kully, yaitu menghapus hukum yang sebelumnya secara keseluruhan. Contohnya,
ketentuan ‘iddah empat bulan sepuluh hari pada surat Al-Baqarah ayat 234 di-nasakh
oleh ketentuan ‘iddah satu tahun pada ayat 240 dalam surat yang sama:
  
  
  
    
    
   
   

“Orang-orang yang meninggal dunia di antaramu dengan meninggalkan isteri-isteri
(hendaklah para isteri itu) menangguhkan dirinya (ber'iddah) empat bulan sepuluh hari.
Kemudian apabila Telah habis 'iddahnya, Maka tiada dosa bagimu (para wali) membiarkan
mereka berbuat terhadap diri mereka20 menurut yang patut. Allah mengetahui apa yang kamu
perbuat.” (Q.S. Al-Baqarah ayat 234)

19
Ma'ruf ialah adil dan baik. wasiat itu tidak melebihi sepertiga dari seluruh harta orang yang akan
meninggal itu. ayat Ini dinasakhkan dengan ayat mewaris.
20
Berhias, atau bepergian, atau menerima pinangan.

13
  
  
   
     
     
    
  
“Dan orang-orang yang akan meninggal dunia di antara kamu dan meninggalkan isteri,
hendaklah berwasiat untuk isteri-isterinya, (yaitu) diberi nafkah hingga setahun lamanya dan
tidak disuruh pindah (dari rumahnya). akan tetapi jika mereka pindah (sendiri), Maka tidak ada
dosa bagimu (wali atau waris dari yang meninggal) membiarkan mereka berbuat yang ma'ruf
terhadap diri mereka. dan Allah Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana.” (Q.S. Al-Baqarah ayat
240)

4. Nasakh juz’iy, yaitu menghapus hukum umum yang berlaku bagi semua individu, atau
menghapus hukum yang bersifat muthlaq dengan hukum yang muqayyad. Contohnya hukum
dera 80 kali bagi orang yang menuduh seorang wanita tanpa adanya saksi pada surat An-Nur
ayat 4, dihapus oleh ketentuan li’an, yaitu bersumpah empat kali dengan nama Allah, jika si
penuduh suami yang tertuduh, pada ayat 6 dalam surat yang sama.
 
   
 
  
   
   
 

14
“Dan orang-orang yang menuduh wanita-wanita yang baik-baik21 (berbuat zina) dan
mereka tidak mendatangkan empat orang saksi, Maka deralah mereka (yang menuduh itu)
delapan puluh kali dera, dan janganlah kamu terima kesaksian mereka buat selama-lamanya.
dan mereka Itulah orang-orang yang fasik.” (Q.S. An-Nur ayat 4)

  


    
  
    
  
“Dan orang-orang yang menuduh isterinya (berzina), padahal mereka tidak ada
mempunyai saksi-saksi selain diri mereka sendiri, Maka persaksian orang itu ialah empat
kali bersumpah dengan nama Allah, Sesungguhnya dia adalah termasuk orang-orang yang
benar.” (Q.S. An-Nur ayat 6)

Dilihat daari segi bacaan dan hukumnya, mayoritas ulama membagi nasakh kepada tiga
macam yaitu:22

1. Penghapusan terhadap huku dan bacaan secara bersamaan. Ayat-ayat yang terbilang kategori
ini tidak dibenarkan dibaca dan tidak dibenarkan diamalkan. Misalnya sebuah riwayat
Bukhari dan Muslim, yaitu hadis dari ‘aisyah r.a.

‫كان فيما أنزل من القران عشر رضعات معلومات يحرمن ثم نسغن بخمس معلومات فتفي رسول هللا‬
‫صلى هللا عليه وسلم وهن فيما يقرأ من القران‬

Artinya: “Dahulu yang termasuk diturunkan (dalam Al-Qur’an) adalah sepuluh


radaha’at (isapan menyusu) yang diketahui, kemudian dinasakh oleh (lima isapan menyusu)
yang diketahui. Setelah Rasulullah SAW wafat, hukum terakhir tetap dibaca sebagai bagian Al-
Qur’an.”

21
yang dimaksud wanita-wanita yang baik disini adalah wanita-wanita yang suci, akil balig dan muslimah.
22
Jalaluddin Al-Suyuthi, Asrar Tartib Al-Qur’an… hlm.22

15
Maksudnya mula-mula dua orang yang berlainan ibu sudah dianggap bersaudara apabila
salah seorang di antara keduanya menyusu kepada ibu salah seorang di antara mereka sebanyak
sepuluh isapan. Ketetapan sepuluh isapan ini kemudian di-nasakh menjadi lima isapan. Ayat
tentang sepuluh atau lima isapan dalam menyusu kepada seorang ibu, sekarang ini tidak
termasuk di dalam mushaf karena baik bacaannya maupun hukumnya telah di-nasakh.

2. Penghapusan terhadap hukumnya saja, sedangkan bacaannya tetap ada. Contohnya,


ajakan para penyembah berhala dari kalangan musyrikin kepada umat Islam untuk saling
bergantian dalam beribadah, telah dihapus oleh ketentuan ayat qital (peperangan). Akan tetapi
bunyi teksnya masih dapat kita temukan di surat Al-Kafirun ayat 6:
    
Artinya: “Untukmu agamamu, dan untukkulah, agamaku." (Q.S. Al-Kafirun ayat 6)

Contoh lainnya adalah ayat tentang mendahulukan sedeqah dalam surat Al-Mujadilah ayat 12:

  


  
   
    
     
   

“Hai orang-orang beriman, apabila kamu mengadakan pembicaraan khusus dengan


Rasul hendaklah kamu mengeluarkan sedekah (kepada orang miskin) sebelum pembicaraan itu.
yang demikian itu lebih baik bagimu dan lebih bersih; jika kamu tidak memperoleh (yang akan
disedekahkan) Maka Sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.” (Q.S. Al-
Mujadilah ayat 12)

Ayat ini di-nasakh oleh ayat 13 dalam surat yang sama:

   


     
   

16
  
  
    
 
“Apakah kamu takut akan (menjadi miskin) Karena kamu memberikan sedekah sebelum
mengadakan pembicaraan dengan Rasul? Maka jika kamu tiada memperbuatnya dan Allah
Telah memberi Taubat kepadamu Maka Dirikanlah shalat, tunaikanlah zakat, taatlah kepada
Allah dan Rasul-Nya; dan Allah Maha mengetahui apa yang kamu kerjakan.” (Q.S. Al-
Mujadilah ayat 13)

3. Penghapusan terhadap bacaannya saja, sedangkan hukumnya tetap berlaku. Contoh kategori
ini biasanya diambil dari ayat rajam. Mula-mula ayat raja ini terbilang ayat Al-Qur’an. Ada
yang dinyatakan mansukh bacaannya, sementara hukumnya tetap berlaku itu adalah:
‫إذازناالشيخ والشيخة فارجموهما‬

Artinya: “ Jika seorang pria tua dan wanita tua berzina, maka rajamlah keduanya…”

Cerita tentang ayat orang tua berzina di atas diturunkan berdasarkan riwayat Ubay bin Ka’ab bin
Abu Umamah bin Sahl menurunkan bunyi yang bernada mengenai ayat yang dianggap
bacaannya mansukh itu. Umamah mengatakan bahwa Rasulullah SAW telah mengajarkan kami
membaca ayat rajam:

‫الشيخ والشيخة فارجموهما البتة بما قضيا من اللذة‬

Artinya: “Seorang pria tua dan seorang wanita tua, rajamlah mereka lantaran apa yang
mereka perbuat dalam bentuk kelezatan (zina)”

Adapun dari sisi otoritas mana yang lebih berhak menghapus sebuah nash, para ulama
membagi nasakh ke dalam empat macam:23

1. Nasakh Al-Qur’an dengan Al-Qur’an: para ulama sepakat akan kebolehannya


2. Nasakh Al-Qur’an dengan As-Sunnah: bagi kalangan Hanafiah, nasakh seperti ini
diperkenankan bila sunnah yang menghapusnya sunnah mutawatir atau masyhur. Akan

23
Al-Qaththan, Mabahits fi ‘Ulum Al-Qur’an… 236-237

17
tetapi ketentuan itu tidak berlaku apabila sunnah yang menghapusnya berupa sunnah
ahad. Keputusan-keputusan kalangan Hanafiah mendapat bantahan keras dari kalangan
mayoritas ulama ushul fiqh. Bagi mereka, apapun jenis sunnah yang akan menghapus
ketentuan hukum dalam Al-Qur’an, hal itu tetap tidak diperkenankan. Untuk itu Asy-
Syafi’I mengajukan analisisnya sebagai berikut: sunnah tidak sederajat dengan Al-
Qur’an. Padahal, nasakh yang dijanjikan Tuhan dalam surat Al-Baqarah ayat 106 adalah
yang sepadan derajatnya atau bahkan lebih tinggi. Dalama surat Yunus ayat 15
dinyatakan bahwa Muhammad SAW tidak berhak untuk mengubah Al-Qur’an atas
kemauannya. Surat An-Nahl ayat 44 menyatakan bahwa misi Nabi Muhammad SAW
adalah sebagai penjelas terhadap Al-Qur’an, sehingga setelah mereka memperoleh
penjelasan darinya, umat bisa mengamalkan Al-Qur’an. Bila Nabi Muhammad berhak
menghapuskan Al-Qur’an, nanti umat mengamalkan as-sunnah bukan lagi Al-Qur’an.
Hal ini bertentangan dengan isi surat An-Nahl ayat 44. Menghindari nasakh Al-Qur’an
dengan as-sunnah dapat menjauhi celaan diri Nabi Muhammad SAW.
3. Nasakh sunnah dengan Al-Qur’an. Menurut mayoritas ahli ushul, naskh semacam ini
benar-benar terjadi. Contohnya adalah penghapusan kiblat shalat ke Baitul Muqaddis
menjadi Ka’bah. Akan tetapi, lagi-lagi Asy-Syafi’i menolak penghapusan semacam ini.
Baginya, jika Muhammad menetapkan suatu ketentuan, kemudian turun ayat yang isinya
bertentangan, beliau pasti akan membuat ketentuan baru yang sejalan dengan Al-Qur’an.
Jika tidak demikian maka muncullah tuduhan setiap sunnah yang menjadi bayan terhadap
Al-Qur’an telah dihapus.
4. Nasakh As-Sunnah dengan As-sunnah. Bagi Al-Qaththan, pada dasarnya, ketentuan
nasakh dalam ijma’ dan qiyas itu tidak ada dan tidak diperkenankan.

2.6 Hikmah Keberadaan Naskh

Menurut Manna’ Al-Qaththan terdapat empat hikmah keberadaan ketentuan nasakh,


yaitu:

1. Menjaga kemaslahatan hamba.

18
2. Pengembangan pensyari’atan hukum sampai kepada tingkat kesempurnaan seiring
dengan perkembangan dakwah dan kondisi manusia itu sendiri.
3. Menguji kualitas keimanan mukallaf dengan cara adanya perintah yang kemudian
dihapus.
4. Merupakan kebaikan dan kemudahan bagi umat. Sebab apabila ketentuan nasikh lebih
berat daripada ketentuan mansukh, berarti mengandung konsekuensi pertambahan pahala.
Sebalaiknya, jika ketentuan dalam nasikh lebih mudah daripada ketentuan mansukh, itu
berarti kemudahan bagi umat.

1.7 Analisis Penulis

Dari pembahasan mengenai nasikh dan mansukh, penulis lebih setuju dengan pendapat
yang membolehkan nasakh. Namun, tidak pada semua pembagian nasakh. Terlebih pada nasakh
Al-Qur’an dengan sunnah. Penulis lebih condong dengan pendapat Imam Syafi’i, karena
kedudukan Al-Qur’an tidak sederajat dengan sunnah, Ia berada di atas sunnah. Karena Nabi
Muhammad SAW ialah penjelas tentang Al-Qur’an, dan Nabi Muhammad tidaklah berhak
menghapuskan Al-Qur’an. Apabila Nabi Muhammad SAW berhak menghapuskan Al-Qur’an,
nanti umat mengamalkan as-sunnah bukan lagi Al-Qur’an. Dan hal tersebut dapat menimbulkan
tuduhan setiap sunnah yang menjadi bayan terhadap Al-Qur’an telah dihapus.

BAB III
KESIMPULAN

Nasakh ialah menghapuskan hukum syara’ dengan dalil syara’ yang lain. Materi dalam
studi Al-Qur’an ini banyak terdapat perbedaan pendapat para ulama. Namun yang menjadi inti

19
dari pembahasan ini ialah adanya suatu hukum baru yang datang menggantikan hukum yang
telah lebih awal ada. Dan yang menjadi patokan suatu hukum dapat dimasukkan ke dalam materi
naskh ialah kegandaan hukum yang disebabkan turunnya dalil yang berbeda di waktu kemudian.

Dengan adanya materi naskh dapat menghadirkan kemaslahatan bagi umat. Serta dapat
menunjukkan perkembangan pensyari’atan hukum seiring dengan perkembangan dakwah dan
kondisi manusia. Serta dapat menunjukkan kebaikan dan kemudahan bagi umat.

DAFTAR PUSTAKA

Al-Qaththan, Mabahits fi ‘Ulum Al-Qur’an, Mansyurat Al-Ashr Al-Hadis, 1973.

Ishom Elsaha dan Saiful Hadi, Sketsa Al-Quran : Tempat, Tokoh, Nama dan Istilah

20
dalam al-Quran, (Jakarta : Lista Fariska, 2005

Jalaluddin Al-Suyuthi, Asrar Tartib Al-Qur’an, Dar Al-I’tisham, Kairo.

Kahar Mansykur, Pokok-pokok Ulumul Qur`an, Jakarta : Rineka Cipta, 2002.

M. Quraish Shihab, Membumikan al-Quran, Fungsi dan Peran Wahyu dalam

Kehidupan, Bandung : Mizan, 2004.

Muhammad ‘Abd Al-‘Azhim Az-Zarqani, Manahili al ‘Irfan fi Ulum al Qur’an, Dar al-Fikr: Beirut,
t.t.

Moh. Nor Ichwan, Studi Ilmu-Ilmu al-Quran, Semarang : Rasail Media Group,
2002.

Quraish Shihab, Membumikan Al-Qur’an. Mizan: Bandung, 1992.

Rosihon Anwar, Ulum Al-Qur’an. CV Pustaka Setia: Jawa Barat, 2007.

Rahmat Syafe’i, Pengantar Ilmu Tafsir, Pustaka Setia: Bandung, 2006.

TM. Hasbi Ash-Shiddieqy, Sejarah dan Pengantar Ilmu Al-Qur’an. Bulan Bintang: Jakarta,
1972.

21

Anda mungkin juga menyukai