Anda di halaman 1dari 11

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Al-Qur’an adalah kalamullah yang merupakan mu’jizat bagi Nabi Muhammad SAW.
Al-Qur’an merupakan petunjuk bagi umat manusia untuk mencapai kebahagiaannya di
dunia dan di akhirat. Dari awal hingga akhir, Al-Qur'an merupakan kesatuan utuh. Tak
ada pertentangan satu dengan lainnya. Dalam Al-Qur’an terkandung banyak hikmah dan
pelajaran. Al-Qur’an memuat ayat yang mengandung hal-hal yang berhubungan dengan
keimanan, Ilmu pengetahuan, tentang cerita-cerita, seruan kepada uma tmanusia untuk
beriman dan bertaqwa, memuat tentang ibadah, muamalah, dan lain lain.
Al Qur’an diturunkan secara berangsur-angsur, dalam penjelasan Al Qur’an ada yang
dikemukakan secara terperinci, ada pula yang garis besarnya saja, Ada yang khusus, ada
yang masih bersifat umum dan global. Ada ayat-ayat yang sepintas lalu menunjukkan
adanya gejala kontradiksi yang menurut Quraish Shihab para ulama berbeda pendapat
tentang bagaimana menghadapi ayat-ayat tersebut. Sehingga timbul pembahasan tentang
Nasikh dan Mansukh.
B. Rumusan Masalah
Adapun rumusan masalah dalam penulisan makalah ini yaitu :
1) Apa pengertian Nasih dan Mansukh
2) Apa saja syarat-syarat Nasakh
3) Apa saja pembagian Nasakh?
4) Bagaimana ruang lingkup Nasakh?
5) Apa hikmah adanya Nasakh dalam Al-Quran?
C. Tujuan Penulisan
Adapun tujuan yang ingin dicapai dalam penulisan ini adalah:
1) Untuk mengetahui Nasih dan Mansukh.
2) Untuk mengetahui syarat-syarat Nasakh.
3) Untuk mengetahui pembagian Nasakh.
4) Untuk mengetahui ruang lingkup Nasakh.
5) Untuk mengetahui hikmah adanya Nasakh dalam Al-Quran.

1
BAB II
PEMBAHASAN

A. Pengertian Nasikh dan Mansukh


Dari segi etimologi, para ulama’ Ulumul Qur’an mengemukakan arti kata nasakh
dalam beberapa makna, diantaranya adalah menghilangkan, memindahkan sesuatu dari
suatu tempat ke tempat lain, mengganti atau menukar, membatalkan atau mengubah, dan
pengalihan. Nasakh dalam istilah para ahli ilmu ushul fiqh adalah membatalkan hukum
syar’i dengan dalil yang datang kemudian, yang menunjukkan pembatalan, secara tersurat
atau tersirat, baik pembatalan secara keseluruhan ataupun pembatalan sebagian, menurut
keperluan yang ada. Atau: Melahirkan dalil yang dating kemudian yang secara implisit
menghapus pelaksanaan dalil yang lebih dulu.
Adapun menurut istilah dapat dikemukakan beberapa definisi sebagai berikut:

1) Menurut Manna’ Khalil al-Qaththan adalah:


‫رفع الحكم الشرعي بخطاب شرعي‬
“Mengangkat atau menghapus hukum syara’ dengan khithab (dalil) syara’ yang
lain”

2) Menurut Muhammad ‘Abd. Adzim al-Zarqaniy:

‫رفع الحكم الشرعي بدليل شرعي متأخر‬


“Mengangkat / menghapus hukum syara’ dengan dalil syara’ yang lain yang
datang kemudian”.

Para ulama mutaqaddimin (abad I hingga abad III H) memperluas arti Nasikh
sehingga mencakup beberapa hal sebagai berikut:
1) Pembatalan hukum yang ditetapkan terlebih dahulu terjadi oleh hukum yang
ditetapkan kemudian.
2) Pengecualian hukum yang bersifat oleh hukum yang bersifat khusus yang
datang kemudian.
3) Penjelasan yang datang kemudian terhadap hukum yang bersifat samar.
4) Penetapan syarat terhadap hukum terdahulu yang belum bersyarat.

2
Hal yang demikian luas dipersempit oleh ulama’ yang datang kemudian
(mutaakhkhirin). Menurut mereka nasakh terbatas pada ketentuan hukum yang datang
kemudian guna membatalkan atau mencabut atau menyatakan berakhirnya masa
pemberlakuan hukum yang terdahulu sehingga ketentuan hukum yang berlaku adalah
yang ditetapkan terakhir.
Pengertian mansukh menurut bahasa berarti sesuatu yang
dihapus/dihilangkan/dipindah ataupun disalin/dinukil. Sedangkan menurut istilah para
ulama’, mansukh ialah hukum syara’ yang diambil dari dalil syara’ yang pertama, yang
belum diubah dengan dibatalkan dan diganti dengan hukum dari dalil syara’ baru yang
datang kemudian.
Tegasnya, dalam mansukh itu adalah berupa ketentuan hukum syara’ pertama yang
telah diubah dan diganti dengan yang baru, karena adanya situasi dan kondisi yang
menghendaki perubahan dan penggantian hukum.

B. Syarat- Syarat Nasakh


Dalam pembahasan mengenai ayat-ayat nasikh dan mansukh, perlu diketahui syarat-
syarat nasakh. Syarat-syarat nasakh yang dimaksud adalah sebagai berikut:
1. Adanya mansukh (ayat yang dihapus) dengan syarat bahwa hukum yang dihapus itu
adalah berupa hukum syara’ yang bersifat ‘amali, tidak terikat atau tidak dibatasi
dengan waktu tertentu. Sebab, bila terikat dengan waktu maka hukum akan berakhir
dengan berakhirnya waktu tersebut. Karena itu, maka yang demikian itu tidak dapat
dinamakan dengan nasakh. Di samping itu, mansukh (ayat yang dihapus) tidak
bersifat “ajeg” secara nashshi, dan ayat yang mansukh itu lebih dahulu diturunkan
daripada ayat yang nasikh (menghapus).
2. Adanya mansukh bih (ayat yang digunakan untuk menghapus), dengan syarat,
datangnya dari Syari’ (Allah) atau dan Rasulullah s.a.w. sendiri yang bertugas
menyampaikan wahyu dari Allah. Sebab penghapusan sesuatu hukum tidak dapat
dilakukan dengan menggunakan ijma’ (konsensus) ataupun qiyas (analogi).
3. Adanya nasikh (yang berhak menghapus), yaitu Allah. Kadang-kadang ketentuan
hukum yang dihapus itu berupa al-Qur’an dan kadang-kadang pula berupa sunnah.
4. Adanya mansukh ‘anhu (arah hukum yang dihapus itu ialah orang-orang yang sudah
aqil-baligh atau mukallaf), karena yang menjadi sasaran hukum yang menghapus dan
atau yang dihapus itu adalah tertuju kepada mereka.

3
Sedang ‘Abd. ‘Azhim al-Zarqaniy mengemukakan, bahwa nasakh baru dapat
dilakukan apabila :
a. Adanya dua ayat hukum yang saling bertolak belakang, dan tidak dapat
dikompromikan, serta tidak dapat diamalkan secara sekaligus dalam segala segi.
b. Ketentuan hukum syara’ yang berlaku (menghapus) datangnya belakangan daripada
ketetapan hukum syara’ yang diangkat atau dihapus.
c. Harus diketahui secara meyakinkan perurutan turunnya ayat-ayat tersebut, sehingga
yang lebih dahulu diturunkan ditetapkan sebagai mansukh, dan yang diturunkan
kemudiannya sebagai nasikh.

C. Pembagian Nasakh
Umumnya para ulama’ membagi Nasakh menjadi empat macam:
1. Nasakh Al-Qur’an dengan Al-Qur’an
Ulama-ulama sepakat mengatakan ini diperbolehkan dan telah terjadi dalam
pandangan mereka yang mendukung adanya naskh dalam Alquran. Misalnya ada ayat
tentang iddah empat bulan sepuluh hari yakni Q.S. al- Baqarah ayat 240:

َ ‫اج فَِإ ۡن‬ ۡ ۡ ٰ ۡ ‫َوٱلَّ ِذينَ يُتَ َوفَّ ۡونَ ِمن ُكمۡ َويَ َذرُونَ َأ ۡز ٰ َو ٗجا َو ِ ٗ َأِّل‬
‫خَر ۡجنَ فَاَل‬ ٖ ۚ ‫صيَّة ز ٰ َو ِج ِهم[ َّمتَعًا ِإلَى ٱل َح ۡو ِل غ َۡي َر ِإخ َر‬
ِ ‫ُوف َوٱهَّلل ُ ع‬
‫يم‬ٞ ‫َزي ٌز َح ِك‬ ٖۗ ‫َاح َعلَ ۡي ُكمۡ فِي َما فَ َع ۡلنَ فِ ٓي َأنفُ ِس ِه َّن ِمن َّم ۡعر‬َ ‫ُجن‬
Yang artinya:
"Dan orang-orang yang akan meninggal dunia di antara kamu dan meninggalkan
isteri, hendaklah berwasiat untuk isteri-isterinya, (yaitu) diberi nafkah hingga setahun
lamanya dan tidak disuruh pindah (dari rumahnya). akan tetapi jika mereka pindah
(sendiri), Maka tidak ada dosa bagimu (wali atau waris dari yang meninggal)
membiarkan mereka berbuat yang ma'ruf terhadap diri mereka. dan Allah Maha
Perkasa lagi Maha Bijaksana".
Ayat ini kemudian di nasakh oleh surah yang sama pada ayat 234:

َ‫َّص[نَ بَِأنفُ ِس[ ِه َّن َأ ۡربَعَ ةَ َأ ۡش[ه ُٖر َوع َۡش[ ٗر ۖا فَِإ َذا بَلَ ۡغن‬ ۡ ‫َوٱلَّ ِذينَ يُتَ َوفَّ ۡونَ ِمن ُكمۡ َويَ َذرُونَ َأ ۡز ٰ َو ٗج[ ا يَتَ َرب‬
ِ [ۗ ‫َأ َجلَه َُّن فَاَل ُجنَا َح َعلَ ۡي ُكمۡ فِي َما فَ َع ۡلنَ فِ ٓي َأنفُ ِس ِه َّن بِ ۡٱل َم ۡعر‬
ٞ ِ‫ُوف َوٱهَّلل ُ بِ َما ت َۡع َملُونَ خَ ب‬
‫ير‬
Yang artinya :
"Orang-orang yang meninggal dunia di antaramu dengan meninggalkan isteri-isteri
(hendaklah para isteri itu) menangguhkan dirinya (ber'iddah) empat bulan sepuluh

4
hari. Kemudian apabila Telah habis 'iddahnya, Maka tiada dosa bagimu (para wali)
membiarkan mereka berbuat terhadap diri merekamenurut yang patut. Allah
mengetahui apa yang kamu perbuat".

2. Nasakh Al-Qur’an dengan Sunnah


Menurut Manna’ Khalil al-Qhaththan nasakh ini ada dua macam:
a. Nasakh Al-Qur’an dengan Hadits Ahad:
Jumhur ulama’ berpendapat, Al-Qur’an tidak boleh dinasakh oleh hadits ahad,
sebab Qur’an adalah mutawatir dan menunjukkan yakin, sedang hadits ahad dzanni,
bersifat dugaan, di samping tidak sah pula menghapuskan sesuatu yang ma’lum
(jelas diketahui) dengan yang madznun (diduga).

b. Nasakh Al-Qur’an dengan Hadits Mutawatir:


Naskh demikian dibolehkan oleh Imam Malik, Imam Abu Hanifah, dan Iman
Ahmad dalam satu riwayat, sebab masing-masing keduanya adalah wahyu. Allah
berfirman dalam surat an-Najm ayat 3-4:

‫ُوح ٰى‬ ٓ ٰ ‫ق َع ِن ۡٱلهَ َو‬


َ ‫ي ي‬ٞ ‫ى ۞ ِإ ۡن هُ َو ِإاَّل َو ۡح‬ ُ ‫نط‬
ِ َ‫َو َما ي‬
Yang artinya:
“Dan tiadalah yang diucapkannya itu menurut kemauan hawa nafsunya. Ucapannya
itu tiada lain hanyalah wahyu yang diwahyukan (kepadanya).”

Sedangkan asy-Syafi’i, Ahli Zahir dan Ahmad dalam riwayatnya yang lain
menolak naskh seperti ini, berdasarkan firman Allah surat al-Baqarah ayat 106:

ِ ‫نسهَا ن َۡأ‬
۞‫ت بِخ َۡي ٖر ِّم ۡنهَٓا َأ ۡو ِم ۡثلِهَ ۗٓا َألَمۡ ت َۡعلَمۡ َأ َّن ٱهَّلل َ َعلَ ٰى ُكلِّ َش ۡي ٖء قَ ِدي ٌر‬ ِ ُ‫َما نَن َس ۡخ ِم ۡن َءايَ ٍة َأ ۡو ن‬

Yang artinya:

“Apa saja ayat yang Kami nasakhkan atau kami jadikan (manusia) lupa kepadanya,
Kami datangkan yang lebih baik atau yang sebanding dengannya.”

3. Nasakh Sunnah dengan Al-Qur’an


Ini dibolehkan oleh jumhur. Sebagai contoh ialah shalat yang dahulunya
menghadap baitul maqdis berdasarkan sunnah kemudian dinasakh oleh ayat al-
Baqarah: 144
untuk menghadap ka’bah.

5
‫فَ َو ِّل َو ۡجهَكَ َش ۡط َر ۡٱل َم ۡس ِج ِد ۡٱل َح َر ۚ ِام‬
Yang artinya :
“Palingkanlah mukamu ke arah Masjidil Haram”.

Tetapi naskh versi ini pun ditolak oleh Syafi’i dalam salah satu riwayat. Menurutnya,
apa saja yang ditetapkan sunnah tentu didukung oleh Al-Qur’an, dan apa saja yang
ditetapkan Al-Qur’an tentu didukung pula oleh sunnah. Hal ini karena antara Kitab
dengan sunnah harus senantiasa sejalan dan tidak bertentangan.

4. Nasakh Sunnah dengan Sunnah

Dalam kategori ini terdapat empat bentuk: 1) naskh mutawatir dengan mutawatir,
2) nasakh ahad dengan ahad, 3) naskh ahad dengan mutawatir, 4) naskh mutawatir
dengan ahad. Tiga bentuk pertama dibolehkan, sedang pada bentuk keempat terjadi
silang pendapat seperti halnya nasakh Qur’an dengan hadits ahad, yang tidak
didolehkan oleh jumhur.

Adapun menasakh ijma’ dengan ijma’ dan qiyas dengan qiyas atau menasakh dengan
keduanya, maka pendapat yang shohih tidak membolehkannya.

Contoh nasakh sunnah dengan sunnah ialah mengenai larangan berziarah kubur pada
waktu permulaan Islam. Kemudian Rasul dengan hadisnya yang lain membolehkan
ziarah kubur setelah masyarakat mengetahui hakikat ziarah kubur.

‫ت نَهَ ْيتُ ُك ْم ع َْن ِزيَا َر ِة ْالقُبُوْ ِر َأالَ فَ ُزوْ رُوْ هَا‬


ُ ‫ُك ْن‬

Yang artinya :

“Dulu aku (nabi) melarang kalian untuk ziarah kubur, sekarang berziarah kuburlah
kamu.” (H.R. Muslim)

D. Ruang Lingkup Nasakh


Nasakh hanya terjadi pada perintah dan larangan, baik yang diungkapkan dengan
tegas dan jelas maupun yang diungkapkan dengan kalimat khabar (berita) yang bermakna
amar (perintah) atau nahy (larangan), jika hal tersebut tidak berhubungan dengan
persoalan akidah, yang berfokus kepada Zat Allah, sifat-sifat-Nya, para rasul-Nya dari

6
hari kemudian, serta tidak berkaitan pula dengan etika dan akhlak atau dengan pokok-
pokok ibadah dan mu’amalah. Hal ini karena semua syari’at ilahi tidak lepas dari pokok-
pokok tersebut.
Naskh tidak terjadi dalam berita atau kabar yang jelas-jelas tidak bermakna talab
(tuntutan ; perintah atau larangan), seperti janji (al-wa’d) dan ancaman (al-wa’id).

Penununjukan adanya nasakh dalam syariat. Firman Allah SWT:

‫َوِإ َذا بَ َّد ۡلنَٓا َءايَ ٗة َّم َكانَ َءايَ ٖة‬

Yang artinya
“Dan apabila Kami mengganti suatu ayat di tempat ayat yang lain”. (An Nahl:
101)

Demikian juga ayat ini juga nyata menunjukkan adanya ayat Al-Qur’an yang
nasikh dan mansukh, bukan hanya nasikh saja. Ayat yang Allah jadikan pengganti
adalah nasikh, ayat yang digantikan adalah ayat mansukh.

E. Hikmah adanya Nasakh dalam Al-Qur’an

Hikmah nasakh secara umum ialah sebagai berikut:

1) Untuk menunjukkan bahwa syari’at agama islam adalah syari’at yang paling
sempurna. Karena itu, syari’at agama islam ini menasakh semua syariat dari agama-
agama sebelum islam. Sebab, syari’at Islam ini telah mencakup semua kebutuhan
seluruh umat manusia dari segala periodenya, mulai dari Nabi Adam a.s. yang
kebutuhan-kebutuhannya masih sederhana hingga Nabi akhir zaman, Nabi
Muhammad SAW yang kebutuhan-kebutuhannya sudah banyak dan kompleks.
2) Selalu menjaga kemaslahatan hamba agar kebutuhan mereka senantiasa terpelihara
dalam semua keadaan dan di sepanjang zaman.
3) Untuk menjaga agar perkembangan hukum Islam selalu relevan dengan semua
situasi dan kondisi umat yang mengamalkan, mulai dari yang sederhana sampai ke
tingkat yang sempurna.
4) Untuk menguji orang mukallaf, apakah dengan adanya perubahan dan penggantian-
penggantian dari nasakh itu mereka tetap taat, setia mengamalkan hukum-hukum
Tuhan, atau dengan begitu lalu mereka ingkar dan membangkang?

7
5) Untuk menambah kebaikan dan pahala bagi hamba yang selalu setia mengamalkan
hukum-hukum perubahan, walaupun dari yang mudah sampai yang sulit. Sebab,
semakin sulit menjalankan suatu peraturan Tuhan, akan semakin besar manfaat,
faedah dan pahalanya.
6) Untuk memberi dispensasi dan keringanan bagi umat Islam, sebab dalam beberapa
nasakh banyak yang memperingan beban dan memudahkan pengamalan guna
menikmati kebijaksanaan dan kemurahan Allah SWT yang Maha Pengasih lagi
Maha Penyayang.
F. Dasar-dasar Penetapan Nāsikh dan Mansūkh
Manna>’ Al-Qat}t}an menetapkan tiga dasar untuk menegaskan bahwa suatu ayat
dikatakan nāsikh (menghapus) ayat lain mansūkh (dihapus). Ketiga dasar adalah:
1.    Melalui pentransmisian yang jelas (an-naql al-sharih) dari Nabi atau para sahabatnya,
seperti hadis yang artinya:Aku dulu melarang kalian berziarah kubur, sekarang
berziarahlah.
2.    Melalui kesepakatan umat bahwa ayat ini nāsikh dan ayat itu mansūkh
3.    Melalui studi sejarah, mana ayat yang lebih belakang turun, sehingga disebut nāsikh,
dan mana yang duluan turun, sehingga disebut mansūkh Al-Qat}t}an menambahkan
bahwa nāsikh tidak bisa ditetapkan melalui prosedur ijtihad, pendapat ahli tafsir,
karena adanya kontradiksi antara beberapa dalil bila dilihat dari lahirnya, atau
belakangnya keislaman salah seorang dari pembawa riwayat.

G. Pendapat Mengenai Ayat yang Dianggap Mansūkh


  

Terdapat beberapa pendapat mengenai ayat-ayat Alquran yang


dianggap mansūkh di antaranya menurut al Nahas (388 H) jumlah ayat yang
dianggap mansūkh berjumlah 100 buah. Keseratus ayat Allah itu dianggap Al Nahas
berlawanan dengan ayat-ayat lainnya. Setelah diteliti ternyata hukumnya tidak berlaku
lagi. Akan tetapi, rupanya tak semua ulama setuju dengan vonis Nahas itu. Maka jauh
kebelakang setelah Al Nahas, seorang ulama lain berasal dari provinsi Ashut} (karena
dijuluki Al Suyut}iy) menghitung ulang ayat-ayat yang telah batal hukumnya itu.  Al
Suyut}iy berusaha mengkompromikan ayat-ayat yang dipandang mansūkh dengan
yang dianggap nāsikh. Kesimpulan Suyut}iy, ada 20 ayat yang terpaksa
dinyatakan mansūkh.
Adapun pendapat lain yang datang dari Al Shaukaniy yang hidup sampai
dengan tahun 1250 H melihat 12 ayat yang dianggap Suyut}i tak mungkin

8
digabungkan ternyata olehnya bisa. Maka jadilah hitungan ayat mansūkh menurut
Shaukaniy hanya 8 buah
Contoh :
ْ ُّ‫فََأ ْينَ َما تُ َول‬ ۚ ُ‫ق َو ْال َم ْغ ِرب‬
‫ِإ َّن ٱهَّلل َ َوا ِس ٌع َعلِي ٌم‬ ِۚ ‫وا فَثَ َّم َوجْ هُ ٱهَّلل‬ ُ ‫َوهَّلِل ِ ْال َم ْش ِر‬
] ۱۱۵ :‫[البقرة‬ 
“Dan kepunyaan Allah-lah timur dan barat, maka kemanapun kamu
menghadap di situlah wajah Allah. Sesungguhnya Allah Maha Luas (rahmat-Nya)
lagi Maha Mengetahui”
Ayat ini dianggap mansūkh. Menurut satu riwayat yang dinisbatkan kepada Ibnu
Abbas, dikatakan bahwa nāsikh (yang me-nasakh)nya adalah:
ْ ‫وا ُوجُوهَ ُك ْم َش‬
] ١٥٠ : ‫[البقرة‬ ....ُ‫ط َره‬ ْ ُّ‫ْث َما ُكنتُ ْم فَ َول‬
ُ ‫ َو َحي‬  ۚ
“Dan dimana saja kamu (sekalian) berada, maka palingkanlah wajahmu ke
arahnya”.
Riwayat turunnya ayat 115 al-Baqarah – seperti dikisahkan Al Wah}idiy Al
Nisaburiy dalam Asbab Al Nuzid wa Bihamishihi Al Na>sikh wa
Al  Mansūkh - demikian: “Setiap kali Nabi Muhammad mengerjakan salat, wajahnya
menengadah ke langit dan berseru: “Wahai Jibril, sampai kapankah daku salat
menghadap ke kiblat orang Yahudi.” Mendengar keluhan Rasulullah, Jibril hanya
mampu berucap: “Aku hanyalah hamba yang diperintah. Tanyalah Tuhanmu.” Tiba-
tiba saja turun ayat 115, al-Baqarah ini.
Berdasarkan asbabu Al nuzu>l, perubahan kiblat dari Bait Al
Maqdis disebabkan kerisian Nabi, karena mengikuti kiblat orang Yahudi. Kerisian
Nabi mendorong beliau mengadu kepada Jibril. Tapi sayang, Jibril tidak berdaya.
Karena seperti diakui Jibril sendiri, dia hanyalah pesuruh. Keluhan Nabi Muhammad
ini ditanggapi Allah dan turunlah ayat 150 surat al-Baqarah. Padahal bila diperiksa
ayat Alquran sebelumnya jelas-jelas dinyatakan bahwa perubahan kiblat itu berdasar
kehendak Allah dan semata-mata karena kemaslahatan yang hanya diketahui Allah
dan perubahan itu bertujuan untuk menguji kadar kesetiaan pengikut Rasulullah.

9
BAB III
PENUTUP

A. Kesimpulan
1. Nasakh adalah menghilangkan, memindahkan sesuatu dari suatu tempat ke tempat lain,
mengganti atau menukar, membatalkan atau mengubah, dan pengalihan. Sedangkan
Mansukh ialah hukum syara’ yang diambil dari dalil syara’ yang pertama, yang belum
diubah dengan dibatalkan dan diganti dengan hukum dari dalil syara’ baru yang datang
kemudian.
2. Syarat-syarat nasakh adalah adanya mansukh (ayat yang dihapus), adanya mansukh bih
(ayat yang digunakan untuk menghapus), adanya nasikh (yang berhak menghapus),
adanya mansukh ‘anhu (arah hukum yang dihapus itu ialah orang-orang yang sudah
aqil-baligh atau mukallaf).
3. Umumnya para ulama’ membagi Nasakh menjadi empat macam, yaitu nasakh Al-
Qur’an dengan Al-Qur’an, nasakh Al-Qur’an dengan Sunnah, nasakh sunnah dengan
Al-Qur’an, nasakh sunnah dengan sunnah.
4. Ruang lingkup nasakh hanya terjadi pada perintah dan larangan, baik yang
diungkapkan dengan tegas dan jelas maupun yang diungkapkan dengan kalimat
khabar (berita) yang bermakna amar (perintah) atau nahy (larangan) tidak
berhubungan dengan soal akidah serta tidak berkaitan pula dengan etika dan akhlak
atau dengan pokok-pokok ibadah dan mu’amalah.
5. Hikmah nasakh secara umum ialah untuk menunjukkan bahwa syari’at agama islam
adalah syari’at yang paling sempurna, selalu menjaga kemaslahatan hamba agar
kebutuhan mereka senantiasa terpelihara dalam semua keadaan dan di sepanjang
zaman, untuk menjaga agar perkembangan hukun Islam selalu relevan dengan semua
situasi dan kondisi umat yang mengamalkan, mulai dari yang sederhana sampai ke
tingkat yang sempurna, untuk menguji orang mukallaf, apakah dengan adanya
perubahan dan penggantian-penggantian dari nasakh itu mereka tetap taat, setia
mengamalkan hukum-hukum Tuhan, atau tidak, untuk menambah kebaikan dan pahala
bagi hamba yang selalu setia mengamalkan hukum-hukum perubahan, untuk member
dispensasi dan keringanan bagi ummat Islam.

10
DAFTAR PUSTAKA

Shihab, M. Quraish. 1994. Membumikan Al-Qur’an. Bandung: PT Mizan Pustaka.


Usman. 2009. Ulumul Qur’an. Yogyakarta: TERAS.
Wahhab, Khallaf, Abdul. 1997. Alih bahasa oleh Helmy, Masdar. Ilmu Ushul Fiqh. Bandung:
Gema Risalah Press.
Referensi Makalah ,” Diskursus Pendapat Ulama Tentang Nasikh” diakses dari
http://www.referensimakalah.com/2013/04/diskursus-pendapat-ulama-tentang-nasikh.html/
(24 Oktober 2018)
Chirzin, Muhammad. 1998. Al Qur’an dan Ulumul Qur’an. Yogyakarta: PT. Dana Bhakti
Prima Yasa.
Djalal, Abdul. 2012. Ulumul Qur’an. Surabaya: Dunia Ilmu.
Al-Qhaththan, Manna’ Khalil. 2009. Studi Ilmu-ilmu Qur’an. Bogor: PT. Litera AntarNusa.
Halim Jaya.
Muhammad wardhani. Makalah Nasikh dan Mansukh. Diakases dari.
https://www.scribd.com/document/487697996/Makalah-Ulumul-Quran-Nasikh-dan-
Mansukh-docx#download. (18 November 2021)
Maalah kampus. Makalah Studi nasikh dan Mansukh. di akses dari
http://makalahkampus15.blogspot.com/2017/10/makalah-studi-quran-nasikh-dan-
mansukh.html. (18 November 2021)
Academia.edu, “Hadis Nasikh Mansukh”, diakses dari
https://www.academia.edu/10078808/hadis_nasikh_mansukh/ (18 Oktober 2021)

14

Anda mungkin juga menyukai