Anda di halaman 1dari 16

BAB I

PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Al Quran adalah kalamullah merupakan mujizat bagi Nabi
Muhammad

SAW. Al Quran merupakan tuntutan bagi umat

manusia untuk mencapai

bukan hanya kebahagiaan

di dunia

saja, terlebih lagi adalah merupakan tuntunan untuk mencapai


kebahagiaan di akhirat.
Al Quran diturunkan secara berangsur-angsur, dalam
penjelasan Al Quran ada yang dikemukakan secara terperinci,
ada pula yang garis besarnya saja, Ada yang khusus, ada yang
masih bersifat umum dan global. Ada ayat-ayat yang sepintas
lalu menunjukkan adanya gejala kontradiksi yang menurut
Quraish

Shihab

para

ulama

berbeda

pendapat

bagaimana menghadapi ayat-ayat tersebut. Sehingga

tentang
timbul

pembahasan tentang Nasikh dan Mansukh.


Firman Allah SWT dalam surah al Baqarah ayat 106 tentang
nasikh dan mansukh yaitu:
Terjemahan
Ayat mana saja yang kami nasakhan, atau kami jadikan
(manusia) lupa kepadanya, kami datangkan yang lebih baik atau
yang sebanding dengannya. (Qs Al Baqarah:106)
Dari

ayat

tersebut

timbul

pembahasan

nasikh

dan

mansukh dalam ayat-ayat Allah, baik ayat-ayat dalam Al Quran,


sunnah Nabi maupun ayat-ayat dalam kitab-kitab suci terdahulu.
[6]

Pengetahuan tentang nasikh dan mansukh mempunyai


fungsi dan manfaat besar bagi para ahli ilmu, terutama fuqaha,
mufasir dan ahli usul, agar pengetahuan tentang hukum tidak
menjadi kacau dan kabur, oleh sebab itu, terdapat banyak asar
(perkataan

sahabat

dan

tabiin)

yang

mendorong

agar

mengetahui masalah ini.[8]


Berdasarkan gambaran singkat tentang nasikh dan
mansukh

di

atas,

maka

dalam

bab

selanjutnya

penulis

bermaksud membahas tentang pengertian nasikh mansukh,


ruang lingkup dan syarat-syarat nasakh, pembagian nasakh,
bentuk-bentuk nasakh, serta beberapa contoh nasikh mansukh.
A. Rumusan Masalah
1. Apa Pengertian Nasakh dan Mansukh?
2. Apa Syarat-syarat Dalam Nasakh?
3.

BAB II
PEMBAHASAN
A. PENGERTIAN NASAKH DAN MANSUKH
Dalam Al Quran, kata nasakh ditemukan sebanyak empat
kali dengan berbagai bentuknya.[9] Yaitu dalam Quran Surah Al
Baqarah ayat 106, Surah A1-Araf ayat 154, Surah A1-Hajj ayat
52, dan Surah Al Jatsiah ayat 29. Nasikh-Mansukh berasal dari
kata nasakh. Dari segi etimologi, kata ini dipakai untuk beberapa
pengertian: menghilangkan, melenyapkan, atau menghapus,
dapat juga berarti memindahkan(memindahkan sesuatu dari
suatu tempat ke tempat lain). Kata nasakh dapat juga berarti
mengganti atau menukar, membatalkan dan mengubah, dapat
juga

berarti

pengalihan.

Sesuatu

yang

membatalkan,

menghapus, memindahkan dan sebagainya dinamakan nasikh.


Sedangkan

bagian

yang

dihapus

dinamakan

mansukh.[10]

Singkatnya dalam Al Quran dan Tafsirnya disebutkan nasikh


ialah ayat yang menasakh dan mansukh ialah ayat yang
dinasakh.[11]
Pengertian nasakh secara terminology menurut Manna
Khalil al Qattan sebagaimana termaktub dalam buku Studi Ilmuilmu Al Quran nasakh ialah mengangkat(menghapus) hukum

syara dengan dalil hukum (khitab) syara yang lain.[12]


Menurut Muhammad Abd Azhim al Zarqaniy sebagaimana
dikutip Dr Usman, M.Ag dalam buku Ulumul Quran, bahwa
nasakh adalah mengangkat/menghapus hukum syara dengan
dalil syara yang lain yang datang kemudian.[13]
Mengenai nasakh, al Syatibi sebagaimana dikutip oleh Dr.
M

Quraish

Shihab

menandaskan

bahwa

para

ulama

mutaqaddimin (ulama abad I hingga III H) memperluas arti


nasakh, mencakup hal-hal, yaitu :
a.

Pembatalan hukum yang ditetapkan terdahulu oleh


hukum yang ditetapkan kemudian

b.

Pengecualian hukum yang bersifat umum oleh hukum


yang bersifat khusus yang datang kemudian

c.

Penjelasan yang datang kemudian terhadap hukum yang


bersifat samar

d.

Penetapan syarat terhadap kukum terdahulu yang belum


bersyarat. [14]
Bahkan menurut Muhammad Azhim al Zarqaniy seperti

dikutip oleh Quraish Shihab diantara para ulama tersebut ada


yang

beranggapan

bahwa

suatu

ketetapan

hukum

yang

ditetapkan oleh satu kondisi tertentu telah menjadi mansukh


apabila ada ketentuan lain yang berbeda akibat adanya kondisi
lain, seperti misalnya perintah untuk bersabar atau menahan diri
pada periode Makkah disaat kaum muslim lemah, dianggap telah
dinasakh oleh perintah atau izin berperang pada periode
Madinah.[15]

Pengertian yang begitu luas tersebut dipersempit oleh para


ulama yang datang kemudian(mutaakhirin). Menurut mereka
nasakh terbatas pada ketentuan hukum yang datang kemudian
guna

membatalkan

berakhirnya

masa

atau

mencabut

pemberlakuan

atau

hukum

yang

menyatakan
terdahulu,

sehingga ketentuan hukum yang berlaku adalah yang ditetapkan


terakhir.[16] Sedang mansukh menurut Syaikh Manna adalah
hukum yang diangkat atau yang dihapuskan[17] Dalam buku Al
Quran dan Tafsirnya Departemen Agama RI disebutkan bahwa
Nasakh

dalam

arti

istilah

adalah

mengangkat

atau

menghapuskan hukum syara dengan dalil syara. Nasikh ialah


dalil syara yang menghapus suatu hukum, dan mansukh ialah
hukum syara yang telah dihapus.[18]
B. RUANG LINGKUP DAN SYARAT-SYARAT NASAKH
Mengenai

lingkup

nasakh,

Manna

Khalil

al

Qattan

menyimpulkan bahwa nasakh hanya terjadi pada perintah dan


larangan, baik yang diungkapkan dengan tegas dan jelas
maupun yang diungkapkan dengan kalimat berita (khabar) yang
bermakna amar(perintah) atau nahyi(larangan), jika hal tersebut
tidak berhubungan dengan persoalan akidah, zat Allah, sifat-sifat
Allah, kitab-kitab-Nya, para rasul-Nya dan hari kemudian, serta
tidak berkaitan pula dengan etika dan akhlak atau dengan pokokpokok ibadah dan muamalah. Hal itu karena semua syariat ilahi
tidak lepas dari pokok-pokok tersebut. Sedang dalam masalah
pokok(usul) semua syariat adalah sama.[19] Firman Allah dalam
QS

Asy

Syuura

ayat

13

yang

terjemahnya

:Dia

telah

mensyariatkan bagi kamu tentang agama apa yang telah


diwasiatkanNya kepada Nuh dan apa yang telah kami wahyukan
kepadamu dan apa yang telah kami wasiatkan kepada Ibrahim,

Musa dan Isa yaitu: Tegakkanlah agama, dan janganlah kamu


berpecah belah tentangnya(QS Asy Syuura ayat 13)[20] Nasakh
tidak

terjadi

dalam

berita,

khabar,

yang

jelas-jelas

tidak

bermakna talab(tuntutan:perintah atau larangan), seperti janji(al


wad) dan ancaman(al waid).
Adapun syarat-syarat nasakh adalah :
1. Hukum yang mansukh adalah hukum syara
2. Dalil penghapusan hukum tersebut adalah khitab syarI
yang datang lebih kemudian dari khitab yang hukumnya
mansukh
3. Khitab yang dihapuskan atau diangkat hukumnya tidak
terikat(dibatasi) dengan waktu tertentu. Sebab jika tidak
demikian maka hukum akan berakhir dengan berakhirnya
waktu tersebut. Yang demikian tidak dinamakan nasakh.
[21]
C. PEMBAGIAN NASAKH
Umumnya para ulama membagi nasakh menjadi empat
bagian, yaitu nasakh sunnah dengan sunnah, nasakh sunnah
dengan Al Quran, nasakh Al Quran dengan Al Quran, dan
nasakh Al Quran dengan sunnah.berikut penjelasannya seperti
terdapat dalam Al Quran dan tafsirnya.
a. Nasakh sunnah dengan sunnah
Suatu hukum syara yang dasarnya sunnah kemudian
dinasakh atau dihapus dengan dalil syara dari sunnah juga.
Contohnya adalah larangan ziarah kubur yang dinasakh menjadi
boleh. Hadisnya seperti yang diriwayatkan At Tirmidzi Dahulu

aku melarang kamu berziarah kubur, sekarang berziarahlah.


(Riwayat At Tirmidzi). Dalam hal nasakh sunnah dengan sunnah
ini MannaKhalil Al Qattan mengkategorikan ke dalam empat
bentuk, yaitu(1). nasakh mutawatir dengan mutawatir.(2) nasakh
ahad dengan ahad.(3) ahad dengan mutawatir.(4) nasakh
mutawatir dengan ahad. Tiga bentuk pertama dibolehkan,
sedang bentuk keempat terjadi silang pendapat. Namun jumhur
ulama tidak membolehkan.[22]
b. Nasakh Sunnah dengan Al Quran
Suatu hukum yang telah ditetapkan dengan dalil sunnah
kemudian dinasakh dengan dalil Al Quran. Seperti shalat yang
semula menghadap Baitul Maqdis kemudian menjadi menghadap
Kabah di Masjidil Haram setelah turun ayat Al Quran surah Al
Baqarah/2 ayat 144:
Terjemahan:
Maka hadapkanlahwajahmu ke arah Masjidil Haram... [23]
Contoh lain tentang kewajiban berpuasa pada hari Asyura
tanggal 10 Muharram menjadi tidak wajib, tetapi sunnah saja
setelah turun ayat kewajiban berpuasa pada bulan Ramadhan,
yaitu turunnya surah Al Baqarah/2 ayat 185:
Bulan Ramadhan adalah(bulan) yang di dalamnya diturunkan Al
Quran, sebagai petujuk bagi manusia dan penjelasan-penjelasan
mengenai petunjuk itu dan pembeda (antara yang benar dan
yang batil). Karena itu barang siapa di antara kamu ada di bulan
itu, maka berpuasalah.(Al Baqarah/2:185)[24]
Namun

nasakh

seperti

itu

pun

ditolak

oleh

Syafii

sebagaimana dikutip Syaikh Manna dari Al Itqan, menurut

SyafiI; apa saja yang ditetapkan sunnah tentu didukung oleh Al


Quran, dan apa saja yang ditetapkan Al Quran tentu didukung
pula oleh sunnah. Hal tersebut menurut beliau antara Kitab
dengan

sunnah

harus

senantiasa

sejalan

dan

tidak

bertentangan.[25]
c. Nasakh Al Quran dengan Al Quran
Hukum yang ditetapkan berdasarkan dalil ayat Al Quran
kemudian dinasakh dengan dalil ayat Al Quran pula. Tentang hal
ini terdapat perbedaan pendapat di kalangan ulama. Mereka
yang berpendapat bahwa nasikh dan mansukh ada terdapat
dalam ayat-ayat Al Quran, berdasarkan surah Al Baqarah ayat
106. Menurut para ulama yang menerima adanya nasikh
mansukh dalam Al Quran ini, bahwa adanya nasikh dan
mansukh dalam Al Quran dapat diterima akal karena Allah Maha
Kuasa, Maha Pengasih dan Penyayang, sehingga hukum yang
ringan pada mulanya memang perlu ditetapkan, dan kemudian
perlu diganti dengan hukum yang tidak ringan lagi setelah orangorang Islam menghadapi keadaan normal dan dipandang sudah
mampu menghadapi hukum yang tidak ringan lagi. Hal tersebut
termasuk

kebijakan

Allah

Yang

Maha

Tinggi

dan

Maha

Mengetahui. Tetapi sebagian ulama lain berpendapat bahwa


tidak ada nasikh mansukh dalam ayat-ayat Al Quran. Menurut
ulama-ulama ini Al Quran memang telah menasakh kitab-kitab
suci terdahulu, tetapi semua ayat al Quran yang ada sekarang
tidak ada lagi yang mansukh. Hal tersebut menurut mereka
sesuai dengan firman Allah SWT dalam surah Fussilat/41 ayat 42.
Yang artinya: Yang tidak akan didatangi oleh kebatilan
baik dari depan maupun dari belakang yang diturunkan dari
Tuhan yang Maha Bijaksana lagi Maha Terpuji.[26]

Karena tidak ada satu ayat pun yang batil baik di bagian
muka maupun di belakang, tidak ada ayat Al Quran yang
dinasakh maupun mansukh. Ayat-ayat Al Quran memang telah
menasakh ayat-ayat dalam kitab-kitab suci terdahulu yaitu
Taurat,

Zabur,

dan

Injil.

Pendapat

demikian

misalnya

dikemukakan oleh Abu Muslim al Isfahani, seorang mufassir yang


menulis

kitab Jamiut Tawil. Beberapa

mufassir

lain

juga

berpendapat demikian bahwa sesama Al Quran tidak ada yang


nasikh dan mansukh.
d. Nasakh Al Quran dengan sunnah
Hukum yang didasarkan pada dalil ayat Al Quran dinasakh
dengan dalil sunnah. [27]
Nasakh jenis ini menurut Syaikh Manna terbagi dua, yaitu:
1. Nasakh Al Quran dengan hadits ahad.
Jumhur berpendapat, Quran tidak boleh dinasakh oleh
hadis ahad, sebab Al Quran adalah mutawatir dan menunjukkan
yakin, sedang hadis ahad zanni, bersifat dugaan, di samping
tidak sah pula menghapus sesuatu yang malum(jelas diketahui)
dengan yang maznun(diduga)
2. Nasakh Al Quran dengan hadis mutawatir.
Nasakh jenis ini dibolehkan oleh Malik, Abu Hanifah dan
Ahmad dalam satu riwayat, sebab masing-masing keduanya
adalah wahyu.Dasarnya adalah firman Allah dalam surah an
Najm ayat 3-4. ArtinyaDan tiadalah yang diucapkannya itu
menurut kemauan hawa nafsunya. Ucapannya itu tiada lain
hanyalah wahyu yang diwahyukan(kepadanya). Serta Surah An
Nahl ayat 44. Artinya Dan kami turunkan kepadamu Quran agar

kamu menerangkan kepada umat manusia apa yang telah


diturunkan kepada mereka. Dan nasakh itu sendiri merupakan
salah satu penjelasan.
Sementara itu Asy SyafiI, Zhahiriyah dan Ahmad dalam
riwayatnya yang lain menolak nasakh seperti ini, berdasarkan
firman Allah dalam surah Al Baqarah ayat 106:
Terjemahan
Apa saja ayat yang kami nasakhan, atau kami jadikan (manusia)
lupa kepadanya, kami datangkan yang lebih baik atau yang
sebanding denganya..[28]
Sedang hadits menurut ulama-ulama tersebut tidak lebih
dari atau sebanding dengan Al Quran.[29] Jadi jumhur ulama
sepakat tidak ada nasakh Al Quran dengan sunnah, karena Al
Quran lebih tinggi dari sunnah, jadi tidak mungkin dalil yang
lebih tinggi dihapus oleh dalil yang lebih rendah. Pada Surah Al
Baqarah ayat 106 telah disebutkan bahwa dalil yang menasakh
yaitu lebih baik dalam arti kuat dari pada dalil yang dinasakh,
atau setidaknya sama.
D. BENTUK-BENTUK NASAKH
Para

ulama

yang

mengakui

tentang

adanya

nasakh

hukum

sedang

mengemukakan ada tiga bentuk nasakh, yaitu:


Nasakh

hukum

dan

tilawah,

nasakh

tilawahnya tetap, nasakh tilawah sedang hukumnya tetap.[30]


1. Nasakh Hukum dan Tilawah
Dalam hal ini baik hukum maupun tilawahnya dihapus
sehingga ayatnya maupun hukumnya sudah tidak ada lagi, dan

diganti dengan hukum baru pada ayat AlQuran. Bentuk ini


menurut sebagian besar ulama tidak terdapat dalam Al Quran,
karena ayat-ayat Al Quran sejak diturunkan kepada Nabi
Muhammad Saw, hingga wafat beliau, bahkan hingga sekarang,
tidak ada yang berubah atau berkurang. Nasakh hukum dan
tilawah hanya ada pada kitab-kitab suci terdahulu, yaitu antar
kitab-kitab Zabur, Taurat, dan Injil yang telah dinasakh Al Quran.
Meskipun begitu, ada sebagian ulama yang berpendapat bahwa
nasakh hukum dan tilawahnya ini ada juga dalam Al Quran
seperti yang diriwayatkan oleh Muslim dan beberapa perawi
hadits lain, dari Aisyah, ia berkata:
Diantara yang diturunkan kepada beliau adalah sepuluh
susuan yang diketahui itu menjadikan muhrim(haram dinikahi),
kemudian dinasakh oleh lima susuan yang diketahui. Maka ketika
Rasulullah wafat lima susuan ini termasuk ayat Al Quran yang
baca. Kata-kata Aisyah lima susuan ini termasuk ayat Quran
yang dibaca, pada lahirnya menunjukkan bahwa tilawahnya
masih tetap, tetapi tidak demikian halnya, karena ia tidak
terdapat dalam mushaf Usmani. Kesimpulan demikian dijawab,
bahwa yang dimaksud dengan perkataan Aisyah tersebut ialah
ketika beliau menjelang wafat. Yang jelas bahwa tilawahnya itu
telah dinasakh(dihapuskan) tetapi penghapusan ini tidak sampai
kepada semua orang kecuali sesudah Rasulullah wafat. Oleh
karena itu ketika beliau wafat, sebagian orang masih tetap
membacanya.
2. Nasakh hukum sedang tilawahnya tetap
Misalnya hukum iddah bagi isteri yang ditinggal mati
suaminya dalam surah Al Baqarah ayat 240 ditetapkan iddahnya
selama satu tahun, kemudian

dinasakh menjadi hanya empat

bulan sepuluh hari seperti ditetapkan dalam Surah Al Baqarah


ayat 234(ayat 240 turun lebih dahulu daripada ayat 234). Lalu
timbul pertanyaan. Apakah hikmah penghapusan hukum sedang
tilawahnya tetap? Jawabannya ada dua, yaitu (1) Al Quran di
samping

dibaca

untuk

diketahui

makna

dan

diamalkan

hukumnya, juga Al Quran sebagai Kalamullah yang membacanya


mendapat

pahala.(2)

meringankan, sehingga
dibaca

untuk

Pada

umumnya

nasakh

itu

untuk

dengan tetapnya tilawah dan terus

mengingatkan

akan

nikmat

dihapuskannya

kesulitan(masyaqqah) dari hukum yang dihapus.


3. Nasakh Tilawah Sedang Hukumnya Tetap
Menurut sebagian besar ulama bentuk ini juga tidak
terdapat dalam Al Quran, tetapi terdapat antar kitab-kitab suci
terdahulu. Dalam fiqih ada istilah yang disebutSyarun man
qablanayaitu syariat orang-orang sebelum kita. Hukum syariat
itu masih kita lakukan hingga sekarang, seperti kewajiban khitan
bagi anak laki-laki sebelum usia balig. Tetapi ayat yang
mewajibkan khitan pada kitab-kitab suci terdahulu sudah tidak
perlu kita baca lagi.
Tetapi ada juga sebagian ulama yang berpendapat bahwa
nasakh tilawah tetapi hukumnya tidak dinasakh ada juga dalam
Al Quran, yaitu tentang hukum rajam, ayat yang telah dinasakh
dan kini tidak terdapat dalam Al Quran, yaitu;
Orang tua laki-laki dan perempuan apabila keduanya berzina
maka hendaknya dirajam kedua orang tersebut dengan pasti
sebagai siksaan dari Allah, dan Allah Maha Perkasa lagi Maha
Bijaksana.[31]
E. BEBERAPA CONTOH NASIKH DAN MANSUKH

Al Suyuti menyebutkan beberapa contoh ayat nasikh dan


mansukh sebagaimana disebutkan dalam Mabahis fi Ulumul
Quran(Studi ilmu-ilmu Quran. Juga terdapat dalam Al Quran
dan Tafsirnya, Yaitu:
Firman Allah dalam Q.S. al-Baqarah/ 2 :115.
Terjemahan
Dan kepunyaan Allah-lah timur dan barat, Maka ke mana pun
kamu menghadap di situlah wajah Allah.[37]
Firman Allah dalam Q.S. al-Baqarah/ 2 :144.
Terjemahan:
Maka hadapkan wajahmu ke arah Masjidil Haram [38]
Menurut Syaikh Manna ayat pertama tidak dinasakh sebab ia
berkenaan dengan salat sunnah saat dalam perjalanan yang
dilakukan di atas kendaraan, juga dalam keadaan takut dan
darurat. Dengan demikian, hukum ayat ini tetap berlaku,
sebagaimana dijelaskan dalam as-Sahihain. Sedang ayat kedua
berkenaan dengan salat fardu lima waktu. Dan yang benar, ayat
kedua ini menasakh perintah menghadap ke Baitul Makdis yang
ditetapkan dalam sunnah.[39]
Firman Allah dalam Q.S. al-Baqarah/ 2 :18
Terjemahnya :
Diwajibkan atas kamu, apabila maut hendak apabila menjemput
seseorang

diantara

kamu,

jika

dia

meninggalkan

berwasiat untuk kedua orang tua dari karib kerabat.[40]

harta,

Dikatakan, ayat ini mansukh oleh ayat tentang kewarisan An


Nisa/4: ayat 11-12 dan oleh hadits yang diriwayatkan oleh Abu
Daud dan Tirmidzi sesungguhnya Allah telah memberikan
kepada setiap orang yang mempunyai hak akan haknya, maka
tidak ada wasiat bagi ahli waris.[41]
Firman Allah dalam Q.S. al-Baqarah/ 2 :184.
Terjemahan
Dan wajib bagi mereka yang kuat menjalankan puasa (jika
mereka tidak puasa) membayar fidyah.[42]
Ayat ini dinasakh oleh:
Firman Allah dalam Q.S. al-Baqarah/ 2 :185
Terjemahan
Maka

barang siapa yang menyaksikan bulan Ramadhan,

hendaklah ia berpuasa..[43]
Hal ini berdasarkan keterangan dalam as-Sahihain, berasal dari
Salamah bin Akwa, ketika turun Surah Al-Baqarah ayat 184,
maka orang yang ingin tidak berpuasa, ia membayar fidyah,
sehingga turunlah ayat sesudahnya yang menasakhkannya.
Ibn Abbas berpendapat, ayat pertama adalah muhkam, tidak
mansukh. Bukhari meriwayatkan dari Ata, bahwa ia mendengar
Ibn

Abbas

membaca:

Dan

bagi

mereka

yang

kuat

menjalankannya (jika mereka tidak berpuasa) membayar fidyah,


memberi makan seorang miskin. Ibn Abbas mengatakan, ayat
ini tidak dimansukh, tetapi tetap berlaku bagi mereka yang telah
lanjut usia yang tidak lagi sanggup berpuasa.Mereka boleh tidak
berpuasa dengan memberikan makanan kepada seorang miskin

pada

setiap

harinya.

Dengan

yatikuwnahu

bukanlah

menjalankanya).

Tetapi

demikian,

maka

yastatiyuwnahu

maknanya

ialah

mereka

makna
(sanggup
sanggup

menjalankannya dengan sangat susah payah dan memaksakan


diri.[44]
Firman Allah dalam QS. Al-Baqarah : 240
























240 :











Artinya

Dan

orang-orang

yang

akan

meninggal

dunia

diantaramu dan meninggalkan isteri, hendaklah berwasiat untuk


isteri-isterinya, (yaitu) diberi nafkah hingga setahun lamanya
dengan tidak disuruh pindah (dari rumahnya). Akan tetapi jika
mereka pindah (sendiri), maka tidak ada dosa bagimu (wali atau
waris dari yang meninggal) membiarkan mereka berbuat maruf
terhadap diri mereka. Dan Allah Maha Perkasa lagi Maha
Bijaksana. (QS.Al-Baqarah 2:240)[45]
Dinaskh dengan ayat Al-Baqarah : 234.












234 : *

Artinya: Orang-orang yang meninggal dunia di antaramu
dengan meninggalkan isteri-isteri (hendaklah para isteri itu)
menangguhkan dirinya (beriddah) empat bulan sepuluh hari.

Kemudian apabila telah habis masa iddahnya, maka tiada dosa


bagimu(para wali) membiarkan mereka berbuat terhadap diri
mereka menurut yang patut. Allah mengetahui apa yang kamu
perbuat. ( QS. Al-Baqarah /2:234)[46]

BAB III
PENUTUP

Nasakh ialah mengangkat atau menghapuskan hukum

syara dengan dalil syara. Nasikh ialah dalil syara yang


menghapus atau mengangkat suatu hukum, dan mansukh ialah
hukum syara yang telah dihapus atau diganti.

Nasakh hanya terjadi pada perintah dan larangan, baik

yang diungkapkan dengan tegas dan jelas maupun yang


diungkapkan dengan kalimat berita (khabar) yang bermakna
amar(perintah) atau nahyi(larangan), tidak ada nasakh ayat
tentang persoalan akidah, zat Allah, sifat-sifat Allah, kitab-kitabNya, para rasul-Nya dan hari kemudian, etika dan akhlak atau
dengan pokok-pokok ibadah dan muamalah.

Anda mungkin juga menyukai