Anda di halaman 1dari 26

TARJAMAHAN DAN TAFSIR AL-QUR’AN

Syahrin Rifal Saputra & Muh. Rais Alfarizi


Program Studi Ilmu Hadits
Universitas Ahmad Dahlan Yogyakarta
Email: syahrinrifalsaputra@gmail.com
muhraisalfarizi999@gmail.com

ABSTRAK

Sejarah Alqur’an telah memperlihatkan begitu banyak karya terjemahan ke dalam


sejumlah bahasa, termasuk Bahasa Indonesia. Meskipun keberadaan dan peran terjemahan di
masyarakat tidak bisa dinafikan, tapi diskusi teoretis terhadapnya di bawah payung ‘Ulum
Alqur’an masih terbilang ambigu. Paper ini berupaya untuk menggambarkan perdebatan
teoretis terhadap tema tarjamat Alqur’an dan mengujinya dengan terjemahan Alqur’an yang
telah ada di Indonesia. Argumen yang dijadikan landasan adalah bahwa teori tarjamah
Alqur’an dalam ‘Ulum Alqur’an memiliki beberapa persoalan: Pertama, tidak operatifnya
kategorisasi harfiyyah dan tafsiriyyah; kedua, terminologi tarjamah menjadi meaningless;
dan ketiga, adanya hubungan yang rumit antara konsep terjemahan dan tafsir. Problem ini
berakar dari keketatan dalam makna tarjamah dan beban teologis untuk menekankan i’jaz
Alquran. Untuk itu diperlukan perluasan makna tarjamah sebagai solusi alternatifnya.

A. LATAR BELAKANG

Alqur’an diwahyukan menggunakan bahasa Arab kepada Rasullullah Muhammad SAW


yang berasal dari bangsa Arab. Namun begitu, Muslim yang berbahasa Arab hanyalah
mereka yang hidup di wilayah Timur Tengah, sementara mayoritas lainnya tersebar di
seluruh penjuru dunia. Sebuah video yang disebar oleh akun Facebook AlJazeera English
pada tanggal 24 September 2016 menyebut bahwa secara statistik, 62% Umat Islam itu hidup
di Asia-Pasifik.1 Artinya, peta demografi Muslim di dunia saat ini memperlihatkan bahwa
non-Arabic speaking Muslim lebih banyak daripada Arabic-speaking Muslim. Realitas ini
menunjukkan bahwa begitu banyak praktik dan karya-karya terjemahan Alqur’an dari masa
ke masa.

1
https://www.facebook.com/AJUpFront/videos/1573689882939676/?hc_ ref=PAGES_TIMELINE.
Al-Zarqani mengungkap data bahwa penerjemahan Alqur’an telah mencapai angka 120
terjemahan dalam 35 bahasa, baik di Barat maupun Timur. Bahkan beberapa versi terjemahan
telah dicetak ulang beberapa kali, seperti terjemahan George Sale ke dalam bahasa Inggris
sebanyak 34 kali. Bahasa yang banyak menjadi tujuan penerjemahan adalah bahasa Inggris,
Perancis, Spanyol, Italia, Turki, Persia, Cina, Latin, Afghanistan, Indonesia, dan bahasa
negara-negara Eropa lainnya.2 Data dari al-Zarqani tentu saja telah usang, yang artinya angka
aktual saat ini jauh lebih besar.

Persoalan penerjemahan Alqur’an ke sejumlah bahasa di dunia telah menarik perhatian


para ahli ‘Ulum Alqur’an. Artikel ini merupakan diskusi kritis terhadap perdebatan teoretis
mereka seputar tarjamah Alqur’an, dan mengujinya melalui karya terjemahan yang ada.
Dengan demikian, pertanyaan dasar yang ada dalam paper ini menyangkut dua hal:
bagaimanakah teori terjemahan dari ketiga tokoh? dan bagaimanakah realibilitasnya sebagai
perangkat analisis sebuah karya terjemahan Alqur’an?.

Untuk menjawab persoalan tersebut, penulis memulainya dengan pendeskripsian


tentang teori tarjamah dari tiga pakar ‘Ulum Alqur’an terkemuka; Manahil al-‘Irfan fi ‘Ulum
Alqur’an karya Muḥammad ‘Abd al-‘Azim al-Zarqani, Mabahis fi ‘Ulum Alqur’an karya
Manna’ Khalil al-Qattan, dan al-Tafsir wa al-Mufassirun karya Muhammad Husain al-
Zahabi. Pada bagian selanjutnya, penulis akan mengaplikasikan pandangan teoretis mereka
kepada sampel terjemahan Alqur’an di Indonesia. Penulis juga mengangkat tiga karya
terjemahan, yaitu Alqur’an dan Terjemahnya terbitan Kementerian Agama Republik
Indonesia, Alqur’an dan Tafsirnya karya Mahmud Yunus, dan Alqur’an dan Maknanya karya
Quraish Shihab. Setelah itu penulis mendiskusikan problem-problem yang terdapat dalam
diskusi teoretis mereka.

2
Muhammad Abd al-Azim al-Zarqani (selanjutnya: al-Zarqani), Manahil al-‘Irfan fi ‘Ulum Alqur’an (Beirut: Dar
el-Fikr, 1996), 89.
B. TUJUAN
 Mengetahui dan memahami pengertian terjemahan dan tafsir Alquran
 Mengetahui metode metode penafsiran Alquran
 Mengetahui kelebihan dan kelemahan dari setiap metode

C. MANFAAT
Berdasarkan materi yang dibahas adapun manfaatnya yaitu :
 Menjadikan para generasi penerus bangsa semakin memahami terhadap al-
Quran dan terjemahan al-Quran serta aspek-aspek yang terkait di dalamnya.
 Pengetahuan ini dapat menjadi pondasi untuk mempertahankan agama islam
melalui bidang pendidikan.

D. KAJIAN PUSTAKA

Padanan kata translation yang umum dalam bahasa Arab adalah tarjamah; istilah yang
lebih dekat kepada padanan dalam bahasa Indonesia, yaitu terjemah. Meskipun demikian,
kata tarjamah dalam bahasa Arab memiliki makna yang lebih luas. Sebagai kata kerja,
tarjama bermakna pengalih-bahasaan (naqlu al-kalam min lughatin ila ukhra) sebagaimana
translation. Akan tetapi itu bukanlah satu-satunya makna tarjamah. Ia juga bermakna
menafsirkan, menginterpretasikan, atau menjelaskan; bersinonim dengan fassara dan
syaraha. Di samping itu, tarjamah juga bermakna menulis biografi, sehingga sejumlah buku-
buku biografi berjudul tarjamah. Salah satu derivasinya, turjuman atau tarjuman diartikan
sebagai penerjemah, pemandu (guide), dan juru bicara. Sementara sebagai kata benda,
tarjamah diartikan sebagai terjemahan, penjelasan, prakata (pada buku), biografi, dan
sebagainya.3

Imam al-Zarqani dalam Manahil al-‘Irfan fi ‘Ulum Alqur’an menjelaskan empat makna
tarjamah. Pertama, menyampaikan suatu ungkapan (berita) kepada orang yang belum
mendengarnya. Kedua, menjelaskan suatu ungkapan dengan bahasanya. Ketiga, menjelaskan
suatu ungkapan dengan bahasa lain, bukan bahasa asal yang digunakan ungkapan itu, dan
keempat memindahkan suatu ungkapan dari suatu bahasa kepada bahasa lainnya.4

Atabik Ali dan Ahmad Zuhdi Muhdlor, Kamus al-‘Asriy (Yogyakarta: Yayasan Ali
3

Maksum, tt), 456; Ibn al-Manzur, Lisan al-‘Arab juz 12 (Beirut: Dar Sadir, tth),
66.

Al-Zarqani, Manahil al-‘Irfan, 78-79.


4
Terkait dengan Alqur’an, tarjamah dalam makna pertama dan kedua telah ada semenjak
masa pewahyuan Alqur’an itu sendiri. Jika Rasulullah Muhammad SAW. menyampaikan
wahyu kepada para sahabat, beliau menyarankan kepada para sahabat yang hadir dan
mendengar langsung untuk mewartakan apa yang mereka terima kepada sahabat lainnya yang
tidak berkesempatan hadir saat itu. Sementara dalam makna kedua, Rasulullah sendiri adalah
mutarjim Alqur’an, sebagaimana juga gelar tarjuman Alqur’an untuk Ibn ‘Abbas berada
dalam makna ini. Berbeda dari kedua makna pertama, urgensi makna ketiga dan keempat
muncul belakangan ketika agama Islam berkembang ke luar daerah Arab.

Kedua makna terakhir ini memiliki latar belakang dan tujuan yang sama, yaitu upaya
menjembatani perbedaan bahasa. Perbedaannya, makna ketiga hanya berkepentingan untuk
menjelaskan konten atau pesan dengan bahasa yang berbeda, sementara makna keempat
berkepentingan untuk mengalihbahasakan pesan itu sendiri. Selain keempat makna itu, kata
tarjamah juga menunjukkan kepada makna-makna lain, seperti ‘judul’, sebagaimana pada
ungkapan tarjim li haza albabi bikaza; ‘biografi’ seperti pada tarjamat fulanin, ‘maksud atau
pengertian’ seperti pada tarjamat hadza albabi kaza, dan sebagainya.5

Sebagaimana disampaikan di bagian pendahuluan, artikel ini mengkaji tiga teori


terjemahan dari tiga pakar ‘Ulum Alqur’an, yaitu Manna’ Khalil al-Qattan, Muhammad
Husain al-Zahabi, dan Muhammad ‘Abd al-‘Azim al-Zarqani. Pada dasarnya, kajian
ketiganya berangkat dari asumsi dasar tentang dua kategorisasi tarjamah, antara tarjamah
harfiyyah dan tarjamah tafsiriyyah. Tarjamah harfiyyah adalah memindahkan suatu lafaz
dari suatu bahasa kepada bahasa lainnya dengan menjaga kesesuaian struktur dan tata bahasa,
dan memelihara seluruh makna bahasa asal secara sempurna. 6 Jenis ini juga disebut dengan
beberapa nama lainnya, yaitu tarjamah lafziyyah atau tarjamah musawiyah.7 Adapun
tarjamah tafsiriyyah adalah menjelaskan makna kalimat dengan bahasa lain tanpa terikat
kepada kaidah-kaidah atau struktur bahasa asal.8 Tarjamah jenis ini tidak mengabaikan
penjagaan kaidah dan struktur bahasa asal, selama penerjemah sanggup mengungkap makna
dari teks yang diterjemahkan.

5
Al-Zarqani, Manahil al-‘Irfan, 79.
6
Muhammad Husain al-Zahabi (selanjutnya: al-Zahabi), al-Tafsir wa al-Mufassirun
juz 1 (tt: Maktabah Mus’ab ibn Umair al-Islamiyyah, 2004), 19.
7
Al-Zarqani, Manahil al-‘Irfan, 80.
8
Manna’ Khalil al-Qattan (selanjutnya Al-Qattan), Mabahis fi Ulum Alqur’an (Kairo: Maktabah Wahbah, tth),
313.
Penjelasan ketiga pakar mengenai dua klasifikasi di atas sebenarnya lebih rumit.
Meskipun memulai langkahnya dari dua klasifikasi dasar tersebut, Manna’ Khalil al-Qattan
sebenarnya mempunyai tiga klasifikasi; tarjamah harfiyyah pada kelompok pertama, dan
pembedaan antara ma’nawiyyah dan tafsiriyyah pada kelompok kedua dan ketiga. Tarjamah
harfiyyah adalah memindahkan suatu lafaz dari suatu bahasa kepada tujuan dengan menjaga
kesesuaian struktur dan grammar bahasa asal. Menurutnya, terjemahan harfiyyah tidak
mungkin dilakukan karena setiap bahasa memiliki ciri khas dan karakter tersendiri yang
membedakannya dari bahasa lain, sebagaimana bahasa lain (‘ajm) juga memiliki struktur
yang tidak dimiliki bahasa Arab. Adapun hukumnya, bagi al-Qattan adalah haram, dalam
artian bahwa sebuah terjemahan dari kata tertentu dalam Alqur’an tidak boleh dianggap
sebagai Alqu’ran. Alqur’an hanyalah wahyu sebagaimana yang disampaikan kepada Nabi
Muhammad, berbahasa Arab, dan mengandung i’jaz. Maka, menurut al-Qattan, tarjamah al-
harfiyyah terhadap Alqur’an, meskipun dilakukan oleh seseorang yang menguasai bahasa,
asalib, dan tarakib-nya, maka ia telah mengeluarkan Alqur’an dari eksistensinya sebagai
Alqur’an.9

Untuk membedakan antara tarjamah ma’nawiyyah dan tafsiriyyah, ia berangkat dari


konsep dualitas makna Alqur’an, antara asliyyah dan sanawiyyah. Makna asliyah adalah
makna literal Alqur’an. Makna ini bisa diketahui secara global oleh orang-orang yang
mengetahui tunjukan makna (madlulat al-alfaz al-mufradah/signified) suatu kata dan
strukturnya (tarakib). Sementara makna sanawiyyah adalah makna yang berada di tingkat
lanjutan. Makna ini berada di sisi khawas al-nazam Alqur’an, yang menjadikannya superior
dan mengandung mukjizat. Untuk mengakses makna ini dibutuhkan kepakaran tentang
bahasa Arab, asbab al-nuzul, qawa’id al-tafsir, di samping sejumlah perangkat keilmuan
lainnya. Menurut al-Qattan, menerjemahkan makna sanawiyyah bukanlah perkara sederhana,
selain karena problem kekhususan masing-masing bahasa, antara bahasa Arab dan bahasa
‘ajm, juga karena kedalaman makna bahasa Alqur’an. Oleh sebab itu, yang mungkin
dilakukan adalah penerjemahan makna asliyyah. Namun begitu, penerjemahan makna
asliyyah memiliki kelemahan, terutama terkait kata-kata tertentu dalam Alqur’an yang
memiliki banyak kemungkinan makna. Jika seorang penerjemah hanya menerjemahkan dari
satu sisi, maka ia telah mereduksi makna Alqur’an. Karena tarjamah harfiyyah tidak
mungkin dan terlarang, penerjemahan makna asliyyah riskan, dan penerjemahan makna
sanawiyyah rumit, maka jalan terakhir adalah dengan menerjemahkan tafsir Alqur’an. Inilah

9
Al-Qattan, Mabahis fi Ulum Alqur’an, 307-308.
yang ia sebut dengan tarjamah tafsiriyyah; inilah yang kemudian membedakan antara
tarjamah ma’nawiyyah dan tarjamah tafsiriyyah.10

Sementara Muhammad Husain al-Zahabi membahas tema tarjamat alqur’an dalam bab
al-tafsir alqur’an bighair lughatih (tafsir Alqur’an dengan selain bahasa Arab) dalam
bukunya al-Tafsir wa al-Mufassirun. Ia juga memulai kajiannya dengan dua tipologi dasar
antara harfiyyah dan tafsiriyyah.

Jika al-Qattan berkonsentrasi dan memisahkan antara tarjamah tafsiriyyah dan


ma’nawiyyah, klasifikasi al-Zahabi berada pada sisi tarjamah harfiyyah, yaitu harfiyyah bi
al-misl dan harfiyyah bighair al-misl. Yang pertama adalah menerjemahkan Alqur’an ke
bahasa lain dengan kerangka yang persis sama, bagian per bagiannya, setiap kata pada bahasa
asal digantikan oleh bahasa tujuan secara gaya bahasa (uslub), dan mengandung seluruh
makna pada setiap struktur bahasa asal. Sementara yang kedua sedikit lebih longgar daripada
bi al-misl, yaitu penerjemahan dengan gaya yang sama, namun dibatasi kesesuaian bahasa
tujuan.11 Jika al-Qattan membedakan antara tarjamah tafsiriyyah dan ma’nawiyyah, al-Zahabi
menganggap keduanya sama. Baginya, tarjamah tafsiriyyah atau ma’nawiyyah adalah
penjelasan tentang sebuah ungkapan dan maknanya dalam bahasa yang berbeda, tanpa beban
untuk menjelaskan keseluruhan cakupan maknanya.12

Dari judul bab yang ia gunakan, tampak bahwa hubungan antara tarjamah dan tafsir
merupakan poin yang sangat penting bagi al-Zahabi. Menurutnya, baik tarjamah harfiyyah bi
al-misl maupun bighair al-misl tidak termasuk kepada tafsir bighair lughatih. Al-Zahabi
berargumen bahwa tarjamah adalah pengalihbahasaan, sementara tafsir adalah penjelasan
terhadap makna Alqur’an. Istilah yang ia gunakan adalah bahwa tarjamah merupakan
“haikal Alqur’an bizatihi illa anna al-surata ikhtalafat bi ikhtilafi al-lughatain” (Wujud
Alqur’an itu sendiri dalam bentuk yang berbeda dari segi bahasa). Artinya, tarjamah dengan
demikian merupakan wujud kedua dari Alqur’an. Itulah mengapa ia menolak kemungkinan
dan menekankan keharamannya. Berbeda dengan tarjamah harfiyyah, tarjamah tafsiriyyah/
ma’nawiyyah bagi al-Zahabi digolongkan kepada tafsir.

juga berangkat dari klasifikasi tarjamah harfiyyah dan tafsiriyyah. Menurutnya, pada
dasarnya tarjamah tafsiriyyah dan harfiyyah hanya memiliki perbedaan pada kelonggaran
masing-masing; keduanya sama-sama alih bahasa, dari bahasa asal ke bahasa tujuan. Jika
10
Al-Qattan, Mabahis fi Ulum Alqur’an, 316.
11
Al-Zahabi, al-Tafsir wa al-Mufassirun, 19.
12
Al-Zahabi, al-Tafsir wa al-Mufassirun, 21.
tarjamah harfiyyah sangat terikat dengan struktur dan tata bahasa asal, maka tafsiriyyah lebih
longgar.

Sebagaimana al-Zahabi, al-Zarqani juga memberikan perhatian yang cukup besar


terhadap perbandingan antara tarjamah dan tafsir. Al-Zarqani secara tegas memisahkan
antara tarjamah dan tafsir. Hal ini terlihat pada penjelasan mantiqi-nya terhadap frase ma’a
al-wafa’ bijami’ ma’anihi wa maqasidihi, bahwa tarjamah mensyaratkan kesepadananan
antara bahasa asal dan bahasa tujuan, sementara tafsir tidak mensyaratkan itu. Sebuah tafsir
tidak dituntut untuk mengelaborasi seluruh makna teks secara sepenuhnya; tafsir hanya
bertugas menjelaskan, baik secara global maupun terperinci. 13 Hal yang sama juga terlihat
pada dua dari empat syarat sebuah terjemah yang ia ajukan. Yang pertama adalah
kesepadanan. Kedua, al-Zarqani berpandangan bahwa sebuah terjemahan bersifat independen
dari teks asalnya, dalam arti bahwa sebuah terjemahan secara utuh bisa menggantikan
keberadaan dari teks asal.14

Lebih lanjut, ia menjelaskan tiga perbedaan lainnya antara tarjamah dan tafsir.
Pertama, sighat terjemahan bersifat independen, tidak terkait dengan bahasa asal.
Maksudnya, suatu terjemahan hanya produk alih bahasa dari bahasa asal, dan setelah
sempurna menjadi suatu produk terjemahan, ia bisa dipisahkan dari bahasa asal. Akan tetapi,
tafsir tidak demikian, tafsir bersifat dependen di bawah teks asal. Tafsir akan selalu terkait
dengannya, dan tidak akan berdiri sendiri tanpanya. Kedua, suatu produk terjemah, sejatinya
tidak boleh mengandung penyimpangan makna dari bahasa asal. Seorang penerjemah
merangkul amanah untuk mengungkapkan suatu teks dengan bahasa tertentu dengan
menggunakan bahasa lain apa adanya, tanpa penyimpangan. Sementara tafsir suatu saat
mungkin saja mengandung unsur penyimpangan dari makna literal teks. Ketiga, sebuah
produk terjemahan semestinya menciptakan kepuasan hati bagi pembaca, karena ia telah
mengalihbahasakan sebuah teks dengan sempurna. Sementara sejumlah tafsir bersifat global
dan masih menyisakan rasa ingin tahu bagi pembaca.15

13
Al-Zarqani, Manahil al-‘Irfan, 91.
14
Dua syarat lainnya yang ia kemukakan adalah terkait pengetahuan penerjemah terhadap bahasa asal dan
bahasa tujuan dan pengetahuan penerjemah tentang kekhususan-kekhususan tertentu pada masing-masing
bahasa. Al-Zarqani, Manahil al-‘Irfan, 93.
15
mengungkapkan suatu teks dengan bahasa tertentu dengan menggunakan bahasa lain apa adanya, tanpa
penyimpangan. Sementara tafsir suatu saat mungkin saja mengandung unsur penyimpangan dari makna literal
teks. Ketiga, sebuah produk terjemahan semestinya menciptakan kepuasan hati bagi pembaca, karena ia telah
mengalihbahasakan sebuah teks dengan sempurna. Sementara sejumlah tafsir bersifat global dan masih
menyisakan rasa ingin tahu bagi pembaca.15
E. PEMBAHASAN

1. Pengertian Tafsir

Tafsir menurut bahasa mengandung arti kata lain :


 Menjelaskan, menerangkan yakni (ِٓ‫إلا‬٠ْ‫َ حبُ َع‬L‫ا‬َٚٚ ‫ْج ٌز‬Lََْ ١‫ِْـ‬١‫ ;)ُـ‬ada sesuatu yang semula
belum atau tidak jelas memerlukan penjelasan lebih lanjut, sehingga jelas dan
terang.

 Keterangan sesuatu, (َ ‫ا‬LL‫) ُح ْش ٌش‬, yakni ; perluasan dan pengembangan dari


ungkapan-ungkapan yang masih sangat umum dan global, sehingga menjadi
lebih terperinci dan difahami serta dihayati.

 (ُ‫ ٌزا‬Lَ‫ ِغ َْْف‬١َL ‫)حش‬, yakni ; (alat-alat kedokteran yang khusus dipergunakan untuk
dapat mendeteksi atau mengetahui segala penyakit yang diderita oleh seorang
pasien). Kalau tafsiroh adalah alat kedokteran yang mengungkap penyakit dari
seorang pasien, maka tafsir dapat mengeluarkan makna yang tersimpan dalam
kandungan ayat-ayat al-Qur‟an.

Dalam Al-Qur‟anul karim, kata tafsir diungkapkan hanya satu kali saja dalam surat
al-Furqon ayat 33 :
“Tidaklah orang-orang kafir itu datang padamu (membawa) sesuatu yang ganjil,
melainkan Kami datangkan kepadamu suatu yang benar dan paling baik
penjelasannya (ahsana tafsira)”.
Sedangkan tafsir menurut istilah, para Ulama‟ memberikan rumusan yang berbeda-
beda, karena perbedaan dalam titik pusat perhatiannya, namun dalam segi arah dan
tujuannya sama. Adapun definisi tafsir adalah sebagai berikut :

a. Menurut Syaikh Thohir Al-Jazairy, dalam At-Taujih :

“Tafsir pada hakikatnya ialah menerangkan (maksud) lafadz yang sukar dipahami
oleh pendengar dengan uraian yang lebih memperjelas pada maksud baginya, baik
dengan mengemukakan sinonimnya atau kata yang mendekati sinonim itu, atau
dengan mengemukakan (uraian) yang mempunyai petunjuk kepadanya melalui suatu
jalan dalalah”. Titik perhatian dalam rumusan tersebut ialah lafadz yang sulit
difahami, yang terdapat dalam rangkaian ayat al-Qur‟an.

b. Menurut Az-Zarkasy sebagai berikut :

Tafsir ialah ilmu (pembahasan) yang mengkaji tentang pemahaman kitabullah


yang diturunkan kepada Nabi Muhammad Saw., menerangkan makna-maknanya,
mengeluarkan hukum-hukum yang dikandungnya serta ilmu-ilmu (hikmah) yang ada
di dalamnya. 6 Titik perhatian rumusan Az-Zarkasy tersebut ialah kitabullah (al-
Qur‟an) yang diturunkan kepada Nabi yang di dalamnya terdiri dari sejumlah ayat,
yang mengandung hukum-hukum dan ilmu Allah untuk manusia.

c. Menurut Abdul Azhim Az-Zarqani:

Tafsir dalam pengertian istilah ialah ilmu yang di dalamnya dibahas tentang al-
Qur‟anul Karim, dari segi dalalahnya (yang berkenaan dengan pemahaman makna)
menurut yang dikehendaki Allah Swt., sesuai dengan kadar kemampuan manusia
biasa. Dari beberapa pengertian di atas, dapat dilihat bahwa rumusan-rumusan itu satu
dengan yang lainnya berbeda dalam titik perhatiannya yakni “menjelaskan”. Ada
yang titik perhatiannya pada lafadz, ada yang pada ayat dan ada pula yang langsung
pada al-Qur‟an.

Perbedaan tersebut bukan dalam arti satu sama lain tidak dapat dipertemukan, bahkan
satu dengan yang lainnya saling melengkapi. Bahwa dalam menafsirkan al-Qur‟an,
haruslah melalui penafsiran ayat-ayatnya, dan dalam menafsirkan ayat-ayat al-
Qur‟an, terlebih dahulu difahami makna lafadz-lafadznya. Dengan demikian bila
seseorang ingin mengetahui atau memahami kandungan isi al-Qur‟an, maka ia harus
memahami kandungan ayat per ayatnya. Untuk memahami kandungan suatu ayat al-
Qur‟an ia harus tahu makna lafadz-lafadz atau kalimat-kalimat yang ada dalam
rangkaian ayat tersebut.

Berdasarkan rumusan-rumusan di atas dapat ditegaskan, bahwa tafsir ialah :


Usaha yang bertujuan menjelaskan al-Qur‟an atau ayat-ayatnya atau lafadz-lafadznya,
agar yang tidak jelas menjadi jelas, yang samar menjadi terang, yang sulit difahami
menjadi mudah difahami, sehingga al-Qur‟an sebagai pedoman manusia benar-benar
dapat difahami, dihayati dan diamalkan, demi tercapainya kebahagiaan hidup di dunia
dan di akhirat.

Adapun pengertian ilmu tafsir sendiri adalah ilmu yang menerangkan tentang hal
nuzul ayat, keadaan-keadaannya, kisah-kisahnya, sebab-sebab turunnya, nasikh-nya,
„amnya, muthlaq-nya, mujmal-nya, mufassar-nya (mufashshal-nya), halalnya,
haramnya, wa‟ad-nya, wa‟id-nya, amr-nya, nahyu-nya, i‟bar-nya, dan amsal-nya.

2. Sejarah Perkembangan Tafsir

Al-Qur‟an turun membawa hukum-hukum dan syariat secara berangsur-angsur menurut


konteks peristiwa dan kejadian selama kurun waktu dua puluh tahun lebih. Namun hukum-
hukum dan syariat ini ada yang tidak dapat dilaksanakan sebelum arti, maksud dan inti
persoalannya dimengerti dan difahami.
Pada saat al-Qur‟an diturunkan, Rosululloh Saw. menjelaskan kepada para sahabat
tentang arti dan kandungan ayat yang samar artinya. Keadaan ini berlangsung sampai dengan
wafatnya Rosul Saw. Jika pada masa Rosul Saw. para sahabat bisa langsung menanyakan
kepadanya, tetapi setelah beliau wafat mau tidak mau mereka harus melakukan ijtihad,
padahal masih banyak ayat al-Qur‟an yang belum diketahui tafsirannya.
Di samping itu, para sahabat juga ada yang menanyakan tentang sejarah nabi-nabi atau
kisah-kisah yang tercantum dalam al-Qur‟an kepada para tokoh ahlul kitab yang telah
memeluk agama Islam. Dari sini lahirlah benih-benih israiliyat. Di samping itu, para sahabat
juga mempunyai murid-murid dari kalangan tabi‟in, sehingga lahirlah tokoh-tokoh tafsir baru
dari kalangan tabi‟in, seperti Sa‟id bin Zubair, Ka‟ab Al-Ahbar, Zaid bin Aslam, Hasan Al-
Bashri dan lain-lain.

Gabungan dari tiga sumber di atas, yaitu penafsiran Rasul Saw., penafsiran para
sahabat, serta penafsiran tabi‟in, disebut tafsir bil ma‟tsur. Masa ini disebut dengan
periode pertama dalam perkembangan tafsir. Berlakunya periode pertama tersebut dengan
berakhirnya masa tabi‟in, sekitar tahun 150 H, merupakan periode kedua dari sejarah
perkembangan tafsir.
Pada periode ini, hadis-hadis telah beredar dengan sangat pesat, dan juga mulai
bermunculan hadist-hadist palsu dan lemah di kalangan masyarakat. Sementara itu,
perubahan sosial semakin menonjol dan timbullah persoalan yang belum pernah terjadi
pada masa nabi, sahabat dan tabi‟in.

Pada mulanya usaha penafsiran al-Qur‟an berdasar ijtihad masih sangat terbatas dan
terikat dengan kaidah-kaidah bahasa serta arti-arti yang dikandung oleh satu kosakata.
Namun sejalan dengan berkembangnya laju masayarakat, berkembang dan bertambah besar
pula porsi peranan akal atau ijtihad dalam penafsiran yang beraneka ragam coraknya.
Keragaman tersebut ditunjang pula oleh al-Qur‟an yang keadaannya dikatakan oleh
„Abdullah Darraz dalam Al-Naba‟ Al-Azhim: “Bagaikan intan yang setiap sudutnya
memancarkan cahaya yang berbeda dengan apa yang terpancar dari sudut-sudut yang lain,
dan tidak mustahil jika anda mempersilakan orang lain memandangnya, maka ia akan melihat
lebih banyak dari apa yang anda lihat”.
Muhammad Arkonoun, seorang pemikir Aljazair kontemporer, menulis bahwa: “al-
Qur‟an memberikan kemungkinan-kemungkinan arti yang tak terbatas. Kesan yang diberikan
oleh ayat-ayatnya mengenai pemikiran dan penjelasan pada tingkat wujud adalah mutlak.
Dengan demikian ayat selalu terbuka (untuk interpretasi) baru, tidak pernah pasti dan tertutup
dalam interpretasi tunggal.”

Corak-corak penafsiran yang terkenal antara lain. Pertama, Corak Bahasa Arab, yang
timbul akibat banyaknya orang non-Arab yang memeluk Islam, serta akibat kelemahan
orang-orang Arab sendiri di bidang sastra, sehingga dirasakan kebutuhan untuk
menjelaskan kepada mereka tentang keistimewaan dan kedalaman arti kandungan al-
Qur‟an di bidang ini. Kedua, corak filsafat dan teologi, akibat penerjemahan kitab filsafat
yang mempengaruhi sementara pihak, serta akibat masuknya penganut agama-agama lain
ke dalam Islam yang dengan atau tanpa sadar masih mempercayai beberapa hal dari
kepercayaan lama mereka.

Kesemuanya menimbulkan pendapat setuju atau tidak setuju yang tercermin dalam
penafsiran mereka. Ketiga, corak penafsiran ilmiah, akibat kemajuan ilmu pengetahuan
dan usaha penafsir untuk memahami ayat-ayat al-Qur‟an sejalan dengan berkembangnya
ilmu. Keempat, corak fiqih atau hukum, akibat berkembangnya ilmu fiqh, dan
terbentuknya madzhab-madzhab fiqih. Kelima, Corak tasawuf, akibat timbulnya gerakan-
gerakan sufi sebagai reaksi dari kecendrungan berbagai pihak terhadap materi, atau
sebagai kompensasi terhadap kelemahan yang dirasakan. Keenam, bermula pada masa
Muhammad Abduh, corak-corak tersebut mulai berkurang dan perhatian mulai tertuju
kepada corak sastra budaya kemasyarakatan, yakni satu corak tafsir yang menjelaskan
petunjuk ayat-ayat al-Qur‟an yang berkaitan langsung dengan kehidupan masyarakat, serta
usaha-usaha untuk menanggulangi penyakit-penyakit atau masalah-masalah mereka
berdasarkan petunjuk ayat-ayat, dengan mengemukakan petunjuk-petunjuk tersebut dalam
bahasa yang mudah dimengerti.

Tidak diragukan lagi bahwa sejarah tafsir al-Qur‟an berlangsung melalui berbagai
tahap dan kurun waktu yang panjang sehingga mencapai bentuknya yang kita saksikan
sekarang ini berupa tulisan berjilid-jilid banyaknya, baik yang tercetak maupun yang
masih berupa tulisan tangan. Pertumbuhan tafsir al-Qur‟an dimulai sejak dini, yaitu sejak
zaman hidupnya Rasulullah Saw., orang pertama yang menguraikan Kitabullah al-Qur‟an
dan menjelaskan kepada umatnya wahyu yang diturunkan Allah Swt. ke dalam hatinya.
Pada masa itu hanyalah Rasul yang bisa menjelaskan dengan rinci pengertian dari ayat-
ayat al-Qur‟an, adapun para sahabat hanya bisa merujuk kepadanya dan mereka tidak
berani menafsirkan karena beliau masih di sisi mereka.

3. Metode Penafsiran Ijmali Dan Tahlili

Secara harfiah, kata ijmali berasal dari ajmala yang berarti menyebutkan sesuatu secara
tidak terperinci. Maka tafsir ijmali dapat diartikan kepada penjelasan maksud ayat al-Qur‟an
secara umum dengan tidak memperincinya, atau penjelasan singkat tentang pesan-pesan Ilahi
yang terkandung dalam suatu ayat.
Tafsir ijmali yaitu, penafsiran al-Quran dengan uraian singkat dan global, tanpa uraian
panjang lebar. Mufassir menjelaskan arti dan makna ayat dengan uraian singkat yang dapat
menjelaskan sebatas artinya tanpa menyinggung hal-hal selain arti yang dikehendaki. Hal ini
dilakukan terhadap ayat-ayat al-Quran, ayat demi ayat dan surat demi surat, sesuai urutannya
dalam mushaf dalam kerangka uraian yang mudah dengan bahasa dan cara yang dapat
dipahami orang yang pintar dan orang yang bodoh dan orang pertengahan keduanya.
Kadangkala mufassir dengan metode ini menafsirkan al-Quran dengan lafazh al-Quran,
sehingga pembaca merasa bahwa uraian tafsirannya tidak jauh dari konteks al-Quran. Kadang
kala pada ayat-ayat tertentu ia menunjukkan sebab turunnya ayat, peristiwa yang dapat
menjelaskan arti ayat, mengemukakan hadist Rasulullah atau pendapat ulama yang saleh.
Dengan cara demikian, dapatlah diperoleh pengetahuan yang sempurna dan sampailah ia
kepada tujuannya dengan cara yang mudah serta uraian yang singkat dan bagus.
Dengan kata lain, metode tafsir ijmali menempatkan setiap ayat hanya sekadar
ditafsirkan dan tidak diletakkan sebagai obyek yang harus dianalisa secara tajam dan
berwawasan luas, sehingga masih menyisakan sesuatu yang dangkal, karena penyajian yang
dilakukan tidak terlalu jauh dari gaya bahasa al-Qur‟an, sehingga membaca tafsir yang
dihasilkan dengan memakai metode ijmali, layaknya membaca ayat al-Qur‟an. Uraian yang
singkat dan padat membuat tafsir dengan metode ijmali tidak jauh berbeda dengan ayat yang
ditafsirkan.

Di antara kitab-kitab tafsir dengan metode ijmali :


 Tafsir al-Jalalain, karya Jalal al-Din al-Suyuthi dan Jalal al-Din al-Mahalli.
 Shofwah al-Bayan li Ma‟ani al-Quran, karya Syeikh Husnain Muhammad Mukhlut.
 Tafsir al-Quran al-„Azhim, karya Ustadz Muhammad Farid Majdy.

Ciri-ciri Metode Penafsiran Ijmali


Perbedaan utama antara metode ijmali dengan metode tahlili, muqarran, ataupun
maudhu‟i adalah terletak pada:

 cara seorang mufassir melakukan penafsiran, di mana seorang mufassir langsung


menafsirkan ayat al-Qur‟an dari awal sampai akhir tanpa perbandingan dan penetapan
judul,
 mufassir tidak banyak mengemukakan pendapat dan idenya,
 mufassir tidak banyak memberikan penafsiran secara rinci tetapi ringkas dan umum,
meskipun pada ayat tertentu memberikan penafsiran yang agak luas, namun tidak pada
wilayah analitis.

Kelebihan dan Kekurangan Metode Penafsiran Ijmali

Kelebihan pada metode ijmali, terletak pada:

 proses dan bentuknya yang mudah dibaca dan sangat ringkas serta bersifat umum,
 terhindar dari upaya-upaya penafsiran yang bersifat isra‟iliyat, karena pembahasan
tafsir yang ringkas dan padat, sehingga sangat tidak memungkinkan seorang mufassir
memasukkan unsur-unsur lain, dan
 bahasanya yang akrab dengan bahasa al-Qur‟an.

Adapun kekurangan metode ijmali adalah:

 menjadikan petunjuk al-Qur‟an bersifat parsial,


 tidak ada ruang untuk analisis yang memadai. Meskipun demikian model
penafsirannya yang sangat ringkas, maka metode ijmali sangat cocok bagi mereka
yang berada pada tahap permulaan mempelajari tafsir, dan mereka yang disibukkan
oleh pekerjaannya sehari-hari atau mereka yang tidak membutuhkan uraian yang
detail tentang pemahaman suatu ayat.

Pengertian Metode Penafsiran Tahlili

Tafsir tahlili adalah suatu metode tafsir yang bermaksud menjelaskan kandungan
ayat-ayat al-Qur‟an dari seluruh aspeknya. Tafsir tahlili ialah mengkaji ayat-ayat al-Quran
dari segala segi dan maknanya, ayat demi ayat dan surat demi surat, sesuai dengan urutan
dalam mushaf utsmani. Untuk itu, pengkajian metode ini kosa kata dan lafazh,
menjelaskan arti yang dikehendaki, sasaran yang dituju dan kandungan ayat, menjelaskan
apa yang dapat diistinbath-kan dari ayat serta mengemukakan kaitan antara ayat-ayat dan
relevansinya dengan surat sebelum dan sesudahnya. Untuk itu, ia merujuk kepada sebab-
sebab turun ayat, hadist-hadist Rasulullah Saw. dan riwayat dari para sahabat dan tabi‟in.

Secara etimologis, metode tahlili berarti menjelaskan ayat-ayat al-Qur‟an dengan


meneliti aspeknya dan menyingkap seluruh maksudnya, mulai dari uraian makna kosa
kata, makna kalimat, maksud setiap ungkapan, kaitan antar pemisah (munasabat), hingga
sisi keterkaitan antar pemisah itu (wajh al munasabat) dengan bantuan latar belakang
turunnya ayat (asbab al nuzul), riwayat-riwayat yang berasal dari Nabi Saw., Sahabat dan
tabi‟in.

Metode tahlili adalah, metode yang dipergunakan kebanyakan ulama pada masa-masa
dahulu. Akan tetapi, di antara mereka ada yang mengemukakan ke semua hal tersebut di
atas dengan panjang lebar (ithnab), ada yang dengan singkat (i‟jaz), dan ada pula yang
mengambil langkah pertengahan (musawwah). Mereka sama-sama menafsirkan al-Quran
dengan menggunakan metode tahlili, tetapi dengan corak yang berbeda.
Maka tafsir ini menekankan pada analisis redaksi ayat dan dihubungkan dengan
hukum yang berlaku dalam masyarakat.

Ciri-ciri utama metode tafsir ini antara lain sebagai berikut:

 Membahas segala sesuatu yang menyangkut ayat itu dari segala aspeknya.
 Mengungkapkan asbab an-nuzul ayat yang ditafsirkannya, jika ayat tersebut memang
memiliki asbab an-nuzul.
 Menafsirkan ayat per ayat secara berurutan, dalam pembahasannya selalu melihat
korelasi antar ayat, untuk menemukan makna penafsiran itu.
 Tafsir tahlili dapat bercorak tafsir bi al-ma‟tsur, kalau titik tekan pembahasannya pada
riwayat, baik berupa hadis, atsar sahabat, atau pendapat ulama, yang kemudian
dikuatkan oleh rasio (ra‟yu). Sebaliknya, bisa bercorak tafsir bi ar-ra‟yi, jika titik
tekan uraiannya berdasarkan rasio, sementara riwayat diposisikan hanya sebagai
penguat asumsi asumsi logika penafsiran tersebut.

Para ulama membagi wujud tafsir al-Quran dengan metode tahlili kepada tujuh
macam, yaitu: tafsir bi al-ma‟tsur, tafsir bi al-ra‟yi, tafsir shufi, tafsir falsafi, tafsir
fiqih, tafsir „ilmi dan tafsir adabi.25 Atau metode tahlili memiliki berbagai corak
penafsiran, yaitu; al-ma‟tsur, ar-ra‟yi, ash-shufi, al-fiqhi, al-falsafi, al-ilmi dan al-
adabi al-ijtima‟i.

Kelebihan dan Kekurangan Metode Penafsiran Tahlili

Keistimewaan metode ini terletak pada ruang lingkupnya yang luas sehingga dapat
menampung berbagai ide dan gagasan dalam upaya menafsirkan al-Qur‟an. Jadi
dalam tafsir analitik ini mufassir relatif lebih mempunyai kebebasan dalam
mengajukan ide-ide dan gagasan-gagasan baru dalam penafsiran al-Qur‟an.
Barangkali kondisi inilah yang membuat tafsir tahlili lebih pesat perkembangannya.

Sebaliknya, kelemahan metode tahlili bisa dilihat dari tiga hal:

 menjadikan petunjuk al-Qur‟an secara parsial,


 melahirkan penafsiran yang subyektif, dan
 membuka peluang masuknya pemikiran isra‟iliyat. Meskipun demikian, metodologi
tahlili telah memberikan pemahaman yang luas dari suatu ayat dengan melihatnya dari
berbagai aspek: bahasa, fikih, teologi, filsafat, sains dan sebagainya.
Di antara kelemahan metode tahlili yaitu:

1. Menjadikan petunjuk al-Qur‟an parsial

Metode analitis juga dapat membuat petunjuk al-Qur‟an bersifat parsial atau pecah-pecah,
sehingga terasa seakan-akan al-Qur‟an memberikan pedoman secara tidak utuh dan tidak
konsisten karena penafsiran yang diberikan pada suatu ayat berbeda dari penafsiran yang
diberikan pada ayat-ayat lain yang sama dengannya.

2. Melahirkan penafsiran subjektif

Metode analitis, memberikan peluang yang luas sekali kepada mufassir untuk
mengemukakan ide-ide dan pemikirannya. Sehingga, kadang-kadang mufassir tidak sadar
bahwa dia telah menafsirkan al-Qur‟an secara subjektif, dan tidak mustahil pula ada di
antara mereka yang menafsirkan al-Qur‟an sesuai dengan hawa nafsunya tanpa
mengindahkan kaedah-kaedah atau norma-norma yang berlaku.

3. Masuk pemikiran isra„iliyat

Dikarenakan metode tahlili memberikan mufassir dalam mengemukakan pemikiran


pemikiran tafsirnya, maka berbagai pemikiran dapat masuk ke dalamnya, tidak terkecuali
pemikiran isra„illiyat. Sepintas lalu, sebenarnya kisah-kisah isra„illiyat tidak ada persoalan,
selama tidak dikaitkan dengan pemahaman al-Qur‟an. Tapi bila dihubungkan dengan
pemahaman kitab suci, timbul problema karena akan terbentuk opini bahwa apa yang
dikisahkan di dalam cerita itu merupakan maksud dari firman Allah, atau lebih tegas lagi, itu
adalah petunjuk Allah, padahal belum tentu cocok dengan yang dimaksudkan Allah di dalam
firman-Nya tersebut. Di sinilah letak negatifnya kisah-kisah isra„illiyat tersebut. Kisah-kisah
itu bisa masuk ke dalam tafsir tahlili karena metodenya memang membuka untuk itu.

4. METODE MUQARRIN DAN MAUDHU’I

Metode Penafsiran Muqarrin

Pengertian
Tafsir muqarrin yaitu metode penafsiran al-Qur‟an dengan cara membandingkan
penafsiran para ulama. Mengenai penafsiran metode tafsir muqarrin para ahli tidak berbeda
pendapat dalam hal tersebut yaitu :

 Perbandingan teks atau nash ayat-ayat al-Qur‟an,


 Membandingkan ayat al-Qur‟an dengan hadist yang pada lahirnya terlihat
bertentangan,
 Membandingkan berbagai pendapat ulama tafsir di dalam menafsirkan al-Qur‟an

Metode penafsiran muqarrin ini dapat dilakukan dengan cara membandingkan sejumlah
ayat-ayat al-Qur‟an yang berbicara satu topik masalah atau membandingkan ayat-ayat al-
Qur‟an dengan Hadist-hadist Nabi secara lahiriyah tampak berbeda.
Definisi di atas menunjukkan bahwa penafsiran al-Qur‟an dengan metode ini memiliki
cakupan yang amat luas, tidak hanya membandingkan ayat dengan ayat, ayat dengan hadist,
tetapi juga membandingkan pendapat para mufassir dalam menafsirkan ayat. Latar belakang
munculnya metode ini khususnya yang berhubungan dengan perbandingan unsur ayat dengan
ayat, hal ini berhubungan dengan dua sifat al-Qur‟an, yaitu:

a. Al-Qur‟an mengklaim sebagai suatu kitab yang mencakup segala sesuatu (Q.S. al-
Baqarah: 38). Hanya saja bersifat lugas dan cermat dalam susunannya dalam bentuk
sistematika penyusunan kalimat ataupun dalam pemilihan kata.
b. Al-Qur‟an yang mengklaim sebagai suatu kitab yang bebas dari kontradiksi dalam
(Q.S. al-Nisa‟: 82). Karena itu setiap perbedaan redaksi tidak boleh mengimplikasikan
perbedaan makna.

Adapun obyek kajian dalam metode muqarrin adalah perbandingan al-Qur‟an dengan
ayat lain, yaitu ayat-ayat yang memiliki persamaan redaksi dalam dua atau lebih masalah atau
kasus yang berbeda, atau ayat-ayat yang memiliki redaksi berbeda dalam masalah atau kasus
yang (diduga) sama. Perlu ditegaskan bahwa objek kajian metode tafsir ini hanya terletak
pada persoalan redaksi ayat-ayat al-Qur‟an, bukan dalam bidang pertentangan makna.
Pertentangan makna di antara ayat-ayat al-Qur‟an dibahas dalam ilmu nasikh wa al-mansukh.
Dalam mengadakan perbandingan ayat-ayat yang berbeda redaksi di atas ditempuh beberapa
langkah:
 Menginventarisasi ayat-ayat al-Qur‟an yang memiliki redaksi yang berbeda dalam
kasus yang sama atau yang sama dalam kasus berbeda.
 Mengelompokkan ayat-ayat itu berdasarkan persamaan dan perbedaan redaksinya.
 Meneliti setiap kelompok ayat tersebut dan menghubungkannya dengan kasus-kasus
yang dibicarakan ayat bersangkutan.
 Melakukan perbandingan.

Perbedaan-perbedaan redaksi yang menyebabkan adanya nuansa perbedaan makna


seringkali disebabkan perbedaan konteks pembicaraan ayat dan konteks turunnya ayat
bersangkutan. Karena itu, ilmu al-munasabah dan ilmu asbab al-nuzul sangat membantu
melakukan tafsir al-muqarrin dalam hal perbedaan ayat tertentu dengan ayat lain. Namun,
esensi nilainya pada dasarnya tidak berbeda.

Ciri-ciri Metode Muqarrin

Metode ini mempunyai ciri khas yang dapat membedakannya dari metode yang lain yaitu
membandingkan pendapat ulama tafsir dalam menafsirkan ayat dengan hadist, baik mereka
termasuk ulama salaf ataupun ulama hadist yang metode dan kecenderungan mereka berbeda-
beda, baik penafsiran mereka yang berdasarkan riwayat yang bersumber dari Rasululloh Saw.,
sahabat atau tabi‟in (tafsir bil al-ma‟tsur). Atau berdasarkan ratio, ijtihad (tafsir bi al-ra‟yi)
dan mengungkapkan pendapat mereka serta membandingkan segi-segi dan kecenderungan
masing-masing yang berada dalam penafsiran al-Qur‟an. Kemudian menjelaskan siapa di
antara mereka yang penafsirannya dipengaruhi oleh perbedaan madzhab, atau siapa di antara
mereka yang penafsirannya menunjukkan golongan tertentu dalam Islam.

Kelebihan Metode Penafsiran Muqarrin.

a. Memberikan wawasan penafsiran yang relatif lebih luas kepada para pembaca bila
dibandingkan dengan metode-metode lain. Dalam penafsiran itu terlihat bahwa satu
ayat al-Qur‟an dapat ditinjau dari berbagai disiplin ilmu pengetahuan sesuai dengan
keahlian. Dengan demikian al-Qur‟an amat luas dan dapat menampung berbagai ide
dan pendapat.
b. Membuka pintu untuk selalu bersikap toleran terhadap pendapat orang lain yang
kadang-kadang jauh berbeda dari pendapat kita. Dengan demikian dapat mengurangi
fanatisme yang berlebihan kepada suatu madzhab atau aliran tertentu, sehingga umat
terhindar dari sikap ekstrimistis yang dapat merusak persatuan dan kesatuan umat.
c. Metode ini sangat berguna bagi mereka yang ingin mengetahui berbagai pendapat
tentang suatu ayat.
d. Dengan menggunakan metode ini maka mufassir didorong untuk mengkaji berbagai
ayat dan hadis-hadis serta pendapat-pendapat para mufasir yang lain.

Kelemahan Metode Penafsiran Muqarrin

 Penafsiran pada metode muqarrin ini tidak dapat diberikan kepada pemula, disebabkan
pembahasan yang dikemukakan di dalamnya terlalu luas dan kadang-kadang bisa
ekstrim.
 Metode muqarrin kurang dapat diandalkan untuk menjawab permasalahan sosial yang
tumbuh di tengah msyarakat, disebabkan metode ini lebih mengutamakan perbandingan
dari pada pemecahan masalah.
 Metode muqarrin terkesan lebih banyak menelusuri penafsiran-penafsiran yang pernah
diberikan oleh ulama‟ dari pada mengemukakan penafsiran-penafsiran baru.

Metode Penafsiran Maudlu’i

Pengertian Metode Tafsir Maudlu’i

Yang dimaksud dengan metode tematik (maudhu‟i) ialah membahas ayat-ayat al-
Qur‟an dengan tema atau judul yang telah ditetapkan. Semua ayat yang berkaitan, dihimpun.
Kemudian dikaji secara mendalam dan tuntas dari berbagai aspek yang terkait dengannya,
seperti asbab al-nuzul, kosakata dan sebagainya. Semua dijelaskan dengan rinci dan tuntas,
serta didukung oleh dalil-dalil atau fakta-fakta yang dipertanggungjawabkan secara ilmiah,
baik argumen itu berasal dari al-Qur‟an, hadits, maupun pemikiran rasional.

Sedangkan menurut Mushthafa Muslim yang dikutip Muhammad Amin Suma dalam
bukunya, tafsir maudhu‟i ialah tafsir yang membahas tentang masalah-masalah al-Qur‟an al-
Karim yang (memiliki) kesatuan makna atau tujuan dengan cara menghimpun ayat-ayatnya
yang bisa juga disebut dengan metode tauhidi (kesatuan) untuk kemudian melakukan
penalaran (analisis) terhadap isi kandungannya menurut cara-cara tertentu dan berdasarkan
syarat- syarat tertentu untuk menjelaskan makna-maknanya dan mengeluarkan unsur-
unsurnya serta menghubung-hubungkannya antara yang satu dengan yang lain dengan
korelasi yang bersifat komprehensif. Sesuai dengan namanya tematik, maka yang menjadi ciri
utama dari metode ini ialah menonjolkan tema, judul atau topik pembahasan, sehingga tidak
salah jika dikatakan bahwa metode ini juga disebut metode topikal.

Dapat diketahui bahwa tafsir maudhu‟i ini mempunyai dua macam bentuk kajian
yang sama-sama bertujuan menggali hukum-hukum yang terdapat dalam al-Qur‟an,
mengetahui korelasi antara ayat-ayat, dan untuk membantah tuduhan bahwa di dalam al-
Qur‟an itu sering terjadi pengulangan, juga untuk menepis tuduhan lainnya yang dilontarkan
oleh sebagian orientalis dan pemikir barat.
Kedua bentuk kajian tafsir maudhu‟i yang dimaksud adalah: pertama, pembahasan
mengenai satu surat secara menyeluruh dan utuh dengan menjelaskan maksudnya yang
bersifat umum dan khusus, menjelaskan korelasi antara berbagai masalah yang
dikandungnya, sehingga surat itu tampak dalam bentuknya yang betul-betul utuh dan cermat.
Kedua, menghimpun sejumlah ayat dari berbagai surat yang sama-sama membicarakan satu
masalah tertentu; ayat-ayat tersebut disusun sedemikian rupa dan diletakkan di bawah satu
tema bahasan, dan selanjutnya ditafsirkan secara maudhu‟i.

Ciri-ciri Metode Penafsiran Maudlu’i

Sesuai dengan namanya tematik, maka yang menjadi ciri utama dari metode ini ialah
menonjolkan tema, judul atau topik pembahasan, sehingga tidak salah jika dikatakan bahwa
metode ini juga disebut metode topikal. Tafsir maudlu‟i ini mempunyai dua bentuk kajian
yang menjadi ciri utamanya, pertama pembahasan mengenai satu surat secara menyeluruh
dan utuh dengan menjelaskan korelasi antara berbagai masalah yang dikandungnya, sehingga
surat itu tampak dalam bentuknya yang betul-betul utuh dan cermat. Kedua, menghimpun
sejumlah ayat dari berbagai surat yang sama-sama membicarakan satu masalah tertentu; ayat-
ayat tersebut disusun sedemikian rupa dan diletakkan di bawah satu tema bahasan,
selanjutnya ditafsirkan secara maudlu‟i.

Cara Kerja Metode Penafsiran Maudlu’i

 Memilih atau menetapkan masalah al-Qur‟an yang akan dikaji secara maudlu‟i
 Menghimpun dan melacak ayat-ayat yang berkaitan dengan masalah yang telah
ditetapkan ayat makiyah dan madaniyah.
 Menyusun ayat-ayat tersebut secara runtut menurut kronologi masa turunnya, disertai
pengetahuan mengenai latar belakang turunnya ayat atau asbab al-nuzul.
 Mengetahui kolerasi/munasabah ayat-ayat tersebut di dalam masing-masing suratnya.
 Menyusun tema bahasan di dalam kerangka yang tepat, sistematik, sempurna, dan
utuh.
 Melengkapi pembahasan dan uraian dengan hadits.
 Mempelajari ayat-ayat tersebut secara maudlu‟i dan menyeluruh dengan cara
menghimpun ayat-ayat yang mengandung pengertian serupa, sehingga ayat-ayat
tersebut bertemu dalam satu muara

Kelebihan Metode Penafsiran Maudlu’i

 Karena dalam langkah metodisnya berusaha menghimpun berbagai ayat yang


berkaitan dengan satu topik masalah, menjelaskan sebagian ayat dengan ayat lainnya
sehingga satu ayat menjadi penafsir bagi ayat yang lain. Tafsir maudhu‟i dipandang
sebagai tafsir bi al-ma‟tsur, yakni suatu metode yang jauh dari kesalahan dan dekat
dengan kebenaran.

 Mengetahui adanya keteraturan dan keserasian serta korelasi antara ayat-ayat tersebut.

 Dapat memberikan buah pemikiran yang sempurna dan utuh mengenai satu topik
masalah yang sedang dibahas.

 Dapat menghapus anggapan adanya kontradiksi antara ayat-ayat al-Qur‟an, dan


mampu menolak berbagai tuduhan negatif yang disebar luaskan oleh pihak yang
berniat jelek.

 Corak kajian tafsir maudhu‟i ini sesuai dengan semangat zaman modern yang
menuntut agar kita berupaya melahirkan suatu hukum yang bersifat universal untuk
masyarakat Islam.
 Untuk mengetahui inti masalah dan segala aspeknya.
 Metode ini memungkinkan seseorang segera sampai pada inti persoalan yang
dimaksud tanpa harus bersusah payah mengemukakan pembahasan.
 Memungkinkan seseorang memahami masalah yang dibahas dan segera sampai pada
hakikat masalah.
 Membuat pemahaman menjadi utuh.
Kelemahan Metode Penafsiran Maudlu’i

 Memenggal ayat al-Qur‟an, yaitu hanya mengambil satu kasus atau satu ayat atau lebih
yang di dalamnya mengandung banyak permasalahan.
 Membatasi permasalahan ayat, hal ini dikarenakan metode tafsir maudlu‟i ini
menetapkan judul yang akan dibahas, sehingga pemahaman menjadi terbatas pada
permasalahan yang dibahas tersebut.

F. KESIMPULAN

Berdasarkan kajian sederhana di atas, dapat disimpulkan bahwa teorisasi tarjamah


alqur’an dalam ‘Ulum Alqur’an memiliki sejumlah problem. Pertama, kategorisasi tarjamah
harfiyyah dan ma’nawiyyah bukanlah kategori yang operatif sebagai alat analisis sebuah
karya terjemahan; kedua, terminologi tarjamah menjadi meaningless karena merujuk kepada
entitas yang tidak ada; dan ketiga, teori mereka mengaburkan hubungan tarjamah dan tafsir.
Permasalahan-permasalahan di atas berakar dari dua hal: keketatan mereka pada makna
sempit dari tarjamah pada satu sisi, dan beban teologis untuk memposisikan Alqur’an sebagai
kitab wahyu yang mengandung i’jaz pada sisi lain. Adapun jalan keluar untuk persoalan ini
adalah dengan memperluas makna tarjamah, bukan terbatas sebagai pengalihbahasaan tetapi
juga penjelasan.

REFERENSI

Al-Zahabi, Muhammad Husain. al-Tafsir wa al-Mufassirun. Maktabah Mus’ab ibn Umair al-
Islamiyyah, 2004.

Ali, Atabik and Ahmad Zuhdi Muhdlor. Qamus al-’Asriy. Yogyakarta: Yayasan Ali
Maksum, n.d.

Al-Qattan, Manna Khalil. Mabahis fi ‘Ulum Alqur’an. Cairo: Maktabah Wahbah, n.d.
Al-Zarqani, Muhammad Abd al-Azīm. Manahil al-’Irfan fi ‘Ulum Al-qur’an. Beirut: Dār el-
Fikr, 1996.

Burhani, Ahmad Najib. “Sectarian Translation of the Qur’an in Indonesia: The Case of
Ahmadiyya.” Al-Jami’ah 53 (2015).

Departemen Agama Republik Indonesia. Alqr’an dan Terjemahnya. Jakarta: Proyek


Pengadaan Kitab Suci Al-Qur’an Dept. Agama RI, 1983.

Shihab, Quraish. Alqur’an dan Maknanya. Tanggerang: Lentera Hati, 2010.

Yunahar Ilyas. Kuliah ulumul quran.: ITQAN Publishing. 2017

Waharjani. Ulumul quran dan hadits. UAD PRESS. 2018

CURRICULUM VITAE

NAMA : SYAHRIN RIFAL SAPUTRA


IDENTITY NUMBER (KTP) : 1509061703990006
ADDRESS : JL. SUAK KANDIS, DESA SAKEAN, RT/RW :
006/000 KEC: KUMPEH ULU, KAB: MUARO JAMBI, 36373
NO. HP : 082373846058
PLACE/DATE OF BIRTH : KASANG KOTA KARANG, 17 MARET 1999
MARITAL STATUS : SINGLE
RELIGION : ISLAM
GENDER : MALE
EMAIL : syahrinrifalsaputra@gmail.com
INTEREST/HOBBIES : SINGING AND DRAMA

EDUCATION BACKGROUND :
1. SD NEGERI 84 KASANG LOPAK ALAY (2005-2011)
2. MTSN JAMBI TIMUR (2011-2014)
3. MAN MODEL JAMBI (2014-2017)
4. UNIVERSITAS AHMAD DAHLAN, FACULTY OF ISLAMIC RELIGION OF
SCIENCE PRODUCTS HADITS, (2018-2022).
COURSE/TRAINING:
ENGLISH COURSE IN JAMBI (2016)
ORGANIZATION EXPERIENCES :
1. CHAIRPERSON OF STUDENT COUNCIL MTSN JAMBI TIMUR (2013)
2. DRUMBAND CHAIR MTSN JAMBI TIMUR AND MAN MODEL JAMBI (2016)
3. SCHOOL AMBASSADORS IN MAN MODEL JAMBI (2016)
SEMINAR AND WORKSHOP EXPERIENCES :
1. HADITS SOFWARE TRAINING, (REGIONAL SEMINAR). THAT HELD BY
UAD (2018)
2. REGIONAL SEMINAR “ BOOK REVIEW “ THAT HELD BY UIN SUKA (2018)
WORKING EXPERIENCES :
SHOPKEEPER (2017)
WORK SKILL :
COMPUTER : MS. OFFICE AND EXCEL FOR WINDOW AND INTERNET.
CURRICULUM VITAE

NAMA : MUH. RAIS ALFARIZI


NO KTP : 3329060909990015
ALAMAT : LINGGAPURA RT 003 RW 004 KEC. TONJONG KAB. BREBES PROV.
JAWA TENGAH
NO HP : 082322433911
TTL : BREBES, 09 SEPTEMBER 1999
SETATUS : BELUM KAWIN
AGAMA : ISLAM
E'MAIL : muhraisalfarizi999@gmail.com
HOBI : TENIS MEJA DAN NYANYI RELIGI

RIWAYAT PENDIDIKAN
1. TK MASYITOH TONJONG (2004-2006)
2. SD NEGERI LINGGAPURA 02(2006-2012)
3. SMP MUHAMMADIYAH TONJONG(2012-2015)
4. SMA MUHAMMADIYAH TONJONG(2015-2018)
5. UNIVERSITAS AHMAD DAHLAN, FAKULTAS AGAMA ISLAM, PRODI ILMU
HADIS (2018-2022)
TRAINING
PELATIHAN SHOLAT ALA ROSULL
PELATIHAN SOFTWARE HADIS
ORGANISASI
1. TAPAK SUCI UAD
2. HW UAD
SEMINAR/ WORKSHOP
WORKSHOP KARYA TULIS FIKSI
WORKSHOP KARYA TULIS ILMIAH
SEMINAR NASIONAL SASTRA ISLAMI
WORK SKIL
TILAWATIL QURAN

Anda mungkin juga menyukai