Anda di halaman 1dari 15

COVER MAKALAH

KATA PENGANTAR
BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang


1.2 Rumusan Masalah
1.3
BAB II

PEMBAHASAN

2.1 Pengertian Nasikh dan Mansukh


Nasikh-Mansukh berasal dari kata naskh. Nasikh menurut
bahasa ialah hukum syara yang menghapuskan,
menghilangkan, atau memindahkan atau juga yang mengutip
serta mengubah dan mengganti. Adapun makna Nasikh
menurut para Ulama secara bahasa ada empat:
a. Bermakna izalah atau menghilangkan
b. Bermakna tabdil atau mengganti
c. Bermakna tahwil atau memalingkan
d. Bermakna menukil atau memindah dari satu tempat ke
tempat lain
e. Bermakna takhsis atau mengkhususkan
Adapun dari segi terminologi, para ulama mendefinisikan
mendefinisikan naskh dengan rafu Al-hukm Al-syarI
(menghapuskan hukum syara dengan dalil syara yang lain).
Menghapuskan dalam definisi tersebut adalah terputusnya
hubungan hukum yang dihapus dari seorang mukalaf, dan
bukan terhapusnya substansi hukum itu sendiri.
Sedangkan, Mansuhk menurut bahasa ialah sesuatu yang
di hapus atau dihilangkan atau dipindah atau disalin atau
dinukil. Sedangkan menurut istilah para ulama ialah hukum
syara yang diambil dari dalil syara yang sama, yang belum
diubah dengan di batalkan dan diganti dengan hukum syara
yang baru yang datang kemudian.

2.2 Rukun dan Syarat Naskh


Rukun Naskh:
a. Adat Naskh, adalah pernyataan yang menunujukkan
adanya pembatalan hukum yang telah ada.
b. Nasikh, yaitu dalil kemudian yang menghapus hukum yang
telah ada. Pada hakikatnya, nasikh itu berasal dari Allah
karena Dialah yang membuat hukum dan Dia pula yang
menghapusnya.
c. Mansukh, yaitu hukum yang dibatalkan dihapuskan atau
dipindahkan.
d. Mansukh anh, yaitu orang yang dibebani hukum.

Syarat-syarat Naskh:
a. Yang dibatalkan adalah hukum syara
b. Pembatalan itu datangnya dari tuntutan syara
c. Pembatalan hukum tidak disebabkan oleh berakhirnya
waktu pemberlakuan hukum, seperti perintah Allah tentang
kewajiban berpuasa tidak berarti di naskh setelah selesai
melaksanakan puasa tersebut.
d. Tuntutan yang mengandung Naskh harus datang
kemudian.1

2.3 Dasar Dasar Penetapan Naskh dan Mansukh


Manna Al Qaththan menetapkan tiga dasar untuk
menegaskan bahwa suatu ayat dikatakan naskh (menghapus)
ayat lain mansukh (dihapus), antara lain:
a. Melalui pentransmisian yang jelas (an-Naql as-Sharih) dari
nabi atau para sahabatnya, seperti hadis: kuntu
nahaitukum anziyarat al-qubur ala fazuruha (Aku (dulu)
melarang kalian ziarah kubur, (sekarang) berziarahlah).
b. Melalui kesepakatan umat bahwa ayat ini naskh dan ayat
itu mansukh.
c. Melalui studi sejarah, mana ayat yang lebih belakang
turun, sehingga disebut naskh dan mana yang duluan
turun, sehingga disebut mansukh.2

2.4 Ruang Lingkup Naskh


Naskh hanya terjadi pada perintah dan larangan, baik yang
diungkapkan dengan tegas dan jelas maupun yang
diungkapkan dengan kalimat berita (khabar) yang bermakna
amar (perintah) atau nahi (larangan), jika hal tersebut tidak

1 Rosihon anwar. Ulum Al Quran. CV Pustaka Setia. Bandung. 2013.


Hal: 165-166

2 Opcit. Hal: 168-169


berhubungan dengan persoalan akidah, yang berfokus
kepada zat Allah, sifat-sifatnya, kitab-kitabnya, rasul-
rasulnya, dan hari kemudian, serta tidak berkaitan pula
dengan etika dan akhlak atau dengan pokok-pokok ibadah
dan muamalah. Hal ini karena semua syariat ilahi tidak lepas
dari pokok-pokok tersebut. Sedang dalam masalah pokok
(ushul) semua syariat adalah sama. Naskh tidak terjadi
dalam berita, khabar yang jelas-jelas tidak bermakna tholab
(tuntutan; perintah atau larangan ), seperti janji (al-wad) dan
ancaman (al-waid).
2.5 Pembagian Naskh
Naskh ada 4 bagian :
1) Naskh al-quran dengan al-quran.
Bagian ini disepakati kebolehannya oleh ulama dan telah
terjadi dalm pandangan mereka yang mengatakan adanya
naskh. Misalnya, ayat tentang iddah 4 bulan 10 hari.
2) Naskh al-quran dengan as-sunnah.
Naskh ini ada 2 macam :
Naskh Al Quran dengan hadis ahad.
Jumhur berpendapat Quran tidak boleh dinaskh oleh
hadis ahad sebab Quran adalah mutawatir dan
menunjukkan yakin, sedang hadis ahad zanni (bersifat
dugaan). Disamping tidak sah pula menghapuskan
sesuatu yang malum (jelas diketahui) dengan maznun
(diduga).
Naskh Quran dengan hadis mutawatir.
Naskh demikian diperbolehkan oleh imam Malik, Abu
Hanifah, dan Ahmad dalam satu riwayat sebab masing-
masing keduanya adalah wahyu. Namun dalam suatu
riwayat lain, as Syafii, Ahli Zahir, dan Ahmad menolak
naskh seperti ini, berdasarkan firman Allah QS. Al
Baqarah: 106

Apa saja yang Kami nasakhkan, atau Kami jadikan
(manusia) lupa kepadanya, Kami datangkan yang lebih
baik atau yang sebanding dengannya.
Sedang hadis tidak lebih baik dari atau sebanding
dengan Al Quran.
3) Naskh Sunnah dengan Al Quran.
Ini dibolehkan oleh jumhur. Sebagai contoh ialah masalah
menghadap ke Baitul Maqdis yang ditetapkan dengan
sunnah dan di dalam Al Quran tidak terdapat dalil yang
menunjukkannya.
4) Naskh Sunnah dengan Sunnah
Dalam kategori ini terdapat 4 bentuk:
1) Naskh mutawatir dengan mutawatir
2) Naskh ahad dengan ahad
3) Naskh ahad dengan mutawatir
4) Naskh mutawatir dengan ahad
Tiga bentuk pertama diperbolehkan, sedang dalam
bentuk keempat terjadi silang pendapat seperti halnya
naskh Quran dengan hadis ahad, yang tidak diperbolehkan
oleh jumhur.3

2.6 Macam-Macam Naskh dalam Al Quran

Berdasarkan kejelasan dan cakupannya, naskh dalam Al


Quran dibagi menjadi empat macam:
1) Naskh Sharih, yaitu ayat yang secara jelas menghapus
hukum yang terdapat pada ayat terdahulu. Misalnya
ayat tentang perang pada QS. An Nahl: 65 yang
mengharuskan satu muslim melawan sepuluh kafir.
Ayat ini di-naskh oleh ayat yang mengharuskan satu
orang mukmin melawan dua orang kafir pada ayat 66
dalam surat yang sama.
2) Naskh dzimmi, yaitu jika terdapat dua naskh yang
saling bertentangan dan tidak dikompromikan. Serta
keduanya turun untuk sebuah masalah yang sama,
keduanya diketahui waktu turunnya, dan ayat yang
datang kemudian menghapus ayat yang terdahulu.
Cotohnya, ketetapan Allah yang mewajibkan berwasiat

3 Manna khalil al-qattann. Studi Ilmu-Ilmu Quran.Litera Antarnusa.


Rawamangun. 1992. Hal. 325-334
bagi orang-orang yang akan mati, yag terdapat dalam
QS. Al baqarah: 180.
Ayat ini menurut pendukung naskh di-naskh oleh hadis
la washiyyah li waris (tidak ada wasiat bagi ahli waris).
3) Naskh kully, yaitu menghapus hukum yang sebelumnya
secara keseluruhan. Contohnya, ketentuan iddah empat
bulan sepuluh hari pada QS. Al Baqarah: 234 di naskh
oleh ketentuan iddah satu tahun pada ayat 240 dalam
surat yang sama.
4) Naskh juziy, yaitu menghapus hukum umum yang
berlaku bagi semua individu dengan hukum yang hanya
berlaku bagi sebagian individu, atau menghapus hukum
yang bersfat mutlaq dengan hukum yang muqoyyad.
Contohnya, hukum dera 80 kali bagi orang yang
menuduh seorang wanita tanpa adanya saksi pada
surat An Nur ayat 4, dihapus oleh ketentuan lian, yaitu
bersumpah empat kali dengan nama Allah jika si
penuduh suami yang tertuduh, pada ayat 6 dalam surat
yang sama.
Dilihat dari segi bacaan dan hukumnya, mayoritas ulama
membagi naskh tiga macam:
1) Penghapusan terhadap hukum (hukm) dan bacaan
(tilawah) sekaligus, yaitu bacaan dan tulisan ayatnya
pun tidak ada lagi termasuk hukum ajarannya telah
terhapus dan diganti dengan hukum yang baru. Ayat-
ayat yang terbilang kategori ini tidak dibenarkan dibaca
dan diamalkan. Misalnya, penghapusan ayat tentang
keharaman kawin dengan saudara satu susuan karena
sama-sama menyusu kepada seorang ibu dengan 10
kali susuan dengan 5 kali susuan saja.
2) Penghapusan terhadap hukumnya saja, sedang
bacaannya tetap ada. Yaitu tulisan dan bacaannya
tetap ada dan boleh dibaca, sedangkan isi hukumnya
sudah dihapus atau tidak boleh diamalkan. Misalnya,
pada surat Al Baqarah ayat 240 tentang istri-istri yang
dicerai suaminya harus beriddah 1 tahun dan masih
berhak mendapat nafkah dan tempat tinggal selama
iddah. Kemudian dihapus ayat 234 surat Al Baqarah,
sehingga keharusan iddah 1 tahun tidak berlaku lagi.
3) Penghapusan terhadap bacaanya saja, sedangkan
hukumnya tetap berlaku. Sebagaimaa hadits Umar bin
Khattab dan Ubay bin Kaab:
Orang tua laki-laki dan perempuan yang berzina,
maka rajamlah keduanya itu dengan pasti sebagai
siksaan dari Allah.....

2.7 Pendapat tentang Naskh


Dalam masalah naskh, para ulama terbagi atas emapat
golongan:
1) Orang Yahudi. Mereka tidak mengakui adanya naskh,
karena menurutnya naskh mengandung konsep al bada,
yakni nampak jelas setelah kabur (tidak jelas). Naskh itu
adakalanya tanpa hikmah, dan ini mustahil bagi Allah. Dan
adakalanya karena sesuatu hikmah yang sebelumnya tidak
nampak. Ini berarti terdapat suatu kejelasan yang didahului
oleh ketidakjelasan dan ini pun mustahil bagiNya.
2) Orang Syiah Rafidah. Mereka sangat berlebihan dalam
menetapkan naskh dan meluaskannya. Mereka
memandang konsep al bada sebagai suatu hal yang
mungkin terjadi bagi Allah. Dengan demikian, posisi
mereka sangat kontradiktif dengan orang Yahudi.
3) Abu Muslim al-Asfahani. Menurutnya, secara logika naskh
dapat saja terjadi, tetapi tidak mungkin terjadi menurut
syara. Dikatakan pula bahwa ia menolak sepenuhnya
terjadi naskh dalam Al Quran, dengan pengertian bahwa
hukum-hukum Quran tidak akan dibatalkan untuk selama-
lamanya. Dan mengenai ayat-ayat tentang naskh
semuanya ia takhsiskan.
4) Jumhur ulama. Mereka berpendapat, naskh adalah suatu
hal yang dapat diterima akal dan telah pula terjadi dalam
hukum-hukum syara, berdasarkan dalil-dalil:
a. Perbuatan Allah tidak bergantung pada alasan dan
tujuan. Dia boleh saja memerintahkan sesuatu pada
suatu waktu dan melarangnya pada waktu yang lain.
Karena hanya Dialah yang lebih mengetahui
kepentingan hamba-hambaNya.
b. Nash-nash Kitab dan Sunnah menunjukkan kebolehan
naskh dan terjadinya, antara lain:
QS. An Nahl: 101

Apa saja yang Kami nasakhkan, atau Kami jadikan
(manusia) lupa kepadanya, Kami datangkan yang
lebih baik atau yang sebanding dengannya.
Dalam sebuah hadis Shahih, dari Ibn Abbas ra., Umar
ra berkata: yang paling paham dan paling
menguasai Quran diantara kami adalah Ubai. Namun
demikian kami pun meninggalkan sebagian
perkataanya, karena ia mengatakan: aku tidak akan
meninggalkan sedikitpun segala apa yang pernah
aku dengar dari Rasulullah saw. Padahal Allah telah
berfirman: apa saja yang Kami nasakhkan, atau Kami
jadikan (manusia) lupa kepadanya.... .4
2.8 Hikmah Keberadaan Naskh
1) Memelihara kepentingan hamba.
2) Pengembangan pensyariatan hukum sampai kepada
tingkat kesempurnaan seiring dengan perkembangan
dakwah dan kondidsi umat manusia.
3) Cobaan dan ujian bagi orang mukallaf untuk mengikutinya
atau tidak.

4 Opcit. Hal: 328-332


4) Merupakan kebaikan dan kemudahan bagi umat. Sebab
jika naskh ituu beralih ke hal yang lebih berat maka
didalamnya terdapat tambahan pahala. Dan jika beralih ke
hal yang lebih ringan maka ia mengandung kemudahan
dan keringanan.5
2.9 Contoh-contoh Naskh
As suyuti menyebutkan dalam al Itqan sebanyak 21 ayat
yang dipandang terdapat naskh, diantaranya:
a. Firman Allah:

Dan kepunyaan Allahlah Timur dan Barat, maka


kemanapun kamu menghadap di situlah wajah Allah (QS.
Al Baqarah: 115)

Dinasakh oleh:

maka palingkanlah mukamu ke arah Masjidil Haram.(Al


Baqarah: 144)

b. Firman Allah:

Diwajibkan atas kamu apabila seorang diantara kamu


kedatangan (tanda-tanda) maut, jika ia menunggalkan
harta yang banyak, berwasiat untuk bapak ibu dan karib
kerabatnya.....(QS. Al Baqarah: 180)

Dikatakan, ayat ini mansukh oleh ayat tentang


kewarisan dan oleh hadis ke: Sesungguhnya Allah telah

5 Ibid. Hal: 337


memberikan pada setiap orang yang mempunyai hak akan
haknya, maka tidak ada wasiat bagi ahli waris.

c. Firman Allah:

Dan wajib bagi mereka yang kuat menjalankan puasa (jika


mereka tidak berpuasa) membayar fidyah......(Al
Baqarah:184)

Ayat ini dinaskh oleh:

Maka barang siapa yang menyaksikan bulan ramadhan,


hendaklah ia berpuasa....(Al Baqarah:185)

3 Naskh dengan Pengganti dan Tanpa Pengganti

Nasakh itu adakalanya disertai dengan badal (pengganti)


dan ada pula yang tanpa badal. Nasakh dengan badal
terkadang badalnya itu lebih ringan, sebanding dan
terkadang pula lebih berat.

1) Nasakh tanpa badal. Misalnya penghapusan keharusan


bersedekah sebelum menghadap Rasulullah sebagaimana
diperintahkan dalam firman Allah surah al-Mujadilah ayat
12. Ketentuan ini dinasakh dengan firman-Nya surat al-
Mujadilah ayat 13.
2) Nasakh dengan badal yang lebih ringan. Misalnya surah al-
Baqarah ayat 187. Ayat ini menasakh ayat 183 surah al-
Baqarah. Karena maksud ayat 183 ini adalah agar puasa
kita sesuai dengan ketentuan puasa orang-orang
terdahulu; yaitu diharamkan makan, minum dan becampur
dengan istri apabila mereka mengerjakan shalat petang
atau telah tidur, sampai dengan malam berikutnya,
sebagaimana disebutkan oleh para ahli.
3) Nasakh dengan badal yang sepadan. Misalnya
penghapusan kiblat shalat menghadap ke Baitul Maqdis
dengan menghadap ke Ka'bah. Sebagaimana disebutkan
dalam surah al-Baqarah ayat 144.
4) Nasakh dengan badal yang lebih berat. Seperti
penghapusan hukuman penahanan di rumah (terhadap
wanita yang berzina) dalam ayat 15 surah an-Nisa' dengan
hukuman cambuk dalam surah an-Nuur ayat 2.
BAB III

PENUTUP

3.1 KESIMPULAN

3.2 SARAN
DAFTAR PUSTAKA

Al-Qattan, Manna Khalil.1973.Studi Ilmu-Ilmu


Quran.Jakarta:Litera Antar Nusa
Anwar, Rosihan.2013.Ulum Al-Quran Bandung:CV Pustaka Setia
Hamzah, Mukhotob.2003.Studi Al-Quran Komprehensif.
Yogyakarta: Gama Media
Hermawan, Acep.2011.Ulumul Quran. Bandung: PT Remaja
Rosdakarya Offset
Suparta, Munzier. 2003. Ilmu Hadis. Jakarta: PT Raja Grafindo
Persada
Zaid, Nasr Hamid Abu.2005. Tekstualitas Al Quran. Yogyakarta:
PT LkiS Pelangi Aksara

Anda mungkin juga menyukai