Kata naasikh berasal dari kata naskh yang secara etimologi mengandung beberapa arti
, yaitu menghapus dan menghilangkan ( al-izaalat) , mengganti dan menukar ( at-
tabdiil), memalingkan (at-tahwiil) , dan menukilkan dan memindahkan (an-naql). Jadi
naasikh adalah sesuatu yang menghapus, mengganti dan membatalkan atau yang tidak
memberlakukan . adapun mansuukh adalah sesuatu yang dihapus , diganti dan
dibatalkan atau yang tidak diberlakukan.[1].
Sedangkan secara terminologi arti nasikh dan mansukh adalah membatalkan
pelaksanaan hukum syara dengan dalil yang datang kemudian, yang menunjukkan
penghapusannya secara jelas atau implisit (dhimni). Baik penghapusan itu secara
keseluruhan atau sebagian, menurut kepentingan yang ada. Atau melahirkan dalil
yang datang kemudian yang secara implisit menghapus pelaksanaan dalil yang lebih
dulu [2]. Pengertian naskh secara terminlogi digolongkan ke dalam dua golongan
yaitu :
1. Menurut ulama Mutakadimin (abad ke 1 hingga abad ke 3 H) arti nasikh dan
mansukh dari segi terminologi mencakup :
a. pembatalan hukum yang ditetapkan kemudian
b. pengecualian hukum yang bersifat umum oleh hukum yang bersifat khusus yang
datang kemudian
c. penjelasan yang datang kemudian terhadap hukum yang belum jelas(samar), dan
penetapan syarat terhadap hukum yang terdahulu yang belum bersyarat.[3]
Di samping itu ada pula yang berpendapat bahwa istilah tersebut berarti pembatalan
ketetapan hukum yang ditetapkan pada suatu kondisi tertentu oleh ketetapan lain yang
berbeda akibat munculnya kondisi lain. Misalnya, perintah agar kaum muslimin pada
periode Mekkah bersabar karena kondisi mereka lemah telah di naskh oleh adanya
perintah berperang pada periode Madinah karena kondisi mereka sudah kuat. Bahkan
ketetapan hukum Islam yang membatalkan hukum yang berlaku pada masa sebelum
Islam termasuk dalam pengertian naskh.[4]
2. Menurut ulama Muta`akhirin ( setelah abad 3 H) mempersempit pengertian yang
luas itu. Menurut mereka, naskh adalah ketentuan hukum yang datang kemudian
untuk membatalkan masa berlakunya hukum terdahulu. Artinya , ketetapan hukum
[
[
[
[
yang terdahulu tidak berlaku lagi dengan adanya ketetapan hukum yang baru.[5]
B. Macam-macam Naskh
1. Al-Qur`an dengan al-Qur`an
Bagian ini disepakati kebolehannya dan telah terjadi dalam pandangan mereka yang
mengatakan adanya naskh . misalnya ayat tentang idah empat bulan sepuluh hari.
Allah SWT berfirman
Artinya : ” Dan orang –orang yang akan meninggal dunia di antaramu dan
meninggalkan istri ,hendaklah berwasiat untuk istri-istrinya , (yaitu ) diberi nafkah
hingga setahun lamanya dengan tidak disuruh pindah (dari rumahnya). Akan tetapi
jika mereka pindah (sendiri) , maka tidak ada dosa bagimu (wali atau waris dari yang
meninggal) membiarkan mereka berbuat yang ma`ruf terhadap diri mereka . Dan
Allah Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana”. (QS.al-Baqarah/2: 240)
Artinya : ” Orang orang yang meninggal dunia di antaramu dengan meninggalkan istri
istri (hendaklah para istri itu) menangguhkan dirinya (beridah) empat bulan sepuluh
hari. Kemudian apabila telah habis masa idahnya, maka tiada dosa bagimu (para wali)
membiarkan mereka berbuat terhadap diri mereka menurut yang patut. Allah
mengetahui apa yang kamu perbuat ”. (QS.al-Baqarah/2:234).
Ada yang berpendapat bahwa ayat pertama muhkam, sebab ia berkaitan dengan
pemberian wasiat bagi istri jika istri itu tidak keluar dari rumah suami dan tidak kawin
lagi. Sedangkan ayat ke dua berkenaan dengan masalah idah. Dengan demikian maka
tidak ada pertentangan antara kedua ayat itu. [6]
[
[
dzanni , bersifat dugaan , disamping tidak sah pula menghapuskan sesuatu yang
ma`lum (jelas diketahui) dengan yang madznun (diduga)
b. Naskh al-Qur`an dengan Hadits Mutawatir
Naskh demikian dibolehkan oleh Imam Malik, Abu Hanifah dan Ahmad dalam satu
riwayat, sebab masing masing keduanya adalah wahyu dan naskh itu sendiri
merupakan salah satu penjelasan. [7] Allah berfirman
Artinya : “ Dan tiadalah yang diucapkannya itu menurut kemauan hawa nafsunya.
Ucapannya itu tiada lain hanyalah wahyu yang diwahyukan (kepadanya)” (QS. An-
Najm/53: 3-4)
Artinya : “ Keterangan –keterangan (mu`jizat) dan kitab kitab. Dan kami turunkan
kepadamu al-Qur`an agar kamu menerangkan kepada umat manusia apa yang telah
diturunkan kepada mereka dan supaya mereka memikirkan (QS.an-Nahl/16:44)
[
[
Bentuk a,b dan c diperbolehkan sedangkan bentuk d terjadi silang pendapat seperti
halnya naskh al-qur`an dengan hadits ahad , yang tidak diperbolehkan oleh jumhur
ulama .
2. Naskh dimni , yaitu bila ada ketentuan hukum ayat yang terdahulu tidak bisa
dikompromikan dengan ketentuan hukum ayat yang datang kemudian dan ia
menasakh ayat yang terdahulu . Misalnya, ayat tentang kewajiban wasiat kepada ahli
waris yang dianggap mansukh oleh ayat waris.
3. Naskh Kulli , yaitu menasakh hukum ynag datang sebelumnya secara keseluruhan .
Misalnya ketentuan hukum Idah satu tahun bagi wanita yang ditinggal mati oleh
suaminya yang di-naskh dengan idah 4 bulan 10 hari
Artinya : ” Orang orang yang meninggal dunia di antaramu dengan meninggalkan istri
istri (hendaklah para istri itu) menangguhkan dirinya (beridah) empat bulan sepuluh
hari. Kemudian apabila telah habis masa idahnya, maka tiada dosa bagimu (para wali)
membiarkan mereka berbuat terhadap diri mereka menurut yang patut. Allah
[
mengetahui apa yang kamu perbuat ”. (QS.al-Baqarah/2:234).
4. Naskh Juz`i yaitu menaskh hukum yang mencakup seluruh individu dengan hukum
yang mencakup sebagian individu , atau menasakh hukum yang bersifat mutlak
dengan hukum yang bersifat mubayyad (terbatas) . Misalnya
Artinya : ” Dan orang orang menuduh wanita wanita yang baik baik (berbuat zina)
dan mereka tidak mendatangkan empat orang saksi , maka deralah mereka (orang
yang menuduh itu) delapan puluh kali dera. Dan janaganlah kamu terima kesaksian
mereka buat selama lamanya. Dan mereka itulah orang orang fasiq (4). Kecuali orang
–orang yang bertaubat sesudah itu , dan memperbaiki (dirinya) maka sesungguhnya
Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang. Dan orang orang yang menuduh
istrinya(berzina), padahal mereka tidak ada mempunyai saksi saksi selain diri mereka
sendiri , maka persaksian orang itu adalah empat kali bersumpah dengan nama Allah,
Sesungguhnya dia adalah termasuk orang orang yang benar”. (QS. An-Nur /24: 4-6)
QS. An-Nur /24: 4 di atas menyatakan bahwa orang yang menuduh seorang wanita
berzina tanpa menghadirkan 4 orang saksi hukumnya didera 80 kali. Ayat 4 dari surat
an-Nur di atas di-naskh oleh ayat 6 ayat yang menjelaskan bahwa jika menuduh itu
suminya sendiri, maka hukumnya tidak didera tetapi dilakukan saling sumpah antara
keduanya
Naskh al-Qur`an dari segi tilawah dan hukumnya terbagi menjadi 3 macam :
1. Naskh Tilawah dan Hukum
Naskh terhadap tilawah dan hukum: Misalnya apa yang diriwayatkan oleh Muslim
dan yang lainnya dari Aisyah, ia berkata :
: َك اَن ِفْيَم ا ُاْنِز َل َع َش ُر َرَضَع اٍت َم ْع ُلْو َم اٍت ُيَح ِرْم َن َفُنِس ْخ َن ِبَخ ْم ٍس َم ْع ُلْو َم اٍت ُفُتُوِفَّي َر ُسْو ُل ِهَّللا َص َّلى ُهَّللا َع َلْيِه َو َس َّلَم
] [َو ُهَّن ِمَّم ا ُيْقَر ُأ ِم َن اْلُقْر آِن
” Di antara yang diturunkan kepada beliau adalah ’sepuluh susuan (hisapan) yang
maklum itu menyebabkan mukhrim’, kemudian (ketentuan ) ini dinaskh oleh Lima
susuan yang maklum’, maka ketika Rasulullah wafat ’lima susuan’ ini termasuk ayat
al-qur`an yang dibaca (matlu).”
Kata kata Aisyah ” lima susuan ini termasuk ayat al-qur`an yang dibaca ”, pada
lahirnya menun jukkan bahwa tilawahnya masih tetap. Tetapi tidak demikian halnya,
karena tidak terdapat dalam mushaf usmani. Kesimpulan demikian dijawab, bahwa
yang dimaksud dengan perkataan Aisyah tersebut ialah ketika belian menjelang wafat.
. [10]
َو ُهَّللا َع ِزْيٌز َحِكْيٌم. َالَّش ْيُخ َو الَّش ْيَخ ُة ِاَذ ا َزَنَيا َفْر ُج ُم ْو ُهَم ا َاْلَبَّتَة َبَك ااَل ِم َن ِهَّللا
Artinya: “ Orang tua laki laki dan perempuan apabila keduanya berzina , maka
rajamlah keduanya itu dengan pasti sebagai siksaan dari Allah . Dan Allah Maha
Perkasa lagi Maha Bijaksana “.
[
[
lainnya berpendapat bahwa ayat ayat yang dikatakan tampak bertentangan bisa
dikomoromikan dan dengan demikian tidak ada naskh dalam al-qur`an.[12]
MURADIF
Muradif ialah lafalnya banyak sedang artinya sama, sedangkan Musytarak ialah suatu
lafal yang memmpunyai dua arti yang sebenarnya dan arti-arti tersebut berbeda-beda
Meletakkan lafal muradif di tempat lafal lainnya, diperbolehkan apabila tidak ada
halangan dari syara. Pendapat lain mengatakan bahwa diperbolehkan asal masih satu
bahasa. Tentang lafal Qur’an tidak ada perbedaan pendapat lagi bahwa kita harus
membaca lafal-lafal itu sendiri.
Kata Hakiki dari asal kata hakikat yang ditambah ya’ nisbat berarti lafad yang
digunakan dalam makna yang sebenarnya sesuai dengan yang ditunjukkan harfiahnya.
[1] Sedangkan apabila disambung dengan kata ‘makna’ menjadi satu kesatuan, makna
hakiki berarti makna (arti) yang dimaksud adalah makna yang sebenarnya sesuai
dengan harfiahnya. Contoh, perkataan seseorang “singa itu makan”. Singa di sini
yaitu (hewan) singa, bukan yang lain. Berbeda apabila singa yang dimaksud itu adalah
[
seorang pemberani, maka yang demikian itu sudah bukan makna hakiki lagi
melainkan makna majazi.
b) Makna Majazi
Kata majaz berarti lafad yang digunakan dalam makna yang bukan seharusnya karena
adanya hubungan (‘alaqah) disertai karinah (hal yang menunjukkan dan menyebabkan
bahwa lafad tertentu menghendaki pemaknaan yang tidak sebenarnya) yang
menghalangi pemakaian makna hakiki. Seperti contoh, “singa itu berpidato” dengan
maksud “si pemberani (yang seperti singa) itu berpidato. Hubungan yang dimaksud
terkadang karena adanya keserupaan dan ada pula karena faktor yang lain. Sedangkan
karinah ada kalanya lafdiyah (karinah itu terdapat dalam teks, tertulis) dan ada pula
haliyah (karinahnya tidak tertulis, berdasarkan pemahaman saja).[2]
Majaz terbagi menjadi empat. Atara lain, majaz Mufrad Mursal, Mufrad Isti’arah,
Murakkab Mursal dan Murakkab Isti’arah.
Majaz mursal adalah kata yang digunakan bukan dalam maknanya yang asli karena
ada hubungan (makna asli dan makna majazi) selain keserupaan serta ada karinah
yang menghalangi pemahaman dengan makna asli. Hubungan dalam majaz mursal ini
ada kalanya al-sababiyah, al-musabbabiyah, al-kulliyah, al-juz’iyah, i’tibaru ma kana,
i’tibaru ma yakunu, al-mahally, al-haliyah dan seterusnya.[3]
Kata ayyad dalam ungkapan ini bermakna majaz yaitu kenikmatan-kenikmatan yang
banyak, bukan makna tangan secara hakiki. Hubungan yang seperti ini adalah
hubungan ‘sebab’. Ketahuilah bahwa tangan (makna hakiki) adalah alat untuk
menyampaikan beberapa kenikmatan. Jadi, tangan itu merupakan sebab bagi
kenikmatan tersebut.
Jika dimaknai secara hakiki, maka sesuai dengan lafadnya, yang diturunkan dari
langit oleh Allah adalah rezeki, padahal pada kenyataannya bukanlah rezeki
melainkan air hujan yang kemudian karenanya tumbuh-tumbuhan menjadi hidup dan
menjadi sumber rezeki bagi segenap makhluk. Maka rezeki adalah musabbab atau
akibat dari turunnya hujan. Dengan demikian, hubungannya adalah al-musabbabiyah.
)7 :(نوح.… َو ِإِّني ُك َّلَم ا َدَعْو ُتُهْم ِلَتْغ ِفَر َلُهْم َجَع ُلوا َأَص اِبَع ُهْم ِفي آَذ اِنِهْم
“Dan sesungguhnya setiap kali aku menyeru mereka (kepada iman) agar Engkau
mengampuni mereka, mereka memasukkan anak jari mereka ke dalam telinganya…..”
Pada contoh ini, diyakini bahwa seseorang tidak mungkin dapat meletakkan seluruh
jarinya di telinganya. Jadi, sekalipun yang disebutkan dalam ayat tersebut adalah
seluruh jari, namun yang dimaksudkan adalah ujung salah satu jarinya. Penggunaan
kata-kata tersebut adalah majaz, dan hubungannya adalah kulliyah.
Kata al-‘uyun dalam contoh ini maksudnya adalah mata-mata (makna majaz).
Hubungannya adalah bahwa mata-mata adalah hanya suatu bagian, namun yang
dimaksud adalah keseluruhan dari orang yang ditugaskan untuk memata-matai itu.
Oleh karena itu, dapat dikatakan bahwa hubungannya adalah juz’iyah.
Adapun contoh hubungan i’tibaru ma kana antara makna hakiki dan majazi suatu
lafad yaitu firman Allah yang berbunyi,
Sebagaimana dipahami bersama bahwa anak yatim menurut bahasa adalah anak kecil
yang ayahnya meninggal. Dengan begitu, apakah harta peninggalan ayahnya akan
dipasrahkan kepada anak yatim yang masih kecil (sesuai dengan lafad ayat)? Tentu
tidak, akan tetapi, yang benar adalah Allah memerintahkan untuk memberikan harta
itu kepada anak yatim yang telah mencapai usia dewasa. Jadi, penggunaan kata
yatama pada ayat di atas adalah majaz karena maksud yang sebenarnya adalah orang-
orang yang justru telah meninggalkan usia yatimnya. Hubungan antara kedua makna
ini adalah i’tibar ma kana (mempertimbangkan apa yang telah berlalu).
)27 :ِإَّنَك ِإْن َتَذ ْر ُهْم ُيِض ُّلوا ِعَباَدَك َو ال َيِلُد وا ِإال َفاِج ًرا َك َّفاًرا (نوح
“sesungguhnya jika Engkau biarkan mereka tinggal, niscaya mereka akan
menyesatkan hamba-hambaMu dan mereka tidak akan melahirkan selain anak yang
berbuat maksiat lagi sangat kafir. (QS. Nuh: 27).”
Kata Fajiran Kaffaran dalam ayat ini adalah majaz karena anak yang baru dilahirkan
itu tidak bisa melakukan maksiat dan tidak dapat berbuat kekufuran, tetapi mungkin
akan melakukan yang demikian setelah masa kanak-kanak. Jadi yang diucapkan
adalah anak yang maksiat, namun yang dimaksud adalah orang dewasa yang maksiat.
Hubungannya adalah i’tibar ma yakunu (mempertimbangkan sesuatu yang akan
terjadi).
Makna kata nadi yang lumrah dipakai adalah tempat berkumpul. Akan tetapi yang
dimaksud dengannya adalah orang-orang yang ada di tempat yang sama, siapapun dia,
keluarga, pembantunya, teman dan yang lain. Jadi, kata nadi dalam ayat ini adalah
majaz, yaitu menyebutkan tempat, namun yang dimaksud adalah orang yang
menempatinya. Hubungannya adalah al-mahally.
Kenikmatan itu tidak dapat ditempati oleh manusia karena kenikmatan itu sesuatu
yang bersifat abstrak, yang bisa ditempati adalah tempat kenikmatan itu. Maka
penggunaan kata kenikmatan untuk menyatakan suatu tempat adalah majaz, yaitu
menyebutkan suatu hal yang menempati suatu tempat, namun yang dimaksudkan
adalah tempatnya itu. Jadi, hubungannya adalah al-haliyah.[4]
Berbeda dengan majaz mursal, majaz isti’arah adalah jenis majaz yang ‘alaqahnya
(hubungan antara makna hakiki dan majazi) karena danya kesrupaan. Isti’arah juga
diistilahkan dengan tasybih yang salah satu tharafnya (musyabah {musta’ar lah} atau
musyabah bih {musta’ar minhu}) dibuang.[5]
2) Berdasarkan lafad yang dijadikan isti’arah, maka majaz ini dibagi menjadi dua,
isti’arah ashliyah apabila musta’ar (lafad yang dijadikan isti’arah) berupa isim jamid
(bukan kata kerja atau yang musytaq darinya) dan isti’arah taba’iyah apabila musta’ar
berupa fi’il atau isim yang musytaq.
Sedangkan untuk majaz murakkab, baik itu murakkab mursal maupun murakkab
isti’arah itu pengertiannya sama dengan masing-masing majaz mufrad-nya hanya saja
dalam majaz murakkab bentuk majaznya tidak cuma satu melainkan banyak (terdapat
dalam satu kalimat).[7]
1. Pengertian
Sharih adalah lafadz yang tidak memerlukan penjelasan / terbuka.contoh : Kamu saya
cerai
Kinayah adalah lafadz yang memerlukan penjelasan / tertutup. contoh : Seorang
suami berkata kepada istrnya "kamu pulang saja kr rumah orang tuamu".