Disusun oleh:
Fathimatuzzahroh (2108304025)
A. Pengertian
Nasikh secara etimologi memiliki arti menghilangkan, menghapuskan, memindahkan,
dan menulis.
Sedangkan nasikh secara terminologi memiliki banyak definisi yang dipaparkan oleh para
ulama, baik dari salafush shalih mutaqoddimin maupun para ulama ushul fiqh
mutaakhirin. Beberapa diantaranya adalah sebagai berikut:
Al-Baidhowi Rahimahullah (wafat 685 H) mendefinisikan dengan, “Nasikh
adalah penjelasan berhentinya hukum syariat dengan jalan syari yang datang
setelahnya.”
Ibnu Qudamah Rahimahullah (wafat 620 H) berkata, “Naskh adalah
menghilangkan hukum yang ada dengan perkataan (dalil) yang dahulu, dengan
perkataan yang datang setelahnya."
Untuk mansukh sendiri memiliki pengertian yang dihapuskan, yaitu dalil syari atau
lafaznya yang dihapuskan.
B. Syarat-syarat Nasakh
Adapun syarat-syarat dalam nasakh yang harus diketahui adalah sebagai berikut:
Hukum yang mansukh adalah hukum syara'.
Dalil penghapusan hukum tersebut adalah khitab syar'i.
Khitab yang dihapus atau diangkat hukumnya tidak terikat (dibatasi) oleh waktu
tertentu.
C. Jenis-jenis Nasakh
Nasakh al-Quran dengan al-Quran. Sebagai contoh ayat tentang iddah empat
bulan sepuluh hari.
Nasakh al-Quran dengan as-Sunnah
a) Nasakh al-Quran dengan hadits ahad. Namun, Jumhur al-Ulamii sepakat
bahwa ini tidak berlaku sebab al-Quran adalah mutawatir.
b) Nasakh al-Quran dengan hadits mutawatir. Nasakh jenis ini diperbolehkan
oleh Imam Malik, Imam Abu Hanifah, dan Imam Ahmad.
Nasakh as-Sunnah dengan al-Quran. Jumhur memperbolehkan nasakh ini
sebagaimana dalam kasus Bayt al-Maqdis yang ditetapkan dengan as-Sunnah dan
di dalam al-Quran tidak terdapat dalil yang menunjukkannya. Ketetapan itu
kemudian di nasakh oleh al-Quran dengan firman Allah yang artinya:
Namun, Imam Syafi’i menolak nasakh ini di dalam salah satu riwayatnya. Ia
berpendapat bahwa al-Quran dan as-Sunnah harus senantiasa sejalan dan tidak
saling bertentangan. Apa saja yang ditetapkan oleh as-Sunnah pasti didukung oleh
al-Quran begitupun sebaliknya.
Ayat itu dinasakh oleh ayat kedua di dalam surat an-Nur, yang artinya:
“Perempuan yang berzina dan laki-laki yang berzina maka cambuklah
setiap orang dari mereka 100 kali cambukan…” (QS. an-Nur: 2)
“Dihalalkan bagi kamu pada malam hari bulan puasa bercampur dengan
isteri-isteri kamu; mereka adalah pakaian bagimu, dan kamupun adalah
pakaian bagi mereka.” (QS. Al-Baqarah: 187)
F. Hikmah Nasakh
Hikmah-hikmah yang terdapat pada nasakh antara lain sebagai berikit:
Mengukuhkan keberadaan Allah, bahwa Allah takkan pernah terikat dengan
ketentuan-ketentuan yang sesuai dengan logika manusia.
Dengan nasakh dan mansukh ini diharapkan pula kita akan mempunyai prediksi
dan pengertian bahwa Allah itu memang adalah zat yang Maha Bijak, Maha
Kasih, Maha Sayang, bahkan al-Ham al-Rahimin, yaitu lebih kasih dari pada yang
berhati kasih dan lebih sayang dari pada siapa saja yang berhati sayang.
Mengapa? Sebab adanya nasakh mansukh ini sejatinya adalah untuk
kemaslahatan dan kebaikan kita.
Perkembangan tashri’ menuju tingkat sempurna sesuai dengan perkembangan
dakwah dan kondisi umat Islam.
Cobaan dan ujian bagi seorang mukallaf untuk mengikutinya atau tidak.
Menghendaki kebaikan dan kemudahan bagi umat. Sebab jika suatu hukum
dinasakhkan menjadi lebih berat maka terdapat pahala yang besar di dalamnya
dan jika diringankan maka ia mengandung kemudahan dan keringanan.