Anda di halaman 1dari 13

Nama : Alvina Nurmala

NIM : 2022080001
Prodi : Ilmu Al-Qur’an dan Tafsir
Jawaban Ushul Fiqh
1. A.
M. Quraish Shihab menulis pendapat Muhammad Arkoum dalam bukunya
“Membumikan Al-Quran” mengatakan: “Kitab suci Al-Qur’an itu mengandung kemungkinan
makna yang tak terbatas, ia menghadirkan berbagai pemikiran dan penjelasan pada tingkat
dasariah, eksistensi yang absolut. Selalu terbuka, tak pernah tetap dan tertutup hanya satu
penafsiran makna”. Pendapat ini sejalan dengan apa yang dikemukakan Abdullah Darras:
“Apabila anda membaca Al-Qur’an, maknanya akan jelas di hadapan anda. Tetapi bila anda
membaca sekali lagi, maka anda akan menemukan pula makna-makna lain yang berbeda
dengan makna terdahulu”. Demikian seterusnya, sampai-sampai anda dapat menemukan
kalimat atau kata yang mempunyai arti bermacam-macam.
Semuanya benar atau mungkin benar (ayat-ayat Al-Qur’an) bagaikan intan, setiap
sudutnya memancarkan cahaya yang berbeda dengan apa yang terpancar dari sudut-sudut
lain. Dan tidak mustahil, jika anda mempersilahkan orang lain memandangnya, maka dia
akan melihat lebih banyak dari apa yang anda lihat. Begitupula dengan pemikiran Masdar F.
Mas’udi yang mengatakan bahwa dengan hanya berpijak pada teks formal, konsep qath’i dan
zanni hanya akan menghasilkan kekakuan dan tidak bisa menghadapi persoalan-persoalan
dunia modern.
Dalam perkembangan pemikiran hukum Islam seringkali ditemukan bertentangan
dengan apa yang tertuang dalam kitab-kitab fikih sebagai literatur hukum baku yang ada. Ada
beberapa masalah yang telah dituangkan dalam hukum keluarga misalnya, di dunia Islam
semuanya tidak tercantum atau bahkan bertentangan dengan kitab-kitab fikih, yaitu:
a. Masalah pembatasan umur minimal kawin dan perbedaan umur pasangan antara
laki-laki dan perempuan yang akan melangsungkan pernikahan.
Semua negeri Islam sekarang ini telah memberlakukan batas minimal umur kawin. Di
Indonesia menurut UU No. 16/2019 batas minimal itu adalah 19 tahun untuk lakilaki dan
perempuan, di Algeria 21 dan 18 tahun, di Banglades 21 dan 18 tahu, di Mesir 18 dan 16
tahun, di Libanon 18 dan 17 tahun, di Irak samasama 18 tahun, di Yordania 16 dan 15 tahun,
di Libiya 18 dan 16 tahun, di Malaysia 18 dan 16 tahun, di Maroko 18 dan 15 tahun, di
Yaman Utara samasama 15 tahun, di Pakistan 18 dan 16 tahun, di Somalia sama-sama 18
tahun, di Yaman Selatan 18 dan 16 tahun, di Syria 18 dan 17 tahun, di Tunisia 19 dan 17
tahun, dan di Turki 17 dan 15 tahun. Semua batas Umur ini tentu saja tidak sesuai dengan
kitab-kitab fikih, apalagi bagi wanita yang menurut contoh Aisyah umur 9 tahun pun boleh
dikawinkan.
b. Masalah Poligami. Hampir seluruh dunia Islam sekarang sedang bergerak ke arah
mempersempit terjadinya poligami, Indonesia melakukan hal itu sejak tahun 1974, Pakistan
sejak tahun 1961 dan Syria sejak tahun 1953.
Bahkan di Turki sejak 1926 poligami resmi di larang.Di Tunisia seperti di Turki,
Poligami juga dilarang dengan UU tahun 1956, bahkan bagi yang melanggar dikenakan
hukuman kurungan selama setahun dan denda sebesar 240 ribu Frank. Semua ini adalah
upaya reinterpretasi dan reaktualisasi hukum Islam yang mapan dalam kitab-kitab fikih
selama ini tentang poligami yang begitu mudah memberikan izin poligami dan karenanya
terkadang disalahgunakan sehingga menjadi sumber kesengsaraan sebagian wanita.
Berdasarkan uraian di atas dapat dipahami bahwa dalam penerapan konsep qath’i dan
zanni dalam masyarakat muslim sangat kondisional bedasarkan dengan kemaslahatan umat
yang ingin dicapai.
Konsep qath’i dan zanni merupakan hasil interpretasi para ulama tentang nas (Al-
Qur’an dan Hadis) atau hasil pemikiran para ulama. Sebagai hasil pemikiran, maka sifat dan
karakter pemikiran Islam ialah selalu berusaha menerjemahkan ajaran Islam sesuai dengan
tuntutan kemajuan. Oleh karena itu dapat ditegaskan, bahwa nas-nas Al-Qur’an dan Hadis
yang selama ini dianggap qath’i boleh jadi mengalami peninjauan ulang (reinterpretasi) untuk
memenuhi tuntutan masyarakat muslim yang selalu berubah dan berkembang sesuai
zamannya, terutama jika dikaitkan dengan kemaslahatan umat. Suatu ayat dapat menjadi
qath’iy dan zhanniy pada saat yang sama firman Allah yang berbunyi :
‫وامسحوا برءوسكم‬
“ Dan basuhlah kepalamu ”
Adalah qath’i al-dalalah menyangkut wajibnya membasuh kepala dalam berwudhlu.
tetapi ia zhanni al-dalalah dalam hal batas atau kadar kepala yang harus dibasuh. ke
qath’iyan dan ke zhanniyan tersebut disebabkan karena seluruh ulama’ ber-ijma’ (sepakat)
menyatakan kewajiban membasuh kepala dalam berwudhlu berdasarkan berbagai
argumentasi. namun mereka berbeda pendapat tentang arti dan kedudukan ba’ pada lafadz
biru’usikum. dengan demikian, kedudukan ayat tersebut menjadi qath’iy bi i’tibar wa
zhanniy bi i’tibar akhar (disuatu sisi qot’iy dan disisi lain zhanni). di suatu sisi ia menunjuk
kepada makna yang pasti dan disisi lain ia memberi berbagai alternatif makna.
Cara pengimplementasiannya ayat tersebut hingga zaman modern sekarang ada yang
masih dilaksanakan dan ada pula yang berbeda pendapat, maka dari itu ketika kita melihat
umat Islam lain yang tata cara wudhunya berbeda dengan cara yang biasa kita lakukan, bisa
jadi sebab mereka mengikuti mazhab berbeda. Karenanya, kebesaran jiwa kita untuk
menghargai perbedaan pendapat sangatlah diperlukan.
1. B.
Quru' menurut Imam Syafii adalah Suci. Adapun yang mendasari pengertian Quru'
menurut Imam Syafi'i adalah sebagai berikut:
a. Al-Qur'an yang di perjelas dengan Hadits
b. Bahasa lisan (ucapan orang arab dan bahas mereka). Dalil Al-Quran
َ‫ رُجْ ن‬RR‫ٰيٓاَيُّهَا النَّبِ ُّي اِ َذا طَلَّ ْقتُ ُم النِّ َس ۤا َء فَطَلِّقُوْ ه َُّن لِ ِع َّدتِ ِه َّن َواَحْ صُوا ْال ِع َّد ۚةَ َواتَّقُوا هّٰللا َ َربَّ ُك ۚ ْم اَل تُ ْخ ِرجُوْ ه َُّن ِم ۢ ْن بُيُوْ تِ ِه َّن َواَل يَ ْخ‬
َ ِ‫ث بَ ْع َد ٰذل‬
‫ك اَ ْمرًا‬ ُ ‫ك ُح ُدوْ ُد هّٰللا ِ ۗ َو َم ْن يَّتَ َع َّد ُح ُدوْ َد هّٰللا ِ فَقَ ْد ظَلَ َم نَ ْف َسهٗ ۗ اَل تَ ْد ِريْ لَ َع َّل هّٰللا َ يُحْ ِد‬
َ ‫آِاَّل اَ ْن يَّْأتِ ْينَ بِفَا ِح َش ٍة ُّمبَيِّنَ ۗ ٍة َوتِ ْل‬
Artinya Hai Nabi, apabila kamu menceraikan isteri-isterimu Maka hendaklah kamu
ceraikan mereka pada waktu mereka dapat (menghadapi) iddahnya (yang wajar) dan
hitunglah waktu iddah itu serta bertakwalah kepada Allah Tuhanmu. janganlah kamu
keluarkan mereka dari rumah mereka dan janganlah mereka (diizinkan) ke luar kecuali
mereka mengerjakan perbuatan keji yang terang. Itulah hukum-hukum Allah, maka
Sesungguhnya dia telah berbuat zalim terhadap dirinya sendiri. kamu tidak mengetahui
barangkali Allah mengadakan sesudah itu sesuatu hal yang baru.
Ayat diatas secara jelas menyatakan bahwa menalak istri itu adalah pada masa
'Iddahnya dengan arti langsung masuk kedalam perhitungan 'Iddah. Talak seperti ini
termasuk dalam talak sunni. Talak yang masuk ke dalam masa 'iddah dalam talak sunni
adalah bila dilakukan saat istri dalam keadaan yang belum dicampuri. Dengan demikian
perhitungan 'Iddah dengan tiga kali suci dan bukan tiga kali haid. Karena itu maka arti Quru'
berarti suci.
Dalil Hadits Imam Syafii berkata Malik meriwayatkan kepada kami dari Nafi' Ibnu
Umar bahwa dia (Ibnu Umar) menceraikan istrinya pada masa haid. Peristiwa ini terjadi
ketika Nabi masih hidup, lalu Umar menayakan hal tersebut kepada nabi ,dan nabi menjawab
Dari Nafi' Ibnu Umar ra. Rasulullah Saw. berkata : Perintahlah Ibnu Umar untuk rujuk
kepada istrinya, kemudian suruh dia istrinya selesai dari haid (suci), kemudian masuk haid,
masuk masa suci, setelah itu, dia boleh meneruskan ikatan rumah tangga atau menceraikan
sebelum pernah belum berhubungan badan dengan nya . itulah masa 'Iddah yang di tentukan
Allah bagi para suami yang ingin menceraikan istrinya.
Maksudnya hadits diatas ialah supaya perempuan itu di telak ketika ia suci jangan
ketika ia sedang membawa kotoran . Abu Bakar bin Abd Rahman menjelaskan , “Tidak
pernah kami dapati seorangpun dari fuqaha kami melainkan semuanya berkata bahwa Quru'
itu berma'na suci.” Jika seorang laki laki menceraikan istrinya di waktu perempuan itu suci
dan belum di campuri pada waktu suci nya itu, maka terhitunglah itu satu kali suci, walaupun
waktu sucinya itu hanya sesaat atau sekejap saja.
Kemudian datang suci yang kedua sesudah dia haid. Apabila ia melihat darah pada
haidnya yang ketiga, maka keluarlah dia dari masa 'Iddah.
‫فاذا طهرت فليطلق أو ليمسك‬
Artinya: Jika perempuan telah suci (selesai haid) maka suami boleh menceraikan atau
menahan. Dalil bahasa (lisan) jawaban Quru' adalah sesuatu kata yg memiliki makna tertentu,
telah diketahui haid adalah darah yang keluar dari rahim, sedangkan masa suci adalah
terhentinya darah. Dalam bahasa arab Quru' artinya berhenti.
‫ت يَت ََربَّصْ نَ بَِأنفُ ِس ِه َّن ثَ ٰلَثَةَ قُر ُٓو ٍء‬
ُ َ‫ۚ و ْٱل ُمطَلَّ ٰق‬
َ
Artinya: ......Wanita-wanita yang ditalak handaklah menahan diri (menunggu) tiga
kali Quru'. Ayat Al-Qur'an ini menunjukan bahwa rujuk bisa di lakukan bagi orang
menjatuhkan telak satu atau dua. Ini untuk perempuan yang ada dalam masa 'Iddah. Allah
menjadikan rujuk pada masa 'Iddah, seorang suami yang menjatuhkan satu atau dua tidak
bisa rujuk jika masa 'iddah itu habis. Dalam kondisi masa 'Iddah itu habis, maka perempuan
tersebut boleh menikah lagi selain dengan laki-laki yang menceraikan nya.
Kata bilangan untuk menunujukkan tiga Quru' dalam ayat tersebut menggunakan
jenis kelamin betina (muaanas) yaitu ‫لثتَث‬. Dalam ketentuan kaidah bahasa Arab, bila
bilangannya menggunakan jenis kelamin betina (muannas), maka yang dibilang‫ ٔدع ًذان‬harus
dalam bentuk jenis yang jantan (mudzakar). Berdasarkan ketentuan bahasa ini, maka Quru'
itu harus bentuk mudzakar. Diantara kata ”suci” dan haid itu dalam kaidah bahasa Arab, yang
mudzakkar adalah kata suci, berarti tiga Quru' itu tiga kali suci.
Imam Syafi'i menafsiri kata Quru' adalah masa suci. Dalam kitabnya "Al Muwattha"
Imam Malik meriwayatkan, dari Aisyah radhiallahu 'anha, bahwasanya Hafshah binti
Abdurrahman pindah (ke rumah suaminya) ketika ia menjalani haid yang ketiga kalinya.
Kemudian hal itu disampaikan kepada Umrah binti Abdurrahman, maka ia pun berkata,
“Urwah benar.” Namun hal itu ditentang oleh beberapa orang, di mana mereka mengatakan
"Sesungguhnya Allah Ta'ala telah berfirman dalam kitab-Nya, “Tiga kali quru'.” Lalu Aisyah
menuturkan, “Kalian memang benar, tetapi tahukah kalian apakah yang dimaksud dengan
Quru'? Quru' adalah masa suci.” Imam Malik meriwayatkan, dari Ibnu Syihab, aku pernah
mendengar Abu Bakar bin Abdur Rahman mengatakan, “Aku tidak mengetahui para fuqaha'
kita melainkan mereka mengatakan hal itu.”
Yang dimaksudkan dengan hal itu adalah ucapan Aisyah radhiallahu 'anha. Lebih
lanjut Imam Malik mengatakan, “Pendapat Ibnu Umar itulah yang menjadi pendapat kami.”
Hal yang sama juga diriwayatkan dari Ibnu Abbas, Zaid bin Tsabit, Salim, al-Qasim, Urwah,
Sulaiman bin Yasar, Abu Bakar bin Abdurrahman, Abban bin Utsman, Atha' bin Rabah,
Qatadah, az-Zuhri, dan beberapa fuqaha' lainnya.
Itu pula yang menjadi pendapat Imam Malik, Syafi'i, Dawud, Abu Tsaur, dan sebuah
riwayat dari Ahmad. Pendapat itu didasarkan pada firman Allah Ta'ala:
‫فَطَلِّقُوْ ه َُّن لِ ِع َّدتِ ِه َّن‬
Artinya: “....Maka hendaklah kalian menceraikan mereka pada waktu mereka
(menjalani) iddahnya (yang wajar)....”
Maksudnya, ceraikan mereka ketika mereka berada pada masa suci. Oleh karena masa
suci itu menjadi pertimbangan dalam pelaksanaan perceraian, maka yang demikian itu
menunjukkan bahwa masa suci itu merupakan salah satu dari quru' tersebut yang
diperintahkan untuk menunggu. Karenanya, mereka mengatakan, bahwa seorang wanita yang
menjalani masa iddahnya karena diceraikan suaminya itu dapat mengakhiri masa iddahnya
tersebut dan berpisah dari suaminya dengan berhentinya masa haid yang ketiga. Waktu
minimal seorang wanita mendapatkan nafkah selama menyelesaikan masa iddahnya itu
adalah 32 hari lebih beberapa saat.
Dalam Islam terdapat dua simpul konsep aturan: Pertama, aturan yang bersifat absolut
dan mutlak benar, universal, kekal, tidak berubah dan tidak boleh diubah seperti keesaan
Allah, rakaat shalat dan sebagainya. Kedua, aturan yang tidak bersifat absolut, tida universal,
tidak kekal, berubah dan dapat dirubah. Bagian kedua ini tercermin dalam perbedaan
pandangan dalam ulama madzhab, khususnya yang terkait dengan pembahasan ini adalah
madzhab Hanafi dan Madzhab Syafi'i.
Perbedaan pendapat yang terdapat dalam fiqih pada hakikatnya perbedaan yang tidak
esensi dalam Islam, perbedaan itu berangkat dari cara pandang dan pendekatan yang
dilakukan oleh mujtahid yang membedakan dengan yang lainnya.
Para mujtahid tetap menggunakan pondasi atau sumber utama dalam referensi hukum
Islam. Dalam kehidupan modern sakarang ini, mengamalkan ajaran agama lintas madzhab
adalah hal yang tidak bisa dielakkan lagi, karena secara realita pengamalan itu dapat
mengkultur di masyarakat dan melembaga di Pengadilan. Hanya saja pengamalan lintas
madzhab ini tidak dilakukan pada satu masalah dengan menggunakan dua madzhab.
Dalam konteks hukum Islam di Indonesia kebutuhan akan hal tersebut nampak jelas.
Di Indonesia selain Undang-Undang Perkawinan, juga terdapat formasi hukum yang disebut
sebagai Kompilasi Hukum Islam (KHI) yang mayoritas pembuatannya diambil dari 13 kitab
fiqih. Dari 13 kitab fiqih yang terdapat dalam Kompilasi Hukum Islam menjadi bukti bahwa
pendapat imam Syafi'i mayoritas dapat diterima oleh masyarakat di Indonesia dan cocok
diaplikasikan dalam lingkungan masyarakat Indonesia. Sehingga ketika berbicara masalah
relevansi quru' dalam pandangan Imam Hanafi dan Imam Syafi'i, maka lebih relevan
pendapat Imam Syafi'i dengan alasan, Indonesia adalah Negara yang mayoritas umat Islam
bermadzhabkan Imam Syafi'i.
2. C. ‘Urf
Pada level produk ijtihad, disajikan tiga contoh bentuk fiqh Nusantara. Yaitu jilbab
penutup aurat, melangkahi nikah kakak dengan membayar untuk memperoleh keridhaan, dan
harta gono-gini. Ketiganya telah digunakan selama ratusan tahun menjadi built-in dalam
keseharian dan adat istiadat masyarakat Indonesia, sebagaimana berikut:
Pertama, pakaian penutup aurat. Di Indonesia, berbeda dengan Negara Arab yang
penduduknya umumnya menggunakan baju gamis, maka baju penutup aurat di Indonesia
tidak sama dengan mereka. Dalam masyarakat Jawa, muslim Jawa lebih senang
menggunakan pakaian kebaya. Sementara, masyarakat Minang lebih senang menggunakan
baju kurung dalam kehidupan sehari-hari. Pakaian model ini jelas berbeda dengan pakaian
Arab berupa gamis atau jubah panjang dan tentunya juga menjadi adat orang Arab.
Adat menggunakan pakaian kebaya yang masih membuka wilayah leher perempuan
dalam kehidupan sehari adalah ‘urf yang diterima masyarakat Indonesia. Demikian juga,
ketika sholat, muslim Jawa menggunakan baju koko dan kopyah yang berbeda dengan baju
gamis di Arab Saudi. Dalam konteks ini, Ketika sholat menggunakan baju ini, maka
sholatnya tetap sah karena dipandang telah menutup aurat. Bagaimanapun, subtansi
menggunakan baju seperti ini adalah menutup aurat, yang oleh karenanya diijinkan meski
berbeda dengan pakaian yang digunakan orang-orang di Arab.
Kedua, dalam masyarakat Indonesia, terdapat adat yang berkembang, bahwa seorang
adik tidak boleh menikah sebelum mendapat ijin dari kakaknya yang belum menikah.
Sehingga untuk menikah, adik ini harus minta restu dan membayar sejumlah uang sebagai
tebusan atas kerelaan terhadap kakak yang didahului menikahnya terlebih dahulu. Adat
seperti ini tidak ada dalam fiqh kita, demikian juga tidak ada dalam tradisi orang Timur
Tengah.
Adat istiadat ini diperbolehkan selama pembayaran uang tebusan tersebut tidak
memberatkan bagi pihak adik yang diposisikan sebagai calon suami atau istri. Namun jika
memberatkan dengan misalnya membayar uang yang sangat mahal sehingga tidak terjangkau
pihak adik yang mau menikah dan mendahului kakaknya tersebut, maka demikian ini disebut
dengan ‘urf fasid yang harus ditinggalkan. Selama ini, adat ini yang berkembang di sebagian
masyarakat Indonesia.
Ketiga, harta gono-gini. Harta gono-gini, tidak ada dalam kamus fiqh karena sejak
semula harta itu dibedakan sebagai milik istri dan suami. Konsep harta gono-gini atau harta
bersama muncul dari adat beberapa daerah di Indonesia. Dalam pandangan fiqh, harta
bersama atau gono-gini ini termasuk kategori syirkah abdan antara suami dan istri dalam
keluarga. Karena baik suami maupun istri setelah menikah, keduanya bekerja dan berkongsi
dalam keluarga sehingga menghasilkan harta yang menjadi milik bersama. Oleh karena itu,
sudah selayaknya, harta ini dibagi secara adil dan merata.
Secara yuridis, harta gono-gini telah diundangkan dalam hukum positif di Indonesia
sehingga memiliki kuatan hukum yang kuat. Hukum positif tersebut termaktub dalam UU
Perkawinan Tahun 1974 dan Kompilasi Hukum Islam berdasarkan Inpres No. 1 Tahun 1991.
Dalam Pasal 37 Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan dan Pasal 96 dan
Pasal 97 Kompilasi Hukum dinyatakan bahwa apabila perkawinan putus baik karena
perceraian maupun karena kematian, maka masing-masing suami istri mendapatkan separoh
dari harta harta bersama yang diperoleh selama perkawinan berlangsung.
Ketentuan tersebut, sejalan dengan Yurisprudensi Mahkamah Agung RI No.
424.K/Sip.1959 bertanggal 9 Desember 1959 yang mengandung abstraksi hukum bahwa
apabila terjadi perceraian, maka masing-masing pihak (suami istri) mendapat setengah bagian
dari harta bersama (gono-gini) mereka. Jika pasangan suami istri yang bercerai, kemudian
masalah gono-gini atau harta bersamanya dilakukan dengan cara musyawarah atau
perdamaian, maka pembagiannya bisa ditentukan berdasarkan kesepakatan atau kerelaan di
antara mereka berdua.
‘Urf sebagaimana dibahas ini bukan hanya dipraktekkan menjadi living laws, namun
juga telah ditetapkan menjadi positif laws. Jika sebelumnya tidak memiliki kekuatan yang
mengikat, maka dengan menjadi positif laws, ‘urf ini mengikat pada seluruh masyarakat di
Indonesia. Namanya tidak lagi ‘urf namun sebagai hukum positif (positif laws). Di masa
yang akan datang, ‘urf akan akan menjadi mitra dialog fiqh Nusantara sekaligus penyumbang
nilainilai dalam pembangunan hukum nasional di Indonesia.
Ijma’ : Ulama yang pro pada pendapat bahwa ijma’ tidak mungkin terjadi lagi, karena
pada waktu terjadi peristiwa pengambil hukum dengan cara ijma’, pada masa itu para ulama
mujtahid masih saling kenal, tempat tinggal mereka masih berdekatan, wilayah umat Islam
atau negara belum begitu luas seperti sekarang, dan masih memungkinkan masing-masing
mujtahid dapat memperhatikan pendapat mereka masing-masing, tentang persoalan hukum
yang di ajukan kepada mereka.
Ulama klasik seperti Imam As-Syafi’i, Ibnu Taimiyah dan Ibnu Qayyim Al-Jauziah ,
(dari mazhab Hanbali), begitu juga pandagan ulama yang sudah modern seperti Muhammad
Abu Zahrah, Muhammad Hudri Bek dan Fath Ad-Duraini ( guru besar Fiqh dan Ushul Fiqh
dari Unversitas Suriah, Damacus, dan Wahbah Az-Zuhaili, mereka berpendapat tidak
mungkin akan terjadi ijma’ seperti pada masa sahabat. Maka persoalan isu-isu seperti
keputusan anggota MPR RI, atau DPR RI tentang Undang-undang atau keputusan kepala
daerah seperti Gubernur/Bupati/Walikota seperti PERDA tentang larang judi, minuman keras
dan sebagainya yang muncul pada zaman kotemporer atau globalisasi tidak akan mungkin
dapat mengakomodasi persoalan hukum baru, artinya ijma’ tidak dapat diterapkan sebagai
metode penetapan hukum baru pada era sekarang.
Mereka memberikan dasar pemikiran bahwa ijma dapat terjadi karena mengharuskan
semua mujtahid di semua negara harus hadir dan memberikan respon pada persoalan yang
diajukan kepada mereka, kemudian persyaratan yang masuk dalam kategori mujtahid juga
sangat ketat. Menurut Wahbah az-Zuhaili, syarat ijma’ adalah (1) yang melakukan ijma’
tersebut adalah orang-orang yang memenuhi persyaratan ijtihad, (2) kesepakatan itu muncul
dari mujtahid yang bersifat adil (berpendirian kuat terhadap agamanya), (3) Mujtahid yang
terlibat adalah yang berusaha menghindarkan diri dari ucapan atau dari perbuatan bid’ah.
Ketiga syarat ini disepakati oleh seluruh ulama. Sedangkan pada zaman sekarang
sangat sulit dan langka ulama yang menguasai semua bidang ke ilmuan apalagi yang masuk
dalam kategori mujtahid. Akan tetapi kalau kita melihat dari subtansi dari tujuan ijma’
sebagai salah satu metode penetapan hukum, di karenakan ada persoalan baru yang muncul di
tengah-tengah kehidupan masyarakat, sedangkan dalilnya dalam Al-Qur’an dan Al-Hadits
tidak ditemukan.
Maka perlu kita mempertimbangkan pendapat Abdul Wahab Khallaf, bahwa Ijma’
akan mungkin terjadi apabila masalahnya diserahkan kepada pemerintah, karena pemerintah
sebagai ulil Amri dapat mengetahui mujtahid-mujtahidnya, dan setiap pemerintah dapat
mengetahui dan menentukan mujtahid suatu bangasa dan disepakati juga oleh mujtahid
seluruh dunia Islam”.
Menurut Hasbi Ash-Shiddieqy, bahwa ijma’ sama dengan mengumpulkan para ahli
permusyawaratan untuk bemusyawarah sebagai wakil rakyat atas perintah atau undangan
kepala Negara, itulah yang mungkin terjadi sepanjang masa. Inilah ijma’ yang terjadi di masa
Abu bakar dan Umar kalau memperhatikan pengertian dari subtansi pengertian ijma’ tersebut,
kemudian didukung oleh pendapat Abdul Wahab Khallaf dan Hasbi ash-Shidqy, ada
kemungkinan bahwa Keputusan MPR RI, DPR RI dan keputusan kepala daerah atau
menghimpun berbagai macam fatwa yang dikeluarkan oleh ulama dari berbagai lembaga
seperti fatwa ulama NU dan fatwa ulama majlis Tarjih Muhammadiyah dan Fatwa MUI, yang
kebetulan subatansi dari isi fatwa tersebut sama-sama menyatakan bahwa merokok itu haram
karena merusak kesehatan manusia, dapat dianggap sebagai ijma’, paling dapat kita sebut
sebagai ijma’ lokal.
Pada zaman sekarang, ada kemungkinan untuk menghimpun pendapat para ulama
atau mujtahid lokal maupun pendapat mujtahid seluruh dunia, tidak musti harus bertemu
dalam satu majlis, akan tetapi dapat di akses melalui teknologi Internet, atau melalui akun
Facebook, atau akun Twitter. Tetapi memberikan persoalan melalui media Internet dan
mengharapkan jawaban oleh orang yang berkualitas mujtahid tentu akan mengandung
beberapa kelemahan, karena pada media tersebut, kemungkinan orang yang bukan ulama
mujtahid juga dapat memberikan jawaban dan penipuan dalam memberikan jawaban yang
tidak diharapkan.
Kelemahan selanjutnya media internet belum ada ulama yang menggunakan, bahwa
madia ini dapat digunakan sebagai sarana untuk ijma’ (kesepakatan mujtahid untuk
mengakses atau menghimpun) pendapat para mujtahid lokal maupun secara internasional dari
berbagai negara di dunia.
Walaupun banyak ahli hukum Islam menolak kemungkinan adanya ijma’, namun
ijma’ sebagai suatu metode penetapan hukum, senantiasa menarik perhatian para ahli fikih.
Muhammad Iqbal misalnya, telah memberikan interpretasi ijma’ dalam zaman modern ini
sebagai dapat dicapai dengan memindahkan ijtihad perorangan yang mewakili aliran-aliran
itu dalam suatu majlis perwakilan umat Islam.
Pertanyaan yang kemudian muncul adalah dimana esensi dari ijma’ sebagai dalil
hukum fiqh itu sendiri, kalau ternyata ijma’ diasumsikan tidak akan pernah terjadi lagi,
padahal permasalahan-permasalahan yang ada dalam kehidupan manusia ini selalu ada dan
selalu baru adanya, serta berkembang dan membutuhkan penyelesaian, yang hal ini tidak
menuntut kemungkinan dibutuhkan adanya ijma’. Merujuk pendapatnya Abdul Wahhab
Khallaf maka cukup relevan tentang kemungkinan adanya atau terjadinya ijma’ di masa
sekarang maupun masa yang akan datang.
Bila pelaksanaan ijma’ ditangani oleh suatu negara bekerja sama dengan negara-
negara lain yang mayoritas penduduknya beragama Islam, setiap negara menerapkan standar
tertentu mengenai seseorang yang dapat dikatakan sebagai Mujtahid dan memberikan ijazah
kepada semua yang mencapai derajat itu, sehingga Mujtahid di dunia ini dapat diketahui.
Merujuk pada sumber hukum Islam, yaitu Al-Qur’an, hadist, ijma’ dan qiyas, maka bila
muncul suatu masalah dan butuh penyelesaian, dimana masalah tersebut secara jelas tidak
ada di Al-Qur’an dan Hadist, maka (sesuai dengan hirarki dasar hukum Islam tersebut)
sebelum menuju pada qiyas yaitu ijma’ haruslah di dahulukan. Secara Nasional, di Indonesia
misalnya, bila kita menunjuk suatu lembaga yang merupakan perwakilan dari seluruh rakyat
Indonesia adalah MPR atau DPR (Ahlu Al Halli wa Al ‘aqdi).
Sehingga untuk tercapainya ijma’ dari suatu permasalahan tertentu, maka orang-orang
Yang ada di majlis tersebut haruslah orang-orang yang memenuhi persyaratan yang dapat
disebut orang Islam yang profesional dalam bidang nya masing-masing. Selain harus
memenuhi persyaratan yang ditentukan ulama’ Ushul fiqh, juga harus memiliki keahlian
dalam bidang-bidang tertentu, akan tetapi bila sulit menemukan orang-orang yang memenuhi
tersebut, maka paling tidak harus ada beberapa orang yang alim dalam ilmu agama dengan
berbagai ilmu-ilmu cabangnya, dan juga harus ada orang yang mahir dalam ilmu umum
lainnya, khususnya yang berkaitan dengan permasalahan yang terjadi.
Dengan kata lain ahli ilmu Ushul fiqh ada, ahli ilmu fiqh nya ada, ahli tafsirnya ada,
ahli hadist nya juga ada, dan ahli ilmu agama lainnya, demikian juga kalau permasalahan
tersebut berkaitan dengan bidang kedokteran, maka ahli medis yang profesional harus ada.
Demikian juga di negara-negara lain di dunia ketika ijma’ diberlakukan secara Nasional.
Majelis ulama fikih pada pertemuan pertamanya yang diadakan pada tanggal 10
Sya’ban 1398 M, di Mekah al-Mukarramah di pusat Rabithhah al-‘Alam al-Islami meneliti
persoalan asuransi dengan berbagai jenisnya yang bermacam-macam, setelah sebelumnya
menelaah tulisan para ulama dalam persoalan tersebut, dan juga setelah melihat keputusan
Majelis Kibar al-Ulama di Kerajaan Saudi Arabia pad apertemuan ke-10 di Kota Riyadh
tangga; 4/4/97 M dengan SK No. 55 tentang Haramnya Asuransi Berbasis Bisnis dengan
berbagai jenisnya (Mohammad Mufid 2016).
Oleh karena itu, berdasarkan pendapat para ulama serta keputusan lembaga fatwa baik
skala regional maupun internasional bahwa para ulama telah ber-ijma’ tentang keharaman
asuransi bisnis di konvensional.
2. D.
Hukum perkawinan wanita hamil di luar nikah ulama fiqh empat madzhab
mempunyai pendapat yang berbeda-beda. Menurut madzhad Hanafiyah memperbolehkan
perkawinan tersebut dengan syarat suami tidak boleh mengumpuli istrinya sampai
melahirkan. Menurut madzhab Malikiyah, Hanafiyah dan jumhur ulama Syafi’iyah melarang
(tidak sah) perkawinan wanita hamil di luar nikah karena disamakan dengan kondisi wanita
hamil yang ditinggal mati suaminya, yakni menunggu masa iddah sampai anaknya lahir.
Walaupun menurut Imam Syafi’i sendiri menghukumi sah perkawinan tersebut karena
anak yang dikandung hasil perzinahan tidak bernasab kepada siapapun kecuali ibunya,
sehingga keberadaannya dianggap tidak ada, penyebab terjadinya perbedaan pendapat para
ulama ini adalah cara menginterpretasikan dalil nash Al-Qur’an:
a. Firman Allah QS. Al-Nisa’/4:24 yaitu:
..... َ‫صنِينَ َغي َْر ُم ٰ َسفِ ِحين‬ ۟ ‫ۚ وُأ ِح َّل لَ ُكم َّما َو َرٓا َء ٰ َذلِ ُك ْم َأن تَ ْبتَ ُغ‬
ِ ْ‫وا بَِأ ْم ٰ َولِ ُكم ُّمح‬ َ .....
Artinya: …dan dihalalkan bagimu selain (perempuan-perempuan) yang demikian itu
jika kamu berusaha dengan hartamu untuk menikahinya bukan untuk berzina... Ayat ini
menjelaskan pengecualian perempuan-perempuan yang haram untuk dinikahi yang terdapat
pada ayat sebelumnya dimana wanita hamil tidak termasuk didalamnya. Artinya melihat
pengecualian ayat ini maka wanita hamil baik dari pernikahan yang sah atau zina boleh
dinikahi.
b. Firman QS. Al-Baqarah/2: 235, yaitu :
..... ٗ‫اح َح ٰتّى يَ ْبلُ َغ ْال ِك ٰتبُ اَ َجلَه‬
ِ ‫ْز ُموْ ا ُع ْق َدةَ النِّ َك‬
ِ ‫ۗ َواَل تَع‬....
Artinya: … Dan janganlah kamu menetapkan akad nikah sebelum habis masa
iddahnya…. Dalam ayat ini menjelaskan ternyata wanita hamil tidak boleh juga dinikahi
sampai habis masa iddahnya.
Artinya Jumhur Ulama sepakat bahwa wanita hamil tidak boleh dinikahi sampai
anaknya lahir. Namun yang menimbulkan perbedaan pendapat dikalangan ulama adalah
tentang illah (alasan) mengapa wanita hamil tidak boleh dinikahi.
Menurut kalangan Malikiyah, Hanabilah dan Jumhur Ulama Syafi’iyah menyatakan
bahwa yang menjadi illah (alasan) wanita hamil tidak boleh dinikahi adalah faktor
kehamilannya (‫ة الحمل‬RR‫ )حرم‬sehingga menurut mereka, tidak ada perbedaan antara hamil
melalui perkawinan yang sah atau zina. Berbeda menurut kalangan Hanafiyah dan Imam
Syafi’i. Menurut mereka yang menjadi alasan bukanlah karena faktor kehamilannya, namun
yang menjadi illah adalah masalah ketetapan nasab (‫ابت‬RR‫ب ث‬RR‫ )النس‬yakni terhadap suami.
Sehingga wanita hamil sebab zina tidak bisa dimasukkan dalam kelompok ini. Karena laki-
laki pezina tidak mempunyai hubungan terhadap janin yang berada dalam rahim wanita
pezina. Oleh karena itu pendapat mereka boleh menikahi wanita tersebut, baik oleh laki-laki
yang menghamilinya atau orang lain.
Walaupun demikian ada perbedaan pandangan Hanafiyah dan Imam Syafi’i tentang
masalah wathi’ (mengumpuli istri). Menurut Hanafiyah tidak boleh suami yang menikahi
wanita hamil sebab zina mengumpuli istrinya tersebut sampai anaknya lahir. Hal ini
berdasarkan Hadist Nabi:
‫من كان يؤمن باهلل واليوم اآلخر فال يسقين ماءه زرع غيره‬
Artinya: Barang siapa yang beriman kepada Allah dan hari akhir, maka janganlah ia
menyiramkan airnya diatas tanaman orang lain.
Menurut Hanafiyah ungkapan tidak boleh menyiramkan air diatas tanaman orang lain
maksudnya tidak boleh mengumpuli wanita dalam keadaan hamil dari laki-laki lain secara
umum (sebab nikah sah atau zina). Berbeda pendapat Imam Syafi’i yang mengecualikan
hamil sebab zina. Beliau menghukumi boleh mengumpuli wanita tersebut karena keberadaan
janin yang ada dalam kandungannya dianggap tidak ada.
Bilamana permasalahan perbedaan pendapat ulama ini ditarik menggunakan teori
mashlahah , sangat sulit dicarikan titik temu. Mengingat tidak ada nash secara khusus untuk
mendukung atau menolak perkawinan wanita hamil di luar nikah. Sehingga menurut al-
Ghazali dan al-Syatibi harus dibawa pada ranah pembahasan mashlahah mursalah yang lebih
menonjolkan illah (alasan ) dalam menentukan putusan hukum. Sedangkan kedua pendapat
yang berbeda ini mempunyai illah yang berbeda sehingga putusan hukum yang dihasilkan
keduanyapun tidak sama.
Namun bilamana masalah perkawinan ini dibawa pada pengertian mashlahah yang
digambarkan oleh al-Shalabi dan al-Tufi dimana keduanya lebih mengedepankan mashlahah
daripada teks dalil, maka cenderung mengarah pada hukum boleh menikahi. Karena bilamana
melihat kondisi masyarakat saat ini, hukum boleh tersebut akan lebih memberikan manfaat
dan manjauhkan mudharat.
Dengan menggunakan teori ‘urf, kecendrungannya juga pada hukum boleh. Karena
tidak ada ketetapan nash syar’i yang akan dirusak, karena tidak ada dalil secara khusus yang
menolak dilakukan pernikahan semacam ini. Disamping ‘urf (kebiasaan) masyarakat saat ini
bila mengetahui anaknya dalam kondisi hamil, maka akan segera menikahkannya dengan
alasan menutupi aib dan memberikan kejelasan status terhadap anak yang akan dilahirkan.
Sedangkan menurut Rumusan KHI tentang bolehnya mengawini wanita hamil di luar
nikah tentunya sejalan dengan pendapat ulama yang membolehkan dengan alasan bahwa illah
yang menjadi dasar adanya kebolehan adalah adanya hubungan nasab ‫ النسب ثابت‬terhadap
suami. Sedangkan anak yang dikandung sebab zina tidak mempunyai hubungan nasab dengan
siapapun kecuali ibunya. Walaupun demikian KHI merumuskan hanya laki-laki yang
menghamililah yang boleh menikahi wanita tersebut.
Bilamana permasalah ini kita tarik denga menggunakan teori mashlahah, diketahui
bahwa tidak ada dalil khusus yang mendukung atau menolak perkawinan semacam ini. Hal
ini dibuktikan dengan perbedaan pandangan ulama dalam memberikan putusan hukum.
Menurut alGhazali, bilamana suatu masalah tidak ada nash yang mendukung secara khusus
yang kemudian dikelompokkan pada mashlahah mu’tabaroh dan juga dalil khusus yang
menolak sehingga dikelompokkan dalam mashlahah mulghoh, maka yang dipakai adalah
pendekatan mashlahah mursalah.
Walaupun secara khusus tidak ada dalil nash yang mendukung atau menolak, namun
perlu dicari illah (alasan) yang secara umum dapat menunjukkan bahwa masalah tersebut bisa
diterima atau ditolak oleh syara’. Alasan yang digunakan oleh sebagian besar masyarakat
melakukan perkawinan wanita hamil diluar nikah adalah faktor anak yang dikandung
bilamana lahir mempunyai nasab yang jelas. Hal ini sejalan dengan salah satu tujuan syara’
(maqasid al-syar’i) yakni memelihara keturunan (hifd al-nasl). Alasan yang kedua tujuan
pernikahan tersebut adalah menutupi aib yang ditanggung tidak hanya oleh pelaku zina
namun juga keluarga kedua belah pihak. Dalam istilah maqasid al-syari dikenal dengan
istilah hifd al-‘ird (memelihara harga diri) menurut al-Qarafi masuk dalam bagian hifd al-
mal.
Dua hal inilah kemudian menjadi tujuan syariat yang kemudian dikembangkan dalam
maqasidu al-syar’i yang bersifat kekal. Sedangkan hukum dibentuk akan selalu berubah
tergantung situasi dan kondisi bagaimana mashlahah dan mafsadat ini bisa diwujudkan.
Upaya mengkompromikan dengan menggunakan pendekatan dua teori ini adalah:
a. Masalah situasi dan kondisi. Bilamana pendapat ulama yang
menyatakan tidak membolehkan dirumuskan pada kondisi masa lalu dimana
masyarakat sangat memegang teguh ajaran agamanya disamping adanya sanksi yang
mengikat (hukum qishah), sehingga kecil kemungkinan seseorang akan melakukan
perzinahan, barangkali ini yang lebih tepat. Mengingat mashlahah hukum tidak boleh
ini akan lebih besar dampaknya daripada menyatakan boleh. Berbeda bilamana
hukum itu diterapkan pada masa sekarang terutama di Indonesia. Dimana banyak
kasus wanita hamil di luar nikah akibat pengaruh negatif kemajuan teknologi
disamping tidak ada sanksi tegas bagi pelaku zina. Keluarga besar. Kedua belah pihak
juga akan mendapatkan imbas dari masalah ini. Dengan menetapkan hukum boleh
bagi perkawinan wanita hamil di luar nikah akan memberikan mashlahah dalam
upaya menjaga stabilitas sosial hubungan masyarakat.
b. Dalam hal kependudukan juga akan menjadi masalah tersendiri terkait
status anak yang lahir dari rahim wanita hamil diluar nikah ini. Bisa dibayangkan
betapa kacaunya data kependudukan bila kasus-kasus semacam ini tidak ditangani dan
diberikan jalan keluar secara serius. Dengan dibolehkannya perkawinan wanita hamil
di luar nikah akan lebih memberikan mashlahah dan menjauhkan dari mafsadat yang
lebih besar.
c. Walaupun demikian dengan ditetapkannya hukum boleh melakukan
perkawinan ini, jangan sampai menimbulkan mafsadat (kerusakan) baru yang lebih
besar. Misalnya akan menimbulkan praktik perzinahan yang merajalela. Sebagaimana
teori mashlahah yang dikemukakan oleh al-Shalabi dan al-Tufi, syarat untuk
dikemukakan mashlahah ini tidak bertentangan dengan mashlahah yang lebih besar.
Artinya efek dari perkawinan ini jangan sampai memunculkan kerusakan yang lebih
besar dari maslahah yang didapat.
Terkait dengan siapa laki-laki yang berhak untuk menikahi. Terjadi perbedaan antara
pendapat ulama yang membolehkan pernikahan ini dengan rumusan KHI. Dalam KHI
disebutkan yang boleh mengawini wanita hamil di luar nikah adalah laki-laki yang
menghamilinya. Menurut saya, rumusan KHI ini didasarkan pada pertimbangan:
a. Laki-laki yang menghamili, walaupun hanya sebagai bapak biologis,
akan mempunyai hubungan psikologis yang lebih kuat dari pada laki-laki lain.
b. Dalam perkawinan islam ada istilah kufu’, yakni kesetaraan antara
suami dan istri. Sudah selayaknya wanita yang baik bersuamikan laki-laki yang baik
juga. Bagi wanita pezina dinikahi oleh laki-laki pezina juga. Hal ini agar tidak
merusak keturunan masing-masing.
Sejalan dengan rumusan KHI penulis dalam hal ini berusaha untuk mencari jalan
tengah. Tidak terlalu condong secara ektrim mengikuti pendapat Imam Syafi’i dan Hanafiyah
sehingga siapapun boleh menikahi tanpa memandang apakah ia yang menghamilinya atau
tidak. Namun disisi lain tidak terlalu eklusif menutup pintu kebolehan melakukan pernikahan.
Hal ini sebagai upaya untuk mengetengahkan hukum yang sejalan dengan situasi dan kondisi
zaman.
Didalam hukum agama Islam tidak ada ketentuan khusus yang mengatur tentang
kedudukan anak dalam ikatan perkawinan. Namun dari tujuan perkawinan dalam Islam
adalah untuk memenuhi perintah Allah Swt. agar memperoleh keturunan yang sah. Seorang
anak yang sah ialah anak yang dianggap lahir dari perkawinan yang sah antara ayah dan
ibunya. Sahnya seorang anak didalam Islam adalah menentukan apakah ada atau tidak
hubungan kebapakan (nasab) dengan seorang laki-laki. Dalam hal hubungan nasab dengan
bapaknya tidak ditentukan oleh kehendak atau kerelaan manusia, namun ditentukann oleh
perkawinan yang dengan nama Allah disucikan.
Dalam hukum Islam ada ketentuan batasan kelahirannya, yaitu batasan minimal
kelahiran anak dari perkawinan ibunya adalah 6 (enam ) bulan. Anak hasil perkawinan wanita
hamil karena zina yang tidak sah tidak akan memperoleh hak yang menjadi kewajiban
ayahnya, karena ketidak absahan pada anak tersebut. Konsekuensinya adalah laki-laki yang
sebenarnya menjadi ayah tidak memiliki kewajiban memberikan hak anak tersebut.
Sebaliknya anak itupun tidak bisa menuntut ayahnya untuk memenuhi kewajibannya yang
dipandang menjadi hak anak bila statusnya sebagai anak tidak sah.
Menurut ijma’ ulama, nasab anak zina terhadap laki-laki yang menyebabkan
kelahirannya terputus. Wahbah Zuhaili menyatakan bahwa nasab seorang anak dari ibunya
tetap bisa diakui dari setiap sisi kelahiran, baik yang syar’i maupun tidak. Adapun nasab anak
dari ayahnya hanya bisa diakui melalui nikah yang saḥih, atau fasid, atau wati’ syubhat
(persetubuhan yang sama status hukumnya).
Keterangan yang sama juga dikemukakan oleh asy-Sya’rawi, di mana ada seseorang
yang bertanya kepada beliau mengenai status nasab anak yang dikandung oleh seorang
wanita pezina yang kemudian dinikahi oleh laki-laki yang menzinahinya. Kemudian asy-
Sya’rawi menyatakan bahwa nasab anak tersebut ditentukan dengan kesepakatan ijma’
ulama. Hukum Islam menentukan bahwa jika keberadaan anak belum bisa ditentukan apakah
dia termasuk anak zina atau bukan, maka harus diketahui batas masa kehamilanya.
Sehingga, nantinya secara hukum anak dalam kandungan dapat ditentukan apakah
berasal dari suami ibu atau bukan. Dalam hal ini, fuqaha sepakat bahwa batas minimal
kehamilan di mana janin terbentuk di dalamnya adalah enam bulan. Dengan demikian, dapat
dipahami bahwa apabila seseorang perempuan melahirkan dalam keadaan perkawinan sah
dengan seorang laki-laki, tetapi jarak waktu antara terjadinya perkawinan dengan saat
melahirkan kurang dari enam bulan, maka anak yang dilahirkanya bukan anak sah bagi suami
ibunya.

Anda mungkin juga menyukai