Anda di halaman 1dari 9

Tugas Fiqih

Kelompok 3

Khas, Takhsis, dan Mukhasis

Rahmat Alif Anugerah

Mutiara Anisa Azzahrah

Gita Yulianti

Afriyanti Nur
A. KHAS
1. Pengertian Khas
Dari segi bahasa, kata khas berarti tertentu atau khusus. Dalam
pengertian sederhana, khas adalah lafal yang menunjukkan satu makna
tertentu. Makna tertentu tersebut bisa menunjukkan perorangan seperti
Aisyah atau menunjukkan bilangan seperti lima, bisa juga berupa
masyarakat, sekumpulan, sekelompok dan sebagainya. Menurut Hanafiyyah,
sesungguhnya lafadz khas telah memiliki arti tersendiri, berarti ia sudah jelas
dan tegas dengan ketentuan lafadz-lafadz itu sendiri.

2. Menggunakan Lafadz Khas


Jika dalam nash syar’i adalah qath’i atau pasti. Salah satu contohnya
Ada didalam surah Al-Ma’idah ayat 89 ;
..."‫س" ا" ِك" ي"ن‬ َ "‫فَ" َك" فَّ"ا" َ"ر" تُ"هُ" ِإ ْط" َع" ا" ُم" َع‬...
َ "‫ش" َ"ر" ِة" َم‬
Artinya:
“... Maka kafaratnya (denda pelanggaran sumpah) ialah memberi makan
sepuluh orang miskin,...” (Q.S Al-Ma’idah [5] : 89).

Ayat ini menunjukkan bahwa salah satu kafarat sumpah ini wajib memberi
makan sepuluh orang miskin, dan lafadzh “sepuluh” itu tidak mengandung
kemungkinan kurang atau lebih, tetapi pasti sepuluh orang.
Demikian juga contoh dalam hadits nabi SAW.
B. TAKHSIS

1. Pengertian Takhsis
Secara etimologi lafadz takhsis merupakan masdar dengan arti
menentukan atau mengkhususkan. Adapun secara terminologi ada beberapa
definisi yang diajukan ulama ushul fiqih mengenai takhsis, sebagaimana
yang dikutip oleh Amir Syarifuddin diantaranya :
Menurut ulama ushul fiqih takhsis ialah mengeluarkan sebagian
satuan-satuan yang lain yang tidak ditakhsiskan (dikeluarkan), seperti halnya
ayat perintah haji. Haji diwajibkan bagi seluruh umat muslim tapi di akhir
ayat ada pengecualian yakni bagi yang sudah mampu.
Adapun menurut Khudari Bik dalam bukunya Ushul al Fiqih, takhsis
adalah penjelasan sebagian lafadz ‘am bukan seluruhnya. Atau dengan kata
lai, menjelaskan sebagian dari satuan-satuan yang dicakup oleh lafadz ‘am
dengan dalil. Menurut Imam Malik, takhsis tidak selamanya menjadikan
khabar ahad, namun terkadang mentakhsis lafadz dalam ‘am Al-Qur’an
walaupun memandang lafadz ‘am Al-Qur’an adalah zhanni. Ia terkadang
berpegang pada lafadz ‘am Al-Qur’an dan meninggalkan khabar ahad,
namun terkadang mentakhsis lafadz Al-Qur’an dengan khabar ahad, seperti
“Dan Allah menghalalkan (menikah) selain itu (yang telah disebut)”
ditakhsiskan dengan hadits “wanita yang dilarang dinikahi, adalah bibinya,
baik dari pihak ayah maupun ibu.” Khabar ahad yang dapat digunakan untuk
mentakhsiskan lafadzh ‘am Al-Qur’an menurut Imam Malik adalah khabar
ahad yang didukung oleh perbuatan penduduk madinah atau dengan qiyas.
Menurut Hanafiyah,jika lafadz’am dan khas itu berbarengan waktu
turunnya, maka lafadz khas dapat mentakhsis lafadz’am. Apabila berbeda
waktu, maka berlaku konsep nasakh mansukh.
Dari perbedaan pandangan antara kedua ulama dalam masalah ini,
apakah boleh metakhsis al’am yang qath’i al tsubut dengan dalil dzanin?
a. Aliran mutakalimin (mayoritas utama) memahami bahwa takhsis al’am
adalah membahas cakupan al’am pada sebahagian satuan-satuannya, baik
dengan dalil yang berdiri sendiri maupun dalil yang tidak berdiri sendiri,
baik dengan dalil yang beriringan dengannya maupun dalil yang tidak
beriringan dengannya.
b. Aliran Hanafiyah memandang bahwa takhsis al’am adalah membatasi
cakupan al’am pada bagian satuan-satunnya hanya dengan dali yang
berdiri sendiri, yang beriringan dengannya. Sekirannya takhsis terjadi
dengan dalil yang tidak beriringan dengannya,dengan dalil kemudian
datangnya maka hal itu dinamakan nasakh.

Jadi, yang dimaksud dalil yang qath’i al tsubut ialah Al-Qur’an dan hadist
mutawattir. Dalam hal ini, para ulama Hanafiyah memasukkan pula
hadist masyhur karena mereka mengapresiasinya dengan nilai
mutawattit.

Penjelasan dari hadist mutawattir dan hadist masyhur sebagai berikut:

a. Hadits mutawattir adalah hadits yang diriwayatkan oleh sekelompok


orang yang bersumber dari sekompok orang hingga lapis terakhir
generasi periwayatnya, yang menurut keyakinan tidak mungkin
mengandung kedustaan kolektif dari mereka.
b. Hadits masyhur adalah hadits yang ada pada lapis pertama genersi
perawi diriwayatkan orang. Kemudian pada lapis kedua dan
seterusnya dari generasi perawi diriwayatkan oleh sejumlah orang
yang menurut keyakinan tidak mungkin mengandung kedustaan
kolektif dari mereka.

Dalam hal ini para ulama berargumen mentakhsis al’am yang qath’i
tsubut dengan dalil zhanni.

Aliran fuqaha berpandangan bahwa dilalat al’am terhadap satu-


satunya itu bersifat qath’i,dan kerennya tidak boleh melakukan
takhsis al’am dengan dalil zhanni. Mereka berargumen bahwa Al-
Qur’an dan hadits mutawattir,aspek ‘am dari keduannya bersifat
qath’i al tsubut, dan hal yang demikian tidak bisa ditakhsiskan
dengan dengan dalil yang zhanni karena takhsis mengandung unsur
“mengubah” (taghyir), dan pengubah yang qath’i tidak mungkin
berupa sesuatu yang bersifat zhanni. Contoh riwayat Umar bin
Khattab tentang cerita Fatimah binti Qais yang menginformasiakan
hak tempat tinggal dan memperoleh nafkah. Lalu, Umar
berkata :”kita tidak boleh meninggalkan kitab tuhan kita dan sunnah
nabi kita karena perkataan seorang perempuan yang kita tidak tahu
apakah ia masih ingat atau telah lupa bahwa bagi dirinnya hak
bertempat tinggal dan memperoleh nafkah”. Tetapi menurut
pandangan aliran fuqanah atau hanafiyah, tampak jelas Umar tidak
menjadikan perkataan fatimah sebagai mutakhsis (pengkhususan)
kalimat ‘am dari firman Allah SWT. Yang artinya :”tempatkanlah
mereka (para istrimu) di mana kamu bertempat tinggal menurut
kemampuanmu..”( Q.S At Talaq [65]:6)

Mayoritas ulama berpendapat bahwa ciri-ciri al’am terhadap satuan-


satuannya bersifat zhanni, dan karenannya boleh mentakhsis dengan dalil yang
zhanni seperti khabar ahad dan qiyas. Mereka berargumen bahwa para sahabat
Nabi Muhmahammda SAW. Telah bersepakat ( ijma’ sakuty)bahwa aspek am’ dari
Al-Qur’an dapat ditakhsis dengan hadits ahad; dan tidak ada satupun sahabat
Nabi Muhammad SAW. Yang mengingkari hal demikian. Diantara bukti hal ini,
fakta bahwa mereka telah mentakhsis firman Allah. “ ...dihalalkan bagi muslim
(perempuan-perempuan) yang demikian itu ...”(Q.S An Nisa’ [4]: 24), dengan
hadits Abu hurairah bahwa Nabi bersabda: “ tidak boleh dinikahi seorang
bersama bibinya”(H.R Muslim).

2. Macam-macam Takhsis
Takhsis ada dua macam, yaitu takhsis muttasil (langsung) yakni antara
lafadz yang umum (‘am) langsung disambung dengan lafadz yang
mentakhsisnya. Di mana takhisis itu terjadi dalam satu kalimat yang
sama. Kemudian takhsis munfasil (tidak langsung) yakni takhsis yang
berada dalam kalimat yang lain atau terpisah. Takhsis munfasil dan
takhsis jenis ini diuraikan menjadi berbagai macam yaitu :
a. Takhsis Al-Qur’an dengan Al-Qur’an
Seperti firman Allah SWT yang artinya;”dan para istri yag diceraikan
(wajib) menahan diri mereka (menunggu) tiga kali quru’...”(Q.S Al
Baqarah [2]: 228)
Ayatnya tersebut bersifat umum (‘am) untuk seluruh wanita yang
diceraikan. Namun,ternyata ayat tersebut ditakhsiskan dengan ayat
lain pada surah Al ahzab [33]: 49 tentang para wanita yang dicerai
sebelum sempat dicampuri suaminya yang berbuyi: “wahai orang-
orang yang beriman! Apabila kamu menikahi prempuan-perempuan
mu’min,kemudian kamu ceraikan mereka sebelum kamu
mencampurainnya maka tidak ada masa iddah atas mereka yang
perlu kamu perhitungkan. Namun berilah mereka mut’ah dan
lepaskanlah mereka itu dengan cara yang sebaik-baiknya” (Q.S Al
Ahzab [33]: 49)
Dengan demikian keumuman bagi setiap wanita yang dicerai harus
beriddah tiga kali suci tidak berlaku bagi wanita yang sedang hamil
dan yang dicerai dalam keaadaan belum pernah dicampuri.
b. Takhsis Al-Qur’an dengan Sunnah
Misalnya firman Allah dalam surah Al Maidah [5]:38 yang artinya
“adapun orang laki-laki maupun perempuan yang mencuri, potonglah
tangan keduannya...”(Q.S Al Maidah [5]: 38). Dalam ayat di atas tidak
disebutkan batasan nilai barang yang dicuri. Kemudian ayat di atas
ditakhsiskan oleh sabda Nabi Muhammad SAW yang artinya : “ tidak
ada hukuman potong tangan di dalam pencurian yang nilai barang
yang dicurinya kurang dari seperempat dinar.” (H.R Al Jama’ah).
Dari ayat dan hadits di atas, jelaslah bahwa apabila barang
yang dicuri kurang dari seperempat dinar, maka si pencuri tidak di
jatuhi hukuman potong tangan.
c. Takhsis Sunnah dengan Al Qur’an
Misalnya hadits Nabi Muhammad SAW yang artinya “ Allah tidak
menerima shalat salah seorang dari kaum jika ia berhadats sampai ia
berwudhu.”(H.R Bukhari dan Muslim)
Hadits di atas kemudian ditakhsis oleh firman Allah dalam surah Al
Ma’idah [5]:6 artinya : “ ...dan jika kamu sakit atau dalam perjalanan
atau kembali dari tempat buang air ( kakus) atau menyentuh
perempun, maka jika kamu tidak memperoleh air, maka
bertayamumlah dengan debu yang baik (suci)...”(Q.S Ma’idah [5]:6)
keumuman hadits di atas tentang alat-alat berwudhu harus dengan
air, jika tidak dengan air niscayah shalatnya tidak sah. Keumuman
hadits ditakhsiskan oleh ayat Al Qur’an, dengan pengertian orang
yang tidak mendapatkan air/tidak bisa menggunakan air, boleh
bertayamum sebagai ganti dari wudhu.
d. Takhsis Sunnah dengan Sunnah
Seperti hadits Nabi Muhammad SAW yang artinya : “dalam (dalam
hasil pertanian) yang diairi dari air hujan, zakatnya adalah
sepersepuluh”, hadits ini bersifat umum (‘am). Keumuman hadits di
atas tidak dibatasi dengan jumlah hasil panenya, baik hasil pertanian
itu sedikit atau banyak. Hadits ini ditakhsis dengan hadits shahih yang
lain, yang artinya:”tidak ada kewajiban zakat bagi hasil pertanian di
bawah lima ausuq (bagi hasil tanaman)”.
Dari kedua hadits di atas jelaslah bahwa tidak semuah
tanaman wajib dizakati, kecuali yang sudah mencapai lima wasaq.
e. Mentakhsis Al Qur’an dengan Ijma’
Contohnya : “ ...apabila telah diseru untuk melaksanakan shalat pada
hari jum’at maka segeralah kamu mengingat Allah dan tinggalkanlah
jual beli...”(Q.S Al Jumu’ah [62]: 9)
Menurut ayat tersebut, kewajiban shalat jum’at berlaku bagi semuah
orang. Akan tetapi para ulama telah sepakat (ijma’) bahwa kaum
wanita,budak, dan anak-anak tidak wajib shalat jum’at.
f. Mentakhsis Al Qur’an dengan Qiyas
Misalnya dalam surah An nur [24]: 2 yang artinya : “penzina
perempuan dan penzina laki-laki,deralah masing-masing dari
keduannya seratus kali...”(Q.S An Nur [24]: 2)
Keumuman ayat di atas ditakhsis oleh An Nisa [4]:25.”...apabila
mereka telah berumah tangga (bersuami),tetapi melakukan
perbuatan keji (zina), maka hukuman bagi mereka setengah dari apa
(hukuman) perempuan-perempuan merdeka (yang tidak
bersuami)...”(Q.S An Nisa [4]:25).
Ayat di atas menerangkan secara khusus. Bahwa hukuman dera bagi
penzina budak perempuan adalah separuh dari dera yany berlaku
bagi orang merdeka yang berzina. Kemudian hukuman dera bagi
budak laki-laki diqiyaskan dengan hukumann bagi budak perempuan,
yaitu lima puluh kali dera.
g. Metakhsis dengan akal
Takhsis dengamn akal ini boleh untuk hal-hal yang tidak
berhubungan dengan suatu hukum sebagai contoh adalah firman
Allah yang artinya:”...Allah adalah pencipta segala sesuatu...”(Q.S Ar
Rad [13]: 16)
Maknanya adalah hakikat segala sesuatu itu wujud dari daya cipta
Allah,walau secara tidak langsung.seperti wujud sebuah mesin,
adalah ciptaan manusia. Tetapi pada hakikatnya Allah-lah yang
dengan kekuasannya menyebabkan seseorang mampu membuat
mesin.
h. Takhsis dengan Rasa pemahaman
Seperti halnya takhsis dengan akal, takhsis ini berlaku untuk kasus
nonhukum. Seperti firman Allah dalam surah An Naml [27]:23 yang
artinya: sungguh,kudapati ada seorang perempuan yang memerintah
mereka, dan dia dianugrahi segala sesuatu serta memiliki singgasana
yang besar.”(Q.S An Naml [27]:23).dalam ayat ini seakan semuah
kerajaan adalah milik dia, tetapi kenyataanya bahwa ada banyak
karunia yang lebih besar yang dimiliki Nabi Sulaiman A.S
i. Takhsis dengan Kalimat sebelumya
Seperti firman Allah dalam surah Al A’raf [7]:163 yang artinya : “dan
tanyakan kepada bani israil tentang negeri yang terletak di dekat
laut...”berdasarkan kalimat sebelumnya,yang dimaksud dengan
negeri ituadalah para penduduknya,seperti firman Allah.”yaitu ketika
mereka melanggar aturan pada hari sabat.”
j. Mentakhsis dengan Pendapat Sahabat
Jumhur ulama berpendapat bahwa takhsis hadits dengan pendapat
sahabat tidak diterima. Adapun menurut Hanafiyah dan Hanbaliyah
dapat diterima jika sahabat itu yang meriwayatkan hadits yang
ditakhsisny. Misalnya :”barang siapa menggantikan agamanya (dari
agama islam ke agama lain, yang murtad),maka bunulah dia (H.R
Bukhari dan Muslim).
Menurut hadits tersebut, baik laki-laki maupun perempuan yang
murtad hukumnya dihilangkan nyawanya. Tetapi ibnu abbas (perawi
hadits tersebut) berpendapat bahwa perempuan yang murtad tidak
dihilangkan nyawannya, hanya dipenjarakan saja.
Pendapat di atas ditolak oleh jumhur ulama yang mengatakan bahwa
perempuan yang murtad juga harus dihilangkan nyawannyasesuai
dengan ketentuan umum hadits tersebut. Pendapat sahabat yang
metakhsis keumuman hadits di atas tidak dibenarkan karena yang
menjadi pegangan kita,kata jumhur ulama , adalah lafadz-lafadz
umum yang datang dari Nabi Muhammada SAW .di samping itu,
mungkin bahwa sahabat tersebut beramal berdasarkan dugaan
sendiri.

Anda mungkin juga menyukai