Anda di halaman 1dari 32

MATERI KONSELING

OLEH : HJ.ELMI,S.AG.,M.SY
NIP : 19830123200604 2 001
JUDUL : KHILAFIYAH DI TENGAH MASYARAKAT

Khilafiyah dalam bahasa sering diartikan dengan “perbedaan pendapat, pandangan, atau sikap”.
Masalah khilafiyah adalah masalah yang hukumnya tidak disepakati para ulama. Perbedaan
pendapat di antara kalangan umat Islam bukan hanya terdapat dalam masalah fiqih saja,
tetapi khilafiyah juga melingkupi berbagai macam hal. Sebenarnya, ketidaksepakatan yang
terjadi di kalangan umat Islam terkadang hanya pada tataran yang sempit, bahkan seringkali
hanya perbedaan penggunaan istilah. Tapi tidak jarang pula tataran perbedaannya luas, yaitu
antara halal dan haram.

Khilafiyah atau ikhtilaf (perbedaan pendapat) dalam perkara apa saja, termasuk dalam masalah-
masalah pandangan agama adalah sangat wajar. Sesuatu yang mustahil dan akan menjadi suatu
keajaiban apabila seluruh umat Islam di dunia ini dapat dipersatukan dalam satu pendapat,
pandangan, madzhab, dan sikap dalam masalah ushul, furu’, dan siyasah (politik). Hanya sebuah
mimpi jika semua umat Islam di seluruh penjuru dunia dapat bersatu padu dalam satu istimbat
hukum Islam.

Khilafiah pada masa Rasulullah

Pada masa Rasulullah, para sahabat mendengarkan ajaran agama dari Rasulullah, baik berupa
ayat-ayat al-Qur’an maupun hadis Rasulullah, secara lisan dari Rasulullah sendiri, yang dikenal
dengan hadis qawliy, melihat praktek Rasulullah, yang dikenal dengan hadis fi’liy, dan terkadang
juga sahabat mengerjakan sesuatu pekerjaaan yang boleh jadi diakui oleh Rasulullah, yang
terkenal dengan sebutan hadis taqririy. Pada saat Rasulullah mengerjakan sesuatu, para sahabat
meniru begitu saja, tanpa mengetahui apakah yang dikerjakan oleh Rasulullah tersebut,
hukumnya wajib atau sunnah. Para sahabat menyaksikan Rasulullah shalat, mereka langsung
mengikutinya, menyaksikan Rasulullah melaksanakan ibadah haji, mereka langsung menirunya,
dan mereka melihat Rasulullah berwudlu’, juga langsung menirunya. Demikian kebanyakan
perilaku Rasulullah, tanpa disertai penjelasan, apakah sesuatu yang dikerjakan oleh Rasulullah
tersebut, hukumnya wajib atau sunnah dan sebagainya. Keadaan tersebut berlangsung sampai
Rasulullah wafat. Setelah Rasulullah wafat, para sahabat terpencar ke daerah-daerah, dan mereka
menjadi panutan bagi masyarakat tempat tinggal mereka. Peristiwa dan permasalahan makin
berkembang, dan merekalah yang menjadi tumpuan pertanyaan masyarakat. Mereka memberi
jawaban, sesuai dengan dalil al-Quran dan hadis Rasulullah yang mereka hafal, dan sesuai
dengan kemampuan istinbath (kemampuan dalam mengambil keputusan hukum) mereka, dari
dalil-dalil tersebut. Seandainya jawaban para sahabat belum memenuhi harapan masyarakat,
maka para sahabat berijtihad dengan menggunakan ra’yu (pendapat) dengan mempertimbangkan
illat (faktor) yang dijadikan pertimbangan oleh Rasulullah, ketika bersabda atau melakukan
sesuatu perbuatan. Mereka berusaha tanpa mengenal lelah untuk memahami apa yang
dikehendaki oleh Allah dan Rasul-Nya. Dalam kondisi demikian, terjadilah khilafiyah di
kalangan para sahabat, yang dilatarbelakangi oleh berbagai faktor.
Faktor Penyebab Khilafiyah

Menurut al-Dahlawi, faktor yang melatarbelakangi terjadinya khilafiyah dalam Islam adalah
sebagai berikut:

1. Teks agama yang tidak Qath’i

Dalam sumber ajaran Islam, sering ditemukan ayat al-Qur’an atau hadis

Rasulullah yang bersifat dhanniy al-dalalah (memiliki berbagai kemungkinan makna). Diantara
ayat al-Qur’an yang bersifat dhanniy al-dalalah adalah ayat 228 surat al-Baqarah sebagai
berikut:

‫والمطلقات یتربصن بانفسھن ثالثة قروء وال یحل لھن ان یكتمن ما خلق هللا في‬

‫ارحامھن ان كن یؤمن بللھ والیوم االخر وبعولتھن احق بردھن في ذلك ان ارد وا‬

‫اصالحا ولھن مثل الذي علیھن بالمعروف وللرجال علیھن درجة وهللا عزیز حكیم‬

“Wanita-wanita yang ditalak, hendaklah menahan diri (menunggu) tiga kali quru’, Mereka tidak
boleh menyembunyikan apa yang diciptakan Allah dalam rahimnya, jika mereka beriman
kepada Allah dan hari akhirat. Suami-suami mereka berhak merujukinya dalam masa menanti
itu, jika mereka (para suami) itu menghendaki islah. Para wanita mempunyai hak yang
seimbang dengan kewajibannya menurut cara yang ma’ruf. Akan tetapi para suami mempunyai
satu tingkatan kelebihan dari pada isterinya. Allah Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana.”

Dalam bahasa Arab, seperti dikatakan al-Raghib al-Isfahani kata alqar’u, memiliki dua makna,
yaitu al-thuhru (suci) dan al-haidah (haid atau menstruasi). Oleh karena kata ini memiliki dua
makna, maka wajar terjadi khilafiyah di kalangan kaum muslimin, ketika memaknai kata
tersebut. Ulama yang memaknai kata al-qar’u dengan al-haidhah mengemukakan beberapa
argumentasi bahwa kata al-qar’u pada dasarnya berarti berkumpul. Haid dikatakan al-qar’u,
karena haid adalah berkumpulnya darah dalam rahim. Kelompok ini juga berargumentasi dengan
sebuah ucapan Rasulullah kepada Fatimah binti Abi Hubaisy (Ali al-Shabuny: 1975: 30) yang
berbunyi:

‫دعي الصالة ایام اقراءك‬

“Tinggalkan shalat, ketika hari-hari quru’mu”

Yang dimaksud dengan aqra’ dalam hadis di atas, adalah masa-masa

haid, sebab pada hari-hari haid itulah, seorang wanita meninggalkan shalat. Argumentasi lain
yang dikemukakan oleh kelompok ini bahwa iddah disyariatkan adalah mengetahui kehamilan
seorang wanita, dan untuk mengetahui kehamilan adalah haid, bukan suci. Sebaliknya ulama
yang mengartikan kata al-qur’u dengan makna al-thuhru mengajukan beberapa argumentasi,
diantaranya adalah adanya huruf ta’ dalam bilangan salasat.(tiga) Adanya huruf ta’ tersebut
menunjukkan bahwa bilangan salasat (tiga) adalah mu’annas. Menurut kaidah dalam bahasa
Arab bahwa jika kata bilangan ditambah huruf yang menunjukkan muannas seperti ta’, maka
yang dihitung adalah muzakkar. Yang muzakkar dalam hal ini adalah al-thuhr, bukan al-haidah,
sebab alhaidah adalah muannas. Argumentasi lain yang diajukan oleh kelompok ini adalah
adanya ayat al-Qur’an yang artinya: Talaklah wanita pada waktu iddahnya (QS al-Thalaq ayat 1).
Waktu iddah di sini adalah waktu suci (al-thuhr), sebab talak pada waktu haid dilarang. Jadi,
demikian kelompok ini berargumentasi bahwa kata al-qar’u dalam ayat di atas adalah al-thuhr,
bukan al-haidhah. Demikian dua kelompok ini masing-masing memiliki argumentasi,dan tidak
ada yang mau mengikuti argumentasi

kelompok lain.

2. Teks agama yang kontradiksi.

Banyak teks agama, khususnya teks hadis yang terdapat dalam kitab-kitab hadis, baik kitab hadis
shahih maupun kitab sunan, yang memiliki kontradiksi makna matan antara satu hadis dengan
hadis lainnya, dalam masalah-masalah tertentu. Diantara teks hadis yang saling kontradiksi
makna matan tersebut, misalnya teks hadis tentang membaca surat al-Fatihah bagi makmum (Al-
Tirmizi: 2003:80), yang berbunyi:

‫ال صالة لمن لم یقرأ بفاتحة الكتاب‬

“Tidak sah shalat, bagi orang yang tidak membaca surat al-Fatihah.”

Menurut hadis ini, setiap orang yang melaksanakan shalat, harus membaca surat al-Fatihah, dan
tanpa membaca surat al-Fatihah, maka shalatnya tidak sah.Makna hadis ini begitu umum, yaitu
mencakup shalat sendiri dan shalat berjamaah. Dalam shalat berjamaah, baik imam maupun
makmum harus membaca surat al-Fatihah. Disamping itu, terdapat lagi hadis lain (ibnu Majah
2004:272), yang bertentangan makna dengan hadis di atas, yaitu sebagai berikut:

‫من صلي خلف االمام فقراءة االمام لھ قراءة‬

“Orang shalat menjadi makmum, maka bacaan imamnya sudah cukup

mewakili bacaan makmum.”

Menurut hadis ini, makmum tidak perlu membaca surat Al-Fatihah. Dengan kenyataan seperti
ini, maka terjadilah khilafiyah di kalangan umat Islam. Sebagian umat Islam, ada yang
melaksanakan shalat dengan selalu membaca surat al-fatihah, baik ketika ia shalat sendiri,
maupun ketika shalat berjamaah, baik ketika ia menjadi imam maupun ketika ia menjadi
makmum. Sebagian lagi ada yang membaca surat al-Fatihah hanya ketika shalat sendiri, dan
ketika menjadi imam shalat berjamaah. Sedangkan ketika ia menjadi makmum, ia tidak
membaca surat al-Fatihah. Teks hadis lain lagi yang saling kontradiksi makna matan, adalah
hadis tentang boleh atau tidaknya sahabat menulis hadis pada zaman Rasulullah. Terdapat satu
hadis seperti dikutip Hasbi al-Shiddiqi (1974:55), yang berbunyi:

‫التكتبوا عني غیر القران و من كتب عني غیر القرآن فلیمحھ‬

“janganlah kalian menulis selain al-Qur’an. Orang yang telah terlanjur

menulis sesuatu selain al-Qur’an, hendaklah yang ditulis yang bukan al-Qur’an itu dihapus.”

Menurut hadis ini, Rasulullah melarang para sahabat untuk menulis segala hadis yang berasal
dari Rasulullah.Oleh karena itu, hanya sebagian kecil sahabat yang pernah menulis hadis pada
masa Rasulullah. Diantara sahabat yang pernah menulis hadis pada masa Rasulullah adalah
Abdullah bin Amr bin Ash, Anas bin Malik, dan lain-lain Sedangkan hadis lain yang
membolehkan menulis hadis adalah yang berbunyi:

‫اكتبوا عني فوالذي نفسي بیده ما خرج من فمي اال حق‬

“Tulislah segala sesuatu (hadis) yang berasal dari saya, sebab segala sesuatu (hadis) yang
berasal dari saya adalah sebuah kebenaran”.

Demikian keadaan teks hadis dalam kitab-kitab hadis, dan ternyata begitu beragam dan kadang-
kadang terjadi kontradiksi makna antara satu matan dengan makna matan hadis lainnya. Jadi
wajar terjadi perbedaan atau perselisihan diantara kaum muslimin, yang dilatarbelakangi oleh
banyaknya teks hadis yang saling kontradiksi makna matannya. Seorang muslim boleh jadi
hanya mendapatkan satu hadis, sedangkan seorang muslim lainnya menemukan hadis yang lain
lagi, yang kebetulan berbeda maknanya.Perbedaan seperti ini, nampaknya terjadi juga di
kalangan ulama fikh terkenal, seperti Imam al-Syafi’i. Imam Ahmad bin Hanbal, Imam Malik,
dan Imam Abu Hanifah. Dalam kitab-kitab fikh atau kitab tafsir Ahkam, sering kita menemukan
perbedaan pendapat di lakangan ulama fikh tersebut, yang disebabkan oleh berbedanya hadis
yang mereka gunakan sebagai hujjah. Imam al-Syafi’i, misalnya, ketika mengatakan bahwa
basmalah termasuk ayat pertama surat al-Fatihah, berpedoman kepada hadis yang artinya:

“jika kalian membaca surat al-Fatihah, maka baca lebih dahulu basmalah, sebabsurat al-
Fatihah, adalah Umm al-Kitab, dan al-Sab’ al-masani, dan basmalah adalah salah satu ayat
dari surat al-Fatihah”.

Sebaliknya imam Malik, ketika mengatakan bahwa basmalah bukan termasuk surat al-Fatihah,
berpedoman kepada hadis Nabi yang artinya:

“saya (sahabat Anas bin Malik) pernah shalat menjadi makmum di belakang Nabi, Abubakar al-
Shiddiq, Umar bin Khattab, dan Usman bin Affan, dan mereka memulai membaca surat al-
Fatihah, dengan al-hamdulillah rabbi al-alamin.”

Jadi jelas, dua hadis yang digunakan oleh masing-masing Imam al-Syaf.i dan Imam Malik,
memiliki makna yang saling kontradiksi, dan dengan demikian perbedaan pendapat di kalangan
kaum muslimin, sulit dihindari dengan adanya teks agama yang saling kontradiksi tersebut.
3. Perbedaan dalam memahami hakikat sumber agama.

Perbedaan dalam masalah ini, adalah perbedaan ulama mujtahid dalam menetapkan apa saja
yang menjadi sumber hukum Islam. Ada sebagian ulama yang mengatakan bahwa sumber
hukum Islam hanya ada dua, yaitu al-Qur’an dan Hadis. Sebagian lagi ada yang mengatakan
bahwa sumber hukum Islam adalah al-Qur’an, hadis, ijma‘ dan qiyas. Bahkan ada lagi sebagian
ulama yang mengatakan bahwa sumber hukum Islam disamping al-Qur’an, hadis, ijma’, dan
qiyas, adalah al-masalih al-mursalah, ‘amal ahl, al-madinah (praktek penduduk Madinah), dan
sebagainya. Bagi kelompok yang menganggap sumber hukum Islam hanya al-Qur’an dan hadis,
maka segala yang dihasilkan oleh manusia, apakah ijma’ para sahabat, qiyas, ‘amal ahl al-
madinah, dan masalih al-mursalah, tidak dapat dijadikan sumber hukum Islam. Sebaliknya, bagi
kelompok yang menganggap sumber hukum Islam, tidak terbatas pada al-Qur’an dan hadis,
maka sumber-sumber selain al-Qur’an dapat dijadikan sumber hukum. Argumentasi kelompok
disebut kedua ini, adalah bahwa banyak ayat al-Qur’an maupun hadis Rasulullah yang masih
bersifat dhanniy al-dalalah. Dalam kondisi seperti ini, ijma’ para sahabat, qiyas, dan sebagainya
seperti disebut di atas, dapat menjadi rujukan bagi umat Islam.

Salah satu contoh ajaran agama yang tidak secara tegas (qath’i) disebutkan dalam al-Qur’an atau
hadis, adalah zakat binatang ternak berupa ayam atau kuda. Bila yang dijadikan dalil adalah ayat
atau hadis saja, maka ayam dan kuda tidak termasuk kelompok binatang yang wajib dizakatkan,
karena tidak terdapat dalil dalam dua sumber hukum tersebut, yang mengharuskan kaum
muslimin untuk mengeluarkan zakat ayam dan kuda. Padahal hasil yang diperoleh dari
pemeliharaan ayam dan kuda cukup besar, dan tidak kalah dari hasil pemeliharaan kambing atau
kerbau atau sapi. Oleh karena itu, perlu digunakan qiyas. Kemudian muncullah sebuah hasil
ijtihad berupa qiyas, yang mewajibkan zakat ayam atau kuda. Hasil qiyas (analog) inilah yang
dijadikan sumber hukum, tentang wajibnya zakat ayam atau kuda, bukan bersumber langsung
dan eksplisit dari al-Qur’an dan hadis. Untuk mengambil jalan tengah antara dua golongan
tersebut, ada yang memilah sumber hukum tersebut menjadi dua, yaitu sumber primer (utama),
dan sumber sekunder( sumber kedua). Yang termasuk sumber primer adalah al-Qur’an dan hadis.
Sedangkan yang termasuk sumber sekunder adalah ijma’, qiyas, al-masalih almursalah, amal
ahl al-madinah, dan sebagainya.

4. Perselisihan mengenai shahih atau tidaknya hadis.

Perselisihan dalam hal ini sering terjadi, sebab beberapa sanad atau perawi hadis ada yang
diperselisihkan nilainya oleh ahli hadis. Si A, misalnya, sebagai perawi hadis, dapat diterima
riwayatnya oleh sebagian ahli hadis, dan ia ditolak riwayatnya oleh ahli hadis yang lain. Contoh
konkrit dalam buku-buku hadis adalah seorang perawi hadis bernama Abu Laila. Sebagai perawi
hadis, Abu Laila dianggap sebagai perawi hadis yang memenuhi syarat oleh sebagian ahli hadis.
Oleh karena itu, hadis yang diriwayatkan oleh Abu Laila, dikategorikan sebagai hadis shahih
oleh al-Bukhari. Sebaliknya, Abu Laila dianggap sebagai perawi hadis yang tidak memenuhi
syarat sebagai perawi hadis oleh sebagian ahli hadis, seperti al-Nasa’i. Oleh karena itu, hadis
yang diriwayatkan oleh Abu Laila, dianggap sebagai hadis da’if oleh al-Nasa’i. Dampak dari
perbedaan penilaian ulama terhadap Abu Laila tersebut, adalah bahwa hadis yang diriwayatkan
oleh Abu Laila, tidak selamanya bernilai shahih, tetapi tergantung pada siapa yang menilai Abu
Laila. Hadis riwayat Abu Laila dapat menjadi shahih, jika yang menilainya adalah al-Bukhari,
dan dapat bernilai dhaif, bila yang menilainya al-Nasa’i.

Solusi Terhadap Masalah Khilafiyah

Menurut ulama hadis, bila terdapat hadis yang saling bertentangan makna dalam sesuatu
persoalan, maka dapat ditempuh beberapa cara untuk menyelesaikannya, yaitu:

1. al-Tarjih

Dari segi bahasa, al-tarjih adalah menguatkan. Al-Tarjih, sebagai solusi dalam masalah hadis,
adalah melakukan penelitian pada semua hadis yang saling bertentangan, untuk mengetahui
mana hadis yang bernilai shahih, dan mana hadis yang bernilai dhaif, dan mana hadis yang
bernilai lebih shahih, dan mana hadis yang bernilai shahih saja, mana hadis yang bernilai
mutawatir, dan mana hadis yang berrnilai ahad. Dengan menggunakan solusi al-tarjih, kita
tinggal melakukan penelitian, mana diantara dua hadis tersebut yang shahih, dan mana yang
dhaif.

2. Al-Jam’u.

Al-jam’u, dari segi bahasa, berarti mengumpulkan. Dalam kaitan dengan hadis-hadis yang
bertentangan dari segi makna, yang dimaksud dengan al-jam’u adalah mengkompromikan
makna hadis yang bertentangan, sehingga tidak terlihat lagi bertentangan. Komprominya, dapat
saja dengan cara dipahami bahwa hadis yang mewajibkan membaca al-fatihah adalah shalat
sendirian, sedangkan hadis yang tidak mewajibkan membaca al-fatihah adalah shalat berjamaah,
khususnya bagi makmum.

3. Nasikh Mansukh

Jika solusi pertama dan kedua, yaitu al-tarjih dan al-jam’u, tidak dapat menyelesaikan hadis-
hadis yang bertentangan makna, maka kita boleh menggunakan solusi ketiga, yaitu al-nasikh wa
al-mansukh. Nasikh, dari segi bahasa, adalah menghapus, atau membatalkan. Sedangkan
mansukh adalah yang dihapus atau dibatalkan. Menurut ulama hadis, nasikh mansukh hadis
adalah membatalkan atau menghapus berlakunya hukum yang ditetapkan terlebih dahulu, dengan
adanya atau munculnya hukum baru yang ditetapkan setelahnya. Contoh dua hadis yang
bertentangan dari segi matan, dan untuk menyelesaikannya dapat menggunakan nasikh mansukh,
adalah hadis yang menyuruh sahabat untuk menulis hadis, dan hadis yang melarang sahabat
untuk menulis hadis, sebagaimana dikemukakan di atas. Solusi dengan cara nasikh mansukh

dari dua hadis tersebut, adalah kita mencari mana hadis yang lebih dahulu muncul, dan mana
hadis yang belakangan muncul. Hadis yang diketahui lebih dahulu muncul, dianggap berakhir
masa lakunya, dan hadis yang muncul belakangan mulai diberlakukan.
MATERI KONSELING
OLEH : HJ.ELMI,S.AG.,M.SY
NIP : 19830123200604 2 001
JUDUL : NASAB DALAM ISLAM
Nasab adalah kerabat atau keturunan. Nasab berasal dari bahasa Arab al-nasb yang artinya
menghubungkan kekerabatan, keturunan atau menyebutkan keturunan. Bila al-nasb dibentuk
menjadi kalimat tanaasub artinya ikatan, hubungan, kesamaan, atau kesetaraan.

Sementara, menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia atau KBBI, nasab adalah keturunan
terutama keturunan dari pihak bapak. Namun bukan hanya keturunan, ternyata nasab juga bisa
digunakan untuk hubungan darah horizontal seperti paman, bibi, saudara sekandung, dan lain
sebagainya.

Istilah nasab memiliki peranan penting terutama jika menyangkut beberapa hal. Kata nasab
sendiri biasanya digunakan untuk mengurus hak waris, perwalian, dan lain sebagainya yang
menyangkut hukum dalam islam.
Terdapat sejumlah ulama yang berpendapat mengenai definisi nasab, antara lain:

Ibnu Aby Taghlib

Menyatakan nasab adalah "al-ittishal baina insanain bi al-isytirak fi wiladatin qariibatin au ba


'idatin" artinya hubungan keterikatan antara dua orang dengan persamaan dalam kelahiran, dekat
maupun jauh.

Wahbah al- Zuhaili

Mendefinisikan nasab adalah suatu sandaran yang kokoh untuk meletakkan suatu hubungan
kekeluargaan berdasarkan kesatuan darah atau pertimbangan bahwa yang satu adalah bagian dari
yang lain. Misalnya seorang anak adalah bagian dari ayahnya, dan seorang ayah bagian dari
kakeknya. Dengan demikian orang-orang yang serumpun nasab adalah orang-orang yang satu
pertalian darah.

Ibnu Athiyah

Menyatakan bahwa nasab adalah "an yajma'a insan ma'a akhar fi abin au ummin qaraba dzalik
am ba' uda" artinya seorang manusia berkumpul bersama yang lain dalam hubungan kebapaan
atau keibuan, baik hubungan itu dekat maupun jauh.

Ada beberapa cara dalam menentukan nasab. Berikut sistem penentuan nasab adalah:

1. Sistem Bilateral atau Parental


Sistem yang pertama adalah sistem bilateral atau parental. Maksunya adalah keturunan yang
menganggap keturunan berasal dari hubungan kekerabatan kedua pihak orang tua baik ayah
maupun ibu.

2. Sistem Patrilineal

Sistem partilineal adalah sistem yang menyebutkan bahwa keturunan didapat dari hubungan
kekeluargaan melalui pihak ayah atau laki-laki saja. Dalam sistem ini keturunan hanya dianggap
atau dilihat dari kerabat atau keluarga ayahnya saja.

3. Sistem Matrilineal

Sistem matrilineal yaitu sistem keturunan yang memperhitungkan hubungan kekeluargaan


melalui pihak ibu atau perempuan saja.

4. Sistem Bilineal

Sistem bilineal atau yang dikenal dengan dubbel-unilateral, yaitu sistem yang memperhatikan
hubungan kekerabatan atau kekeluargaan melalui pihak ayah atau laki-laki saja untuk beberapa
hal dan demikian juga dengan keturunan pihak perempuan yang hanya berlaku untujk beberapa
hal tertentu.

Berdasarkan sistem tersebut, menurut pendapat ulama, agama Islam yang mengacu pada Alquran
dan Sunnah menganut sistem bilateral atau parental. Sedangkan Ulama Fiqih berpendapat bahwa
nasab dalam agama Islam cenderung menganut sistem patrilineal.

Hukum Nasab dalam Agama Islam

Nasab dalam hukum Islam memiliki kualitas yang sangat penting, karena dengan adanya nasab
secara filosofi antara anggota keluarga besar memiliki keterkaitan dan keterikatan yang sangat
kuat dan menjadi pondasi utama untuk terbentuknya suatu kelompok manusia yang kokoh, setiap
anggota kelompok terikat dan terkait dengan anggota yang lainnya.

Hukum Islam melarang seorang ayah mengingkari nasab anak-anaknya, demikian pula seorang
ibu diharamkan menghubungkan nasab anak bukan pada ayah yang sebenarnya. Demikian pula
hukum Islam mengharamkan menghubungkan nasab anak kepada ayah angkatnya. Hal ini
berdasarkan hadits:

“Perempuan mana pun yang menasabkan seorang anak kepada kaum yang bukan dari kaum
tersebut, maka ia tidak mendapat apa-apa (rahmat) dari sisi Allah. Dan Dia tidak akan
memasukkan perempuan itu ke dalam surga-Nya."

“Begitu pula laki-laki mana pun yang mengingkari anaknya, sedangkan dia melihat kepadanya,
maka Allah akan menghalangi diri darinya dan Dia justru akan membuka aibnya di hadapan
seluruh makhluk, baik generasi awal maupun generasi akhir,” (HR Abu Dawud).
Hak Waris

Nasab adalah kerabat atau keturunan. Nasab berasal dari bahasa Arab al-nasb yang artinya
menghubungkan kekerabatan, keturunan atau menyebutkan keturunan. Bila al-nasb dibentuk
menjadi kalimat tanaasub artinya ikatan, hubungan, kesamaan, atau kesetaraan.

Sementara, menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia atau KBBI, nasab adalah keturunan
terutama keturunan dari pihak bapak. Namun bukan hanya keturunan, ternyata nasab juga bisa
digunakan untuk hubungan darah horizontal seperti paman, bibi, saudara sekandung, dan lain
sebagainya.

Istilah nasab memiliki peranan penting terutama jika menyangkut beberapa hal. Kata nasab
sendiri biasanya digunakan untuk mengurus hak waris, perwalian, dan lain sebagainya yang
menyangkut hukum dalam islam.

Definisi Nasab Menurut Para Ulama

Terdapat sejumlah ulama yang berpendapat mengenai definisi nasab, antara lain:

Ibnu Aby Taghlib

Menyatakan nasab adalah "al-ittishal baina insanain bi al-isytirak fi wiladatin qariibatin au ba


'idatin" artinya hubungan keterikatan antara dua orang dengan persamaan dalam kelahiran, dekat
maupun jauh.

Wahbah al- Zuhaili

Mendefinisikan nasab adalah suatu sandaran yang kokoh untuk meletakkan suatu hubungan
kekeluargaan berdasarkan kesatuan darah atau pertimbangan bahwa yang satu adalah bagian dari
yang lain. Misalnya seorang anak adalah bagian dari ayahnya, dan seorang ayah bagian dari
kakeknya. Dengan demikian orang-orang yang serumpun nasab adalah orang-orang yang satu
pertalian darah.

Ibnu Athiyah

Menyatakan bahwa nasab adalah "an yajma'a insan ma'a akhar fi abin au ummin qaraba dzalik
am ba' uda" artinya seorang manusia berkumpul bersama yang lain dalam hubungan kebapaan
atau keibuan, baik hubungan itu dekat maupun jauh.
Ada beberapa cara dalam menentukan nasab. Berikut sistem penentuan nasab adalah:

1. Sistem Bilateral atau Parental

Sistem yang pertama adalah sistem bilateral atau parental. Maksunya adalah keturunan yang
menganggap keturunan berasal dari hubungan kekerabatan kedua pihak orang tua baik ayah
maupun ibu.

2. Sistem Patrilineal

Sistem partilineal adalah sistem yang menyebutkan bahwa keturunan didapat dari hubungan
kekeluargaan melalui pihak ayah atau laki-laki saja. Dalam sistem ini keturunan hanya dianggap
atau dilihat dari kerabat atau keluarga ayahnya saja.

3. Sistem Matrilineal

Sistem matrilineal yaitu sistem keturunan yang memperhitungkan hubungan kekeluargaan


melalui pihak ibu atau perempuan saja.

4. Sistem Bilineal

Sistem bilineal atau yang dikenal dengan dubbel-unilateral, yaitu sistem yang memperhatikan
hubungan kekerabatan atau kekeluargaan melalui pihak ayah atau laki-laki saja untuk beberapa
hal dan demikian juga dengan keturunan pihak perempuan yang hanya berlaku untujk beberapa
hal tertentu.

Berdasarkan sistem tersebut, menurut pendapat ulama, agama Islam yang mengacu pada Alquran
dan Sunnah menganut sistem bilateral atau parental. Sedangkan Ulama Fiqih berpendapat bahwa
nasab dalam agama Islam cenderung menganut sistem patrilineal.

Hukum Nasab dalam Agama Islam

Nasab dalam hukum Islam memiliki kualitas yang sangat penting, karena dengan adanya nasab
secara filosofi antara anggota keluarga besar memiliki keterkaitan dan keterikatan yang sangat
kuat dan menjadi pondasi utama untuk terbentuknya suatu kelompok manusia yang kokoh, setiap
anggota kelompok terikat dan terkait dengan anggota yang lainnya.

Hukum Islam melarang seorang ayah mengingkari nasab anak-anaknya, demikian pula seorang
ibu diharamkan menghubungkan nasab anak bukan pada ayah yang sebenarnya. Demikian pula
hukum Islam mengharamkan menghubungkan nasab anak kepada ayah angkatnya. Hal ini
berdasarkan hadits:

“Perempuan mana pun yang menasabkan seorang anak kepada kaum yang bukan dari kaum
tersebut, maka ia tidak mendapat apa-apa (rahmat) dari sisi Allah. Dan Dia tidak akan
memasukkan perempuan itu ke dalam surga-Nya."

"Begitu pula laki-laki mana pun yang mengingkari anaknya, sedangkan dia melihat kepadanya,
maka Allah akan menghalangi diri darinya dan Dia justru akan membuka aibnya di hadapan
seluruh makhluk, baik generasi awal maupun generasi akhir,” (HR Abu Dawud).

Hak Waris

Seperti yang sudah disebutkan di atas, ketika membicarakan nasab, maka biasanya juga akan
membahas mengenai hak waris dan juga perwalian. Dalam Islam mengatur, jika pihak istri
meninggal dan tidak memiliki anak dalam pernikahan, maka suami mendapat bagian setengah
dari harta warisnya.

Sementara itu, jika sang istri yang meninggal dan memiliki anak, maka suami juga mendapat
seperempat dari harta warisnya. Apabila suami meninggal dan tidak memiliki anak, maka istri
mendapat bagian seperempat dari harta waris.

Sementara itu, bila suami yang meninggal dan memiliki anak, maka si istri mendapat
seperdelapan dari harta waris Pembagian hak waris ini diketahui berdasarkan ayat:

Bagimu (suami-suami) seperdua dari harta yang ditinggalkan oleh istri-istrimu, jika mereka
tidak mempunyai anak. Jika istri-istrimu itu mempunyai anak, maka kamu mendapat seperempat
dari harta yang ditinggalkannya sesudah dipenuhi wasiat yang mereka buat atau (dan) seduah
dibayar utangnya."

"Para istri memperoleh seperempat harta yang kamu tinggalkan jika kamu tidak mempunyai
anak. Jika kamu mempunyai anak, maka para istri memperoleh seperdelapan dari harta yang
kamu tinggalkan sesudah dipenuhi wasiat yang kamu buat atau (dan) sesudah dibayar hutang-
hutangmu,” (Surat An-Nisa’ ayat 12).
MATERI KONSELING
OLEH : HJ.ELMI,S.AG.,M.SY
NIP : 19830123200604 2 001
JUDUL : ORANG YANG PALING BERHAK JADI IMAM SALAT BERJEMAAH
Salat berjemaah memiliki keutamaan dibanding mengerjakan salat seorang diri. Banyak hadits
yang menjelaskan tentang keutamaan salat berjemaah. Salah satunya adalah hadits yang
diriwayatkan oleh Bukhari dan Muslim berikut ini: Ibnu Umar r.a. meriwayatkan bahwa
Rasulullah saw. bersabda, “Salat berjemaah lebih utama 27 derajat dibanding salat sendirian.”
Dalam mengerjakan salat berjemaah tentu membutuhkan imam salat. Menurut Sayyid Sabiq
dalam bukunya yang berjudul Fiqih Sunah, orang yang paling berhak menjadi imam salat
berjemaah adalah yang paling pandai membaca Al-Qur’an.

Apabila misalnya di antara orang-orang yang hendak menunaikan salat berjemaah memiliki
keahlian membaca Al-Qur’an yang sama, maka pilihlah imam yang hijrahnya lebih awal. Jika
tetap sama, maka pilihlah orang yang usianya lebih tua untuk menjadi imam salat.
Abu Sa’id r.a.. meriwayatkan bahwa Rasulullah saw. bersabda, “Jika terdapat satu kelompok
yang berjumlah tiga orang, hendaklah satu dari mereka menjadi imam. Orang yang lebih berhak
menjadi imam ialah orang yang paling pandai bacaan Qur’annya.” (H.R. Ahmad, Muslim, dan
Nasa’i).
Maksud dari “orang yang paling pandai bacaan Qur’annya” di hadits di atas tak hanya yang
bagus bacaan Qur’annya, akan tetapi juga yang paling banyak hafalan Al-Qur’annya. Hal
tersebut berdasarkan hadits Amr bin Salamah berikut ini:
“Yang menjadi imam kalian, hendaklah orang yang paling banyak hafalan Qur’annya.”
Ibnu Mas’ud meriwayatkan bahwa Rasulullah saw. bersabda, “Orang yang lebih berhak menjadi
imam bagi suatu kaum ialah orang yang paling pandai bacaan Al-Qur’annya. Jika mereka sama-
sama pandai membaca Al-Qur’an, maka yang paling mengerti sunah Nabi saw. Jika pengetahuan
mereka terhadap sunah Nabi saw. sama, maka yang lebih dahulu hijrah. Jika hijrah mereka sama,
maka yang lebih tua usianya. Janganlah seseorang menjadi imam orang lain yang berwenang
menjadi imam. Dan janganlah seseorang duduk di kursi khsuus untuk tuan rumah kecuali sudah
diberi izin!”
Selain itu, orang yang paling berhak menjadi imam salat adalah pemimpin suatu daerah, tuan
rumah, pemilik tempat pertemuan, dan pemimpin suatu pertemuan. Mereka itulah yang lebih
berhak menjadi imam salat berjemaah selama mereka tidak mempersilakan orang lain untuk
menjadi imam. Hal itu sesuai dengan hadits berikut ini:
“Janganlah seseorang menjadi imam orang lain dalam keluarganya atau wewenangnya.” (H.R.
Ahmad dan Muslim).
Di hadits yang lain pun disampaikan hal yang serupa. Sa’id bin Manshur berkata, bahwa Nabi
saw. bersabda, “Janganlah seseorang menjadi imam orang lain di dalam lingkungan
kekuasaannya kecuali dengan seizinnya, dan jangalah duduk di kursi khsuus untuk tuan rumah
kecuali dengan seizinnya!”
MATERI KONSELING
OLEH : HJ.ELMI,S.AG.,M.SY
NIP : 19830123200604 2 001
JUDUL : RUMAH TANGGA SAKINAH

Kata Sakinah berasal dari kata sakana yang berarti diam, atau tenang setelah terguncang
dan sibuk. Demikian Dr. Hj. Riadi Jannah Siregar, M.A menjelaskan arti kata sakinah dalam
buku berjudul, Pernikahan Sakinah Mencegah Perceraian.Sementara menurut Al-Jurjani, salah
seorang ahli bahasa, sakinah adalah adanya ketentraman dalam hati pada saat datangnya sesuatu
yang tidak terduga. Dari dua arti di atas disebutkan bahwa maksud dari keluarga Sakinah adalah
keluarga yang tenang, tentram, penuh kebahagiaan, dan sejahtera baik secara lahir atau batin,
serta tidak gentar ketika menghadapi ujian yang ada dalam rumah tangga.

Hal ini juga tercantum dalam firman Allah QS Ar-Rum ayat 21:

‫َوِم ْن َء اَٰي ِتِهٓۦ َأْن َخ َلَق َلُك م ِّم ْن َأنُفِس ُك ْم َأْز َٰو ًجا ِّلَتْس ُكُنٓو ۟ا ِإَلْيَها َو َجَعَل َبْيَنُك م َّمَو َّد ًة َو َر ْح َم ًةۚ ِإَّن ِفى َٰذ ِلَك َل َء اَٰي ٍت ِّلَقْو ٍم َيَتَفَّك ُروَن‬

Artinya: "Dan di antara tanda-tanda kekuasaan-Nya ialah Dia menciptakan untukmu istri-
istri dari jenismu sendiri, supaya kamu cenderung dan merasa tenteram kepadanya, dan
dijadikan-Nya di antaramu rasa kasih dan sayang. Sesungguhnya pada yang demikian itu benar-
benar terdapat tanda-tanda bagi kaum yang berfikir."

Tujuan Terbentuknya Keluarga Sakinah Berdasarkan buku Modernisasi Hukum Keluarga Islam
dalam Menggagas Keluarga Sakinah oleh Asman, S.Ag. Upaya untuk menggagas keluarga
sakinah dalam hukum Islam tercantum pada pasal 77 dan Undang-Undang Perkawinan Nomor 1
tahun 1974, pasal 30-34. Quraish Shihab juga menjelaskan bahwa setiap suami istri, seharusnya
mempunyai prinsip dalam rumah tangganya. Prinsip itulah yang bisa mempertahankan keutuhan
keluarga, salah satunya adalah prinsip saling setia dan membahagiakan.

Dijelaskan juga dalam buku tersebut, bahwa tujuan membangun rumah tangga adalah bagaimana
membina rumah tangga yang damai dan harmonis tanpa adanya paksaan. Hal ini bisa ditiru dari
bagaimana Rasulullah SAW membangun rumah tangga yang harmonis, beliau memberikan
contoh yang baik dalam keluarganya. Mengutip Fuadi, untuk mewujudkan keluarga yang
sakinah, perlu adanya ikhtiar, konsisten, dan adanya kesinambungan antara suami dan istri.
Adapun berdasarkan buku Dr. Hj. Riadi, salah satu tujuan dari keluarga sakinah, adalah
diharapkan agar setiap anggota dapat merasakan tentram, damai, Bahagia, dan juga sejahtera
lahir dan batin. Sejahtera yang dimaksud adalah terbebas dari kemiskinan harta ataupun tekanan
jasmani. Adapun sejahtera batin maksudnya adalah terbebas dari kemiskinan iman serta mampu
mengimplementasikan nilai kehidupan dalam kehidupan keluarga dan masyarakat.

Kriteria dan Ciri Keluarga Sakinah Untuk membangun keluarga yang sakinah dalam buku karya
Asman, M.Ag, ada beberapa kriteria yang perlu diperhatikan, diantaranya yaitu:

1.Memiliki niat yang dalam membina rumah tangga yang baik


2.Memegang prinsip pernikahan
3. Menjalankan hak dan kewajiban dari setiap pasangan
4. Selalu mengingatkan untuk beribadah kepada Allah
5. Menjadikan tempat tinggal yang nyaman, tentram, dan harmonis

Adapun ciri dari keluarga sakinah, menurut buku Dr. Hj. Riadi, adalah seperti yang tercantum
dalam QS Ar-Rum ayat 21. Dalam ayat tersebut tersirat penjelasan mengenai tanda keluarga
Sakinah, yaitu diantaranya taat beragama, memiliki akhlak yang baik dan terpuji, serta harmonis
dalam kehidupan keluarga dan juga dalam kehidupan bermasyarakat.

Bagaimana Membangun Keluarga yang Sakinah?


Melansir buku Dr. Hj. Riadi juga, berikut ini adalah beberapa strategi yang dilakukan untuk
membangun keluarga sakinah, yaitu:
1.Menanamkan nilai-nilai akidah dalam keluarga, agar senantiasa taat dalam memahami agama.

2.Memberikan contoh tentang akhlak yang terpuji, khususnya dari orang tua ke anak-anak
mereka. Bagi keluarga sakinah, akhlak terpuji ini merupakan dasar penting untuk menjadi contoh
bagi keluarga yang lain.

3. Memberikan kesadaran mengenai kedudukan, hak, dan kewajiban, bagi suami dan istri. Hal ini
agar pasangan suami istri mampu melaksanakan tugas dan kewajibannya dengan baik dan adil.

4. Menanamkan keharmonisan dalam hubungan suami istri, agar mereka senantiasa hidup rukun
dan mesra.

5. Menanamkan pola hidup hemat dan sederhana, dengan membuat perencanaan penggunaan
uang yang teratur.
MATERI KONSELING
OLEH : HJ.ELMI,S.AG.,M.SY
NIP : 19830123200604 2 001
JUDUL : TAUHID

Bagi kita umat Islam, kalimat ‫ اَل ِإَل َه ِإَّال هللا‬merupakan kalimat yang sangat mulia dan memiliki
keutamaan yang agung. Kalimat tersebut merupakan kalimat tauhid yang menjadi pondasi utama
agama Islam. Selain itu, kalimat tersebut juga merupakan wujud persaksian yang diucapkan
bersanding dengan kalimat muhammadur rasulullah. Persaksian tersebut merupakan rukun yang
pertama dari rukun Islam. Dengan kalimat tersebut, Allah menciptakan para makhluk, mengutus para
rasul, dan menurunkan kitab-kitab. Dengan kalimat tersebut pula manusia dapat dibedakan menjadi
mukmin atau kafir, menjadi ahli surga atau menjadi ahli neraka. Allah Ta’ala berfirman,
‫َٰٓل‬
‫َش ِه َد ٱُهَّلل َأَّن ۥُه ٓاَل ِإَٰل َه ِإاَّل ُهَو َو ٱْلَم ِئَك ُة َو ُأ۟و ُلو۟ا ٱْلِع ْلِم َقٓاِئًۢم ا ِبٱْلِقْس ِط ۚ ٓاَل ِإَٰل َه ِإاَّل ُهَو ٱْلَع ِزيُز ٱْلَحِكيُم‬

“Allah menyatakan bahwasanya tidak ada Tuhan melainkan Dia (yang berhak disembah), Yang
menegakkan keadilan. Para Malaikat dan orang-orang yang berilmu (juga menyatakan yang
demikian itu). Tak ada Tuhan melainkan Dia (yang berhak disembah), Yang Maha Perkasa lagi
Maha Bijaksana.” (QS. Ali Imran: 18)
Dalam tafsir Al-Muyassar dijelaskan bahwa Allah mempersaksikan bahwa Dia satu-satunya Zat yang
berhak diibadahi, dan menyandingkan persaksian-Nya dengan persaksian para malaikat, para ahli
ilmu dalam perkara paling Agung yang dipersaksikan, yaitu keesaan Allah dan tegaknya Allah dalam
menegakkan keadilan, tidak ada sesembahan yang berhak diibadahi kecuali Dia Yang Maha Perkasa
yang tidak ada sesuatupun yang dikehendakinya kecuali pasti terjadi, juga Maha Bijaksana dalam
firman-firman dan perbuatan-perbuatannya.[1]
Perlu kita ketahui bahwasannya kalimat ‫ اَل ِإَل َه ِإَّال هللا‬memiliki dua rukun, yaitu nafi (peniadaan)
dan itsbat (penetapan). Kalimat ‫ اَل ِإَلَه‬bermakna menafikan segala bentuk ibadah kepada selain Allah.
Dengan kalimat tersebut, kita meyakini bahwa segala sesuatu yang disembah selain Allah adalah
batil. Kita meniadakan segala bentuk penghambaan dan peribadatan kepada selain Allah, baik
penyembahan kepada malaikat, nabi, jin, berhala, dan sebagainya.

Rukun yang kedua terdapat dalam kalimat ‫ِإَّال هللا‬. Kalimat tersebut adalah suatu bentuk penisbatan
bahwasannya hanya kepada Allah Ta’ala saja kita menyembah. Allah satu-satunya yang berhak
diibadahi dan tiada pantas sekutu bagi-Nya. Sebagai hamba yang beriman, kita perlu mengetahui
makna kalimat tauhid yang sebenarnya. Kalimat ‫ اَل ِإَلَه ِإَّال هللا‬bermakna ‫ آل معبود بحق ِإَّال ُهللا‬yaitu tidak ada
sesembahan yang berhak dan wajib disembah melainkan Allah saja.
Memaknai ‫ اَل ِإَلَه ِإَّال هللا‬dengan “tiada Tuhan selain Allah” saja merupakan pemaknaan yang kurang
tepat. Hal tersebut memiliki konsekuensi bahwa apa saja yang disembah manusia adalah Allah.
Subhanallah. Maha Suci Allah dari hal yang seperti itu. Padahal kita ketahui bahwa banyak pula
manusia yang menyembah kepada selain Allah. Sebagai orang beriman, kita meyakini bahwa semua
sesembahan tersebut adalah batil karena hanya Allah saja yang berhak untuk disembah. Allah Ta’ala
berfirman,

‫َذ ِلَك ِبَأَّن َهَّللا ُهَو اْلَح ُّق َو َأَّن َم ا َيْدُع وَن ِم ْن ُدوِنِه ُهَو اْلَباِط ُل‬

“Yang demikian itu, adalah karena sesungguhnya Allah, Dialah (Tuhan) Yang Haq dan
sesungguhnya apa saja yang mereka seru selain dari Allah, itulah yang batil” (QS. al-Hajj: 62)

Sebagai seorang yang beriman kepada Allah, kita mengucapkan kalimat tauhid dengan lisan,
meyakini dalam hati, dan mengimplementasikannya dalam perbuatan. Kalimat ‫ اَل ِإَلَه ِإَّال هللا‬harus kita
pahami maknanya. Jangan sampai kalimat tersebut hanya ada sebatas di lisan saja, namun hatinya
tidak meyakini sebagaimana yang terjadi pada orang-orang munafik. Meskipun mereka
mengucapkan kalimat tauhid, mereka tetap akan menjadi penghuni neraka karena hati mereka
mengingkarinya. Jangan sampai pula kita mengucapkan kalimat tauhid, akan tetapi masih beribadah
kepada selain Allah, meminta kepada jin, menyembah kuburan, dan sebagainya. Na’udzubillah.

Jangan pula kita menjadi orang yang setelah mengucapkan kalimat ‫ اَل ِإَلَه ِإَّال هللا‬lantas diam saja dan
tidak mau mengerjakan amal saleh. Amal saleh adalah wujud dan bukti benarnya tauhid kita. Kita
masih harus mengerjakan salat, puasa, membayar zakat, dan mengerjakan berbagai amal kebajikan
yang lainnya.

Kalimat ‫ اَل ِإَلَه ِإَّال هللا‬tersebut memiliki beberapa syarat. Ulama menjelaskan setidaknya ada delapan
syarat yang harus dipenuhi:

1. Ilmu
Ilmu berarti seorang muslim harus memahami makna yang benar yang terkandung di dalam
kalimat ‫اَل ِإَلَه ِإَّال هللا‬.
2. Yakin
Seorang mukmin harus yakin dan tidak boleh sedikitpun merasa ragu bahwasannya Allah Ta’ala
adalah satu-satunya Zat yang berhak dan wajib untuk disembah.
3. Ikhlas
Ikhlas berarti seorang hamba memurnikan ibadahnya hanya kepada Allah saja, bukan kepada
nabi, malaikat, jin, atau selain-Nya.
4. Jujur
Hal ini berarti seorang hamba harus menyelaraskan antara lisan dan hatinya. Lisannya
mengikrarkan kalimat ‫ اَل ِإَلَه ِإَّال هللا‬dan hatinya membenarkan apa yang diucapkan lisannya.
5. Cinta
Seorang hamba yang mengucapkan kalimat tauhid ‫ اَل ِإَل َه ِإَّال هللا‬haruslah mencintai Allah,
mencintai Rasul-Nya, mencintai agama Islam dan cinta kepada orang-orang yang menegakkan
kalimat ‫اَل ِإَلَه ِإَّال هللا‬.
6. Patuh
Orang yang telah mengucapkan kalimat tauhid kemudian meyakininya maka ia harus patuh dan
tunduk terhadap syariat yang telah ditetapkan Allah Ta’ala.
7. Menerima
Hal ini maknanya adalah seorang hamba menerima tauhid ini dengan lisan dan hatinya tanpa
ada penolakan sedikitpun. Ia rida dan berkomitmen di dalam mengikhlaskan ibadah hanya
kepada Allah saja.
8. Berlepas diri dari syirik
Hal ini berarti seorang yang mengucapkan kalimat tauhid harus mengingkari serta berlepas diri
dari segala bentuk kesyirikan.
Marilah kita sama-sama meninjau kembali bagaimana pemahaman kita terhadap kalimat tauhid.
Sudahkah kita mengucapkannya di lisan kita sekaligus meyakini di dalam hati kita? Sudah
sepantasnya kita menjadikan kalimat tauhid menjadi pegangan kita, menjadi kebiasaan zikir kita
karena ia adalah zikir yang paling utama, sebagaimana sabda Rasulullah shallallahu ’alaihi wa
sallam (hadits marfu’),

‫َأْفَض ُل الِّذْك ِر اَل ِإَلَه ِإاَّل ُهللا‬

”Dzikir yang paling utama adalah bacaan ’laa ilaha illallah’.” (HR. Tirmidzi)
Selain itu, kalimat tauhid ‫ اَل ِإَلَه ِإَّال هللا‬adalah kalimat yang dapat menghantarkan seorang hamba masuk
ke surga. Dari Mu’adz bin Jabal radhiyallahu ‘anhu, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

‫َم ْن َك اَن آِخ ُر َكاَل ِمِه اَل ِإَلَه ِإاَّل ُهللا َد َخ َل الَج َّنَة‬

“Barangsiapa yang akhir perkataannya sebelum meninggal dunia adalah ‘lailaha illallah’, maka
dia akan masuk surga.” (HR. Abu Daud dan Ahmad)

Sebagai penutup, kami berdoa semoga kita dan keluarga kita menjadi hamba yang dapat untuk terus
istikamah di dalam menjalankan ketaatan kepada Allah dan menjadi hamba-Nya yang senantiasa
bertauhid hingga akhir hayat. Amin.
MATERI KONSELING
OLEH : HJ.ELMI,S.AG.,M.SY
NIP : 19830123200604 2 001
JUDUL : UKHUWAH INSANIYAH

Allah swt memerintahkan kita untuk senantiasa bertakwa kepada-Nya. Bentuk takwa bukan saja
bersifat vertikal, antara kita dan Allah swt semata, melainkan juga horizontal, yakni kita dengan
makhluk Allah lainnya, khususnya dengan sesama manusia. Ibarat kita titik koordinatnya, dua
arah itu harus dijaga keseimbangannya.
Kita tidak bisa menafikan hubungan sesama manusia. Hal ini harus dijaga betul oleh kita sebagai
makhluk sosial yang tidak bisa hidup sendiri, dan mesti membutuhkan orang lain. Menjaga
hubungan persaudaraan kemanusiaan ini harus dilakukan. Betapa tidak, Allah swt sebagai Sang
Pencipta telah memuliakan betul kita sebagai makhluk-Nya yang diciptakan terbaik. Apalagi kita
yang notabene hanyalah makhluk-Nya. Allah swt berfirman dalam Al-Qur’an Surat Al-Isra (17)
ayat 70 :
ࣖ ‫َو َلَقْد َك َّر ْم َنا َبِنْٓي ٰا َد َم َو َح َم ْلٰن ُهْم ِفى اْلَبِّر َو اْلَبْح ِر َو َر َز ْقٰن ُهْم ِّم َن الَّطِّيٰب ِت َو َفَّض ْلٰن ُهْم َع ٰل ى َك ِثْيٍر ِّمَّم ْن َخ َلْقَنا َتْفِض ْياًل‬
Artinya: “Dan sungguh, Kami telah memuliakan anak cucu Adam, dan Kami angkut mereka di
darat dan di laut, dan Kami beri mereka rezeki dari yang baik-baik dan Kami lebihkan mereka di
atas banyak makhluk yang Kami ciptakan dengan kelebihan yang sempurna.”
Dalam ayat tersebut, Allah swt dengan jelas menggunakan dua taukid atau penguatan sekaligus
untuk meyakinkan kita semua bahwa Dia betul-betul memuliakan manusia, yakni menggunakan
lam taukid dan qad yang bermakna taukid karena bertemu dengan kalimat fiil madli. Artinya,
Allah swt betul-betul memuliakan makhluk yang telah Ia ciptakan tersebut.
Kemudian, hal tersebut dipertegas dengan berbagai macam pemberian untuk menunjang
kebutuhan dan memberikan hal yang lebih dibanding makhluk-mahluk lainnya. Betapa Allah
begitu memuliakan kita sebagai makhluknya. Tentu tidak sepatutnya, kita dengan sesama
manusia juga tidak saling memuliakan satu sama lain.
Terlebih dalam ayat lain, kita diminta untuk saling mengenal mengingat kita diciptakan dengan
berbeda-beda. Allah swt. berfirman dalam Al-Qur’an Surat Al-Hujurat (49) ayat 13.
‫ٰٓيَاُّيَها الَّناُس ِاَّنا َخ َلْقٰن ُك ْم ِّم ْن َذ َك ٍر َّو ُاْنٰث ى َو َج َعْلٰن ُك ْم ُش ُعْو ًبا َّو َقَبۤا ِٕىَل ِلَتَعاَر ُفْو ۚا ِاَّن َاْك َر َم ُك ْم ِع ْنَد ِهّٰللا َاْتٰق ىُك ْۗم ِاَّن َهّٰللا َعِلْيٌم َخ ِبْيٌر‬
Artinya: “Wahai manusia! Sungguh, Kami telah menciptakan kamu dari seorang laki-laki dan
seorang perempuan, kemudian Kami jadikan kamu berbangsa-bangsa dan bersuku-suku agar
kamu saling mengenal. Sesungguhnya yang paling mulia di antara kamu di sisi Allah ialah orang
yang paling bertakwa. Sungguh, Allah Maha Mengetahui, Mahateliti.”
Di Indonesia, kita mengetahui ada yang bersuku dan berbahasa Sunda, sementara ada juga yang
bersuku Jawa dan berbahasa ibu Jawa juga. Ada pula yang bersuku Bugis, Minang, Batak, Dani,
Asmat, Dayak, dan masih banyak lagi.
Dalam konteks internasional, kita juga terdiri dari berbagai bangsa. Di Timur Tengah, kita
mengenal ada bangsa Arab. Di bagian Barat, ada bangsa Eropa dan Amerika. Bergeser ke arah
selatan, ada bangsa India. Sementara di bagian Timur, kita tahu ada bangsa Jepang, China, dan
Korea.
Begitu beragamnya kita diciptakan. Berbagai perbedaan itu menyimpan potensi konflik yang
cukup besar. Jika tidak dikelola dengan baik, tentu saja hal tersebut akan mengkristal dan
menimbulkan peristiwa yang kontraproduktif.
Karenanya, kita perlu menekankan satu titik temu di antara berbagai perbedaan yang ada, mulai
dari bangsa, suku, agama, hingga bahasanya, yaitu kita adalah manusia. Sudah sepatutnya kita
saling bersinergi, menjaga, menghormati, dan memuliakan satu sama lain agar dapat menjalani
hidup dengan penuh damai.
Hal ini dipertegas dengan sebuah hadits yang diriwayatkan Imam Ahmad berikut.
، ‫ َأال ُأْخ ِبُر ُك ْم ِباْلُم ْؤ ِم ِن ؟ اْلُم ْؤ ِم ُن َم ْن َأِم َنُه الَّناُس َع َلى َأْمَو اِلِهْم َو َأْنُفِس ِهْم‬: ‫َقاَل َر ُس وُل ِهَّللا َص َّلى ُهَّللا َع َلْيِه َو َس َّلَم ِفي َح َّج ِة اْلَو َداِع‬
‫ َو اْلُم َهاِج ُر َم ْن َهَج َر اْلَخ َطاَيا َو الُّذ ُنوَب‬، ‫ َو اْلُم َج اِهُد َم ْن َج اَهَد َنْفَسُه ِفي َطاَع ِة ِهَّللا‬، ‫َو اْلُم ْسِلُم َم ْن َسِلَم الَّناُس ِم ْن ِلَس اِنِه َو َيِدِه‬
Artinya: “Rasulullah saw ketika haji wada’ bersabda: ‘Maukah kalian kuberitahu pengertian
mukmin? Mukmin adalah orang yang memastikan dirinya memberi rasa aman untuk jiwa dan
harta orang lain, sedangkan muslim ialah orang yang memastikan ucapan dan tindakannya tidak
menyakiti orang lain. Sementara mujahid adalah orang yang bersungguh-sungguh dalam
ketaatan kepada Allah swt., sedangkan orang yang berhijrah (muhajir) ialah orang yang
meninggalkan kesalahan dan dosa.”
MATERI KONSELING
OLEH : HJ.ELMI,S.AG.,M.SY
NIP : 19830123200604 2 001
JUDUL : WALI NIKAH
Wakaf berasal dari perkataan Arab “al-waqf” yang bermakna “al-habsu” atau al-man’u yang
artinya menahan, berhenti, diam, mengekang atau menghalang. Apabila kata tersebut
dihubungkan dengan harta seperti tanah, binatang dan yang lain, ia berarti pembekuan hak milik
untuk faedah tertentu.

Adapun secara istilah syariat (terminologi), wakaf berarti menahan hak milik atas materi harta
benda (al-‘ain) dari pewakaf, dengan tujuan menyedekahkan manfaat atau faedahnya (al-
manfa‘ah) untuk kebajikan umat Islam, kepentingan agama dan atau kepada penerima wakaf
yang telah ditentukan oleh pewakaf.

Dengan kata lain, wakaf menahan asalnya dan mengalirkan hasilnya. Orang yang berwakaf
berarti melepas kepemilikan atas harta yang bermanfaat, dengan tidak mengurangi bendanya
untuk diserahkan kepada perorangan atau kelompok agar dimanfaatkan untuk tujuan-tujuan yang
tidak bertentangan dengan syariat.

Dengan cara ini, harta wakaf dapat dipergunakan untuk mengatasi berbagai permasalahan sosial
demi kemaslahatan umat secara berkelanjutan tanpa menghilangkan harta asal: mulai dari
pendidikan, kesehatan, ekonomi mikro, sarana transportasi, tempat ibadah, sarana kegiatan
dakwah dan sebagainya. Dengan wakaf nilai kekayaan kekal, manfaat dan kebaikannya akan
terus bertambah.

Harta wakaf hanya berhak digunakan dan dimanfaatkan tanpa berhak memilikinya. Berbeda
dengan zakat yang boleh dimiliki individu dan diperjualbelikan.
Muslim yang berwakaf bukan saja mendapatkan pahala saat memberikan wakaf, tetapi akan
terus mendapat kucuran pahala selama benda yang diwakafkannya dimanfaatkan orang lain
meskipun pewakaf tersebut sudah meninggal dunia.

RUKUN WAKAF

Imam Nawawi dalam kitab Raudhatut- Thalibin menjelaskan bahwa rukun wakaf ada empat
rukun yang harus dipenuhi dalam berwakaf:

1. Al-waqif (orang yang mewakafkan),

2. Al-mauquf (harta yang diwakafkan),

3. Al-mauquf ‘alaih (pihak yang dituju untuk menerima manfaat dari wakaf tersebut),

4. Shighah (lafaz ikrar wakaf dari orang yang mewakafkan).


SYARAT-SYARAT WAKAF

1. Syarat-syarat Orang yang Berwakaf (Al-Waqif):

a. Memiliki secara penuh harta itu, artinya dia merdeka untuk mewakafkan harta itu kepada siapa
yang ia kehendaki.

b. Berakal. Tidak sah wakaf orang bodoh, orang gila, atau orang yang sedang mabuk.

c. Berusia balig dan bisa bertransaksi

d. Mampu bertindak secara hukum (rasyid).

2. Syarat-syarat Harta yang Diwakafkan (Al-Mauquf).

Harta yang diwakafkan itu sah dipindahmilikkan, apabila memenuhi beberapa persyaratan

a. Harta yang diwakafkan itu harus barang yang berharga.


b. Harta yang diwakafkan itu harus diketahui dan ditentukan bendanya. Jadi apabila harta itu
tidak diketahui jumlahnya (majhul), maka pengalihan milik tidak sah.
c. Harta yang diwakafkan itu pasti dimiliki oleh orang yang berwakaf (wakif). Tidak boleh
mewakafkan harta yang sedang dijadikan jaminan atau digadaikan kepada pihak lain.
d. Harta itu mestilah berdiri sendiri, tidak melekat kepada harta lain (mufarrazan) atau disebut
juga dengan istilah (ghaira shai’).

Adapun jenis benda yang diwakafkan ada tiga macam:

a. Wakaf benda tak bergerak (diam), seperti tanah, rumah, toko, dan semisalnya. Telah sepakat
para ulama tentang disyariatkannya wakaf jenis ini.
b. Wakaf benda bergerak (bisa dipindah), seperti mobil, hewan, dan semisalnya. Termasuk dalil
yang menunjukkan bolehnya wakaf jenis ini adalah hadits:
“Adapun Khalid maka dia telah mewakafkan baju besinya dan pedang (atau kuda)-nya di jalan
Allah Ta’ala” (HR Al-Bukhari dan Muslim)
c. Wakaf berupa uang.

3. Syarat-syarat orang yang menerima manfaat wakaf (al-mauquf alaih).

a. Penerima ditentukan pada pihak tertentu (mu’ayyan), yaitu jelas orang yang menerima
wakaf itu, apakah seorang, dua orang atau satu kumpulan yang semuanya tertentu dan
tidak boleh dirubah.

Persyaratan bagi orang yang menerima wakaf tertentu ini (al-mawquf mu’ayyan) bahwa ia
mestilah orang yang boleh untuk memiliki harta (ahlan lit-tamlik), maka orang muslim, merdeka
dan kafir zimmi yang memenuhi syarat ini boleh memiliki harta wakaf. Adapun orang bodoh,
hamba sahaya, dan orang gila tidak sah menerima wakaf.
b. Penerima tidak ditentukan (ghaira mu’ayyan), maksudnya tujuan berwakaf tidak
ditentukan secara terperinci, tapi secara global. Misalnya seseorang berwakaf untuk
kesejahteraan umat Islam, orang fakir, miskin, tempat ibadah, dan lain sebagainya.
Karena wakaf hanya ditujukan untuk kepentingan Islam saja, maka syarat penerima wakaf itu
haruslah orang yang dapat menjadikan wakaf itu untuk kemaslahatan yang mendekatkan diri
kepada Allah.

4. Syarat-syarat Shigah (lafaz ikrar wakaf)


a. Lafaz ikrar harus berisi kata-kata yang menunjukkan kekalnya wakaf (ta’bid). Tidak sah kalau
ucapan wakaf dibatasi dengan waktu tertentu.
b. Ucapan itu dapat direalisasikan segera (tanjiz), tanpa disangkutkan atau digantungkan kepada
syarat tertentu.
c. Ucapan itu bersifat pasti dan jelas (sharih) yang berarti wakaf dan tidak mengandung makna
lain.
d. Ucapan itu tidak diikuti oleh syarat yang membatalkan. Apabila semua persyaratan di atas
dapat terpenuhi maka penguasaan atas tanah wakaf bagi penerima wakaf adalah sah. Pewakaf
tidak dapat lagi menarik balik pemilikan harta itu telah berpindah kepada Allah dan
penguasaan harta tersebut adalah orang yang menerima wakaf secara umum ia dianggap
pemiliknya tapi bersifat ghaira tammah.
MATERI KONSELING
OLEH : HJ.ELMI,S.AG.,M.SY
NIP : 19830123200604 2 001
JUDUL : WALI NIKAH

Menurut bahasa, pernikahan berarti pertemuan, pertemuan, hubungan. Menurut istilah, ada
kontrak (perjanjian) yang mewajibkan pria dan wanita untuk menghalalkan hubungan seksual
sukarela dalam konstruksi kehidupan rumah tangga menurut aturan syariat agama. Ada rukun
dan syarat yang harus dipenuhi agar pernikahan dapat berlangsung sedangkan rukun dan
syaratnya adalah Sighat (Aqad) Ijab-Qabul, Wali Nikah, Dua Saksi yang Shalih, Calon Suami,
Calon Istri. Namun secara istilah kata wali berarti pihak atau orang yang mewakilkan pengantin
perempuan saat menikah (yang melakukan akad nikah dengan pengantin pria).
Jadi wali nikah adalah orang yang memiliki hak (secara agama) untuk menikahkan anak
perempuannya dengan seorang lelaki yang diatur dalam syariat Islam. Wali nikah merupakan
salah satu rukun dan syarat syahnya terwujudnya pernikahan, adapun macam-macam wali nikah
adalah:
Wali Nasab
Wali nasab adalah wali nikah yang secara langsung memiliki hubungan darah dari garis
keturunan ayah atau bersifat patrinial. Dalam hal ini ayah memiliki kedudukan utama, yang
selanjutnya terdapat urutan wali nasab yang paling berhak menjadi wali. Urutan wali nisab ini
diatur dalam hukum Islam, diantaranya:

 Ayah
 Kakek
 Buyut
 Saudara laki-laki se-bapak se-ibu.
 Paman se-bapak
 Kemenakan laki-laki dari saudara laki-lakai se-bapak se-ibu
 Kemenakan laki-laki dari saudara laki-lakai se-bapak
 Paman se-bapak se-ibu
 Paman se-bapak
 Anak laki-laki dari paman se-bapak se-ibu
 Anak laki-laki dari paman se-bapak
 Anak laki-laki dari anak paman se-bapak se-ibu
 Anak laki-laki dari anak paman se-bapak
 Paman bapak se-bapak se-ibu
 Paman bapak se-bapak
 Anak laki-laki dari paman bapak se-bapak se-ibu
 Anak laki-laki dari paman bapak se-bapak se-ibu
 Paman kakek se-bapak se-ibu
 Paman bapak se-bapak
 Anak laki-laki dari paman kakek se-bapak se-ibu
 Anak laki-laki dari paman kakek se-bapak
 Laki-laki yang memerdekakan
 Hakim

Wali Hakim
Wali Hakim maksudnya adalah orang yang diangkat oleh pemerintah (Menteri Agama) yang
bertindak sebagai wali dalam suatu pernikahan. Yang ditunjuk menjadi wali hakim adalah
Kepala Kantor Urusan Agama Kecamatan hal ini diatur dalam peraturan menteri agama (PMA)
No. 2 tahun 1987 orang. Boleh meminta wali hakim jika calon mempelai wanita yang dalam
kondisi :

 Tidak memiliki wali nasab sama sekali


 Wali hilang tidak tahu keberadaannya
 Wali jauh sejauh minimal 92,5 km
 Wali dalam penjara / tahanan yang tidak boleh dijumpai
 Wali sedang melakukan ibada haji atau umrah

Wali hakim berhak untuk menjadi wali dalam perkawinan tersebut, jika wali mempelai wanita
dalam salah satu kondisi di atas.

Wali Muhakam

Ialah orang yang diangkat oleh kedua calon mempelai untuk bertindak sebagai wali dalam akad
nikah mereka. Apabila suatu pernikahan yang seharusnya dilaksanakan dengan wali hakim,
padahal di tempat itu tidak ada wali hakim, maka pernikahan dilangsungkan dengan wali
muhakam.

Syarat Wali Nikah

Meski sudah masuk dalam urutan wali nasab, seseorang baru bisa menjalankan tugasnya sebagai
wali jika sudah memenuhi syarat wali nikah dalam hukum islam, yaitu:

1. BalighYang dimaksud baligh dalam syarat wali nikah ini adalah harus sudah mencapai
usia akil baligh pada umumnya memiliki usia diatas 15 tahun atau telah dewasa.
Meskipun ia memiliki hak perwalian Anak-anak yang belum baligh tidaklah sah
menjadi wali terhadap seorang wanita.

2. Berakal Sehat, Tidak GilaSehat jiwa menjadi syarat mutlak seseorang untuk bisa
menjadi wali ia harus sadar akan kewajibannya menjadi wali dalam sebuah pernikahan.
Wali nasab yang kehilangan akalnya atau menjadi gila secara otomatis kehilangan
haknya menjadi wali nikah.
3. Wali Nikah Harus MerdekaSeorang wali pada pernikahan hendaknya bukan hamba
sahaya atau budak dalam kata lain ia harus orang merdeka. Hal ini berlaku pada zaman
rasulullah atau zaman dahulu dimana manusia masih diperbudak oleh orang lainnya.
Tapi saat ini perbudakan semakin jarang ditemui terlebih di Indonesia yang menganut
asas kemanusiaan.

4. Laki-lakiWali nikah baik dari nasab atau hakim harus seorang laki laki. Karena
seorang laki laki adalah pihak atau rang yang mampu menjadi pelindung wanita.
Sesuai dengan hadist rasul yang berbunyi:

“Dan jangan pula menikahkan seorang perempuan akan dirinya sendiri”. (HR Ibnu
Majah dan Abu Hurairah)

5. IslamDalam Islam wali nikah wajib beragama Islam. Seseorang bisa kehilangan hak
menjadi wali meski sudaah dalam perwaliaanya jika tidak beragam Islam. Dan wajib
digantikan pada wali lain berdasarkan urutan wali pernikahan yang telah dijelaskan
diatas.

6. Wali Nikah Tidak Sedang Ihram Haji Atau UmrahSaat seseorang wali nasab
sedang melakukan haji dan umroh maka ia tidak bisa menjadi wali saat itu, namun
bisa mewakilkannya pada urutan wali yang berlaku dalam hukum Islam. Syarat ini
sesuai dengan syarat dari madzhab Sayafi’i dan banyak dianut oleh masyarakat
Indonesia. Sedang menurut madzhab hanafi menjelaskan bahwa ihram tidak
menyebabkan gugurnya hak dan kewajiban seorang wali nikah

7. AdilWali sebuah pernikahan harus bisa bersikap adil dalam hal menentukan sebuah
pernikah bisa atau tidak dilakukan dan mencegah pernikahan sedarah. Wali harus dapat
bersikap adil pada wanita yang ada dalam perwaliannya dan tidaklah boleh melakukan
pemaksaan yang dapat merugikan pihak mempelai wanita.

Orang yang memiliki sifat adil biasanya memiliki pendirian yang teguh dalam agama,
akhlak dan harga diri.
MATERI KONSELING
OLEH : HJ.ELMI,S.AG.,M.SY
NIP : 19830123200604 2 001
JUDUL :KEWARISAN ISLAM

Kata faraid, merupakan bentuk jamak dari kata faridah, yang berasal dari kata farada yang
artinya adalah ketentuan. Dengan demikian kata faraid atau faridah artinya adalah ketentuan-
ketentuan tentang siapa yang termasuk ahli waris yang berhak mendapatkan warisan, ahli waris
yang tidak berhak mendapatkannya, dan berapa bagian masing-masing.

Untuk itu ada beberapa istilah dalam fikih mawaris, yaitu:


1. Waris adalah orang yang termasuk ahli waris yang berhak menerima warisan. Hak-hak
waris dapat timbul karena hubungan darah dan karena hubungan perkawinan. Ada ahli
waris yang sesungguhnya memiliki hubungan kekerabatan yang dekat, akan tetapi tidak
berhak mendapatkan warisan, ahli waris yang demikian itu disebut zawu al-arham.

2. Muwaris, artinya orang yang diwarisi harta benda peninggalannya, yaitu orang yang
meninggal dunia, baik itu meninggal secara hakiki atau karena melalui putusan
pengadilan, seperti orang yang hilang (al-mafqud) dan tidak diketahui kabar berita dan
domisilinya.

3. al-irs, artinya harta warisan yang siap dibagi oleh ahli waris sesudah diambil untuk
keperluan pemeliharaan jenazah, pelunasan utang serta melaksanakan wasiat.

4. Warasah, yaitu harta warisan yang telah diterima oleh ahli waris.

5. Tirkah, yaitu semua harta peninggalan orang yang meninggal dunia sebelum diambil
untuk kepentingan pemeliharaan jenazah, pelunasan utang, dan pelaksanaan wasiat yang
dilakukan oleh orang yang meninggal ketika masih hidup.

Hukum waris sebelum Islam dipengaruhi oleh sistem sosial yang dianut oleh masyarakat yang
ada. Masyarakat jahiliyah dengan pola masyarakatnya yang corak kesukuan, memiliki kebiasaan
berpindah-pindah, suka berperang dan merampas jarahan. Sebagian dari mereka bermata
pencaharian dagang. Ciri tersebut tampaknya sudah menjadi kultur atau budaya yang mapan.
Karena itu budaya tersebut ikut membentuk nilai-nilai, sistem hukum dan sistem sosial yang
berlaku. Kekuatan pisik lalu menjadi ukuran baku dalam sistem hukum warisan yang
diperlakukannya.
Menurut masyarakat jahiliyah, ahli waris yang berhak mendapatkan harta warisan dari
keluarganya yang meninggal, adalah mereka yang laki-laki, berpisik kuat dan mengalahkan
musuh dalam setiap peperangan. Kepentingan suku sangat diutamakan. Karena dari prestasi dan
eksistensi suku itulah, martabat seseorang sebagai anggota suku dipertaruhkan. Konsekuensinya
adalah anakanak baik laki-laki maupun perempuan tidak diberi hak mewarisi harta peninggalan
keluarganya. Ketentuan semacam ini telah menjadi tradisi dan mengakar kuat di dalam
masyarakat. Bahkan seperti diketahui, fenomena penguburan hidup-hidup terhadap anak
perempuan, merupakan suatu fakta sejarah yang tidak bisa ditutup-tutupi. Praktis perempuan
mendapat perlakuan yang sangat deskriminatif. Mereka tidak bisa menghargai kaum perempuan,
yang nantinya dalam perspektif al-Qur’an mempunyai kedudukan yang sederajat dengan laki-
laki. Bagi mereka, kaum perempuan tidak ubahnya bagaikan barang, bisa diwariskan dan
diperjual belikan, bisa dimiliki dan dipindah-pindahkan.
Adapun dasar-dasar pewarisan yang digunakan pada zaman sebelum Islam adalah:
1. Pertalian kerabat (al-qarabah),
2. Janji prasetia (al-hilf wa al-mu’aqadah),
3. Pengangkatan anak atau adopsi (al-tabanni).

Pertalian kerabat yang menyebabkan seorang ahli waris dapat menerima warisan adalah mereka
yang laki-laki dan kuat pisiknya. Implikasinya adalah wanita dan anak-anak tidak mendapatkan
bagian warisan. Janji prasetya dijadikan dasar pewarisan dalam masyarakat jahiliyah. Mereka
melalui perjanjian ini sendi-sendi kekuatan dan martabat kesukuan dapat dipertahankan. Janji
prasetya ini dapat dilakukan dua orang atau lebih. Pelaksanaannya seorang berikrar kepada orang
lain untuk saling mewarisi, apabila salah satu di antara mereka meninggal dunia. Tujuannya
untuk kepentingan saling tolong-menolong, saling mendapatkan rasa aman.
Dalam tradisi masyarakat jahiliyah, pengangkatan anak merupakan perbuatan hukum yang lazim.
Lebih dari itu, status anak angkat disamakan kedudukannya dengan anak kandung. Caranya,
seorang mengambil anak laki-laki orang lain untuk dipelihara dan dimasukkan dalam keluarga
bapak angkatnya. Karena statusnya sama dengan anak kandung, maka menjadi hubungan saling
mewarisi jika salah satu dari mereka meninggal dunia. Implikasinya, hubungan kekeluargaannya
dengan orang tua kandungnya terputus dan oleh karenanya ia tidak bisa mewarisi harta
peninggalan ayah kandungnya.
Dalam buku Hukum Waris Islam (2017) oleh Dr Suryati, SH, MH, disebutkan beberapa definisi
hukum waris.
Menurut Kompilasi Hukum Islam (KHI), hukum waris ialah hukum yang mengatur pemindahan
hak kepemilikan harta peninggalan (tirkah) pewaris, menentukan siapa saja yang berhak
menjadi ahli waris dan berapa bagiannya.
Sedangkan menurut M Mawardi Muzamil, hukum waris adalah ketentuan yang mengatur
perhitungan, pembagian, dan pemindahan harta warisan secara adil dan merata kepada ahli
waris dan/atau orang/badan lain yang berhak menerima sebagai akibat meninggalnya
seseorang.
Kedudukan hukum waris sangat penting, bahkan sampai diatur di dalam Al-Quran dengan rinci.
Sebab hal ini dialami semua orang sehingga harus ada pembagian yang adil. Hal terkait
warisan juga dipelajari secara khusus dalam Islam dalam ilmu faraid.

Dalil Hukum Waris Dalil atau dasar hukum waris dalam Islam bersumber dari Al-Qur'an, sunnah
Rasul, dan ijtihad ulama. Berikut sejumlah dalilnya:

1.Al-Qur'an

Al-Qur'an mengatur secara rinci mengenai pembagian harta warisan. Beberapa ayatnya berada
dalam surat An-Nisa dan Al-Anfal:
a. An-Nisa ayat 1 menjelaskan bagaimana kuatnya hubungan karena pertalian darah.
b. Al-Anfal ayat 75 menjelaskan hak-hak kerabat karena pertalian darah, sebagian lebih
diutamakan daripada sebagian yang lain.
c. An-Nisa ayat 7 menjelaskan laki-laki dan perempuan sama-sama berhak mendapat
warisan orang tua dan kerabatnya. Hal ini merombak aturan pada masa jahiliyah.
d. An-Nisa ayat 8 berisi perintah agar sanak kerabat, anak-anak yatim dan orang-orang
miskin yang hadir menyaksikan pembagian harta warisan, juga diberi sejumlah harta
sekadar untuk bisa ikut menikmati harta itu.
e. An-Nisa ayat 9 berisi peringatan agar senantiasa memperhatikan anak cucu yang akan
ditinggalkan agar jangan sampai mengalami kesempitan akibat kesalahan orang tua
membelanjakan hartanya.
f. An-Nisa ayat 10 berisi peringatan agar berhati-hati dalam memelihara harta warisan
yang menjadi hak anak-anak yatim, dan jangan sampai memakan harta anak yatim
secara tidak sah.
g. An-Nisa ayat 11 menentukan besaran pembagian harta warisan.
h. An-Nisa ayat 12 melanjutkan ayat sebelumnya tentang penetapan besaran pembagian
harta warisan.

2. Hadits Rasulullah SAW

Rasulullah pun menjelaskan melalui hadits-hadits tentang hukum waris, di antaranya sebagai
berikut:
a. HR Bukhari dan Muslim yang menjelaskan bahwa ahli waris laki-laki yang lebih dekat
kepada mayit lebih berhak atas sisa harta warisan, setelah sebagian lainnya diambil ahli
waris tertentu.
b. HR Ahmad dan Abu Daud menjelaskan harta warisan orang tanpa ahli waris diserahkan
kepada baitul mal.
c. HR Ahmad menjelaskan bahwa anak dalam kandungan juga berhak menerima warisan
setelah dilahirkan dalam keadaan hidup yang ditandai dengan tangisan kelahiran.
d. HR Al Jamaah, kecuali Muslim dan Nasa'i, menjelaskan bahwa muslim tidak berhak
menjadi ahli waris orang kafir, dan begitu pula sebaliknya.
e. HR Ahmad, Malik, dan Ibnu Majah menjelaskan bahwa pembunuh tidak berhak atas
warisan orang yang dia bunuh.
f. HR Bukhari mencontohkan pembagian harta untuk ahli waris 1 orang anak perempuan,
1 orang cucu perempuan (dari anak laki-laki) dan satu orang saudara perempuan. Nabi
membaginya kepada anak perempuan 1/2, kepada cucu perempuan 1/6 dan untuk
saudara perempuan sisanya.
g. HR Abdullah bin Ahmad juga mencontohkan pembagian harta warisan kepada dua
orang nenek perempuan, yakni 1/6 harta warisan dibagi dua.

3. Ijtihad Ulama
Al-Qur'an dan Hadits Rasul memang sudah merinci aturan-aturan tersebut. Namun masih ada
ijtihad ulama untuk kasus-kasus tertentu.
Misalnya bagian warisan anak yang khuntsa (anak yang berkelamin ganda), siapa yang berhak
atas sisa harta warisan yang tidak habis terbagi, dan sebagainya.
Rukun Waris
Rukun waris ada tiga, yaitu ada orang meninggal yang mewariskan harta (muwaris), ada ahli
waris, dan ada harta yang dibagi.
Berikut penjelasannya seperti dikutip dari buku Hukum Waris Islam: Cara Mudah Memahami
Ilmu Faraidh (2018) oleh A. Fatih Syuhud.
1. Muwaris
Muwaris adalah pewaris harta. Pewaris harus dinyatakan benar-benar sudah meninggal
dunia sebelum hartanya dibagi.
2. Ahli Waris
Ahli waris adalah orang yang berhak mewarisi harta pewaris. Ahli waris harus dalam
keadaan hidup ketika pewaris meninggal, meskipun masa hidupnya hanya sebentar.

Orang berhak menjadi ahli waris karena nasab atau kekerabatan, pernikahan, dan wala'
(memerdekakan budak). Namun wala' di masa ini sudah dihapuskan.

3. Harta Warisan

Rukun ketiga yaitu harta warisan. Harta hanya bisa diwariskan jika memang ada harta
yang ditinggalkan mayit setelah kematiannya.

Besaran Pembagian Harta Warisan


Dalam buku Pembagian Warisan Menurut Islam oleh Muhammad Ali Ash-Shabuni,
besaran pembagian harta warisan dibagi sesuai persentase.

Persentase ini terdiri dari setengah (1/2), seperempat (1/4), seperdelapan (1/8), dua
pertiga (2/3), sepertiga (1/3), dan seperenam (1/6).

Setengah (1/2)
Ahli waris dalam golongan ashabul furudh yang berhak mendapatkan setengah (1/2)
bagian adalah suami, anak perempuan, cucu perempuan dari keturunan anak laki-laki,
saudara kandung perempuan, dan saudara perempuan sebapak.
Seperempat (1/4)
Ahli waris yang berhak mendapatkan seperempat bagian dari harta pewaris hanya dua
orang, yaitu suami atau istri.

Seperdelapan (1/8)
Ahli waris yang berhak mendapatkan seperdelapan bagian warisan adalah istri.
Istri berhak mendapatkan waris dari suaminya yang meninggal, baik dia memiliki anak
atau cucu dari rahimnya atau rahim istri yang lain.

Dua Pertiga (2/3)


Ahli waris yang berhak mendapatkan dua pertiga bagian harta warisan adalah empat
golongan perempuan, yaitu anak perempuan kandung, cucu perempuan dari anak laki-
laki, saudara perempuan kandung, dan saudara perempuan sebapak.

Sepertiga (1/3)
Ahli waris yang berhak mendapatkan sepertiga bagian harta warisan hanya dua, yaitu
ibu dan dua saudara, baik laki-laki maupun perempuan dari satu ibu.

Seperenam (1/6)
Ahli waris yang berhak mendapatkan seperenam bagian harta warisan ada 7 golongan,
yaitu ayah, kakek, ibu, cucu perempuan, keturunan anak laki-laki, saudara perempuan
sebapak, nenek, dan saudara laki-laki dan perempuan satu ibu.

Tata Cara Pembagian Harta Warisan Pada bagian ini, kita akan mengulas tata cara
pembagian harta warisan, mulai dari hal yang perlu diselesaikan sebelum membagi
harta, serta contoh pembagian harta warisan.

Contoh Pembagian Harta Warisan

Seorang perempuan wafat meninggalkan ahli waris seorang suami, seorang ibu, dan
seorang anak laki-laki. Harta yang ditinggalkan sebesar Rp 150 juta. Pembagiannya
warisannya menurut hukum waris Islam adalah sebagai berikut:

a. Suami mendapatkan 1/4 bagian, ibu mendapatkan 1/6 bagian, dan anak laki-laki
adalah ashabah atau mendapatkan sisanya.
b. Pertama kita cari asal masalahnya, yaitu dengan mencari KPK dari 4 dan 6, yaitu 12.

c. Kemudian cari nominal per 1 bagian, yaitu 150.000.000 dibagi 12 = Rp 12.500.00


d. Siham suami adalah 1/4 dari 12, yaitu 3 bagian. Sehingga 3 x 12.500.000 = Rp
37.500.000
e. Siham ibu adalah 1/6 dari 12, yaitu 2 bagian. Sehingga 2 x 12.500.000 = Tp
25.000.000
f. Anak laki-laki mendapatkan sisanya, yaitu 12 - (3 + 2) = 7 bagian. Sehingga 7 x
12.500.000 = Rp 87.500.000
g. Dengan demikian, harta warisan terbagi habis.
Demikian tadi penjelasan lengkap mengenai hukum waris dalam Islam, mulai dari dalil, rukun
dan syarat, besaran pembagian harta, hingga tata caranya. Wallahu a'lam.

Anda mungkin juga menyukai