Anda di halaman 1dari 7

TUGAS

AL ISLAM KEMUHAMMADIYAHAN 1

(AIK1)

DISUSUN OLEH :

NAMA : DIMAS SA’BILLA SYARIFFUDIN

NPM : 121055520120004

UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH

FAKULTAS TEKNIK

PRODI INFORMATIKA

2020
SEBAB – SEBAB TERJADINYA PERBEDAAN PENDAPAT ULAMA DALAM MASALAH FIQIH

Banyak sekali cabang ilmu syar’i yang bisa kita pelajari diantaranya ada ilmu tauhid, ilmu
akhlak, ulum al-Quran, ulum al-Hadits, ilmu ushul fiqih dan ilmu fiqih. Semua cabang ilmu
itu tentu saja jika kita pelajari akan membutuhkan waktu yang sangat banyak untuk
menguasainya. Namun diantara sekian banyaknya cabang ilmu syar’i yang ada, Ilmu fiqih
termasuk salah satu ilmu yang sangat dibutuhkan oleh kaum muslimin, sebagaimana yang
dijelaskan oleh imam Nawawi dalam kitab Raudhah at-Thalibin bahwa menyibukkan diri
dengan ilmu adalah termasuk salah satu bentuk ibadah dan keta’atan yang paling mulia, dan
diantara ilmu yang paling dibutuhkan oleh manusia dalam kehidupan sehari-hari adalah ilmu
fiqih.
Hanya saja dalam belajar ilmu fiqih tentu saja kita akan mendapatkan begitu banyak pendapat
para ulama yang berbeda-beda. Perbedaan pendapat itu kadang tidak hanya terjadi diantara 4
madzhab saja tapi juga terjadi di dalam satu madzhab itu sendiri. Sebagai contoh ketika kita
membaca kitab Kifayatul Akhyar dalam Madzhab Syafi’i maka akan kita temukan adanya
beberapa perbedaan pendapat antara ulama sesama Madzhab Syafi’i.
Bukankah kita sepakat bahwa kita harus kembali kepada al-Quran dan as-Sunnah. Bukankah
seluruh ulama yang ada juga semuanya memakai al-Quran dan as-Sunnah. Bukankah seluruh
ulama sama sama memakai al-Quran dan as-Sunnah tetapi kenapa para ulama bisa berbeda
pendapat dalam hal ini.
Bagi orang yang belum mendalami ilmu fiqih mungkin dia akan sedikit bingung dan
bertanya-tanya bahkan bisa jadi berani menyalahkan para ulama salaf khususnya ulama 4
Madzhab. Seolah-olah menganggap bahwa para ulama itu tidak mengerti dengan al-Quran
dan as-Sunnah. Bahkan mungkin bisa bingung dengan ungkapan-ungkapan yang ada dalam
kitab fiqih seperti ungkapan qoola Abu Hanifah, qoola Malik, qoola Syafi’i, qoola Ahmad bin
Hanbal, qoola Nawawi dan lain-lain. Kenapa tidak langsung saja menyebut menurut al-Quran
dan as-Sunnah adalah begini.
Bagi orang yang sudah belajar dan mendalami ilmu fiqih maka akan mengetahui bahwa ilmu
fiqih itu adalah ilmu yang didasari atas dalil-dalil syar’i. Dalil-dalil syar’i itu bukan hanya al-
Quran dan as-Sunnah saja. Dalil-dalil fiqih yang disepakati ulama diantaranya adalah al-
Quran, al-Hadits, al-Ijma’ dan al-Qiyas. Adapun dalil yang diperselisihkan ulama diantaranya
ada dalil Maslahah Mursalah, Saddu adz-Dzariah, istishab, amalu ahlil madinah, istihsan, urf
dan syar’u man qoblana. Sehingga dengan banyaknya dalil yang ada ini bisa menyebabkan
adanya perbedaan pendapat diantara para ulama.
Dalam tulisan ini akan kita sebutkan beberapa sebab perbedaan ulama ahli fiqih. Diantara
sekian banyaknya sebab perbedaan itu antara lain adalah :
1. Perbedaan Qira’at

Dalam cabang ilmu al-Quran kita akan temukan ada beberapa bacaan atau qiro’at yang
berbeda-beda yang dikenal dengan istilah qiro’ah sab’ah. Hanya gara-gara perbedaan qiro’at
inilah nanti bisa menyebabkan perbedaan dalam kesimpulan hukum. Contoh fiqih dalam
masalah ini adalah firman Allah SWT :

‫َيا َأُّيَها اَّلِذ يَن آَم ُنوْا ِإَذ ا ُقْم ُتْم ِإَلى الَّص الِة فاْغ ِس ُلوْا ُو ُج وَهُك ْم َو َأْيِدَيُك ْم ِإَلى اْلَم َر اِفِق َو اْم َسُح وْا ِبُر ُؤوِس ُك ْم َو َأْر ُج َلُك ْم ِإَلى اْلَك ْعَبين‬

Hai orang-orang yang beriman apabila kamu hendak mengerjakan shalat maka basuhlah
mukamu dan tanganmu sampai dengan siku dan usaplah kepalamu dan kakimu sampai
dengan kedua mata kaki... (QS. Al-Maidah : 6)

Ulama ahli qiro’ah seperti Imam Nafi’, Ibnu Amir dan al-Kisa’i membaca lafadz ( ‫)َو َأْر ُج َلُك ْم‬
dengan huruf lam di fathah. Sementara imam Ibnu Katsir, Abu Umar dan Hamzah membaca
lafadz ( ‫ )َو َأْر ُج ِلُك ْم‬dengan huruf lam dikasroh.

Bagi ulama yang membaca lafadz tersebut dengan huruf lam difathah maka kaki dalam bab
wudhu itu harus dibasuh. Adapun ulama yang membaca lafadz tersebut dengan lam dikasroh
maka kaki itu cukup dengan diusap saja dan tidak perlu dibasuh.

2. Belum Sampainya Hadits

Bisa jadi karena saking banyaknya riwayat hadits dan belum ada pembukuan hadits di zaman
itu menyebabkan kemungkinan terjadinya ada salah satu hadits yang belum sampai kepada
ulama satu dan ulama lain sudah mengetahui adanya riwayat hadits tersebut. Sehingga
hukumnya pun nanti bisa berbeda-beda.
Sebagai contoh adalah masalah status hukum puasanya orang yang junub karena bangun
kesiangan di bulan ramadhan. Dan ini terjadi pada masa sahabat. Abu Hurairah berpendapat
bahwa puasanya orang yang junub karena bangun kesiangan di bulan ramadhan itu tidak sah.

‫َم ْن َأْص َبَح ُج ُنبًا َفَال َصْو َم َلُه‬

Dari Abu Hurairah dia berkata : orang yang masuk waktu shubuh dalam keadaan junub, maka
puasanya tidak sah (HR. Bukhari)

Beliau berpandangan seperti itu sebab belum sampainya riwayat Aisyah kepada beliau.
Sedangkan Aisyah berpendapat bahwa puasanya orang yang junub karena bangun kesiangan
di bulan ramadhan itu tetap sah. Hal ini berdasarkan hadits yang beliau riwayatkan sendiri
yaitu :

‫َأَّن َالَّنِبي صلى هللا عليه وسلم َك اَن ُيْص ِبُح ُج ُنًبا ِم ْن ِج َم اٍع ُثَّم َيْغ َتِس ُل َو َيُص وُم‬

Dari Aisyah dan Ummi Salamah radhiyallahuanhuma bahwa Nabi SAW memasuki waktu
shubuh dalam keadaan junub karena jima’, kemudian beliau mandi dan berpuasa. (HR.
Bukhari dan Muslim)

3. Perbedaan Menilai Status Hadits

Penilaian sebuah hadits itu bukan berasal dari Nabi Muhammad SAW. Sebab Nabi
Muhammad SAW tidak pernah mengatakan ini hadits shahih, ini hadits hasan dan ini
hadits dha’if. Penilaian hadits itu muncul berdasarkan ijtihad masing-masing para ulama.
Bisa jadi ulama satu mengatakan haditsnya dho’if sementara ulama lainnya mengatakan
hadits tersebut shahih. Nah, gara gara penilaian status hadits yang berbeda-beda sehingga
menyebabkan perbedaan pula dalam kesimpulan hukumnya.
Contoh dalam kasus ini adalah masalah hukum membaca doa qunut dalam shalat shubuh.
Madzhab Hanafi dan Madzhab Hanbali berpandangan bahwa Hadits tentang qunut shubuh itu
statusnya dhoif, sehingga kesimpulannya qunut shubuh itu tidak disyariatkan bahkan
hukumnya bisa jadi bid’ah. Sementara madzhab Maliki dan Madzhab Syafi’iy berpandangan
bahwa hadits qunut shubuh itu haditsnya shohih. Nah, gara-gara perbedaan dalam menilai
status hadits ini menyebabkan adanya perbedaan hukum doa qunut dalam shalat shubuh.
Hadits yang dimaksud adalah hadits yang diriwayatkan oleh sahabat Anas.

‫َم ا َز ال َر ُس ول ِهَّللا َيْقُنُت ِفي اْلَفْج ِر َح َّتى َفاَر َق الُّد ْنَيا‬

Rasulullah SAW tetap melakukan qunut pada shalat fajr (shubuh) hingga beliau meninggal
dunia. (HR. Ahmad).

‫َعْن أَنٍس َأَّن الَّنِبي َقَنَت َش ْهًر ا َيْدُعو َع َلْيِهْم ُثَّم َتَر َك َه َفَأَّم ا ِفي الُّص ْبِح َفَلْم َيَز ْل َيْقُنُت َح تَّى َفاَر َق الُّد ْنَيا‬

Dari Anas bin Malik radhiyallahuanhu bahwa Nabi SAW melakukan doa qunut selama
sebulan mendoakan keburukan untuk mereka, kemudian meninggalkannya. Sedangkan
pada shalat shubuh, beliau tetap melakukan doa qunut hingga meninggal dunia. (HR. Al-
Baihaqi)

Hadits ini dishahihkan oleh ulama Syafi’iyah dan ulama hadits lainnya. Sebagaimana yang
dijelaskan imam Nawawi dalam kitab al-Majmu’ Syarh al-Muhadzdzab bahwa Derajat hadits
ini dinyatakan shahih menurut beberapa ulama hadits, di antaranya Al-Hafidz Abu Abdillah
Muhammad bin Ali Al-Balkhi. Mereka mengatakan bahwa sanad ini shahih dan para rawinya
Tsiqah. Al-Hakim dalam kitab Al-Arbainnya berkata bahwa hadits ini shahih. Diriwayatkan
juga oleh Ad-Daruquthni dan Al-Baihaqi dengan sanad yang shahih. Sementara ulama yang
lainnya menilai hadits tersebut termasuk hadits dhaif.

4. Perbedaan Memahami Nash

Ulama kita semuanya sama-sama pakai dalil al-Quran dan al-Hadits. Namun bisa jadi dalam
memahami nash para ulama berbeda beda. Sehingga akan muncul kesimpulan hukum yang
berbeda beda.

Contohnya adalah masalah batal atau tidak batalnya wudhu seseorang yang bersentuhan
dengan wanita ajnabi. Allah SWT berfirman :

‫َأوَالَم ْس ُتُم الِّنَس اء َفَلْم َتِج ُدوْا َم اء َفَتَيَّمُم وْا َصِع يًدا َطِّيًبا‬

atau kamu telah menyentuh perempuan, kemudian kamu tidak mendapat air, maka
bertayamumlah kamu dengan tanah yang baik. (QS. An-Nisa : 43)

ulama Hanafiyah memahami lafadz (‫ )َأوَالَم ْس ُتُم الِّنَس اء‬dengan arti jima’. Maka apabila seseorang
dalam keadaan punya wudhu dan menyentuh wanita ajnabi maka sentuhan itu tidak
membatalkan wudhunya. Sebab yang membatalkan wudhu adalah apabila sampai melakukan
jima’ atau hubungan badan.
Sementara ulama Syafiiyah memahami lafadz (‫ )َأوَالَم ْس ُتُم الِّنَس اء‬dengan arti menyentuh.
Sehingga hanya dengan bersentuhan kulit saja dengan wanita ajnabi secara langsung maka
wudhunya dianggap batal.

5. Lafadzh Bermakna Banyak

Sebagaimana didalam al-Quran terdapat ayat yang berbunyi :

‫َو اْلُم َطَّلَقاُت َيَتَر َّبْص َن ِبَأْنُفِس ِهَّن َثاَل َثَة ُقُر وٍء‬

Artinya : “ wanita-wanita yang ditalak hendaklah menahan diri (menunggu) tiga kali
quru’. QS. Al-Baqarah: 228).
Jumhur ulama dari kalangan Malikiyah, Syafi’iyah dan Hanabilah mengatakan bahwa makna
dari lafadz Quru’ adalah suci. Sementara ulama Hanafiyah mengatakan bahwa makna lafadz
Quru’ adalah haid.

6. Kontradiksi Dalil

Dalam dunia ilmu Hadits akan kita temukan begitu banyak riwayat hadits yang kita terima.
Dari sekian banyaknya riwayat hadits tersebut ada beberapa hadits yang secara dzhohir
kelihatan saling bertentangan. Hal ini bisa menyebabkan para ulama berbeda pendapat.
Sebagai contoh adalah masalah apakah wudhu seseorang itu batal ketika menyentuh
kemaluan. Dalam masalah ini para ulama berbeda pendapat. Ulama Malikiyah, Syafiiyah dan
Hanabilah mengatakan bahwa menyentuh kemaluan secara langsung tanpa penghalang itu
membatalkan wudhu. Sementara ulama Hanafiyah mengatakan tidak batal.

Hal ini karena adanya dua buah hadits yang saling bertentangan. Dua hadits tersebut adalah
sebagai berikut :

‫ أعليه‬،‫عن طلق بن علي رضي هللا عنه أن النبي صلى هللا عليه وسلم سئل عن مس الذكر في الصالة «الرجل يمس ذكره‬
‫ أو مضغة منك‬،‫ إنما هو بضعة منك‬:‫»وضوء؟ فقال صلى هللا عليه وسلم‬

Hadits Thalq bin ali dari ayahnya bahwa : Nabi Shallallahu alaihi wa sallam pernah ditanya
tentang seseorang yang menyentuh kemaluannya dalam shalat , apakah dia harus
wudhu? maka nabi menjawab : Itu hanyalah bagian dari dirimu. (HR. Tirmidzi,Nasai,Abu
Dawud, Ibnu Majah)

‫َم ْن َم َّس َذ َك َرُه َفْلَيَتَو َّض أ‬

Siapa yang menyentuh kemaluannya maka harus berwudhu (HR. Ahmad dan At-Tirmizy)

Demikianlah sebab-sebab perbedaan ulama ahli fiqih dalam menentukan suatu hukum
permasalahan. Bukan karena para ulama tidak pakai al-Quran dan as-Sunnah dan bukan pula
karena para ulama tidak paham al-Quran dan as-Sunnah, akan tetapi ada beberapa faktor
penyebab lainnya yang menjadikan para ulama itu berbeda pendapat.

Anda mungkin juga menyukai