Anda di halaman 1dari 5

HADITS YANG BERTENTANGAN

DAN PANDANGAN MENURUT `ULAMA


Diajukan untuk memenuhi tugas pada mata kuliah Hadits
Dosen Pengampu : Moh. Kahar Awaludin, M.Ag

Disusun Oleh :

Imron Ardiansyah
NIM : 221862085132

PRODI PENDIDIKAN AGAMA ISLAM


Semester V
SEKOLAH TINGGI AGAMA ISLAM (STAI) PUI MAJALENGKA
2023/2024
A. Pendahuluan

Tidak bisa dipungkiri lagi bahwa munculnya ikhtilaf dalam ranah ijtihad para ulama
merupakan sebuah keniscayaan. Bahkan hal tersebut sudah tidak lagi menjadi sesuatu yang
tabu di sebagian besar kalangan masyarakat, khususnya bagi mereka sarjana muslim yang
bergelut dalam bidang ilmu syariah. Karena itulah konsekuensi yang harus terjadi sebagai
implementasi dari praktek ijtihad itu sendiri. Karena ijtihad bertolak dari pemahaman seorang
ulama terhadap suatu dalil, sedangkan tingkat pemahaman seseorang dengan yang lainnya
tentu berbeda-beda.
Suatu proses ijtihad, tentunya akan melibatkan pemahaman seorang ulama terhadap suatu
dalil baik itu dari al-quran maupun hadits yang keduanya menjadi input dalam suatu proses
ijtihad, untuk kemudian didapati suatu kesimpulan hukum yang merupakan output dari proses
ijtihad tersebut. Dan output yang dihasilkan seringkali berbeda antara satu ijtihad dengan
ijtihad yang lain, tergantung bagaimana cara mengolah input-nya itu sendiri.
Cara mengolah input inilah yang seringkali menjadi faktor timbulnya perbedaan hukum
dalam suatu masalah. Termasuk ketika ada suatu input berupa hadits atau atsar dimana ada
dua hadits atau atsar yang berkaitan dengan suatu masalah, namun keduanya mempunyai
kontradiksi makna secara lahir (dzahir), atau dalam ilmu hadits dikenal dengan istilah
mukhtalif al-ahadits atau musykil al-atsar.
Namun sebelumnya, perlu kita garis bawahi bahwa hadits yang merupakan sabda Nabi
Muhammad SAW dan menjadi salah satu sumber hukum (mashdar al-tasyri’) dalam agama
islam, tidak mungkin terjadi kontradiksi di dalamnya. Karena kita tahu bahwa apa yang
beliau sabdakan semata-mata adalah wahyu dari Allah SWT. seperti yang tertera dalam al-
quran surah an-Najm ayat 3 dan 4. Adapun kontradiksi yang dimaksud disini adalah
kontradiksi makna jika dilihat secara lahirnya saja. Namun jika diteliti lebih dalam maka
kontradiksi itu akan hilang dengan sendirinya.
Ibnu Khuzaimah pernah berkata, “Aku tidak pernah mengetahui ada dua hadits yang
diriwayatkan dari Nabi Muhammad SAW, dengan sanad yang sama-sama shahih namun
maknanya saling bertentangan. Maka jika ada orang yang mengetahuinya, berikanlah
kepadaku niscaya akan aku padukan keduanya.”
Oleh karena itu, praktek pengolahan input seperti ini (mukhtalif al-ahadits) tidak bisa
dilakukan oleh sembarang orang. Paling tidak orang yang hendak melakukannya harus
menguasai minimal dua bidang ilmu sekaligus yaitu ilmu hadits dan ilmu fiqih. Mengingat
kedua disiplin ilmu tersebut mempunyai kaitan yang sangat erat satu sama lain. Al-A’masy
salah seorang muhaddits (ahli hadits) dari kalangan tabi’in pernah berkata di tengah
perbincangannya dengan Imam Abu Hanifah untuk menggambarkan kaitan antara kedua ilmu
ini, “Wahai para ahli fiqih! kalian adalah dokter dan kami (ahli hadits) adalah apoteker.”
Dalam ilmu mukhtalaf al-hadits sendiri para ulama telah merumuskan beberapa cara atau
solusi dalam menyikapi hadits-hadits yang bertentangan tersebut. Antara lain adalah dengan
al-jam’u (memadukan/mencari titik temu), al-tarjih (mencari yang paling kuat/dominan), dan
ma’rifah an-nasikh wal mansukh (mengetahui mana yang menasakh dan mana yang
dimansukh).
Namun permasalahannya tidak berhenti sebatas dengan mengetahui cara-cara di atas.
permasalahan lain yang sering muncul adalah timbulnya perbedaan pandangan di antara para
ulama dalam mempertimbangkan cara yang paling tepat untuk diprioritaskan dan yang lebih
mungkin untuk diaplikasikan dalam menyikapi hadits-hadits yang bertentangan itu.
Yang pada akhirnya akan menimbulkan perbedaan dalam pengambilan kesimpulan hukum
sesuai cara yang ditempuh oleh masing-masing ulama. Dan hal itu membuat perbedaan-
perbedaan hukum dalam satu masalah dalam koridor masail fiqhiyyah menjadi sangat wajar
adanya.

B. Mukhtalif Al-Ahadits mengenai Shalat Sunnah Sebelum Maghrib


Kali ini penulis akan mengambil salah satu contoh kasus yang berkaitan dengan mukhtalaf al-
hadits, yaitu mengenai hukum shalat dua rakaat sebelum maghrib. Berkaitan dengan hal
tersebut, ada dua hadits yang akan menjadi pokok bahasan kita di sini. Yang pertama adalah
hadits yang diriwayatkan oleh Abullah bin al-Muzani :

‫ ِفي الَّثاِلَثِة ِلَمْن َش اَء َك َر اِه َيَة َأْن َيَّتِخ َذ َه ا الَّناُس ُس َّنًة‬: ‫ َقاَل‬، ‫َص ُّلوا َقْبَل َص َالِة الَم ْغِر ِب‬
“Shalatlah kalian sebelum shalat maghrib, (kemudian) bersabda Rasulullah SAW setelah
yang ketiga kalinya : “bagi siapa saja yang berkehendak!” karena takut orang menjadikannya
sebagai sunnah.”
Dan yang kedua adalah atsar yang diriwayatkan oleh Abu Daud dari Thowus :
‫ِد ِل َّلِه َّل َّل ِه َّل‬ ‫ِب‬
‫سئل بن ُعَمَر َعِن الَّر ْك َعَتْيِن َقْبَل اْلَم ْغِر َفَق اَل َم ا َر َأْيُت َأَح ًد ا َعَلى َعْه َرُس و ال َص ى ال ُه َعَلْي َو َس َم‬
‫ُيَص ِّليِه َم ا َو َر َّخ َص ِفي الَّر ْك َعَتْيِن َبْع َد اْلَعْص ِر‬
“Ibnu Umar ditanya tentang dua rakaat sebelum maghrib kemudian dia berkata aku tidak
pernah melihat seseorang pada masa Rasulullah SAW melakukan shalat tersebut namun
Beliau memberikan keringanan pada dua rakaat setelah ashar”
Dua hadits di atas jika dilihat secara dzahir, maknanya saling bertentangan. Yang pertama
menunjukkan kebolehan shalat sunnah sebelum maghrib, namun yang kedua manafyikan
kesunnahannya. Maka disini kita akan melihat bagaimana para ulama menyikapi kedua hadits
di atas.

1. Al-Jam’u
Sebagian ulama hanafiyah menggunakan cara al-jam’u dalam menyikapi kedua hadits di atas
sebagaimana disebutkan oleh Badruddin al-‘Aini dalam kitabnya ‘Umdah al-Qori Syarh
Shohih Al-Bukhori, penjelasannya adalah sebagai berikut.
Hadits yang pertama berkaitan dengan kondisi kaum muslimin pada awal kemunculan islam,
untuk menunjukkan telah berlalunya waktu terlarang untuk shalat dengan terbenamnya
matahari sehingga rasulullah SAW menganjurkan untuk melakukan shalat dua rakaat
sebelum maghrib sebagai pertanda bahwa waktu tersebut sudah diperbolehkan untuk
melakukan shalat, baik itu shalat sunnah atau shalat fardu.
Kemudian setelah itu kaum muslimin terbiasa untuk menyegerakan shalat fardu di awal
waktu agar tidak terlambat untuk melaksanakannya di waktu yang utama, maka shalat dua
rakaat sebelum maghrib pun tidak dilakukan. Dengan demikian hadits kedua yang
diriwayatkan dari Ibnu Umar tidak bisa dijadikan hujjah untuk menafyikan kesunnahan shalat
dua rakaat sebelum maghrib.
2. At-Tarjih
Cara yang kedua adalah dengan melakukan tarjih terhadap salah satu hadits yang dianggap
lebih kuat atau dominan. Penjelasannya adalah sebagai berikut :
Hadits yang pertama yaitu hadits yang diriwayatkan dari Abullah bin al-Muzani adalah hadits
shahih, diriwayatkan oleh Imam al-Bukhori. Selain itu hadits ini juga diriwayatkan oleh
banyak ulama ahli hadits yang termaktub dalam kitab-kitabnya antara lain Musnad-nya Imam
Ahmad, Shahih Ibnu Khuzaimah, Shahih Ibnu Hibban, Sunan Abu Daud, Sunan al-
Daruqutni, al-Sunan al-Shagir dan al-Sunan al-Kubro karya Imam al-Baihaqi.
Selain itu, hadits ini juga diperkuat oleh hadits lain yang juga merupakan hadits shahih. yaitu
hadits yang diriwayatkan dari Anas bin Malik :
‫ِد‬ ‫ِه‬ ‫ِب‬ ‫ِم‬
‫ َح َّتى َيْخ ُر َج‬، ‫َك اَن المؤّذن ِإَذا َأَّذَن َقاَم َناٌس ْن َأْص َح اِب الَّن ِّي َص َّلى اُهلل َعَلْي َو َس َّلَم َيْبَت ُروَن الَّس َو اِر َي‬
‫ ُيَص ُّلوَن الَّر ْك َعَتْيِن َقْب الَم ْغِر ِب‬، ‫الَّنِبُّي صّلى اهلل عليه وسلم َو ُه ْم َكَذ ِلَك‬
‫َل‬
“Adalah muadzin apabila adzan, para shahabat Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam
bersegera berdiri menuju tiang masjid untuk shalat dua rakaat sebelum maghrib sampai
Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam keluar sementara mereka dalam keadaan demikian”
Hadits di atas adalah hadits yang muttafaq ‘alaih (diriwayatkan oleh Bukhori dan Muslim).
Dengan demikian hadits ini menjadi penguat bagi hadits pertama yang diriwayatkan dari
Abdullah bin al-Muzani yang menunjukkan pensyariatan shalat dua rakaat sebelum maghrib.
Walaupun nantinya ada perbedaan di antara fuqoha dalam derajat ke-masyru’iyyah-annya.
Ada yang mengatakan sunnah atau mustahab dan ada yang berpendapat hanya sekedar
mandub.
Sedangkan hadits kedua yang diriwayatkan dari Ibnu Umar bahwa dia tidak melihat seorang
pun dari sahabat Nabi yang melakukan shalat dua rakaat sebelum maghrib, hadits ini
diriwayatkan oleh Abu Daud dan Al-Baihaqi.
Namun hadits ini mendapat komentar dari beberapa ulama diantaranya Ibnu Hazm yang
mengatakan bahwa hadits ini tidak shahih karena dalam sanadnya terdapat seorang rowi
majhul (tidak diketahui/dikenal) yang bernama Syuaib. Di samping itu Imam Al-bani juga
mengatakan bahwa hadits ini adalah hadits dha’if.
Dari sisi lain, metode tarjih juga bisa dilakukan dengan cara memandang dari sisi itsbat dan
nafyi-nya. Hadits pertama dianggap sebagai hadits yang menetapkan atau meng-itsbat
(mutsbit) kebolehan shalat sunnat dua rakaat sebelum maghrib.
Dan hadits yang kedua dianggap sebagai hadits yang menafyikan (nafi) kebolehannya. Maka
jika ada dua hadits, yang satu mutsbit dan yang satu nafi, yang didahulukan adalah hadits
yang mutsbit. Karena boleh jadi yang menafyikan kesunnahan shalat tersebut tidak
mengetahui apa yang diketahui oleh yang meng-itsbat (menetapkan) kesunnahannya.

3. An-Naskh

Ibnu Syahin berpendapat bahwa hadits pertama yaitu hadits Abdullah bin al-Muzani,
dinasakh oleh hadits kedua yang diriwayatkan oleh Ibnu Umar dan hadits yang diriwayatkan
oleh Abdullah bin Buraidah berikut :
‫إن ِع ْند كل أذانين َر ْك َعَتْيِن َم ا خال اْلمغرب‬
“Sesungguhnya di setiap dua adzan (adzan dan iqomah) ada dua rakaat, kecuali shalat
maghrib”

Namun sayangnya pendapat ini mendapat sanggahan dari Ubaidullah al-Rahmani al-
Mubarakfuri dalam kitab Mir’ah al-Mafatih. Beliau mengatakan bahwa pendapat nasakh ini
tidak perlu dianggap karena merupakan pendapat yang tidak berdasar.

C. Penutup

Jika melihat beberapa cara dalam menyikapi mukhtalaf al-ahadits seperti yang telah
dijelaskan di atas, sangatlah wajar jika kita mendapati perbedaan para ulama dalam
menentukan hukum shalat dua rakaat sebelum maghrib. Karena memang setiap ulama
mempunyai pendapat dan metode masing-masing dalam hal ini bahkan dalam masalah-
masalah fiqih lainnya.
Dalam madzhab empat yang kita kenal pun punya pendapat yang berbeda-beda. Di antaranya
madzhab Hanafi dan maliki berpendapat bahwa shalat dua rakaat sebelum maghrib
hukumnya makruh. Lain lagi dengan madzhab Syafi’i yang justru mengatakan hukumnya
sunnah.
Perbedaan tersebut tidak terlepas dari adanya keberagaman metode atau cara yang bisa
diaplikasikan dalam menyikapi suatu kasus fiqih yang berkaitan dengan mukhtalaf al-ahadits
seperti yang telah dibahas di atas.
Karena pada umumnya dalil yang dipakai para ulama dalam menentukan suatu hukum
merupakan dalil yang sama, namum cara memahami dan sudut pandang masing-masing
ulama terhadap dalil-lah yang membedakan output dari hasil suatu proses ijtihad yang
dilakukan oleh masing-masing ulama tersebut.

Sumber referensi : Al-Ustadz Muhammad Abdul Wahab, Lc


Website : Rumah Fiqih Indonesia

Anda mungkin juga menyukai