Anda di halaman 1dari 63

DAFTAR ISI

PENGANTAR 30 IJMA’ ULAMA SEPUTAR RAMADHAN


KEWAJIBAN PUASA
SEBAB WAJIB PUASA, PERIODE WAJIB, WAKTU BERHENTI BERPUASA DAN
KESAKSIAN
AWAL IMSAK DAN KEYAKINAN
WAKTU BERBUKA DAN TERLANJUR BERBUKA SEBELUM WAKTUNYA
WAJIB BERNIAT PUASA DI MALAM HARI
TIDAK MENGQADHA PUASA HINGGA BERTEMU RAMADHAN BARU
HUKUM SANTAP SAHUR
RUKHSHAH BERBUKA BAGI MUSAFIR DAN ORANG SAKIT
PUASA ORANG YANG BERHADAS BESAR HINGGA TERBIT FAJAR
STATUS PUASA SAAT MENGHIRUP POLUSI, DEBU, ATAU DIMASUKI
SERANGGA
ORANG TUA YANG TIDAK MAMPU BERPUASA
STATUS PUASA AKIBAT CUMBU DAN CIUMAN
KESENGAJAAN YANG MEMBATALKAN PUASA
QADHA DAN KAFARAT AKIBAT ULAH DI SIANG RAMADHAN
JIKA WANITA HAID DAN NIFAS TETAP BERPUASA
APAKAH WANITA HAID HARUS MENGQADHA PUASA DAN SHALATNYA?
KEKUATIRAN PADA BAYI DAN JANIN, WANITA BOLEH TIDAK BERPUASA?
STATUS PUASA KARENA BERENDAM
GOSOK GIGI MEMBATALKAN PUASA?
BERCELAK MEMBATALKAN PUASA?
HARUSKAH MENGQADHA PUASA DENGAN BERTURUT-TURUT?
BERPUASA UNTUK ORANG YANG MASIH HIDUP, BOLEHKAH?
JUMLAH HARI QAMARIYAH
METODE HISAB, TUMPUAN ATAU PANDUAN?

1
IJMA’ (SEBUAH PENGANTAR 30
IJMA’ ULAMA SEPUTAR
RAMADHAN)
Bismillahirrahmanirrahim
Segala puji bagi Allah subhanahu wa ta’ala atas nikmat Ramadhan yang diberikan kepada
hamba-Nya yang beriman. Shalawat dan salam kita sampaikan untuk Nabi Muhammad
shallallahu ‘alaihi wa sallam. Dengan izin dan pertolongan dari Allah subhanahu wa ta’ala,
semoga penulisan kembali perihal kesepakatan para ulama terkait Ramadhan ini menjadi
salah satu bagian dari memperjelas peranan ulama sebagai pewaris Nabi dalam upaya mereka
menyampaikan risalah kenabian untuk kebaikan umat di dunia dan akhirat. Tulisan singkat
tanya jawab seputar Ijma’ ini adalah pengantar tulisan tentang 30 ijma’ ulama terkait
ramadhan yang akan dituliskan berikutnya dan dilengkapi dengan referensi-referensinya,
insyaAllah.
IJMA‘
 Pertanyaan : Apakah yang dimaksud dengan Ijma‘?
Jawaban : Ijma‘ adalah kesepakatan umat Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam
yang tergolong kepada Ahlu al-Hall wa al-‘Aqd dalam suatu hal. Definisi ini adalah salah
satu dari 28 definisi yang dimunculkan ulama Ushul al-Fiqh lintas mazhab yang diantaranya
adalah Imam Baidhawi (w.691H) di dalam karyanya Minhâj al-Wushûl Ilâ ‘Ilm al-Ushûl,
meski definisi ini mendapatkan kritikan oleh Imam Isnawi. Prof. Dr. Ali Jumu‘ah dalam
karyanya, al-Ijmâ‘ ‘Inda al-Ushuliyyîn lebih memilih definisi yang ditawarkan oleh Imam al-
Baidhawi ini dengan redaksi sebagaimana berikut ;
‫اتفاق أهل الحل والعقد من أمة محمد صلى الله عليه وسلم على أمر من األمور‬
 Pertanyaan : Apakah poin-poin mendasar dari definisi ini?
Jawaban : Setiap potongan kata dalam definisi Ijma‘ ini memberi pengaruh kepada beberapa
hal, sbb ;
1. Ittifâq, yakni kesepatakan. Pandangan seorang mujtahid maupun perbedaan pendapat antar
mujtahid tidak dapat dikatakan sebagai sebuah kesepakatan, baik kesepakatan secara lisan,
tulisan, perbuatan, membiarkan suatu perbuatan karena dinilai tidak salah secara bersama
dengan barometer syariat seperti Ijmâ‘ Sukûtî.
2. Ahl al-Hall wa al-‘Aqd, yakni para mujtahid. Dalam hal ini kesepakatan kalangan awam
tidak termasuk dalam kategori Ijma‘, termasuk juga kesepakatan sebagian mujtahid meski
jumlah mereka relatif banyak dan didukung oleh kesepakatan kalangan awam. Hal itu
disebabkan oleh kecacatan ijma‘ bila terdapat perbedaan pandangan mujtahid lain, meski
Imam Thabari (w.310H) menilai hal itu sudah dapat dikatakan Ijma‘.
3. Min Ummah Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam, yakni umat Nabi Muhammad
shallallahu ‘alaihi wa sallam. Kesepakatan yang pernah terjadi pada kalangan mujtahid umat
para Nabi sebelum Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam tidak dapat dijadikan

2
sandaran bagi umat Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam. Namun begitu Imam
Asfarâyînî (w.418H) menambahkan bahwa kesepakatan para mujtahid sebelum Nabi
Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam tetap dikatakan Ijma‘ di kalangan mereka. Pada
poin nomor tiga inilah yang menjadi kritikan Imam Isnawi (w.772H), karena kalimat “umat
Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam” masih perlu dirinci, yaitu umat setelah Nabi
shallallahu ‘alaihi wa sallam wafat. Karena bila tanpa rincian tersebut, maka umat saat Nabi
Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam masih hidup dapat melakukan ijma‘, padahal saat
keberadaan Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam tidak memerlukan ijma‘, karena
satu ketetapan atau persetujuan dari beliau sudah dapat dijadikan argumen tanpa harus ada
kesepakatan para sahabatnya.
4. ‘Alâ Amr Min al-Umûr, yaitu sesuatu perkara, termasuk hal yang terkait syariah, bahasa,
maupun perkara duniawi.
 Pertanyaan : Apakah Ijma‘ memiliki kekuatan hukum?
Jawaban : Ijma‘ memiliki kekuatan hukum, sehingga tidak boleh bertindak berbeda dengan
apapun yang disepakati secara ijma‘. Bahkan di samping itu ijma‘ juga berperan dalam
menjelaskan posisi sebuah dalil baik dari al-Qur’an maupun Hadis dalam hal status Qath‘i-
nya Dalâlah dari ayat maupun suatu hadis.
Seperti ayat :
‫فمن شهد منكم الشهر فليصمه‬
“Siapa pun di antara kalian yang telah melihat Hilal, maka berpuasalah”
Ulama ijma‘ bahwa kalimat perintah berpuasa dengan adanya sebab masuk bulan ramadhan
seperti bila telah melihat Hilal ini memberikan hukum wajib berpuasa.
 Pertanyaan : Adakah dalil pendukung atas kekuatan hukum ijma‘?
Jawaban : Terdapat beberapa dalil al-Qur’an yang menguatkan itu;
1. Surat al-Baqarah ayat 143.
2. Surat Âli ‘Imrân ayat 110
3. Surat al-Nisâ’ ayat 59 dan 115.
Begitu juga dalil dari hadis ;
1. Hadis yang berbunyi ;
‫ال تجتمع أمتي على ضاللة‬
“Umatku tidak akan bersepakat dalam kesesatan”
Tentunya umat yang dimaksud disini adalah para mujtahid yang memiliki kompetensi dalam
menggali hukum. Hadis ini memiliki banyak jalur periwayatan, bahkan Syaikh Abdullah Ibn
al-Shiddîq al-Ghummârî (w.1413H) di dalam I‘lâm al-Râki‘ al-Sâjid menyatakan riwayatnya
mencapai derajat mutawatir.
2. Hadis shahih dari Anas Ibn Malik radhiyallahu ‘anhu (w.93H) ketika jenazah lewat di
hadapan Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam dan para sahabat radhiyallahu
‘anhum, lalu mereka menyebut jenazah tersebut adalah orang baik, kemudian Nabi

3
Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam menegaskan ; Wajabat (Kebaikan atau surga wajib
baginya), dan mengatakan ;
‫أنتم شهداء الله في األرض‬
“Kalian adalah para saksi Allah di muka bumi”
 Pertanyaan : Bukankah dalam satu riwayat Imam Ahmad (w.241H) pernah mengatakan ;
‫من ادعى اإلجماع فهو كاذب‬
“Siapapun yang mengklaim ijma‘, dia telah berbohong”
Jawaban : Benar sekali. Namun yang dimaksud adalah orang yang mengaku adanya ijma‘
tanpa argumen dan data yang dapat dipertanggungjawabkan, bukan mengingkari keberadaan
ijma‘ dan kekuatan hukumnya, karena Imam Ahmad juga pernah menampilkan kesepakatan-
kesepakatan para ulama semasanya dan sebelumnya. Bila bukan suatu kesepakatan tentunya
beliau tidak berkenan mengatakannya sebagai suatu kesepakatan.
 Pertanyaan : Bila ayat dan hadis telah jelas berbicara satu hukum, maka untuk apa ada
ijma’?
Jawaban :
Barangkali muncul pertanyaan tentang urgensi ijma‘ ketika dalil dari al-Qur’an dan Hadis
sudah cukup jelas tentang puasa. Bahkan tidak hanya puasa, bersuci, shalat, zakat, haji dan
banyak jenis ibadah lain yang memiliki dalil jelas dari al-Qur’an dan Hadis juga tak jarang
ditemukan keterangan adanya ijma‘. Hal tersebut dapat kita temukan misalnya dalam
Bidâyah al-Mujtahid wa Nihâyah al-Muqtashid karya Imam Ibnu Rusyd al-Hafîd (w.595H)
sebagaimana berikut;
1. Thahârah (bersuci)
‫فأما الدليل على وجوبها فالكتاب والسنة واإلجماع‬
“Dalil wajib bersuci adalah al-Qur’an, Hadis dan Ijmâ‘”
2. Shalat
‫أما وجوبها فبيّن من الكتاب والسنة واإلجماع‬
“Kewajiban shalat sudah sangat jelas dari al-Qur’an, Hadis dan Ijmâ‘”
3. Zakat
‫فأما معرفة وجوبها فمعلوم من الكتاب والسنة واإلجماع‬
“Informasi tentang kewajiban zakat, dapat diketahui dari al-Qur’an, Hadis dan Ijmâ‘”
4. Puasa
‫فأما صوم شهر رمضان فهو واجب بالكتاب والسنة واإلجماع‬
“Hukum berpuasa di bulan Ramadhan adalah wajib berdasarkan al-Qur’an, Hadis dan
Ijmâ‘”
5. Haji
‫فأما وجوبه فال خالف فيه لقوله سبحانه‬

4
“Adapun kewajiban haji, tidak ada perbedaan pendapat di dalamnya, karena ada firman
Allah subhânahu”
Ijma‘ tentu memiliki peranan penting ketika disandingkan dengan al-Qur’an dan hadis yang
berbicara tentang perbuatan dan amalan seperti pada contoh-contoh di atas. Lahirnya hukum
wajib, sunnah, mubah, makruh dan haram tidak bisa lepas dari disiplin ilmu tertentu yang
khusus membahas teks-teks al-Qur’an dan hadis terkait perbuatan mukallaf. Peranan ijma‘
dalam hal ini adalah untuk mengokohkan kekuatan dalâlah dari teks-teks al-Qur’an dan hadis
tersebut, bahwa teks itu memang berbicara tentang satu hal tertentu secara jelas (nash),
berikut hukum yang dilahirkan darinya yang dilengkapi dengan usaha memperhatikan ada
atau tidaknya indikator-indikator (al-Qarâ’in wujûdan wa ‘adaman) yang berfungsi untuk
menegaskan status hukum suatu perbuatan mukallaf.
Di antara bentuk kalimat yang dapat melahirkan hukum wajib adalah kalimat langsung yang
menunjukkan hukum wajib seperti Wajaba, Awjaba dan Iftaradha dalam hadis Mu‘adz Ibn
Jabal ketika diutus Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam ke Yaman, kalimat
perintah (Fi‘l al-Amr) dalam bentuk asli seperti Aqîmû dalam ayat perintah shalat, maupun
dalam bentuk kata kerja mudhâri‘ yang terhubung dengan Lam al-Amr seperti Li-Yashum
pada ayat kewajiban puasa, maupun dalam bentuk Ism Fi‘l al-Amr berbentuk Jarr Majrûr
seperti ‘Alâ al-Nâs pada ayat tentang haji, dan lain sebagainya.
Ketika pemahaman atas dalil-dalil tersebut dinilai tidak ada perbedaan pendapat ulama
sehingga melahirkan satu hukum wajib -misalnya- dan dikokohkan dengan kaedah ushul
yang mereka bangun seperti hukum asal yang muncul dari kalimat perintah adalah wajib
selama tidak ada indikator yang menurunkan status hukumnya, maka kesepakatan mereka
dalam menetapkan hukum yang dipahami dari dalil-dalil tersebut menjadi penegas dan
penyambung informasi kepada masyarakat bahwa dalil-dalil tersebut memang melahirkan
hukum wajib dan mesti dilakukan. Karena bila tanpa ulama yang membidangi hal tersebut,
dalil-dalil dari teks-teks itu dinilai tidak akan produktif dan tidak bermanfaat untuk
masyarakat karena hanya menjadi sesuatu yang bisu. Peran ini telah dimulai oleh Nabi
Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam dan para sahabatnya radhiyallahu ‘anhum sebagai
Ahl al-‘Ilm, kemudian dilanjutkan oleh para ahli warisnya.
Wallahu A‘lam

5
IJMA‘ RAMADHAN KE 1/30
(KEWAJIBAN PUASA)
Bismillâhirrahmânirrahîm
Segala puji bagi Allah subhânahu wa ta‘âlâ, serta shalawat dan salam semoga tercurahkan
kepada Nabi Muhammad shalallâhu ‘alaihi wa sallam.
Suatu kelayakan bila muncul pertanyaan tentang urgensi ijma‘ ketika dalil dari al-Qur’an dan
Hadis sudah cukup jelas tentang puasa. Bahkan tidak hanya puasa, bersuci, shalat, zakat, haji
dan banyak jenis ibadah lain yang memiliki dalil jelas dari al-Qur’an dan Hadis juga tak
jarang ditemukan keterangan adanya ijma‘. Hal tersebut dapat kita temukan misalnya dalam
Bidâyah al-Mujtahid wa Nihâyah al-Muqtashid karya Imam Ibnu Rusyd al-Hafîd (w.595H).
Ia sering menuliskan bahwa kewajibannya berdasarkan al-Kitab, al-Sunnah dan al-Ijma’;
dengan menampilkan keterangan ijma’ meski al-Qur’an dan hadis yang berbicara tentang hal
itu sudah sangat jelas. Tentunya hal itu bukan tanpa alasan yang sudah diketahui oleh ulama
fikih. Penjelasan ringkasnya dapat dibaca pada pembahasan Ijma sebelumnya.
Berikut adalah sebagian nukilan dari para ulama terkait kewajiban puasa Ramadhan
berdasarkan ijma’.
 Al-Imam Abu Bakr Muhammad Ibn Ibrahim Ibn al-Mundzir al-Naisaburi (w.318H) ;
‫وأجمع كل من نحفظ عنه من أهل العلم على وجوب صيام شهر رمضان‬
“Setiap ulama yang kami hapal telah ijma‘ bahwa hukum puasa di bulan Ramadhan adalah
wajib”
(Ibn al-Mundzir, Al-Isyrâf ‘Alâ Madzâhib al-‘Ùlamâ’, vol.3, hal.107)
 Al-Imam Abu al-Hasan Ali Ibn Muhammad Ibn Muhammad Ibn Habib al-Bashri al-Mawardi
(w.450H);
‫ غير‬،‫ ومن أقر به ولم يفعله فقد فسق‬،‫ فمن جحده فقد كفر‬،‫ وهو أحد أركان الدين‬،‫أجمع المسلمون على وجوب الصيام‬
‫أنه ال يقتل‬
“Kaum muslimin telah ijma‘ tentang kewajiban puasa (Ramadhan), ia merupakan salah satu
rukun agama. Yang mengingkari kewajiban-nya menjadi kafir, sedangkan yang mengakui
kewajibannya namun tidak melakukan maka dia fasiq dan tidak perlu dihukum mati”
(Al-Mawardi, al-Hâwî al-Kabîr Syarh Mukhtashar al-Muzanî, vol.3, hal.851)
 Al-Imam Abu Muhammad Ali Ibn Ahmad Ibn Sa‘id Ibn Hazm al-Andalusi (w.456H);
‫ حرا كان أو‬،‫ فهو فرض على كل مسلم عاقل بالغ صحيح مقيم‬،‫فمن الفرض صيام شهر رمضان الذي بين شعبان وشوال‬
،‫ ويقضيان صيام تلك األيام‬،‫ وال أيام نفاسهما‬،‫ فال يصومان أيام حيضهما ألبتة‬،‫ إال الحائض والنفساء‬،‫ ذكرا أو أنثى‬،‫عبدا‬
‫وهذَا كله فرض متيقن من جميع أهل اإلسالم‬
“Di antara ibadah fardhu adalah puasa pada bulan Ramadhan, antara bulan Sya‘ban dan
Syawwal. Wajib bagi setiap muslim yang telah berakal, baligh, sehat, menetap, baik merdeka
maupun seorang budak, laki-laki maupun perempuan yang tidak haid dan nifas. Mereka
tidak boleh berpuasa pada hari-hari haid dan nifas, namun harus mengqadhanya -di hari
lain-. Ini semua adalah fardhu yang telah pasti kewajibannya dari seluruh kaum muslimin”

6
(Ibn Hazm, al-Muhallâ Bi al-Atsar, vol.6, hal.160)
 Al-Imam Abu Bakr Ibn Mas‘ud Ibn Ahmad al-Kasani (w.587H);
‫وأما اإلجماع فإن األمة أجمعت على فرضية شهر رمضان ال يجحدها إال كافر‬
“Adapun dalil ijma‘, yaitu ijma‘ umat atas wajibnya -puasa- di bulan Ramadhan, dan hanya
orang kafirlah yang mengingkari kewajibannya”
(Al-Kâsânî, Badâi‘ al-Shanâi‘ Fî Tartîb al-Syarâi‘, vol.2, hal.75)
 Al-Imam Abu al-Hasan Ali Ibn Abi Bakr Ibn Abdil Jalil al-Rusydani al-Marghinani
(w.593H);
‫ وعلى فرضيته انعقد اإلجماع ولهذا يكفر جاحده‬،)‫اعلم أن صوم رمضان فريضة لقوله تعالى (كتب عليكم الصيام‬
“Ketahuilah bahwa puasa pada bulan Ramadhan adalah fardhu karena firman Allah ta‘ala
(puasa telah diwajibkan kepadamu). Dan hukum fardhunya telah menjadi ijma‘, oleh
karenanya orang yang mengingkarinya dapat menjadi kafir”
(Al-Marghînânî, al-Hidâyah Syarh Bidâyah al-Mubtadi’, vol.1, hal.118)
 Al-Imam Abu Muhammad Abdullah Ibn Ahmad Ibn Muhammad Ibn Qudamah al-Maqdisi
(w.620H);
‫وأجمع المسلمون على وجوب صيام شهر رمضان‬
“Kaum muslimin telah ijma‘ bahwa puasa di bulan Ramadhan adalah wajib”
(Ibn Qudamah, al-Mughnî Syarh Mukhtashar al-Imâm Abî al-Qâsim al-Kharqî, vol.3, hal.3)
 Al-Imam Abu Zakariya Yahya Ibn Syarf al-Nawawi (w.676H);
‫ ودالئل الكتاب والسنة واإلجماع متظاهرة‬،‫ مجمع عليه‬-‫وهو كون صوم رمضان ركنا وفرضا‬- ‫وهذا الحكم الذى ذكره‬
‫عليه‬
“Status puasa ramadhan sebagai satu rukun dan fardhu yang telah disebutkan -oleh al-
Syîrâzî- telah menjadi suatu kesepakatan. Dalil-dalil dari al-Qur’an, hadis dan ijma‘ pun
menunjukkan akan hal itu”
(Al-Nawawi, al-Majmû‘ Syarh al-Muhadzzab, vol.6, hal.252)
 Al-Imam Abu al-Baqa’ Muhammad Ibn Musa Ibn ‘Isa al-Damiri (w.808H);
‫ من جحده كفر وقتل بكفر‬،‫ وانعقد اإلجماع عليه وهو معلوم من الدين بالضرورة‬،‫وذكر صوم رمضان‬
“-Di dalam hadis Buniya al-Islâm ‘Alâ Khams- disebutkan tentang puasa Ramadhan,
kewajibannya telah ditetapkan berdasarkan ijma‘. Dan itu telah diketahui secara qath‘î dari
agama. Orang yang mengingkari kewajibannya menjadi murtad dan harus dihukum mati
disebabkan kufur -pada kewajibannya-”
(Al-Damîrî, al-Najm al-Wahhâj Fî Syarh al-Minhâj, vol.3, hal,272)
Wallâhu A‘lam

7
IJMA‘ RAMADHAN KE 2/30
(SEBAB WAJIB PUASA,
PERIODE WAJIB, WAKTU
BERHENTI BERPUASA DAN
KESAKSIAN)
Dalam beberapa hadis Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam maupun hadis Mawqûf
Bi Hukm al-Marfû‘ dari para sahabat radhiyallâhu ‘anhum, banyak riwayat yang berbunyi
sebagaimana berikut ;
‫إذا رأيتم الهالل نهارا فال تفطروا حتى يشهد رجالن لرأيناه باألمس‬
“Apabila kalian melihat hilal pada siang hari -menjelang akhir Ramadhan-, jangan buru-
buru berbuka hingga ada dua orang yang bersaksi bahwa hilal itu memang telah terlihat
satu hari sebelumnya”
(Perkataan Umar Ibn al-Khatthab radhiyallahu ‘anhu yang diriwayatkan oleh Imam Abdur-
Razzaq dalam al-Mushannaf)
‫ وإذا رأيتموه بعد أن تزول الشمس فال تفطروا حتى‬،‫إذا رأيتم الهالل نهارا قبل أن تزول الشمس تمام ثالثين فأفطروا‬
‫تمسوا‬
“Apabila kalian melihat hilal pada siang hari sebelum matahari condong ke barat saat puasa
hari ke 30, maka berbukalah (karena umur Ramadhan saat itu adalah 29 hari), dan apabila
kalian melihatnya setelah matahari condong ke barat, maka jangan berbuka hingga sore
(magrib, karena hilal itu adalah untuk keesokan harinya)”
(Perkataan Umar Ibn al-Khatthab radhiyallahu ‘anhu yang diriwayatkan oleh Imam Abdur-
Razzaq dalam al-Mushannaf)
‫ كنا مع سلمان بن ربيعة الباهلي ببلنجر فرأيت الهالل ضحى لتمام ثالثين فأتيت سلمان بن ربيعة‬: ‫ربيع بن عميلة قال‬
‫فحدثته فجاء معي فأريته إياه من ظل تحت شجرة فأمر الناس فأفطروا‬
“Rabî‘ Ibn ‘Umailah berkata, ketika suatu hari kami di wilayah Balanjar bersama Salman Ibn
Rabî‘ah al-Bâhilî -radhiayallâhu ‘anhu-, kami melihat hilal pada waktu dhuha di hari ke 30 -
Ramadhan-, lalu aku mendatangi Salmân Ibn Rabî‘ah dan menceritakannya. Kemudian ia
ikut denganku melihat hilal tersebut dari bawah pohon, maka seketika itu ia menyuruh
pasukannya untuk berbuka (karena hari itu terhitung tanggal 1 Syawwâl)”
(Mushannaf Ibn Abî Syaibah. Balanjar adalah satu daerah yang berada di wilayah Kaukasus
bagian utara, tepatnya sebelah utara laut hitam. Pada saat itu Salman Ibn Rabi‘ah
radhiyallâhu ‘anhu sedang melakukan penaklukkan wilayah tersebut bersama dengan 4000
pasukan muslim; Mu‘jam al-Buldân karya Yaqût al-Hamawî)
‫إن الهالل رئي في زمن عثمان بن عفان بعشي فلم يفطر عثمان حتى غابت الشمس‬

8
“Sesungguhnya hilal terlihat pada masa Usman Ibn ‘Affan setelah matahari tergelincir ke
barat, lalu Usman tetap berpuasa hingga terbenam matahari”
(Al-Syafi‘i, dalam Kitab al-Umm)
‫ وإذا رأيتم‬،‫ إذا رأيتم الهالل فصوموا‬،‫ أال ال تقدّموا الشهر‬:‫عن الشعبي عن علي؛ أنه كان يخطب إذا حضر رمضان فيقول‬
‫ كان يقول ذلك بعد صالة العصر وبعد صالة الفجر‬:‫ قال‬،‫ فإن أغمي عليكم فأتموا العدة‬،‫الهالل فأفطروا‬
“Dari al-Sya‘bî (w.105H), dari ‘Alî ; ketika Ramadhan tiba, ‘Alî berkhutbah : Jalan ada
yang mendahului bulan (untuk berpuasa/berbuka), apabila kalian telah melihat hilal
(Ramadhan) maka berpuasalah, dan apabila kalian melihat hilal (Syawwal) maka
berbukalah. Namun apabila hilal tak terlihat, maka sempurnakanlah harinya (menjadi 30
hari). Al-Sya‘bî berkata ; ‘Alî menyampaikan itu setelah shalat ashar dan setelah shalat
subuh”
(Ibnu Abî Syaibah, al-Mushannaf. Beberapa ulama hadis mengatakan bahwa al-Sya‘bî tidak
pernah mendengar riwayat hadis dari Ali Ibn Abi Thalib melainkan beberapa hadis dan
minimal satu hadis. Namun Abu Dawud mengatakan bahwa riwayat Mursal al-Sya‘bi lebih
aku suka daripada Mursal al-Nakha‘î ; Taqrîb al-Tahdzîb karya al-Hâfizh Ibn Hajar. Al-
Hâfizh al-Dzahabî dalam Siyar A‘lâm al-Nubalâ’ menegaskan bahwa al-Sya‘bî pernah shalat
menjadi makmum Ali Ibn Abi Thalib, dan meriwayatkan dari beberapa sahabat senior
radhiyallâhu ‘anhum. Inti dari riwayat ini sangat shahih karena banyak riwayat terkait).
‫ وإن لم يروه نظروا ما يقول إمامهم‬،‫ كانوا ينظرون إلى الهالل فإن رأوه صاموا‬:‫ قال‬،‫عن أبي قالبة‬
“Abû Qilâbah (w.104/105/106/107H) berkata ; Para sahabat melakukan pengamatan hilal,
bila melihatnya mereka mulai berpuasa, bila tidak melihatnya mereka menunggu keputusan
pemimpin”
(Ibnu Abî Syaibah, al-Mushannaf).
Inti dari riwayat-riwayat di atas serta paparan para ulama berikut ini adalah tempo wajib
berpuasa dimulai ketika telah ada sebab yang menunjukkan masuknya bulan Ramadhan, dan
berakhir dengan adanya sebab yang menunjukkan usainya bulan Ramadhan atau masuknya
bulan Syawwal.

Berikut adalah cuplikan dari para ulama


pemuka mazhab terkait awal dan akhir
Ramadhan ditandai dengan sebab dan
tanda-tanda seperti hilal.
 Al-Imam Abu Muhammad Ali Ibn Ahmad Ibn Sa‘id Ibn Hazm al-Andalusi (w.456H);
‫ فرض مذ يظهر الهالل من آخر شعبان إلى أن يتيقن ظهوره من أول شوال‬... ‫اتفقوا على أن صيام نهار رمضان‬
“Mereka sepakat bahwa puasa di siang bulan Ramadhan ... adalah fardhu terhitung
semenjak hilal terlihat pada akhir Sya‘ban hingga terlihat lagi dengan yakin di awal bulan
Syawwal”
(Ibn Hazm, Marâtib al-Ijmâ‘, hal.39)

9
‫واتفقوا أن الهالل إذا ظهر بعد زوال الشمس ولم يعلم أنه ظهر باألمس فإنه لليلة مقبلة‬
“Dan mereka sepakat bila hilal tampak setelah tergelincir matahari, dan tidak ada kabar
kemarin hari hilal itu telah terlihat, maka hilal -yang terlihat itu- adalah hilal untuk hari
esoknya”
(Ibn Hazm, Marâtib al-Ijmâ‘, hal.40)
 Al-Imam Abu ‘Amr Yusuf Ibn Abdillah Ibn Muhammad Ibn Abdil Barr al-Qurthubi
(w.463H);
‫أما الشهادة على رؤية الهالل فأجمع العلماء على أنه ال تقبل في شهادة شوال في الفطر إال رجالن عدالن‬
“Adapun kesaksian melihat hilal, ulama berijma bahwa kesaksian untuk berbuka di awal
bulan Syawwal itu harus dilakukan oleh dua orang yang adil”
(Ibn Abdil Barr, al-Tamhîd Limâ Fi al-Muwattha’ Min al-Ma‘ânî wa al-Asânîd, vol.14,
hal.354)
 Al-Imam Abu al-Walid Sulaiman Ibn Khalaf Ibn Sa‘d Ibn Ayyub al-Baji (w.474H);
‫الرؤية تكون عامة وخاصة فأما العامة فهي أن يرى الهالل الجم الغفير والعدد الكثير حتى يقع بذلك العلم الضروري فهذا‬
‫ال خالف في وجوب الصوم والفطر به لمن رآه ومن لم يره‬
“Ru’yah atau melihat bulan adakalanya bersifat umum, adakalanya bersifat khusus. Ru’yah
‘Ammah adalah dengan melihat bulan sabit dengan ukurannya yang sudah cukup besar
sehingga mudah dilihat tanpa upaya khusus. Dengan ini, tidak ada perbedaan pendapat
ulama dalam wajibnya berpuasa Ramadha maupun berbuka di akhirnya, baik bagi yang
melihatnya maupun bagi yang belum melihatnya”
(Al-Baji, al-Muntaqa Fî Syarh al-Muwattha’, vol.2, hal.152)
‫وال خالف بين الناس أنه إذا رئي بعد الزوال فإنه لليلة القادمة‬
“Tidak ada perbedaan pendapat ulama apabila hilal terlihat setelah tergelincir matahari
maka hilal itu adalah untuk malam berikutnya”
(Al-Baji, al-Muntaqa Fî Syarh al-Muwattha’, vol.2, hal.155)
 Al-Imam Abu Bakr Muhammad Ibn Abdillah Ibn Muhammad Ibn al-‘Arabi al-Ma‘afiri
(w.543H);
‫أما الفطر فاتفق العلماء على أن ال يكون إال باثنين‬
“Sedangkan berbuka puasa (di akhir Ramadhan), ulama bersepakat bahwa harus disaksikan
oleh dua orang”
(Ibn al-‘Arabi, al-Qabas Fî Syarh Muwattha’ Mâlik Ibn Anas, vol.1, hal.485)
 Al-Imam al-Qadhi Abu al-Fadhl ‘Iyadh Ibn Musa Ibn ‘Iyadh Ibn ‘Amrûn al-Yahshubi
(w.544H);
‫ وإن كان الغيم قبل فيه الشهادة بغير خالف‬،‫الرؤية إذا كانت فاشية صيم بغير خالف‬
“Apabila melihat bulan menghasilkan terlihatnya bulan, maka puasa pun dapat dimulai
tanpa perbedaan pendapat. Namun apabila ada yang terhalang, maka dapat menggunakan
kesaksian tanpa perbedaan pendapat”
(Al-Qadhi ‘Iyadh, Ikmal al-Mu‘lim Bi Fawa’id Muslim, vol. 4, hal.11)

10
 Al-Imam Abu Muhammad Abdullah Ibn Ahmad Ibn Muhammad Ibn Qudamah al-Maqdisi
(w.620H);
‫فإذا رأوه وجب عليهم الصيام اجماعا‬
“Apabila mereka telah melihat (hilal) maka ulama ijma bahwa mereka wajib berpuasa”
(Ibn Qudamah, al-Mughnî Syarh Mukhtashar al-Imâm Abî al-Qâsim al-Kharqî, vol.3, hal.6)
 Al-Imam Abu Muhammad Baha’uddin Abdurrahman Ibn Ibrahim Ibn Ahmad al-Maqdisi
(w.624H);
‫ كمال شعبان ثالثين يوما إجماعا‬:‫ويجب بأحد ثالثة أشياء‬
“Berpuasa wajib dilaksanakan oleh sebab salah satu dari tiga hal, yaitu dengan
menyempurnakan bulan Sya‘ban sebanyak 30 hari berdasarkan ijma”
(Baha’uddin al-Maqdisi, al-‘Uddah Syarh al-‘Umdah, vol.1, hal.139)
 Al-Imam Syihabuddin Abu al-‘Abbas Ahmad Ibn Idris Ibn Abdirrahman al-Qarrafi
(w.684H);
‫لو رئي الهالل بعد الزوال فلليلة المستقبلة اتفاقا‬
“Kalau hilal terlihat setelah tergelincir matahari, maka ulama sepakat bahwa itu untuk
malam berikutnya”
(Al-Qarrafi, al-Dzakhîrah, vol.2, hal.492)
 Al-Imam Abu Abdillah Muhammad Ibn Abdillah al-Zarkasyi al-Hanbali (w.772H);
‫ وهذا إجماع‬،‫فإن رأوه وجب صيامه‬
“Apabila mereka telah melihat hilal, maka mereka wajib berpuasa, dan ini adalah ijma‘”
(Al-Zarkasyi, Syarh Mukhtashar al-Kharqî, vol.1, hal.410)
Wallâhu A‘lam

11
IJMA‘ RAMADHAN KE 3/30
(AWAL IMSAK DAN
KEYAKINAN)
Bismillahirrahmanirrahim
Pada bagian ijma‘ ulama mengenai fajar ini yang dilengkapi dengan keterangan riwayat dari
para sahabat Nabi, terlahirlah hukum-hukum fikih yang berbicara tentang kasus keragu-
raguan dalam antara dua pilihan masalah atau lebih. Dan dari itu semua terlahir jugalah
sebuah kaedah fikih, yaitu :
‫اليقين ال يُزال بالشك‬
“Keyakinan tidak dapat dihilangkan oleh keraguan”
Dari sini dapat dipahami bahwa suatu amalan harus berlandaskan keyakinan, bukan keragu-
raguan. Itulah prinsip yang diajarkan agama bagi pemeluknya agar hasil dari amalan itu tidak
membuahkan kerapuhan dan waswas dalam diri pengamalnya lantaran dilandasi keragu-
raguan.
Berikut adalah beberapa cuplikan dari ayat dan atsar para sahabat serta kesepakatan para
ulama terkait menghentikan makan sahur harus dilandasi dengan keyakinan terbitnya fajar
sebagai tanda dimulainya waktu berpuasa.
Allah subhânahu wa ta‘âlâ berfirman ;
‫وكلوا واشربوا حتى تيبين لكم الخيط األبيض من الخيط األسود من الفجر‬
“Makan dan minumlah hingga fajar (shâdiq) telah tampak jelas olehmu” (Surat al-Baqarah,
187)
Ayat di atas menjelaskan bahwa makan dan minum dihentikan ketika waktu fajar subuh telah
tiba, sehingga orang yang pada malam itu telah berbuka memulai lagi untuk menahan dari
dari makan dan minum.
1. Abu Bakr al-Shiddiq radhiyallahu ‘anhu berkata :
‫إذا نظر رجالن إلى الفجر فشك أحدهما فليأكال حتى يتبين لهما‬
“Apabila dua orang laki-laki melihat ke arah fajar, lalu salah satunya ragu (apakah itu fajar
atau tidak) maka hendaklah keduanya tetap makan hingga fajar itu benar-benar tampak”
(Riwayat Abdurrazzaq dalam al-Mushannaf)
2. Aun Ibn Abdillah (w.119H) meriwayatkan secara mursal, ia berkata :
‫ كل قد اختلفَا‬:‫ قال أبو بكر‬،‫ لم يطلع بعد‬:‫ وقال اآلخر‬،‫ قد طلع الفجر‬:‫ فقال أحدهما‬،‫دخل رجالن على أبي بكر وهو يتسحر‬
“Ada dua orang yang datang ke tempat Abu Bakr ketika ia sedang sahur. Lalu salah satunya
mengatakan fajar telah terbit namun yang satu lagi mengatakan belum. Abu Bakr menimpali
: Makanlah, kalian berdua masih berbeda pendapat”
(Riwayat Ibnu Abi Syaibah dalam kitab al-Mushannaf)
12
3. Riwayat al-Hasan al-Bashri dari Umar Ibn al-Khatthab radhiyallahu ‘anhu secara mursal:
‫ إذا شك الرجالن في الفجر فليأكال حتى يستيقنا‬: ‫قال عمر‬
“Umar berkata : Apabila dua orang laki-laki ragu tentang terbit fajar maka tetaplah
keduanya makan hingga yakin fajar telah terbit”
(Riwayat Ibnu Abi Syaibah dalam al-Mushannaf. Al-Hasan al-Bashri lahir saat dua tahun
menjelang kepemimpinan Umar Ibn al-Khatthab usai yang ditandai dengan wafatnya beliau)
4. Makhul dari Abdullah Ibn Umar radhiyallahu ‘anhuma :
:‫ قال‬،‫ نعم‬:‫ وقال اآلخر‬،‫ ال‬:‫ أطلع الفجر؟ فقال أحدهما‬:‫ فقال لرجلين‬،‫ رأيت ابن عمر أخذ دلوا من زمزم‬:‫عن مكحول قال‬
‫فشرب‬
“Dari Makhul, ia berkata : Aku melihat Ibn Umar mengambil segayung air zamzam,
kemudian ia bertanya kepada dua orang laki-laki apakah fajar telah terbit? Yang satu
menjawab belum dan yang lain menjawab sudah. Lalu Ibn Umar tetap minum”
(Riwayat Ibnu Abi Syaibah dalam al-Mushannaf)
5. Abdullah Ibn al-‘Abbas radhiyallahu ‘anhuma berkata :
‫أحل الله لك الشراب ما شككت حتى ال تشك‬
“Allah menghalalkan minum bagimu selama kamu masih ragu (waktu fajar) hingga akhirnya
kamu yakin”
(Riwayat Abdurrazzaq dalam al-Mushannaf)
6. Riwayat ‘Atha’ dari Abdullah Ibn ‘Abbas radhiyallahu ‘anhuma :
‫ قد طلع‬:‫ فقال أحدهما‬،‫ وهو في دار أم هانئ في شهر رمضان وهو يتسحر‬،‫عن عطاء عن اب ن عباس قال لغالمين له‬
‫ أسقياني‬:‫ قال‬،‫ لم يطلع‬:‫ وقال اآلخر‬،‫الفجر‬
“Diriwayatkan oleh Atha’ dari Ibn ‘Abbas bahwa ia menanyakan perihal fajar kepada dua
pembantunya ketika sedang sahur di rumah Ummu Hani’ pada bulan Ramadhan. Salah
satunya menjawab sudah terbit dan yang lain menjawab belum. Kemudia Ibnu Abbas
meminta minum kepada keduanya”
(Riwayat Ibn Abi Syaibah dalam al-Mushannaf)
 Terkait azan Ibnu Ummi Maktum sebagai pertanda larangan melanjutkan makan sahur, di
dalam Syarh Shahîh al-Bukhârî, Al-Imam Abu al-Hasan Ali Ibn Khalaf Ibn Abdil Malik Ibn
Batthal (w.449H):
‫لإلجماع أن الصيام واجب من أول الفجر‬
“Karena ada ijma bahwa berpuasa wajib dilaksanakan mulia awal terbit fajar”
(Ibn Batthal, Syarh Shahîh al-Bukhârî, vol.2, hal.248)
 Al-Imam Abu al-Hasan Ali Ibn Muhammad Ibn Muhammad Ibn Habib al-Bashri al-Mawardi
(w.450H);
‫وكما ذهب حذيفة بن اليمان إلى أن أول الصوم إسفار الصبح فلم يعتدّوا بخالفه وأجمعوا على أنه من طلوع الفجر‬

13
“Dan sebagaimana Hudzaifah Ibn al-Yaman mengatakan bahwa awal berpuasa adalah
dengan datangnya waktu subuh, tidak ada satupun sahabat lain yang berbeda dengannya,
dan mereka ijma bahwa puasa dimulai semenjak terbit fajar”
(Al-Mawardi, al-Hâwî al-Kabîr Syarh Mukhtashar al-Muzanî, vol.16, hal.213)
 Al-Imam Abu ‘Amr Yusuf Ibn Abdillah Ibn Muhammad Ibn Abdil Barr al-Qurthubi
(w.463H);
‫ والنهار الذي يجب‬،‫ وهو إجماع لم يخالف فيه إال األعمش فشذ ولم يعرج على قوله‬... ‫السحور ال يكون إال قبل الفجر‬
‫ على هذا إجماع علماء المسلمين فال وجه للكالم فيه‬،‫صيامه من طلوع الفجر إلى غروب الشمس‬
“Waktu sahur adalah sebelum fajar...dan itu berdasarkan ijma yang tidak ada yang
menyelisihi selain al-A‘masy (w.147H), akan tetapi pendapatnya (dalam hal ini) Syâdz dan
tidak dapat dijadikan pegangan. Waktu terang wajib berpuasa dimulai semenjak terbit fajar
hingga terbenam matahari. Hal ini telah menjadi ijma para ulama, sehingga tidak perlu
diperdebatkan lagi”
(Ibn Abdil Barr, al-Tamhîd Limâ Fî al-Muwattha’ Min al-Ma‘ânî wa al-Asânîd, vol.10,
hal.62)
‫وقد أجمعوا أن الصيام من أول الفجر‬
“Dan mereka telah ijma bahwa berpuasa dimulai semenjak awal fajar terbit”
(Ibn Abdil Barr, al-Istidzkâr, vol.1, hal.406)
 Al-Imam Abu al-Walid Sulaiman Ibn Khalaf Ibn Sa‘d Ibn Ayyub al-Baji (w.474H);
‫وال خالف أنه ال يجوز األكل بعد طلوع الفجر‬
“Tidak ada perbedaan pendapat ulama dalam larangan makan setelah terbit fajar”
(Al-Baji, Al-Muntaqâ Fî Syarh al-Muwattha’, vol.1, hal.168)
 Al-Imam Abu Zakariya Muhyiddin Yahya Ibn Syarf al-Nawawi (w.676H);
‫ هذا الذي ذكرناه من الدخول في الصوم بطلوع‬... ‫وال يتعلق بالفجر األول الكاذب ش يء من األحكام بإجماع المسلمين‬
‫الفجر وتحريم الطعام والشراب والجماع به هو مذهبنا ومذهب أبى حنيفة ومالك وأحمد وجماهير العلماء من الصحابة‬
‫والتابعين فمن بعدهم‬
“Tidak ada kaitan hukum dengan fajar kadzib (pertama) berdasarkan ijma‘ umat muslim...
Kemudian mengenai dimulainya puasa dengan sebab terbit fajar, haramnya makanan,
minuman dan jima‘, itu adalah mazhab kami (syafi‘iyyah)), mazhab Abu Hanifah, Malik,
Ahmad dan jumhur sahabat, tabi‘in dan orang-orang setelah mereka”
(Al-Nawawi, al-Majmû‘ Syarh al-Muhadzzab, vol.6, hal.305)
Wallâhu A‘lam

14
IJMA‘ RAMADHAN KE 4/30
(WAKTU BERBUKA DAN
TERLANJUR BERBUKA
SEBELUM WAKTUNYA)
Pada bagian ini dijelaskan tentang waktu berbuka, konsekuensi bila terlanjur berbuka karena
mengira matahari telah tenggelam, dan anjuran menyegerakan berbuka meskipun hanya
seteguk air maupun sebiji kurma sebelum shalat. Karena mengulur waktu berbuka ternyata
juga sebuah kebiasaan kaum yahudi dalam pelaksaan puasa dalam ajaran mereka dengan
dalih bersabar untuk mengulur waktu (taswîf) dari menyantap perbukaan dan mendahulukan
ibadah, padahal berbuka itu sendiri juga merupakan ibadah bagi orang yang berpuasa.

Berikut adalah riwayat beberapa


sahabat radhiyallâhu ‘anhum tentang
waktu berbuka ;
1. Umar Ibn al-Khatthab radhiyallâhu ‘anhu ;
‫أن عمر بن الخطاب أفطر ذات يوم في رمضان في يوم ذي غيم ورأى أنه قد أمسى وغابت الشمس‬: ‫عن خالد بن أسلم‬
‫ قال مالك يريد بقوله "الخطب‬.‫ الخطب يسير وقد اجتهدنا‬: ‫ فقال عمر‬،‫فجاءه رجل فقال يا أمير المؤمنين طلعت الشمس‬
‫يسير" القضاء فيما نرى والله أعلم‬
“Dari Khâlid Ibn Aslam bahwa Umar Ibn al-Khatthab pernah berbuka ketika mendung di
sore bulan Ramadhan karena melihat saat itu sudah sore dan matahari sudah tenggelam.
Lalu datanglah seseorang mengabarkan bahwa matahari muncul. Umar pun berkata : Baik,
perkaranya sederhana, dan kita pun hanya berijtihad”. Imam Malik menjelaskan, yang kami
pahami dari perkataan Umar “al-Khathbu Yasîr” adalah puasa hari itu dapat diqadha,
Wallahâhu A‘lam.
(Malik Ibn Anas, al-Muwattha’ Bi Riwâyah al-Laytsî, No.670)
‫ كنا عند عمر بن الخطاب في رمضان والسماء مغيمة فأتي بسويق وطلعت الشمس فقال من أفطر‬: ‫عن بشر بن قيس قال‬
‫فليقض يوما مكانه‬
“Dari Bisyr Ibn Qays, ia berkata : Kami pernah bersama Umar Ibn al-Khatthab pada bulan
Ramadhan dengan cuaca mendung (pada sore hari), lalu bubur gandum pun dihidangkan,
dan ternyata matahari terlihat, maka Umar berkata ; Siapa yang terlanjur berbuka
hendaklah dia mengqadha puasanya di hari lain”
(Abdurrazzaq, al-Mushannaf, vol.4, hal.178)
‫ وال تنتظروا بصالتكم اشتبا‬،‫المسوفين لفطركم‬
ّ ‫ كان عمر يكتب إلى أمرائه أن ال تكونوا من‬:‫ قال‬،‫عن سعيد بن المسيب‬
‫النجوم‬

15
“Dari Sa‘îd Ibn al-Musayyab, ia berkata ; Umar pernah menulis surat kepada para
gubernurnya agar jangan menjadi orang yang suka mengulur-ulur berbuka dan jangan
menunggu bintang tampak terlebih dahulu karena melakukan shalat”
(Ibn Abi Syaibah, al-Mushannaf, vol.3, hal.12)
2. Ali Ibn Abi Thalib radhiyallâhu ‘anhu ;
،‫ ال تعجل‬:‫ غربت الشمس؟ فيقول‬:‫ فيقول‬،‫ ال تعجل‬:‫ غربت الشمس؟ فيقول‬:‫كان علي بن أبي طالب يقول البن الن ّباح‬
‫ ثم نزل فصلى‬،‫ أفطر‬،‫ نعم‬:‫ غربت الشمس؟ فإذا قال‬:‫فيقول‬
“Ali Ibn Abi Thalib pernah bertanya kepada Ibn al-Nabbâh ; Apakah matahari telah
tenggelam? Ibn al-Nabbâh menjawab ; Tidak perlu buru-buru. Ali bertanya lagi ; Apakah
matahari telah tenggelam? Ibn al-Nabbâh menjawab lagi ; Tidak perlu buru-buru. Ali
bertanya lagi ; Apakah matahari telah tenggelam? Bila ia menjawab sudah, maka Ali pun
berbuka, kemudian turun untuk shalat”
(Ibn Abi Syaibah, al-Mushannaf, vol.3, hal.13. Ibn al-Nabbâh adalah ‘Âmir Ibn al-Nabbâh,
muadzzin Ali Ibn Abi Thalib)
3. Abdullah Ibn Abbas radhiyallâhu ‘anhumâ;
‫ فإذا‬،‫ فكان إذا أمسى بعث ربيبة له تصعد ظهر الدار‬،‫عن أبي جمرة الضبعي أنه كان يفطر مع ابن عباس في رمضان‬
‫ فإذا فرغ أقيمت الصالة فيقوم يصلي ونصلي معه‬،‫ فيأكل ونأكل‬،‫غابت الشمس أذن‬
“Dari Abu Jamrah al-Dhuba‘i, ia pernah berbuka puasa Ramadhan bersama Ibn ‘Abbas.
Ketika telah sore, Ibn ‘Abbas meminta asuhannya menaiki atap rumah untuk melihat apakah
matahari telah terbenam. Bila terbenam maka ia mengumandangkan azan. Kemudian Ibnu
Abbas makan, dan kami pun ikut makan. Bila makan telah selesai, iqamah pun dilaksanakan,
dan kami ikut shalat dengannya”
(Ibn Abi Syaibah, al-Mushannaf, vol.3, hal.12)
4. Abu Musa al-Asy‘rî radhiyallâhu ‘anhu ;
‫ فإن ذلك فعل اليهود‬،‫ ال تفطروا حين تبدو الكواكب‬:‫ إن أبا موسى قال‬:‫قال رجل لعمار بن ياسر‬
“Seseorang berkata kepada ‘Ammâr Ibn Yâsir bahwa Abû Mûsa pernah berkata ; Janganlah
kalian mulai berbuka hingga menunggu bintang terlihat, karena itu adalah kebiasaan orang-
orang yahudi”
(Ibn Abi Syaibah, al-Mushannaf, vo.3, hal.12)
5. Abu Darda’ radhiyallâhu ‘anhu ;
‫ ووضع اليمين على الشمال في‬،‫ واإلبالغ في السحور‬،‫ ثَالث من أخالق النبيين التبكير في اإلفطار‬: ‫عن أبي الدرداء قال‬
‫الصالة‬
“Dari Abu Darda’, ia berkata ; tiga hal yang merupakan akhlak para nabi ; menyegerakan
berbuka, mengakhirkan sahur, dan meletakkan (tangan) kanan di atas tangan kiri dalam
shalat”
(Ibn Abi Syaibah, al-Mushannaf, vol.3, hal.13)

16
Berikut kutipan statement Ijma’ ulama
tentang waktu berbuka;
 Al-Imam Abu al-Hasan Ali Ibn Khalaf Ibn Abdil Malik Ibn Batthal (w.449H);
‫ وذلك آخر النهار وأول أوقات الليل‬،‫أجمع العلماء أنه إذا غربت الشمس فقد حل فطر الصائم‬
“Para ulama berijma’ bahwa apabila matahari telah tenggelam maka telah halal berbuka,
itulah waktu akhir siang dan awal waktu malam”
(Ibn Batthal, Syarh Shahîh al-Bukhârî, vo.4, hal.102)
 Al-Imam Abu Muhammad Ibn Ali Ibn Ahmad Ibn Sa‘id Ibn Hazm al-Andalusi
(w.456H);
‫واتفقوا على أن كل ذلك حالل من غروب الشمس إلى مقدار ما يمكن الغسل قبل طلوع الفجر اآلخر‬
“Mereka sepakat bahwa itu semua halal semenjak matahari terbenam hingga kira-kira cukup
waktu untuk mandi sebelum terbit fajar shadiq”
(Ibn Hazm, Marâtib al-Ijmâ‘, hal.39)
 Al-Imam Abu ‘Amr Yusuf Ibn Abdillah Ibn Muhammad Ibn Abdil Barr al-Qurthubi
(w.463H);
‫ على هذا إجماع علماء المسلمين فال وجه للكالم فيه‬،‫والنهار الذي يجب صيامه من طلوع الفجر إلى غروب الشمس‬
“Waktu siang yang wajib berpuasa padanya adalah semenjak terbit fajar hingga terbenam
matahari, ini berdasarkan ijma’ ulama kaum muslimin, sehingga tidak perlu diperdebatkan”
(Ibn Abdil Barr, Al-Tamhîd Limâ Fî al-Muwattha’ Min al-Ma‘ânî wa al-Asânîd, vol.10,
hal.62)
 Al-Imam Abu al-Fadhl Ahmad Ibn Ali Ibn Hajar al-‘Asqalani (w.852H);
‫واتفق العلماء على أن محل ذلك إذا تحقق غروب الشمس بالرؤية أو بأخبار عدلين‬
“Dan para ulama sepakat bahwa waktu berbuka adalah bila telah dipastikan matahari
terbenam, baik dengan cara melihatna maupun dengan kabar dari dua orang adil”
(Ibn Hajar al-‘Asqalani, Fath al-Bârî Bi Syarh Shahîh al-Bukhârî, vol.4, hal.199)
Wallahu A‘lam

17
IJMA‘ RAMADHAN KE 5/30
(WAJIB BERNIAT PUASA DI
MALAM HARI)
Pada bagian ini, kesepakatan ulama dalam persoalan niat berpuasa wajib adalah dari segi
waktu pelaksaannya, yaitu di malam hari. Bukan dari segi pelaksanaannya setiap malam atau
cukup satu kali, karena di dalam mazhab maliki diriwayatkan bahwa niat puasa Ramadhan
dianggap sah bila dilakukan di malam pertama bulan Ramadhan tanpa harus berniat di setiap
malamnya. Titik sepakatnya adalah pelaksaannya di malam hari. Kemudian hal lain yang
disepakati dalam persoalan niat puasa disini adalah statusnya sebagai penentu keabsahan
puasa seseorang, baik niat itu dianggap rukun puasa oleh sebagian mazhab maupun dianggap
syarat oleh mazhab lainnya.

Berikut kutipan urgensi niat dari


beberapa sahabat radhiyallâhu ‘anhum;
Abdullah Ibn Umar radhiyallâhu ‘anhumâ ;
‫ال يصوم إال من أجمع الصيام قبل الفجر‬
“Tidak sah puasa -wajib- orang yang tidak meniatkannya sebelum fajar”
(Malik Ibn Anas, al-Muwattha’ Bi Riwâyah al-Syaibânî, no.371, ... Bi Riwâyah al-Laytsî,
no.633)
‫عن عائشة وحفصة زوجي النبي صلى الله عليه وسلم بمثل ذلك‬
“Dari Aisyah dan Hafshah –dua Istri Nabi shallallâhu ‘alaihi wa sallam- dengan riwayat
sama”
(Malik Ibn Anas, al-Muwattha’ Bi Riwâyah al-Laytsî, no.633)
Ummul Mu’minîn Hafshah bint Umar Ibn al-Khatthâb radhiyallâhu ‘anhumâ ;
‫ ال صيام لمن لم يجمع الصيام قبل الفجر‬:‫ أنها قالت‬،‫عن حفصة‬
“Dari Hafshah, ia berkata; Tidak sah puasa orang yang tidak meniatkannya sebelum fajar”
(Ibnu Abi Syaibah, al-Mushanaf, vol.3, hal.32)

Berikut nukilan keterangan ijma’ oleh


para ulama;
 Al-Imam Abu Zur‘ah Waliyyudin Ahmad Ibn Abdurrahim Ibn al-Husain al-Kurdi al-
‘Iraqi (w.826H);
‫وقد أجمعوا على وجوب النية فيه‬
18
“Dan mereka berijma‘ bahwa wajib berniat saat itu (sebelum fajar)”
(Abu Zur‘ah, Tharh al-Tatsrîb Fî Syarh Taqrîb al-Asânîd wa Tartîb al-Masânîd, vol.2,
hal.12)
 Al-Imam Abu Bakr Muhammad Ibn Ibrahim Ibn al-Mundzir al-Naisaburi (w.319H);
‫وأجمعوا على أن من نوى الصيام كل ليلة من الصيام شهر رمضان فصام أن صومه تام‬
“Dan mereka berijma‘ bahwa orang yang berniat puasa setiap malam Ramadhan, lalu puasa
itu dilaksanakannya maka puasanya sempurna”
(Ibn al-Mundzir, al-Ijmâ‘, hal.48)
 Al-Imam Abu al-Hasan Ali Ibn Khalaf Ibn Abdil Malik Ibn Batthal (w.449H);
‫مفطرا بتر العزم على الصوم من الليل مع تركه نية الصوم نهاره‬
ً ‫إجماع الجميع من أهل العلم على أن المرء قد يكون‬
‫ وإن لم يأكل ولم يشرب‬،‫أجمع‬
“Berdasarkan ijma‘ seluruh ulama bahwa seseorang dinggap telah berbuka disebabkan tidak
berkeinginan berpuasa semenjak malam harinya serta tidak berniat di malam harinya untuk
puasa di siang harinya meskipun dia sama sekali tidak makan dan tidak minum”
(Ibn Batthal, Syarh Shahîh al-Bukhârî, vol.4, hal.102)
 Al-Imam Abu Muhammad Ibn Ali Ibn Ahmad Ibn Sa‘id Ibn Haz al-Andalusi (w.456H);
‫ وال نص وال إجماع على أن الصوم يجزئ من لم ينوه‬،‫قد صح اإلجماع على أن من صام ونواه من الليل فقد أدى ما عليه‬
‫من الليل‬
“Jelas ada ijma‘ bagi orang yang berniat puasa di malam hari maka dia telah menunaikan
kewajibannya, dan tidak ada nash maupun ijma‘ yang menetapkan bahwa puasa –wajib-
orang yang tidak berniat di malam hari dianggap sah”
(Ibn Hazm, al-Muhallâ, vol.6, hal.160)
 Al-Imam Abu Muhammad Abdullah Ibn Ahmad Ibn Qudamah al-Maqdisi (w.620H);
‫وجملته أنه ال يصح صوم إال بنية إجماعا فرضا كان أو تطوعا ألنه عبادة محضة فافتقر إلى النية كالصالة‬
“Dari itu semua, tidak sah puasa tanpa niat berdasarkan ijma‘, baik puasa fardhu maupun
puasa sunnat, karena puasa itu adalah ibadah mahdhah yang membutuhkan niat
sebagaimana shalat”
(Ibn Qudamah, al-Mughni Syarh Mukhtashar al-Imâm Abî al-Qâsim al-Kharqî, vol.3, hal.17)
 Al-Imam Abu Zakariya Yahya Ibn Syaraf al-Nawawi (w.676H);
‫تبييت النية شرط في صوم رمضان وغيره من الصوم الواجب فال يصح صوم رمضان وال القضاء وال الكفارة وال صوم‬
‫فدية الحج غيرها من الصوم الواجب بنية من النهار بال خالف‬
“Berniat di malam hari adalah syarat dalam puasa Ramadhan dan puasa wajib lainnya,
sehingga tidak ada perbedaan pendapat ulama bila puasa Ramadhan, puasa qadha’, puasa
kaffarat, puasa fidyah haji dan puasa wajib lainnya diniatkan di siang hari”
(al-Nawawi, al-Majmû‘ Syarh al-Muhadzzab, vol.6, hal.289-290)
Wallâhu A‘lam

19
IJMA‘ RAMADHAN KE 6/30
(TIDAK MENGQADHA PUASA
HINGGA BERTEMU
RAMADHAN BARU)
Fenomena yang banyak terjadi di kalangan umat muslim ketika tidak melaksanakan puasa
Ramadhan oleh suatu halangan adalah kecenderungan mengulur waktu mengqadha puasa
yang pernah ditinggalkan itu hingga pada akhirnya bertemu dengan Ramadhan berikutnya
tanpa menunaikan kewajiban qadha puasa sebelumnya tanpa ada uzur.

Berikut ini adalah beberapa alasan atau


sebab seseorang tidak berpuasa;
1. Bagi laki-laki maupun perempuan yang tidak berpuasa karena sakit, kemudian sembuh,
atau bagi musafir/ah yang tidak berpuasa kemudian kembali bermukim, wajib mengqadhanya
dalam tempo setelah ‘Idul Fitri hingga satu hari sebelum Sya‘ban usai bila tidak ada halangan
atau uzur.
2. Bagi wanita haid dan nifas saat Ramadhan, mereka berkewajiban mengqadha puasa yang
ditinggalkannya dalam tempo waktu yang disebutkan di atas saat masa-masa suci bila tidak
ada halangan atau uzur.
3. Bagi wanita hamil dan menyusui di bulan Ramadhan dan memilih tidak berpuasa, mereka
pun dapat mengqadha puasa itu dalam tempo waktu yang disebutkan di atas bila mampu.
Apabila tidak mampu lantaran uzur disebabkan masih dalam masa hamil atau masih dalam
masa menyusui, maka qadha tersebut dilakukan apabila telah mampu meskipun setelah
Ramadhan berikutnya.
4. Wanita yang pada Ramadhan ini sedang hamil dan memilih tidak berpuasa karena kuatir
pada dirinya atau pun pada bayinya, lalu ternyata pada Ramadhan sebelumnya pernah tidak
berpuasa karena haid, maka sejatinya dia pernah mendapati momen wajib mengqadha puasa
tanpa halangan -selain haid, sakit, atau safar- terhitung setelah ‘Idul Fitri sampai awal
kehamilannya saat ini. Bahkan bila kehamilannya pada Ramadhan ini telah memasuki bulan
ke-9, bila dihitung mundur, maka akan didapati kehamilannya dimulai pada bulan Muharram.
Artinya, dia memiliki tempo tiga bulan untuk mengqadha puasanya tanpa halangan -selain
haid, sakit ataupun musafirah-, yaitu pada bulan Syawwal, Dzul Qa‘dah dan Dzul Hijjah.
5. Dan beragam kondisi lainnya.
Mereka yang disebutkan di atas bila tidak ada halangan mengqadha puasa yang pernah
ditinggalkan hingga akhirnya bertemu dengan Ramadhan berikutnya, maka selain
mengqadha, juga ada kewajiban membayar “kafarat” (baca : Fidyah) sebanyak hari yang
ditinggalkan karena faktor mengulur-ulur waktu tersebut.

20
Berikut adalah riwayat dari beberapa
sahabat terkait qadha puasa dan denda
fidyah;
Abu Hurairah radhiyallâhu ‘anhu ;
‫عن أبي هريرة قال من أدركه رمضان وهو مريض ثم صح فلم يقضه حتى أدركه رمضان آخر صام الذي أدر ثم صام‬
‫االول وأطعم عن كل يوم نصف صاع من قمح‬
“Dari Abu Hurairah, ia berkata ; siapa yang sakit pada bulan Ramadhan, lalu sembuh dan
tidak mengqadha puasa yang ditinggalkan hingga bertemu dengan Ramadhan berikutnya,
maka ia tetap melaksakan puasa Ramadhan yang ada, kemudian dia harus mengqadha puasa
yang lewat ditambah dengan -fidyah- setengah shâ‘ gandung untuk setiap harinya”
(Abdurrazzaq, al-Mushannaf, vol.4, hal.234, no.7620)
‫عن أبي هريرة قال إن إنسانا مرض في رمضان ثم صح فلم يقضه حتى أدركه شهر رمضان آخر فليصم الذي أحدث ثم‬
‫يقضي اآلخر ويطعم مع كل يوم مسكينا‬
“Dari Abu Hurairah, ia berkata; seseorang yang sakit pada bulan Ramadhan (dan tidak
berpuasa), kemudian sembuh, namun puasa itu belum diqadhanya hingga bertemu dengan
Ramadhan berikutnya, maka dia tetap harus puasa Ramadhan yang ada, lalu mengqadha
puasa yang lewat ditambah dengan denda fidyah; satu orang miskin untuk satu hari yang
ditinggalkan”
(Abdurrazzaq, al-Mushannaf, vol.4, hal.234, no.7621)
‫وفرط فيما بينهما فأخبرنا عن قتادة عن صالح أبي الخليل‬
ّ ‫سئل سعيد هو ابن أبي عروبة عن رجل تتابع عليه رمضانان‬
‫ يصوم الذي حضر ويقضي اآلخر ويطعم لكل يوم مسكينا‬:‫عن مجاهد عن أبي هريرة أنه قال‬
“Sa‘id Ibn Abi ‘Arubah (w.156H) pernah ditanya tentang seseorang yang bertemu dua
Ramadhan dan tidak mengqadha puasa yang ditinggalkan saat jeda antara dua Ramadhan
tersebut. Lalu Ibn Abi ‘Arubah langsung menyampaikan riwayat kepada kami dari Qatadah
(w.100H)), dari Shalih Ibn Abi Khalil, dari Mujahid (w.101H)), dari Abu Hurairah, ia
berkata ; (orang itu) tetap berpuasa Ramadhan ini, lalu harus mengqadha puasa yang ia
tinggalkan sekaligus membayar denda fidyah; satu hari yang ditinggalkan untuk satu orang
miskin”
(Al-Baihaqi, al-Sunan al-Kubra, vol.4, hal.253, no.8471)
Abdullah Ibn ‘Abbâs radhiyallâhu ‘anhumâ;
‫ يصوم هذا ويطعم عن ذا كل يوم مسكينا ويقضيه‬:‫ في رجل أدركه رمضان وعليه رمضان آخر قال‬:‫عن ابن عباس‬
“Dari Ibn Abbas, tentang seseorang yang bertemu dengan Ramadhan yang baru sementara
ia memiliki kewajiban puasa yang lalu, maka Ibn Abbas mengatakan; Dia tetap melakukan
puasa yang sekarang, lalu memberikan makan satu orang miskin untuk satu hari yang
ditinggalkan dan disertai dengan mengqadha puasa tersebut”
(Al-Baihaqi, al-Sunan al-Kubra, vol.4, hal.253, no.8470)

21
Berikut keterangan para ulama;
 Al-Imam Abu al-Hasan Ali Ibn Khalaf Ibn Abdul Malik Ibn Batthal al-Qurthubi
(w.449H);
‫وأجمع أهل العلم على أن من قضى ما عليه من رمضان فى شعبان بعده أنه مؤد لفرضه غير مفرط‬
“Ulama berijma‘ bahwa orang yang mengqadha puasa Ramadhannya yang lalu di bulan
Sya‘ban (sebelum Ramadhan yang baru) berarti telah menunaikan kewajibannya, tidak
melampaui masa dia harus mengqadha”
(Ibn Batthal, Syarh Shahih al-Bukhari, vol.4, hal.95)
 Al-Imam Abu al-Hasan Ali Ibn Muhammad Ibn Muhammad Ibn Habib al-Bashri
(w.450H);
‫ هذا مع إجماع ستة‬... ‫ وهو إجماع الصحابة‬،‫وإن أخره غير معذور فعليه مع القضاء الكفارة عن كل يوم بمد من طعام‬
‫من الصحابة ال يعرف لهم خالف‬
“Jika seseorang mengundur qadha puasa tanpa uzur maka di samping mengqadha, dia juga
harus membayar denda fidyah sebanyak satu mudd untuk satu hari yang ditinggalkan, dan
ini adalah ijma‘ para sahabat ... meskipun sahabat yang berijma ada enam orang, namun
tidak diketahui ada yang berpandangan berbeda”
(al-Mawardi, al-Hâwî al-Kabîr Syarh Mukhtashar al-Muzanî, vol.3, hal.983 & 984)
 Al-Imam Abu Muhammad Abdullah Ibn Ahmad Ibn Qudamah al-Maqdisi (w.620H);
‫ ولنا ما روي‬... ‫ وبهذا قال ابن عباس وابن عمر وأبو هريرة‬،‫فإن كان لغير عذر فعليه مع القضاء إطعام مسكين لكل يوم‬
‫ أطعم عن كل يوم مسكينا ولم يرو عن غيرهم من الصحابة خالفهم‬:‫عن ابن عمر وابن عباس وأبي هريرة أنهم قالوا‬
“Maka jika seseorang (belum mengqadha puasa) tanpa uzur, maka di samping mengqadha
itu dia harus membayar denda fidyah memberi makan satu orang miskin untuk satu hari
puasa yang ditinggalkan. Ibn Abbas, Ibn Umar dan Abu Hurairah berpendapat demikian.
Kami memiliki riwayat dari mereka (ketika ditanya) mereka menjawab; Beri makanlah satu
orang miskin untuk satu hari yang ditinggalkan, dan tidak ada riwayat dari sahabat lain
yang berpendapat berbeda”
(Ibn Qudamah, al-Mughni Syarh Mukhtashar al-Imâm Abî al-Qâsim al-Kharqî, vol.3, hal.85)
 Al-Imam Abu al-‘Abbas Ahmad Ibn Idris Ibn Abdirrahman al-Qarrâfî (w.684H);
‫وجوابه أن ابن عمر وابن عباس وأبا هريرة رضي الله عنهم كانوا يقولون بذلك من غير نكير فكان إجماعا‬
“Dan jawab atas itu adalah tidak adanya pengingkaran dari sahabat lain atas perkataan Ibn
Umar, Ibn Abbas dan Abu Hurairah (terkait Qadha dan denda Fidyah ini), sehingga menjadi
ijma‘”
(Al-Qarrâfî, al-Dzakhîrah, vol.2, hal.525)
 Al-Imam al-Hafizh Abu al-Fadhl Ahmad Ibn Ali Ibn Muhammad Ibn Ahmad Ibn
Hajar al-‘Asqalani (w.852H) ketika memberikan catatan tambahan untuk hadis yang
diriwayatkan al-Baihaqi di atas, ia mengatakan ;
‫وحكى الطحاوي عن يحيى بن أكتم أن في هذه المسألة قول ستة من الصحابة وسمى منهم صاحب المهذب عليا وجابرا‬
‫والحسين بن علي‬

22
“Dan al-Thahâwî meriwayatkan dari Yahyâ Ibn Aktam bahwa masalah ini ada argumen dari
perkataan enam orang sahabat. Penulis al-Muhadzzab (al-Syîrâzî) menyebutkan di antara
nama mereka yatu; Ali, Jabir, Husain Ibn Ali”
(Ibn Hajar al-Asqalani, Talkhîsh al-Habîr Fî Takhrîj Ahâdîts al-Râfi‘î al-Kabîr, vol.2,
hal.456)
Wallahu A’lam

23
IJMA‘ RAMADHAN KE 8/30
(HUKUM SANTAP SAHUR)
“Laksanakanlah sahur, karena mengandung keberkahan”
Begitulah sabda yang pernah diutarakan oleh Nabi Muhammad shallallâhu ‘alaihi wa sallam
dalam hadis riwayat Imam Bukhari dan Imam Muslim untuk menyuruh umatnya untuk
bersahur sebelum berpuasa karena keberkahan ada di dalamnya. Bila diamati, keberkahan
tersebut dapat berupa hal-hal berikut ;
1. Memberikan kemampuan tambahan bagi orang yang berpuasa pada siang hari hingga
saatnya berbuka.
2. Dapat meringankannya melaksanakan tugas saat berpuasa dari merasakan rasa lapar dan
haus yang cukup berat.
3. Mengurangi potensi malas di siang hari lantaran kekurangan energi akibat tidak ada zat
yang cukup untuk dicerna oleh organ.
4. Memberikan kestabilan organ pencernaan dan kadar gula darah.
5. Dan yang tidak kalah penting adalah sebagai bentuk upaya melaksanakan anjuran Nabi
Muhammad shallallâhu ‘alahi wa sallam.
6. Bahkan dalam satu riwayat juga disebutkan bahwa sahur adalah waktu diijabahnya doa
disamping memang masuk sepertiga malam terakhir.

Keterangan dari para sahabat Nabi;


‫عن أبي الوليد عبد الله بن الحارث األنصاري أن نفرا من أصحاب النبي صلى الله عليه وسلم قالوا تسحروا ولو بجرع‬
‫من ماء‬
“Dari Abi al-Walîd Abdullâh Ibn al-Hârits al-Anshârî, bahwa beberapa sahabat Nabi
shallallâhu ‘alaihi wa sallam berkata; Bersahurlah meskipun hanya seteguk air”
(Abdurrazzaq, al-Mushannaf, vol.4, hal.227, no.7599)
Hafshah Ummul Mu’minin radhiyallâhu ‘anhâ;
‫ فإنها قد ذكرت فيه دعوة‬،‫ تسحروا ولو بشربة من ماء‬:‫عن حفصة قالت‬
“Dari Hafshah, ia berkata; Bersahurlah meskipun seteguk air, karena pada saat sahur itu
doa dikabulkan”
(Ibn Abi Syaibah, al-Mushanaf, vol.3, hal.8, no.9012)
 Abu Darda’ radhiyallâhu ‘anhu;
‫ من أخالق النبيين اإلبالغ في السحور‬:‫عن أبي الدرداء قال‬
“Dari Abu Darda’, ia berkata bahwa di antara akhlak para Nabi adalah mendekatkan
momen sahur dengan waktu fajar”
(Ibn Abi Syaibah, al-Mushannaf, vol.3, hal.9, no.9014)

24
Statement Ijma‘ oleh ulama;
 Al-Imâm Abû Bakr Muhammad Ibn Ibrâhîm Ibn al-Mundzir al-Naisabûrî (w.318H);
‫ وال إثم على من تركه‬،‫وقد أجمعوا على أن ذلك مندوب مستحب‬
“Dan mereka telah ijma‘ bahwa sahur itu sangat disunnatkan, dan yang tidak melakukannya
tidak berdosa”
(Ibn al-Mundzir, al-Isyrâf ‘Alâ Madzâhib al-‘Ulamâ’, vol.3, hal.120)
 Al-Imâm al-Qâdhî Abû al-Fadhl ‘Iyâdh Ibn Mûsâ Ibn ‘Iyâdh Ibn ‘Amrûn al-Yashûbî
(w.544H);
‫وأجمع الفقهاء على أن السحور مندوب إليه ليس بواجب‬
“Ulama fikih berijma‘ bahwa melaksanakan sahur hukumnya sunnat, bukan wajib”
(Al-Qadhi ‘Iyadh, Ikmâl al-Mu‘lim Bi Fawâ’id Muslim, vol.4, hal.33)
 Al-Imam Abu Muhammad Abdullah Ibn Ahmad Ibn Qudamah al-Maqdisi (w.630H);
‫في استحبابه وال نعلم فيه بين العلماء خالفا‬
“Kami tidak mengetahui adanya perbedaan pendapat ulama dalam kesunnahan sahur”
(Ibn Qudâmah al-Maqdisî, al-Mughnî Fi Syarh Mukhtashar al-Kharqî, vol.3, hal.108)
Wallâhu A‘lam

25
IJMA‘ RAMADHAN KE 7/30
(RUKHSHAH BERBUKA BAGI
MUSAFIR DAN ORANG SAKIT)
~ Ketika Allah bersedekah dengan memberi rukhshah untuk hamba-Nya ~
 Beberapa sahabat Nabi radhiyallâhu ‘anhum ;
‫عن شقيق بن سلمة قال أهللنا هالل رمضان بحلوان أو بالمدائن وفينا رجال من أصحاب رسول الله صلى الله عليه‬
‫وسلم فنادى أميره م من شاء منكم أن يصوم فليصم ومن شاء منكم أن يفطر فليفطر فإن رسول الله صلى الله عليه وسلم‬
‫قد صام في السفر وأفطر‬
“Dari Syaqiq Ibn Salamah, ia berkata; Kami memulai Ramadhan di Hulwân atau Madâ’in,
saat itu kami bersama beberapa sahabat Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallaam, lalu
pimpinan mereka menghimbau bahwa siapa yang ingin puasa dipersilahkan, dan siapa yang
tidak berpuasa juga silahkan, karena Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam juga pernah
melakukan keduanya dalam perjalanan”
(Abdurrazzaq, al-Mushannaf, vol.2, hal.569, no.4494)
‫ قال‬،‫عن قتادة قال صام بعض أصحاب النبي صلى الله عليه وسلم في السفر وأفطر بعضهم فلم يعب بعضهم على بعض‬
‫أخذ هذا برخصة الله وأدى هذا فريضة الله‬
“Qatadah, ia berkata bahwa sebagian sahabat Nabi shallallâhu ‘alaihi wa sallam memilih
berpuasa dalam perjalanan dan sebagian yang lain memilih tidak berpuasa, kemudian satu
sama lain tidak pernah saling merendahkan. Karena yang satu memanfaatkan keringanan
dari Allah, dan yang satu lagi telah menunaikan kewajiban yang Allah berikan”
(Abdurrazzaq, al-Mushannaf, vol.2, hal.569, no.4500)
 Ali Ibn Abi Thalib radhiayallâhu ‘anhu;
‫ قال فصام علي وكان علي راكبا وأفطرت ألني كنت ماشيا‬،‫عن سعد بن معبد قال؛ أقبلت مع علي بن أبي طالب من ينبع‬
‫حتى قدمنا المدينة ليال‬
“Dari Sa‘d Ibn Ma‘bad, ia berkata; Kami bersama Ali berangkat dari Yanbû‘, -ia
melanjutkan- Ali berpuasa karena menunggang, sedangkan saya tidak berpuasa karena saya
berjalan, hingga kami tiba di Madinah malam hari”
(Abdurrazzaq, al-Mushannaf, vol.2, hal.569, no.4495)
 Aisyah Ummul Mukminin radhiyallâhu ‘anhâ;
‫عن عروة عن عائشة أنها كانت تصوم في السفر‬
“Dari ‘Urwah, dari Aisyah, bahwa beliau berpuasa dalam perjalanan”
(Abdurrazzaq, al-Mushannaf, vol.2, hal.569, no.4496)
‫ فما أفطرت حتى دخلت مكة‬،‫ صحبت عائشة في السفر‬:‫عن ابن أبي مليكة قال‬

26
“Dari Ibn Abi Mulaikah (w.117H), ia berkata; Aku mengawal Aisyah dalam perjalanan, dan
ia tidak berbuka hingga sampai ke Makkah”
(Ibn Abi Syaibah, al-Mushannaf, vol.3, hal.15, no.9068)
 Abdullah Ibn ‘Abbas radhiyallâhu ‘anhumâ;
‫ قال الله؛ يريد الله بكم اليسر وال يريد بكم العسر‬،‫عن ابن عباس قال ال نعيب على من صام في السفر وال على من أفطر‬
“Dari Ibn Abbas, ia berkata; Kami tidak merendahkan orang orang yang berpuasa dalam
perjalanan dan orang yang memilih berbuka. Allah berfirman; Allah menghendaki
kemudahan untuk kalian, bukan kesulitan”
(Abdurrazzaq, al-Mushannaf, vol.2, hal.569, no.4498)
‫ خذ بيسر الله عليك‬،‫ عسر ويسر‬:‫ سألت ابن عباس عن الصوم في السفر فقال‬:‫عن أبي جمرة قال‬
“Dari Abu Jamrah (w.128H), ia pernah bertanya kepada Ibn ‘Abbas tentang puasa dalam
perjalanan. Ibn Abbas menjawab; Ada yang sulit dan ada yang mudah, maka ambillah
kemudahan yang Allah berikan”
(Ibn Abi Syaibah, al-Mushannaf, vol.3, hal.14, no.9056)
 Abdullah Ibn Umar radhiyallâhu ‘anhumâ;
‫ اإلفطار في السفر صدقة تصدّق الله بها على عباده‬:‫عن ابن عمر قال‬
“Dari Ibn Umar, ia berkata bahwa berbuka di perjalanan adalah sedekah yang Allah berikan
kepada para hamba-Nya”
(Ibn Abi Syaibah, al-Mushannaf, vol.3, hal.14, no.9060)
 Jabir Ibn Abdillah dan Abu Sa‘îd al-Khudrî radhiyallâhu ‘anhum;
‫عن أبي سعيد الخدري وجابر بن عبد الله رضي الله عنهم قاال؛ سافرنا مع رسول الله صلى الله عليه وسلم فيصوم‬
‫الصائم ويفطر المفطر فال يعيب بعضهم على بعض‬
“Dari Abu Sa‘id al-Khudri dan Jabir Ibn Abdillah radhiyallâhu ‘anhum berkata; Kami
pernah melakukan perjalanan bersama Rasulullah shallallahu ‘alaih wa sallam, maka ada
yang berpuasa dan ada pula yang tidak, namun tidak ada yang saling merendahkan”
(Muslim Ibn Hajjaj, Shahîh Muslim, vol.3, hal.143, no.2675)
 Anas Ibn Malik radhiyallâhu ‘anhû;
‫ ومن صام فالصوم أفضل‬،‫ من أفطر فرخصة‬:‫ سئل أنس عن الصوم في السفر فقال‬:‫عن عاصم قال‬
“Dari Ashim (w.141H), ia berkata bahwa Anas Ibn Malik pernah ditanya tentang puasa
dalam perjalanan. Anas menjawab; Yang berbuka berarti mengambil keringanan, dan yang
berpuasa itu juga lebih baik”
(Ibn Abi Syaibah, al-Mushannaf, vol.3, hal.15, no.9067)
 Usman Ibn Abî al-‘Âsh radhiyallâhu ‘anhû;
‫ والفطر رخصة‬،‫ الصوم في السفر أفضل‬:‫عن ابن سيرين أن عثمان بن أبي العاص قال‬
“Dari Ibn Sirin (w.110H), bahwa Usman Ibn Abî al-‘Âsh berkata; Memilih berpuasa dalam
perjalanan itu lebih baik, dan memilih tidak berpuasa adalah keringanan”

27
(Ibn Abi Syaibah, al-Mushannaf, vol.3, hal.16, no.9076)

Berikut penjelasan dari para ulama


mazhab;
 Al-Imam Mâlik Ibn Anas Ibn Mâlik Ibn ‘Âmir al-Madanî (w.179H);
‫األمر الذي سمعت من أهل العلم أن المريض إذا أصابه المرض الذي يشق عليه الصيام معه ويتعبه ويبلغ ذلك منه فإن له‬
‫ ودين الله يسر وقد أرخص الله للمسافر في‬... ‫أن يفطر وكذلك المريض الذي اشتد علي ه القيام في الصالة وبلغ منه‬
‫ فهذا أحب ما سمعت إلي وهو األمر المجتمع عليه‬... ‫الفطر في السفر وهو أقوى على الصيام من المريض‬
“Satu hal yang pernah saya dengan dari para ulama adalah seseorang mengalami sakit yang
kesulitan dan berat untuk berpuasa atau orang sakit yang membuatnya tidak mampu berdiri
ketika shalat boleh tidak berpuasa ... dan agama Allah itu berisi kemudahan, dan Dia telah
memberikan kemudahan bagi musafir untuk berbuka dalam perjalanannya, padahal mereka
tergolong lebih mampu berpuasa daripada orang yang sedang sakit ... Inilah informasi yang
sangat aku sukai, dan ini adalah perkara yang telah disepakati”
(Malik Ibn Anas, al-Muwattha’ Bi Riwâyah al-Laytsî, vol.1, hal.302)
 Al-Imam Abu Bakr Ahmad Ibn Ali al-Jasshâsh (w.370H);
‫واتفقت الصحابة ومن بعدهم من التابعين وفقهاء األمصار على جواز صوم المسافر غير شيء يروى عن أبي هريرة أنه‬
‫قال من صام في السفر فعليه القضاء وتابعه عليه شواذ من الناس ال يعدون خالفا‬
“Para sahabat, tabi‘in, fuqaha’ seantero Mesir sepakat dalam kebolehan musafir untuk
berpuasa. Kecuali satu riwayat dari Abu Hurairah yang pernah menyampaikan bahwa orang
yang tetap berpuasa dalam perjalanan maka harus mengqadha. Ini pernah diikuti oleh
segelintir kelompok, namun itu tidak perlu dianggap sebagai pendapat berbeda”
(Al-Jasshash, Ahkâm al-Qur’ân, vol.1, hal.265. Dalam riwayat lain disampaikan bahwa Abu
Hurairah telah menarik padangan tersebut dan rujuk kepada riwayat yang valid dari para
sahabat lainnya)
 Al-Imam Abu Muhammad Ibn Ali Ibn Ahmad Ibn Sa‘id Ibn Hazm al-Andalusi
(w.456H);
‫ واتفقوا أن من سافر السفر الذي ذكرنا في كتاب‬،‫واتفقوا على أن من آذاه المرض وضعف عن الصوم فله أن يفطر‬
‫الصالة أنه إن قصر فيه أدى ما عليه فأهل هالل رمضان وهو في سفره ذلك فانه إن أفطر فيه فال إثم عليه‬
“Dan mereka sepakat bahwa orang yang kesulitan karena sakitnya dan tidak mampu
berpuasa, maka dia boleh berbuka. Dan mereka pun sepakat bahwa orang yang melakukan
perjalanan sebagaimana yang telah kami sebutkan dalam pembahasan shalat jika
mengqashar berarti telah melakukan apa yang harus dilakukan, kemudian dalam perjalanan
itu muncul hilal Ramadhan lalu dia memilih tidak berpuasa, maka dia tidak berdosa”
(Ibn Hazm, Marâtib al-Ijmâ‘, hal.40)
 Al-Imam Abu ‘Amr Yusuf Ibn Abdillah Ibn Muhammad Ibn Abdil Barr al-Qurthubi
(w.463H);
‫ وال‬،‫وعلى إباحة الصوم والفطر للمسافر جماعة العلماء وأئمة الفقه بجميع األمصار إال ما ذكرت لك عمن قدمنا ذكره‬
‫ وأجمع الفقهاء أن المسافر بالخيار إن شاء صام وإن شاء‬... ‫حجة في أحد مع السنة الثابتة هذا إن ثبت ما ذكرناه عنهم‬
‫أفطر إال أنهم اختلفوا في األفضل من ذلك‬
28
“Kebolehan berpuasa maupun tidak berpuasa bagi musafir disepakati oleh para ulama dan
para imam fikih di seantero wilayah Islam, kecuali pendapat yang telah saya sebutkan
kepadamu sebelumnya. Namun pendapat seseorang tidak dapat dijadikan argumen lagi bila
telah jelas argumen sunnahnya, itu pun kalau pendapat itu benar adanya ... Dan para ulama
fikih berijma bahwa musafir dapat memilih antara berpuasa atau tidak, namun perbedaan
mereka (ulama) hanyalah soal mana yang lebih utama saja”
(Ibn Abdil Barr, al-Tamhîd Limâ Fî al-Muwattha’ Min al-Ma‘ânî wa al-Asânîd, vol.2,
hal.170 & vol.9 hal.67)
 Al-Imam Abu Muhammad Abdullah Ibn Ahmad Ibn Qudamah al-Maqdisi (w.630H);
‫ أن المسافر يباح له الفطر فإن صام كره له ذلك وأجزأه وجواز‬... ‫أجمع أهل العلم على إباحة الفطر للمريض في الجملة‬
‫للمسافر ثابت بالنص واإلجماع‬
“Para ulama berijma‘ bahwa secara garis besar orang yang sedang sakit boleh berbuka ...
sebagaimana musafir pun demikian. Apabila dia berpuasa tetap sah meskipun makruh.
Kebolehan berbuka bagi musafir ini adalah jelas berdasarkan nash dan ijma‘”
(Ibn Qudamah, al-Mughnî Syarh Mukhtashar al-Kharqî, vol.3, hal.88 & 90)
Dan banyak lagi penjelasan para ulama mazhab terkait kebaradaan ijma terkait rukhshah ini.
Wallâhu A‘lam

29
IJMA‘ RAMADHAN KE 9/30
(PUASA ORANG YANG
BERHADAS BESAR HINGGA
TERBIT FAJAR)
Status puasa orang yang berjunub sebelum fajar, kemudian bersuci setelah fajar tidak batal
sebagaimana hal tersebut pernah dialami oleh Nabi Muhammad shallallâhu ‘alaihi wa sallam
dan para sahabatnya radhiyallâhu ‘anhum.

Berikut riwayat dari istri Nabi


Muhammad shallallâhu ‘alaihi wa
sallam dan para sahabatnya;
 Aisyah dan Ummu Salamah radhiyallâhu ‘anhumâ;
‫ إن كان رسول الله صلى الله عليه وسلم ليصبح‬:‫عن عائشة وأم سلمة زوجي النبي صلى الله عليه وسلم أنهما قالتا‬
‫جنبا من جماع غير احتالم ثم يصوم‬
“Dari Aisyah dan Ummu Salamah, para istri Nabi shallallâhu ‘alaihi wa sallam, keduanya
berkata; Rasulullâh shallallâhu ‘alaihi wa sallam pernah bangun subuh dalam keadaan
junub setelah jima‘, kemudian beliau tetap berpuasa”
(Malik Ibn Anas, Al-Muwattha’ Bi Riwâyah al-Laytsî, vol.1, hal.291, no.640)
 Abdullah Ibn Mas‘ud radhiyallâhu ‘anhu;
‫ أتيت حالل‬،‫ ما أبالي أن أصيب امرأتي ثم أصبح جنبا ثم أصوم‬:‫عن ابن سيرين أن ابن مسعود قال‬
“Dari Ibn Sirin, bahwa Ibnu Mas‘ud pernah berkata; Tidak masalah bila aku berjima dengan
istriku lalu bangun subuh dalam keadaan junub lantas aku tetap berpuasa. Yang aku lakukan
itu halal”
(Abdurrazzaq, al-Mushannaf, vol.4, hal.181, no.7401 & Ibn Abi Syaibah, al-Mushannaf,
vol.3, hal.82, no.9676)
 Abu Darda’ radhiyallâhu ‘anhu;
،‫ إني أصبت أهلي ثم غلبتني عيني حتى أصبحت وأنا أريد الصيام‬:‫ فقال‬،‫ جاء رجل إلى أبي الدرداء‬:‫عن أبي قالبة قال‬
‫ أتيت امرأتك وهي تحل لك ثم غلبت على نفسك ثم رد الله نفسك فصليت حين عقلت وصمت حين عقلت‬:‫فقال أبو الدرداء‬
“Dari Abu Qilabah, ia berkata: Seseorang mendatangi Abu Darda’ dan mengadu: Aku
berjima dengan istriku lalu tertidur hingga subuh pun tiba, sementara saya ingin berpuasa.
Abu Darda’ menjawab: Kamu berjima dengan istrimu dan dia memang halal bagimu, lalu
tertidur, kemudian Alah bangunkan, maka kamu dapat shalat ketika telah sadar, dan dapat
berpuasa bila telah sadar”

30
(Abdurrazzaq, al-Mushannaf, vol.4, hal.181, no.7403)
 Abdullah Ibn Umar radhiyallâhu ‘anhumâ;
‫ لو أذن المؤذن وعبد الله بين رجلي امرأته وهو يريد الصيام ألتم صيامه‬:‫عن نافع قال‬
“Dari Nafi‘, ia berkata: Bila azan berkumandang, dan Abdullah dalam keadaan junub,
sementara ia ingin berpuasa, pasti ia tetap menyempurnakan puasanya”
(Abdurrazzaq, al-Mushannaf, vol.4, hal.181, no.7404 & Ibn Abi Syaibah, al-Mushannaf,
vol.3, hal.82, no.9677)
 Abu Hurairah, Zaid Ibn Tsabit, Abdullah Ibn Abbas radhiyallâhu ‘anhum;
‫ يمضي على صومه‬:‫ قالوا‬،‫عن أبي هريرة وزيد بن ثابت وابن عباس في الرجل يصبح وهو جنب‬
“Pandangan Abu Hurairah, Zaid Ibn Tsabit dan Ibn Abbas tentang seseorang yang bangun
dalam keadaan junub adalah tetap melanjutkan puasanya”
(Ibn Abi Syaibah, al-Mushannaf, vol.3, hal.81, no.9668)

Berikut ada keterangan Ijma‘ oleh para


ulama mazhab
 Al-Imam Abu al-Hasan Ali Ibn Khalaf Ibn Abdil Malik Ibn Batthal al-Qurthubi
(w.449H);
‫وأجمع فقهاء األمصار على األخذ بحديث عائشة وأم سلمة فيمن أصبح جنبًا أنه يغتسل ويتم صومه‬
“Dan ulama fikih belahan dunia telah ijma‘ menerapkan hadis riwayat Aisyah dan Ummu
Salamah tentang orang yang masih berjunub setelah fajar untuk melakukan mandi janabah
dan menyempurnakan puasanya”
(Ibn Batthal, Syarh Shahih al-Bukhari, vol.4, hal.49)
 Al-Imam Abu al-Hasan Ali Ibn Muhammad Ibn Muhammad Ibn Habib al-Mawardi
(w.450H);
‫أما من يصبح جنبا من احتالم فهو على صومه إجماعا‬
“Adapun orang bangun dalam keadaan junub karena mimpi tetap dalam keadaan puasa
berdasarkan ijma‘”
(Al-Mawardi, al-Hawi al-Kabir Syarh Mukhtashar al-Muzani, vol.3, hal.892)
 Al-Imam Abu Bakr Muhammad Ibn Abdullah Ibn Muhammad al-Ma‘afiri Ibn al-
‘Arabi (w.543H);
‫ وقد كان وقع‬،‫ وهو جنب؛ وذلك جائز إجماعا‬،‫إذا جوزنا له الوطء قبل الفجر ففي ذلك دليل على جواز طلوع الفجر عليه‬
‫استقر األمر على أنه من أصبح جنبا فإن صومه صحيح‬
ّ ‫ ثم‬،‫فيه بين الصحابة رضوان الله عليهم أجمعين كالم‬
“Bila kita membolehkan seseorang berhubungan sebelum fajar, artinya bisa jadi dia masih
dalam keadaan junub setelah fajar, dan memang itu tidak mengapa berdasarkan ijma‘. Hal
ini sempat jadi perbincangan para sahabat radhiyallâhu ‘anhu, kemudian pada akhirnya
menjadi ketetapan bahwa orang yang masih membawa junub pada paginya maka puasanya
tetap sah”
31
(Ibn al-‘Arabi, Ahkam al-Qur’an, vol.1, hal.179)
 Al-Imam Abu Bakr Ibn Mas‘ud Ibn Ahmad al-Kasani (w.587H);
‫ولو أصبح جنبا في رمضان فصومه تام عند عامة الصحابة مثل علي وابن مسعود وزيد بن ثابت وأبي الدرداء وأبي ذر‬
‫وابن عباس وابن عمر ومعاذ بن جبل رضي الله تعالى عنهم‬
“Kalau seseorang pada pagi Ramadhan masih dalam keadaan junub, maka puasanya tetap
sah menurut para sahabat seperti Ali, Ibn Mas‘ud, Zaib Ibn Tsabit, Abu Darda’, Abu Dzar,
Ibn Abbas, Ibn Umar, Mu‘adz Ibn Jabal radhiyallâhu ‘anhum”
(Al-Kasani, Badai‘ al-Shanâi‘ Fi Tartib al-Syarai‘, vol.2, hal.92)
 Al-Imam Abu Muhammad Abdullah Ibn Ahmad Ibn Qudamah al-Maqdisi (w.630H);
‫وجملته أن الجنب له أن يؤخر الغسل حتى يصبح ثم يغتسل ويتم صومه في قول عامة أهل العلم منهم علي وابن مسعود‬
‫وزيد وأبو الدرداء وأبو ذر وابن عمر و ابن عباس وعائشة وأم سلمة رضي الله عنهم‬
“Pada intinya, berdasarkan pendapat para ulama (baca: para sahabat) seperti Ali Ibn
Mas‘ud, Zaid, Abu Darda’, Abu Dzar, Ibn Umar, Ibn Abbas, Aisyah, Ummu Salamah
radhiyallâhu ‘anhum bahwa orang yang berjunub boleh mengundur mandinya hingga subuh,
kemudian ia mandi lalu menyempurnakan puasanya”
(Ibn Qudamah, Al-Mughni Syarh Mukhtashar al-Kharqi, vol.3, hal.78)
 Al-Imam Abu Zakariya Yahya Ibn Syaraf al-Nawawi (w.676H);
‫فقد أجمع أهل هذه األمصار على صحة صوم الجنب سواء كان من احتالم أو جماع وبه قال جماهير الصحابة والتابعين‬
“Para ulama negeri-negeri muslim telah ijma‘ mengenai sahnya puasa orang yang
membawa junub, baik akibat mimpi maupun akibat berjima. Pandangan ini juga disepakati
oleh jumhur para sahabat dan tabi‘in”
(Al-Nawawi, Syarh Shahih Muslim, vol.7, hal.222)
‫ وكذا لو انقطع دم الحائض والنفساء في الليل فنوتا‬،‫إذا جامع في الليل وأصبح وهو جنب صح صومه بال خالف عندنا‬
‫صوم الغد ولم يغتسال صح صومهما بال خالف عندنا وبه قال جمهور العلماء من الصحابة والتابعين ومن بعدهم‬
“Apabila seseorang berhubungan pada malam hari, lalu bangun pagi dalam keadaaan
junub, maka menurut kami puasanya tetap sah tanpa ada perbedaan pendapat di dalamnya.
Sama halnya dengan wanita yang berhenti haid dan nifas di malam hari, lalu berniat puasa
untuk besok sedangkan mereka belum mandi, maka menurut kami puasanya juga sah tanpa
ada perbedaan pendapat di dalamnya. Pandangan ini juga disepakati oleh para sahabat,
tabi‘in dan generasi setelah mereka”
(Al-Nawawi, al-Majmu‘ Syarh al-Muhadzzab, vol.6, hal.307)
 Al-Imam Abu al-Fath Muhammad Ibn Ali Ibn Wahb Ibn Muthi‘ Ibn Daqiq al-‘Id
(w.702H);
‫واتفق الفقهاء على العمل بهذا الحديث وصار ذلك إجماعا أو كاإلجماع‬
“Para fuqaha telah menyepakati untuk mengamalkan hadis ini, sehinggi hal itu menjadi
ijma‘ atau seperti ijma‘”
(Ibn Daqiq al-‘Id, Ihkam al-Ahkam Syarh ‘Umdah al-Ahkam, hal.270. Hadis yang dimaksud
adalah hadis riwayat dari istri-istri Nabi terkait beliau bangun setelah fajar dalam keadaan
junub dan melanjutkan puasanya)

32
IJMA RAMADHAN KE 10/30
(STATUS PUASA SAAT
MENGHIRUP POLUSI, DEBU,
ATAU DIMASUKI SERANGGA)
Salah satu pembatal puasa adalah benda yang masuk ke dalam kerongkongan secara
disengaja. Namun kemungkinan lain yang bisa terjadi pada seseorang adalah bila dalam
kondisi tertentu rongga mulutnya dimasuki oleh benda atau serangga sampai tertelan hingga
kerongkongannya disebabkan menguap ataupun sedang membuka mulut saat berkendara lalu
tiba-tiba dimasuki oleh serangga, ataupun debu dan asap polusi, maka puasa orang tersebut
tidak batal.

Berikut sebagian penjelasan dari riwayat


sahabat maupun keterangan ulama
mazhab;
 Abdullah Ibn ‘Abbas radhiyallâhu ‘anhumâ;
‫ ال يفطر‬:‫ قال‬،‫عن ابن عباس في الرجل يدخل حلقه الذباب‬
“Dari Ibn Abbas, tentang seseorang yang dimasuki serangga pada kerongkongannya. Ibnu
Abbas berkata; Puasanya tidak batal”
(Ibn Abi Syaibah, al-Mushannaf, vol.3, hal.107, no.9886)
 Al-Imam Abu Muhammad Ibn Ali Ibn Ahmad Ibn Sa‘id Ibn Hazm al-Andalusi
(w.456H);
‫وما نعلم البن عباس في هذا مخالفا من الصحابة رضي الله عنهم إال تلك الروايات الضعيفة عنه‬
“Kami tidak mengetahui para sahabat lain yang berbeda dengan Ibnu Abbas terkait masalah
ini, selain dari riwayat-riwayat dhaif darinya (yang berbicara sebaliknya)”
(Ibn Hamz, al-Muhalla Bi al-Atsar, vol.4, hal.350)
 Al-Imam Abu Muhammad Abdullah Ibn Ahmad Ibn Qudamah al-Maqdisi (w.630H);
‫فأما ما حصل منه عن غير قصد كالغبار الذي يدخل حلقه من الطريق ونخل الدقيق والذبابة التي تدخل حلقه أو يرش‬
‫عليه الماء فيدخل مسامعه أو أنفه أو حلقه أو يلقي في ماء فيصل إلى جوفه أو يسبق إلى حلقه من ماء المضمضة أو‬
‫يصب في حلقه أو أنفه شيء كرها أو تداوى مأمومته أو جائفته بغير اختياره أو يحجم كرها أو تقبله امرأة بغير اختياره‬
‫فينزل أو ما أشبه هذا فال يفسد صومه ال نعلم فيه خالفا ألنه ال فعل له فال يفطر كاالحتالم‬
“Adapun sesuatu yang terjadi pada orang yang sedang berpuasa tanpa sengaja seperti debu
di jalan yang masuk ke dalam kerongkongannya, kabut tepung, dan serangga yang masuk ke
dalam kerongkongannya, atau percikan air yang masuk ke dalam pendengaran, hidung,

33
tenggorokan, ataupun dilempar ke dalam air sehingga kerongkongannya dimasuki air, atau
juga saat berkumur-kumur, termasuk juga seseorang yang dipaksa memasukkan sesuatu ke
dalam kerongkongan dan hidungnya, atau mengobati bolongan pada kepalanya, dan itu
semua bukan keinginannya, atau berbekam karena terpaksa, atau bahkan dicium oleh
seorang perempuan tanpa kehendaknya sehingga maninya keluar, dan lain sebagainya, maka
puasanya tidak batal. Kami pun tidak mengetahui adanya perbedaan pendapat dalam hal ini,
karena sejatinya itu bukan perbuatannya sehingga puasanya tidak batal, sama halnya
dengan orang yang mimpi hingga keluar mani”
(Ibn Qudamah, al-Mughni Syarh Mukhtashar al-Kharqi, vol.3, hal.36)
Wallahu A’lam

34
IJMA‘ RAMADHAN KE 11/30
(ORANG TUA YANG TIDAK
MAMPU BERPUASA)
Pada bagian ini dijelaskan tentang kesepakatan ulama mengenai keringanan untuk tidak
berpuasa bagi orang-orang yang sudah tua yang tidak mampu lagi berpuasa ataupun orang
sakit yang sangat sulit ada harapan sembuhnya. Sebagai gantinya mereka cukup membayar
fidyah tanpa harus mengqadha puasa yang ditinggalkan, meskipun ada perbedaan pendapat
mengenai adanya penggantian dan bentuknya.

Berikut riwayat dari beberapa sahabat


radhiyallâhu ‘anhum;
 Anas Ibn Malik radhiyallâhu ‘anhu;
‫أنه بلغه أن أنس بن مالك كبر حتى كان ال يقدر على الصيام فكان يفتدي‬
“Telah sampai kabar bahwa ketika Anas Ibn Malik beranjak tua hingga tidak mampu
berpuasa, ia membayar fidyah”
(Malik Ibn Anas, al-Muwattha’ Bi Riwayah al-Laytsi, vol.1, hal.307, no.677)
‫كبر أنس بن مالك حتى كان ال يطيق الصيام فكان يفطر ويطعم‬
“Ketika Anas Ibn Malik tua dan tidak mampu berpuasa, ia berbuka dan memberi makan
orang miskin (fidyah)”
(Abdurrazzaq, al-Mushannaf, vol.4, hal.220, no.7570)
 Abu Hurairah radhiyallâhu ‘anhu;
‫ من أدركه الكبر فلم يستطع صيام شهر رمضان فعليه لكل يوم م ّد من‬:‫عن عطاء بن أبي رباح أنه سمع أبا هريرة يقول‬
‫قمح‬
“Dari ‘Atha’ Ibn Abi Rabah, ia mendengar Abu Hurairah mengatakan bahwa orang yang
sudah tua dan tidak mampu berpuasa Ramadhan maka dia menggantinya dengan
memberikan satu mud gandum”
(Al-Baihaqi, al-Sunan al-Kubra, vol.4, hal.271, no.8579)
 Abdullah Ibn Abbas radhiyallâhu ‘anhumâ;
‫عن ابن عباس أنها ليست بمنسوخة فكان يقرؤها يُ َط َّوقُ ْونه هي في الشيخ الذي كلف الصيام وال يطيقه فيفطر ويطعم‬
“Dari Ibn Abbas, ia mengatakan bahwa ayat itu tidak Mansûkh. Ia membaca ayatnya dengan
redaksi -Yuthawwaqûnahu-, ayat ini khusus untuk orang tua yang diberi kewajiban puasa
namun tidak mampu, sehingga dia boleh tidak berpuasa dan menggantinya dengan fidyah”
(Abdurrazzaq, al-Mushannaf, vol.4, hal.221, no.7573)

35
‫ هو الشيخ‬،‫ ليست بمنسوخة‬:‫ قال ابن عباس‬.‫ وعلى الذين يُ َط َّوقُ ْونَه فدية طعام مسكين‬:‫ سمع ابن عباس يقرأ‬،‫عن عطاء‬
‫الكبير والمرأة الكبيرة ال يستطيعان أن يصوما فيطعمان مكان كل يوم مسكينا‬
“Dari ‘Atha’, ia mendengar Ibn Abbas membaca ayat itu dengan redaksi -Wa ‘Alalladzîna
Yuthawwaqûnahu Fidyatun Tha‘âmu Miskîn-. Ibn Abbas mengatakan ayat ini sama sekali
tidak dinaskh, namun memang diperuntukkan bagi laki-laki maupun perempuan tua yang
tidak mampu lagi berpuasa, oleh karenanya mereka bisa hanya dengan membayar fidyah
kepada orang miskin untuk setiap hari yang ditinggalkan”
(Al-Bukhari, al-Jâmi‘ al-Shahîh, no.4235)
‫ رخص للشيخ الكبير أن يفطر ويطعم عن كل يوم مسكينا وال قضاء عليه‬:‫عن ابن عباس قال‬
“Dari Ibn Abbas, ia berkata: Orang yang sudah tua diberikeringanan untuk tidak berpuasa
dan cukup memberikan fidyah kepada satu orang miskin untuk satu hari puasa yang
ditinggalkan, dan mereka tidak perlu mengqadha”
(Al-Hakim, al-Mustadrak ‘Alâ al-Shahîhain, vol.1, hal.606, no.1607. Al-Dâruquthnî, Sunan
al-Dâruquthnî, vol.2, hal.205, no.3 & no.6, bâb thulû‘ al-Syams ba‘da al-Ifthâr)
Qais Ibn al-Sa’ib radhiyallâhu ‘anhu;
‫ وضعف عن الصيام فأطعم عنه‬،‫عن مجاهد أن قيس بن السائب كبر حتى مرت به ستون على المائة‬
“Dari Mujahid, bahwa ketika Qais Ibn al-Sa’ib beranjak tua -hingga umurnya mencapai 160
tahun- tidak mampu berpuasa, ia menggantinya dengan fidyah”
(Al-Thabarânî, al-Mu‘jam al-Kabîr, vol.18, hal.363, no.929)

Berikut keterangan ijma‘ oleh para


ulama mazhab;
 Al-Imam Abu Abdillah Muhammad Ibn Idris al-Syafi‘i (w.204H);
‫والشيخ الكبير الذي ال يطيق الصوم ويقدر على الكفارة يتصدق عن كل يوم بمد حنطة خبرا عن بعض أصحاب النبي‬
‫صلى الله عليه وسلم‬
“Berdasarkan khabar dari para sahabat Nabi shallallâhu ‘alaihi wa sallam bahwa orang
yang sudah tua dan tidak mampu berpuasa namun mampu membayar kafarat (fidyah),
sebagai gantinya ia membayar satu mud gandum untuk satu hari yang ditinggalkan”
(Al-Syafi‘i, al-Umm, vol.2, hal.104)
 Al-Imam Abu Bakr Muhammad Ibn Ibrahim Ibn al-Mundzir al-Naisaburi (w.319H);
‫وأجمعوا على أن للشيخ الكبير والعجوز العاجزين عن الصوم أن يفطرا‬
“Mereka telah ijma bahwa orang yang sudah tua dan kaum renta yang lemah berpuasa boleh
tidak berpuasa”
(Ibn al-Mundzir, al-Ijma‘, hal.49)
 Al-Imam Abu al-Hasan Ali Ibn Muhammad Ibn Muhammad Ibn Habib al-Mawardi al-
Bashri (w.450H);

36
‫ وهو ما روي عن علي بن أبي طالب وعمر بن الخطاب وعبد الله بن عمر وعبد‬،‫ويدل على ما ذكرناه إجماع الصحابة‬
‫ وليس لهم في الصحابة مخالف‬،‫ الهرم عليه الفدية إذا أفطر‬:‫ أنهم قالوا‬،‫الله بن عباس رضي الله عنهم‬
“Apa yang telah kami sebutkan sebelumnya merupakan ijma para sahabat, yaitu yang
diriwayatkan dari Ali Ibn Abi Thalib, Umar Ibn al-Khatthab, Abdullah Ibn Umar, Abdullah
Ibn Abbas radhiyallâhu ‘anhum. Mereka mengatakan bahwa orang yang sudah sangat tua
dapat mengganti dengan fidyah bila tidak berpuasa. Dan tidak ada sahabat lain yang
berbeda dengan mereka”
(Al-Mawardi, al-Hawi al-Kabir Syarh Mukhtashar al-Muzani, vol.3, hal.1019)
 Al-Imam Abu Muhammad Ali Ibn Ahmad Ibn Sa‘id Ibn Hazm al-Andalusi (w.456H);
‫وأجمعوا أن من كان شيخا كبيرا ال يطيق الصوم أنه يفطر في رمضان وال إثم عليه‬
“Dan mereka telah ijma‘ bahw orang yang sudah sangat tua dan tidak mampu berpuasa, ia
boleh tidak berpuasa Ramadhan tanpa berdosa”
(Ibn Hazm, Marâtib al-Ijmâ‘, hal.40)
 Al-Imam Abu Umar Yusuf Ibn Abdillah Ibn Abdil Barr al-Qurthubi (w.463H);
‫أجمع العلماء على أن للشيخ الكبير والعجوز اللذين ال يطيقان الصوم اإلفطار ثم اختلفوا في الواجب عليهما‬
“Para ulama berijma‘ bahwa orang yang sudah tua dan renta yang tidak mampu berpuasa
boleh tidak berpuasa. Namun mereka berbeda pendapat tentang soal kewajiban pengganti
yang harus dilakukan”
(Ibn Abdil Barr, al-Istidzkâr, vol.3, hal.360)
 Al-Imam Abu al-Walid Muhammad Ibn Ahmad Ibn Muhammad Ibn Ahmad Ibn
Rusyd al-Qurthubi (w.595H);
‫وأما الشيخ الكبير والعجوز اللذان ال يقدران على الصيام فإنهم أجمعوا على أن لهما أن يفطرا‬
“Dan adapun orang yang sudah tua dan lemah yang tidak mampu berpuasa, para ulama
telah berijma‘ bahwa mereka boleh tidak berpuasa”
(Ibn Rusyd, Bidâyah al-Mujtahid wa Nihâyah al-Muqtashid, vol.1, hal.301)
 Al-Imam Abu Zakariya Yahya Ibn Syaraf al-Nawawi (w.676H);
‫ الشيخ الكبير الذي يجهده الصوم أي يلحقه به مشقة شديدة والمريض الذي ال يرجى برؤه ال‬:‫قال الشافعي واألصحاب‬
‫صوم عليهما بال خالف‬
“Imam Syafi‘i dan para Ash-hâb berkata: Orang tua yang berat untuk berpuasa, yakni
mengalami kesulitan bagi dirinya, atau orang sakit yang sulit harapan sembuhnya, tidak
wajib berpuasa tanpa ada perbedaan pendapat dalam masalah ini”
(Al-Nawawi, al-Majmû‘ Syarh al-Muhadzzab, vol.6, hal.258)
Wallahu A‘lam

37
IJMA‘ RAMADHAN KE 12/30
(STATUS PUASA AKIBAT
CUMBU DAN CIUMAN)
Titik kesepakatan ulama dalam hal ini adalah keabsahan puasa seseorang yang dicium atau
mencium dan mencumbui istrinya yang tidak membuat spermanya keluar akibat rangsangan
yang dirasakannya. Sedangkan bila hal tersebut membuatnya terangsang dan mengakibatkan
spermanya keluar maka puasanya menjadi batal. Adapun riwayat dari beberapa sahabat Nabi
yang melarang melakukan hal demikian adalah lantaran mempertimbangkan terjerumusnya
seseorang pada melakukan yang halal dalam kondisi haram, yakni berhubungan dengan istri
di siang Ramadhan.

Berikut keterangan dari beberapa


sahabat radhiyallâhu ‘anhum;
 Umar Ibn al-Khatthab radhiyallâhu ‘anhu;
‫إن عاتكة ابنة زيد بن عمرو بن نفيل امرأة عمر بن الخطاب كانت تقبل رأس عمر بن الخطاب وهو صائم فال ينهاها‬
“Sesungguhnya ‘Atikah bint Zaid Ibn ‘Amr Ibn Nufail, istri Umar Ibn al-Khatthab mencium
kepada Umar Ibn al-Khatthab ketika ia sedang berpuasa, dan Umar tidak mencegahnya”
(Malik Ibn Anas, al-Muwattha’ bi Riwâyah al-Laytsî, vol.1, hal.292, no.643)
 Ali Ibn Abi Thalib karramallâhu wajhah;
‫ ال بأس بالقبلة للصائم‬:‫ قال‬،‫عن علي‬
“Dari Ali, ia berkata bahwa tidak mengapa orang yang berpuasa melakukan ciuman”
(Ibn Abi Syaibah, al-Mushannaf, vol.3, hal.59, no.9458)
 Aisyah Ummul Mu’minin radhiyallâhu ‘anhâ;
‫عن أبي النضر مولى عمر بن عبيد الله أن عائشة بنت طلحة أخبرته أنها كانت عند عائشة زوج النبي صلى الله عليه‬
‫وسلم فدخل عليها زوجها هنالك وهو عبد الله بن عبد الرحمن بن أبي بكر الصديق وهو صائم فقالت له عائشة ما يمنعك‬
‫ أقبلها وأنا صائم؟ قالت نعم‬:‫أن تدنو من أهلك فتقبلها وتالعبها؟ فقال‬
“Dari Abu al-Nadhr (pelayan Umar Ibn Ubaidillah), bahwa Aisyah bint Thalhah
mengabarinya bahwa ketika ia bersama Aisyah istri Nabi shallallâhu ‘alaihi wa sallam,
datanglah suaminya (Abdullah Ibn Abdurrahman Ibn Abi Bakr al-Shiddîq) yang sedang
berpuasa. Lalu Aisyah (ummul mu’minin) berkata; Apa gerangan yang membuatmu tidak
ingin mendekati istrimu untuk mencium atau bermesraan dengannya? Abdullan menjawab:
Apakah saya dapat menciumnya saat puasa? Tentu, jawab Aisyah”
(Malik Ibn Anas, al-Muwattha’ bi Riwâyah al-Laytsî, vol.1, hal.292, no.644)
 Abu Hurairah, Sa‘d Ibn Abî Waqqâsh dan Sa‘d Ibn Malik radhiyallâhu ‘anhum;

38
‫إن أبا هريرة وسعد بن أبي وقاص كانا يرخصان في القبلة للصائم‬
“Sesungguhnya Abu Hurairah dan Sa‘ad Ibn Abi Waqqash membolehkan ciuman bagi orang
yang berpuasa”
(Malik Ibn Anas, al-Muwattha’ bi Riwâyah al-Laytsî, vol.1, hal.292, no.645)
‫ قيل لسعد‬:‫ قال‬-‫يعني يفتح فاه إلى فيها‬- ،‫ وأكفحها‬،‫ نعم‬:‫ تقبل وأنت صائم؟ قال‬:‫ قيل ألبي هريرة‬:‫عن زيد بن أسلم قال‬
‫ نعم وأخذ بمتاعها‬:‫ تقبل وأنت صائم؟ قال‬:‫بن مالك‬
“Dari Zaid Ibn Aslam, ia berkata: Abu Hurairah ditanya: Anda mencium istri ketika puasa?
Ia menjawab: Iya, bahkan sama-sama mempertemukan bibir. Zaid Ibn Aslam berkata lagi
bahwa Sa‘d Ibn Malik pernah ditanya: Anda mencium istri ketika puasa? Ia menjawab: Iya,
saya pun menikmatinya”
(Abdurrazzaq, al-Mushannaf, vol.4, hal.185, no.7421)
:‫ فغيرها؟ قال‬:‫ قال‬،‫ ال‬:‫ أأفطر؟ قال‬،‫ رجل قبل امرأته وهو صائم‬:‫ فقال‬،‫عن سعيد المقبري أن رجال سأل أبا هريرة‬
‫فأعرض أبو هريرة‬
“Dari Sa‘id al-Maqbari, suatu ketika seseorang bertanya kepada Abu Hurairah tentang
seorang suami yang mencium istrinya apakah batal? Ia menjawab: Tidak. Orang itu
bertanya lagi: Bagaimana kalau mencium perempuan yang bukan istri? Maka Abu Hurairah
langsung berpaling”
(Abdurrazzaq, al-Mushannaf, vol.4, hal.185, no.7422)
 Abdullah Ibn Abbas radhiyallâhu ‘anhumâ;
‫إن عبد الله بن عباس سئل عن القبلة للصائم فأرخص فيها للشيخ وكرهها للشاب‬
“Abdullah Ibn Abbas pernah ditanya tentang ciuman bagi orang yang berpuasa, maka beliau
membolehkan bagi orang yang sudah tua dan memakruhkan bagi yang masih muda”
(Malik Ibn Anas, al-Muwattha’ bi Riwâyah al-Laytsî, vol.1, hal.293, no.648)
‫ أفيقبض على‬:‫ فقيل له‬،‫ ال بأس بها إن انتهى إليها‬:‫عن عطاء قال سمعت ابن عباس يسئل عن القبلة للصائم فقال‬
‫ اعفوا الصائم ال يقبض على ساقها‬:‫ساقها؟ قال أيضا‬
“Dari ‘Atha’, ia berkata: Aku mendengar Ibn Abbas ditanya tentang ciuman bagi orang yang
berpuasa. Ia menjawab: Tidak mengapa (tidak batal) bila hanya sampai disitu saja. Ia
ditanya lagi: Apakah boleh memeluk/mengusap betisnya (istri)? Ia menjawab: Hendaklah
orang yang berpuasa menahan dirinya, jangan sampai melakukan itu pada betisnya”
(Abdurrazzaq, al-Mushannaf, vol.4, hal.184, no.7413)
 Abdullah Ibn Umar radhiyallâhu ‘anhuma;
‫إن عبد الله بن عمر كان ينهى عن القبلة والمباشرة للصائم‬
“Abdullah Ibn Umar melarang berciuman dan bercumbu bagi orang yang sedang berpuasa”
(Malik Ibn Anas, al-Muwattha’ bi Riwâyah al-Laytsî, vol.1, hal.293, no.649)
Dan beberapa sahabat lainnya seperti Abdullah Ibn Mas‘ud, Abu Sa‘id al-Khudri, Hudzaifah,
dll, radhiyallâhu ‘anhum.

39
Berikut keterangan ijma‘ ulama mazhab;
 Al-Imam Abu al-Hasan Ali Ibn Muhammad Ibn Muhammad Ibn Habib al-Mawardi al-
Bashri (w.450H);
‫ وإن أنزل فقد أفطر ولزمه‬،‫أما إن وطئ دون الفرج أو قبل أو باشر فلم ينزل فهو على صومه ال قضاء عليه وال كفارة‬
‫القضاء إجماعا‬
“Suami yang mencumbui istrinya yang tidak sampai pada berhubungan, ataupun melakukan
ciuman dan bermesraan tanpa ada sperma yang keluar, maka puasanya tetap sah, tidak ada
yang perlu diqadha, apalagi kafarat. Namun jika spermanya keluar, maka puasanya batal
dan wajib diqadha berdasarkan ijma‘”
(Al-Mawardi, Al-Hawi al-Kabir Syarh Mukhtashar al-Muzani, vol.3, hal.945)
 Al-Imam Abu Muhammad Abdullah Ibn Ahmad Ibn Qudamah al-Maqdisi (w.630H);
‫ أن يمني‬: ‫ الحال الثاني‬... ‫ أحدها أن ال ينزل فال يفسد صومه بذلك ال نعلم فيه خالفا‬: ‫وال يخلو المقبل من ثالثة أحوال‬
‫فيفطر بغير خالف نعلمه‬
“Ada tiga kondisi yang dapat dialami oleh orang yang melakukan ciuman : (1) Mencium
tanpa sampai mengeluarkan sperma, maka puasanya tetap sah tanpa ada perbedaan
pendapat yang kami ketahui. (2) Sampai mengeluarkan sperma, maka puasanya batal tanpa
ada perbedaan pendapat yang kami ketahui”
(Ibn Qudamah, al-Mughni Syarh Mukhtashar al-Kharqî, vol.3, hal.336)
 Al-Imam Abu al-Abbas Ahmad Ibn Idris Ibn Abdirrahman al-Qarrafi (w.684H);
‫ال يعلم خالف في عدم تحريم المباشرة لالنسان امرأته بعد الفجر‬
“Tidak diketahui adanya perbedaan pendapat ulama tentang tidak diharamkannya bercumbu
dengan istri setelah fajar”
(Al-Qarrafi, al-Dzakhîrah, vol.2, hal.504)
Wallahu A‘lam

40
IJMA‘ RAMADHAN KE 13/30
(KESENGAJAAN YANG
MEMBATALKAN PUASA)
 Ali Ibn Abi Thalib karramallâhu wajhah;
‫ وإذا ذرعه القيء فال شيء عليه‬،‫ إذا تقيأ الصائم متعمدا أفطر‬:‫ قال‬،‫عن علي‬
“Dari Ali, ia berkata; Apabila seseorang muntah dengan sengaja maka puasanya batal,
namun apabila tidak disengaja maka tidak ada kewajiban baginya (karena puasanya tidak
batal)”
(Ibn Abi Syaibah, al-Mushannaf, vol.3, hal.39, no.9289)
 Abdullah Ibn Umar radhiyallâhu ‘anhumâ;
‫ من استقاء وهو صائم فعليه القضاء ومن ذرعه القيء فليس عليه القضاء‬:‫عن عبد الله بن عمر أنه كان يقول‬
“Dari Abdullah Ibn Umar, ia berkata bahwa orang yang muntah (dengan sengaja) maka dia
harus mengqadha puasa itu, sedangkan orang yang tidak sengaja, maka tidak ada qadha
baginya (karena puasanya tidak batal)”
(Malik Ibn Anas, al-Muwattha’ Bi Riwâyah al-Laytsî, vol.1, hal.304, no.673)
 Aisyah Ummul Mu’minin radhiyallâhu ‘anhâ;
‫عن مسروق قال سألت عائشة ما يحل للرجل من امرأته صائما قالت كل شيء إال الجماع‬
“Dari Masruq, ia berkata; Aku pernah bertanya kepada Aisyah tentang apa saja yang halal
bagi suami yang sedang berpuasa terhadap istrinya. Lalu Aisyah menjawab; Segala sesuatu
selain berhubungan”
(Abdurrazaq, al-Mushannaf, vol.4, hal.190, no.7439)

Berikut keterangan dari para ulama


mazhab;
 Al-Imam Abu Ibrahim Ismail Ibn Yahya Ibn Ismail al-Muzani (w.264H);
‫ولم يجعل عليه أحد من العلماء علمته فيه كفارة وقد أفطر عامدا‬
“Yang aku tau, tidak ada ulama yang menetapkan adanya kafarat bagi orang yang muntah
dengan sengaja, padahal puasanya telah batal”
(Al-Muzani, al-Mukhtashar, hal.57)
 Al-Imam Abu Bakr Muhammad Ibn Ibrahim Ibn al-Mundzir al-Naisaburi (w.318H);
‫ واألكل والشرب‬،‫لم يختلف أهل العلم أن الله عز وجل حرم على الصائم في نهار الصوم الرفث وهو الجماع‬

41
“Para ulama tidak berbeda pendapat bahwa Allah ‘azza wa jalla mengharamkan berjima‘,
makan dan minum bagi orang yang berpuasa”
(Ibn al-Mundzir, al-Isyrâf ‘alâ madzâhib al-‘Ulamâ, vol.3, hal.120)
‫وأجمعوا على إبطال صوم من استقاء عامدا‬
“Dan mereka telah ijma‘, bahwa puasa orang yang muntah dengan sengaja menjadi batal”
(Ibn al-Mundzir, al-Ijmâ‘, hal.48)
 Al-Imam Abu Sulaiman Hamd Ibn Muhammad al-Khatthâbî al-Bustî (w.388H);
‫ وال في أن من استقاء عامدا أن عليه القضاء‬،‫ال أعلم خالفا بين أهل العلم في أن من ذرعه القيئ فأنه ال قضاء عليه‬
“Tidak aku ketahui adanya perbedaan pendapat ulama tentang tidak adanya qadha bagi
orang yang muntah (tidak sengaja), dan wajibnya qadha bagi orang yang muntah dengan
sengaja”
(Al-Khatthâbî, Ma‘âlim al-Sunan Syarh Sunan Abî Dâwud, vol.2, hal.112)
 Al-Imam Abu al-Hasan Ali Ibn Khalaf Ibn Abdil Malik Ibn Batthal al-Qurthubi
(w.449H);
‫وأجمع الفقهاء أن من ذرعه القىء فال قضاء عليه‬
“Para fuqaha’ telah ijma‘ tentang tidak adanya qadha bagi orang yang muntah tidak
disengaja”
(Ibn Batthal, Syarh Shahîh al-Bukhârî, vol.4, hal.80)
 Al-Imam Abu al-Hasan Ali Ibn Muhammad Ibn Muhammad Ibn Habib al-Mawardi
(w.450H);
‫أما الصائم فممنوع من الوطء إجماعا‬
“Sedangkan orang yang berpuasa, terlarang melakukan hubungan berdasarkan ijma‘”
(Al-Mawardi, al-Hâwî al-Kabîr Syarh Mukhtashar al-Muzanî, vol.3, hal.917)
 Al-Imam Abu Muhammad Ali Ibn Ahmad Ibn Sa‘id Ibn Hazm al-Andalusi (w456H);
‫واتفقوا على أن األكل لما يغذي من الطعام مما يستأنف إدخاله في الفم والشرب والوطء حرام من حين طلوع الشمس إلى‬
‫غروبها‬
“Dan para ulama sepakat bahwa memakan makanan yang dimasukkan ke mulut, begitu juga
minum dan berhubungan, haram dilakukan semenjak terbit fajar hingga terbenam matahari”
(Ibn Hazm, Marâtib al-Ijmâ‘, hal.39)
‫ وسواء‬،‫ويبطل الصوم تعمد األكل أو تعمد الشرب أو تعمد الوطء في الفرج أو تعمد القيء وهو في كل ذلك ذاكر لصومه‬
‫ وهذا كله مجمع عليه إجماعا متيقنا‬،‫قل ما أكل أو كثر أخرجه من بين أسنانه أو أخذه من خارج فمه فأكله‬
“Yang dapat membatalkan puasa adalah makan, minum dengan sengaja, banyak maupuun
sedikit, berhubungan, muntah dengan sengaja dan penuh kesadaran bahwa ia sedang
berpuasa, dan makanan itu ia keluarkan dari mulut lalu dimasukkan lagi atau memang
dimasukkan dari luar lalu dimakan. Batalnya puasa disebabkan ini semua adalah
berdasarkan ijma‘”

42
(Ibn Hazm, al-Muhallâ bi al-Atsâr, vol.6, hal.175)
 Al-Imam Abu al-Walid Muhammad Ibn Ahmad Ibn Muhammad Ibn Ahmad Ibn
Rusyd (w.595H);
‫وأجمعوا على أنه يجب على الصائم اإلمساك زمان الصوم عن المطعوم والمشروب والجماع‬
“Dan mereka telah ijma‘ bahwa orang yang berpuasa wajib menahan makan, minum dan
berhubungan saat sedang berpuasa”
(Ibn Rusyd, Bidâyah al-Mujtahid wa Nihâyah al-Muqtashid, hal.262)
 Al-Imam Abu Muhammad Abdullah Ibn Ahmad Ibn Qudamah al-Maqdisi (w.630H);
‫ ال نعلم بين أهل العلم خالفا في أن من جامع في الفرج فأنزل أو لم ينزل أو‬... ‫وأجمع العلماء على الفطر باألكل والشرب‬
‫ فمن استقاء فعليه القضاء ألن صومه يفسد به ومن ذرعه فال شيء‬... ‫دون الفرج فأنزل أنه يفسد صومه إذا كان عامدا‬
‫عليه وهذا قول عامة أهل العلم‬
“Dan para ulama berijma‘ bahwa puasa batal disebabkan makan dan minum ... Tidak kami
ketahui adanya perbedaan pendapat ulama tentang batalnya puasa orang yang sengaja
berjima‘ melalui farji baik mengeluarkan sperma ataupun tidak, ataupun bukan melalui farji
sehingga mengeluarkan sperma ... Dan orang yang muntah dengan sengaja, maka dia wajib
mengqadha puasanya disebabkan batalnya puasa tersebut, sedangkan bila tidak disengaja
maka tidak ada kewajiban baginya. Ini adalah pendapat semua ulama”
(Ibn Qudamah, al-Mughnî Syarh Mukhtashar al-Kharqî, vol.3, hal.36, 58)
Wallahu A‘lam

43
IJMA‘ RAMADHAN KE 14
(QADHA DAN KAFARAT
AKIBAT ULAH DI SIANG
RAMADHAN)
Apabila seorang suami melakukan hubungan dengan istrinya saat berpuasa Ramadhan,
otomatis puasa hari itu menjadi batal dan wajib diqadha di luar Ramadhan. Di samping
mengqadha, kewajibannya adalah menunaikan kafarat memerdekakan budak, atau berpuasa
dua bulan berturut-turut, atau memberi makan 60 orang miskin. Bahkan bila pelanggaran ini
dilakukan berulang kali di hari yang berbeda maka kafaratnya pun berlipat. Berbeda dengan
pelanggaran ini dilakukan berulang pada hari yang sama, tidak dilakukan berlipat. Perbedaan
pendapat ulama adalah dalam menentukan siapa saja yang dikenai denda ini antara suami dan
istri sekaligus atau hanya suami saja. Namun demikian, kesepakatan ulama dalam hal ini
adalah mengenai batalnya puasa orang tersebut dan diwajibkan menunaikan kafarat.
 Al-Imam Abu Ibrahim Ismail Ibn Yahya Ibn Ismail al-Muzani (w.264H);
‫ر وي في الحديث عن النبي في الصائم يقع على امرأته فقال النبي أعتق وافعل ولم يذكر أن عليه القضاء وأجمعوا أن‬
‫عليه القضاء‬
“Dalam hadis Nabi diriwayatkan tentang seseorang yang sedang berpuasa melakukan
hubungan dengan istrinya. Lalu Nabi berkata; Merdekakanlah budak tanpa menyebut qadha.
Namun para ulama sepakat adanya qadha”
(Al-Muzani, Mukhtashar al-Muzanî, hal.66)
 Al-Imam Abu al-Hasan Ali Ibn Muhammad Ibn Muhammad Ibn Habib al-Mawardi
(w.450H);
‫ أن‬،‫ وحكي عن سعيد بن جبير والشعبي والنخعي‬،‫ ولزمه القضاء والكفارة‬،‫فإن وطئ في صوم رمضان فقد أفسد صومه‬
‫ وهذا خطأ واإلجماع منعقد على خالفه‬،‫ وعلى من وطئ في الصالة‬،‫عليه القضاء وال كفارة قياسا على األكل‬
“Jika seseorang berhubungan saat berpuasa Ramadhan maka puasanya batal, dan dia harus
mengqadha puasa hari itu dan menunaikan kafarat. Dikabarkan dari Sa‘id Ibn Jubair, al-
Sya‘bî, al-Nakha‘î, bahwa kewajibannya hanya qadha saja tanpa kafarat, karena
dianalogikan dengan makan. Hal ini keliru, sedangkan ijma‘ justeru sebaliknya”
(Al-Mawardi, al-Hâwî al-Kabîr Syarh Mukhtashar al-Muzanî, vol.3, hal.917)
 Al-Imam Abu Bakr Muhammad Ibn Abdillah Ibn Muhammad Ibn al-Arabi (w.543H);
‫واتفق الناس على أن من وطئ أهله في رمضان متعمدا أنه قد أتى كبيرة وعليه الكفارة‬
“Dan ulama menyepakati wajibnya kafarat bagi orang yang berhubungan dengan istrinya di
siang Ramadhan dengan sengaja, dan dia telah melakukan dosa besar”
(Ibn al-‘Arabi, Al-Qabas Fi Syarh Muwattha’ Malik Ibn Anas, hal.498)
 Al-Imam Abu Muhammad Abdullah Ibn Ahmad Ibn Qudamah al-Maqdisi (w.630H);

44
‫ ال نعلم‬... ‫ وال نعلم خالفا في دخول الصيام في كفارة الوطء إال شذوذا‬،‫فإذا عدم الرقبة انتقل إلى صيام شهرين متتابعين‬
‫بين أهل العلم خالفا في دخول اإلطعام في كفارة الوطء في رمضان‬
“Bila tidak ada budak yang akan dimerdekakan, maka kewajibannya adalah berpuasa dua
bulan berturut-turut. Kami tidak mengetahui adanya perbedaan pendapat tentang wajibnya
berpuasa ini sebagai kafarat berhubungan, kecuali dari pendapat yang ganjil … Kami pun
tidak mengetahui adanya perbedaan pendapat ulama tentang dimasukkannya kewajiban
memberi makan (60 miskin) sebagai kafarat berhubungan di siang Ramadhan ini”
(Ibn Qudamah, al-Mughnî Syarh Mukhtashar al-Kharqî, vol.3, hal.66)
Wallahu A‘lam

45
IJMA‘ RAMADHAN KE 15/30
(JIKA WANITA HAID DAN
NIFAS TETAP BERPUASA)
Kutipan-kutipan ijma‘ para ulama terkait puasa wanita haid dan nifas berikut ini menjelaskan
apabila mereka tetap memilih berpuasa, maka puasanya tidak sah dan haram hukumnya
apabila tetap melakukannya. Jika dilihat sekilas wanita yang tidak berpuasa karena haid
maupun nifas adalah karena rukhshah atau keringanan untuk mereka. Namun jika dipahami,
rukhshah adalah satu dari dua pilihan yang keduanya boleh dilakukan, sedangkan tidak
berpuasanya wanita haid dan nifas bukanlah pilihan antara dua hal yang boleh mereka
lakukan, karena justeru mereka wajib tidak berpuasa atau haram berpuasa. Dari sini dapat
dipahami bahwa wanita haid dan nifas yang tidak berpuasa bukan karena rukhshah, namun
karena agama memang melarang mereka berpuasa, dan bukan diberi pilihan antara berpuasa
dengan tidak seperti musafir yang boleh tidak berpuasa sebagaimana mereka pun juga boleh
tetap berpuasa.

Berikut kutipan dari para ulama mazhab


terkait puasa wanita haid dan nifas;
 Al-Imam Abu al-Hasan Ali Ibn Muhammad Ibn Muhammad Ibn Habib al-Mawardi
(w.450H);
‫ ومتى طرأ الحيض على الصوم‬،‫ال اختالف بين الفقهاء أن الحائض ال صوم عليها في زمان حيضها بل ال يجوز لها‬
‫ إال طائفة من الحرورية تزعم أن الفطر لها رخصة فإن صامت أجزأها‬،‫أبطله‬
“Tidak ada perbedaan pendapat ulama fikih tentang larangan berpuasa bagi wanita selama
mereka haid. Bahkan ketika haid muncul saat berpuasa otomatis puasa tersebut batal,
kecuali menurut pendapat satu kelompok Harûriyyah (khawarij) yang menganggap berbuka
bagi wanita haid hanyalah sebuah rukhshah, dan tetap sah apabila mereka tetap memilih
berpuasa”
(Al-Mawardi, al-Hâwî al-Kabîr Syarh Mukhtashar al-Muzanî, vol.3, hal.962)
 Al-Imam Abu al-Ma‘ali Abdul Malik Ibn Abdillah Ibn Yusuf al-Juwaini (w.478H);
‫ كيف وقد أجمعوا‬،‫ ثم اتفقوا على أنه ال يصح من الحائض الصيام‬،‫األمة أجمعت على أن الواجب هو الصيام الصحيح‬
‫على أنها لو أمسكت عن المفطرات ناوية صومها عصت الله‬
“Umat (ulama) telah berijma‘ bahwa yang wajib dilakukan itu adalah puasa yang sah
dilakukan. Kemudian mereka sepakat tidak sah puasa wanita haid. Karena bagaimana bisa
sah, sedangkan telah ada ijma‘ wanita haid dianggap bermaksiat kepada Allah apabila
mereka menahan diri dari yang membatalkan sembari tetap berniat berpuasa”
(Al-Juwaini, al-Talkhîsh Fî Ushûl al-Fiqh, vol.1, hal.422-433)
 Al-Imam Abu Bakr Ala’uddin Ibn Mas‘ud Ibn Ahmad al-Kasani (w.587H);

46
‫ومنها الطهارة عن الحيض والنفاس فإنها شرط صحة األداء بإجماع الصحابة رضي الله عنهم‬
“Dan di antara sebab wanita sudah dapat berpuasa adalah suci dari haid dan nifas karena
merupakan syarat sah menunaikan puasa berdasarkan ijma‘ para sahabat radhiyallâhu
‘anhum”
(Al-Kasani, Badâi’ al-Shanâi’ Fî Tartîb al-Syarâi‘, vol.2, hal.83)
 Al-Imam Abu Muhammad Baha’uddin Abdurrahman Ibn Ibrahim Ibn Ahmad al-
Maqdisi (w.624H);
‫ وإن صامتا لم يجزئهما إجماعا‬،‫الحائض والنفساء تفطران وتقضيان إجماعا‬
“Wanit haid dan nifas mesti berbuka dan mengqadha puasa tersebut berdasarkan ijma‘, dan
jika mereka tetap berpuasa maka belum sah berdasarkan ijma‘”
(Baha’uddin al-Maqdisi, al-‘Uddah Syarh al-‘Umdah, vol.1, hal.41)
 Al-Imam Abu Muhammad Abdullah Ibn Ahmad Ibn Qudamah al-Maqdisi (w.630H);
‫أجمع أهل العلم على أن الحائض والنفساء ال يحل لهما الصوم وإنهما يفطران رمضان ويقضيان وإنهما إذا صامتا لم‬
‫يجزئهما الصوم‬
“Ulama berijma‘ tidak halal berpuasa bagi wanita haid dan nifas karena mereka harus tidak
berpuasa Ramadhan dan harus mengqadha puasa tersebut. Apabila mereka tetap berpuasa
maka puasanya belum sah”
(Ibn Qudamah, al-Mughnî Syarh Mukhtashar al-Kharqî, vol.3, hal.83)
 Al-Imam Tajuddin Abdul Wahhab Ibn ‘Ali Ibn Abdil Kafi al-Subuki (w.771H);
‫وامتناع الصوم شرعا على الحائض باإلجماع فيحرم عليها وال يصح‬
“Larangan berpuasa menurut agama bagi wanita haid adalah berdasarkan ijma‘, sehingga
mereka haram berpuasa dan memang tidak sah”
(Al-Subuki, al-Ibhâj Fî Syarh Minhâj al-Wushûl Ilâ ‘Ilm al-Ushûl, vol.1, hal.79)
Wallâhu A‘lam

47
IJMA‘ RAMADHAN KE 16/30
(APAKAH WANITA HAID
HARUS MENGQADHA PUASA
DAN SHALATNYA)
Wanita haid dan nifas memang dilarang melaksanakan shalat serta berpuasa, akan tetapi
kewajiban yang harus mereka lakukan setelah selesai haid dan nifas adalah mengqadha puasa
yang ditinggalkan, bukan mengqadha shalat. Hal tersebut berdasarkan riwayat hadis serta
ijma‘ para ulama.
 Aisyah Ummul Mukminin radhiyallâhu ‘anhâ;
‫ أحرورية أنت؟‬:‫ ما بال الحائض تقضي الصوم وال تقضي الصالة؟ فقالت‬:‫عن معاذة العدوية قالت سألت عائشة فقلت‬
‫ قد كان يصيبنا ذلك مع رسول الله صلى الله عليه وسلم فنؤمر بقضاء الصوم‬:‫ قالت‬،‫ ولكني أسأل‬،‫ لست بحرورية‬:‫قلت‬
‫وال نؤمر بقضاء الصالة‬
“Dari Mu‘adzah al-‘Adawiyah, ia bertanya kepada Aisyah; Ada apa gerangan mengapa
wanita haid harus mengqadha puasanya namun tidak mengqadha shalatnya? Aisyah
menjawab; Apakah kamu Harûriyyah? Bukan, saya hanya bertanya. Aisyah menjelaskan;
Memang seperti itu syariat yang kami dapati bersama Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa
sallam, kita diperintahkan mengqadha puasa, bukan mengqadha shalat”
(Abdurrazzaq, al-Mushannaf, vol.1, hal.331)
 Al-Imam Muhammad Ibn Idris Ibn al-‘Abbas al-Syafi‘i (w.204H);
‫ ففرقنا بين الفرضين‬،‫وكان عاما في أهل العلم أن النبي لم يأمر الحائض بقضاء الصالة وعاما أنها أمرت بقضاء الصوم‬
‫استدالال بما وصفت من نقل أهل العلم وإجماعهم‬
“Sudah jamak diketahui dari para ulama bahwa Nabi tidak memerintahkan wanita haid
mengqadha shalatnya, dan juga jamak diketahui bahwa wanita haid diperintahkan
mengqadha puasa. Kami membedakan antara dua ibadah fardhu ini berdasarkan periwayat
dari para ulama dan ijma‘ mereka yang telah disebutkan sebelumnya”
(Al-Syafi‘i, al-Risâlah, hal.119)
 Al-Imam Abu Isa Muhammad Ibn Isa al-Tirmidzi (w.279H);
‫ ال نعلم بينهم اختالفا أن الحائض تقضي الصيام وال تقضي الصالة‬،‫والعمل على هذا عند أهل العلم‬
“Para ulama mengamalkan hadis ini, dan tidak kami ketahui adanya perbedaan pendapat
mereka dalam kewajiban mengqadha puasa bagi wanita haid, sedangkan shalat tidak
diqadha”
(Al-Tirmidzi, Sunan al-Tirmidzi, vol.3, hal.154, pada nomor hadis 787)
 Al-Imam Abu Bakr Muhammad Ibn Ibrahim Ibn al-Mundzir al-Naisaburi (w.319H);
‫ وسقط عنها فرض الصالة لثبوت السنة واإلجماع‬،‫وأجمع أهل العلم على أن عليها قضاء الصوم إلجماعهم‬

48
“Wanita haid yang tidak berpuasa wajib mengqadha puasanya berdasarkan ijma‘ para
ulama, sedangkan kewajiban -qadha- shalat gugur bagi mereka berdasarkan sunnah dan
ijma‘”
(Ibn al-Mundzir, al-Awsath Fî al-Sunan wa al-Ijmâ‘ wa al-Ikhtilâf, vol.7, hal.191)
 Al-Imam Abu al-Hasan Ali Ibn Khalaf Ibn Abdil Malik Ibn Batthâl al-Qurthubi
(w.449H);
‫ وال قضاء عليها للصالة‬،‫وأجمعوا أن عليها قضاء ما تركت من الصيام‬
“Para ulama berijma‘ bahwa wanita haid wajib mengqadha puasa yang ditinggalkannya,
namun tidak dengan shalat”
(Ibn Batthal, Syarh Shahîh al-Bukhârî, vol.1, hal.419)
 Al-Imam Abu Muhammad Ali Ibn Ahmad Ibn Sa‘id Ibn Hazm al-Andalusi (w.456H);
‫وأجمعوا أن الحائض تقضي ما أفطرت في حيضها‬
“Dan para ulama berijma‘ bahwa wanita haid wajib menqadha puasa yang ditinggalkannya
selama haid”
(Ibn Hazm, Marâtib al-Ijmâ‘, hal.40)
...‫ ال خالف في ذلك من أحد‬،‫ وهم الحائض والنفساء فإنهما يقضيان أيام الحيض والنفاس‬،‫وال قضاء إال على خمسة فقط‬
“Tidak ada qadha selain yang lima; wanita haid dan nifas, mereka wajib mengqadha -puasa
yang ditinggalkan- selama haid dan nifas. Tidak ada perbedaan yang muncul dalam masalah
ini...”
(Ibn Hazm, al-Muhallâ Bi al-Atsâr, vol.6, hal.185)
 Al-Imam Abu Bakr Ala’uddin Ibn Mas‘ud Ibn Ahmad al-Kasani (w.587H)
Al-Imam al-Kasani ketika mengomentari atsar dari Aisyah dengan Mu‘adzah yang
disebutkan di atas mengatakan;
‫ والظاهر أن فتواها بلغت الصحابة ولم ينقل أنه أنكر عليها منكر فيكون إجماعا من‬،‫أشارت إلى أن ذلك ثبت تعبدا محضا‬
‫الصحابة رضي الله عنهم‬
“Beliau mengisyaratkan bahwa aturan tersebut murni ta‘abbud. Secara lahir, fatwa Aisyah
tersebut sampai kepada para sahabat lain, dan tidak ada riwayat pengingkaran dari mereka,
sehingga jadilah apa yang disampaikan itu sebagai ijma para sahabat radhiyallâhu ‘anhum”
(Al-Kasani, Badâi’ al-Shanâi’ Fî Tartîb al-Syarâi‘, vol.2, hal.89)
 Al-Imam Abu Muhammad Baha’uddin Abdurrahman Ibn Ibrahim Ibn Ahmad al-
Maqdisi (w.624H);
‫ وإن صامتا لم يجزئهما إجماعا‬،‫الحائض والنفساء تفطران وتقضيان إجماعا‬
“Wanit haid dan nifas mesti berbuka dan mengqadha puasa tersebut berdasarkan ijma‘, dan
jika mereka tetap berpuasa maka belum sah berdasarkan ijma‘”
(Baha’uddin al-Maqdisi, al-‘Uddah Syarh al-‘Umdah, vol.1, hal.41)
 Al-Imam Abu Muhammad Abdullah Ibn Ahmad Ibn Qudamah al-Maqdisi (w.630H);

49
‫أجمع أهل العلم على أن الحائض والنفساء ال يحل لهما الصوم وإنهما يفطران رمضان ويقضيان‬
“Ulama berijma‘ bahwa wanita haid dan nifas tidak halal berpuasa, sehingga mereka
memang harus berbuka lalu mengqadha puasa tersebut”
(Ibn Qudamah, al-Mughnî Syarh Mukhtashar al-Kharqî, vol.3, hal.83)
 Al-Imam Abu Abdillah Syamsuddin Muhammad Ibn Abdillah al-Zarkasyi (w.772H);
‫باإلجماع‬
ِ ‫القضاء واجب على الحائض والنفساء‬
“Mengqadha puasa wajib bagi wanita haid dan nifas berdasarkan ijma‘”
(Al-Zarkasyi, Syarh Mukhtashar al-Kharqî, vol.1, hal.430)
Wallahu A‘lam

50
IJMA‘ RAMADHAN KE 17/30
(KEKUATIRAN PADA BAYI DAN
JANIN, WANITA BOLEH TIDAK
BERPUASA)
Lumrah diketahui bila wanita hamil dan menyusui tidak sanggup berpuasa Ramadhan atau
mengalami penurunan energi sehingga menjadi lemah atau bahkan mengakibatkan muntah
dan lai sebagainya diperbolehkan tidak berpuasa. Sedangkan mereka yang secara pribadi atau
fisik merasa mampu berpuasa namun ada kekuatiran pada kondisi bayi atau janin, ternyata
juga diperbolehkan tidak berpuasa, terutama jika yang dikuatirkan adalah dirinya sekaligus
bayi atau janinnya.
 Abdullah Ibn Umar radhiyallâhu ‘anhumâ;
‫إن عبد الله بن عمر سئل عن المرأة الحامل إذا خافت على ولدها واشتد عليها الصيام قال تفطر‬
“Sesungguhnya Abdullah Ibn Umar pernah ditanya tentang wanita hamil yang
mengkuatirkan kondisi anaknya sehingga berat untuk berpuasa. Ia menjawab: Wanita itu
boleh berbuka”
(Malik Ibn Anas, al-Muwattha’ Bi Riwâyah al-Laytsî, vol.1, hal.308, no.678. Abdurrazzaq,
al-Mushannaf, vol.4, hal.217, no.7558. Dalam riwayat Abdurrazaaq ini dijelaskan yang
bertanya kepada Abdullah Ibn Umar adalah Muhammad Ibn Abdirrahman Ibn Lubaybah)
 Abdullah Ibn Abbas radhiyallâhu ‘anhumâ;
‫عن ابن عباس قال تفطر الحامل والمرضع في رمضان‬
“Dari Ibn ‘Abbas, ia berkata; wanita hamil dan menyusui boleh tidak berpuasa di bulan
Ramadhan”
(Abdurrazzaq, al-Mushannaf, vol.4, hal.218, no.7564)
 Al-Imam Abu al-Hasan Ali Ibn Muhammad Ibn Muhammad Ibn Habib al-Mawardi
(w.450H);
‫والضرب الثاني أن يكون الخوف على الولد والحمل دون أنفسهما فال خالف أن الفطر مباح لهما‬
“Bagian kedua adalah kekuatiran pada bayi (sedang disusui) dan janin yang sedang
dikandung, bukan kuatir pada dirinya sendiri, tidak ada perbedaan pendapat bahwa mereka
juga boleh tidak berpuasa”
(Al-Mawardi, al-Hâwî al-Kabîr Syarh Mukhtashar al-Muzanî, vol.3, hal.947-948)
 Al-Imam Abu al-Walid Sulaiman Ibn Khalaf Ibn Sa‘d al-Baji (w.474H);
‫ال خالف في إباحة الفطر لها‬
“Tidak ada perbedaan pendapat ulama tentang kebolehan tidak berpuasa bagi wanita hamil
dan menyusui jika kuatir pada kondisi bayi”

51
(Al-Baji, al-Muntaqâ Syarh al-Muwattha’, vol.2, hal.204)
 Al-Imam Abu Muhammad Abdullah Ibn Ahmad Ibn Qudamah al-Maqdisi (w.630H);
‫ ال نعلم فيه بين أهل العلم اختالفا‬... ‫وجملة ذلك أن الحامل والمرضع إذا خافتا على أنفسهما فلهما الفطر‬
“Inti dari itu semua, wanita hamil dan menyusui boleh tidak berpuasa bila kuatir pada
kondisi bayi dan juga dirinya ... kami tidak mengetahui adanya perbedaan pendapat ulama
dalam hal ini”
(Ibn Qudamah, al-Mughnî Syarh Mukhtashar al-Kharqî, vol.3, hal.80)
Wallahu A‘lam

52
IJMA‘ RAMADHAN KE 18/30
(STATUS PUASA KARENA
BERENDAM)
Cuaca panas saat berpuasa terkadang membuat seseorang ingin mendinginkan badan dengan
cara mandi, membasahi kain lalu diusapkan ke badan, hingga berendam di dalam wadah atau
bak mandinya. Tentunya hal tersebut tidak membatalkan puasa selama air tidak masuk ke
dalam kerongkongannya.
 Abdullah Ibn Umar radhiyallâhu ‘anhumâ;
‫وبل ابن عمر رضي الله عنهما ثوبا فألقاه عليه وهو صائم‬
“Dan Ibn Umar radhiyallâhu ‘anhumâ membasahi bajunya lalu ia gunakan, padahal ia
sedang berpuasa”
(Al-Bukhari, al-Jâmi‘ al-Shahîh, vol.2, hal.681, kitâb al-Shiyâm, bâb 25)
 Abdullah Ibn Abbas radhiyallâhu ‘anhumâ;
‫ رأيت ابن عباس رضي الله عنه يكرع في حياض زمزم وهو صائم‬:‫عن المنذر بن أبي المنذر قال‬
“Dari al-Mundzir Ibn Abî al-Mundzir, ia berkata; Aku pernah melihat Ibn Abbas
radhiyallâhu ‘anhu menghirup air zamzam pada tempatnya langsung dengan mulutnya saat
ia berpuasa”
(Al-Baihaqî, al-Sunan al-Kubrâ, vol.4, hal.263, no.8051. Yang dilakukan Ibn Abbas ini
adalah salah satu cara mendinginkan bagian leher ke atas dengan cara menghirup air
langsung dengan mulut dari tempatnya untuk kemudian ia keluarkan lagi, dan pada saat itu
tentu akan terasa sejuk pada bagian kepada karena dekat dengan air tersebut)
 Anas Ibn Malik radhiyallâhu ‘anhu;
‫وقال أنس إن لي أبزن أتقحم فيه وأنا صائم‬
“Dan Anas berkata; Aku memiliki bak yang pernah aku gunakan untuk berendam saat
berpuasa”
(Al-Bukhari, al-Jâmi‘ al-Shahîh, vol.2, hal.681, kitâb al-Shiyâm, bâb 25)
 Usman Ibn Abi al-‘Ash radhiyallâhu ‘anhû;
‫ رأيت عثمان بن أبي العاص بعرفة وهو صائم يمج الماء ويصب على رأسه‬:‫وقال الحسن‬
“Hasan al-Bashri berkata; Aku melihat Usman Ibn Abi al-‘Ash saat di arafah menyiramkan
air dan mengguyurkannya ke kepalanya saat ia berpuasa”
(Ibn Batthâl, Syarh Shahîh al-Bukhârî, vol.4, hal.58)
 Al-Imam Abu al-Hasan Ali Ibn Muhammad Ibn Muhammad Ibn Habib al-Mawardi
(w.450H);

53
‫وأما اغتسال الصائم ونزوله الماء فجائز وغير مكروه لما روي عن عائشة وأم سلمة أن رسول الله صلى الله عليه‬
‫ وكانا‬،‫وسلم كان يصبح جنبا فيغتسل ويتم صومه وروي عن ابن عمر وابن عباس أنهما كانا يتماقالن في الماء‬
‫ وليس لهما في الصحابة مخالف‬،‫صائمين‬
“Orang yang berpuasa boleh mandi dan masuk ke wadah air, bukan makruh, berdasarkan
riwayat dari Aisyah dan Ummu Salamah, bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam
bangun subuh dalam keadaan junub, lalu beliau mandi dan meneruskan puasanya. Bahkan
diriwayatkan dari Ibn Umar dan Ibn Abbas bahwa mereka berdua berendam di dalam air
saat berpuasa. Tidak satu pun sahabat yang mengingkari kabar itu”
(Al-Mawardi, al-Hâwî al-Kabîr Syarh Mukhtashar al-Muzanî, vol.3, hal.1005)
Wallahu A‘lam

54
IJMA‘ RAMADHAN KE 19/30
(GOSOK GIGI MEMBATALKAN
PUASA??)
Poin kesepakatan ulama dalam hal ini adalah status keabsahan puasa ketika bersiwak ataupun
menggosok gigi dilakukan saat berpuasa. Sedangkan perbedaan pendapat mereka terjadi pada
status hukum menggosok gigi setelah waktu zhuhur, antara yang memakruhkan dan yang
tidak memakruhkan sama sekali.
 Umar Ibn al-Khatthab radhiyallau ‘anhu;
‫ ولكن بعود قد ذوي يعني‬،‫ ما رأيت رجال أدأب للسوا من عمر بن الخطاب وهو صائم‬:‫عن زياد بن حدير األسدي قال‬
‫يابس‬
“Dari Ziyad Ibn Hudair al-Asadi, ia berkata; Aku belum pernah melihat orang yang rutin
bersiwak saat berpuasa selain Umar Ibn al-Khatthab, namun dengan kayu siwak yang
kering”
(Abdurrazzaq, al-Mushannaf, vol.4, hal.201, no.7485. Ibn Abi Syaibah, al-Mushannaf, vol.3,
hal.35, no.9242)
 Aisyah Ummul Mu’minin radhiyallâhu ‘anhâ;
‫ هذا سواكي في يدي وأنا صائمة‬:‫ جئت إلى عائشة فسألتُ عن السوا للصائم؟ قالت‬:‫عن كبشة قالت‬
“Dari Kabsyah/Kubaisyah radhiyallâhu ‘anhâ, ia bertanya tentang bersiwak bagi orang
yang berpuasa kepada Aisyah, maka Aisyah menjawab; Ini masih ada siwak di tanganku,
dan saya sendiri sedang berpuasa”
(Ibn Abi Syaibah, al-Mushannaf, vol.3, hal.35, no.9244)
 Abu Hurairah radhiyallâhu ‘anhu;
‫ لقد أدميت فمي اليوم صائما بالسوا مرتين‬:‫عن قتادة أن أبا هريرة قال‬
“Dari Qatadah, bahwa Abu Hurairah pernah berkata bahwa mulutku berdarah dua kali
katika berpuasa karena bersiwak”
(Abdurrazzaq, al-Mushannaf, vol.4, hal.201, no.7486)
 Abdullah Ibn Umar radhiyallâhu ‘anhumâ;
‫عن نافع أن ابن عمر كان يستا وهو صائم إذا راح إلى صالة الظهر‬
“Dari Nafi‘, bahwa Ibnu Umar bersiwak saat hendak shalat zhuhur ketika sedang berpuasa”
(Abdurrazzaq, al-Mushannaf, vol.4, hal.202, no.7488)
)‫عن نافع عن ابن عمر أنه لم يكن يرى بأسا بالسوا للصائم (وفي الرواية بالسوا الرطب واليابس‬
“Dari Nafi‘, bahwa Ibn Umar memandang tidak mengapa bila orang yang sedang berpuasa
untuk bersiwak. (Tambahan pada riwayat lain; baik siwak basah maupun kering)”

55
(Ibn Abi Syaibah, al-Mushannaf, vol.3, hal.35, no.9241 & hal.37, no.9264)
 Abdullah Ibn Abbas radhiyallâhu ‘anhumâ;
‫ استك على كل حال‬،‫ نعم الطهور‬:‫سئل ابن عباس عن السوا للصائم؟ فقال‬
“Ibnu Abbas pernah ditanya tentang orang berpuasa yang bersiwak, lalu ia menjawab;
bagus sekali, lakukanlah kapanpun”
(Ibn Abi Syaibah, al-Mushannaf, vol.3, hal.35, no.9245)
 Al-Imam Abu al-Walid Sulaiman Ibn Khalaf Ibn Sa‘d al-Baji (w.474H);
‫واتفق الناس على أنه مباح في أوله واختلفوا في كراهيته في آخره‬
“Dan para ulama menyepakati bolehnya bersiwak di awalnya, lalu mereka berbeda pendapat
tentang kemakruhannya jika dilakukan di akhirnya”
(Al-Baji, al-Muntaqâ Syarh al-Muwattha’, vol.2, hal.212)
 Al-Imam Abu Muhammad Abdullah Ibn Ahmad Ibn Qudamah al-Maqdisi (w.630H);
‫ولم ير أهل العلم بالسوا أول النهار بأسا إذا كان العود يابسا‬
“Para ulama memandang tidak mengapa jika orang yang berpuasa bersiwak di awal siang
apabila kayu siwaknya kering”
(Ibn Qudamah, al-Mughnî Syarh Mukhtashar al-Kharqî, vol.3, hal.36)
Wallahu A‘lam

56
IJMA‘ RAMADHAN KE 20/30
(BERCELAK MEMBATALKAN
PUASA??)
Pembatal puasa ada yang berupa perbuatan konsumtif seperti memakan makanan dan
meminum minuman, dan ada juga yang berupa perbuatan non konsumtif seperti
mengeluarkan sperma baik dengan jima‘ maupun onani, dan lain sebagainya seperti
berbekam menurut sebagian mazhab. Lalu bagaimana dengan bercelak yang biasa dilakukan
oleh laki-laki dan perempuan arab maupun persia?
 Anas Ibn Malik radhiyallâhu ‘anhu;
‫عن أنس أنه كان يكتحل وهو صائم‬
“Dari Anas, ia pernah bercelak saat berpuasa”
(Ibnu Abi Syaibah, al-Mushannaf, vol.3, hal.47, no.9364)
‫ بالكحل للصائم بأسا‬... ‫ولم ير أنس‬
“Anas Ibn Malik memandang orang yang berpuasa tidak mengapa bercelak”
(Al-Bukhari, al-Jâmi‘ al-Shahîh, vol.2, hal.68, kitâb al-Shaum, bâb Ightisâl al-Shâ’im)
 Al-Imam Abu ‘Abdillah Muhammad Ibn Idris al-Syafi‘i (w.204H);
‫وال أعلم أحدا كره الكحل على أنه يفطر‬
“Tidak aku ketahui ada yang tidak menyukai celak karena menganggap dapat membatalkan”
(Al-Syafi‘i, al-Umm, vol.2, hal.101)
 Al-Imam Abu al-Hasan Ali Ibn Muhammad Ibn Muhammad Ibn Habib al-Mawardi
(w.450H);
ُ ‫ اإلثمد‬:‫وروي عن ابن عمر أنه سئل عن الكحل للصائم فقال‬
‫غبار فما يضر الصائم إذا نزل الغبار وليس في الصحابة له‬
‫مخالف‬
“Dan diriwayatkan dari Ibn Umar, beliau ditanya tentang celak bagi orang yang berpuasa,
lalu beliau menjawab; Itsmid itu hanya berupa debu, dan tidak memberi pengaruh kepada
orang yang berpuasa apabila debu terhirup, dan tidak ada di kalangan sahabat yang
berbeda pendapat dengannya”
(Al-Mawardi, al-Hâwî al-Kabîr Syarh Mukhtashar al-Muzanî, vol.3, hal.1004)
Wallahu A‘lam

57
IJMA‘ RAMADHAN 21/30
(HARUSKAH MENGQADHA
PUASA DENGAN BERTURUT-
TURUT)
Orang yang tidak berpuasa di bulan ramadhan disebabkan uzur maupun disengaja wajib
mengqadha puasa tersebut, meskipun ada pengecualian bagi golongan tertentu. Akan tetapi
ketika ramadhan usai, ternyata tidak sedikit yang melewatkan kesempatan mengqadha
terutama yang tidak berpuasa lebih dari satu hari, seminggu, hingga sebulan penuh. Hal itu
bisa jadi karena yang digambarkan adalah qadha harus dilakukan berturut sebagaimana
halnya puasa ramadhan. Bolehkan menqadha puasa dengan selang-seling hari, atau
memanfaatkan hari senin dan kamis dengan niat qadha, atau hari-hari lainnya?
 Aisyah Ummul Mukminin radhiyallahu ‘anha;
‫ فسقطت متتابعات‬،"ٍ‫ نزلت "فَ ِع َّدةٌ ِم ْن أَيَّ ٍام أ ُ َخ َر ُمتَتَا ِب َعات‬:‫قالت عائشة‬
“Aisyah berkata; Ayatnya turun –Maka tunaikan pada hari-hari lainnya dengan berturut-
turut-, kemudian –berturut-turutnya- mansukh”
(Abdurrazaaq, al-Mushannaf, vol.4, hal.241, no.7657. Al-Baihaqi, al-Sunan al-Kubra, vol.4,
hal.258, no.8023)
 Abdullah Ibn Abbas dan Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhum;
‫عن عطاء أن بن عباس وأبا هريرة قاال في رمضان فرقه إذا أحصيته‬
“Dari ‘Atha’, bahwa Ibn Abbas dan Abu Hurairah mengatakan perihal qadha puasa
ramadhan, yaitu pisah-pisahlah harinya jika kamu bisa menghitungnya”
(Abdurrazaaq, al-Mushannaf, vol.4, hal.243, no.7664. Ibnu Abi Syaibah, al-Mushannaf,
vol.3, hal.32, no.9207)
‫صم كيف شئت‬
“Qadhalah puasa bagaimanapun caranya”
(Abdurrazaaq, al-Mushannaf, vol.4, hal.244, no.7665, 7673)
 Anas Ibn Malik radhiyallahu ‘anhu;
‫ وإن شئت متفرقا‬،‫ إن شئت فاقض رمضان متتابعا‬:‫ قال‬،‫عن أنس‬
“Dari Anas, ia berkata; Jika mau, qadhalah puasa ramadhan berturut atau terpisah”
(Ibnu Abi Syaibah, al-Mushannaf, vol.3, hal.32, no.9208)
 Mu‘az Ibn Jabal dan Abu Ubaidah Ibn al-Jarrah radhiyallahu ‘anhuma;
‫أحص العدة وصم كيف شئت‬

58
“Hitung harinya, lalu puasalah bagaimanapun caranya”
 Al-Imam al-Baihaqi menegaskan;
‫قولها سقطت تريد نسخت ال يصح له تأويل غير ذلك‬
“Kata -Saqathat- yang beliau sebutkan bermakna -Nusikhat- (dihapus), dan tidak sah
memberikan makna lain”
(Ibnu Abi Syaibah, al-Mushannaf, vol.3, hal.32, 34, no.9211, 9225)
 Al-Imam Abu Muhammad Abdullah Ibn Ahmad Ibn Qudamah al-Maqdisi (w.630H);
‫ ولم يذكر تفريقها وال تتابعها ولم يجب التتابع فيها باإلتفاق‬،"‫ "فعدة من أيام أخر‬: ‫فإن الله تعالى قال في قضاء رمضان‬
“Allah ta‘ala berfirman tentang qadha ramadhan -tunaikanlah di hari-hari lain- tanpa
menyebutkan mesti dipisah atau berturut-turut. Maka tidak wajib berturut-turut berdasarkan
kesepatakan ulama”
(Ibn Qudamah, al-Mughni Syarh Mukhtashar al-Kharqi, vol.11, hal.365)
Kesimpulan: Puasa yang ditinggalkan berhari-hari tidak wajib diqadha berturut-turut, kecuali
jika seseorang baru mengqadhanya hingga mendekati ramadhan berikutnya dengan sisa hari
yang sama atau lebih banyak dari hari yang akan dilalui menjelang ramadhan yang baru.
Karena jika tidak ada uzur, seseorang yang melewati ramadhan berikutnya tanpa
menuntaskan puasa yang ditinggalkan wajib membayar kafarat fidyah untuk menebus puasa
yang ditinggalkan itu di samping tetap diwajibkan mengqadha puasa tersebut.
Wallahu A‘lam

59
IJMA‘ RAMADHAN KE 22/30
(BERPUASA UNTUK ORANG
YANG MASIH HIDUP,
BOLEHKAH?)
Terkadang dapat ditemukan sebagian orang yang mempuasakan keluarganya yang sedang
sakit atau orang tua mereka yang sudah tua dan tentunya masih hidup. Bahkan tidak hanya
puasa, shalat atas nama orang lainpun kadang dapat ditemukan lantaran sebab yang sama
yaitu semisal orang tua yang sakit.
 Abdullah Ibn Umar radhiyallahu ‘anhuma;
‫ ال يصوم أحد عن أحد وال يصلي‬:‫ هل يصوم أحد عن أحد أو يصلي أحد عن أحد؟ فيقول‬:‫إن عبد الله بن عمر كان يسأل‬
‫أحد عن أحد‬
“Sesungguhnya Abdullah Ibn Umar pernah ditanya apakah bisa seseorang berpuasa atau
shalat atas nama orang lain? Ia menjawab; Tidak bisa seseorang berpuasa atau shalat atas
nama orang lain”
(Malik Ibn Anas, al-Muwattha‘ Bi Riwâyah al-Laytsî, vol.1, hal.303, no.669)
 Al-Imam Abu al-Hasan Ali Ibn Muhammad Ibn Muhammad Ibn Habib al-Mawardi
(w.450H);
‫ عن قادر أو عاجز‬،‫ فال يجوز إجماعا بأمر أو غير أمر‬،‫أما الصيام عن الحي‬
“Sedangkan berpuasa atas nama orang yang masih hidup, baik orang mampu maupun tidak
mampu tidak diperbolehkan berdasarkan ijma‘, karena disuruh maupun tidak disuruh”
(Al-Mawardi, al-Hâwî al-Kabîr Syarh Mukhtashar al-Muzanî, vol.15, hal.708)
 Al-Imam Abu Muhammad Ali Ibn Ahmad Ibn Sa‘id Ibn Hazm al-Andalusi (w.456H);
‫وأجمعوا أنه ال يصوم أحد عن إنسان حي‬
“Para ulama berijma‘ bahwa seseorang tidak dapat berpuasa atas nama orang lain yang
masih hidup”
(Ibnu Hazm, Marâtib al-Ijmâ‘, hal.40)
 Al-Imam Abu al-Walid Sulaiman Ibn Khalaf Ibn Sa‘d al-Qurthubi al-Baji (w.474H);
‫وعبادة مختصة بالجسد كالصوم والصالة فال خالف في أنه ال تصح النيابة فيها‬
“Dan ibadah khusus yang terkait dengan badan (ibadah badaniyah) seperti puasa dan shalat
tidak sah jika digantikan oleh orang lain, tanpa ada perbedaan pendapat”
(Al-Baji, al-Muntaqâ Syarh al-Muwattha’, vol.2, hal.342)
 Al-Imam Abu Bakr Muhammad Ibn Abdillah Ibn Muhamamad al-Ma‘afiri (w.543H);

60
‫ وفي الصوم‬،‫ وكذلك ال يصوم أحد عن أحد حيا‬،‫ ال يصلى أحد عن أحد باتفاق فرضا وال نفال حياة وال موتا‬:‫قال علماؤنا‬
‫عن الميت اختالف‬
“Ulama kami mengatakan seseorang tidak boleh shalat fardhu maupun sunnat atas nama
orang lain yang masih hidup maupun yang sudah meninggal. Begitu juga seseorang tidak
boleh berpuasa atas nama orang lain yang masih hidup. Sedangkan berpuasa atas nama
orang yang sudah meninggal terdapat perbedaan pendapat ulama”
(Ibn al-‘Arabi, ‘Aridhah al-Ahwadzî Bi Syarh Shahîh al-Tirmidzî, vol.3, hal, 240)
 Al-Imam al-Qadhi Abu al-Fadhl Iyadh Ibn Musa Ibn Iyadh Ibn Amrun al-Yahshubi
(w.544H);
‫وأجمعوا أنه ال يصوم أحد عن أحد في حياته‬
“Dan mereka tidak berijma‘ bahwa seseorang tidak boleh berpuasa atas nama orang lain
yang masih hidup”
(Al-Qadhi Iyadh, Ikmâl al-Mu‘lim Bi Fawâ’id Muslim, vol.4, hal.104)
Dari penjelasan para ulama di atas, perbedaan pendapat ulama adalah terkait berpuasa atas
naman orang lain yang sudah wafat. Sedangkan berpuasa atas nama orang yang masih hidup
tidak diperbolehkan.
Wallahu A‘lam

61
IJMA‘ RAMADHAN 23/30
(JUMLAH HARI QAMARIYAH)
Banyak ibadah yang erat hubungannya dengan penanggalan hijriyah yang berpatokan dengan
peredaran bulan seperti ibadah puasa, haji, ‘idul fitri, dsb. Kemudian mengenai jumlah hari
setiap bulannya telah ditentukan antara 29 dan 30 hari.
 Ali Ibn Abi Thalib karramallahu wajhahu;
‫الوليد بن عتبة الليثي قال صمنا مع علي ثمانية وعشرين يوما فأمرنا يوم الفطر أن نقضي يوما‬
“Al-Walid Ibn Utbah berkata; Kami pernah berpuasa bersama Ali 28 hari, lalu beliau
menyuruh kami mengqadha satu harinya lagi setelah ramadhan”
(Abdurrazzaq, al-Mushannaf, vol.4, hal.156, no.7308)
‫ وشهر ثالثون‬،‫ شهر تسع وعشرون‬:‫ قال‬،‫عن علي‬
“Dari Ali, ia berkata; Bulan terdiri dari 29 dan 30 hari”
(Ibn Abi Syaibah, al-Mushannaf, vol.3, hal.86, no.9702)
 Umar Ibn al-Khatthab radhiyallahu ‘anhu;
‫ وشهر تسع وعشرون‬،‫ الشهور شهر ثالثون‬:‫ سمعت عمر يقول‬:‫ قال‬،‫عن سويد بن غفلة‬
“Dari Suwaid Ibn Ghafalah, ia berkata: Aku mendengar Umar mengatakan bahwa bulan itu
ada bulan 30 hari dan ada bulan 29 hari”
(Ibn Abi Syaibah, al-Mushannaf, vol.3, hal.86, no.9703)
 Al-Imam Abu al-Walid Muhammad Ibn Ahmad Ibn Muhammad Ibn Ahmad Ibn
Rusyd (w.595H);
‫العلماء أجمعوا على أن الشهر العربي يكون تسعا وعشرين ويكون ثالثين‬
“Para ulama berijma‘ bahwa jumlah hari dalam bulan arab adalah 29 dan 30 hari”
(Ibn Rusyd, Bidâyah al-Mujtahid wa Nihâyah al-Muqtashid, hal.284)
Wallahu A‘lam

62
IJMA‘ RAMADHAN KE 24/30
(METODE HISAB, TUMPUAN
ATAU PANDUAN??)
Yang dimaksud dengan tumpuan disini adalah sebagai sumber pensyariatan atau dasar
pelaksanaan secara independen. Sedangkan yang dimaksud dengan panduan adalah pemandu
atau cara mempermudah kapan detik-detik seseorang yang ditunjuk pemimpin untuk
melakukan ru’yah hilal. Artinya, fakta hilal tetap menjadi tumpuan penentuan dimulainya
suatu amalan di bulan itu dengan cara melakukan ru’yah seperti mulai atau usainya puasa
ramadhan. Antara hisab dengan ru’yah bukanlah soal majunya metode atau tidak, karena
pada masa salaf metode hisab ini telah ada. Namun para ulama tetap menggunakan ru’yah
untuk menetapkan bulan-bulan tersebut, di samping memang ada nash-nya yang begitu jelas,
juga sebagai bukti unsur ubudiyah kita dalam melaksakan cara yang diperintahkan Nabi
Muhammad meskipun hisab telah ada pada masa itu, dan meskipun pada akhirnya hasil
ru’yah dan hisab akan bertepatan.
 Abu al-‘Abbas Syihabuddin Ahmad Ibn Idris Ibn Abdirahman al-Qarrafi (w.684H);
‫فلو كان اإلمام يرى الحساب فأثبت الهالل به لم يتبع إلجماع السلف على خالفه‬
“Jika seorang pemimpin berpendapat berdasarkan hisab, lalu dengan itu ia menetapkan
hilal, maka tidak perlu diikuti karena ijma‘ salaf justeru sebaliknya (dengan ru’yah)”
(Al-Qarrafi, al-Dzakhîrah, vol.2, hal.493)
 Abu al-‘Abbas Ahmad Ibn Abdil Halim Ibn Taimiyyah (w.728H);
‫وهذا دليل على ما أجمع عليه المسلمون إال من شذ من بعض المتأخرين المخالفين المسبوقين باإلجماع من أن مواقيت‬
‫الصوم والفطر والنسك إنما تقام بالرؤية عند إمكانها ال بالكتاب والحساب الذي تسلكه األعاجم من الروم والفرس والقبط‬
‫والهند وأهل الكتاب من اليهود والنصارى‬
“Hadis ini adalah dalil pendukung ijma‘ para ulama -selain kalangan yang berbeda sendiri
dari kalangan muta’akkhirin yang menyelisihi pendahulu berdasarkan ijma‘-, bahwa
penentuan waktu berpuasa, berfitri, ‘adha, hanya boleh dilaksanakan dengan melihat hilal
jika memungkinkan, bukan dengan hitungan buku maupun dengan hisab yang biasa
digunakan orang ajam romawi, persia, koptik, india, dan ahli kitab yahudi dan nasrani”
(Ibnu Taimiyyah, Iqtidhâ’ al-Shirâth al-Mustaqîm, hal.87)
 Abu al-Baqa’ Kamaluddin Muhammad Ibn Musa Ibn Isa al-Damiri (w.808H);
‫وإذا عرف المنجم والحاسب ذلك فال خالف أنه ال يجب عليهما الصوم‬
“Dan apabila ahli astronomi dan ahli hisab mengetahui adanya hilal, maka belum wajib bagi
mereka berpuasa”
(Al-Damiri, al-Najm al-Wahhâj Fî Syarh al-Minhâj, vol.3, hal.273)
Wallahu A‘lam

63

Anda mungkin juga menyukai