Anda di halaman 1dari 19

HADITS TENTANG BID'AH TERTOLAK

Dosen Pengampu: Dr. H. Sa’dullah, S.Ag, M.Ag., M.Si.

Disusun Oleh :
Nauval Satria Pratama (1404622035)
Siti Tasliyah (1404622053)
Marseli Nurul Alifya (1404622014)

PENDIDIKAN AGAMA ISLAM


FAKULTAS ILMU SOSIAL
UNIVERSITAS NEGERI JAKARTA
Abstrak
Setelah wafatnya nabi Muhammad beberapa ratus tahun kemudian muncul amaliyah-
amaliyah baru yang tidak pernah dicontohkan oleh nabi dan sahabatnya seperti Maulid,
Haul Nisfu Syaban dan lain lainya, banyak dari kelompok tertentu yang memandangnya
sebagai perbuatan bidah tanpa tahu konsep dan definisi dari bidah tersebut. Sehingga
banyak menimbulkan perpecahan antar umat Islam. Makalah ini membahas mengenai hadis
nabi tentang yang mengada-adakan perkara baru dalam agama, mulai dari matan, sanad,
hingga kualitas perawinya yang terdapat dari kitab-kitab hadits populer terutama dari kitab
Arbain An Nawawi. Menjelaskan konsep bidah dan definisinya sehingga dapar dipahami
maksud dari bidah tersebut.
A. PENDAHULUAN
Latar Belakang
Bid'ah, dalam konteks agama Islam, telah menjadi topik yang sering diperdebatkan
dan diperbincangkan di kalangan umat Muslim. Istilah ini mengacu pada perbuatan atau
praktik baru dalam agama yang tidak memiliki dasar atau contoh langsung dari ajaran Nabi
Muhammad SAW. Dalam kajian agama, pemahaman tentang bid'ah menjadi penting karena
mempengaruhi bagaimana umat Islam mempraktikkan agama mereka sehari-hari.
Dalam tulisan ini, kami akan menjelaskan konsep dan definisi bid'ah, serta
mengeksplorasi pendapat ulama tentang masalah ini. Penjelasan akan mencakup pembahasan
tentang jenis-jenis bid'ah, seperti bid'ah hasanah dan bid'ah dhalalah, serta pemahaman
tentang hadis-hadis yang berkaitan dengan bid'ah. Selain itu, akan disajikan juga pandangan
ulama tentang bagaimana memahami dan menghadapi bid'ah dalam konteks kehidupan umat
Islam saat ini.
Melalui pemahaman yang lebih mendalam tentang bid'ah, diharapkan pembaca dapat
memperoleh wawasan yang lebih luas tentang praktek keagamaan dalam Islam dan
bagaimana mengambil sikap yang tepat terhadap perubahan-perubahan baru dalam agama.
Dengan demikian, artikel ini diharapkan dapat memberikan kontribusi dalam memperkaya
diskusi dan pemahaman tentang isu ini di kalangan umat Islam.

Rumusan Masalah
Berdasarkan penjelasan di atas, maka dapat disimpulkan beberapa rumusan masalah
sebagai berikut:
1. Apa Definisi Bid’ah ?
2. Bagaimana Konsep Bid’ah ?
3. Bagaimana Sanad, Matan, Perawi, dan Status Hadits Bid’ah Tertolak ?
4. Bagaimana Pendapat Ulama Mengenai Bid’ah ?

Tujuan
Dalam penjelasan di atas, maka dapat disimpulkan beberapa tujuan dari makalah ini
sebagai berikut:
1. Untuk Mengetahui Definisi Bid’ah
2. Untuk Mengetahui Konsep Bid’ah
3. Untuk Mengetahui Sanad, Matan, Perawi, dan Status Hadits Bid’ah Tertolak
4. Untuk Mengetahui Pendapat Ulama Mengenai Bid’ah
B. PEMBAHASAN
a. Konsep dan Definisi Bid’ah
Bid’ah secara definisi terbagi 2, secara lughawiyah dan pengertian. bid’ah secara

lughawiyah atau bahasa berasal dari kata "al Ibda" (‫ )ا البدا‬artinya perbuatan tanpa

mencontoh dan mengikuti1, Imam Fayruzabadi dalam al Qamas al Munbith mengatakan “


bid'ah” dengan kasrah pada huruf ba memiliki arti perkara baru dalam agama. Sedangkan
bid'ah secara pengertian adalah perkara yang baru yang tidak ada penyebutan secara tertulis,
baik di Al-Qur'an dan Hadits, pendapat lain dari Imam Asy-Syatibi dalam kitabnya yang
berjudul al-i'tiskham mengatakan "Suatu jalan dalam agama yang dibuat-buat tanpa ada dalil
atau petunjuk yang dibuat-buat yang menyerupai syariat untuk niat menjalani syariat yaitu
untuk mendekatkan diri kepada Allah.”
Para pakar bahasa memahami bid'ah terbagi menjadi dua, yaitu Bid'ah Dhalalah
yakni suatu perkara baru yang melenceng dari Al-Qur'an dan Sunnah, kedua Bid’ah Hasanah
yang merupakan perkara baru yang tidak menyalahi atau sejalan dengan Al-Qur'an dan
Sunnah. Sebelumnya juga Imam Syafi'i mengkategorikan bid'ah menjadi 2 yaitu, bid'ah
Mahmudah yang memiliki pengertian bidah yang tidak bertentangan dengan hukum syari'at
(Al-Qur'an, Hadits, ijma, dan atsar. Sedangkan bid'ah mazmumah adalah bidah tercela yang
tidak dilandasi oleh hukum syariat, ini sesuai dengan hadits nabi yang diriwayatkan oleh
Imam Muslim yakni "Barang siapa yang menciptakan ketriasaan yang baik dalam (ajaran)
Islam, maka ia mendapatkan pahalanya dan pahala orang mengerjakan setelahnya tanpa
dikurangi dari pahalanya orang sedikitpun. Barang siapa yang menciptakan kebiasaan yang
tercela maka ia mendapat dosa orang yang mengikuti setelahnya tanpa dikurangi dari dosa-
dosa mereka sedikitpun" (HR. Muslim).
Di era modern ini banyak terjadi fenomena bid'ah yang sama sekali tidak pernah
dicontohkan oleh nabi dan para sahabatnya, seperti maulid, tahlilan, perayaan Isra wa mi'raj,
dan lainnya. Perbuatan yang semacam ini tidak ada dalilnya, tetapi as Syaikh Utsaimin
menyetujui adanya dalil pendukung dari setiap amalan yang bersifat duniawi sampai ada dalil
yang menunjukkan keharamannya, begitu pula untuk urusan agama jika ada dalil dari Al-
Qur'an dan As-sunnah maka dapat diberlakukan, jika tidak tidak ada maka dilarang.2

1
MEMAHAMI MAKNA BID'AH SECARA KOMPREHENSIF. (2018). (n.p.): Abou Fateh. Hal 13
2
Muhammad al-Utsaimin, Syarah al-Aqidah al-Wasathiyah..., hlm. 639-640
1. Peringatana Maulid Nabi
Indonesia yang bermayoritaskan agama Islam banyak mengadakan kegiatan perayaan
hari besar seperti maulid nabi Muhammad SAW. Isi dari kegiatan tersebut sebagian besar
adalah berdzikir, bersholawat dan menyampaikan ceramah-ceramah keagamaan
walaupun kegiatan tersebut tak memiliki landasan dalil dan termasuk kedalam bid'ah
seperti yang diutarakan oleh Dr. Said al-Qahthani bahwa "memperingati kelahiran Nabi
Muhammad SAW adalah haram karena nabi sendiri dan pada sahabat tidak pernah
merayakan maulid.
Akan tetapi maulid tergolong bid'ah hasanah yaitu bid’ah yang terpuji oleh golongan
lain, karena mereka bersandar pada hadits yang diriwayatkan oleh Imam Muslim, yaitu

‫َل‬ ‫ْث َأ ُأ ْن‬ ‫َق َذ‬ ‫ْث‬


‫ ْو ِز َل َع َّي ِف ِهي‬، ‫ َو َيْو ٌم ُب ِع ُت‬، ‫ اَك َيْو ٌم ُو ِل ْد ُت ِف يِه‬: ‫ اَل‬، ‫ُس ِئ َل َع ن َص ْو ِم َي وِم اال َن ْي ِن‬

Artinya: Nabi Muhammad SAW ditanya tentang puasa di hari senin, Nabi Muhammad
menjawab: hari itu adalah hari aku dilahirkan, hari aku diutus, dan hari diturunkannya wahyu
kepadaku. (H.R. Muslim)
Pendapat lain juga diutarakan oleh ulama ahli hadits yang berasal dari Mekkah yaitu
Sayyid Muhammad bin Abbas al-Maliki bahwasanya maulid nabi merupakan bentuk rasa
gembira dengan rahmat yang Allah berikan, yaitu Nabi Muhammad SAW sebagai rahmat
terbesar umat manusia yang Allah berikan karena berdasarkan dalil Q. S Yunus ayat 58 yaitu,

‫ُق ْل َف ْض َّل َو َر ْح َم َف َذ َك َف ْل‬


‫َي ْف َر ُح ْو ا‬ ‫ِب ِل ال ِه ِب ِتِه ِب اِل‬

Artinya: "katakanlah; dengan anugerah dan rahmat Allah, maka dengan semua itu hendaknya
mereka bergembira." (Q.S. Yunus: 58)
Maka, Allah memerintahkan agar bergembira atas diutusnya nabi Muhammad, seperti
firman Allah dalam Q.S al-Anbiya ayat 107 yaitu
‫َو َم ا َأ ْر َس ْل َن اَك اَّل َر ْح َم ًة ْل َع ا يَن‬
‫ِل ِمَل‬ ‫ِإ‬

Artinya: "Dan tidaklah aku mengutusmu kecuali sebagai rahmat untuk sekalian alam."
(Q.S. al-Anbiya': 107)
Dari sini dapat disimpulkan bahwasanya tidak ada larangan atau perayaan maulid
bukanlah termasuk ke bid'ah dhalalah yaitu bid’ah tercela. Sesuai perkataan Imam as-Suyuthi
beliau berkata "kegiatan maulid Nabi Muhammad tidak ada didalamnya hal yang melanggar
kitab Allah, sunnah, atsar dan juga ijma, maka maulid bukanlah perbuatan tercela” 3

2. Pemushafan Al-Qur'an
Sejak wafatnya nabi Muhammad dan kepemimpinan dipegang oleh Khalifah yaitu
Sayidina Abu Bakar. Beliau dihadapkan masalah tentang kemurtadan orang-orang Arab dan
Abu bakar menyiapkan pasukan untuk memeranginya, karena peristiwa ini banyak para
penghafal Al-Quran berguguran dan bisa saja menyebabkan tidak ada catatan sejarah atau
keaslian Al-Qur'an, maka Umar bin Khattab menghadap Abu Bakar untuk mengusulkan
pemushafan Al-Qur'an dan Abu Bakar menyetujuinya.
Melalui musyawarah maka dipanggil sahabat nabi bernama Zaid bin Tsabit dan
sahabatnya lainnya untuk membentuk tim khusus untuk mengumpulkan ayat-ayat Al-Qur'an
yang tertulis di berbagai media seperti batu, tulang, kulit dan bentuk apapun. hingga
pembukuan ini belum selesai hingga wafatnya Khalifah Abu Bakar dan digantikan oleh
Khalifah Umar bin Khattab hingga akhirnya final pada masa kekhalifahan Utsman bin Affan,
beliau menerapkan standarisasi penulisan dalam mushaf sehingga mushaf sekarang yang
banyak dikenal adalah mushaf utsmani.4
Dari pernyataan diatas sahabat pernah melakukan bid'ah yang sama sekali nabi tidak
pernah mencontohkan atau memerintahkan untuk membukukan Al-Qur'an, tetapi pembukuan
dilakukan agar Al-Quran terjaga hingga hari kiamat seperti firman Allah Q.S Al-Hijr ayat 9

‫َّن ا َن ْح ُن َن َّز ْل َن ا ال ْك َر َو َّن ا َل ٗه َل ٰح ُظ ْو َن‬


‫ِف‬ ‫ِا‬ ‫ِّذ‬

Artinya: “Sesungguhnya Kamilah yang menurunkan Al-Qur'an, dan pasti Kami (pula) yang
memeliharanya.” (Q. S Al-Hijr ayat 9)

3
9Ali Jum’ah, al-Mutasyaddidun Manhajuhum wa munaqasyatu Ahammi Qadhayahum..., hlm. 101
4
Peradaban Terbentuknya Mushaf Al-Qur’an (Sejarah Terbentuknya Mushaf Rasm Ustmani), Aldie Fitra, Lia
Listiana, 2022, hal 62-65
3. Tarawih masa Umar bin Khattab
Dari semua bid'ah yang dilakukan maka sahabat nabi yang paling disegani baik kaum
Muslimin dan kaum kafir Quraisy yaitu, Khalifah Umar bin Khattab pernah melakukan
bid'ah. Bermula dari Rasulullah yang melakukan shalat pada malam hari di bulan Ramadhan
sebanyak 11 rakaat akan tetapi rasul tidak mewajibkan umatnya karena ditakutkan akan
memberatkan di kemudian hari.
Hingga berlanjut sampai meninggalnya nabi dan kepemimpinan di masa Khalifah
Umar bin Khattab melakukan dan menyerukan agar masyarakat pada saat itu untuk
melaksanakan shalat malam dibulan Ramadhan atau tarawih secara berjamaah dan Umar pun
melakukan sholat tarawih berjamaah dengan sebanyak 23 rakaat yang sebenarnya tuntutan
tersebut dari nabi hanya 11 dan dikerjakan sendiri akan tetapi Umar bin Khattab berkata
"alangkah bagusnya bid'ah ini. Dan orang-orang yang kini tidur (menunda sholatnya lebih
malam lagi) adalah lebih afdhol daripada yang kini sholat."
Perubahan rakaat menjadi 23, tentu ada alasannya. Alasan yang paling utama adalah
untuk memperpendek bacaan ayat-ayat Al- Qurannya. Maklum, para sahabat kalau membaca
ayat-ayat Al-Quran dalam sholat selalu panjang-panjang. Sedangkan dalam sholat terdiri dari
anak-anak, ibu-ibu, orang tua-tua dan orang-orang yang kondisinya lemah. Maka untuk
menghindari hal-hal yang tidak diinginkan, lebih baik bacaan ayat- ayatnya dipecah-pecah ke
dalam 23 rakaat sehingga menjadi pendek. (Bahkan mungkin penambahan rakaat ada yang
lebih banyak lagi, sehingga bacaan ayat-ayat Al-Qurannya menjadi lebih pendek-pendek
lagi).5
Dari semua itu dapat disimpulkan bahwa bid'ah yang dilakukan oleh sahabat dan
bid'ah yang dilakukan di beberapa zaman setelah sahabat merupakan bid'ah hasanah dan
berlandaskan dalil yang ada, adapun contoh bid'ah dhalalah seperti nambah atau mengurangi
jumlah rakaat dalam sholat 5 fardhu atau mengubah aturan dalam berhaji atau ibadah wajib
dalam rukun Islam. Semua bid'ah yang dilakukan oleh masyarakat Indonesia tentu memiliki
landasan dalil yang kuat serta ada ijma para ulama sehingga tidak ada bid'ah yang
menyesatkan kaum Islam di Indonesia.

b. Hadits Bid'ah
5
Kultum Ramadhan. N.p., Rasibook, 2022. hal 157-158
a) Matan
Bagian ini penulis memaparkan hadits mengenai bid'ah yang terdapat dalam kitab
Arbain Nawawi yang dikarang oleh As-Syaikh Al-Imam Abu Zakaria An-Nawawi

َ: ‫صلى هللا عليه و سلم‬ ‫ َق اَل َر ُس‬: ‫َع ا َش َة رضي هللا عنها َق اَل ْت‬ ‫ْن ُأ ُملْؤ ْي َن ُأ َع ْب‬
‫وُل ِهللا‬ ‫ِّم ا ِم ِن ِّم ِد ِهللا ِئ‬
‫َم ْن َأ ْح َد َث ي َأ ْم َن ا هذا َم ا َل ْي َس ْن ُه َف ُه َو َر ُّد‬.
‫ِم‬ ‫ِف ِر‬

Dari Ummul Mu’minin, Ummu ‘Abdillah, ‘Aisyah Radhiyallahu ‘Anha, ia berkata,


“Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam bersabda, ‘Barangsiapa yang mengada-adakan
dalam urusan (agama) kami ini yang bukan berasal darinya, maka amalan tersebut tertolak’.”
(HR. Bukhari dan Muslim)

Hadits yang populer ini banyak sekali ditemukan di kitab-kitab hadits yang masyur, matan
tersebut diambil dari Shahih Bukhari no 2499. Adapun dalam Shahih Muslim no 3242 berikut
matan hadistnya

‫َح َّد َث َن ا َأ ُب و َج ْع َف ُم َح َّم ُد ْب ُن الَّص َّب ا َو َع ْب ُد الَّل ِه ْب ُن َع ْو اْل اَل ُّي َج يًع ا َع ْن ْب َر ا يَم ْب َس ْع ٍد َق اَل‬
‫ِإ ِه ِن‬ ‫ٍن ِه ِل ِم‬ ‫ِح‬ ‫ٍر‬
‫َأ‬ ‫َث‬
‫اْب ُن الَّص َّب ا َح َّد َن ا ْب َر ا يُم ْب ُن َس ْع ْب ْب َر ا يَم ْب َع ْب الَّر ْح َم ْب َع ْو َح َّد َن ا ي َع ْن‬ ‫َث‬
‫ِب‬ ‫ِن ِن ٍف‬ ‫ِد ِن ِإ ِه ِن ِد‬ ‫ِإ ِه‬ ‫ِح‬
‫ْب ُم َح َّم َع ْن َع َش َة َق َل ْت‬ ‫ْل َق‬
‫ا‬ ‫اِئ‬ ‫ٍد‬ ‫ا اِس ِم ِن‬
‫َق اَل َر ُس وُل الَّل َص َّل ى الَّل ُه َع َل ْي َو َس َّل َم َم ْن َأ ْح َد َث ي َأ ْم َن ا َه َذ ا َم ا َل ْي َس ْن ُه َف ُه َو َر ٌّد‬
‫ِم‬ ‫ِف ِر‬ ‫ِه‬ ‫ِه‬

Artinya : Telah menceritakan kepada kami Abu Ja'far Muhammad bin Shabah dan Abdullah
bin 'Aun Al Hilali semuanya dari Ibrahim bin Sa'd. Ibnu Shabah berkata: telah menceritakan
kepada kami Ibrahim bin Sa'd bin Ibrahim bin Abdurrahman bin Auf telah menceritakan
kepada kami ayahku dari Al Qasim bin Muhammad dari 'Aisyah dia berkata: "Rasulullah
shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda: "Barangsiapa mengada-ngada sesuatu yang baru
dalam urusan (agama) kami, padahal kami tidak perintahkan, maka hal itu tertolak."

Ditemukan Juga di kitab lainnya seperti Sunan Abu Daud no 3990

‫ح و َح َّد َث َن ا ُم َح َّم ُد ْب ُن يَس ى َح َّد َث َن ا َع ْب ُد‬ ‫َح َّد َث َن ا ُم َح َّم ُد ْب ُن الَّص َّب ا اْل َبَّز اُز َح َّد َث َن ا ْب َر ا يُم ْب ُن َس ْع‬
‫ِع‬ ‫ٍد‬ ‫ِإ ِه‬ ‫ِح‬
‫ْب َر ا يَم َع ْن اْل َق ا ْب ُم َح َّم َع ْن‬ ‫الَّل ْب ُن َج ْع َف اَمْلْخ َر ُّي َو ْب َر ا يُم ْب ُن َس ْع َع ْن َس ْع ْب‬
‫ٍد‬ ‫ِس ِم ِن‬ ‫ِإ ِه‬ ‫ِد ِن‬ ‫ٍد‬ ‫ِم ِإ ِه‬ ‫ٍر‬ ‫ِه‬
‫َع َش َة َر َي َّل ُه َع ْن َه َق َل ْت‬
‫ا ا‬ ‫ِض ال‬ ‫اِئ‬
‫َف‬ ‫َل‬ ‫َذ‬ ‫َن‬ ‫َأ‬ ‫َث‬ ‫َأ‬
‫َق اَل َر ُس وُل ال َص ى ال ُه َع ْي َو َس َم َم ْن ْح َد ي ْم ا َه ا َم ا ْي َس ي ُه َو َر ٌّد‬
‫َّل‬ ‫َل‬ ‫َّل‬ ‫َّل‬ ‫َّل‬
‫ِف ِه‬ ‫ِف ِر‬ ‫ِه‬ ‫ِه‬
‫َف‬ ‫َن‬ ‫َأ‬ ‫َغ‬ ‫َل‬ ‫َع‬ ‫َأ‬ ‫َن‬ ‫ْن‬ ‫َّل‬ ‫َل‬ ‫َع‬ ‫ُه‬ ‫َّل‬ ‫َّل‬ ‫َّن‬ ‫َق‬ ‫َق‬
‫ْي َو َس َم َم َص َع ْم ًر ا ى ْي ْم ا ُه َو َر ٌّد‬
‫ِر ِر‬ ‫ِه‬ ‫اَل اْب ُن ِع يَس ى اَل ال ِب ُّي َص ى ال‬
Artinya : Telah menceritakan kepada kami Muhammad bin Ash Shabbah Al Bazzaz berkata:
telah menceritakan kepada kami Ibrahim bin Sa'd. (dalam jalur lain disebutkan) Telah
menceritakan kepada kami Muhammad bin Isa berkata: telah menceritakan kepada kami
Abdullah bin Ja'far Al Makhrami dan Ibrahim bin Sa'd dari Sa'd bin Ibrahim dari Al Qasim
bin Muhammad dari 'Aisyah radliyallahu 'anha ia berkata: Rasulullah shallallahu 'alaihi wa
sallam a bersabda:

"Barangsiapa membuat-buat perkara baru yang tidak ada dalam agama kami, maka akan
tertolak."

Ibnu Isa menyebutkan: Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda: "Barangsiapa membuat
perkara baru selain dari yang kami perintahkan maka akan tertolak."

Hadits serupa di dalam kitab Sanad Sunan Ibnu Majah no 14

‫َس ْع ْب ْب َر َم ْب َع ْب َّر ْح َم‬ ‫َح َّد َث َن ا َأ ُب و َم ْر َو اَن ُم َح َّم ُد ْب ُن ُع ْث َم اَن اْل ُع ْث َم ا ُّي َح َّد َث َن ا ْب َر ا يُم ْب ُن‬
‫ِد ِن ِإ اِه ي ِن ِد ال ِن‬ ‫ِإ ِه‬ ‫ِن‬
‫الَّل َص َّل ى الَّل ُه َع َل ْي َو َس َّل َم َق اَل َم ْن‬ ‫َّن َر ُس وَل‬ ‫َأ‬ ‫َة‬ ‫َش‬ ‫ْب َع ْو َع ْن َأ ي َع ْن اْل َق ا ْب ُم َح َّم َع ْن َع‬
‫ِه‬ ‫ِه‬ ‫اِئ‬ ‫ٍد‬ ‫ِس ِم ِن‬ ‫ِب ِه‬ ‫ِن ٍف‬
‫َأ ْح َد َث ي ْم َن ا َه َذ ا َم ا َل ْي َس ْن ُه َف ُه َو َر ٌّد‬
‫َأ‬
‫ِم‬ ‫ِف ِر‬

Artinya : Telah menceritakan kepada kami Abu Marwan Muhammad bin Utsman Al Utsmani
berkata: telah menceritakan kepada kami Ibrahim bin Sa'd bin Ibrahim bin Abdurrahman bin
Auf dari Bapaknya dari Al Qasim bin Muhammad dari Aisyah berkata: Rasulullah shallallahu
'alaihi wa sallam bersabda: "Barangsiapa membuat perkara baru dalam urusan kami yang
tidak termasuk darinya maka dia tertolak."

Dan terakhir dengan hadits yang sama pada kitab Sanad Musnad Ahmad 24298 yaitu,

‫َح َّد َث َن َع ْب ُد َّر ْح َم َح َّد َث َن َع ْب ُد َّل ْب ُن َج ْع َف َع ْن َس ْع ْب ْب َر َم َس َع ْل َق َم َق َل َس ْع ُت‬


‫ِد ِن ِإ اِه ي ِم ا اِس ا ِم‬ ‫ٍر‬ ‫ال ِه‬ ‫ا‬ ‫ال ِن‬ ‫ا‬
‫َع اِئ َش َة َتُق وُل‬
‫َق اَل َر ُس وُل الَّل َص َّل ى الَّل ُه َع َل ْي َو َس َّل َم َم ْن َع َل َع َم اًل َل ْي َس َع َل ْي َأ ْم ُر َن ا َف ُه َو َر ٌّد‬
‫ِه‬ ‫ِم‬ ‫ِه‬ ‫ِه‬

Artinya : Telah menceritakan kepada kami Abdurrahman telah menceritakan kepada kami
Abdullah bin Ja'far dari Sa'ad bin Ibrahim dia mendengar Qasim berkata: saya mendengar
Aisyah berkata: Rasulullah shallallahu'alaihi wa sallam bersabda: "Barang siapa yang
melakukan suatu amalan yang tidak ada dasar dari kami maka amalan itu tertolak."

Maka dari matan yang dikumpulan pada kitab kitab diatas didapatkan matan hadits
yang sama akan tetapi ada perbedaan dari segi sanadnya, pembahasan sanad tentang hadits ini
dibahas pada bagian selanjutnya dalam makalah ini.
b) Sanad
‫َم ْر َتَف َع َن َأْل‬
Sanad dari segi bahasa adalah ‫ْر ض‬ ‫ِم ا‬ ‫ ا ا‬yang maknanya bagian bumi yang
menonjol dan bentuk jamak dari ‫ أ سناد‬yang artinya segala sesuatu yang disandarkan kepada
yang lain. Adapun Pengertian secara Terminologi yakni rangkaian para perawi yang
memindahkan matan dari sumber primernya yaitu nabi Muhammad SAW, sedangkan perawi
adalah pelaku yang menjadi bagian dari matan. 6

Pada bagian ini penulis membahas mengenai sanad dari hadits tentang bidah yang
terkumpul dari beberapa kitab hadits yang termasyur, yang pertama adalah Sanad hadits dari
Shahih Bukhari no. 2499

Aisyah binti Abi Bakar Ash Shiddiq

Al Qasim bin Muhammad bin Abi Bakar Ash Shiddiq

Sa’ad bin Ibrahim bin Abdurahman bin Auf

Ibrahim bin Sa’ad bin Ibrahim Abdullah bin Ja’far Abdul Wahid bin Abi’Aun

bin Abdurahman bin Auf

Ya’qub bin Ibrahim bin Katsir

Diatas merupakan urutan sanad yang berada di kitab Shahih Bukhari 2499, adapun
sanad yang berbeda dari Shahih Muslim No. 3242 berikut untaian sanadnya

Aisyah binti Abi Bakar Ash Shiddiq

6
Drs. M.Agus Sholahudin dan M.Ag.; Agus Suryadi, Lc.M.Ag. (2022). Ulumul Hadis. Bandung: CV
Pustaka Setia hal 89-92
Al Qasim bin Muhammad bin Abi Bakar Ash Shiddiq

Sa’ad bin Ibrahim bin Abdurahman bin Auf

Ibrahim bin Sa’ad bin Ibrahim bin Abdurahman bin Auf

Muhammad bin Ash Shabbah Abdullah bin Aun bin Abi’Aun

Sanad yang ada di Kitab Shahih Muslim No. 3242 memiliki kemiripan seperti di
Shaih Bukhari 2499, berbedaan sanad ditemukan lagi di sunan Abu Daud 3990. Sanad pada
Sunan Abu Daud memiliki cabang sanad yang lebih banyak, berikut ini urutan sanadnya

Aisyah binti Abi Bakar Ash Shiddiq

Al Qasim bin Muhammad bin Abi Bakar Ash Shiddiq

Sa’ad bin Ibrahim bin Abdurahman bin Auf

Ibrahim bin Sa’ad Abdullah bin Ja’far bin Abdurahman Ibrahim bin Sa’ad bin Ibrahim
bin Abdurahman bin Auf

Muhammad bin Ash Shabbah

Muhammad bin Isa bin Najih Muhammad bin Isa bin Najih
Kedua sanad yang terdapat di Shahih Bukhari dan Shahih Muslim memiliki sanad
yang hampir sama, tetapi dalam Sunan Abu Daud terdapat sanad yang bercabang tetapi
perawinya masih sama yaitu Muhammad bin Isa bin Najih yang mengambil sanad dari dua
orang. Dalam kitab Sunan Ibnu Majah No. 14 memili sanad tunggal atau ahad tanpa ada
cabang yang terbagi di perawinya berikut sanad dari Sunan Ibnu Majah 14.

Aisyah binti Abi Bakar Ash Shiddiq

Al Qasim bin Muhammad bin Abi Bakar Ash Shiddiq

Sa’ad bin Ibrahim bin Abdurahman bin Auf

Ibrahim bin Sa’ad bin Ibrahim bin Abdurahman bin Auf

Muhammad bin Ustman bin Khalid

Sanad pada kitab Ibnu Majah No.14 diatas merupakan sanad ahad atau tunggal karena
sanadnya tertuju pada hanya satu perawi tanpa ada percabangan dari perawi lainnya,
didapatkan juga sanad seperti ini pada Musnad Ahmad No. 24298, berikut ini urutan sanad
dari Imam Ahmad dalam kitabnya.

Aisyah binti Abi Bakar Ash Shiddiq

Al Qasim bin Muhammad bin Abi Bakar Ash Shiddiq

Sa’ad bin Ibrahim bin Abdurahman bin Auf

Abdullah bin Ja’far bin Abdurahman

Abdurahman bin Mahdiy bin Hassan bin Abdurahman


Sanad-sanad di atas merupakan urutan didapatkannya hadist mengenai bid’ah yang
tertolak, walaupun ada berbedaan yang terdapat karena perawi yang merawikan hadits
tersebut atau yang menuliskan ke dalam kitab karangannya mengambil dari orang yang
berbeda dan yang mendapatkannya pun dari orang yang berbeda pula. Tetapi pada intinya
hadits tersebut memiliki sanad yang sama dari Sa’ad bin Ibrahim bin Abdurahman bin Auf,
lalu beliau mendapatkannya dari Al Qasim bin Muhammad bin Abi Bakar Ash Shiddiq cucu
dari khalifah Islam pertama yaitu Abu Bakar Ash Shiddiq dan cucu abu bakar ini
mendapatkan hadits tersebut dari Istri Rasulullah SAW, yaitu Aisyah binti Abi Bakar Ash
Shiddiq.
Penulis menyimpulkan dari sanad-sanad yang ditemukan pada kitab-kitab hadis
populer memiliki rantai induk sanad yang sama yaitu dari Sa’ad bin Ibrahim, kemudian Al
Qasim bin Muhammad bin Abi Bakar Ash Shiddiq, lalu Aisyah binti Abi Bakar Ash Shiddiq.
Hadits ini memilik 3 sanad yang selalu sama dan tidak ada keraguan dalam perawinya,
adapun tentang perawi akan dijelaskan pada bagian selanjutnya

c) Perawi
Rawi memiliki makna orang yang meriwayatkan atau memberikan hadis, sama seperti
sanad yang memiliki keterkaitan. Namun perbedaannya terletak pada orangnya jika
menghimpun hadist dalam suatu kitab disebut dengan rawi, adapun orang yang hanya
mendapatkan hadits dan hanya menyampaikannya saja tanpa menulis di dalam kitab disebut
dengan sanad. 7
Pada sanad-sanad diatas terdapat tiap-tiap thabaqah atau tingkatan, dalam tingkatan
tersebut ada seseorang mendapatkan hadits dan menyampaikannya ke orang lain sampai
terhimpun dan tertulis di kitab yang banyak dikenal seperti Shahih Bukhari, Shahih Muslim,
Ibnu Majah dan lain-lainnya. Bagian ini membahas secara singkat namun padat setiap perawi
dalam sanad-sanad yang ada di hadits tentang bidah.

Aisyah binti Abi Bakar Ash Shiddiq merupakan istri nabi Muhammad SAW yang beliau
cintai, dari Aisyah lah putri kesayangan baginda rasul lahir, yaitu Fatimah Az-Zahra. Asiyah
menyumbang sekitar 242 hadits untuk pengetahuan Islam salah satunya hadits tentang bidah
ini.
Al Qasim bin Muhammad bin Abi Bakar Ash Shiddiq merupakan cucu dari khalifah
pertama Islam yaitu Abi Bakar Ash Shiddiq. Beliau lahir di masa kekhalifahan Utsman bin
Affan dan menjadi fuqaha Madinah yang paling utama ilmunya, tergolong sebagai tabi'in
golongan tengah yang banyak meriwayatkan hadits dan wafat pada tahun 106 H. Beberapa
ulama seperti Ibnu Hajar dan Ibnu Sa'd men-tsiqah-kan cucu Abi Bakar ini sehingga terjamin
baik orang dan ilmunya.
Sa'ad bin Ibrahim bin Abdurahman bin Auf seorang tab'in dengan kunyah Abu Ishaq yang
hidup dan meninggal di Madinah pada tahun 125 H, beliau banyak meriwayatkan hadits
terutama yang tercantum pasa Imam Ahmad ada sekitar 133 hadis. Komentar ulama
mengenai beliau antaranya seperti Abu Hatim dan An Nasa'I mentsiqahkannya.

Didapatkan hadits ini dari berbagai kitab memiliki rantai sanad dan perawi yang sama
mulai dari Aisyah binti Abi Bakar Ash Shiddiq, Al Qasim bin Muhammad bin Abi Bakar Ash

7
Drs. M.Agus Sholahudin dan M.Ag.; Agus Suryadi, Lc.M.Ag. (2022). Ulumul Hadis. Bandung: CV
Pustaka Setia hal 99
Shiddiq, dan Sa’ad bin Ibrahim bin Abdurahman bin Auf. Selanjutnya dibawah ini
merupakan penjelasan singkat mengenai perawi pada hadits Shaih Bukhari No. 2499

Ibrahim bin Sa'ad bin Ibrahim bin Abdurahman bin Auf seorang Tabi'ut Tabi'in dari
kalangan tengah, memiliki kunyah Abu Ishaq dan meninggal pada tahun 185 H. Ulama
berkomentar mengenai beliau seperti Ahmad bin Hambal dan Abu Hatim bahwasanya beliau
adalah tsiqah.
Abdullah bin Ja'far bin Abdurahman wafat di Madinah pada tahun 170 H memiliki
kunyah Abu Muhammad dan merupakan Tabi'ut Tabi'in golongan tengah. Ulama
berkomentar seperti Ahmad bin Hambal, Abu Hatim An Nasa'I dan Ibnu Hajar mereka
mengatakan bahwa status perawi tersebut laisa bihi ba's yang berarti tidak ada masalah dalam
diri perawi tersebut.
Abdul Wahid bin Abi Aun merupakan Tabi'ut Tabi'in golongan tua yang hidup di
Madinah dan meninggal di Thurthus pada tahun 144 H. komentar ulama mengenai perawi
antar lain An Nasa'I mengatakan laisa bihi ba's, dan Ibnu Hibban menyebutnya ats tsiqah.

Selanjutnya merupakan perawi dari sanad Shaih Muslim No. 3242.

Muhammad bin Ash Shabbah Hidup di Baghdad dan wafat pada tahun 227, memiliki
kunyah Abu Jafar. Beliau ada Tabi'ut Atba atau orang yang terakhir setelah masa Tab'in
Tabi'ut. Banyak Ulama yang mengatakan beliau adalah seorang tsiqah dan seorang hafidz
diantara seperti Ahmad bin Hambal, Al Ajil, Ya'kub ibnu Syaibah dan Ibnu Hajar
Abdullah bin Aun bin Abi Aun adalah Tabi'ut Atba seperti Muhammad bin Ash
Shabbah yang lahir di Baghdad dan wafat pada 232 H. Ulama memiliki komentar yang sama
mengenai perawi ini, yaitu Tsiqah diantara yang men-tsiqah-kannya adalah Yahya bin Ma'in,
Ahmad bin Hambal, Ibnu Hibban, dan Ibnu Hajar.

Berikutnya perawi dari Sunan Abu Daud 3990, penulis menjelaskan perawi setelah
thabaqah Sa’ad bin Ibrahim bin Abdurahman bin Auf.

Ibrahim bin Sa'ad bin Ibrahim bin Abdurahman bin Auf seorang Tabi'ut Tabi'in dari
kalangan tengah, memiliki kunyah Abu Ishaq dan meninggal pada tahun 185 H. Ulama
berkomentar mengenai beliau seperti Ahmad bin Hambal dan Abu Hatim bahwasanya beliau
adalah tsiqah.
Abdullah bin Ja'far bin Abdurahman wafat di Madinah pada tahun 170 H memiliki
kunyah Abu Muhammad dan merupakan Tabi'ut Tabi'in golongan tengah. Ulama
berkomentar seperti Ahmad bin Hambal, Abu Hatim An Nasa'I dan Ibnu Hajar mereka
mengatakan bahwa status perawi tersebut laisa bihi ba's yang berarti tidak ada masalah dalam
diri perawi tersebut.
Muhammad bin Ash Shabbah Hidup di Baghdad dan wafat pada tahun 227, memiliki
kunyah Abu Jafar. Beliau ada Tabi'ut Atba atau orang yang terakhir setelah masa Tab'in
Tabi'ut. Banyak Ulama yang mengatakan beliau adalah seorang tsiqah dan seorang hafidz
diantara seperti Ahmad bin Hambal, Al Ajil, Ya'kub ibnu Syaibah dan Ibnu Hajar.
Muhammad bin Isa bin Najih adalah Tabi'ut Tabi'in yang hidup dan wafat di
Thabariyah pada 224 H memili kunyah Abu Ja'far dan laqob beliau Ibnu Ath Thabba. Banyak
ulama yang mengomentari beliau seperti An Nasa'I, Ibnu Hibban, dan Ibnu Hajar
mengatakan perawi tersebut tsiqah. Adapun Ad Dzahabi mengatakan beliau adalah seorang
hafidz.

Penjelasan perawi berikutnya merupakan sanad yang terdapat pada kitab Sunan Ibnu Majah
No 14 berikut penjelasanya

Ibrahim bin Sa'ad bin Ibrahim bin Abdurahman bin Auf seorang Tabi'ut Tabi'in dari
kalangan tengah, memiliki kunyah Abu Ishaq dan meninggal pada tahun 185 H. Ulama
berkomentar mengenai beliau seperti Ahmad bin Hambal dan Abu Hatim bahwasanya beliau
adalah tsiqah.
Muhammad bin Utsman bin Khalid seorang Tab'ul Atba yang hidup dan wafat di
Marur Rawadz, yaitu daerah daratan Arab. Beliau Wafat pada 241 H kunyah beliau adalah
Abu Marwan. Abu Hatim, Al Asadi, dan Ibnu Hibban menyebutnya tsiqah, tetapi Ibnu Hajar
mengatakan shuduq walaupun ada kesalahan di dirinya.

Dan Terakhir merupakan penjelasan perawi dari sanad yang ada di kitab Musnad
Imam Ahmad No. 24298, berikut adalah penjelasannya yang dimulai setelah thabaqah Sa'ad
bin Ibrahim bin Abdurahman bin Auf.

Abdullah bin Ja'far bin Abdurahman wafat di Madinah pada tahun 170 H memiliki
kunyah Abu Muhammad dan merupakan Tabi'ut Tabi'in golongan tengah. Ulama
berkomentar seperti Ahmad bin Hambal, Abu Hatim An Nasa'I dan Ibnu Hajar mereka
mengatakan bahwa status perawi tersebut laisa bihi ba's yang berarti tidak ada masalah dalam
diri perawi tersebut.
Abdurahman bin Mahdiy bin Hasan bin Abdurahman memiliki kunyah Abu Said
yang tinggal dan wafat di Bashrah pada tahun 198 H beberapa komentar dari ulama mengenai
beliau adalah tsiqah dan beberapa mengatakan seorang hafidz

Setelah penjabaran mengenai setiap perawi dari beberapa kitab hadist ditemukan
kesamaan dari 3 thabaqah dan setiap sanad memiliki pertemuan dengan thabaqah lainnya
pada kitab hadits yang berbeda. Status perawi tersebut menunjukan tingkat kualitas dari
hadits ini, walaupun ada perawi yang memiliki kesalahan tetapi tidak mengubah kualitas dan
status hadits tersebut.

c. Pendapat Ulama Mengenai Bid'ah


Munculnya berbagai pendapat tentang bid’ah yang berkembang di masyarakat
menimbulkan tanda tanya bagi umat Islam, karena tentunya umat Islam harus menentukan
jalan yang benar dalam menjalankan urusan agama. Di pembahasan ini penulis akan
memaparkan berbagai pendapat ulama tentang bid’ah.

1. Imam Syafi’i
Bid’ah adalah segalah hal baru dalam urusan agama yang tidak ada contohnya
di zaman Nabi Muhammad saw. Bid’ah terbagi menjadi dua jenis, yaitu bid’ah
hasanah atau sesuatu yang sesuai dengan kaidah Islam dan bid’ah dalalah atau
sesuatu yang tidak sesuai dengan kaidah Islam.
Imam Syafi’i, seorang ahli hukum Islam ini lah yang pertama kali
mengemukakan pembagian ini. Beliau menyatakan:

.‫ فما وافق السنة فهو حممود وما خالفها فهو مذموم‬،‫ حممودة ومذمومة‬:‫البدعة بدعتان‬

Artinya: Bid’ah terbagi menjadi dua: terpuji dan tercela, bid’ah yang sejalan dengan
sunnah adalah terpuji, sedangkan bid’ah yang tidak sejalan dengan sunnah adalah
tercela.

2. Malik bin Anas


Setiap perbuatan baru dalam agama yang tidak memiliki landasan atau dasar dalam
ajaran Islam adalah bid‘ah. Dan, setiap bid‘ah berpotensi menyesatkan. Sebaliknya,
perbuatan yang memiliki sandaran di dalam agama, baik dari petunjuk umum (dalil
am) ataupun petunjuk khusus (dalil khas), tidak tergolong bid‘ah. Malik bin Anas lah
yang mempelopori gagasan ini. Malik bin Anas mengatakan:

‫من ابتدع في اإلسالم بدعة يراها حسنة فقد زعم أن محمدا صلى هللا عليه وسلم خان‬
‫َي َم ْك َم ْل ُت َل ُك َن ُك‬
‫م ِد ي ْم ) فما لم يكن يومئذ دينا فال يكون‬ ‫ (ال و أ‬:‫ ألن هللا يقول‬،‫الرسالة‬
‫اليوم دينا‬

Artinya: ”Barangsiapa yang membuat bid’ah dalam Islam dan menganggapnya baik
maka dia telah menganggap Muhammad shallallahu alaihi wasallam mengkhianati
risalah. Ini karena Allah telah berfirman: Pada hari ini aku telah sempurnakan agama
kamu. Apa yang pada hari tersebut tidak menjadi agama, maka dia tidak menjadi
agama pada hari ini.”
Maksud dari ucapan Malik bin Anas itu adalah bid’ah dalam segi syariat bukan bid’ah
dalam segi bahasa. Beliau juga tidak menolak hal-hal baru dalam Islam (muhdats)
selama hal tersebut dinilai baik (hasanah):

‫ انه لحسن وهو‬: ‫روي محمد بن يحيى عن مالك في املدونة انه قال عن قنوت الوتر‬
‫محدث لم يكن في زمن ابي بكر وعمر وعثمان‬

Artinya: “Muhammad bin Yahya meriwayatkan dari Malik dalam al-Mudawwanah


Sesungguhnya imam Malik mengatakan tentang qunut witir: “Bahwasanya qunut
witir itu baik dan itu adalah muhdats (perkara baru) yang tidak ada pada masa Abu
Bakar, Umar dan Utsman.“
Pendekatan kelompok turut dipelopori oleh sebagian ulama antaranya al-Khattabi
(M388H), al-Turtushi (M525H), Ibn Taymiyyah (M728H), Ibn Kathir (M774H), Ibn
Rajab (M795H), al-Jurjani (M816H), Ibn Ḥajar al-‘Asqalani (M852H), Ibn Ḥajar al-
Haythami (M974H) serta ‘Abd al-Hayy al-Hind (M1304H). Dalam pemahaman
kelompok ini, kata bid’ah hanya berputar antara makruh dan haram. Tetapi, kelompok
ini tidak langsung mencap semua yang tidak dilakukan atau tidak ada di zaman
Rasulullah SAW, sebagai bid’ah, karena bid’ah hanya untuk masalah yang
bertentangan dengan syariat Islam.

3. Imam as-Syathibi
Imam as-Syathibi menjelaskan dalam kitabnya, yaitu “al-I’tisham” tentang definisi
bid’ah, yaitu bid’ah adalah sebuah cara dalam agama yang dibuat, di mana cara
tersebut menyerupai syariah, dan dimaksudkan dari mengerjakannya adalah berlebih-
lebihan dalam beribadah kepada Allah SWT. Berdasarkan penjelasan Imam as-
Syathibi, kata al-Din atau agama adalah pembatas dari definisi bid’ah, sehingga bid'ah
hanya merujuk pada perbuatan baru dalam urusan agama. Perbuatan baru di luar
ranah agama tidak termasuk bid'ah.
Menurut Imam as-Syathibi, terdapat dua tingkatan bid’ah, yaitu Bid'ah yang
mengantarkan pelakunya kepada kekafiran (keluar dari Islam) dan Bid'ah yang tidak
sampai pada tingkat kekafiran. Beliau menyatakan sebagai berikut:

‫َّل‬ ‫اَل َش َّك َأ َّن ْل َد َع َي ُّح َأ ْن َي ُك َن ْن َه َم ُه َو ُك ْف ٌر َك َخ َأْل ْص َن ُتَق َب ُه ْم َل‬


‫ِه‬ ‫ال‬ ‫ى‬ ‫اِّت اِذ ا اِم ِل ِّر ِإ‬ ‫و ِم ا ا‬ ‫ِف ي ا ِب ِص‬
‫ْن َك ْل‬ ‫ْن َك‬ ‫ْل‬ ‫ُك ْف َك ْل َق‬ ‫َل‬ ‫ُز ْل َف‬
‫ َو ِم ْن َه ا َم ا ْي َس ِب ٍر ا ْو ِل ِب ا ِج َه ِة ِع ْنَد َج َم اَع ٍة َو ِإ اِر اِإْل ْج َم اِع َو ِإ اِر ا ِق َي اِس َو َم ا‬،‫ى‬
‫َأ ْش َب َه َذ َك‬
‫ِل‬

Artinya: "Tak diragukan bahwa bid'ah itu ada yang berupa kekafiran, seperti membuat
patung berhala (untuk disembah) dengan tujuan mendekatkan diri kepada Allah. Dan
ada juga yang tidak sampai pada level kafir, seperti berpendapat adanya arah (bagi
Allah) menurut sebagian kelompok, mengingkari konsensus ulama, mengingkari
qiyas dan sebagainya." (Asy-Syatibi, al-i'tishâm, juz II, halaman 707).
Menurut Imam asy-Syathibi, meyakini bahwa Allah berada di atas sana termasuk
keyakinan bid'ah (menyimpang) karena menetapkan arah tertentu bagi keberadaan
Dzat Allah. Namun, Imam asy-Syathibi menganggap keyakinan ini tidak sampai ke
arah kekafiran, tetapi dianggap sesat dan berdosa.
Imam as-Syathibi mengelompokkan istilah thariqah fi ad-din (cara atau hal
baru dalam agama) menjadi dua jenis, yaitu perbuatan baru dalam agama yang tidak
mempunyai landasan syar’i dan perbuatan baru dalam agama yang mempunyai dalil
ataupun landasan syar’i baik secara spesifik maupun global. Meskipun tidak ada pada
masa Rasulullah SAW, hal-hal baru dalam agama yang memiliki landasan syariat dan
berkaitan erat dengan agama, seperti ilmu nahwu dan sharf, ilmu fiqih, ushul fiqih,
dan ilmu-ilmu penunjang lainnya, maka, tidak dikategorikan sebagai bid'ah.
C. KESIMPULAN
Pemahaman yang mendalam tentang bid'ah sangat penting bagi umat Islam karena
dapat mempengaruhi praktek keagamaan sehari-hari. Dengan memahami konsep bid'ah dan
pandangan ulama, umat Islam diharapkan dapat mengambil sikap yang tepat terhadap
perubahan-perubahan baru dalam agama serta menghindari praktek-praktek yang tidak sesuai
dengan ajaran Islam. Penting untuk memahami bahwa isu bid'ah merupakan topik yang
kompleks dan memerlukan pemahaman yang mendalam serta kajian yang cermat dalam
Islam. Dari pembahasan yang telah diuraikan, terdapat beberapa poin penting yang dapat
disimpulkan :
Definisi bid'ah secara umum adalah perbuatan atau praktik baru dalam agama Islam
yang tidak memiliki dasar atau contoh langsung dari ajaran Nabi Muhammad SAW. Namun,
pembagian bid'ah menjadi bid'ah hasanah dan bid'ah dhalalah menunjukkan bahwa tidak
semua perbuatan baru adalah sesat atau buruk.
Pendapat ulama tentang bid'ah sangat bervariasi, namun ada beberapa kesepakatan dalam hal-
hal tertentu. Misalnya, beberapa ulama sepakat bahwa bid'ah hasanah adalah bid'ah yang
tidak bertentangan dengan ajaran Islam dan dapat diterima, sementara bid'ah dhalalah adalah
bid'ah yang bertentangan dengan ajaran Islam dan harus dihindari.
Terdapat contoh-contoh bid'ah seperti perayaan maulid Nabi, pemushafan Al-Qur'an,
dan shalat tarawih menunjukkan bahwa ada beberapa praktik baru yang diterima oleh
sebagian ulama karena memiliki dasar atau dalil dalam agama, sementara ada pula yang
ditolak karena bertentangan dengan prinsip-prinsip Islam.
Diatas juga sudah dijelaskan mengenai hadits-hadits yang menyebutkan tentang bid'ah
menjadi acuan dalam menentukan sikap terhadap perbuatan baru dalam agama. Hadits yang
menyatakan bahwa setiap bid'ah adalah sesat menjadi pedoman bagi umat Islam untuk
menjauhi perbuatan-perbuatan baru yang tidak memiliki dasar dalam ajaran Islam. Serta
mengenai pentingnya pemahaman terhadap bid'ah dalam konteks zaman dan tempat tertentu.
Sebagian praktik baru dapat diterima dalam suatu masyarakat atau budaya tertentu, namun
dapat dianggap sebagai bid'ah dhalalah dalam konteks yang lain.
Terakhir, untuk memperkaya pemahaman tentang bid'ah, penting bagi umat Islam
untuk terus melakukan kajian, diskusi, dan refleksi terhadap ajaran agama serta memahami
prinsip-prinsip Islam secara mendalam. Dengan demikian, umat Islam dapat mengambil sikap
yang tepat terhadap perubahan-perubahan baru dalam agama dan memperkaya kehidupan
keagamaan mereka sesuai dengan tuntunan Islam yang sejati.
Daftar Pustaka

Damanik, N. (2022). BID’AH DALAM KAJIAN HADIS. SHAHIH (Jurnal Ilmu


Kewahyuan), 5(2), 12-23.

Trinarto, M. I., & Nadhiran, H. KONSEP BID’AH MENURUT AL-HAFIZH IBNU HAJAR
Al-‘ASQALANI.

SOSIOLOGI TAFSIR: Kritik Fenomena Bid’ah dalam Tafsir Tamshiyyah Al-Muslimīn


Karya KH. Ahmad Sanusi. (2020). (n.p.): Publica Institute Jakarta.

MEMAHAMI MAKNA BID'AH SECARA KOMPREHENSIF. (2018). (n.p.): Abou Fateh.

Zainuddin, R. (2021). MEMBEDAH KONSEP BID’AH. Jurnal Al-Mubarak: Jurnal Kajian


Al-Qur'an dan Tafsir, 6(1), 66-92.

Kultum Romadhon. (2022). (n.p.): Rasibook.

Bid'ah dalam Agama: Hakikat, Sebab, Klasifikasi, dan Pengaruhnya. (2020). (n.p.): Gema
Insani.

Jaafar, S. M. J. S., Man, S., & Dingdorrormaeng, A. PERSPEKTIF ULAMA DALAM


MEMAHAMI KONSEP BID ‘AH: SUATU TINJAUAN.

Araby, M. (2016). Menelisik Konsep Bid’ah Dalam Perspektif Hadis. Jurnal Ilmiah Ilmu
Ushuluddin, 15(1), 63-72.

Drs. M.Agus Sholahudin dan M.Ag.; Agus Suryadi, Lc.M.Ag. (2022). Ulumul Hadis.
Bandung: CV Pustaka Setia hal 89-92

Triwahyuni, F., Niken, N., Asvania, S., & Utami, T. (2023). BID’AH DALAM
KEHIDUPAN BERKELUARGA MENURUT KITAB AL HABIB USMAN BIN
ABDULLAH BIN ‘AQIL BIN YAHYA. JURNAL DIALOKA: Jurnal Ilmiah Mahasiswa
Dakwah dan Komunikasi Islam, 2(1), 30-47.

Anda mungkin juga menyukai