3
B. Sketsa Sejarah
Ahlusunnah wal Jama’ah dapat ditinjau dari dua perspektif, pertama
doktrinal (ajaran) dan kedua adalah historis (sejarah). Dalam
perspektif doktrinal, Ahlusunnah wal Jama’ah adalah sekelompok
orang yang mengikuti ajaran Nabi dan Sahabatnya. Sebagaimana
dalam hadits dinyatakan:
ي المعد ّل
ّ س ّمذ
ّ أخبرنا أبو محمد عبد الله بن محمد بن علي بن زياد ال
قال أخبرنا أحمد بن حسن بن عبد الجبار قال حدثنا الهيثم بن،الثّقة
خارجة قال حدثنا إسماعيل بن عياش عن عبد الرحمن بن زياد بن
قال رسول:أنعم عن عبد الله بن يزيد عن عبد الله بن عمرو قال
الله صلى الله عليه وسلم ليأتيّن على أمتي ما أتى على بني
وستفترق، تفرق بنو إسرائيل على إثنتين وسبعين ملّة،إسرائيل
كلهم في النار إال ملّة،أمتي على ثالث وسبعين ملّة تزيد عليهم ملّة
يا رسول الله وما الملة التي تتغلّب ؟ قال ما أنا عليه: قالوا،واحدة
1وأصحابي
1
Abdul Qohir bin Tohir bin Muhammad Al-Bagdadi, Al-Farqu Bainal Firoq,
Bairut: Darul Kutub Ilmiyyah, 2009, hlm. 5-6
4
yang dikaitkan dengan lahirnya kosep Aqidah Aswaja yang
dirumuskan kembali (direkonstuksi) oleh Imam Abu Hasan Al-
Asy'ari (Wafat : 935 M) dan Imam Abu Manshur Al-Maturidi
(Wafat : 944 M) pada saat munculnya berbagai golongan, yang
pemahamannya dibidang aqidah sudah tidak mengikuti Manhaj atau
thariqoh yang dilakukan oleh para sahabat, dan bahkan banyak
dipengaruhi oleh kepentingan-kepentingan politik dan kekuasaan.
2
Ibnu Hisyam Al-Anshori, Sirroh Nabawiyyah, Beirut: Darul Kitab Al-Arobi,
1990, cet 3, Juz 2, hlm. 143
3
Syaikh Mu’min bin Hasan bin Mu’min Asy-syiblinji, Nurul Abshor fii Manaqibi
aali baitin Nabiyyil Athar, Bairut: Darul Kutub Ilmiyyah, 2011, hlm. 78
5
tetapi akan diangkat oleh Allah ke langit sebagaimana Nabi Isa bin
Maryam. Maka sayyidina Umar berujar barang siapa yang
mengatakan Nabi telah wafat maka aku penggal kepalanya”. Maka
datanglah Abu Bakar untuk menyadarkan umat islam bahwa Nabi
SAW telah meninggal dengan mengutif Al-Qur‟an surat Az-Zumar
ayat 30:
Polemik umat tidak sampai disitu saja, ada sebagian umat islam yang
murtad dengan menyatakan bahwa ketika Nabi meninggal, maka
risalahnya (ajarannya) pun sudah selesai. Tapi polemik ini masih bisa
diatasi dengan kegigihan sahabat senior untuk meyakinkan mereka.
6
ّ
أن األنبياء يدفنون حيث يقبضون
sesungguhnya para Nabi di makamkan di tempat meninggalnya
4
Abdul Qohir bin Tohir bin Muhammad Al-Bagdadi, Al-Farqu Bainal Firoq, hlm.
12
7
Pase Ketiga. Fase ini merupakan puncak dari konflik sesama umat
Islam yakni peperangan antara Ali bin Abi Thalib dan Muawiyah
bin Abu Sufyan yang dikenal dengan nama Perang Siffin. Dalam
perang ini pasukan Ali hampir menang, tapi dengan taktik muslihat
Amru bin Ash (gubernur Mesir waktu itu dan sebagai pendukung
kelompok Muawiyyah) yang mengintruksikan seluruh pasukan
Muawiyyah untuk mengangkat mushaf Al-Qur‟an yang ditusuk
dengan tombak mereka, perlakuan ini sebagai tanda bahwa
kelompok Muawiyyah menginginkan berhenti berperang,. Melihat
keadaan pasukan Muawiyyah yang ingin berdamai, maka pasukan
Ali berbeda pendapat, ada yang berpendapat “kita harus
meneruskan peperangan karena selangkah lagi kita memenagkan
peperangan”, namun di pihak lain pengikut Ali ada yang
mengatakan “kita harus terima tawaran damai. Hingga akhirnya
khalifah Ali r.a, menyetujui arbitrase (tahkim) dan akhirnya
dikelabui oleh kubu Mu’awiyah. Dari sini umat Islam makin
terpecah kedalam berbagai golongan. 5
Efek dari Tahkim adalah umat terpecah menjadi tiga golongan yaitu
satu Jumhur (yang mengakui hasil Tahkim dan mengakui
Muawiyah sebagai Khalifah), dua syiah (yaitu pengikut setia Ali bin
Abu Thalib) dan ketiga Khawarij (orang yang keluar dari kelompok
Ali kemudian mengkufurkan kelompok Ali dan Muawiyah). Dengan
adanya tiga kelompok ini maka pemerintahan Muawiyah menjadi
tidak stabil karena kekuasaannya dirongrong oleh kaum Khawarij
dan kaum syiah maka dalam rangka stabilisasi keadaan Muawiyah
melontarkan tesis tentang Qodar yang berbunyi Lau lam yaroni
rabbi anni ahlun li hadza amri ma tarokani wa iyyah, wa lau
karihallah ma nahnu fihi laghayyarah (“seandainya Tuhanku tidak
melihat diriku mampu untuk memegang tampuk pemerintahan ini,
tentu ia tidak akan membiarkanku memegang tampuk kekuasaan ini.
Seandainya ia tidak menyukainya, tentu ia akan mengubahnya”),
5
Syaikh Mu’min bin Hasan bin Mu’min Asy-syiblinji, Nurul Abshor fii Manaqibi
aali baitin Nabiyyil Athar, hlm. 151-153
8
dengan pernyataan politik diatas pergolakan sedikit demi sedikit
bisa diredam. Kata Kyai Said, dengan pernyataandi atas mungkin
Muawiyah berfikiran seperti ini: kalau Allah tidak ridha kepadaku,
tidak mungkin aku akan menjadi khalifah. Kalau Allah benci
kepadaku sebagai khalifah, niscaya Allah akan menggantiku dengan
orang lain. Nyatanya saya berkuasa dan Ali kalah. Ini semua sudah
merupakan ridha Allah. Dengan kata lain, karena hingga sekarang
ini Muawiyyah masih berkuasa, berarti Tuhan masih merestui dan
meridhai dirinya untuk tetap berkuasa! Tentu saja, doktrin seperti ini
sangat efektif untuk meredam suasana tegang di kalangan umat
islam. Mereka yakin bahwa semuanya sudah menjadi takdir dan
ketentuan Allah SWT.
9
Kaum Khawarij sebagaimana diatas mereka mengkufurkan Ali dan
Muawiyah beserta orang yang melakukan dosa besar, kata mereka
orang yang melakukan dosa besar akan masuk neraka karena mereka
melakukan tahkim, dan tahkim ini menghukumi sesuatu dengan
hukum manusia. Kemudian faham Khowarij ini dibantah oleh suatu
gologan yang menamakan diri Murjiah. Kemudian dalam masing-
masing golongan (sekte/aliran) di atas terjadi pertentangan dan silang
pendapat di internal mereka hingga akhirnya mereka mengkafirkan
satu sama lainnya, maka jadilah kurang-lebih 72 golongan.
Fase keempat. Ketika masa Abu Hasan al-Asy’ari (w. 324 H) dan
Abu Mansur al-Ma’turidi (w. 333 H). Al-Asy’ari inilah yang
mempopulerkan nama Ahlusunnah wal Jama’ah. Beliau hidup pada
zaman Al-Mutawakil Alawloh (khalifah Abasiyah ke 10) yang
diposisikan sebagai anti tesis dari dominasi Rasionalisme
Muktazilah, karena pada zaman Dinasti Abasiyah khusunya masa
pemerintahan Harun, al Ma’mun, Mu’tasim sampai Watsik,
muktazilah menjadi madzhab Negara dan mereka memaksakan
pemikirannya kepada khalayah yang puncaknya ditandai dengan
Mihnah yang menimpa para ulama, tapi pada zaman al-Mutawakil
keadaan berbalik dan Aswaja yang mendapat sokongan dari
pemerintah, oleh karena itu, aliran yang paling berkembang didunia
adalah Ahlusunnah Wal Jamaah (dengan berbagai versinya).
Selanjutnya diteruskan oleh Imam Abu Mansur al-Ma’turidi (w.
333 H).
6
Said Agil Siradj, Tasawuf Sebagai Kritik Sosial; Mengedepankan Islam sebagai
Inspirasi bukan Aspirasi, Bandung: Mizan, 2006, hlm. 417
7
إذا أطلق أهل السنة والجماعة فالمراد
; به األشاعرة والماتريديةlihat Sayyid Muhammad bin
Muhammad Al-Husaini Az-Zabidi Asy’syahir bil Murtadho, Ittihafu saadatil
muttaqin bisyarhi asrori ihya ulumiddin, Bairut: Muassasah Tarikh Arobi, 1994,
11
Indonesia merupakan salah satu penduduk dengan jumlah penganut
paham Ahl as-Sunnah wa al- Jama’ah terbesar di dunia. Mayoritas
pemeluk Islam di kepulauan ini adalah penganut Madzhab Syafi’i,
dan sebagian terbesarnya tergabung -baik tergabung secara sadar
maupun tidak- dalam jam’iyah Nahdlatul Ulama yang sejak awal
berdiri menegaskan sebagai pengamal Islam ala Ahli Sunnah wal
Jama’ah.
Jika kita telaan perjalanan panjang sejarah umat Islam. Maka kita
akan menemukan bahwa pada mulanya umat ini merupakan umat
yang satu, kemudian berpecah menjadi beberapa firqoh (sekte/aliran)
contohnya (Ahlusunnah wal Jama’ah, Syiah, Khowarij dll), lalu dari
masing-masing firqoh ini memiliki madzhab. Dari setiap madzhab ini
tentunya memiliki Qoul (produk pemikiran) dan Manhaj (metode
berfikir). Baik dalam bidang Aqidah (tauhid), fiqih dan tasawuf. Dari
setiap Qoul dan Manhaj itu, ada yang mujm alaih (disepakati), ada
pula yang mukhtalaf fiih (diperdebatkan).
LIHAT BAGAN
juz 2, hlm. 6
12
C. Pengetian ASWAJA
8
Sayyid Muhammad Aqil bin Ali Al-Mahdali, Ahlusunnah wal Jama’ah
Madkholan wa dirosatan, Kairo: Darul Hadits, tt, hlm.
9
Syaikh Abdul Qodir Al-Jailani, Al-Gunyah Lithalibi Thariqil Haq, Bairut: Darul
Kutub Ilmiyyah, 1997, Juz 1, hlm. 165
13
Jadi Ahlusunnah wal Jama’ah berarti segolongan orang yang
mengikuti jalan Nabi, para sahabat dan tabi’in.
Nahdlatul Ulama merupakan ormas Islam pertama di Indonesia yang
menegaskan diri berpaham Aswaja. Dalam Muqodimah Qonun Asasi
(konstitusi dasar) yang dirumuskan oleh Hadratussyaikh KH. Hasyim
Asy’ari juga tidak disebutkan definisi Aswaja (Ta’rif had), namun
tertulis di dalam qonun tersebut bahwa Aswaja merupakan sebuah
paham keagamaan di mana dalam bidang Akidah menganut pendapat
Abu Hasan al- Asy’ari dan al-Ma’turidi, dalam bidang fiqih
menganut pendapat dari salah satu madzhab empat (Madzahibul
Arba’ah -Imam Hanafi, Maliki, Syafi’i dan Hambali), dan dalam
bidang tasawuf –akhlak menganut Imam Junaedi Al-Bagdadi dan
Imam Abu Hamid Al-Gozali.
15
diatas dasar Moderat, berimbang, Toleran dan Proporsional).10
Dalam definisi di atas, KH. Said Agil Siradj sebagaimana difahami
oleh PMII menjadikan Aswaja sebagai metode berfikir keagamaan
yang dibangun di atas dasar tawasuth, tawazun, tasamuh dan I-tidal.
Dari definisi ini KH. Said Agil Siradj tidak merumuskan metode
berfikir (Manhajul Fikr) nya, maka dari itu tugas selanjutnya adalah
rumusan Manhajul Fikr li ahli sunnah wal Jama’ah.
10
Said Agil Siradj, Tasawuf Sebagai Kritik Sosial, hlm. 410-413
11
PC PMII Kab. Sukabumi, Manhajul Fikr Li Ahli Sunnah wal Jama’ah, hlm. 85
16
F. Rumusan Manhajul Fikr li Ahli Sunnah wal Jama’ah
12
Penyebutan istilah media Allah untuk menampakan dirinya bukan berarti bahwa
Allah butuh terhadap media, tetapi ini semata-mata dimaksudkan bahwa manusia
membutuhkan media untuk bisa mengenal tuhannya. Jadi media tersebut bukan lah
media Allah, tetapi media buat manusia. Wallahu a’lam bimurodih
17
Allah, Al-Kitab, Manusia dan Alam itu membutuhkan seperangkat
keilmuan. Salah satu dari interaksi itu menyebabkan proses studi atau
proses berpikir
Dalam ayat ini tidak terdapat maf’ul bih (objek yang dibaca) padahal
jika ma’ul bih nya di tampilkan maka Iqro al-Ayat (bacalah ayat-
ayat). Ayat-ayat Allah sebagaimana yang diungkapkan di atas ini
dalam ilmu penelitian disebut dengan data atau dalil untuk di input.
13
Untuk lebih jelas mengenai makna fa-a-da lihat kamus; Ibnu Mandzur, Lisanul
Arob, Kairo: Darul Ma’arif, tt, Juz 5, hlm. 3333
19
Setelah proses taqlim, kemudian dilanjutkan dengan proses يعقل
(yang secara bahasa berarti mengaitkan hal yang satu dengan yang
lainnya). Dalam metode penelitian, setelah identifikasi masalah,
kemudian dilanjutkan dengan merelasikannya dengan yang lain.
Setelah itu baru di ( يعلمmemberi nama). setiap proses penelitian yang
sudah selesai baru dinamai, itulah yang disebut dengan teori atau
ilmu.
Selain itu, Ahlusunnah wal Jama’ah juga meyakini bahwa Allah akan
memberikan ilmu kepada orang yang dikehendakinya. Ilmu tersebut
jika diberikan kepada Nabi disebut Wahyu, dan jika diberikan kepada
orang lain bisa disebut dengan Ilham, atau Ilmu Ladunni, atau Ilmul
20
Mauhibah (Ilmu pemberian). Bahkan Imam Ghazali menyatakan
bahwa jalan mencari ilmu adalah cahaya yang diberikan Allah
kepada hati siapa saja yang dikehendakinya. Can cahaya itu
merupakan kunci segenap pengetahuan.14 Ilmu yang dihasilkan juga
bisa memberikan feedback atau masukan terhadap As-Sam’a dan Al-
Abshor juga kepada Al-Af’idah.
14
Badawi Bathonah, Muqoddimah fii Tasawwuf Al-Islami wa dirosah tahliliyyah
lisyahshiyyatil Ghazaly wa falsafatihi fil Ihya ; dalam Ihya Ulumuddin Juz 1,
Indonesia: Daru Ihyail Kutub Al-Arobiyah, tt, hlm16
21
84. Katakanlah: "Tiap-tiap orang berbuat menurut syakilahnya
1. demi masa.
2. Sesungguhnya manusia itu benar-benar dalam kerugian,
3. kecuali orang-orang yang beriman dan mengerjakan amal saleh
dan nasehat menasehati supaya mentaati kebenaran dan nasehat
menasehati supaya menetapi kesabaran.
22
Berkata dari Ibnu Abi Hatim. Diriwayatkan dari Ikrimah, Qotadah
dan lain-lain: bahwa ayat Muhkam adalah ayat yang di amalkan
sedangkan Mutasyabih adalah ayat yang di imani bukan yang di
amalkan.
Untuk lebih jelas mengenai skema manhajul fikr li ahli sunnah wal
jama’ah perhatikan bagan berikut ini:
23
Gambar 3
Pola Pikir Pengembangan Studi Islam Versi Aswaja
24
Selanjutnya, dalam rangka berfikir di kalangan Ahlusunnah wal
Jama’ah, tidak boleh terlepas dari norma-norma berfikir. Yang mana
norma berfikir tersebut menjadi koridor Ahlusunnah wal Jama’ah.
25
G. Prinsip-prinsip Ahlusunnah wal Jama’ah
Berikut ini adalah prinsip-prinsip Aswaja dalam kehidupan sehari-
hari. Prinsip-prinsip tersebut meliputi bidang keilmuan, aqidah,
pengambilan hukum, tasawuf/akhlak dan bidang sosial-politik.
1. Bidang Keilmuan
Pada dasarnya sumber ilmu pengetahuan itu adalah ayat qouliyah
dan ayat kauniyah. Dalam bidang keilmuan yang menjadi
epistemologi ilmu dalam Aswaja sandarannya adalah Al-Qur’an
surat An-Nahl ayat 78 dan Al-Qur’an surat al-isra ayat 36, dari ayat-
ayat tersebut diperoleh kesimpulan bahwa manusia itu memiliki dua
potensi. Pertama, potensi alat pencari data/dalil, yaitu al-Sam’a dan
al-Abshor. Kedua, potensi alat pengolah data/dalil yaitu al-Afidah.
Dengan dua potensi yang dimiliki itu, memungkinkan manusia
untuk melakukan penggalian ilmu secara lebih mendalam. Prinsip
Aswaja dalam bidang keilmuan ini sangat penting dan harus lebih
dahulu dari prinsip lainnya, sebagaimana ijma’ (konsensus) ulama
Aswaja karangan al-Baghdadi, terlebih di Aswaja ada doktrin
tentang iman, dimana iman itu ada iman ‘ala ilmin (Imam atas dasar
ilmu) dan iman ‘ala taqlidin (Iman atas dasar taqlid). Sebab
keilmuan ini akan menopang seluruh aspek terutama berkaitan
dengan kualitas hidup dan kehidupan, sebagaimana dalam Al-
Qur’an surat Al-Mujadilah ayat 11:
26
2. Bidang Aqidah
Dalam bidang aqidah, pilar-pilar yang menjadi penyangga aqidah
Ahlussunnah wal Jama’ah diantaranya yang pertama adalah aqidah
‘uluhiyyah (ketuhanan), berkaitan dengan ihwal eksistensi Allah
SWT.
15
Kaidah ini tertuang dalam; Abdurrahman Jalaluddin As-Suyuthi, Al-Asybah wan
Nadhoir fil furu’, Indonesia: Al-Haramain, tt, hlm. 83
16
Ibid, hlm. 83
28
Oleh sebab itu Islam juga menganjurkan pembatasan terhadap
kekuasaan pemerintah. Al-Imam Abu Yusuf, misalnya menulis
dalam Al-Kharaj:
17
Muhammad Al-Abbas, Al-Fatawi Al-Mahdiyyah fil waqo’i Al-Mishriyyah,
Bairut: DKI, tt, Juz 3, Hlm. 405
29
36. Maka sesuatu yang diberikan kepadamu, itu adalah kenikmatan
hidup di dunia; dan yang ada pada sisi Allah lebih baik dan lebih
kekal bagi orang-orang yang beriman, dan hanya kepada Tuhan
mereka, mereka bertawakkal.
37. dan (bagi) orang-orang yang menjauhi dosa-dosa besar dan
perbuatan- perbuatan keji, dan apabila mereka marah mereka
memberi maaf.
38. dan (bagi) orang-orang yang menerima (mematuhi) seruan
Tuhannya dan mendirikan shalat, sedang urusan mereka
(diputuskan) dengan musyawarat antara mereka; dan mereka
menafkahkan sebagian dari rezki yang Kami berikan kepada
mereka.
39. dan ( bagi) orang-orang yang apabila mereka diperlakukan
dengan zalim mereka membela diri.
32
152. dan janganlah kamu dekati harta anak yatim, kecuali dengan
cara yang lebih bermanfaat, hingga sampai ia dewasa. dan
sempurnakanlah takaran dan timbangan dengan adil. Kami tidak
memikulkan beban kepada sesorang melainkan sekedar
kesanggupannya. dan apabila kamu berkata, Maka hendaklah kamu
Berlaku adil, Kendatipun ia adalah kerabat(mu)[, dan penuhilah
janji Allah. yang demikian itu diperintahkan Allah kepadamu agar
kamu ingat.
34
d. Prinsip al-Musawah (kesetaraan derajat)
Bahwa manusia diciptakan sama oleh Allah SWT. Antara satu
manusia dengan mausia lain, bangsa dengan bangsa yang lain tidak
ada pembeda yang menjadikan satu manusia atau bangsa lebih
tinggi dari yang lain. Manusia diciptakan berbeda-beda adalah untuk
mengenal antara satu dengan yang lain. Sehingga tidak dibenarkan
satu manusia dan sebuah bangsa menindas manusia dan bangsa yang
lain. Dalam surat Al-Hujurat ayat 13 disebutkan:
35
48. dan Kami telah turunkan kepadamu Al Quran dengan membawa kebenaran,
membenarkan apa yang sebelumnya, Yaitu Kitab-Kitab (yang diturunkan
sebelumnya) dan batu ujian terhadap Kitab-Kitab yang lain itu; Maka
putuskanlah perkara mereka menurut apa yang Allah turunkan dan janganlah
kamu mengikuti hawa nafsu mereka dengan meninggalkan kebenaran yang telah
datang kepadamu. untuk tiap-tiap umat diantara kamu, Kami berikan aturan dan
jalan yang terang. Sekiranya Allah menghendaki, niscaya kamu dijadikan-Nya
satu umat (saja), tetapi Allah hendak menguji kamu terhadap pemberian-Nya
kepadamu, Maka berlomba-lombalah berbuat kebajikan. hanya kepada Allah-lah
kembali kamu semuanya, lalu diberitahukan-Nya kepadamu apa yang telah kamu
perselisihkan itu.
Dalam sebuah negara kedudukan warga negara adalah sama. Semua
warga negara memiliki kewajiban dan hak yang sama, dan haruslah
mendapat perlakuan yang sama pula. Sistem kasta atau pemihakan
terhadap golongan, ras, jenis kelamin atau pemeluk agama tetlentu
tidaklah dibenarkan. Orang-orang yang menjabat di tubuh
pemerintahan memiliki kewajiban yang sama sebagai warga negara.
Mereka memiliki jabatan semata-mata adalah untuk mengayomi,
melayani dan menjamin kemashlahatan bersama, dan tidak ada
privilege (keistimewaan) khususnya di mata hukum. Negara justru
harus mampu mewujudkan kesetaraan derajat antar manusia di
dalam wilayahnya, yang biasanya terlanggar oleh perbedaan status
sosial, kelas ekonomi dan jabatan politik.
36
Harus kita akui, bahwa istilah “demokrasi” tidak perah dijumpai
dalam bahasa Al-Qur’an maupun wacana hukum Islam klasik.
Istilah tersebut diadopsi dari para negarawan di Eropa. Namun,
harus diakui bahwa nilai-nilai yang terkandung di dalamnya banyak
menyerupai prinsip-prinsip yang harus ditegakkan dalam berbangsa
dan bernegara menurut Aswaja.
37
Prinsip kesetaraan harus menjadi landasan bergerak, karena pada
dasarnya manusia memiliki kedudukan yang sama dihadapan Tuhan
kecuali masalah kualitas ketaqwaannya. (QS. Al- Hujuraat, 49:13).
Oleh karena itu kesetaraan yang harus jadi acuan gerak agar semua
masyarakat mendapat perlakuan yang sama/ setara. Sebab semua
warga memiliki hak dan kewajiban yang sama pula. Kesetaraan ini
harus mewujud dalam bentuk setiap warga mendapatkan
penghidupan dan pekerjaan yang layak dari Negara, kesetaraan
dalam bidang pendidikan, kesetaraan dimuka hukum dan kesetaraan
diwilayah gender serta kesetaraan dalam mendapatkan hak-hak
politik. Sehingga tidak benar adanya penindasan yang dilakukan
oleh satu manusia atau sebuah bangsa terhadap manusia dan bangsa
lainnya. Dan jangan sampai ada diskriminasi dalam bentuk apapun.
4. Bidang Istinbath Hukum
38
nya, keempat. Jika terdapat persoalan yang jawabannya
tidak ditemukan di Al-Qur’an maupun Sunnah, maka
manusia diwajibkan untuk melakukan ijtihad. 18 Kemudian
ijtihad ini termanifestasikan dalam bentuk Ijma’ dan Qiyas.
18
Muhammad bin Idris As-Syafi’i, Arrisalah, Mesir: Mustofa babil Halabi, 1938
hlm.21
19
Ibid, hlm. 39
20
Sayyid Alawi bin Abdullah As-Segaf, Sab’atu kutubin Mufidah, Surabaya: Al-
Hidayah, tt, hlm. 12
39
Sistem Pengambilan Hukum
A. Ketentuan Umum
1. Yang dimaksud dengan kitab adalah al-kutubul-mu’tabarah,
yaitu kitab-kitab tentang ajaran Islam yang sesuai dengan
aqidah Ahlussunah Wal Jamaah ( rumusan Muktamar NU ke
XXVII).
2. Yang dimaksud dengan bermazhab secara qauli adalah
mengikuti pendapat-pendapat yang sudah “jadi” dalam
lingkup mazhab tertentu.
3. Yang dimaksud dengan bermazhab secara manhaji adalah
bermazhab dengan mengikuti jalan pikiran dan kaidah
penetapan hukum yang telah disusun oleh imam mazhab.
4. Yang dimaksud dengan istinbath adalah mengeluarkan
hukum syara’ dari dalilnya dengan qawa’id ushuliyyah dan
qawa’id fiqhiyyah.
5. Yang dimaksud dengan qauli adalah pendapat imam mazhab.
6. Yang dimaksud dengan wajah adalah pendapat ulama
mazhab.
7. Yang dimaksud dengan taqrir jama’i adalah upaya secara
kolektif untuk menetapkan pilihan terhadap satu di antara
beberapa qaul/wajah.
8. Yang dimaksud dengan ilhaq (ilhaqul-masail bi nazha’iriha)
adalah menyamakan hukum suatu kasus/masalah yang belum
dijawab oleh kitab dengan kasus/masalah serupa yang telah
dijawab oleh kitab (menyamakan dengan pendapat yang
sudah “jadi”)
I. Prosedur Penjawaban Masalah
Keputusan bahtsul masail di lingkungan NU dibuat dalam
kerangka bermazhab kepada salah satu mazhab empat yang
40
disepakati dan mengutamakan bermazhab secara qauli. Oleh
karena itu, prosedur penjawaban masalah disusun dalam
urusan sebagai berikut :
1. Dalam kasus ketika jawaban bisa dicukupi oleh ibarat
kitab dan di sana terdapat hanya satu qaul/wajah.
2. Dalam kasus ketika jawaban bisa di cukupi oleh ibarat
kitab dan di sana terdapat lebih dari satu qaul/wajah,
maka dilakukan taqrir jama’I untuk memilih satu
qaul/wajah.
3. Dalam kasus tidak ada satu qaul/wajah, sama sekali yang
memberikan penyelesaian, maka dilakukan prosedur
ilhaqul-masail bi nazha’iriha secara jama’i oleh para
ahlinya.
4. Dalam kasus tidak ada satu qaul/wajah sama sekali dan
tidak mungkin dilakukan ilhaq, maka bisa dilakukan
istinbath jama’i dengan prosedur bermazhab secara
manhaji oleh para ahlinya.
41
2. Analisa Dampak (dampak positif dan negatif yang
ditimbulkan oleh suatu kasus yang hendak dicari
hukumnya ditinjau dari berbagai aspek), anara lain :
a. Secara sosial ekonomi
b. Secara sosial budaya
c. Secara sosial politik
d. Dan lain – lain
3. Analisa Hukum (fatwa tentang suatu kasus setelah
mempertimbangkan latar belakang dan dampaknya di
segala bidang). Di samping putusan fiqh/yuridis formal,
keptusan ini juga memperhatikan pertimbangan Islam dan
hukum positif.
a. Status Hukum (al-ahkam al-khamsah/ Sah – batal)
b. Dasar dari ajaran Ahlussunnah wal Jamaah.
c. Hukum positif.
4. Analisi Tindakan, Peran dan Pengawasan (apa yang harus
dilakukan sebagai konsekuensi dari fatwa di atas).
Kemudian siapa saja yang akan melakukan, bagaimana,
kapan, dan di mana hal itu hendak dilakukan, serta
bagaimana mekanisme pemantauan agar semua berjalan
sesuai dengan rencana.
a. Jalur politik (berusaha pada jalur kewenangan negara
dengan sasaran mempengaruhi kebijakan pemerintah).
b. Jalur budaya (berusaha membangkitkan pengetahuan
dan kesadaran masyarakat melalui berbagai media
massa dan forum seperti pengajian dan lain-lain).
c. Jalur ekonomi (meningkatkan kesejahteraan
masyarakat)
d. Jalur sosial lainnya (upaya meningkatkan kesejatan
masyarakat, lingkungan dan seterusnya.
42
B. Petunjuk Pelaksanaan
I. Prosedur Pemilihan Qaul/Wajah
1. Ketika dijumpai beberapa qaul/wajah dalam satu masalah
yang sama, maka dilakukan usaha memilih salah satu
pendapat.
2. Pemilihan salah satu pendapat dilakukan :
a. Dengan mengambil pendapat yang lebih maslahat
dan/atau yang lebih kuat
b. Sedapat mungkin dengan melakukan ketentuan
Muktamar NU ke I bahwa perbedaan pendapat
diselesaikan dengan memilih:
1. Pendapat yang disepakati oleh Asy-Syaikhani (al-
Nawawi dan Raf’i)
2. Pendapat yang dipegangi oleh al-Nawawi saja
3. Pendapat yang dipegangi oleh al-Rafi’I saja
4. Pendapat yang didukung oleh mayoritas ulama
5. Pendapat ulama yang terpandai
6. Pendapat ulama yang paling wara’.
II. Prosedur Ilhaq
Dalam hal ketika suatu masalah/kasus belum dipecahkan dalam
kitab, maka masalah/kasus tersebut diselesaikan dengan prosedur
ilhaqul-masail bi nazha’iriha secara jama’i. Ilhaq dilakukan
dengan memperhatikan mulhaq bih, mulhaq ilaih dan wajhul
ilhaq oleh para mulhiq yang ahli.
Banyak contoh sufi atau ahli sufi yang telah zuhud namun juga
sukses dalam ukuran duniawi. Kita lihat saja Imam al-Junaidi adalah
pengusaha botol yang sukses, al-Hallaj sukses sebagai pengusaha
tenun, Umar ibn Abd Aziz adalah sufi yang sukses sebagai
pemimpin Negara, Abu Sa’id al-Kharraj sukses sebagai pengusaha
konveksi, Abu Musa al-Syadzily sukses sebagai petani dan
Fariduddin al- Atthar sukses sebagai pengusaha parfum. Mereka
adalah sufi yang maqomnya tidak lagi terikat dengan urusan
duniawi tanpa meninggalkan urusan duniawi.
45
H. Penutup
46
POLA KEHIDUPAN ISLAMI
(Kerangka Pemahaman Integral tentang Islam dan Kehidupan)
47