Anda di halaman 1dari 33

Islam dan Pluralitas(isme) Agama

Oleh Abd Moqsith Ghazali


Ini tidak berarti bahwa semua agama adalah sama. Sebab, di samping memang mengandung kesamaan tujuan untuk menyembah Allah dan berbuat baik, tak bisa dipungkiri bahwa setiap agama memiliki keunikan, kekhasan, dan syari`atnya sendiri. Sebagian mufasir berkata, al-dn whid wa al-syar`at mukhtalifat [agama itu satu, sementara syari`atnya berbeda-beda]. Detaildetail syari`at ini yang membedakan satu agama dengan agama lain. Pengertian Dasar Kata pluralisme berasal dari bahasa Inggris, pluralism. Kata ini diduga berasal dari bahasa Latin, plures, yang berarti beberapa dengan implikasi perbedaan. Dari asal-usul kata ini diketahui bahwa pluralisme agama tidak menghendaki keseragaman bentuk agama. Sebab, ketika keseragaman sudah terjadi, maka tidak ada lagi pluralitas agama (religious plurality). Keseragaman itu sesuatu yang mustahil. Allah menjelaskan bahwa sekiranya Tuhanmu berkehendak niscaya kalian akan dijadikan dalam satu umat. Pluralisme agama tidak identik dengan model beragama secara eklektik, yaitu mengambil bagian-bagian tertentu dalam suatu agama dan membuang sebagiannya untuk kemudian mengambil bagian yang lain dalam agama lain dan membuang bagian yang tak relevan dari agama yang lain itu. Pluralisme agama tidak hendak menyatakan bahwa semua agama adalah sama. Frans Magnis-Suseno berpendapat bahwa menghormati agama orang lain tidak ada hubungannya dengan ucapan bahwa semua agama adalah sama. Agama-agama jelas berbeda-beda satu sama lain. Perbedaan-perbedaan syari`at yang menyertai agama-agama menunjukkan bahwa agama tidaklah sama. Setiap agama memiliki konteks partikularitasnya sendiri sehingga tak mungkin semua agama menjadi sebangun dan sama persis. Yang dikehendaki dari gagasan pluralisme agama adalah adanya pengakuan secara aktif terhadap agama lain. Agama lain ada sebagaimana keberadaan agama yang dipeluk diri yang bersangkutan. Setiap agama punya hak hidup. Nurcholish Madjid menegaskan, pluralisme tidak saja mengisyaratkan adanya sikap bersedia mengakui hak kelompok agama lain untuk ada, melainkan juga mengandung makna kesediaan berlaku adil kepada kelompok lain itu atas dasar perdamaian dan saling menghormati. Allah berfirman, Allah tidak melarang kamu untuk berbuat baik dan berlaku adil terhadap orang-orang yang tidak memerangi dalam urusan agama dan tidak pula mengusir kamu dari negerimu. Sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang berlaku adil. QS, al-Mumtahanah [60]: ayat 8 Paparan di atas menyampaikan pada suatu pengertian sederhana bahwa pluralisme agama adalah suatu sistem nilai yang memandang keberagaman atau kemajemukan agama secara positif sekaligus optimis

dengan menerimanya sebagai kenyataan (sunnatullh) dan berupaya untuk berbuat sebaik mungkin berdasarkan kenyataan itu. Dikatakan secara positif, agar umat beragama tidak memandang pluralitas agama sebagai kemungkaran yang harus dibasmi. Dinyatakan secara optimis, karena kemajemukan agama itu sesungguhnya sebuah potensi agar setiap umat terus berlomba menciptakan kebaikan di bumi.

Sikap terhadap non-Muslim Pluralitas agama dan umat beragama adalah kenyataan. Sebelum Islam datang, di tanah Arab sudah muncul berbagai jenis agama, seperti Yahudi, Nashrani, Majusi, Zoroaster dan Shabiah. Suku-suku Yahudi sudah lama terbentuk di wilayah pertanian Yatsrib (kelak disebut sebagai Madinah), Khaibar, dan Fadak. Di wilayah Arab ada beberapa komunitas Yahudi yang terpencar-pencar dan beberapa orang sekurangkurangnya disebut Kristen. Pada abad ke empat sudah berdiri Gereja Suriah. Karena itu tak salah jika dinyatakan, Islam lahir dalam konteks agama-agama terutama agama Yahudi dan Nashrani. Al-Quran memiliki pandangan sendiri dalam menyikapi pluralitas umat beragama tersebut.Terhadap Ahli Kitab (meliputi Yahudi, Nashrani, Majusi, dan Shabiah), umat Islam diperintahkan untuk mencari titik temu (kalimat sawa`). Kalau terjadi perselisihan antara umat Islam dan umat agama lain, umat Islam dianjurkan untuk berdialog (wa jdilhum billat hiya ahsan). Terhadap siapa saja yang beriman kepada Allah, meyakini Hari Akhir, dan melakukan amal kebajikan, al-Qur`an menegaskan bahwa mereka, baik beragama Islam maupun bukan, kelak di akhirat akan diberi pahala. Tak ada keraguan bahwa orang-orang seperti ini akan mendapatlan kebahagiaan ukhrawi. Ini karena, sebagaimana dikemukakan Muhammad Rasyid Ridla, keberuntungan di akhirat tak terkait dengan jenis agama yang dianut seseorang. Al-Quran mengijinkan sekiranya umat Islam hendak bergaul bahkan menikah dengan Ahli Kitab. Tidak sedikit para sahabat Nabi yang memperisteri perempuan-perempuan dari kalangan Ahli Kitab. Utsman ibn `Affan, Thalhah ibn Abdullah, Khudzaifah ibn Yaman, Sa`ad ibn Abi Waqash adalah di antara sahabat Nabi yang menikah dengan perempuan Ahli Kitab. Alkisah, Khudzaifah adalah salah seorang sahabat Nabi yang menikah dengan perempuan beragama Majusi. Nabi Muhammad juga pernah memiliki budak perempuan beragama Kristen, Maria binti Syama`un al-Qibtiyah al-Mishriyah. Dari perempuan ini, Nabi memiliki seorang anak laki-laki bernama Ibrahim. Ia meninggal dalam usia balita. Sejarah juga menuturkan, ayah kandung dari Shafiyah binti Hayy yang menjadi isteri Nabi adalah salah seorang pimpinan kelompok Yahudi. Nabi Muhammad dan para pengikutnya sangat intens berkomunikasi dengan orang-orang Ahli Kitab. Muhammad muda pernah mendengarkan khotbah Qus ibn S`idah, seorang pendeta Kristen dari Thaif. Muhammad Husain Haikal, sebagaimana dikutip Khall Abdul Karim, menjelaskan isi khotbah Qus ibn S`idah itu sebagai berikut;

Wahai manusia, dengarkan dan sadarlah. Siapa yang hidup pasti mati, dan siapa yang mati pasti musnah. Semuanya pasti akan datang. Malam gelap gulita, langit yang beribntang, laut yang pasang, bintangbintang yang bercahaya, cahaya dan kegelapan, kebaikan dan kemaksiatan, makanan dan minuman, pakaian dan kendaraan. Aku tidak melihat manusia pergi dan tidak kembali, menetap dan tinggal di sebuah tempat, atau meninggalkannya kemudian tidur. Tuhannya Qus ibn Saadah tidak ada di muka bumi. Agama yang paling mulia semakin dekat waktunya denganmu, semakin dekat saatnya. Maka sungguh beruntung bagi orang yang mendapati dan kemudian mengikutinya, dan celaka bagi yang mengingkarinya.

Muhammad Husain Haikal melanjutkan kisah tentang Qus ibn S`idah. Alkisah, utusan Bani Iyadsuku Qus ibn Sa`dahmenemui Nabi. Nabi bertanya keberadaan Qus. Mereka menjawab, Qus ibn S`idah sudah meninggal dunia. Mendengar informasi tersebut, Nabi teringat akan khotbahnya di Pasar Ukazh; ia menunggang unta yang berwarna keabuan sambil berbicara. Tapi, aku tidak hafal detail ungkapannya. Seseorang (ada yang bilang Abu Bakar) berkata, saya hafal wahai Nabi. Ia kemudian merapalkan isi khotbah Qus tersebut. Rasulullah berkata, semoga Tuhan memberi rahmat kepada Qus dan aku berharap agar ia kelak di hari kiamat dibangkitkan dalam umat yang mengesakan-Nya. `Imad al-Shabbgh menceritakan, Nabi pada akhirnya hafal isi khutbah Qus tersebut. Nabi bersabda, berbeda dengan kecenderungan orang-orang Arab yang menyembah patung, Qus salah seorang yang menyembah Allah Yang Esa. Pengakuan tentang kenabian Muhammad datang pertama kali dari pendeta Yahudi bernama Buhaira dan tokoh Kristen bernama Waraqah ibn Nawfal. Melalui pendeta Buhaira terdengar informasi, Muhammad akan menjadi nabi pamungkas (khtam al-nabiyyn). Buhair (kerap disebut Jirjis atau Sirjin) pernah mendengar htif(informasi spritual) bahwa ada tiga manusia paling baik di permukaan bumi ini, yaitu Buhaira, Rubab al-Syana, dan satu orang lagi sedang ditunggu. Menurutnya, yang ketiga itu adalah Muhammad ibn Abdillah. Dan ketika Muhammad baru pertama kali mendapatkan wahyu, Waraqah menjelaskan bahwa sosok yang datang kepada Muhammad adalah Namus yang dulu juga datang kepada Nabi Musa. Waraqah mencium kening Muhammad sebagai simbol pengakuan terhadap kenabiannya, seraya berkata, Berbahagialah, berbahagialah. Sesungguhnya kamu adalah orang yang dikatakan `Isa ibn Maryam sebagai kabar gembira. Engkau seperti Musa ketika menerima wahyu. Engkau seorang utusan. Nabi pernah bersabda bahwa Waraqah akan dimasukkan ke dalam surga oleh Allah. Nabi Muhammad tak menganggap ajaran agama sebelum Islam sebagai ancaman. Islam adalah terusan dan kontinyuasi dari agama-agama sebelumnya. Allah berfirman kepada Nabi Muhammad agar ia mengikuti agama Nabi Ibrahim (millat Ibrahim). Sebagaimana Isa al-Masih datang untuk menggenapi hukum Taurat, begitu juga Nabi Muhammad. Ia hadir bukan untuk menghapuskan Taurat dan Injil, melainkan untuk

menyempurnakan dan mengukuhkannya. Disebutkan dalam al-Quran, Dia menurunkan al-Kitab (alQuran) kepadamu dengan sebenarnya, membenarkan kitab (mushaddiq) yang telah diturunkan sebelumnya dan menurunkan Taurat dan Injil sebelum al-Quran menjadi petunjuk bagi manusia dan Dia menurunkan al-Furqan. Al-Qurthubi mengutip pendapat jumhur ulama yang menyatakan bahwa arti kata mushaddiq dalam ayat itu adalah muwfiq (cocok atau sesuai). Menurut Ibnu `Abbs dan al-Dlahhak, makna atau esensi dasar ajaran al-Quran sesungguhnya telah tercantum dalam kitab-kitab sebelum al-Quran semisal Taurat Musa, Shuhuf Ibrahim. Yang berbeda hanya redaksionalnya bukan makna atau esensinya. Ketika ragu tentang sebuah wahyu, al-Quran memerintahkan Nabi Muhammad untuk bertanya pada orang-orang yang sudah membaca kitab-kitab sebelum al-Quran. Sebab, di dalam kitab-kitab suci itu, ada prinsip-prinsip dasar yang merekatkan seluruh ajaran para nabi. Ini tidak berarti bahwa semua agama adalah sama. Sebab, di samping memang mengandung kesamaan tujuan untuk menyembah Allah dan berbuat baik, tak bisa dipungkiri bahwa setiap agama memiliki keunikan, kekhasan, dan syari`atnya sendiri. Sebagian mufasir berkata, al-dn whid wa al-syar`at mukhtalifat [agama itu satu, sementara syari`atnya berbeda-beda]. Detail-detail syari`at ini yang membedakan satu agama dengan agama lain. Sebab, tidaklah mustahil bahwa sesuatu yang bernilai maslahat dalam suatu tempat dan waktu tertentu, kemudian berubah menjadi mafsadat dalam suatu ruang dan waktu yang lain. Bila kemaslahatan dapat berubah karena perubahan konteks, maka dapat saja Allah menyuruh berbuat sesuatu karena diketahui mengandung maslahat, kemudian Allah melarangnya pada waktu lain karena diketahui ternyata aturan tersebut tidak lagi menyuarakan kemaslahatan. Namun, perbedaan syari`at itu tak menyebabkan Islam kehilangan apresiasinya terhadap para nabi. Dalam pandangan Islam, semua nabi adalah bersaudara. Nabi Muhammad bersabda, tak ada orang yang paling dekat hubungan kekerabatannya dengan Isa al-Masih ketimbang aku. Ia bersabda, umat Islam yang mengimani Nabi Isa dan Muhammad SAW akan mendapatkan dua pahala. Nabi Muhammad juga bersabda, sebagaimana dalam Shahih Bukhari, sesungguhnya perumpamaan antara aku dengan para nabi sebelumnya adalah ibarat seseorang yang membangun sebuah rumah. Lalu ia buat rumah itu bagus dan indah, kecuali ada tempat bagi sebuah ubin di sebuah sudut. Orang banyak pun berkeliling rumah itu dan mereka takjub, lalu berkata, mengapa ubin itu tidak dipasang. Nabi bersabda, Akulah ubin itu, Aku adalah penutup para nabi. Umat Islam pun diperintahkan meyakini dan menghargai seluruh para nabi plus kitab suci yang dibawanya. Jika para nabi yang membawa ajaran-ajaran ketuhanan itu dikatakan Muhammad sebagai bersaudara, maka para pengikut atau pemeluk agama-agama itu disebut sebagai Ahli Kitab. Ketika Nabi Muhammad memasuki Mekah dengan kemenangan dan menyuruh menghancurkan berhala dan patung, dia menemukan gambar Bunda Maria (Sang Perawan) dan Isa al-Masih (Sang Anak) di dalam

Ka`bah. Dengan menutupi gambar tersebut dengan jubahnya, dia memerintahkan semua gambar dihancurkan kecuali gambar dua tokoh itu. Dalam riwayat lain disebutkan, yang diselamatkan itu bukan hanya gambar Isa al-Mash dan ibunya (Maryam), melainkan juga gambar Nabi Ibrahim. Patung Maryam yang terletak di salah satu tiang Ka`bah dan patung Nabi Isa di Hijirnya yang dipenuhi berbagai hiasan dibiarkan berdiri tegak. Tindakan ini diceritakan berbagai sumber sebagai penghargaan Muhammad terhadap Isa, Maryam (Bunda Maria), dan Ibrahim. Ini menunjukkan, sikap saling menghargai telah dikukuhkan Nabi semenjak awal kehadiran Islam. Itulah sikap teologis al-Quran dalam merespons pluralitas agama dan umat beragama. Sementara sikap sosial-politisnya berjalan dinamis dan fluktuatif Adakalanya tampak mesra. Di kala yang lain, sangat tegang. Ketika Romawi yang Kristen kalah perang melawan Persia, umat Islam ikut bersedih. Satu ayat al-Quran turun menghibur kesedihan umat Islam tersebut. Disebutkan pula, ketika Muhammad SAW mengadakan perjalanan ke Thaif, ia bertemu seorang budak pemeluk agama Kristen bernama `Udds di Ninawi Irak (kota asal Nabi Yunus). Ketika Muhammad dikejar-kejar, `Udds yang memberikan setangkai anggur untuk dimakan. Diceritakan, ketika Muhammad dan pengikutnya mendapatkan intimidasi dan ancaman dari kaum Musyrik Mekah, perlindungan diberikan raja Abisinia yang Kristen. Puluhan sahabat Nabi hijrah ke Abisinia untuk menyelamatkan diri, seperti `Utsman ibn `Affn dan istrinya (Ruqayah, puteri Nabi), Ab Hudzaifah ibn `Utbah, Zubair ibn `Awwm, Abdurrahman ibn `Auf, Ja`far ibn Ab Thlib, hijrah ke Abesinia untuk menghindari ancaman pembunuhan kafir Quraisy. Disaat kafir Quraisy memaksa sang raja mengembalikan umat Islam ke Mekah, ia tetap pada pendiriannya; pengikut Muhammad harus dilindungi dan diberikan haknya memeluk agama. Sebuah ayat al-Qur`an menyebutkan, kalian (umat Islam) pasti mendapati orang-orang yang paling dekat persahabatannya dengan orang-orang Islam adalah orang-orang yang berkata, sesungguhnya kami orang Kristen. Disebutkan pula, waktu raja Najasyi meninggal dunia, Muhammad SAW pun melaksanakan shalat jenazah dan memohonkan ampun atasnya. Alkisah, Nabi pernah menerima kunjungan para tokoh Kristen Najran yang berjumlah 60 orang. Rombongan dipimpin Abdul Masih, al-Ayham dan Abu Haritsah ibn Alqama. Abu Haritsah adalah seorang tokoh yang disegani karena kedalaman ilmunya dan konon karena beberapa karomah yang dimilikinya. Menurut Muhammad ibn Jafar ibn al-Zubair, ketika rombongan itu sampai di Madinah, mereka langsung menuju mesjid tatkala Nabi melaksanakan shalat ashar bersama para sahabatnya. Mereka datang dengan memakai jubah dan surban, pakaian yang juga lazim dikenakan Muhammad SAW. Ketika waktu kebaktian telah tiba, mereka pun tak mencari gereja. Nabi Muhammad memperkenankan rombongan melakukan kebaktian atau sembahyang di dalam mesjid.

Hal yang sama juga dilakukan Nabi pada kalangan Yahudi. Ketika pertama sampai di Madinah, Nabi membuat konsensus untuk mengatur tata hubungan antara kaum Yahudi, Musyrik Madinah, dan Islam. Traktat politik itu dikenal dengan Piagam Madinah atau Miytsq al-Madnah, dibuat pada tahun pertama hijriyah. Sebagian ahli berpendapat bahwa Piagam Madinah itu dibuat sebelum terjadinya perang Badar. Sedang yang lain berpendapat bahwa Piagam itu dibuat setelah meletusnya perang Badar. Piagam ini memuat 47 pasal. Pasal-pasal ini tak diputuskan sekaligus. Menurut Ali Bulac, 23 pasal yang pertama diputuskan ketika Nabi baru beberapa bulan sampai di Madinah. Pada saat itu, Islam belum menjadi agama mayoritas. Berdasarkan sensus yang dilakukan ketika pertama kali Nabi berada di Madinah itu, diketahui bahwa jumlah umat Islam hanya 1.500 dari 10.000 penduduk Madinah. Sementara orang Yahudi berjumlah 4000 orang dan orang-orang Musyrik berjumlah 4.500 orang. Dikatakan dalam piagam tersebut misalnya bahwa seluruh penduduk Madinah, apapun latar belakang etnis dan agamanya, harus saling melindungi tatkala salah satu di antara mereka mendapatkan serangan dari luar. Sekiranya kaum Yahudi mendapatkan serangan dari luar, maka umat Islam membantu menyelamatkan nyawa dan harta benda mereka. Begitu juga, tatkala umat Islam diserang pihak luar, maka kaum Yahudi ikut melindungi dan menyelamatkan. Pada paragraf awal Piagam itu tercantum Jika seorang pendeta atau pejalan berlindung di gunung atau lembah atau gua atau bangunan atau dataran raml atau Radnah (nama sebuah desa di Madinah) atau gereja, maka aku (Nabi) adalah pelindung di belakang mereka dari setiap permusuhan terhadap mereka demi jiwaku, para pendukungku, para pemeluk agamaku dan para pengikutku, sebagaimana mereka (kaum Nashrani) itu adalah rakyatku dan anggota perlindunganku. Apa yang dilakukan Nabi Muhammad di Madinah ini menginspirasi Umar ibn Khattab untuk membuat traktat serupa di Yerusalem, dikenal dengan Piagam Aelia, ketika Islam menguasai wilayah ini. Piagam ini berisi jaminan keselamatan dari penguasa Islam terhadap penduduk Yerusalem, yang beragama non-Islam sekalipun. Salah satu penggalan paragrafnya berbunyi:

Inilah jaminan keamanan yang diberikan Abdullah, Umar, Amirul Mukminin kepada penduduk Aelia: Ia menjamin keamanan mereka untuk jiwa dan harta mereka, dan untuk gereja-gereja dan salib-salib mereka, dalam keadaan sakit maupun sehat, dan untuk agama mereka secara keseluruhan. Gereja-gereja mereka tidak akan diduduki dan tidak pula dirusak, dan tidak akan dikurangi sesuatu apapun dari gereja-gereja itu dan tidak pula dari lingkungannya, serta tidak dari salib mereka, dan tidak sedikitpun dari harta kekayaan mereka (dalam gereja-gereja itu). Mereka tidak akan dipaksa meninggalkan agama mereka, dan tidak seorang pun dari mereka boleh diganggu.

Muhammad Rasyd Ridl menuturkan bahwa Umar ibn Khattab pernah mengangkat salah seorang stafnya

dari Romawi. Ini juga dilakukan Utsman ibn Affan, Ali ibn Abi Thalid, raja-raja Bani Umayyah hingga suatu waktu Abdul Malik ibn Marwan menggantikan staf orang Romawi ke orang Arab. Daulah Abbasiyah juga banyak mengangkat staf dari kalangan Yahudi, Nashrani, dan Shabiun. Daulah Utsmaniyah juga mengangkat duta besar di negara-negara asing dari kalangan Nashrani Di kala yang lain, hubungan umat Islam dengan umat agama lain itu tegang bahkan keras. Islam pernah berkonflik dengan Yahudi, juga dengan Kristen. Sejauh yang bisa dipantau, sikap tegas dan keras yang ditunjukkan al-Qur`an lebih merupakan reaksi terhadap pelbagai penyerangan orang-orang non-Muslim dan orang-orang Musyrik Mekah. Islam bukanlah agama yang memerintahkan umat Islam untuk menyerahkan pipi kiri ketika pipi kanan ditampar. Membela diri dan melawan ketidakadilan dibenarkan. Dalam konteks itulah, ayat jihad dan perang dalam al-Qur`an diturunkan. Jihad melawan keganasan orang-orang Musyrik dan Kafir Mekah tak dilarang, bahkan diperintahkan. Sebab, orang-orang Musyrik Mekah bukan hanya telah mengintimidasi umat Islam, tetapi juga mengusir umat Islam dari kediamannya. Fakta ini membenarkan sebuah pandangan bahwa peperangan pada zaman Nabi dipicu karena persoalan ekonomi-politik daripada soal agama atau keyakinan. Ini bisa dimaklumi karena al-Quran sejak awal mendorong terwujudnya kebebasan beragama dan berkeyakinan. Al-Quran tak memaksa seseorang memeluk Islam. Allah berfirman (QS, al-Baqarah [2]: 256), l ikrha f al-dn (tak ada paksaan dalam soal agama). Di ayat lain (QS, al-Kafirun [106]: 6) disebutkan, lakum dinukum wa liya dini [untukmulah agamamu, dan untukkulah agamaku]. Al-Quran memberikan kebebasan kepada manusia untuk beriman dan kafir [Faman sya falyumin waman sya falyakfur] (QS, al-Kahfi [18]: 29). Al-Quran melarang umat Islam untuk mencerca patung-patung sesembahan orang-orang Musyrik. Al-Quran tak memberikan sanksi hukum apapun terhadap orang Islam yang murtad. Seakan al-Quran hendak menegaskan bahwa soal pindah agama merupakan soal yang bersangkutan dengan Allah. Tuhan yang akan memberikan keputusan hukum terhadap orang yang pindah agama, kelak di akhirat. Sejarah mencatat, Rasulullah tak pernah menghukum bunuh orang yang pindah agama. Penutup Bisa dikatakan, relasi sosial-politik umat Islam dengan umat agama lain sangat dinamis. Sikap Islam terhadap umat lain sangat tergantung pada penyikapan mereka terhadap umat Islam. Jika umat non-Islam memperlakukan umat Islam dengan baik, maka tak ada larangan bagi umat Islam berteman dan bersahabat dengan mereka. Sebaliknya, sekiranya mereka bersikap keras bahkan hingga mengusir umat Islam dari tempat kediamannya, maka umat Islam diijinkan membela diri dan melawan. Setelah kurang lebih 13 tahun lamanya Nabi dan umatnya bersabar menghadapi ketidakadilan dan penyiksaan di Mekah, maka baru pada tahun ke 15 ketika Nabi sudah berada di Madinah perlawanan dan pembelaan diri dilakukan. Dalam konteks itulah, ayat-ayat perang dan jihad militer diperintahkan.

Oleh karena itu, jelas bahwa pandangan al-Quran terhadap umat agama lain dalam soal ekonomi-politik bersifat kondisional dan situasional sehingga tak bisa diuniversalisasikan dan diberlakukan dalam semua keadaan. Ayat demikian bisa disebut sebagai ayat-ayat fushul (fushl al-Qurn), ayat juziyyt, atau fiqh alQuran. Ayat-ayat kontekstual seperti itu, dalam pandangan para mufasir, tak bisa membatalkan ayat-ayat yang memuat prinsip-prinsip umum ajaran Islam, seperti ayat yang menjamin kebebasan beragama dan berkeyakinan. Tambahan pula, ayat l ikrha f al-dn adalah termasuk lafzh `m (pernyataan umum) yang menurut ushul fikih Hanafi adalah tegas dan pasti (qath`i), sehingga tak bisa dihapuskan (takhshish, naskh) oleh ayat-ayat kontekstual apalagi hadits ahd(seperti hadits yang memerintahkan membunuh orang pindah agama) yangdallahnya adalah zhanni (relatif). Ayat l ikrha f al-dn bersifat universal, melintasi ruang dan waktu. Ayat yang berisi nilai-nilai umum ajaran disebut sebagai ayat ushl (ushl al-Qurn) atau ayat kulliyt. Dalam masyarakat plural seperti Indonesia, saatnya umat Islam lebih memperhatikan ayat-ayat universal, setelah sekian lama memfokuskan diri pada ayat-ayat partikular. Ayat-ayat partikular pun kerap dibaca dengan dilepaskan dari konteks umum yang melatar-belakangi kehadirannya. Berbeda dengan ayat-ayat partikular, ayat-ayat universal mengandung pesan-pesan dan prinsip-prinsip umum yang berguna untuk membangun tata kehidupan Indonesia yang damai. Untuk membangun Indonesia yang damai tersebut, maka beberapa langkah berikut perlu dilakukan. Pertama, harus dibangun pengertian bersama dan mencari titik temu (kalimat sawa`) antar umat beragama. Ini untuk membantu meringankan ketegangan yang kerap mewarnai kehidupan umat beragama di Indonesia. Dalam konteks Islam, membangun kerukunan antar-umat beragama jelas membutuhkan tafsir al-Quran yang lebih menghargai umat agama lain. Tafsir keagamaan eksklusif yang cenderung mendiskriminasi umat agama lain tak cocok buat cita-cita kehidupan damai, terlebih di Indonesia. Sebab, sudah maklum, Indonesia adalah negara bangsa yang didirikan bukan hanya oleh umat Islam, tetapi juga oleh umat lain seperti Hindu, Budha, dan Kristen. Dengan demikian, di Indonesia tak dikenal warga negara kelas dua (kafir dzimmi) sebagaimana dikemukakan sebagian ulama. Menerapkan tafsir-tafsir keagamaan eksklusif tak cukup menolong bagi terciptanya kerukunan dan kedamaian Kedua, setiap orang perlu menghindari stigmatisasi dan generalisasi menyesatkan tentang umat agama lain. Generalisasi merupakan simplifikasi (penyederhanaan) dan stigmatisasi adalah merugikan orang lain. AlQuran berusaha untuk menjauhi generalisasi. Al-Quran menyatakan, tak seluruh Ahli Kitab memiliki perilaku dan tindakan sama. Di samping ada yang berperilaku jahat, tak sedikit di antara mereka yang konsisten melakukan amal saleh dan beriman kepada Allah. Ketiga, sebagaimana diperintahkan al-Quran dan diteladankan Nabi Muhammad, umat Islam seharusnya memberikan perlindungan dan jaminan terhadap implementasi kebebasan beragama dan berkeyakinan.

Sebagaimana orang Islam bebas menjalankan ajaran agamanya, begitu juga dengan umat dan sekte lain. Seseorang tak boleh didiskriminasi dan diekskomunikasi berdasarkan agama yang dipilih dan diyakininya. Dalam kaitan ini, umat Islam perlu mengembangkan sikap toleran, simpati dan empati terhadap kelompok atau umat agama lain.[]

15/06/2009 | | #

Komentar Masuk (80)


(Tampil maks. 5 komentar terakhir, descending)

@ Hari di #79: Alhamdulillah,Maju terus Mas Hari Siapa pun tahu,meskipun secara moralitas setiap agama memiliki persamaan (karena consience atau hati nurani itu adalah anugrah yg fitrah diberikan ALLAH kepada seluruh manusia secara universal), banyak sekali aspek2 mendasar yg membangun agama2 yg sangat berbeda satu sama lain, salah satu yang paling penting adalah: konsep2 ketuhanan di antara berbagai agama itu berbeda2, bahkan bertentangan. Ketika anda menemukan dua pernyataan yg bertentangan, maka kemungkinan yg ada hanya: 1. salah satunya salah dan yg lainnya benar, atau 2. kedua2nya salah TIDAK MUNGKIN KEDUA-DUANYA BENAR contoh yg paling krusial: pernyataan 1 (ISLAM): ALLAH swt adalah Tuhan, dan Yesus(Isa A.S) BUKAN tuhan, dan ia TIDAK MATI di kayu salib. pernyataan 2 (kristen): ALLAH adalah Tuhan, dan Yesus ADALAH tuhan, dan ia TELAH MATI di kayu salib untuk menebus dosa manusia. Menyangkal pernyataan 1, anda akan keluar dari Islam dan menjadi orang musyrik, dosa yg paling besar. Menyangkal pernyataan 2, anda akan keluar dari kristen dan tidak akan diterima di surga, karena untuk ke surga anda harus menerima Yesus adalah tuhan dan telah mati di kayu salib untuk menebus dosa manusia. Penting untuk kita mengetahui perbedaan kebenaran dan kebaikan. 1.Kebenaran (Logika) itu soal: BENAR dan SALAH 2.Kebaikan(Moral/Etika/Akhlak) itu soal: BAIK dan BURUK

Kebenaran itu mutlak seperti 1 + 1 = 2, di dalam Islam, ALLAH swt memerintahkan orang Islam untuk menegakkan kebenaran dan sekaligus berakhlak mulia (baik). Benar dan Baik. Menghormati, mengasihi dan memanusiakan orang lain, tidak berarti harus membuat kita mengkhianati kebenaran. Menyampaikan dan menegakkan kebenaran bukan berarti kita tidak menghormati dan menyayangi orang lain. Ketika ada orang yg menipu orang lain dan dirinya sendiri dengan pernyataan 1 + 1 = 3, maka wajib hukumnya kita mluruskan, karena jika tidak, sama artinya kita meninggalkan mereka dalam kesesatan, dan hal ini sangat bertentangan dengan prinsip kasih sayang bukan? Dalam menegakkan kebenaran, penting sekali kita menjaga prinsip2 akhlak yg santun, jujur, dan adil. Kita dapat menegakkan kebenaran sekaligus tetap berakhlak yg mulia dalam menyikapi orang2 yg menipu dirinya sendiri dan orang lain. Setiap pemeluk agama akan mengklaim agama mereka yg paling benar, hal ini WAJAR dan BUKAN HAL YG PERLU DITAKUTKAN, karena hal itu adalah landasan setiap pemeluk agama memeluk agamanya. Jika ia menemukan agamanya tidak benar dan agama lain yg lebih benar maka logis untuk dia berpindah agama. Untuk menentukan benar atau salahnya, setiap klaim kebenaran maka harus disertai pembuktian. Dalam menegakkan kebenaran apa pun (termasuk agama) perlu dilakukan pembuktian. Pembuktian dapat dilakukan dengan melakukan perbandingan dan pengujian. Hal yg tetap konsisten yg dimiliki setiap agama untuk dapat diperbandingkan dan diuji secara obyektif adalah kitab suci dari masing2 agama. Setiap kitab suci itu diperbandingkan dan diuji dengan cara membuktikan kualitas KOHERENSI dan KORESPONDENSI antara kitab2 tersebut secara obyektif, maka akan jelas kelihatan agama siapa yg benar dan agama siapa yg salah. Kitab suci yg banyak PERTENTANGAN antara ayat satu dengan ayat lainnya TIDAK lolos uji koherensi. Kitab suci yg BERTENTANGAN dengan fakta absolut dan ilmu pengetahuan yg sudah mapan dan mendasar yg tidak dapat disangkal lagi kebenarannya TIDAK lulus uji korespondensi. Bila telah lulus uji kebenaran, maka nilai2 kebaikan yg disampaikan oleh kitab suci yg terbukti benarlah, yg pantas diikuti.

Usaha2 apologetik bukanlah hal yg buruk dan harus dipandang sebagai jalan untuk mendapatkan kebenaran yg absolut. Yang penting tetap fair, obyektif dan tetap skeptis. semoga anda dapat menemukan agama yg benar2 dari TUHAN YANG MAHA BENAR Wallahualam Assalammualaikum Alpha
Posted by alpha on 02/25 at 08:37 PM

To : Damai lagi yah di 73 Saat saya kutip pernyataan anda : Untuk itulah Forum ini diadakan dengan tujuan untuk membuka mata dan hati saudara"ku sekalian bahwa pentingnya menjaga Mindset kita dari klaim bahwa agama Islam-lah paling benar yang lainnya hasil bisikan setan lewat karya manusia. Persoalannya adalah : ISLAM meng klaim paling benar ? Apakah SALAH ? KRISTEN meng klaim paling benar ? Apakah SALAH ? HINDU meng klaim paling benar ? Apakah SALAH ? BUDHA meng klaim paling benar ? Apakah SALAH ? Saat AGAMA-AGAMA ini meng KLAIM PALING BENAR ? SAH-SAH saja bukan ? Semuanya BERPULANG pada PENJELASAN dan orisinalitas sumber yang dipakai kan ? Masing-masing AGAMA ini mempunyai nama TUHANNYA masing-masing bukan ? Persoalannya adalah PENJELASAN atas TUHANNYA sendiri itu BAGAIMANA ? Siapakah DIRINYA ... EXISTENSI DIRINYA itu SIAPA ? Apa saja yang telah dilakukannya ... Semuanya itu tentunya HARUS TERJELASKAN ... Dari SUMBER OTENTIK ... Atau SUMBER REFERENSI UTAMA ... Katakanlah KITAB SUCINYA ...

Apakah saat TUHAN yang menjelaskan dirinya ... Dalam KITAB SUCINYA itu ... Dibantah TIDAK oleh AYAT yang SAMA ... Dari KITAB SUCI yang ada ? Marilah kita men trace atau MENELUSURI ... SUMBER-SUMBER OTENTIK yang dipakai ... HISTORI-nya ... NARASINYA ... ALURNYA ... ALIBINYA ... FAKTANYA ... DATANYA ... Dan ... KONSISTENSINYA ... ? Apakah kita MAU JUJUR ... Bahwa Al-QURAN lah SATU-SATUNYA ... Yang memenuhi KRITERIA tersebut ? Baik dari sisi HISTORINYA ... NARASINYA ... ALURNYA ... FAKTANYA ... DATANYA ... Dan ... KONSISTENSINYA ... Nah kalau Al QURAN ... Yang memenuhi syarat-syarat yang ada ... Sedangkan yang lain banyak sekali PERTANYAANNYA ... ? Kenapa masih juga TIDAK DIPERCAYA ? Apakah ini BUKAN BERARTI KEKERDILAN ... Atau KETAKUTAN ... Akan ANGGAPAN manusia ... Bahwa MINDSETNYA ... Itu KETINGGALAN JAMAN ?

PADAHAL ... FAKTANYA ... DATANYA ... BENAR dan TERKORELASI (Terhubungkan) ... Dengan apa yang DINYATAKAN ... ? Kalau SESEORANG ... MENUTUP DIRI dari KEBENARAN ... ? Itu namanya apa ? Kalau BUKAN BERPIKIRAN CUPET alias SEMPIT ... Atau KATAK dalam TEMPURUNG ... ?
Posted by Hari on 02/23 at 06:03 AM

Tidak menghargai pluralisme sama dengan tidak demokratis. Tidak demokratis sama dengan tidak menghargai eksistensi orang lain. Tidak menghargai eksistensi orang lain sama dengan tidak menghargai ciptaan Tuhan. Tidak menghargai ciptaan Tuhan sama dengan menghina Sang Pencipta. Jadi siapa yang tidak menghargai pluralisme sama dengan menghina Tuhan. Paham? Salam Mak Ijah
Posted by Mak Ijah on 01/13 at 09:31 AM

Bung mungkin benar secara iftihad (nalar) tapi buktikan kebenaran berfikir bung ... kalau mememang berani melakukan seumpana orang ingin menadapatkan amal yang banyak/bisa cepat masuk surga sebaikanya lakukan aja amal tiap Jum,at beribahan di masjid, Minggu beribadah di gereja sabtu disinegok kalau perlu selasa kliwon di gunung Kawi, ikut perkumpulan Darmo Gandul Pangestu dan Lain2 Sehingga amalnya banyak dan dicatat alah banyat banyat Malaikat dan bertemu banyak Tuhan Ayo berani ndak tak tunggu okey.
Posted by Trisno on 01/12 at 07:49 AM

Assalamualaikum. ada hal yg membuat saya tertarik ninggalin pesan.. Intensnya masyarakat zaman Nabi Muhammad SAW berhub dengan orang non islam, bahkan ada pernikahan dengan non islam jangan di anggap hal yang lumrah,, menurut saya hal itu boleh disaat kita meyakini bahwa yang dinikahi akan menjadi seorang muslim pula,, sehingga pernikahan itu menjadikan keturunan muslim..Tapi saa pernikahan beda agama berlansung sampai akhir hayat,,si anak mau dibawa kemana??? sedangkan islam mengingatkan agar janagn kita meninggalkan keturunan yang lemah imannya..apa lagi tanpa agama yang pasti..

wassalam irwan http://keretaunto.blogspot.com


Posted by irwan setiawan on 12/27 at 09:38 AM

Ranking: 47

Pengenalan
nick...: many people's or creature's of the earth and hell just call me QO or ASRA..... Physical : height-168cm Weight-57 Face-many people say...,im cute like mmmmm babyface,hohohohohohoh....but.....mmm ya...that's true...... Hair-longest,black but a little blonde Atittude- 50% normal 50% phsyco...it's all how you all treat me..,you bahaved well i will get any better than you but if you mean i will be more evil than the devil you like (flexiblty) Im musician....everyday i'm always practicing and trying to find and create new techniques and knowledge of musical instrument especially the drum....,im a drummer,a lot of people say that the level of my game more or less like the drummer PRO...,.... I continue to figh hard to foster and increase my existension of music career......,many genre of music that i play....,metal,jazz,pop,smooth jazz,rock progressive, and anymore.....my music most souling is metal,pop,progressive jazz,progressive rock ,ang british music...but i kept trying and trying to become a professional of all flow.....,i love music......, number 1 for my family , number 2 for my music , number 3 for my friend's/buddy's , number 4 for my world exploration (anything) number 5 for the woman who would even become a wife of my life....,i love all...Hohohoh.... I am now in addition to love music, I'm continuing my education in one of the campuses in bandung. when I can no longer play music at least I can use my knowledge on campus and can continue my life at a later day. Love and like : i love seafood,american food,java food, i love black and white colour because it makes the bearing life will be the natural world and without any internal and external poisonity other,i love my mom my dad, my sister and another family,i love my drum,i love mymusic, i love the bad or the well thing of my,i love sleep and wake in the eveningi really like when i sleep soundly and wake up at noon haha.......i hate lie'r i hate god worshiper,i hate big mouth(jus't many talk but never doin or show a prove) i hate who'se guy or ladies make me dissapointed , i hate badgirl but im a badboy (hahahahahahaha) I hate apocalyptic and hypocisy ,i hate my left hand because i have never or rarely get satisfaction when playing a drum especially un the left hand tchniques study cober,and i have to keep frequent practice for the shrewdness of my left hand is still less balance with his righ hand that's the main difficulty in drummer...,i hate that fuckin shit like them all( my private side-unpublishing)......,i hate when i feel my progress music career is down..,i hate anything dissapointed.... I hope to be famous person of the music entertaintment,i hope for goes to L.A and NY for leave there...and continuing happy life with or without wife and son and daughter later.....,hope for good financial managing of my life...,hope for luxurios vehicle..,i wish for got sport car, find many dollar for buy a sweet house....,hohoho..., hope find my women type....but don't try for take my heart before i grab back your heart and i'll never give back for you...

My Social Network
My Social Network

Daftar Blog Lainnya



KHALIFAH Senin, 04 April 11 - 16:26 WIB HUKUM PEMBUKTIAN DALAM ISLAM Sabtu, 02 April 11 - 04:55 WIB RIZKI, BEKERJA DAN TAWAKAL Jumat, 01 April 11 - 13:02 WIB DAMPAK SYAHADAT NABI Kamis, 31 Maret 11 - 19:37 WIB PEMBERITAHUAN BUAT PARA PENGGUNA KAMPUS Kamis, 31 Maret 11 - 11:52 WIB PENGAKUAN DAN SUMPAH Kamis, 31 Maret 11 - 10:20 WIB IMAN KEPADA HARI KIAMAT Rabu, 30 Maret 11 - 04:57 WIB THORIQUL IMAN (PROSES KEIMANAN) Selasa, 29 Maret 11 - 14:11 WIB TERBENTUKNYA IKATAN-IKATAN DI TENGAH MASYARAKAT Selasa, 29 Maret 11 - 12:59 WIB Pengaruh Aqidah Dalam Kehidupan Masyarakat Selasa, 29 Maret 11 - 04:37 WIB

Kategori

pengetahuanagama teknik
Alexa Rank

renungan english if-algoritma-struktur-data pemberitahuan pemakaian-situs tata-cara posting

Pluralitas Agama, Sinkretisme dan Keadilan Islam


Kerusuhan demi kerusuhan yang terjadi belakangan ini telah merampas rasa aman. Ditambah dengan bumbu SARA (Suku Agama Ras dan Antar Golongan) yang mewarnai sebagian besar kerusuhan itu, rasa curiga antar masyarakat kian mengental. Kerusuhan berbau SARA memang cukup menonjol dalam empat tahun terakhir. Dalam kurun waktu itu, tercatat meledak 19 kerusuhan SARA. Atau jika dipukul rata sama dengan empat kerusuhan setiap tahun! (Republika, 9 Desember 1998). Kota Ketapang, Kupang dan Ujung pandang adalah saksi dari semua kejadian tersebut. Bukan hanya kota itu ternyata, satu-dua tahun yang lalu (1996-1997) di Situbondo, Sukabumi, dan di Tasikmalaya, dan Rengasdengklok ternyata mempunyai nasib yang sama. Dan ternyata bila dilihat dari korban kerusuhan, sebagian besar adalah rumah-rumah ibadah, seperti Gereja, Masjid dan rumah ibadah lainnya, dan nampaknya bila dilihat dari beberapa peristiwa tersebut SARA-lah (terutama perbedaan agama) yang menjadi pemicu utama terjadinya kerusuhan!?. Walaupun ada beberapa pihak yang mengatakan kejadian-kejadian tersebut adalah kriminal murni.

Berbagai macam usaha dilakukan oleh beberapa pihak, untuk menciptakan kerukunan di antara ummat beragama. Bukan hanya oleh ABRI, para ulama dan cendikiawan muslim pun turut andil dalam hal ini. MUI misalnya, dengan tidak bosan-bosannya mengopinikan ummat dengan mengatakan Hendaknya ummat Islam janganlah mudah terpancing oleh hal-hal yang berbau SARA. Ataupun misalnya seperti yang dinyatakan oleh Dr. Alwi Shihab beberapa waktu yang lalu dalam sebuah ceramahnya mengatakan bahwa sesama warga yang berlainan agama tersebutharuslah bisa hidup saling memahami ajaran agama ummat lain, bahkan menurutnya setiap pemeluk agama dituntut bukan saja mengakui keberadaan dan hak agama lain, tetapi terlibat dalam usaha memahami perbedaan dan persamaan guna tercapainya kerukunan dalam kebhinekaan (Kompas, 29 Juli 1996). Atau misalnya seperti yang didiskusikan oleh Kajian Kelompok agama PARAMADINA dengan tema Ibrahim Sebagai Bapak Orang Beriman (Gatra, 27 September 1997) yang Dr. Nurcholis Madjid dan Olaf Schumman sebagai pembicaranya menyimpulkan bahwa Ibrahim adalah Bapak semua orang beriman, baik ia yang beragama Yahudi, Nasrani ataupun Islam. Menurut mereka ketiga agama tersebut sama-sama pewaris agama Ibrahim dan semuanya berasal pada Millah Ibrahim, oleh karenanya tidak heran kalau Dr. K.H. Said Aqil Siradj pun ketika diundang ke Gereja oleh kaum Kristen di Bekasi beliau mengatakan dalam ceramahnya: Saya seiman dengan Romo Sandy walaupun beda agama. Atau usaha yang baru-baru ini digelar oleh ICMI pada tanggal 26-11-98 yaitu diskusi buku Tiga Agama Satu Tuhan yang menyimpulkan bahwa ketiga agama tersebut (yahudi, Nasrani dan Islam) adalah jalan yang sama menuju Tuhan yang satu. Suara senada juga dikemukakan oleh Syamsul Arifin, Ketua Program Magister Ilmu Agama Islam Program Pasca Sarjana Universitas Muhammadiyah Malang, dalam tulisannya di Republika dengan judul Menuju Inklusivisme Spiritualitas beliau menyatakan bahwa pluralitas agama merupakan realitas yang tak terbantahkan. Terjadinya pluralitas agama menurutnya dapat berawal dari keinginan manusia untuk berkomunikasi dengan realitas di luar dirinya yang dipandang sakral, yang ternyata medium maupun objek sakral-nya demikian beragam. Telaah antropologis menurut Syamsul Arifin dapat menjelaskan persoalan ini. Penyebab pluralitas lainnya menurutnya adalah karena agama yang diturunkan melalui proses pewahyuan, menempuh jalanevolutif dan diferensial yang disesuaikan dengan karakteristik antropologis, historis dan sosiologis manusia setempat, sehingga memberikan peluang munculnya banyak agama seperti yang dapat lihat pada agama yang dikategorikan dalam rumpun Semitik (Yahudi, Nasrani, dan Islam). Ketiga agama ini menurutnya bertitik tumpu pada prinsip monoteisme yang sama, yaitu Ibrahim, karenanya ketiganya disebut juga denganAbrahamic religions.

Setidaknya itulah fenomena ide yang berkembang di kalangan kaum muslimin sendiri yang katanya berupaya untuk Menciptakan kerukunan antar ummat beragama agar hidup secara berdampingan dengan tentram satu dengan yang lainnya. Dalam tulisan ini penulis ingin sekedar menyoroti pemikiran-pemikiran yang berkembang tentang hal tersebut.

Berawal dari Sinkretisme

Sinkretisme adalah suatu ide yang berkembang di kalangan masyarakat yang berdiri atas tiga doktrin: Pertama dikatakan bahwa kebenaran agama itu subyektif. Artinya suatu agama pasti dinilai sebagai yang paling benar oleh pemeluknya masing-masing, dan agama lain salah. Karena semua agama bersifat demikian, maka seseorang tidak mungkin dipaksa mengikuti aturan selain aturan selain yang menjadi agamanya. Semua agama dipandang sama kedudukannya.

Kedua sebagai konsekuensi dari doktrin yang pertama dimana semua agama kedudukannya sama, maka semua agama tidak boleh mendominasi agama yang lain. Sebab, itu berarti memaksa seseorang untuk mengikuti aturan yang berasal dari bukan agamanya. Ketiga, oleh karenanya maka untuk mengatur kehidupan masyarakat yang terdiri dari berbagai pemeluk agama, diperlukan aturan bersama yang dinilai mampu mengadaptasi semua agama atau paham yang berkembang di tengah masyarakat.

Pemikiran sinkretisme menyebabkan sebagian ummat Islam memandang rendah, bahkan tidak suka, menjauhi dan memusuhi aturan agamanya sendiri. Ia merasa menjadi orang modern bila turut beranggapan bahwa aturanaturan masyarakat yang demokratis dan aspiratif adalah yang lepas dari agama yang ada, termasuk Islam. Tidak lupa ia turut mengecam aturan Islam sebagai ketinggalan jaman, kejam, tidak manusiawi, serta tidak cocok untuk masyarakat plural, hanya karena aturan Islam diturunkan empat belas abad lalu di negeri Arab yang secara sosiologis katanya, berbeda dengan tanah airnya. Disebut toleransi-dan itu sebuah kemuliaan-bila orang mau mengerti aspirasi agama lain. Misalnya dengan menghadiri natal bersama, nyepi, atau berdoa bersama dengan penganut agama yang lain serta bersedia melepas beberapa prinsip agamanya demi persatuan dan kesatuan; serta disebut fanatik dan sektarian (buruk) bila orang terlalu kuat berpegang kepada agamanya.

Dengan bersikap demikian, sadar atau tidak, kendati muslim sesungguhnya ia telah menjadi lawan dari agama Islam. Ia telah terjerumus demikian jauh dalam jurang kesesatan. Ia lupa, seorang muslim harus meyakini hanya Islam saja yang benar dan diridloi Allah (3 : 19/5:3). Beragama selain Islam tidak akan diterima Allah dan akan merugi (3:85). Olehkarenanya, terhadap agama lain sikap yang harus diambil adalah dawah, yani mengajak pengikutnya agar memeluk Islam, sebagaimana ajaran Rasulullah dalam suratnya kepada Heraclius: Islim Taslam.

Toleransi dikenal dalam Islam tapi tidak dalam arti seperti tersebut diatas. Perlu pula diingatkan bahwa Islam adalah untuk semua manusia (34:28) yang bila ditegakkan akan membawa kebaikan bersama (21:107). Fakta sejarah di masa lalu ketika Islam berkuasa di berbagai wilayah, misalnya di Irak, Mesir, Spanyol dimana komunitas juga hidup di dalamnya, menunjukkan hal itu. Mereka hidup sejahtera, sama seperti komunitas muslim. Islam tidak akan ketinggalan zaman, karena ia diturunkan oleh dzat yang Maha Mengetahui dan telah menetapkannya sebagai agama terakhir. Menyatakan Islam Tidak cocok untuk masyarakat yang hidup empat belas abad kemudian, sama saja menuduh seolah Allah tidak tahu akan perkembangan masyarakat di masa depan dan tidak tahu bagaimana mengaturnya!

Akibat sinkretisme, sebagai komunitas mayoritas di Indonesia, ummat tidak merasa apa-apa menyaksikan bagaimana kehidupan masyarakat tidak diatur dengan Islam. Ia tidak juga segera sadar akan kekeliruan pemikirannya kendati kenyataan menunjukkan, aturan bersama yang ada tidaklah mampu membawa masyarakat kepada kebaikan. Berbagai problematika (di bidang ekonomi muncul kesenjangan, harga melambung, monopoli dan sebagainya, dibidang sosial meningkatnya kriminalitas, kerusakan moral, berkembangnya budaya Barat dan sebagainya) yang silih berganti muncul di tengah masyarakat, bahkan mungkin dia termasuk salah satu korbannya, tidak cukup mengingatkan bahwa Islam adalah solusinya. Sinkretisme telah membuatnya buta.

Semua azas pengaturan kehidupan di atas tidaklah muncul dari satu kesatuan pemikiran. Tapi sekedar berdasarkan manfaat, yang diduga mungkin atau bisa diperoleh di bidangnya masing-masing. Oleh karenanya, sekularisme pada

tataran praktis banyak sekali menimbulkan kontradiksi di tengah masyarakat. Di bidang pendidikan, satu sisi diinginkan siwa yang berpribadi luhur, kuat agamanya, tapi tidak atau sedikit sekali langkah ke arah itu (apa yang bisa di harap dari pelajaran agama 2 SKS sampai tingkat sarjana di Perguruan Tinggi?). Di bidang budaya, satu sisi kita prihatin terhadap meningkatnya kriminalitas dan diinginkan masyarakat yang mulia, sopan, dengan remajanya yang berkepribadian teguh, tapi di sisi lain tontonan di TV

atau bioskop merajalela penuh dengan kemaksiatan disertai ajakan seks dan pergaulan bebas dengan tari dan nyanyi yang tidak jelas apa maunya. Satu sisi menginginkan pemerataan, tapi sisi lain monopoli swasta makin mencengkram. Aids diperangi, tapi kompleks-kompleks pelacuran tetap dibiarkan laris. Katanya negara berdasarkan ketuhanan, tapi begitu banyak aturan negara yang menyimpang dari aturan Tuhan. Bila demikian lantas, Tuhan yang mana yang dimaksud oleh penduduk mayoritas negeri ini? Juga, mereka yang memperjuangkan tegaknya aturan Tuhan-sesuai asas tadi- koq malah dituduh ekstrim? Qiroah Al-Quran dilombakan dalam MTQ, tapi ajarannya diabaikan. Aneh!!!

Tentang Nabi Ibrahim dan Pewarisnya

Sebagaimana dipaparkan dimuka bahwa sebagian orang bahkan diantara kaum muslimin sendiri meyakini bahwa selain Islam, agama Yahudi dan Nasrani adalah juga merupakan pewaris ajaran Ibrahim dan merupakan Millah Ibrahim, karenanya ketiga agama tersebut sebenarnya adalah merupakan jalan yang sama menuju Tuhan yang satu. Tentang hal ini ada beberapa hal yang perlu kita perhatikan:

1. Seperti telah dipahami, setiap rasul mengemban risalah dari Rabb-nya kepada ummatnya. Sebagian ummat menerima dan mengimaninya, sementara yang lain malah kafir dan menolaknya. Pada diri orang-orang yang mengimaninya dan mengikuti rasul tersebut nampaklah sifat berupa keterikatan mereka terhadap ajaran risalah dan kesetiaan mereka melaksanakan semua ajaran yang dibawa oleh rasul tersebut. Mereka itulah yang berhak atas kemuliaan penisbatan keturunan dan hak keanggotaan golongan rasul itu. Al-Quran memaparkan hal ini sebagai berikut: Sesungguhnya orang yang paling dekat kepada Ibrahim adalah orang-orang yang mengikutinya dan nabi ini (Muhammad), dan Allah adalah pelindung semua orang-orang yang beriman (QS Ali Imran:68)

Di dalam ayat itu terdapat pengertian yang gamblang bahwa orang yang mengikuti jalan hidup Ibrahim as diberi kemuliaan untuk menisbatkan diri sebagai pewaris dan keturunannya. Demikian pula ayat itu jelas dan tegas menyebutkan bahwa Rasulullah SAW adalah orang yang paling dekat kepada Ibrahim as, termasuk setiap orang yang beriman kepada aqidah Islamiyah dan mengikuti syariat Nabi Muhammad SAW.

Pada zaman Rasulullah SAW orang Yahudi dan Nasrani saling membantah dan meng-klaim bahwa mereka adalah keturunan nabi Ibrahim. Tapi Allah SWT sendiri telah membantah dalam firman-Nya: Hai ahli kitab, mengapa kamu bantah-membantah tentang hal Ibrahim, padahal Taurat dan Injil tidak diturunkan melainkan sesudah Ibrahim. Apakah kamu tidak berfikir?(QS. Ali Imran:65) Lalu Allah SWT menegaskan dalam Firman-Nya:

Ibrahim bukanlah seorang Yahudi dan bukan pula seorang Nasrani, akan tetapi dia adalah seorang yang hanif lagi berserah diri (kepada Allah) dan sekali-kali bukanlah dia termasuk golongan orang-orang musyrik(QS. Ali Imran: 67)

Imam Az-Zamakhsyaridalam Tafsir Al-Kasysyaf Juz I, mengatakan bahwa nabi Ibrahim yang hanif dan muslim itu tidak termasuk golongan orang-orang Yahudi dan Nasrani yang telah menserikatkan Uzair dan Isa dengan Allah (lihat QS. At-Taubah 30). Dari sini tampak bahwa Ibrahim bukanlah seorang Yahudi maupun Nasrani, apalagi seorang sinkretis yang ingin menyamadudukkan semua agama.

2. Wasiat Nabi Ibrahim kepada anak-anaknya dan seluruh keturunannya agar mempertahankan agama Islam. Allah berfirman: (Ibrahim berkata): Hai anak-anakku! Sesungguhnya Allah SWT telah memilih agama bagimu, maka janganlah kamu mati kecuali dalam memeluk Islam (QS. Al-Baqarah:132). Jelaslah mengikuti Islam merupakan wasiat agung nabi Ibrahim. Wasiat tersebut merupakan seruan ilahiyah bagi segenap manusia, sebagaimana firman-Nya:

Katakanlah (Muhammad): Hai manusia sesungguhnya aku adalah utusan Allah kepadamu semua, yaitu Allah yang mempunyai kerajaan langit dan bumi; tidak ada Tuhan (yang berhak disembah) selain Dia, yang menghidupkan dan mematikan, maka berimanlah kamu kepada Allah dan Rasul-Nya (Muhammad), yaitu nabi yang ummi yang beriman kepada Allah dan kalimat-kalimat-Nya, dan ikutilah dia (Muhammad) supaya kamu mendapat petunjuk(QS. Al-Araf:158)

Ayat tersebut memaklumkan bahwa Muhammad saw adalah seorang rasul bagi seluruh manusia untuk beriman kepada Allah dan nabi Muhammad. Dalam ayat itu tidak digunakan kata rusuluhi (bentuk jamak), melainkan rasulihi (bentuk tunggal) yang berarti Muhammad saw. Olehkarena itu, manusia yang hidup setelah diutusnya Muhammad saw, baru dikatakan beriman, jika dan hanya jika ia mengimani Muhammad saw sebagai rasul dan mengikuti ajaran yang dibawanya. Sehingga istilah kaum beriman (muminin) secara syari, khusus untuk orang-orang yang mengimani Islam sebagai agama yang diridloi Allah SWT (QS. Ali Imran:19). Konsekuensinya adalah, siapa saja yang bukan muslim tidak akan diterima oleh Allah apapun agama darinya. Dan siapa saja yang meninggal tidak menganut agama Islam sungguh dia dalam keadaan merugi (lihat QS. Ali Imran ayat 85) Inilah wasiat nabi Ibrahim kepada anak-anaknya dan wasiat Allah SWT kepada seluruh ummat manusia.

3. Al-Quran mengakui keberadaan kitab-kitab samawi yang Allah turunkan kepada para rasul terdahulu. Namun Al-Quran juga menghapus masa berlakunya kitab-kitab tersebut berikut syariat mereka sebagaimana firman Allah SWT: (Dan) Kami telah menurunkan Al-Quran dengan membawa kebenaran, membenarkan apa yang sebelumnya, yaitu kitab-kitab (yang turun sebelumnya), dan sebagai penghapus terhadap (berlakunya) kitab-kitab tersebut....(QS. AlMaidah:48)

Menurut Ibnu Katsir, maknamuhaiminan itu mencakup kata amiin, syahid, dan hakim, yang semuanya berarti apa yang sesuai dengan Al-Quran berarti benar dan apasaja yang menyalahi Al-Quran berarti bathil (Ibnu katsir, Tafsir Al-Quran Al-Azhim, II, hal. 82). Dengan kata lain Al-Quran merupakan penghapus ajaran/syariat kitab-kitab sebelumnya. Jadi sejak nabi Muhammad SAW diutus dan Al-Quran diturunkan hanya ajaran/syariat Muhammad-lah yang sah disisi Allah SWT.

Berdasarkan beberapa hal tersebut, pewaris ajaran nabi Ibrahim yang hanif dan berserah diri itu adalah mereka yang senantiasa memiliki kepribadian seperti beliau serta tunduk dan patuh kepada wasiat beliau. Dan ini tidak lain adalah pengikut beliau pada zamannya, pengikut Nabi Ismail, Ishaq, Yakub, Musa, Isa (pada zaman nabi-nabi mereka) sampai Muhammad saw dan pengikutnya yaitu orang-orang yang beriman kepada aqidah dan syariat Islam. Mereka itulah yang berada di dalam millah Ibrahim.

Lantas, dapatkah diterima klaim orang yang tidak menganut agama Ibrahim serta tidak mengikuti jalan hidup dan wasiat beliau sebagai pengikut millah dan pewarisnya? Dapatkah dikatakan sebagai penganut dan pewaris Ibrahim, padahal mereka sangat jauh dari petunjuk orang yang paling dekat dan berhak sebagai pewaris beliau, yaitu Muhammad saw? Atau bahkan orang tersebut menentang ajaran dan hukum-hukum yang dibawa Muhammad saw serta berupaya melemahkan dan memerangi orang yang beriman kepadanya? Pantaskah orang yang meninggalkan syariat Islam disebut sebagai anak, pengikut dan pewaris ajaran Ibrahim? Padahal Allah SWT menetapkan bahwa hubungan kekerabatan yang hakiki adalah kesamaan sikap dalam menerima ajaran Allah. Bahkan kekufuran bisa memutuskan hubungan kekerabatan yang paling dekat sekalipun, yakini hubungan bapak-anak. Allah telah memutuskan hubungan nabi Nuh dan anaknya yang tidak beriman (lihat QS. Hud ayat 46) Upaya untuk duduk bersama mengkaji berbagai masalah dari berbagai agama, sebenarnya merupakan sinkretisme, yaitu paham yang menyamadudukkan kedudukan semua agama. Paham ini lahir dari ide sekulerisme, yang pada intinya menjauhkan agama dari pengaturan kehidupan bermasyarakat dibangun dengan dasar di luar agama. (Muhammad Quthb, Ancaman Sekulerisme, 1986). Apabila pemikiran seperti itu disebarkan dalam masyarakat Islam berarti mencampurkan Islam dengan dengan agama lain.

Memang Islam mengajarkan agar kaum muslimin tidak memaksa non muslim menganut Islam. Namun alasannya bukan karena semua agama mengandung kebenaran, lantas mencari titik temu antar berbagai agama. Sebaliknya, sikap ini diperintahkan Allah karena telah nyata sekali bahwa Islam itu haq dan lainnya adalah bathil (QS. Al-Baqarah 256). Justru itu Islam menyuruh setiap muslim mengajak setiap pemeluk agama lain agar masuk Islam, dengan argumentasi logis, bukti yang nyata, dan tanpa paksaan. Itulah yang dilakukan Rasulullah SAW, para sahabat, dan genarasi kaum muslimin berikutnya.

Sungguh, tak ada generasi kaum muslimin yang secara hina duduk bersama orang-orang ahli kitab lalu diam dan mengakui begitu saja kesesatan aqidah mereka, melainkan genarasi yang tertipu oleh civilisasi Barat, lebih lebih setelah runtuhnya negara Khilafah Islamiyah (Utsmaniyah) oleh persekongkolan Mustafa Kemal (Yahudi) dengan penjajah Inggris (Nashrani). Dan penulis malah bertambah khawatir kalau opini-opini yang disebarkan oleh kaum muslimin sendiri yaitu Islam, Nashrani dan yahudi) dengan dalih UNTUK MEMBENTUK PERDAMAIAN ANTARA KETIGA PEMELUK AGAMA itu terwujud, maka ratalah jalan bagi Yahudi, yaitu Israel mewujudkan cita-citanya menguasai dengan aman wilayah Palestina, atau lebih sadis lagi bila opini itu pun berhasil merasuki pemikiran kaum muslimin, maka akan sangat mudah sekali bagi kedua kekuatan tersebut (Yahudi dan Nasrani) untuk menguasai negeri-negeri kaum muslimin di seluruh penjuru dunia. Padahal bagaimana kurang jelas dalam Al-Quran dikatakan bahwa orang-orang Yahudi dan Nasrani tidak akan ridlo (senang) kepada kaum muslimin sampai kaum muslimin mengikuti agama mereka. Naudzubillah!!!

Sebuah Solusi

Islam adalah dien yang menyeluruh dan sempurna dan pasti mempunyai solusi (pemecah) atas segenap persoalan yang terjadi di antara ummat manusia, termasuk salah satunya adalah bagaimana mengatur hubungan di dalam anggota masyarakat. Sudah terlalu banyak fakta yang bisa dibuktikan bahwa selama berabad-abad ketika seluruh aturan-aturan Islam diterapkan secara keseluruhan maka disitulah Islam sebagai Rahmatan lil Alamin. Sejarawan Max Dimont pun mengakui tentang keberhasilan Islam seperti yang terjadi di Andalusia yang dalam pandangan Dimont selama 500 tahun di bawah pemerintahan Islam, Spanyol ibarat tiga agama dan satu tempat tidur. Islam, Kristen, dan Yahudi hidup rukun dan sama-sama menyertai peradaban yang gemilang. Adapun fakta yang terjadi saat ini di muka bumi ini adalah bahwa hukum-hukum Islam tidak lagi dijadikan sebagai rujukan atas pemecahan segenap permasalahan. Kekhawatiran agama-agama yang lain selain Islam terhadap kaum muslimin bahkan terhadap Islam itu sendiri adalah karena mereka tidak melihat secara riil dan utuh bangunan Islam secara keseluruhan, seperti yang dicontohkan oleh Rasulullah Muhammad saw yang agung serta para sahabat sampai keruntuhan Daulah (negara) Khilafah Islamiyah di muka bumi ini. Bagaimana tidak, dalam masyarakat Islam, warga masyarakat yang bukan muslim yang disebut sebagai Ahlu Dzimmah hidup dengan tentram di bawah perlindungan Islam. Jadi, mereka berada dalam jaminan keamanan kaum muslimin, tanpa ada perbedaan sedikit pun juga.Aqad dzimmah berlaku selamanya, yang mengandung arti membolehkan orang-orang non muslim tetap dalam mereka, juga menikmati hak-hak mereka disamping perlindungan, dan perhatian. Adapun hak-hak ahlu dzimmah yang dijamin oleh Allah dan Rasulnya, antara lain:

1. Hak Perlindungan,yaitu meliputi perlindungan dari serangan luar maupun kezaliman negeri sehingga mereka merasa aman dan tentram. Rasulullah saw bersabda:

yang berasal dari dalam

Barang siapa bertindak zalim terhadap seseorang yang terikat perjanjian keamanan dengan kaum muslimin atau membebaninya lebih dari kemampuannya, atau mengambil sesuatu dengan tanpa keridloannya, maka akulah yang akan menjadi lawan si zalim itu kelak pada hari Kiamat (HR. Abu Daud, Baihaqi dalam Sunan Al Kubra, Juz V:205). Imam Qarafi Al Malikidalam Kitab Al-Furuq, Juz III: 14-15 menyatakan: Apabila kaum kafir datang ke negeri kita hendak mengganggu orang yang berada dalam perlindungan aqad dzimmah maka wajib atas kita menghadang dan memerangi mereka dengan segala kekuatan dan senjata, bahkan kita harus siap mati demi menjaga keamanan dan keselamatan orang yang berada dalam dzimmah Allah dan dzimmah Rasul-Nya.

2. Perlindungan nyawa dan badan.Nyawa atau darah mereka sepenuhnya dijamin. Pembunuhan ahlu dzimmah diharamkan dalam Islam. Rasulullah bersabda: Barang siapa membunuh seorang muahid (orang yang terikat perjanjian) tidak lah akan mencium bau syurga, sedangkan harumnya dapat tercium dari jarak 40 tahun.(HR. Bukhari, Ahmad dan Ibnu Majah). Diriwayatkan pula Khalifah Ali bin Abi Thalib ra. Pernah memerintahkan seorang muslim untuk dihukum mati (qishash)karena membunuh ahli dzimmah, namun sebelum hal itu dilaksanakan datanglah keluarga korban untuk memaafkannya. Lalu, Ali ra. Bertanya:

Jangan-jangan ada orang yang mengancam atau menakut-nakuti engkau. Mereka menjawab: Tidak, namun aku pikir pembunuhan tidak akan menghidupkan kembali saudaraku, maka berilah saja aku tebusan (diyat) dan aku rela seperlunya. Ali pun berkata: Engkau lebih tahu, barang siapa terikat dengan dzimmah kami, maka darahnya sama

seperti darah kami (kaum muslimin) dan diyatnya sama seperti diyat kami.(HR Thabrani dan Baihaqi dalam Sunan Kubra, Juz VIII:34)

3. Perlindungan terhadap harta benda. Imam Abu Yusuf dalam kitab Al-Kharaj halaman 72 menukil riwayat mengenai perjanjian Nabi SAW dengan orang-orang Nasrani Najran: Bagi orang-orang Najran dan para pengikut mereka diberi jaminan Allah dan dzimmah Muhammad, Bani dan Rasul-Nya atas segala harta benda mereka, tempat peribadatan, serta apa saja yang berada di bawah kekuasaan mereka baik sedikit maupun banyak.

4. Perlindungan atas kehormatan. Islam menjamin mereka atas kehormatan dan harga diri. Siapapun tidak boleh mencaci maki ahlu dzimmah atau mengajukan tuduhan palsu, mejelek-jelekkannya, menggunjing dengan ucapan yang tidak disukai, dll. Imam Qarafi menyatakan: Aqad dzimmah mewajibkan berbagai hak untuk mereka sebab mereka berada dalam perlindungan kita, penjagaan kita, dzimmah kita, dzimmah Allah dan rasul-Nya serta agama Islam. Maka barang siapa melakukan pelanggaran atas mereka meski satu kata busuk atau gunjingan , maka ia berarti sudah menyia-nyiakan dzimmah Allah, rasul-Nya, serta dzimmah Islam.

5. Jaminan hari tua dan kemiskinan.Lebih dari itupun mereka berhak jaminan hidup, jika mereka berada dalam kekafiran dan kemiskinan. Sebab seorang kepala negara dalam kekhilafahan Islam adalah pemimipin atas seluruh rakyatnya dan ia akan dimintai pertanggungjawabannya di sisi Allah kelak atas perbuatannya terhadap rakyatnya. Rasul saw bersabda: Seorang imam (kepala negara) adalah pemimpin dan setiap pemimpin akan dimintai pertanggungjawabannya (atas rakyat yang dipimpinnya) (HR. Muslim). Dalam hal ini Umar bin Khathab pernah menjumpai seorang Yahudi tua yang tengah mengemis. Ketika dikatakan kepadanya, ternyata usia dan kebutuhan hidupnya mendesak untuk berbuat itu. Maka Umar segera membawanya kepada bendahara Baitul Mal dan memerintahkan agar ditetapkan bagi orang itu dan dan orang-orang seperti dia sejumlah uang dari Kas Negara (baitul mal) yang mencukupi kebutuhan mereka. Lalu Umar berkata: Kita telah bertindak dzalim terhadapnya, menerima jizyah tatkala masih muda kemudian menelantarkannya tatkala telah lanjut usia.

6. Kebebasan Menjalankan Agama.Kebebasan menjalankan agama dan beribadah bagi ahlu dzimmah adalah hak dan bagi Khalifah menjaga hal tersebut adalah suatu kewajiban, sebagaimana firman Allah SWT : maka apakah kamu hendak memaksa manusia supaya mereka menjadi orang-orang beriman semuanya?(QS. Yunus:99) Dalam kitab Tarikh Thabari, Juz II: 609 dijelaskan bahwa pada saat Umar bin Kathab memasuki kota AlQuds (Yerussalem), beliau membuat perjanjian dengan orang-orang Nasrani di kota itu dengan bunyi teks sbb.: Inilah perjanjian perlindungan keamanan yang diberikan oleh hamba Allah, Umar Amiirul Muminin kepada penduduk Illiya, yaitu keamanan bagi mereka harta benda mereka, gereja-gereja, salib-salib, serta segala keperluan peribadatan. Bangunan gereja mereka tidak akan diduduki, dirobohkan, atau dikurangi luasnya, diambil salibsalibnya atau apapun dari harta benda mereka . Tidak pula mereka akan dipaksa meninggalkan agama mereka atau diganggu dengan suatu gangguan dan tidak akan dibolehkan seorangpun dari kaum Yahudi bertempat di Illya bersama mereka". Demikianlah gambaran kehidupan antara kaum muslimin dan kaum yang lain yang hidup dalam aturan-aturan Islam. Islam memandang bahwa Keadilan yang konon kata para pejuang demokrasi dan Hak-hak Asasi Manusia (bukan pejuang Islam) adalah pangkal dari segala permasalahan akan terwujud jika hanya manusia hidup dalam naungan Islam. Artinya adalah bahwa Islam memandang bahwa Keadilan pasti akan terwujud jika hanya aturan Islam yang dijadikan sebagai rujukan, karena Islam telah menjamin bahwa jika hukum-hukum Islam diterapkan di muka bumi pasti akan menimbulkan kemashlahatan. Inilah rahmatan lil alamin yang sesungguhnya.

Oleh karenanya jelas bagi kita kaum muslimin adalah bahwa tugas kita saat ini adalah mengembalikan kembali kehidupan Islam dan menerapkan aturan Islam di tengah-tengah manusia di muka bumi dengan jalan mendirikan Daulah Khilafah Islamiyah Ala Minhajinnubuwwah.

Islam dan Paham Pluralisme Agama


WRITTEN BY HAMID FAHMY ZARKASYI

67 Share
Pendahuluan Pikiran yang menganggap semua agama itu sama telah lama masuk ke Indonesia dan beberapa negara Islam lainnya. Tapi akhir-akhir ini pikiran itu menjelma menjadi sebuah paham dan gerakan baru yang kehadirannya serasa begitu mendadak, tiba-tiba dan mengejutkan. Ummat Islam seperti mendapat kerja rumah baru dari luar rumahnya sendiri. Padahal ummat Islam dari sejak dulu hingga kini telah biasa hidup ditengah kebhinekaan atau pluralitas agama dan menerimanya sebagai realitas sosial. Piagam Madinah dengan jelas sekali mengakomodir pluralitas agama saat itu dan para ulama telah pula menjelaskan hukum-hukum terkait. Apa sebenarnya dibalik gerakan ini? Sebenarnya paham inipun bukan baru. Akar-akarnya seumur dengan akar modernisme di Barat dan gagasannya timbul dari perspektif dan pengalaman manusia Barat. Namun kalangan ummat Islam pendukung paham ini mencari-cari akarnya dari kondisi masyarakat Islam dimasa lalu dan juga ajaran Islam. Kesalahan yang terjadi, akhirnya adalah menganggap realitas kemajmukan (pluralitas) agama-agama dan paham pluralisme agama sebagai sama saja. Parahnya, pluralisme agama malah dianggap realitas dan sunnatullah. Padahal keduanya sangat berbeda. Yang pertama (pluralitas agama) adalah kondisi dimana berbagai macam agama wujud secara bersamaan dalam suatu masyarakat atau Negara. Sedangkan yang kedua (pluralisme agama) adalah suatu paham yang menjadi tema penting dalam disiplin sosiologi, teologi dan filsafat agama yang berkembang di Barat dan juga agenda penting globalisasi. Solusi Islam terhadap adanya pluralitas agama adalah dengan mengakui perbedaan dan identitas agama masing-masing (lakum dnukum wa liya dn). Tapi solusi yang ditawarkan paham pluralisme agama lebh cenderung menghilangkan perbedaan dan identitas agama-agama yang ada. Jadi menganggap pluralisme agama sebagaisunnatullah adalah klaim yang berlebihan dan tidak benar. Dalam paham pluralisme agama yang berkembang di Barat sendiri terdapat sekurang-kurangnya dua aliran yang berbeda: yaitu: 1) Paham teologi global (global theology) dan 2) Paham kesatuan transenden agama-agama (Transcendent Unity of Religions). Kedua aliran ini telah membangun gagasan, konsep dan prinsip masing-masing yang akhirnya menjadi paham yang sistemik. Munculnya kedua aliran diatas juga disebabkan oleh dua motif yang berbeda, meskipun keduanya muncul di Barat dan menjadi tumpuan perhatian masyarakat Barat. Tapi yang satu justru menyalahkan yang lain.

Aliran Global Theology Bagi aliran pertama yang diwarnai oleh kajian sosiologis motif terpentingnya adalah karena tuntutan modernisasi dan globalisasi. Karena pentingnya agama di era globalisasi ini maka hubungan globalisasi dan agama menjadi tema sentral dalam sosiologi agama. Tentang hubungan antara agama dan globalisasi bisa dibaca dari Religion and Globalization, karya Peter Bayer, Islam, Globalization and Postmodernity, karya Akbar S Ahmed dan H. Donnan, The Changing Face of Religion, karya James A Beckford dan Thomas Luckmann atau Religion and Global Order, oleh Ronald Robertson dan WR. Garet. Bagi aliran pertama agama dianggap sebagai kendala bagi program globalisasi. Oleh sebab itu menurut Walters globalisasi dan kapitalisme digunakan untuk mengurangi atau bahkan menghapus otoritas agama, politik, militer dan sumber kekuasaan lainnya. (lihat Walters, Globalization (London:Routledge, 1995, hl 36). Cara yang ditempuh dalam program globalisasi ini adalah dengan mendorong semua pihak agar menjadi terbuka dan bebas menerima berbagai ideologi dan nilai-nilai sosial yang dianggap universal. Maraknya seminar tentang global ethic, religious dialogue, inter-faith dialogue yang diadakan oleh World Council of Religions dan lembaga lain merupakan bagian dari program globalisasi. Organisasi non pemerintah (NGO) di dunia ketiga yang bergerak dalam bidang ini pun mendapat kucuran dana dengan mudah. Bukti bahwa Barat berkepentingan dengan paham ini dapat dilihat dari tema yang diangkat jurnal The Muslim World, rintisan tokoh missionaries Zwemmer volume 94 No.3, tahun 2004. Jurnal missionaris itu menurunkan tema pluralisme agama dengan fokus dialog Islam Kristen. Jika globalisasi bukan merupakan program sudah tentu framework Barat tidak akan dominan. Tapi kenyataannya standar universal yang harus diterima semua agama dan semua bangsa dan peradaban itu berasal dari kebudayaan Barat. Demokrasi, Hak Asasi Manusia, feminisme / gender, liberalisme dan sekularisme adalah ideologi dan nilai-nilai asli Barat. Buktinya nilai moral dan etika yang berkaitan dengan masalah seks yang diterima semua agama, misalnya, tidak dijadikan nilai universal. Program globalisasi yang memarginalkan agama adalah murni pengalaman Barat. Di Barat pergumulan pemikiran untuk menyeret agama agar akomodatif terhadap tuntutan sosial lebih dominan ketimbang upaya menciptakan masyarakat religius. Dalam sejarahnya Barat memang berhadapan dengan doktrin agama Kristen yang ekslusif, dengan doktrinnya extra exxlesiam nulla salus (diluar gereja tidak ada keselamatan) dan diluar Kristen tidak ada kesalamatan. Tapi karena tuntutan social sangat kuat, maka doktrin itupun bergeser menjadi penerimaan semua yang menyembah tuhan sebagai termasuk kedalam agama Kristen (inklusif). Doktrin inkusif inipun akhirnya bergeser lagi menjadi pluralisme. Paham pluralisme agama dalam merespon program globalisasi ini diusung oleh seorang penganut Protestan bernama John Hick dengan teori teologi globalnya (global theology). Sejalan dengan John Hick adalah Wilfred Cantwell Smith, pendiri McGill Islamic Studies. Ia mengajukan teori teologi dunianya (world theology). Keduanya membawa paham yang sama satu teologi untuk semua agama diseluruh dunia. Solusi yang ditawarkan aliran ini berdasarkan motif sosiologis dengan konsep dunia yang tanpa batas geografis kultural, ideologis, teologis, kepercayaan dan lain-lain. Artinya identitas kultural, kepercayaan dan agama harus dilebur atau disesuaikan dengan zaman modern. Kelompok ini yakin bahwa agama-agama itu berevolusi dan nanti akan saling mendekat yang pada akhirnya tidak akan ada lagi identitas agama-agama apalagi perbedaan antara satu agama dengan lainnya. Agama-agama itu kemudian akan melebur menjadi satu teologi yang disebut teologi global (global theology). Tokoh-tokoh lain dapat dilihat dari karya Hick berjudul Problems of Religious Pluralism. Pada halaman dedikasi buku ini John Hick menulis yang terjemahannya begini: Kepada kawan-kawan yang merupakan nabi-nabi pluralisme agama dalam berbagai tradisi mereka: Masau Abe dalam agama Buddha, Hasan Askari dalam Islam, Ramchandra Gandhi dalam agama Hindu, Kushdeva Singh dalam agama Sikh, Wilfred Cantwell Smith dalam agama Kristen dan Leo Trepp dalam agama Yahudi.

Aliran Transenden

Berbeda dari motif aliran pertama yang diwarnai pendekatan sosiologis, motif aliran kedua yang didominasi oleh pendekatan filosofis dan teologis Barat justru kebalikan dari motif aliran pertama. Kalangan filosof dan teolog justru menolak arus modernisasi dan globalisasi yang cenderung mengetepikan agama itu dengan berusaha mempertahankan tradisi yang terdapat dalam agama-agama itu. Yang pertama memakai pendekatan sosiologis, sedangkan yang kedua memakai pendekatan religious filosofis. Solusi yang ditawarkan oleh aliran kedua adalah pendekatan religious filosofis dan membela eksistensi agama-agama. Bagi kelompok ini agama tidak bisa di rubah begitu saja dengan mengikuti zaman globalisasi, zaman modern ataupun post-modern yang telah meminggirkan agama itu. Agama tidak bisa dilihat hanya dari perspektif sosilogis ataupun histories dan tidak pula dihilangkan identitasnya. Kelompok ini lalu memperkenalkan pendekatan tradisional dan mengangkat konsep-konsep yang diambil secara parallel dari tradisi agama-agama. Salah satu konsep utama kelompok ini adalah konsep sophia perrenis yang diterjemahkan kedalam bahasa Hindu menjadiSanata Dharma atau kedalam bahasa Arab menjadi al-ikmah alkhlidah. Konsep ini mengandung pandangan bahwa di dalam setiap agama terdapat tradisi-tradisi sakral yang perlu dihidupkan dan dipelihara secara adil, tanpa menganggap salah satunya lebih superior dari pada yang lain. Agama bagi aliran ini adalah bagaikan jalan-jalan yang mengantarkan ke puncak yang sama (all paths lead to the same summit). Aliran kedua ini mengusung ide kesatuan transenden agama-agama (Transcendent Unity of Religions). Penggagas awalnya Fritjhof Schuon yang diilhami oleh Rene Guenon. Schuon yang dikabarkan masuk Islam itu mempunyai pengikut fanatik dari cendekiawan Muslim asal Iran yaitu Seyyed Hossein Nasr. Beliaulah yang menterjemahkan istilah philosophia perrenis itu menjadi al-ikmah al-khlidah.Jadi Guenon, Schuon dan Nasr mendukung paham kesatuan transenden agama-agama. Pendekatan yang diambil aliran ini berasal dari pengalaman spiritual dari tradisi mistik yang terdapat dalam tradisi agama-agama. Dalam kasus Islam mereka mengambil pengalaman spiritual dari tradisi sufi. Artinya mereka mengklaim bahwa para sufi itu pluralis Tokoh pencetus dan pendukung paham ini adalah Ren Gunon (m. 1951), T. S. Eliot (m. 1965), Titus Burckhardt (m. 1984), Fritjhof Schuon (m.1998), Ananda K. Coomaraswamy (m. 1947), Martin Ling, Seyyed Hossein Nasr, Huston Smith, Louis Massignon, Marco Pallis (m. 1989), Henry Corbin, Jean-Louis Michon, Jean Cantein, Victor Danner, Joseph E. Brown, William Stoddart, Lord Northbourne, Gai Eaton, W. N. Perry, G. Durand, E. F. Schumacher, J. Needleman, William C. Chittick dan lainlain.

Pluralisme Agama dan Ilmu Perbadingan Agama Pluralisme agama juga memiliki kaitan erat dengan ilmu perbandingan agama. Pada mulanya masalah ekslusifisme suatu agama adalah wacana teologis, namun karena di Barat teologi berada di bawah filsafat, maka wacana pluralisme agama berada di tangan para filosof. Para filosof yang merasakan trauma hegemoni gereja dan otoritas mutlak para teolog, merasa perlu untuk melawan. Dan ini dilakukan mereka dengan cara mengetrapkan pemikiran yang bebas secara ekstrim. Dengan kebebasan itu mereka memarginalkan agama, mengangkat doktrin nihilisme nilai, mendobrak teologi dan bahkan memasung kekuasaan Tuhan. Agama di Barat akhirnya menjadi obyek kajian para filosof yang tidak mempunyai otoritas itu. Rasionalisasi agama tidak berarti memahami agama secara rasional, tapi lebih merupakan upaya agar agama itu tunduk pada pemahaman rasio manusia. Jika suatu agama tidak sesuai dengan tuntutan social maka doktrin agama perlu dikorbankan. Pluralisme agama adalah upaya agar doktrin-doktrin agama itu tunduk pada kondisi social dan tuntutan akal manusia. Doktrin nihilisme misalnya merupakan upaya untuk menundukkan dan bahkan menghapus supremasi kebenaran agama. Dari kondisi seperti ini maka bola diskursus agama berada ditangan para filosof, yang kebanyakan adalah aktifis atau mantan aktifis gerakan Protestan Liberal. Di Barat sudah bukan rahasia lagi bahwa teologi menjadi bulan-bulanan para filosof (theology was subservient to philosophy). Untuk sekedar menyebut beberapa nama, Sartre, Heidegger, Jung, Ludwig Feurbach, William James, Nietzsche, Kant dan lain-lain, adalah filosof-filosof yang bicara soal agama. Para pakar sosiologi, psikologi, antropologi

dll pun ikut-ikutan. Para sosiolog menggunakan teori evolusi Charles Darwin (1809-1882) untuk menjustifikasi adanya perubahan dalam agama. Herbert Spencer (1820-1904) juga mengikuti. Friedrich Max Muller (1794-1827), Emile Durkheim (1858-1917), Rudolf Otto (1869-1937) dan lain-lain mengaitkan agama dengan realitas sosial. Dengan dihapuskannya supremasi agama maka teologi dianggap tidak relevan lagi. Para filosof akhirnya mencari rumah baru untuk memberi tempat bagi diskusi-diskusi mereka tentang agama.Rumah Baru itu adalah disiplin ilmu baru yang tidak disebut teologi, tapi philosophy of religion yang akarnya adalah comparative religion. Disini seakan-akan pembahasan agama bebas dari paham sesuatu agama. Dari diskursus tentang agama-agama inilah muncul teori dan paham pluralisme agama. Wacana pluralisme agama yang kini telah menjadi paham atau doktrin ini kemudian masuk dalam diskusi-diskusi tentang toleransi beragama, kerukunan umat beragama, inter-faith dialogue dan semacamnya. Bahkan pasca kejadian 11 september pluralisme agama nampak seperti diramu dengan doktrin liberalisme agar menjadi pain-killer bagi fenomena terorisme dan ekstrimisme. Harus diakui bahwa Filsafat Agama adalah suatu disiplin ilmu yang metode dan teorinya adalah filsafat Barat. Obyeknya adalah semua agama. Sudah tentu ketika filsafat membahas agama-agama itu, worldview Barat berada pada posisi bird-eye. Doktrin filsafat berada diatas doktrin agama-agama. Bahkan dalam era globalisasi disiplin ilmu ini kemudian di kembangkan menjadi Filsafat Agama Lintas Kultural (Cross-cultural philosophy of religion). Ini berarti bahwa obyek kajian filsafat agama diperluas dari sekedar agama yang ada dalam kultur Barat menjadi agama-agama dan kepercayaan yang berasal dari kultur lain. Metode dan cara pandangnya tetap pemikiran filsafat, sosioligi dan antropologi Barat. Agama hanya dianggap sebagai produk dari kreatifitas manusia dan akan terus berubah sebagaimana makhluk hidup (living organism). Namanya pun dirubah menjadi sekedar penumpukan tradisi (cummulative tradition). Namun, menurut Thomas Dean, dalam Religious Pluralism and Truth benih-benih disiplin ilmu filsafat agama telah ada sejak tahun 1950an, ia berbuah pada tahun 1960-an, membesar pada tahun 1970-an dan menjadi buah masak pada tahun 1980-an. Benihnya dimulai dari Ninian Smart, seorang filosof dan sejarawan Barat yang pada tahun 1958 menerbitkan karya filsafat agama yang berjudul Reason and Faith. Dalam buku ini ia menghimbau agar filsafat dan sejarah agama baik di Barat maupun di Asia bekerjasama. Hal ini baginya sangat penting agar filsafat agama dapat berperan dalam kebudayaan yang pluralistis dan global pada akhir abad ke dua puluh. Menurut Dean, selama hampir dua puluh tahun buku ini belum tertandingi dan dianggap pioneer dalam bidangnya. Periode pengembangan yang terjadi pada tahun 1960an ditandai oleh peluncuran buku Wilfred Cantwell Smith yang berjudul The Meaning and End of Religion. Buku dianggap telah membuka jalan bagi formulasi baru tentang problematika pemahaman agama lintas kultural. Sebab disini, untuk pertama kalinya, ia menunjukkan sumbangan sejarah dan fenomenologi agama-agama terhadap filsafat agama lintas kultural. Buku ini menjadi penting karena selain mendukung pandangan bahwa kehidupan keagamaan manusia adalah sebuah dynamic historical continuum,juga menolak klaim kelompok transendentalis seperti Rene Guenon, F.Schuon, S.H.Nasr yang menganggap agama-agama didunia secara konseptual merupakan sistim tertutup. Wacana ini kemudian mendapat sokongan dari para filosof dan ilmuwan di bidang agama. Pada tahun 1970an, yakni periode pembesaran, ditandai oleh penerbitan essay analitis yang ditulis William Christian yang berjudul Opposition of Religious Doctrines (1972) yang mendapat sambutan luas itu. Ditambah lagi ketika karya kroyokan para filosof dan pakar sejarah agama yang berjudul Truth and Dialogue in World Religions: Conflicting Truth-Claim (1974) dan yang disunting John Hick terbit. Buah itu menjadi semakin besar ketika Raimundo Panikkar menerbitkan bukunya,The Intrareligious Dialogue (1978) dan Hick sendiri menulis buku Philosophy of Religion. Sebagai titik kulminasi dari wacana ini adalah terbitnya karya Wilfred Smith yang berjudul Towards World Teology, dan karya John Hick berjudulProblems of Religious Pluralism (1985) dan Interpretation of Religion (Gifford Lecture, 1986-87). Didalam karyanya inilah Hick mendeklarasikan perlunya teologi global. Jadi buah masak dari disiplin filsafat agama adalah pluralisme agama. Goal getter nya adalah Smith dan Hick.

Dari paparan diatas semakin jelas bahwa hubungan antara doktrin pluralisme agama dengan pemikiran filosof dan saintis sangat erat. Smith yang mangadopsi teori Newtonian Revolution menganggap agama-agama itu sebagaiplanet-planet yang memiliki hukum gravitasi dan pergerakan yang sama. Jika hukum-hukum alam ini tidak hanya berlaku pada planet bumi saja maka hukum-hukum agama itu tidak hanya berlaku pada satu agama saja, tapi juga berlaku untuk semua agama. Sementara itu global teologi John Hick mengadopsi teori Copernican Revolution. Jika Copernicus memindahkan pusat gravitasi dari bumi ke matahari maka Hick memindahkan pusat gravitasi teologi dari agama-agama kepada Tuhan (Religion-centredness to God centredness), dalam bahasa lain Hick memindahkan keberagamaan dari individu kepada Realitas Mutlak (self-centredness to Reality centredness). Konon gagasan pluralisme agama yang dicari akarnya dari ide pluralitas alam itu mula-mula diangkat oleh John Donne, seorang sastrawan Inggeris abad ke 16 (John Donne, dikutip dari Steven J. Dick, Plurality of Worlds (1982), hal. 49.). Ide ini kemudian berkembang menjadi pemikiran yang pluralistis pada abad-abad berikutnya di Eropah. Akan tetapi kini orang menganggap Smith dan Hick sebagai pioneer doktrin ini.

Kesimpulan Karena plurlasme agama ini sejalan dengan agenda globalisasi, ia pun masuk kedalam wacana keagamaan agama-agama, termasuk Islam. Ketika paham ini masuk kedalam pemikiran keagamaan Islam respon yang timbul hanyalah adopsi ataupun modifikasi dalam takaran yang minimal dan lebih cenderung menjustifikasi. Respon yang tidak kritis ini akhirnya justru meleburkan nilai-nilai dan doktrin-doktrin keagamaan Islam kedalam arus pemikiran modernisasi dan globalisasi. Para pendukung paham pluralisme ini sangat getol berupaya memaknai kembali konsep Ahlul Kitb dengan mengesampingkan penafsian para ulama yang otoritatif. Dalam memaknai konsep itu proses dekonstruksi dengan menggunakan ilmu-ilmu Barat modern dianggap sah-sah saja. Inilah sebenarnya yang telah dilakukan oleh Mohammad Arkoun. Ia menyarankan, misalnya, agar pemahaman Islam yang dianggap ortodoks ditinjau kembali dengan pendekatan ilmu-ilmu sosial-historis Barat. Dan dalam kaitannya dengan pluralisme agama ia mencanangkan agar makna Ahl al-Kitb itu didekonstruksi agar lebih kontekstual. Paham pluralisme agama ini ternyata bukan hanya sebuah wacana yang sifatnya teoritis, tapi telah merupakan gerakan social yang cenderung politis. Karena ia adalah gerakan social, maka wacana teologis dan filosofis ini akhirnya diterima masyarakat awam sebagai paham persamaan agama-agama. Tokoh-tokoh masyarakat, artis, aktifis LSM, tokoh-tokoh politik kini tidak segan-segan lagi mengatakan bahwa semua agama adalah sama, tidak ada agama yang lebih benar dari agama lain.

Islam dan Pluralisme Agama Menuju Masyarakat Madani


Ditulis oleh redaksiDirektur, Kolom 1, Kolom 2, Kolom 3Feb 7, 2011

Setiap agama membawa misi sebagai pembawa kedamaian dan keselarasan hidup bukan saja antar manusia, tetapi juga antar sesama makhluk Tuhan penghuni semesta ini. Di dalam terminologi al-Quran misi suci itu disebut rahmah li al-alamin (rahmat dan kedamaian bagi semesta). Namun, dalam tataran historisnya, misi agama tidak selalu artikulatif. Selain sebagai alat pemersatu sosial, agama pun menjadi unsur konflik. Bahkan menurut Schimmel, dua unsur itu menyatu dalam agama. Mungkin pernyataan ini agak berlebihan. Namun jika melihat perjalanan sejarah dan realitas di muka bumi ini, pernyataan tersebut menemukan landasan historisnya sampai sekarang. Hanya, bagaimana realitas itu hendaknya bisa memicu para pemeluk agama untuk merefleksikan kembali ekspresi keberagamaannya yang sudah sedemikian mentradisi dalam hidup dan kehidupannya.

Berkaitan dengan itu, maka salah satu yang menjadi problem paling besar dalam kehidupan beragama dewasa ini, yang ditandai oleh kenyataan pluralisme, adalah bagaimana teologi dari suatu agama mendefinisikan diri di tengah-tengah agama lain: what should one think about religions other than ones own?. Dengan semakin berkembangnya pemahaman mengenai pluralisme agama, berkembanglah suatu faham teologia religionum. Paham ini menekankan semakin pentingnya dewasa ini untuk berteologi dalam konteks agama-agama. Pada tingkat pribadi, hubungan antar tokoh agama di Indonesia mungkin tidak menjadi persoalan. Tetapi pada tingkat teologis, yang merupakan dasar dari agama itu, muncul kebingungan-kebingungan, khususnya mengenai bagaimana kita harus mendefinisikan diri di tengah agama lain yang juga eksis. Paparan dalam tulisan ini untuk melihat bagaimana agama bisa berfungsi pada masyarakat yang pluralistis dan tidak saling berbenturan. Masalahnya, tentu bukan karena agama itu datang built-in dengan konflik dan tampil a-sosial, tetapi karena sering kita lihat bahwa para pemeluknya telah mengekspresikan kebenaran agamanya secara monolitik dan eksklusif, dalam arti bahwa subyektivitas kebenaran yang diyakininya seringkali menafikan kebenaran yang diyakini pihak lain. Klaim Kebenaran (truth claim) Setiap agama memiliki kebenaran. Keyakinan tentang yang benar itu didasarkan kepada Tuhan sebagai satu-satunya sumber kebenaran. Dalam tataran sosiologis, klaim kebenaran berubah menjadi simbol agama yang dipahami secara subyektif personal oleh setiap pemeluk agama. Ia tidak lagi utuh dan absolut. Pluralitas manusia menyebabkan wajah kebenaran itu tampil beda ketika akan dimaknai dan dibahasakan. Sebab keperbedaan ini tidak dapat dilepaskan begitu saja dari berbagai referensi dan latar belakang yang diambil peyakin dari konsepsi ideal turun ke bentuk-bentuk normatif yang bersipat kultural. Dan ini yang biasanya di gugat oleh berbagai gerakan keagamaan (harakah) pada umumnya. Sebab mereka mengklaim telah memahami, memiliki, dan bahkan menjalankan secara murni dan konsekuen nilai-nilai suci itu. Keyakinan tersebut menjadi legitimassi dari semua perilaku pemaksaan konsep-konsep gerakannya kepada manusia lain yang berbeda keyakinan dan pemahaman de-ngan mereka. Armahedi Mahzar1 menyebutkan bahwa ab-solutisme, eksklusivisme, fanatisme, ekstrimisme, dan agresivisme adalah penyakit yang biasanya menghinggapi aktifis gerakan keagaman. Absolutisme adalah kesombongan intelektual; ekslusivisme adalah kesombongan sosial; fanatisme adalah kesombongan emosional; ekstremisme adalah berlebih-lebihan dalam bersikap; dan agresivisme adalah berlebih-lebihan dalam melakukan tindakan fisik. Tiga penyakit pertama adalah wakil resmi kesom-bongan (ujub). Dua penyakit terakhir adalah wakil resmi sifat berlebih-lebihan. Nampaknya, perlu adanya pelurusan pemahaman dari pandangan umum bahwa seseorang yang memiliki intelektualitas dalam beragama memiliki tingkat ritualitas dan spiritualitas yang tinggi pula. Tetapi sebaliknya, boleh jadi orang yang dipandang kalangan awam tidak memiliki intelektualitas cemerlang dan menjalankan ritus ala kadar-nya mempunyai tingkat spiritualitas yang tinggi. Pandangan seperti itu tidak selamanya benar. Sosok seorang petani, misalnya, yang kesadaran eksistensial sebagai petani bukan tidak mungkin lebih religius daripada sosok mahasiswa aktivis dakwah atau misi yang berteriak ke sana kemari menyuarakan perdamaian, tetapi menyimpan rasa ingin dipuji. Inilah barangkali yang dikemukakan oleh F. Schuon2 bahwa dikarenakan agama lebih menekankan pada iman (faith), kebajikan, dan

pengalaman (riyadhah) ketimbang akal (rasio). Manusia memiliki jiwa abadi untuk diselamatkan tanpa harus menjadi pandai. Sebaliknya, tidak setiap pandai dapat diselamatkan. Kita memang sulit melepaskan kerangka (frame) subyektivitas ketika keyakinan pribadi berhadapan dengan keyakinan orang lain yang berbeda. Sekalipun ada yang berpendapat bahwa kerangka subyektif adalah cermin eksistensi yang alamiah. Lagi pula, setiap manusia mustahil menempatkan dua hal yang saling berkontradiksi satu sama lain dalam hatinya. Dengan begitu, kita tidak harus memaksakan inklusivisme gaya kita pada orang lain, yang menurut kita eksklusif. Sebab, bila hal ini terjadi, pemahaman kita pun sebenarnya masih terkungkung pada jerat-jerat eksklusivisme, tetapi dengan menggunakan nama inklusivisme. Dengan demikian, pluralisme bisa muncul pada masyarakat di mana pun ia berada. Ia selalu mengikuti perkembangan masyarakat yang semakin cerdas dan tidak ingin dibatasi oleh sekat-sekat sektarianisme. Pluraslime harus dimaknai sebagai konsekuensi logis dari Keadilan Ilahi bahwa keyakinan seseorang tidak dapat diklaim benar atau salah tanpa mengetahui dan memahami terlebih dahulu latar belakang pembentukannya, seperti lingkungan sosial budaya, referensi atau informasi yang diterima, tingkat hubungan komunikasi, dan klaim kebenaran yang dibawa dengan kendaraan ekonomi-politik dan kemudian direkayasa sedemikian rupa demi kepentingan sesaat, tidak akan diterima oleh seluruh komunitas manusia manapun. Islam dan Pluralitas agama Al-Quran, sebagai wahyu Allah, dalam pandangan dan keyakinan umat Islam adalah sumber kebenaran dan mutlak benarnya. Namun demikian, kebenaran mutlak itu tidak akan tampak manakala ia tidak berinteraksi dengan realitas sosial, atau menurut Quraish Shihab,3 bagaimana alQuran dibumikan: dibaca, dipahami, dan diamalkan. Ketika kebenaran mutlak itu disikapi oleh para pemeluknya dengan latar belakang kultural maupun tingkat pengetahuan yang berbeda, maka akan muncul kebenaran-kebenaran parsial. Sehingga kebenaran yang diperoleh manusia menjadi relatif, sedangkan kebenaran mutlak tetap milik Tuhan. Untuk menggambarkan ini, pada hal-hal tertentu, misalnya, kebenaran agama Nahdlatul Ulama (NU), tidak berarti akan diterima pula sebagai kebenaran agama Muhammadiyah, begitu pula sebaliknya. Yang jelas dipandang sebagai tidak benar adalah ketika yang satu menyalahkan yang lain, atau saling menyalahkan tanpa argumentasi yang akurat. Inilah yang diingatkan Allah (Q.S.49:12) yang melarang orang-orang yang beriman berprasangka, sebab sebagian prasangka adalah dosa. Demikian pula sebaliknya, orang yang menganggap dirinya paling benar juga tidak diperkenankan (Q.S.,53:32). Sikap seperti itu tidak berarti kita harus berdiam diri terhadap kemungkinan kesalahan orang lain atau lingkungan di sekitarnya. Umat Islam harus bersikap kritis dan melakukan koreksi terhadap segala bentuk patologi sosial. Dalam doktrin Islam sikap korektif ini disebut amar maruf nahy munkar. Al-Quran (2:148) mengakui masyarakat terdiri dari berbagai macam komunitas yang memiliki orientasi kehidupan sendiri-sendiri. Manusia harus menerima kenyataan keragaman budaya dan agama serta memberikan toleransi kepada masing-masing komunitas dalam menjalankan ibadahnya. Oleh karena itu, kecurigaan tentang sipat Islam yang anti plural sangat tidak beralasan dari segi ideologis. Bila setiap muslim memahami secara mendalam etika pluralitas yang terdapat dalam al-Quran, maka tidak perlu lagi ada ketegangan, permusuhan, dan konflik dengan agamaagama lain, sejauh mereka tidak saling memaksakan.

Pluralisme sebagai ideologi dan gerakan politik, pernah diteladankan oleh Rasulullah kepada Umar dan diteruskan kepada para Khalifah. Bukti-bukti empiris pluralisme Islam terjadi dalam kehidupan sosial, budaya, dan politik yang konkrit di Andalusia Spanyol pada masa pemerintahan khalifah Umawy. Sejarah mencatat bahwa kedatangan Islam di Spanyol telah mengakhiri politik monoreligi secara paksa oleh penguasa sebelumnya. Pemerintah Islam yang kemudian berkuasa selama 700 tahun telah menciptakan masyarakat Spanyol yang pluralistik, sebab para pemeluk tiga agama : Islam, Kristen, dan Yahudi dapat hidup saling berdampingan dan rukun. Mereka menghargai eksistensi kebudayaan lain di luar Islam seperti Kristen dan Yahudi. Dalam hal ini, Max Dimont berpendapat bahwa era pemerintahan khalifah Umawi di Spanyol dapat dipandang sebagai rahmat yang mengakhiri zaman kezaliman penguasa yang dominatif.4 Demikian juga, ketika Rasulullah berada di Madinah, apa yang diajarkan Nabi Muhammad bukanlah upaya melegitimasi agama resmi negara saat itu dan bukan pula alat pemaksa agar orang-orang memeluk Islam seluruhnya. Dengan mengikuti prinsip universal keadilan Ilahi saja, kita ketahui bersama bahwa perbedaan latar belakang pendidikan, lingkungan sosial budaya, dan kesempatan seseorang meniscayakan diferensiasi penerimaan konsep tentang Tuhan dan Agama. Murtadha Muthahari melihat bahwa selama memerintah di Madinah, Rasulullah tidak pernah memaksakan masyarakat non-muslim, untuk mengikuti agama penguasa. Bahkan, melalui perjanjian di antara semua penduduk Madinah ditetapkan dasar-dasar toleransi demi terwujudnya perdamaian dan kerukunan. Salah satu isi perjanjian dengan Kaum Yahudi menyebutkan: Orang Yahudi yang turut dalam perjanjian dengan kami berhak memperoleh pertolongan dan perlindungan, tidak akan diperlakukan zalim. Agama Yahudi bagi orang-orang Yahudi dan agama Islam bagi orang-orang Islam. Jika ada di antara mereka berbuat zalim, itu hanya akan mencelakakan dirinya dan ke-luarganya.5 Dalam al-Quran ada ayat terkenal: Bagimu agama-mu. Bagiku agamaku (QS109:6). Dengan demikian, agama digunakan Rasulullah sebagai sumber utama keku-atan moral (moral force). Perilaku yang murni religius lebih diinginkan daripada formalisasi agama. Melihat fakta historis itu, Nurcholish Madjid berpendapat bahwa sistem nilai plural adalah sebuah aturan Tuhan (sunnatullah) yang tidak mungkin berubah, di ubah, di lawan, dan diingkari. Barangsiapa yang mencoba menging-kari hukum kemajemukan budaya, maka akan timbul fenomena pergolakan yang tidak berkesudahan. Boleh dikatakan bahwa memahami pluralitas agama dan budaya merupakan bagian dari memahami agama. Sebab, memahami agama pada dasarnya adalah juga memahami kebudayaan masyarakat secara menyeluruh. Dan, jika agama dipahami secara integral dengan kondisi sosial kulturalnya, pada saat itu pula akan tampak dengan sendirinya mana aspek budaya yang selaras dengan misi agama dan mana yang tidak. Langkah bijaksana bagi setiap umat adalah belajar dari kenyataan sejarah, yaitu sejarah yang mendorong terwujudnya masyarakat plural dan integratif. Oleh karena itu, agenda yang perlu dirumuskan oleh umat Islam Indonesia adalah mengubah pluralisme sebagai ideologi dalam kehidupan konkrit. Tentu saja umat Islam harus mampu menahan diri dari hasrat alami manusia, yakni kehendak untuk berkuasa (will to power) sehingga mampu bersikap toleran terhadap pihak lain dan menghindari hegemoni dan dominasi politik. Tentu saja tuntututan peran negara yang positif dalam memperlakukan agama. Agama bukan hanya dipandang sebagai instrumen mobilisasi politik, tetapi yang lebih penting adalah memperlakukannya sebagai sumber etika dalam interaksi, baik di

antara sesama penguasa maupun antara penguasa dengan rakyat. Kalau etika pluralisme ini dapat ditegakkan, maka tidak perlu terjadi rangkaian kerusuhan, pertikaian, dan perusakan tempat-tempat ibadah. Jika orang melakukannya, berarti ia tidak memahami ideologi pluralisme, atau tidak memahami agamanya sendiri. Kalau sikap pemeluk agama seperti demikian, maka konflik antar agama akan menjadi tontonan sehari-hari. Kerukunan antar Agama Konsep kerukunan antar umat beragama pernah dirumuskan dan ditetapkan oleh pemerintahan Orde Baru dengan melibatkan semua tokoh agama yang ada di Indonesia. Selama masa Orba, relatif tidak ada konflik antar pemeluk agama yang berbeda. Mungkin orang akan mengira bahwa itu merupakan keberhasilan menerapkan konsep kerukunan. Namun, ketika kasus Ambon, Poso dan di berbagai daerah lainnya terjadi berbagai kerusuhan dan tidakan kekeraasan yang berbau agama, konsep kerukunan antar umat beragama kembali dipertanyakan. Bisa saja kita menduga-duga, bahwa keberhasilan menerapkan kerukunan umat beragama di Indonesia semasa Orde Baru sejalan dengan kebijakan politis penguasa pada waktu itu yakni stabilitas Nasional demi berlangsungnya proses pembangunan nasional yang lebih menekankan pada pendekatan keamanan (security approach). Sama halnya, pendekatan ini digunakan pula terhadap pelaksanaan kerukunan antar umat beragama. Oleh karena itu, perlu pengkajian ulang terhadap konsep kerukunan antar umat beragama yang selama ini diterapkan pemerintah. Ia tidak lagi hanya sebagai bungkus formal dari kenyataan pluralitas agama di Indonesia, tetapi harus menjadi motivator bagi terbentuknya kesadaran beragama dan berteologi di Indonesia. Jika tidak, maka konflik antar agama tidak bisa terhindarkan akan selalu meledak. Dan, bila hal ini terjadi, akan menghancurkan sendi kehidupan berbangsa dan bernegara, baik aspek politis, ekonomi maupun sosial budaya. Agar kerukunan hidup antar umat beragama menjadi etika dalam pergaulan kehidupan beragama, Hugh Goddard, seorang Kristiani Inggris yang ahli teologi Islam, mengingatkan bahwa demi kerukunan antar umat beragama, maka harus dihindari penggunaan standar ganda (double standars). Orang Kristen maupun Islam, misalnya, selalu menerapkan standar yang berbeda untuk dirinya, yang biasanya standar yang bersipat ideal dan normatif. Sedangkan terhadap agama lain mereka memakai standar lain yang lebih bersipat realistis dan historis. Melalui standar ganda inilah muncul prasangka-prasangka teologis yang selanjutnya memperkeruh suasana hubungan antar umat beragama. Ada tidaknya keselamatan dalam agama lain, seringkali ditentukan oleh pandangan mengenai standar ganda kita. Keyakinan bahwa agama sendiri yang paling benar karena berasal dari Tuhan sedangkan agama lain hanyalah konstruksi manusia, merupakan contoh dari penggunaan standar ganda itu. Dalam sejarah, standar ganda ini biasanya dipakai untuk menghakimi agama lain dalam derajat keabsahan teologis di bawah agamanya sendiri. Melalui standar ganda inilah terjadinya perang dan klaim-klaim kebenaran dari satu agama atas agama lain. Yang nampak ke permukaan, bahwa terjadinya konflik antar agama muncul bisa sebagai akibat kesenjangan ekonomi (kesejahteraan), perbedaan kepentingan politik, atau pun perbedaan etnis. Akhirnya konsep kebenaran dan kebaikan yang berakar dari ideologi politik atau wahyu Tuhan sering menjadi alasan pembenar penindasan kemanusiaan. Hal ini pun bisa terjadi ketika kepentingan pembagunan dan ekonomi atas nama kepentingan umum sering menjadi pembenar tindak kekerasan. Ditambah pula dengan klaim kebenaran (truth claim)

dan watak misioner dari setiap agama, peluang begi terjadinya benturan dan kesalah mengertian antar penganut agama pun terbuka lebar, sehingga menyebabkan retaknya hubungan antar umat beragama. Untuk hubungan eksternal agama-agama, maka penting dilakukan dialog antar agama. Sedangkan untuk internal agama, diperlukan reinterpretasi pesan-pesan agama yang lebih menyentuh kemanusiaan yang universal. Dalam hal ini, peran para tokoh agama (ulama) lebih dikedepankan. Reinterpretasi Pesan-pesan Agama Agar Islam bisa memerankan fungsinya menjadi dialektis konstruktif, sebagaimana telah di ulas di atas, maka perlu dikembangkan program reinterpretasi pesan-pesan agama. Dalil-dalil normatif yang ada dalam al-Quran dan Hadits harus di break down dalam bentuk teori-teori sosial yang dapat diaplikasikan. Atau, lebih tepatnya harus dikontekstualisasikan agar berfungsi historis, kekinian, dan membumi. Di sini, para Ulama atau para pemuka agama sangat dibutuhkan dalam melakukan reinterpretasi agama. Ulama diharapkan berperan langsung dalam melakukan pencerahan kepada masyarakat melalui upaya reinterpretasi agama, sehingga pesan-pesan yang di bawa agama menjadi fungsional serta ajaran keadilan, toleransi dan cinta kasih yang terkandung dalam agama menjadi im-plementatif dan integratif dalam kehidupan bermasyarakat dan berbangsa. Dengan demikian, agama selayaknya berfungsi menafsirkan kenyataan hidup dan mengarahkan, artinya memiliki fungsi interpretatif dan fungsi etis. Dalam perspektif ini, agama tak hanyut tenggelam dalam politik dan politik juga tidak memperalat agama. Fungsi interpretatif dan fungsi etis hanya mungkin dijalankan kalau agama dan politik tidak dicampuradukkan. Dalam situasi seperti itu, interaksi antar agama dan politik akan menekankan dinamisme dan perubahan yang dituju, di mana kehidupan bersama akan lebih manusiawi, karena lebih merdeka dan lebih adil. Tan-pa dua fungsi ini, agama akan mudah menjadi legitimasi atau diperalat oleh praktek politik ataupun ekonomi yang tidak dapat dipertanggungjawabkan Dalam konteks pembinaan kerukunan antar umat beragama, setidaknya pesan-pesan al-Quran yang berkaitan dengan hubungan antar agama harus dipahami dan dicermati dengan hati-hati. Misalnya ayat al-Quran yang ber-bunyi: Perangilah orang-orang yang tidak beriman ke-pada Allah, (QS. 9 : 29). Jika dipahami secara tekstual, ayat ini bisa membahayakan kerukunan antar umat beragama. Mengenai ayat ini, Sayyid Qutb berkomentar bahwa ayat ini berlaku temporal dan periodik. Artinya, dalam era damai ia harus disandingkan dengan ayat-ayat lain yang menganjurkan kasih sayang dan tolong menolong antar sesama. Dialog antar Agama Salah satu bagian dari kerukunan antar umat beragama adalah perlu dilakukannya dialog antar agama. Agar komunikatif dan terhindar dari perdebatan teologis antar pemeluk (tokoh) agama, maka pesan-pesan agama yang sudah direinterpretasi selaras dengan universalitas kemanusiaan menjadi modal tercptanya dialog yang harmonis. Jika tidak, maka proses dialog akan berisi perdebatan dan adu argumentasi antara berbagai pemeluk agama sehingga ada yang menang dan ada yang kalah. Dialog antar agama, menurut A. Mukti Ali, justru membiarkan hak setiap orang untuk mengamalkan keyakinannya dan menyampaikannya kepada orang lain. Dialog antar agama adalah pertemuan hati dan pikiran antar pemeluk berbagai agama yang bertujuan mencapai kebenaran dan kerja sama dalam masalah-masalah yang dihadapi bersama.

Perhatian terhadap tema itu, tidak harus hanya menjadi tanggung jawab pemerintah, tetapi menjadi tanggung jawab semua komponen bangsa, terutama pada lingkungan tokoh agama. Oleh karena itu, sejak 1967 hingga sekarang, dialog antar agama gencar dilaksanakan. Bahkan, masa antara 1972 sampai dengan 1977, tercatat 23 kali pemerintah me-nyelenggarakan dialog yang berlangsung di 21 kota. Padatnya frekuensi dialog ini menunjukkan betapa petingnya jalinan hubungan yang harmonis antara penganut agama. Menurut Ignas Kleden, bahwa dialog antar agama nampaknya hanya bisa dimulai dengan adanya keterbukaan sebuah agama terhadap agama lainnya. Keterbukaan ini bisa di lihat dari : pertama, segi-segi mana dari suatu agama yang memungkinkannya terbuka terhadap agama yang lain, pada tingkat mana keterbukaan itu dapat ditolerir, dan juga dalam modus yang bagaimana keter-bukaan itu dapat dilaksanakan. Kedua, bagaimana agama menjadi jalan dan sebab seseorang atau sekelompok orang terbuka kepada kelompok orang yang bergama lain. Berdasarkan itu, maka persoalan keagamaan yang seringkali muncul adalah terletak pada problem penafsiran, bukan pada benar tidaknya agama dan wahyu Tuhan itu sendiri.6 Sehingga, masalah kerukunan keagamaan termasuk didalamnya dialog antar umat beragama harus menjadi wacana sosiologis dengan menempatkan doktrin keagamaan sebagai dasar pengembangan pemuliaan kemanusiaan. Sementara itu, melihat kondisi kehidupan beragama sekarang ini, konflik antar umat beragama, menjadi bagian yang tak terpisahkan dari dinamika kehidupan berbangsa dan bernegara. Kejadian tersebut tidak hanya atas dasar perbedaan agama tetapi juga terjadi antara orang atau ke-lompokkelompok dengan agama yang sama. Maka, keru-kunan yang perlu dibangun bukan hanya kerukunan antar agama, melain-kan juga kerukunan antar orang atau kelompok dalam agama yang sama. Oleh karena itu, tidak heran jika Masdar F. Masudi, Direktur Pelaksana Pengembangan Pesantren dan Masyarakat, dalam sebuah diskusi panel pernah mengatakan: Saya lebih suka hidup dengan orang yang berbeda agama tetapi tidak tertekan daripada hidup bersama dengan orang yang sama agama tetapi ter-tekan. Mungkin ia ter-inspirasikan oleh pernyataan Ibn Taymiyyah yang mengatakan bahwa pemerintahan orang kafir yang baik lebih utama di banding pemerintahan orang (yang mengaku) Muslim tapi zalim. Dalam kehidupan agama di Indonesia yang pluralistis, sebagaimana diungkapakan di atas, Nurcholish Madjid melihat bahwa nilai tinggi yang di pilih adalah kebebasan atau kemerdekaan, suatu nilai yang menyentuh kelu-huran martabat manusia. Persoalan yang muncul ketika ter-jadinya konflik antar agama adalah, adakah nilai kebebasan dan nilai kemerdekaan ditegakkan di sekitar konflik tersebut? Sebab, ternyata kemerdekaan menyangkut rasa keadilan yang juga melindungi keluhuran martabat manusia dalam menyelenggarakan kehidupan bersama. Dengan melihat di atas, kiranya konflik berwajah agama perlu dilihat dalam kaitan-kaitan politis, ekonomi, atau pun sosal budayanya. Apabila benar bahwa konflik itu murni konflik agama, maka masalah kerukunan sejati tetap hanya dapat dibangun atas dasar nilai keadilan, kebebasan, dan hak asasi manusia, yang menyentuh keluhuran martabat manusia. Makin mendalam rasa keagamaan, ma-kin mendalam pula rasa keadilan dan kemanusiaan. Seandainya tidak demikian, agama tidak menyangkat keluhuruan martabat manusia.

Anda mungkin juga menyukai