Anda di halaman 1dari 21

KAJIAN ATAS PEMIKIRAN ISLAM LIBERAL INDONESIA:

FIQIH LINTAS AGAMA

Oleh:
M. Syahid Effendi
15771011

A. PENDAHULUAN
Fiqih yang di ajarkan di berbagai perguruan tinggi Islam, pesantren
dan sekolah-sekolah keagamaan, pada umumnya hanya membaca kembali
kitab-kitab fiqih yang di tulis para ulama beberapa abad yang silam. Hampir
tidak di temukan sebuah studi Plus, yaitu studi yang tidak hanya membacakan,
tapi lebih jauh menyoal kembali beberapa pandangan yang telah di sampaikan
para ulama fiqih terdahulu. Karena di akui atau tidak, fiqih yang tersedia saat
ini mempunyai dilemma-dilema yang mesti dikritisi lebih mendalam, sehingga
fiqih sebagai proses ijtihadi dan dialektika antara doktrin dan realitas dapat
bersura kembali dengan zaman fiqih dikodifikasi.
Di antara fiqih yang paling serius adalah tatkala berhubungan dengan
pembahasan yang melibatkan kalangan di luar komunitasnya, yaitu non-
muslim, apapun agama dan aliran kepercayaannya. Padahal secara implisit
ataupun eksplisit, telah menebarkan kebencian dan kecurigaan terhadap agama
lain.
Sejak awal, hubungan antar agama tergolong masalah sensitif yang
tidak mudah diselesaikan kecuali dengan adanya kesediaan pemeluknya untuk
saling mengerti dan memahami. Di negeri-negeri muslim yang baru
menjalankan eksperimentasi demokrasi, umumnya kelompok-kelompok non-
muslim seringkali dipandang sebelah mata dan belum mendapat perlakuan
yang sewajarnya. Mereka masih dipandang sebagai warga kelas dua,
meskipun secara simbolik eksistensi mereka diakui. Memang, masih ada
semacam ganjalan di kalangan umat muslim untuk menerima kehadiran
mereka sepenuh hati. Ini biasanya menyangkut keyakinan teologis yang
seolah-olah orang-orang nonmuslim adalah orang-orang musyrik yang
menyimpang dari keimanan monoteis yang digariskan Allah dan Nabi-Nya.

263
Di tinjau dari Konteks masa lalu, masa kini dan masa depan pasti
berbeda. Seharusnya masyarakat modern mempunyai logika dan sikap yang
jauh berbeda dengan yang di hadapi masyarakat Arab zaman dulu. Karenanya
Yusuf Qardhawi mengajukan alternatif pemikiran agar fiqih di reformasi
menjadi fiqih realitas dan fiqih prioritas.1 Yaitu fiqih yang dapat di jadikan
sinaran baru bagi problem kemanusiaan yang muncul di tengah-tengah
masyarakat.
Dalam makalah ini, penulis mengambil judul dari sebuah buku yang
bertajuk Fiqih Lintas Agama; Membangun Masyarakat Inklusif-Pluralis ini
merupakan hasil pertemuan dan diskusi-diskusi untuk memikirkan ulang
keberadaan fikih di tengah perkembangan yang senantiasa meminta etika dan
paradigma baru.
Secara umum, buku ini hendak menegaskan dua hal. Pertama,
pluralisme, hubungan antar agama bukan semata-mata persoalan teologis,
tetapi juga problem fikih. Istilah teologi inklusif, teologi pluralis dan
sejenisnya sudah tidak asing lagi ditelinga kita, namun ketika mendengar
istilah fikih lintas agama, suasana batin menjadi terhenyak dan bertanya-tanya.
Bagaimana mungkin sebuah fikih yang hanya dimiliki oleh Islam bisa berlaku
bagi semua agama-agama yang secara teologis jauh berbeda?. Begitulah
pemahaman sementara ketika melihat judul buku tersebut. Namun, saat
lembaran-lembarannya dibuka, ternyata fikih lintas agama adalah sebuah fikih
yang berbicara tentang hubungan antar agama, khususnya Islam dengan
agama lain.
Kedua, dengan pendekatan fikih, wacana pluralisme tidak lagi
mengawang diatas “langit-langit” teologi, tetapi lebih kearah praktis. Tentu
saja, fikih inklusif mengandaikan adanya teologi inklusif pula. Sebab, hanya
pada teologi inklusiflah sebuah fikih inklusif bisa dirumuskan.

B. PIJAKAN KEIMANAN BAGI FIQIH LINTAS AGAMA

1
Dalam hal ini, Dr. Yusuf al-Qaradhawi telah menerbitkan dua buku” Fiqh al-Awaliyah
dan Min Fiqh al_Muyassar li al-Muslim al-Mu‟ashir, Khusus membedah pembaruan fiqih, yaitu
sistematika fiqih yang tidak di mulai dari masalah-masalah peribadatan, melainkan di mulai dari
masalah masalah sosila kemasyarakatan. (Lihat Nurcholish Majid, Fiqih Lintas Agama:
Membangun Masyarakat Inklusif-Pluralis, Jakarta: Paramadina (Anggota IKAPI), 2004, hlm. 7).

264
Mengambil ibarat al-Qur‟an, keimanan itu bagaikan akar yang
menghunjam ke dalam jantung bumi. Sementara dahannya, ranting-ranting,
dan bahkan buah-buah yang dihasilkan merefleksikan sehat tidaknya akar
keimanan. Karena itu, bagi sebagian besar ulama, iman itu tidak cukup dengan
pengakuan dari hati (tashdiq bil qolb), dan penegasan dengan lisan (iqrar bil
lisan), tapi juga memerlukan pengamalan dengan dengan anggota badan (al
„amal bil jawaarih).2
Al „Amal bil Jawaarih inilah yang merupakan pengejawantahan dari
keimanan, bagaimana fiqih lintas agama membahas tentang fiqih Islam tatkala
berhubungan dengan pembahasan yang melibatkan kalangan di luar
komunitasnya (lintas agama), yaitu non-muslim. Dalam konteks ini, dapat
dipahami bahwa fiqih pun memerlukan pijakan keimanan yang kuat. Fiqih
yang inklusif dan pluralis tentulah lahir dari teologi dan faham keimanan yang
pluralis pula.
Kita tahu, salah satu pokok keimanan dalam Islam ialah percaya
kepada sekalian para Nabi dan Rasul. al-Qur‟an menyebut bahwa Allah telah
mengutus seorang rasul untuk setiap golongan manusia. Para Nabi dan Rasul
itu di utus dengan kaumnya masing-masing, namun semuanya dengan tujuan
yang sama, yaitu mengajak umat manusia untuk menempuh jalan kebenaran,
dengan inti pengakuan adanya Tuhan yang Maha Esa dan kewajiban
menghambakan diri (beribadat, berbakti) hanya kepada-Nya. Seperti yang
tercantum di dalam Al-Qur`an surat An Nahl ayat 36:

            

            

    

Artinya: “Dan sungguhnya kami telah mengutus Rasul pada tiap-tiap


umat (untuk menyerukan): "Sembahlah Allah (saja), dan jauhilah Thaghut
itu", Maka di antara umat itu ada orang-orang yang diberi petunjuk oleh

2
Nurcholish Majid, Fiqih Lintas Agama: Membangun Masyarakat Inklusif-Pluralis,
(Jakarta: Paramadina (Anggota IKAPI), 2004,) hlm. 7.

265
Allah dan ada pula di antaranya orang-orang yang Telah pasti kesesatan
baginya. Maka berjalanlah kamu dimuka bumi dan perhatikanlah bagaimana
kesudahan orang-orang yang mendustakan (rasul-rasul)”.
Dari ayat di atas menegaskan bahwa seorang nabi diutus untuk
memberi kabar gembira dan memberi peringatan bagi umatnya sekalian. Kita
tahu bahwa salah satu pokok keimanan dalam Islam adalah mengakui atau
peracaya kepada para sekalian nabi dan rasul untuk setiap golongan manusia.
Wajib meyakini bahwa Allah mengutus seorang rasul pada masing-masing
umat yang menyeru mereka kepada tauhid dan kufur terhadap apa yang
disembah selain Allah. Beriman kepada seluruh rasul dan nabi adalah wajib
tanpa membedakan dalam arti tidak beriman kepada sebagian dan kufur
kepada sebagian yang lain sebab hal tersebut sama dengan tidak beriman
kepada semuanya.
1. Tentang Din dan Syir‟ah
Din (agama) atau inti agama itu dari seluruh rasul adalah sama,
kepada setiap golongan dari kalangan umat manusia Allah menetapkan
Syir‟ah (Jalan) dan Minhaj (cara) yang berbeda-beda, sebab Allah tidak
menghendaki umat manusia itu satu dan sama semua dalam segala hal.
Allah menghendaki agar mereka saling berlomba-lomba menuju kepada
berbagai kebaikan. Seluruh umat manusia akan kembali kepada Allah dan
kelak Dialah yang akan membeberkan hakikat perbedaan antara manusia
itu.

         

            

            

           

         

266
Artinya: “Dan Kami telah turunkan kepadamu Al Quran dengan
membawa kebenaran, membenarkan apa yang sebelumnya, Yaitu Kitab-
Kitab (yang diturunkan sebelumnya) dan batu ujian terhadap Kitab-Kitab
yang lain itu; Maka putuskanlah perkara mereka menurut apa yang Allah
turunkan dan janganlah kamu mengikuti hawa nafsu mereka dengan
meninggalkan kebenaran yang telah datang kepadamu. untuk tiap-tiap
umat diantara kamu, Kami berikan aturan dan jalan yang terang.
Sekiranya Allah menghendaki, niscaya kamu dijadikan-Nya satu umat
(saja), tetapi Allah hendak menguji kamu terhadap pemberian-Nya
kepadamu, Maka berlomba-lombalah berbuat kebajikan. hanya kepada
Allah-lah kembali kamu semuanya, lalu diberitahukan-Nya kepadamu apa
yang telah kamu perselisihkan itu”. (Q.S. al-Maidah: 48).3
Berkaitan dengan ini adalah keterangan dalam al-Qur‟an bahwa
setiap golongan atau umat mempunyai wijhah (titik “orientasi”, tempat
mengarahkan diri), yang di lambangkan dalam konsep tantang tempat suci
Makkah dengan Masjid Haram dan Ka‟bahnya untuk kaum Muslim. Umat
manusia tidak perlu mempersoalkan adanya wijhah untuk masing-masing
golongan itu, dan yang penting ialah semuanya berlomba-lomba menuju
berbagai kebaikan.
Penjelasan tersebut menegaskan prinsip-prinsip hubungan antar
agama yang dapat di turunkan dari al-Qur‟an, yang menegaskan adanya
pluralitas agama. Bahkan al-Qur‟an menegaskan pluralitas itu dalam
“berlomba lomba dalam berbuat kebajikan, koeksistensi damai,dan
keadilan, serta perlakuan yang sama. Sebagaimana firman Allah:

             

        


Artinya : “Dan bagi tiap-tiap umat ada kiblatnya (sendiri) yang ia
menghadap kepadanya. Maka berlomba-lombalah (dalam membuat)
kebaikan. di mana saja kamu berada pasti Allah akan mengumpulkan

3
Nurcholish Majid, Fiqih Lintas Agama: Membangun Masyarakat..., hlm. 20.

267
kamu sekalian (pada hari kiamat). Sesungguhnya Allah Maha Kuasa atas
segala sesuatu”. (Q.S. al-Baqarah: 148).4

2. Ajakan menuju Titik Temu antar agama.


Ajaran Kehanifan (Hanifiyah)
Dalam al-Qur‟an tercatat adanya semacam polemik antara Nabi
Muhammad SAW. dengan kaum yahudi yang mengaku bahwa Ibrahim
adalah seorang Yahudi. al-Qur‟an menyanggah dengan mengemukakan
kenyataan bahwa kitab suci Taurat dan Injil di turunkan masing-masing
kepada Nabi Musa dan Nabi Isa a.s. jauh sesudah Nabi Ibrahim. “Wahai
kaum Ahli Kitab, mengapa kamu berbantahan tentang Ibrahim, padahal
Taurat dan Injil tidaklah di turunkan melainkan sesudah dia. Apakah
kamu tidak menggunakan akalmu?!”(Q.S. ali-„Imran: 65). Maka al-Qur‟an
menegaskan bahwa Ibrahim bukanlah seorang Yahudi ataupun Kristen
melainkan seorang Hanif (orang yang memiliki kecenderungan suci dan
pemihakan alami kepada kebenaran) dan seorang Muslim (orang yang
dengan tulus berserah diri kepada Tuhan).5
Agama Ibrahim disebut al-hanifiyyah karena Ibrahim adalah imam
pertama yang melakukan sunnah menyunat laki-laki, karena itu siapapun
yang menyunat dirinya dengan mengikuti sunnah Ibrahim harus dianggap
pengikut Islam Nabi Ibrahim, sehingga ia seorang hanif.6 Apalagi secara
historis Nabi Ibrahim tampil lebih dulu dari Nabi Musa dan Isa, dan ketika
disebutkan bahwa Ibrahim itu seorang hanif dan muslim, maka
pengertiannya ialah ia mengikuti jalan hidup kebenaran yang asli yang
tidak berubah sepanjang masa. Itu semua berpangkal pada fitrah manusia
yang suci dan itulah agama yang tegak lurus yang kebanyakan manusia
tidak mengetahuinya.
Al-din al-hanif merupakan agama Tuhan yang primordial karena ia
memberi petunjuk kehidupan sejak awal manusia dilahirkan serta
mendorongnya untuk memeluknya. Menurut Hamka agama hanif diartikan

4
Nurcholish Majid, Fiqih Lintas Agama: Membangun Masyarakat..., hlm. 21.
5
Nurcholish Majid, Fiqih Lintas Agama: Membangun Masyarakat..., hlm. 23.
6
Mahmud Ayyub, Qur‟an dan Para Penafsirnya, terj. Nick G. Dharma Putra, (Jakarta :
Pustaka Firdaus, 1994), hlm. 235.

268
lurus maksudnya yaitu menuju Tuhan, tidak musyrik, tidak
mempersekutukan yang lain dengan Allah karena yang lain tidak ada.
Hanif juga diartikan ikhlas, jujur tiada bercampur dengan ingatan yang lain
sebab mustahil bahwa ada yang lain yang bersekutu dengan-Nya.7
Perkataan Hanif menunjukkan kepada yang murni, suci dan benar
dengan titik inti pandangan ketuhanan yang Maha Esa. Sedangkan Muslim
menunjukkan kepada pengertian sikap tunduk dan pasrah total hanya
kepada kemurnian, kesucian dan kebenaran itu yang di atas segalanya
ialah tunduk dan pasrah kepada Tuhan yang Maha Esa. Kembali pada
ajaran Ibrahim, sebutan Ibrahim sebagai “Bapak para Nabi” karena secara
geneologis menjadi nenek moyang para Nabi Timur Tengah (Semitik)
termasuk Nabi Muhammad SAW. Dalam al-Qur‟an Surah al-Nahl ,
terdapat penuturan tentang di tampilkan putusan Allah secara berurutan,
kemudian di tutup dengan sebuah firman:

             

Artinya: “kemudian Kami wahyukan kepadamu (Muhammad):


"Ikutilah agama Ibrahim seorang yang hanif" dan bukanlah Dia Termasuk
orang-orang yang mempersekutukan tuhan”.(Q.S. an-Nahl: 123).8
Ajaran Hanif pada Nabi Ibrahim dan perintah Allah kepada Nabi
Muhammad sebagian karakteristik kehanifan utama, kehanifan itu ialah
kelapangan yang tulus dan bersih fitri dan alami. Dengan demikian,
kehanifan dan kemusliman dapat pula di sebut agama fitrah. Nabi
Muhammad menegaskan bahwa “sebaik baiknya agama ialah kehanifan
yang lapang (al-hanifiyah al-samhah) (hadist tercantum sebagai judul
Kitab al-Imam dalam Shahih Bukhari, dari riwayat Imam Ahmad, “Dari
Ibn Abbas, ia menuturkan, di Tanya Rasulullah SAW “ agama manakah
yang paling di cintai Allah ? beliau menjawab, “Kehanifan yang lapang”.9

7
Hamka, Tafsir al-Azhar, Juz XIII – XIV (Jakarta : PT. Panji Mas, 2007), hlm. 315.
8
Nurcholish Majid, Fiqih Lintas Agama: Membangun Masyarakat..., hlm. 30.
9
Nurcholish Majid, Fiqih Lintas Agama: Membangun Masyarakat..., hlm. 31-32.

269
C. FIQIH YANG PEKA KERAGAMAN RITUAL MENEGUHKAN
INKLUSIVISME ISLAM
Munculnya masalah-masalah keagamaan dalam hubungan antar agama
yang semakin hebat dan ruwet telah mendorong para pemikir agamawan untuk
membangun teologi agama-agama yang mampu menjawab masalah-masalah
keagamaan itu. Karena hubungan antara kelompok-kelompok yang berbeda
agama tidak selalu harmonis dan bersahabat. Hubungan itu kadang-kadang
atau sering di warnai oleh konflik, kebencian, dan permusuhan. Menurut
mereka sebagai pengganti teologi ekslusivis, perlu di cari format teologi baru
yang bisa di menjawab tantangan-tantangan itu. Karena itu teologi pluralis
membutuhkan fiqih pluralis. Fiqih hubungan antar agama yang sesuai dengan
teologi pluralis adalah fiqih pluralis. Berikut akan kami kutip beberapa
masalah terkait dengan teologi pluralis dan fiqih pluralis.

1. Mengucapkan salam kepada non muslim


Sebelum kita membahas tentang pandangan Fiqih Lintas Agama,
kita lebih dulu membahas tentang hukum mengucapkan salam kepada non
muslim. Jumhur Ulama‟ sepakat mendahului mengucapkan salam kepada
orang non-muslim adalah haram dan tidak boleh. Ada sebuah riwayat yang
menjelaskan masalah tersebut. Dari Abu Hurairah RA., Nabi Muhammad
SAW. bersabda:

‫َح َد ُى ْم فِى طَ ِر ٍيق‬ ِ َّ ِ‫َّص َارى ب‬


َ ‫السالَِم فَِإ َذا لَقيتُ ْم أ‬ َ ‫ود َوالَ الن‬
َ ‫الَ تَ ْب َدءُوا الْيَ ُه‬

‫ضيَ ِق ِو‬
ْ َ‫ضطَُّروهُ إِلَى أ‬
ْ ‫فَا‬
Artinya: “Jangan kalian mengawali mengucapkan salam kepada
Yahudi dan Nashrani. Jika kalian berjumpa salah seorang di antara
mereka di jalan, maka pepetlah hingga ke pinggirnya.” (HR. Muslim no.
2167).
Hadits di atas tidak hanya melarang memulai mengucapkan salam
kepada seorang Yahudi dan Nasrani, tetapi juga menyuruh orang-orang
Muslim untuk bersikap kasar terhadap mereka, yaitu dengan mendesak

270
siapapun di antara mereka kepinggir jalan. Hadist lain yang di jadikan dalil
untuk larangan mengucapkan salam kepada orang-orang non-muslim
adalah hadist yang menceritakan bahwa sekelompok orang-orang Yahudi
mendatangi Nabi Muhammas SAW. Sambil mengucapkan
Assamu‟alaikum (kematian bagimu, celaka bagimu, kehinaan bagimu).
Meilihat peristiwa iu Aisyah istri Rasulullah mengucapkan
“Wa‟alaikumussam wala‟nah” (dan bagimu kematian dan laknat) kepada
para tahu Yahudi yang tidak sopan itu. Nabi menegur Aisyah “perlahan-
lahan hai Aisyah sesungguhnya Allah menyukai keramahan dalam semua
urusan” maka Aisyah bertanya, wahai Rasulullah. Apa engkau tidak
mendengar apa yang telah mereka ucapkan? “Rasulullah menjawab, “aku
telah mengucapkan Wa‟alaikum (bagimu kematian).10
Tetapi jika mereka mengucapkan salam kepada kita, maka kita
wajib menjawab. Dalilnya adalah hadits muttafaqun „alaih dari Anas bin
Malik, Rasulullah SAW. bersabda,

‫إِذَا َسلَّ َم َعلَْي ُك ْم أ َْى ُل‬

ِ ‫ال‬
ِ َ‫ْكت‬
‫اب فَ ُقولُوا َو َعلَْي ُك ْم‬

Artinya: “Jika seorang ahli kitab (Yahudi dan Nashrani) memberi


salam pada kalian, maka balaslah dengan ucapan „wa‟alaikum‟.” (HR.
Bukhari no. 6258 dan Muslim no. 2163)
Berdalil pula kepada keumuman ayat surat an-Nisa ayat 86, yaitu:

              

 
Artinya: “Apabila kamu diberi penghormatan dengan sesuatu
penghormatan, Maka balaslah penghormatan itu dengan yang lebih baik
dari padanya, atau balaslah penghormatan itu (dengan yang serupa).

10
Shahih bukhari : kitab al-Adab, Bab al-Rifq Fi al-Amr,No, 6024.

271
Sesungguhnya Allah memperhitungankan segala sesuatu”.(QS. an-Nisa‟:
86).11
Dari permasalahan hukum mengucapakan salam kepada non-
muslim di atas, fiqih lintas agama memberikan pandangan bahwa menolak
validitas dan menilai dha`if (lemah) hadis tentang larangan Nabi memulai
mengucapkan salam kepada non muslim melalui Abu Hurairah riwayat
Muslim ini. Dengan alasann, Abu Hurairah banyak memiliki kekurangan
dan kelemahan dalam hal periwayatan hadis. Kemudian mereka
memahami hadis ini bertentangan dengan watak dasar Islam yang
menekankan kedamaian, karena mengesankan Islam dengan wajah garang,
kasar, kejam lagi menakutkan.
Dan Sebuah Hadist yang di riwayatkan oleh muslim melalui
Abdullah ibn Amru dapat di jadikan rujukan untuk mengetahui apakah
mengucapkan salam kepada orang non-muslim apakah boleh atau di
larang. Hadist ini menceritakan bahwa seorang lelaki bertanya kepada
Rasulullah SAW tentang Islam yang mana yang terbaik. Nabi menjawab:
“memberikan makanan dan membaca salam kepada siapa yang engkau
kenal dan tidak engkau kenal.12. hadist ini menyatakan bahwa Islam adalah
agama soliaritas dan perdamaian.
Musa Syahin menjelaskan , al-salam‟alaykum mempunyai dua arti
pertama ialah doa dengan keselamatan dan keamanan untuk orang yang di
beri salam, yaitu Allah menyelamatkan dan mengamankan engkau dari
malapetaka dunia dan akhirat. Kedua ialah berita atau informasi , yaitu
saya mengucapkan salam dari diri saya sendiri , saya membawa kedamaian
kepada engkau bukan memerangi engkau. Sedangkan hadist-hadist yang
melarang memulai mengucapkan salam kepada orang-orang Yahudi dan
Kristen muncul dalam konteks yang berbeda dengan Hadist-hadist yang
membolehkan mengucapkan salam kepada orang Yahudi dan Kristen.
Nabi Muhammad melarang memulai mengucapkan salam kepada orang

11
Muhammad Abduh Tuasikal, Membalas Salam Non Muslim,
https://rumaysho.com/2036-membalas-salam-non-muslim.html, 11 November 2011, (Diakses pada
15 Mei 2016).
12
Musa Syahin Lasyin, Fath al-Mun‟im Syarh Shahih Muslim bagian pertama
(Kairo:Maktabat al-Jami‟ah al-Axhariyah ,1389/1970, hlm. 233.

272
Yahudi dan Kristen ketika mereka memusuhi dan menghina Nabi dan
orang-orang Muslim. Penghinaan orang-orang Yahudi itu di ungkapan
dengan mengucapkan “Assamu‟alaikum “ bukan (“Assalamu‟alaikum)
pada saat kelompok mereka mendatangi beliau. Nabi Muhammad
mengucapkan salam kepada Negus, Raja Etiopia, karena beliau dan orang-
orang muslim mempunyai hubungan yang sangat baik dengan Raja itu.
Raja itu melindungi orang-orang muslim yang hijrah ke negeri itu.
Fatwa larangan mengucapkan salam kepada non-muslim ternyata
tidak disetujui oleh semua ulama‟. Peristiwa yang terjadi dalam suatu
seminar agama-agama di sebuah kota kecil di Jawa Tengah pada tahun
1995, ketika seorang ulama‟ besar mengucapkan salam kepada para
peserta seminar itu, yang semuanya adalah orang-orang Kristen. Ulama ini
mengucapkan salam kepada para peserta yang semuanya adalah kristen
untuk kemaslahatan, yaitu persaudaraan, persahabatan, dan kehangantan.
Jadi, mengucapkan salam kepada non diperbolehkan bahkan
sunnah dengan alasan kemaslahatan ummat, keramah-tamahan, dan
sebagai wujud kerukunan antar umat beragama.
2. Mengucapkan “ Selamat Natal” dan Selamat Hari Raya pada Agama-
agama lain.
Kebiasaaan mengucapkan “Selamat Natal” di Indonesia
sebagaimana di Negara Negara lain, di lakukan bukan hanya oleh orang-
orang Kristen, tetapi juga oleh orang-orang non-kristen, termasuk kaum
muslim. Mengucapkan “Selamat Natal” tentu saja di tujukan kepada
orang-orang Kristen, karena hari raya Natal adalah hari agama kristen.
Kita sering menyaksikan ucapan “Selamat Natal” di negeri ini datang dari
saudara-saudara mereka yang beragama Islam.
Banyak ulama berpendapat bahwa mengucapkan “Selamat Natal”
di larang oleh ajaran Islam. Di antara alasan ini adalah bahwa
mengucapkan “Selamat Natal” berarti membenarkan agama Kristen.
Alasan lain adalah Bid‟ah, alasan lain menyerupai orang-orang kafir.
Sebagaimana telah menjadi pengetahuan umum, bahwa Majelis Ulama

273
Indonesia (MUI) juga mengeluarkan fatwa yang mengharamkan umat
islam mengucapkan “Selamat Natal”, dengan alasan teologis di atas.13
Akan tetapi alasan tersebut tidak begitu saja diterima, karena
ternyata banyak juga nash yang secara eksplisit atau implisit membolehkan
hal tersebut. Seperti sikap atau tindakan seorang muslim terhadap
golongan non-muslim yang menerima kaum muslim, tidak memusuhi,
tidak menyakiti dan tidak membunuh. Berikut adalah firman Allah dalam
surat al-Mumtahanah ayat 8-9:

             

            

         

        


Artinya: “Allah tidak melarang kamu untuk berbuat baik dan
Berlaku adil terhadap orang-orang yang tiada memerangimu karena
agama dan tidak (pula) mengusir kamu dari negerimu. Sesungguhnya
Allah menyukai orang-orang yang Berlaku adil. Sesungguhnya Allah
hanya melarang kamu menjadikan sebagai kawanmu orang-orang yang
memerangimu karena agama dan mengusir kamu dari negerimu, dan
membantu (orang lain) untuk mengusirmu. dan Barangsiapa menjadikan
mereka sebagai kawan, Maka mereka Itulah orang-orang yang zalim”.
(Q.S. al-Mumtahanah: 8-9).
Dalam dua ayat di atas, Allah membedakan antara orang-orang
yang berserah diri kepada kaum muslimin dan orang-orang yang
memerangi kaum muslimin. Jadi Allah membolehkan kepada kita untuk
berkawan dan bergaul kepada orang-orang non-muslim yang tidak
memusuhi Islam. Akan tetapi melarang berkawan atau bergaul dengan
dengan orang non-muslim yang memusuhi Islam. Artinya kita boleh untuk
berbuat baik kepada mereka selagi mereka tidak memusuhi kita, bahkan

13
Nurcholish Majid, Fiqih Lintas Agama: Membangun Masyarakat..., hlm. 80.

274
kita juga di haramkan untuk membunuh orang kafir semacam itu.14
Adapun salah satu berbuat baik kepada mereka adalah mengucapkan
salam, atau hal lain yang serupa.
M. Quraish Shihab, ulama terkemuka di Indonesia, mengatakan
bahwa ada ayat al-Qur‟an yang mengabadikan ucapan selamat natal yang
pernah di ucapkan oleh Nabi Isa, tidak terlarang membacanya, dan tidak
keliru pula mengucapkan “selamat” kepada siapa saja, dengan catatan
memahami dan mengahayati maksudnya menurut al-Qur‟an, demi
kemurnian akidah. Mungkin orang awam sulit memahami dan menghayati
catatan ini. Beliau mengingatkan agar pemimpin dan panutan bersikap arif
dan bijaksana agar tidak menimbulkan kerusakan akidah dan
kesalahpahaman kaum awam.
Quraish Shihab sangat berhati-hati menjelaskan masalah
mengucapkan “Selamat Natal”. Ketika al-Qur‟an mengatakan bahwa al-
Qur‟an mengabadikan selamat natal di ucapkan Nabi Isa, tidak di larang
membacanya dan tidak pula keliru mengucapkan “selamat” kepada siapa
saja, beliau mengingatkan agar umat Islam memahami dan menghayati
maksudnya menurut al-Qur‟an untuk menjaga kemurnian akidah. Beliau
mengajak kepada umat Islam agar pada suasana Natal mengenang dan
menghayati ucapan selamat natal yang di ucapkan Nabi Isa dan di
abadikan dalam al-Qur‟an “ Salam sejahtera untukku, pada hari
kelahiranku, wafatku dan kebangkitanku kelak””(Qs. 19:33). Selamat
Natal yang di pahami dan di hayati menurut al-Qur‟an adalah “Selamat
Natal” mengucapkan “Selamat Natal ala al-Qur‟an tentu saja tidak di
larang.
Penapat M.Quraish Shihab ini tidak mudah di pahami. Beliau
mengatakan bahwa mengucapkan dan membaca “selamat” kepada siapa
saja tidaklah keliru, tetapi ucapan “ Selamat Natal” yang beliau maksud
adalah ucapan “Selamat Natal” yang di ucapkan Nabi Isa yang di abadikan
al-Qur‟an.” Salam Sejahtera untukku pada hari kelahiranku, wafatku, dan
kebangkitanku kelak”,(Qs. 19:33). Apabila ini yang di maksud dengan
14
Yazid bin Abdul Qodir Jawas, Syarah Aqidah Ahlusunnah wal Jamaah, trj. Tim
Pustaka Imam Asy Syafi‟i, (Bogor: Pustaka Imam Asy Syafi‟i, 2006), hlm. 512.

275
ucapan selamat natal yang tidak di larang adalah ucapan Nabi Isa : “Salam
sejahtera untukku pada hari kelahiranku, wafaku dan kebangkitanku
kelak” yang tidak di larang adalah membaca ayat al-Qur‟an ini (Qs19:33)
yang tidak di larang bukanlah mengucapkan selamat natal tetapi beliau
mengatakan pula bahwa mengucapkan “selamat” kepada siapapun tidaklah
keliru “selamat” dengan tanda petik di sini dapat di artikan ucapan atau
kata ucapan “selamat”. Apabila ini yang di maksud “selamat” maka
mengucapkan “selamat natal” dan ucapan ucapan lain yang menggunakan
kata selamat (meskipun dalam bahasa-bahasa asing yang di gunakan kata-
kata yang berbeda, tidak di larang.
Yang lebih utama adalah tujuan mengucapkan “Selamat Natal”.
Bagi orang-orang muslim, pada umumnya, tujuannya adalah untuk
pergaulan, persaudaraan, dan persahabatan. Pergaulan, persaudaraaan, dan
persahabatan adalah kemaslahatan. Dengan tujuan kemasalahatan, dan
tentu saja tanpa mengorbankan akidah, megucapkan “Selamat Natal” tentu
saja dibolehkan, begitu pula dengan orang-orang muslim di Indonesia
yang mengucapkan selamat kepada orang-orang Hindu, Buddhis, dan
Khonghucu juga di bolehkan.15
D. FIQIH “MENERIMA” AGAMA LAIN MEMBANGUN SINERGI
AGAMA-AGAMA
Pada titik ini, keberagaman menunjukkan identitasnya yang serba
benar. Kebenaran agama yang yang di maksud bukan kebenaran yang bersifat
membebaskan manusia dari belenggu, melainkan kebenaran yang sudah
dikonstruksi untuk kepentingan pihak-pihak tertentu . konsekuensinya,
kebenaran agama menjadi semakin sempit, yaitu kebenaran yang di
persepsikan sebagian orang sekte, aliran dan mazhab.
Dari sekian produk pemikiran klasik, fiqih menjadi ilmu keagamaan
yang belum terjamah secara adil. Fiqih klasik merupakan satu-satunya bidang
keilmuan yang bisa bertahan untuk kurun waktu yang cukup lama, dan fiqih
menjadi kebutuhan primer umat Islam. Kenyataan ini di tunjukkan oleh
ketergantungan yang cukup besar terhadap fiqih. Namun hal yang menjadi

15
Nurcholish Majid, Fiqih Lintas Agama: Membangun Masyarakat..., hlm. 84-85.

276
refleksi keberagamaan mutakhir, bahwa fiqih klasik yang di anggap otoritatif
telah menghilangkan fungsi agama sebagai pembebasan dan pencerahan.
Karena saking kuatnya posisi fiqih dalam masyarakat muslim, maka
tak terelakkan lagi, bahwa masyarakat muslim pada umumnya adalah
masyarakat yang menjunjung tinggi peradaban fiqih.16 Hal tersebut setidaknya
bisa di lihat dari cara pandang masyarakat muslim terhadap fiqih. Pertama
fiqih bagi banyak kalangan di anggap sebagai “ilmu inti” yang tak tersentuh.
Kedua fiqih menjadi “identitas keagamaan”. Penguasaan terhadap fiqih
seringkali menentukan posisi seorang agamawan antara yang satu dengan
yang lainnaya. Dalam masyarakat tradisional, kenyataan seperti ini tidak
terhindarkan, yang mana derajat keulamaan diantaranya ditentukan sejauh
mana penguasaannya terhadap fiqih dan usul fiqh. Dalam masyarakat yang
relatif modernpun, secara implisit fiqih menjadi panglima dan rujukan dalam
mengambil keputusan atas masalah-masalah tertentu, seperti penentuan awal
dan akhir ramadhan. Ketiga fiqih di imani sebagai penentu “keselamatan”
“kemenangan” dan “kebahagiaan” Klaim keselamatan sering kali di tentukan
sejauh mana keabsahan fiqih yang di perspektifkan mazhab tertentu. Persepsi
tersebut mempunyai karakteristik tersendiri sesuai dengan kodifikasi
kesepakatan yang di anggap mempresentasikan pemahaman terabsah.
Dengan demikian fiqih menjadi salah satu ilmu yang berpengaruh
dan mempunyai gravitasi yang begitu kuat, bukan hanya itu fiqih telah
membentuk masyarakat. Di sini, kita dapat mengerti bahwa fiqih bukan hanya
sebagai ilmu yang mempunyai kekuatan kultural yang menggurita ke akar
rumput, melainkan juga memuat kekuatan yang bersifat struktural, karena
fiqih bisa menyedot massa yang begitu besar
1. Nikah Beda Agama
Para ulama terdahulu biasa melarang praktek nikah beda agama
atau pernikahan yang dilakukan oleh dua orang yang menganut agama
yang berbeda. Dalam kasus Islam berarti seorang muslim dilarang
menikah dengan non-muslim. Larangan ini didasarkan pada firman Allah:

16
Lihat buku Nasr Hamid Abu Zaid, Naqd al-Khitbah al-Diny, al-Markaz al-Tsaqafi al-
Arabi, 1997, hlm.67-8.

277
           

           

.......        

Artinya: “Dan janganlah kamu menikahi wanita-wanita musyrik,


sebelum mereka beriman. Sesungguhnya wanita budak yang mukmin lebih
baik dari wanita musyrik, walaupun Dia menarik hatimu. dan janganlah
kamu menikahkan orang-orang musyrik (dengan wanita-wanita mukmin)
sebelum mereka beriman. Sesungguhnya budak yang mukmin lebih baik
dari orang musyrik, walaupun Dia menarik hatimu. mereka mengajak ke
neraka,..” (Q.S. al-Baqaroh: 221).
Ayat di atas termasuk ayat madaniyah yang pertama kali turun dan
membawa pesan khusus agar orang-orang musyrik tidak menikahi wanita
musyrik dan sebaliknya. Imam Muhammad al-Razi dalam al tafsir al-
kabir wa mafatih al-Ghaib menyebut ayat tersebut sebagai ayat-ayat
permulaan yang secara eksplisit menjelaskan hal-hal yang halal dan hal
yang haram atau di larang.17 Memang ketika membaca ayat secara literal
akan mendapatkan kesimpulan serta merta. Namun pandangan ini tidak
serta merta bisa di jadikan pegangan, karena dalam ayat lain di temukan
pradigma lain tentang musyrik mari kita lihat bagaimana al-qur‟an secara
cermat dan jelas membedakan pengertian antara kaum musyrik dan ahli
kitab. Dalam surah al-Baqarah, 2:105 Allah berfirman yang artinya “orang
orang kafir dari ahli kitab dan orang orang kafir musyrik tidak
menginginkan di turunkannya suatu kebaikan kepadamu dari Tuhanmu”
dalam surah al-bayyinah. 98:1 Allah juga menyebutkan “orang-orang
kafir dari Ahli kitab dan orang-orang kafir musyrik tak akan melepaskan
(kepercayaan mereka) sampai datang kepada mereka bukti yang nyata”.18

17
Imam Muhammad al-Razi fahr al-Din ibn al-Din Umar, Tafsir al-fahr al-Razi al-
Musyatar bi al-tafsir al-kabir wa Mafatih al-Ghayb. Di komentari oleh syaih Khalili Muhyidin al-
Mays, dan al-Fikir Beirut, 1995, Jilid V hlm. 59.
18
Nurcholish Majid, Fiqih Lintas Agama: Membangun Masyarakat..., hlm. 154-156.

278
Pada ayat di atas dan ayat lainnya al-Qur‟an memakai kata
penghubung “dan” antara kafir ahli kitab dan kafir musyrik. Ini berarti
bahwa kafir dan ahli kitab mempunyai arti yang bebeda. Hal yang dapat
dipahami dengan baik dari ayat-ayat al-Qur‟an di atas bahwa setiap
perbuatan syirik tidak menjadikan secara langsung pelakunya di sebut
musyrik. Karena pada kenyataannya Yahudi dan Nasrani telah melakukan
perbuatan syirik, namun Allah tidak menyebut dan memanggil mereka
musyrik, tapi di panggil dengan ahli kitab. Lihat (Qs. 4:171, Qs 5:5, Qs,
3:64 ) Sebuah analogi logis dapat pula kita kembangkan adalah bahwa
orang-orang Islampun bisa melakukan perbuatan syirik dan memang
kenyataannya ada, namun mereka tidak dapat di sebut sebagai kaum
musyrik. Sebab sebagai konsekuensi logisnya, kalau salah seoarang suami
istri dalam keluarga muslim sudah di sebut musyrik, maka perkawinan
mereka batal dengan sendiri dan wajib cerai, tapi kenyataannya ini tidak
pernah di terima. Betapa banyak kenyataan dalam hidup ini pada orang-
orang beragama, termasuk orang-orang muslim. Nah dari analogis ini
timbul pertanyaan, dapatkah pelaku syirik ini di kategorikan musyrik, dan
di haramkan menikahi orang-orang Islam? Kami berpendapat Tidak. Surah
Al-Baqarah, 2:221 tidak berbicara dengan kemusyrikan seperti itu.
Kesimpulannya yang dapat di ambil adalah bahwa setiap perbuatan syirik
itu belum tentu musyrik , tapi perbuatan Musyrik sudah pasti syirik.
Karena itu perlu di identifikasikan siapa sebenarnya yang di
kategorikan oleh al-Quran pelaku musyrik dan haram di nikahi oleh orang-
orang Islam. Imam Syafi‟i, sebagaimana dikutip oleh Quraish Shihab
mengatakan bahwa istilah ahl al-kitab ditujukan hanya kepada Yahudi dan
Nasrani keturunan orang-orang Israel, tidak termasuk bangsa-bangsa lain
yang menganut agama Yahudi dan Nasrani. Alasan beliau antara lain
adalah Nabi Musa dan Isa hanya diutus kepada mereka, bukan kepada
yang lain.19 Mengacu kepada pendapat Syafi‟i ini Abdul Muta‟al al-
Jabariy mendefinisikan ahl al-kitab dengan identitas suatu generasi atau
kaum yang telah musnah dan telah tiada ciri dan tandanya.
19
Muhammad Wahyuni Nafis, Rekonstruksi dan Renungan Religius Islam, (Jakarta:
Paramadina, 1996), hlm. 10.

279
Di dalam buku Fikih Lintas Agama, perlu di identifikasikan siapa
sebenarnya yang di kategorikan oleh al-Quran pelaku musyrik dan haram
di nikahi oleh orang-orang Islam. Dikatakan musyrik bukan hanya
menyekutukan Allah, tapi juga tidak mempercayai salah satu dari kitab
samawi, baik yang telah dapat penyimpangan maupun yang masih asli,
disamping itu tidak ada seorang satu nabi pun yang mereka percayai.
Adapun ahli kitab adalah orang yang mempercayai salah seorang Nabi dari
nabi-nabi dan salah satu kitab dari kitab-kitab samawi, baik sudah terjadi
penyimpangan pada mereka dalam bidang akidah atau amalan. Sedangkan
yang di sebut orang mukmin adalah orang-orang yang percaya dengan
risalah Nabi Muhammad baik mereka lahir pada Islam ataupun memeluk
islam, yang berasal dari ahli kitab ataupun musyrik, ataupun dari agama
mana saja.20
Muhammad Abduh secara lebih spesifik dan terang berpendapat,
sebagai yang di nukilkan oleh sang murid , Rasyid Ridho bahwa
perempuan yang haram di nikahi adalah oleh laki-laki muslim adalah
dalam Al-baqarah, 2:221, itu adalah perempuan musyrik arab. Seorang
Muslim laki-laki menikah dengan perempuan Ahli Kitab diperbolehkan
berdasarkan ayat: “Pada hari ini dihalalkan bagimu yang baik-baik.
makanan (sembelihan) orang-orang yang diberi al-kitab itu halal bagimu,
dan makanan kamu halal (pula) bagi mereka. (dan dihalalkan mangawini)
wanita yang menjaga kehormatan diantara wanita-wanita yang beriman
dan wanita-wanita yang menjaga kehormatan di antara orang-orang yang
diberi al-kitab sebelum kamu.” (QS. al-Maidah: ayat 5).21
2. Waris Beda Agama
Apabila seseorang yang meninggal dunia dan memiliki harta untuk
dibagi kepada ahli waris yang berbeda agama, maka tidak terjadi
pewarisan antara keduanya. Adapun dalil yang menjadi dasar hukumnya
adalah Sabda Rasulullah SAW., yaitu :

20
Nurcholish Majid, Fiqih Lintas Agama: Membangun Masyarakat..., hlm. 159.
21
Nurcholish Majid, Fiqih Lintas Agama: Membangun Masyarakat..., hlm. 159.

280
Artinya : “Tidaklah berhak seorang muslim mewarisi harta orang
kafir, dan tidak berhak pula orang kafir mewarisi harta seorang muslim”.
(HR. Bukhari dan Muslim).
Dalam pandangan konsep fiqih konvensional seorang muslim tidak
bisa mewarisi harta seorang non muslim dan sebaliknya seorang non
muslim tidak dapat mewarisi harta seorang muslim.22
Ada perbedaan pendapat di kalangan ulama. Sebagian ulama
lainnya mengatakan tidak bisa mewariskan. Jumhur ulama termasuk yang
berpendapat demikian adalah keempat Imam Mujtahid yaitu Imam Abu
Hanifah, Imam Malik, Imam Asy-Syafi‟I dan Imam Ahmad bin Hanbal,
berdasarkan dalil di atas. Sebagian ulama mengatakan bahwa ahli waris
muslim tetap mendapat harta warisan dari pewaris yang kafir dan
melarang kebalikannya. Ini berdasarkan qiyas diperbolhekannya
pernikahan seorang muslim dengan wanita non-muslim (Ahli Kitab)
sebagaiman dalam surat al-Maidah ayat 5. Yang termasuk kelompok ini
antara lain: Mu‟adz bin Jabal, Mu‟awiyah, Sa‟id ibn al-Musayyab dan
Masruq.23
Dalam pandangan yang lebih jauh, hal-hal yang dilarang dalam hak
waris bukan merupakan hal yang baku dan absolut. Sewaktu-sewaktu
hukum tersebut bisa berubah sesuai konteks yang berbeda. Dengan
demikian, sejatinya hukum waris harus dikembalikan pada semangat
awalnya yaitu keluarga, keturunan, dan menantu, apapun agamanya. Yang
menjadi alsan utama dalah waris pada hakikatnya untuk mempererat
hubungan keluarga. Dan logikanya bila islam membolehkan nikah bed
agama maka secara otomatis wari beda agamapun diperbolehkan.24
E. PENUTUP
Timbulnya wacana “Fikih Lintas Agama” ditengah-tengah masyarakat
Indonesia, disatu sisi, ada semacam gejala yang tidak main-main yang
dipertunjukkan sebagian kalangan untuk mempromosikan Syariat Islam dalam
tataran formal, yang menjadikan hukum Islam sebagai sebagai undang undang

22
Fatchur Rahman, Ilmu Waris, (Bandung: PT. Al-Ma‟arif, 1994), hlm. 227.
23
Nurcholish Majid, Fiqih Lintas Agama: Membangun Masyarakat..., hlm. 165-166.
24
Nurcholish Majid, Fiqih Lintas Agama: Membangun Masyarakat..., hlm. 167.

281
yang mengikat secara formal. Namun di sisi lain, ada sebagian umum yang
masih memberlakukan fikih secara konservatif dan tradisional, meskipun tidak
mengagendakannnya di tataran formal.
Keberadaan fikih lintas agama patut diberi apresiasi sebagai khazanah
keilmuan juga sebaga pijakan untuk membuka pemikiran, karena salah satu
tawarannya yaitu meninjau langsung pada kenyataan bahwa fikih sering
dijadikan alat bagi tindakan kekerasan atas nama agama. Sepertti timbulnya
penafsiran terhadap jihad sebagai sarana untuk membuat kekerasan terhadap
orang tak beragama atas nama jihad dan agama. Jika kita menelusuri kitab
fiqih klasik, konsep jihat diperkenalkan masih bernuansa kekerasan untuk
menjastifikasi diri dengan mengatasnamakan agama.
Di satu sisi, hukum Islam sangat fleksibel dan sesuai dengan situasi
dan keadaan. Oleh sebab itu, ijtihad fiqih kelasik sedianya dibongkar dengan
pisau analisa kritis argumentasi. Keberadaan fiqih lintas agama dianggap
cukup positif untuk menjawab kemandegan untuk berijtihad, setidaknya akan
membuat umat Islam melek dan sadar serta merespon berbagai perubahan
sosial budaya disekitarnya.

282
DAFTAR RUJUKAN

Ayyub, Mahmud. Qur‟an dan Para Penafsirnya, terj. Nick G. Dharma Putra.
Jakarta : Pustaka Firdaus. 1994.

Hamka. Tafsir al-Azhar, Juz XIII – XIV. Jakarta : PT. Panji Mas. 2007.

Imam Muhammad al-Razi fahr al-Din ibn al-Din Umar, Tafsir al-fahr al-Razi al-
Musyatar bi al-tafsir al-kabir wa Mafatih al-Ghayb. Di komentari oleh
syaih Khalili Muhyidin al-Mays, dan al-Fikir Beirut, 1995, Jilid V hlm.
59.

Jawas, Yazid bin Abdul Qodir. Syarah Aqidah Ahlusunnah wal Jamaah. trj. Tim
Pustaka Imam Asy Syafi‟i. Bogor: Pustaka Imam Asy Syafi‟i. 2006.

Lasyin, Musa Syahin. Fath al-Mun‟im Syarh Shahih Muslim bagian pertama.
Kairo:Maktabat al-Jami‟ah al-Axhariyah1389/1970.

Majid, Nurcholish. Fiqih Lintas Agama: Membangun Masyarakat Inklusif-


Pluralis. Jakarta: Paramadina (Anggota IKAPI). 2004.

Nasr Hamid Abu Zaid. Naqd al-Khitbah al-Diny, al-Markaz al-Tsaqafi al-Arabi.
1997.

Nafis, Muhammad Wahyuni. Rekonstruksi dan Renungan Religius Islam. Jakarta:


Paramadina. 1996.

Rahman, Fatchur. Ilmu Waris. Bandung: PT. Al-Ma‟arif. 1994.

Shahih bukhari : kitab al-Adab, Bab al-Rifq Fi al-Amr,No, 6024

Tuasikal, Muhammad Abduh. Membalas Salam Non Muslim,


https://rumaysho.com/2036-membalas-salam-non-muslim.html. 11
November 2011. (Diakses pada 15 Mei 2016).

Yazid bin Abdul Qodir Jawas. Syarah Aqidah Ahlusunnah wal Jamaah. trj. Tim
Pustaka Imam Asy Syafi‟i. Bogor: Pustaka Imam Asy Syafi‟i. 2006.

283

Anda mungkin juga menyukai